8 Kasus HAM di Indonesia yang belum ters

8 Kasus HAM di Indonesia yang belum terselesaikan
8 Kasus pelanggaran HAM yan berujung kematian maupun menghilangnya seseorang
karena tindak pidana yang dilakukannya. Sampai saat ini kasus-kasus dibawah ini tidak
dapat
terungkap dan seperti ditelan oleh bumi.
Spoiler for Kasus 1:
1. Kasus Sum Kuning (1970)

Ini adalah kasus getir dan pahit dari seorang gadis muda bernama Sumarijem seorang
gadis muda dari kelas bawah seorang penjual telur dari Godean Yogyakarta yang
(maaf) diperkosa oleh segerombolan anak pejabat dan orang terpandang di kota
Yogyakarta kala itu.Kasus ini merebak menjadi berita besar ketika pihak penegak
hukum terkesan mengalami kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga tuntas.
Pertama-tama Sum Kuning disuap agar tidak melaporkan kasus ini kepada polisi.
Belakangan oleh polisi tuduhan Sum Kuning dinyatakan sebagai dusta. Seorang
pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam dan dipaksa mengaku sebagai
pelakunya.
Tanggal 18 September 1970 Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun tengah menanti
bus di pinggir jalan dan tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh beberapa
pria, didalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak sadarkan diri,
Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa bergilir hingga tak sadarkan

diri.
Spoiler for Kasus 2:

2. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi

Menjelang Reformasi di tahun 1998 ada sekitar 13 orang aktivis yang diculik paksa oleh
militer dan hingga kini keberadaan mereka masih menjadi misteri, jika mereka sudah
meninggal dimanakah mereka dikuburkan dan alasan apa yang menyebabkan
sehingga militer menculik ke-13 orang aktivis ini. Mereka adalah Yanni Afri, Sonny,
Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar

Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan
Abdun Nasser.
Spoiler for Kasus 3:

Spoiler for Kasus 4:

4. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje

Diera tahun 1980an ada seorang peragawati ternama yang cantik bernama Dietje yang

bernama lengkap Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia tewas dibunuh dengan
tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak kemudian mayat nya
dibuang disebuah kebun karet dibilangan kalibata yang sekarang menjadi komplek
perumahan DPR. Setelah kasus tersebut marak di media massa, Polisi akhirnya
menangkap seorang tua renta yang nama aslinya tidak diketahui dan hanya dikenal
dengan panggilan Pakde dikenal juga sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia adalah
seorang dukun. Yang entah dengan alasan dan motif apa yang tidak jelas ia dianggap
sebagai pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu penting karena Polisi
mengungkapkan bahwa "katanya" mereka "Memiliki bukti yang kuat".
Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang
dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi
termasuk anaknya yang menderita patah rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi
bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah
rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di
pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim.
Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup namun publik saat itu sudah
mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan menantu dari
orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak akan
pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada media
atau publik berasal dari polisi. Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga,

untuk ‘meyakini’ bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde.
Spoiler for Kasus 5:

5. Kasus Pembunuhan Udin

Udin adalah seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta yang tewas terbunuh oleh
seseorang tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin pada
selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius yang kemudian
menganiyaya dirinya dan pada tanggal 16 Agustus 1996 Udin harus mengembuskan
nafas terakhirnya.
Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
Orde Baru dan militer.
Kasus Udin menjadi ramai karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto
dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel darah Udin ke laut
dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan.
Spoiler for Kasus 6:

6. Kasus Marsinah

Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur

Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada
tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo
Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa
para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th.
1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan
karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan
tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi
pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan
April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat
Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk
rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk
rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan
mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim
Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil
pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai

akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Spoiler for Kasus 7:

7. Kasus Menghilangnya Edy Tansil

Edy Tansil adalah seorang pengusaha keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe
Hong/Tan Tju Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di
penjara Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai
565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy Tansil dilaporkan kabur
dari penjara pada tanggal 4 Mei 1996 dan 20 petugas LP Cipanang dijadikan tersangka
karena dianggap membantu Edy Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari
Edy Tansil seperti raib ditelan bumi.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi bernama Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil
tengah menjalankan bisnis sebuah perusahaan bir yang mendapat lisensi dari
perusahaan bir Jerman bernama Becks Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian
China.
Spoiler for Kasus 8:

8. Kasus Munir


Munir sebenarnya akan melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda dan dalam
kronologi kasus pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang
memasuki pintu pesawat, Munir bertemu dengan Polycarpus seorang pilot pesawat
Garuda yang sedang tidak bertugas dan Polycarpus menawarkan kepada Munir untuk
berganti tempat duduk pesawat dimana Munir menempati kursi Polycarpus dikelas
bisnis dan Polycarpus menempati kursi Munir dikelas ekonomi.
Sebelum pesawat mengudara, flight attendant (Pramugari) Yetti Susmiarti dibantu
Pramugara senior Oedi Irianto membagikan welcome drink kepada para penumpang
dan Munir memilih Jus Jeruk.
Pukul 22.05 WIB pesawat lepas landas dan 15 menit kemudian kembali Flight
Attendant membagikan makanan dan minuman kepada para penumpang, Munir
memilih mi goreng dan kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya, setelah
mengudara hampir 2 jam pesawat mendarat di bandara Changi Singapura.
Di bandara Changi Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh
awak pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan
perjalanan dari Singapura menuju Belanda seluruh awak pesawatnya berbeda dari
perjalanan Jakarta menuju Singapura.

Dalam perjalanan Munir meminta kepada flight attendant Tia Ambarwati segelas teh
hangat dan Tia pun menyajikan segelas teh hangat yang dituangkan dari teko ke gelas

diatas troli dilengkapi gula sachet.
Tiga jam setelah mengudara Munir bolak balik ke toilet, saat berpapasan dengan
Pramugara bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi seorang dokter
yang ia kenal saat hendak berangkat yang kebetulan juga menuju Belanda, Tarmizi
melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu mendapati
bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi berpendapat Munir
mengalami kekurangan cairan akibat muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk
muntah dan buang air besar dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir
ke luar sambil batuk-batuk berat.Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan
kotak obat yang dimiliki pesawat.Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel.
Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, terutama
untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat muntaber, semuanya
tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia memberi Munir dua tablet obat
diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet
Promag. Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit
garam. Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke toilet.
Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak
5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama tiga jam. Setelah
terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit, ternyata
Munir telah terjatuh lemas di toilet.

Dua jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan Munir: mulutnya mengeluarkan
air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat
mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan
selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania.