HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN PE (1)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM

TUGAS MATA KULIAH KONSENTRASI
HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN

Oleh :
Budi Wibowo Halim

07/252561/HK/17596

Dea Nandu Permatasari

08/ 273026/EHK/00530

DLL

Yogyakarta
2011


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN…………………………..........................

1

1. Latar Belakang Masalah…………………………………..

1

2. Rumusan Masalah…………………………………………

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………

5

A. Menurut KUHP…………………………………………. .

5


1.Pengertian Perwalian dan Tempat pengaturan Perwalian…

5

2. Macam dan Asas Perwalian………………………………

6

3. Sebab-Sebab Timbulnya Perwalian………………………

9

4. Wewenang menjadi Wali…………………………………

10

5. Berakhirnya Perwalian……………………………………

14


B. Menurut UU No.1 Tahun 1974…………………………..

15

1. Syarat-Syarat Perwalian…………………………………..

16

2. Kewajiban Wali…………………………………………...

16

3. Larangan Bagi Wali………………………………………

17

4. Kekuasaan Wali…………………………………………..

17


BAB III PEMBAHASAN………………………………………….

19

1. Kedudukan Natalie Ng sebagai Wali Ibu dan Jeffery Han
doyo sebagai Wali Peserta…………………………………..

19

2.Tugas Perwalian Natalie Ng sebagai Wali Ibu dan Jeffery
Handoyo sebagai Wali Peserta……………………………...

19

3. Peran dan Kedudukan Paman Sebagai Wali……………..

24

BAB IV KESIMPULAN…………………………………………..


29

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………

31

2

BAB I
PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang Masalah
Anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa

kepada seorang laki-laki yang disebut ayah dan seorang perempuan yang disebut
ibu. Kelahiran anak merupakan salah satu peristiwa hukum yang penting dalam
kehidupan seorang manusia, disamping perkawinan dan kematian. Dengan
lahirnya anak, telah muncul hak dan kewajiban, yakni status anak sebagai subyek

hak dan munculnya kewajiban alimentasi dari orang tua. Hak adalah kepentingan
yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri adalah tuntutan oleh seseorang
atau sekelompok orang yang diharapkan untuk dipenuhi (Sudikno Mertokusumo,
1977:13). Status “Anak” menandakan status hukum sebagai penyandang
kewajiban yang belum sempurna, artinya anak belum bisa menyandang kewajiban
seorang diri, namun memerlukan bantuan dari orang lain. Kewajiban sendiri
adalah beban yang timbul dari perikatan. Dalam hal ini, perikatan yang muncul
adalah perikatan menurut undang-undang, yakni perikatan anak dengan orang
tuanya.
Perikatan antara orang tua dan anak yang dilahirkan dalam ikatan
perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya, muncul demi hukum. Bagaimana
dengan anak luar kawin? Anak luar kawin adalah anak yang dibenihkan di luar
perkawinan yang sah (Pasal 272 KUH Perdata). Sebelum diundangkannya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), seorang anak luar kawin tidak

3

mempunyai hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya, termasuk ibunya.
Si ibu harus melakukan pengakuan terhadap si anak, agar hubungan tersebut

muncul. Demikian pula pengakuan dari seorang ayah biologis terhadap anaknya.
Saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan,
saat seorang anak lahir dalam status anak luar kawin, maka ia demi hukum
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya. Terdapat dua pihak yang dapat
membantu seorang anak dalam menyandang hak dan kewajiban, yakni orang tua
dan wali.
Orang tua menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya menurut
Undang-Undang yakni kekuasaan orang tua (ouderlijk macht). Kekuasaan orang
tua ini muncul saat seorang anak lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.
Dengan kata lain, apabila orang tuanya tidak terikat perkawinan yang sah, atau
salah satu orang tua meninggal atau bercerai dari yang lain pada saat anak lahir,
maka kekuasaan orang tua adalah tidak ada. Hal ini pun berlaku sebagai
berakhirnya kekuasaan orang tua yang terjadi saat ikatan perkawinan di antara
orang tuanya putus menurut hukum. Apabila kekuasaan orang tua berakhir, maka
lembaga perwalian muncul sebagai lembaga yang membantu anak menyandang
hak dan kewajibannya, sampai ia mampu menyandang sendiri hak dan
kewajibannya yakni saat si anak telah dewasa. Orang tua maupun wali
mempunyai persamaan yakni kedua-duanya pada pokoknya bertugas mengelola
dan melakukan pemeliharaan terhadap kepentingan si anak termasuk harta si anak,
yang mana ia bertanggung jawab atasnya.


4

Lalu bagaimanakah apabila terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan
tugas perwalian? Kasus yang akan dibahas disini adalah tentang tugas Perwalian
seorang ibu terhadap tiga (3) orang anaknya. Pada tanggal 12 Desember 1995,
Natalie Ng menikah dengan Jusuf Halim di Kantor Catatan Sipil Surabaya. Bahwa
atas perkawinan tersebut dikaruniai tiga (3) orang anak, yakni Anita Halim, lahir
di Surabaya, pada tanggal 15 Januari 1996; Johnny Halim, lahir di Surabaya, pada
tanggal 01 Maret 1997; dan Rita Halim, lahir di Surabaya, pada tanggal 03
Februari 1999. Pada tanggal 12 Oktober 2000, Jusuf Halim meninggal dalam
kecelakaan mobil, meninggalkan janda beserta ketiga anaknya harta warisan
sebesar Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar Rupiah). Sebagai janda dari almarhum
Jusuf Halim, dan ibu dari ketiga anaknya, maka demi hukum ia menjadi wali ibu
dari ketiga anaknya. Setelah lama menjalani kesendirian, Natalie Ng bertemu
dengan Jeffry Handoyo. Merasa cocok, mereka akhirnya menikah pada tanggal 14
Juni 2002. Dari perkawinan tersebut, Jeffry Handoyo menjadi wali peserta dari
Natalie Ng atas Anita Halim, Johnny Halim, dan Rita Halim. Dalam
perkembangannya, karena pergaulan yang kurang baik, Natalie Ng terjerumus
dalam dunia judi, yang menguras harta miliknya. Karena dalam keadaan yang

sangat kepepet, akhirnya ia menyalahgunakan tugas perwalian yang diembannya,
dan menjual harta warisan yang merupakan hak anaknya untuk menutupi hutang
judi, yang atas sepengetahuan suaminya. Mendengar hal itu, Liem Ing Kie, paman
dari Anita Halim, Johnny Halim, dan Rita Halim, tidak bisa tinggal diam, dan
mengajukan permohonan pemecatan (onzet) Natalie Ng sebagai wali dan minta
ditetapkan sebagai wali pada Pengadilan Negeri Surabaya. Disini, terdapat

5

pertanyaan mengenai status kedudukan Natalie Ng sebagai wali ibu dan Jeffry
Handoyo sebagai wali peserta, pelaksanaan tugas perwalian serta kewenangan
Liem Ing Kie untuk mengajukan onzet ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membahas kasus tersebut dalam
kaca mata atau pandangan hukum di Indonesia, dengan rumusan masalah dan
pembahasan seperti yang akan diuraikan di bawah.
2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah


sebagai berikut:
a. Bagaimana kedudukan Natalie Ng sebagai wali ibu dan Jeffery
Handoyo sebagai wali peserta?
b. Bagaimana tugas perwalian Natalie Ng sebagai wali ibu dan Jeffery
Handoyo sebagai wali peserta?
c. Bagaimana kedudukan dan peran paman sebagai wali?

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
1. Pengertian Perwalian dan Tempat Pengaturan Perwalian
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan definisi tentang
perwalian dalam Pasal 330 ayat (3) yaitu :
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur
dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini”.
Yang dimaksud dengan belum dewasa menurut Pasal 330 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Kemudian
pengertian perwalian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terdapat dalam Pasal 50 yaitu :
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun
harta bendanya.
Pengertian perwalian menurut Subekti adalah pengawasan terhadap anak
yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta

7

pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.1
Menurut Islam perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh
atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas
ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik
yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.2

2. Macam dan Asas-Asas dalam Perwalian
Perwalian dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
a. Perwalian oleh suami/isteri yang hidup paling lama sebagaimana diatur
dalam Pasal 345 sampai 354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal
345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa apabila
salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap
anak-anak yang belum dewasa demi hukum dipangku oleh orang tua yang
hidup terlama, sekedar tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
orang tuanya. Pasal ini tidak membuat pengecualian bagi para suami isteri
yang hidup terpisah disebabkan oleh karena perkawinan putus karena
perceraian atau karena ada perpisahan meja dan tempat tidur. Jadi apabila
ayah setelah perceraian menjadi wali, maka dengan meninggalnya ayah
maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak
tersebut;3

1

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Ctk. Ketigapuluh Satu, PT. Intermasa, Jakarta, 2003,
hlm. 52
2
Ahmad Kamil, Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Ctk.
Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 175
3
Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Ctk. Kelima,
Alumni, Bandung, 1986, hlm. 172

8

b. Perwalian yang ditunjuk oleh Bapak/Ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri. Pasal 355 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa masing-masing orangtua yang melakukan perwalian
atas seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anakanak itu bilamana sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada
orang tua lain, baik dengan sendirinya maupun karena putusan Hakim
sebagaimana tercantum dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali
atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali apabila
perwalian itu memang masih terbuka;4
c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim, sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa
semua anak yang belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang
Wali oleh Pengadilan. Hakim akan mengangkat seorang wali setelah
mendengar keluarga sedarah (bloedverwanten) atau semenda atau
periparan (aangehuwden).5

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal dua asas dalam
perwalian, yaitu :
a. Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid). Asas ini berarti bahwa dalam
tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam Pasal 331
4
5

Ibid, hlm. 174
Ibid, hlm. 175

9

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas tidak dapat dibagi-bagi ini
mempunyai pengecualian dalam dua hal, yakni :
1) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup
paling lama (langstlevende ouder) maka apabila ibu kawin lagi,
suaminya menjadi medevoogd (wali serta atau wali peserta)
sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata;
2) Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang
mengurus barang-barang minderjarige di luar Indonesia didasarkan
pada Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan jika seorang anak yang belum dewasa yang berdiam di
Indonesia dan mempunyai harta kekayaan di Negara lain, maka atas
permintaan walinya pengurusan harta kekayaan anak tersebut dapat
dipercayakan pada seorang pengurus di Negara tersebut, tetapi si wali
tidak bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan pengurus
tersebut.6
b. Asas persetujuan dari keluarga. Asas ini menjelaskan bahwa keluarga
harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak
ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak
keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan, dapat dituntut
berdasarkan Pasal 524 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
diancam dengan denda paling banyak enam puluh ribu rupiah.7
6
7

Ibid, hlm. 170-171
Ibid.

10

3. Sebab-sebab Timbulnya Perwalian
Timbulnya lembaga perwalian bagi anak dibawah umur menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
a. Pencabutan kekuasaan orang tua, atas diri seseorang atau beberapa anak
sah mereka. Orang tua yang telah dicabut kekuasaan orang tuanya tetap
berkewajiban membiayai pemeliharaan dan pendidikan si anak meskipun
kekuasaan orang tua telah beralih kepada perwalian pihak ketiga;
b. Jika salah satu orangtua si anak meninggal dunia, maka menurut UndangUndang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anakanaknya. Sedangkan bagi anak yang baru lahir di luar perkawinan
(natuurlijk kind) berada di bawah perwalian orangtua yang mengakuinya;
c. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai, maka kekuasaan orang tua
beralih kepada perwalian salah satu orang tuanya;
d. Perwalian karena pengangkatan wali oleh satu atau kedua orangtua apabila
meninggal atau karena dipecat dari perwaliannya menurut ketentuan Pasal
353 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Wewenang Menjadi Wali
a. Wewenang menjadi wali

11

Pasal 332 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai
kewenangan menjadi wali, yang menjelaskan bahwa perempuan yang
bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis
dari suaminya. Apabila suami telah memberikan bantuan atau izin maka
wali perempuan bersuami berhak melakukan segala tindakan-tindakan
perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau
bantuan;
b. Wewenang badan hukum menjadi wali
Kewenangan perhimpunan-perhimpunan, yayasan, dan lembaga-lembaga
amal sebagai wali apabila diperintahkan oleh Pengadilan. Hal ini
disebabkan badan hukum tidak dapat diangkat menjadi wali apabila
perhimpunan-perhimpunan, yayasan, dan lembaga amal sebagai wali
adalah berdasarkan penunjukan oleh orangtua. Pasal 365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata menjelaskan bahwa dalam hal sebuah badan
hukum diserahkan perwalian, maka Panitera Pengadilan yang menugaskan
perwalian tersebut wajib memberitahukan putusan pengadilan itu kepada
Dewan Perwalian dan Kejaksaan.
Sesungguhnya tidak hanya Panitera Pengadilan yang berkewajiban
memberitahukan hal tersebut, tetapi pengurus Badan Hukum tersebut juga
berkewajiban untuk memberitahukannya. Apabila hal tersebut tidak
dilakukan maka akan mendapatkan sanksi akan dipecat sebagai wali.
Kejaksaan atau seorang pegawai yang ditunjuknya, demikian pula dewan

12

perwalian sewaktu-waktu dapat memeriksa rumah dan tempat perawatan
anak-anak tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur ketentuan mengenai
orang-orang yang tidak wajib menerima pengangkatan sebagai wali dan untuk
orang-orang yang dapat meminta pembebasan untuk diangkat menjadi wali.
Adapun orang yang tidak wajib untuk menerima pengangkatan sebagai wali
adalah :
a. Seseorang yang diangkat sebagai wali oleh salah satu orangtua;
b. Seorang isteri yang diangkat sebagai wali;
c. Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial kecuali jika perwalian itu
diberikan atau diperintahkan kepadanya atas permohonan atau pernyataan
mereka sendiri.

Pasal 377 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa
wali baik orangtua maupun badan hukum juga dapat meminta pembebasan
sebagai wali dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Mereka yang dalam melakukan jawatan negara berada di luar Indonesia;
b. Anggota tentara darat dan laut dalam menjalankan tugasnya;
c. Mereka yang melakukan jawatan umum yang terus menerus atau untuk
suatu waktu tertentu harus berada di luar keresidenan;
d. Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun;
e. Mereka yang terganggu oleh penyakit yang berat;

13

f. Mereka yang diserahi tugas memangku satu atau dua perwalian,
sedangkan mereka sendiri tidak mempunyai anak;
g. Mereka yang pada hari pengangkatan mempunyai 5 (lima) atau lebih anak
yang sah;
h. Perempuan. Orang perempuan yang dalam keadaan tidak bersuami telah
menerima suatu perwalian dapat meminta pembebasan sebagai wali
apabila ia menikah;
i. Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
dengan anak yang dimaksud, padahal ia dalam daerah hukum tempat
perwalian itu ditugaskan atau diperintahkan masih ada keluarga sedarah
atau semenda yang mampu menjalankan tugas perwalian itu.

Kemudian dalam Pasal 379 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan lima golongan orang yang tidak diperbolehkan menjadi wali, yaitu :
a. Mereka yang mengalami sakit ingatan (krankzninngen);
b. Mereka yang belum dewasa (minderjaringen);
c. Mereka yang berada di bawah pengampuan (curatele);
d. Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua
atau perwalian atau penetapan pengadilan;
e. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti,
bendahara, juru buku, dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap
anak-anak atau anak tiri mereka sendiri.

14

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai kewajiban
wali, yaitu :
a. Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan
terhadap pribadi anak sesuai dengan hukumnya dan wali harus
mewakilinya dalam segala tindak perdata (Pasal 383);
b. Seorang wali bapak/ibu yang akan menikah lagi wajib menyampaikan
kepada wali pengawas sebuah daftar lengkap mengenai harta kekayaan
anak (Pasal 352);
c. Wali sebagai bapak rumah tangga yang baik berkewajiban mengurus harta
kekayaan anak yang berada dalam perwaliannya dan bertanggung jawab
atas biaya, rugi, dan bunga yang timbul akibat pemeliharaan yang buruk
(Pasal 385);
d. Wali wajib untuk mengadakan inventarisasi atas harta kekayaan anak
(Pasal 386);
e. Kewajiban wali untuk menentukan jumlah uang yang akan dipergunakan
untuk kepentingan anak yang minderjarig selama satu tahun kecuali
perwalian oleh bapak/ibu (Pasal 388);
f. Wali wajib mengusahakan benda bergerak yang tidak memberikan hasil
dan perabot rumah supaya dijual (Pasal 389)

Selain kewajiban wali Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga
mengatur hak wali yang terdiri dari :

15

a. Hak wali untuk dihormati oleh anak yang belum dewasa yang berada di
bawah perwaliannya (Pasal 383 ayat (2));
b. Orangtua yang ditunjuk sebagai wali berhak mengangkat seorang wali
bagi anak yang berada di bawah perwaliannya seandainya ia telah
meninggal dunia demi hukum atau penetapan hakim tidak harus dilakukan
oleh orang tua yang lain (Pasal 355);
c. Wali berhak meminta kepada Pengadilan Negeri untuk menempatkan anak
dalam waktu tertentu dalam sebuah lembaga negara bila wali mempunyai
alasan yang kuat mengenai kelakuan anak tersebut (Pasal 384);
d. Wali mempunyai hak nikmat atas harta kekayaan anak yang berada
dibawah perwaliannya (Pasal 311 ayat (1));
e. Wali berhak untuk mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan
terlebih dahulu dalam rangka pengurusan perwalian (Pasal 410);
f. Wali berhak untuk mendapatkan upah dari pengurusannya (Pasal 411).

5. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat dintinjau dari dua segi, yaitu :
a. Dalam hubungannya dengan keadaan anak, dalam hal ini perwalian
berakhir karena :
1) anak menjadi meerderjarig;
2) matinya minderjarig;
3) timbunya kembali kekuasaan orangtua (ouderlijkemacht);
4) pengesahan seorang anak luar kawin yang diakui.

16

b. Dalam hubungan dengan tugas wali
1) ada pemecatan atau pembebasan (ontzetting of on theffing) atas diri
wali;
2) ada alasan pembebasan atau pemecatan dari perwalian

Berakhirnya perwalian pada dasarnya sama dengan berakhirnya kekuasaan
orang tua, namun terdapat hal yang membedakan diantara keduanya yaitu
perwalian dapat berakhir dengan adanya pengesahan seorang anak luar kawin
yang diakui dan timbulnya kembali kekuasaan orang tua.
Adanya pengesahan anak luar kawin maka status anak menjadi sah dan
terhadap anak tersebut berlaku sama seakan ia dilahirkan dalam perkawinan yang
sah kecuali dalam hal mewaris (Pasal 278 B.W). Sesuai dengan Pasal 278 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa seorang anak luar
kawin yang mendapatkan pengesahan akan mendapatkan hak mewaris apabila
tidak merugikan anak-anak yang sah sebelumnya.

B. MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
Perwalian menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan,
pada pasal 50 disebutkan :
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
kekuasaan wali.

17

2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.

1. Syarat-syarat Perwalian
Menurut ketentuan Pasal 50 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa
syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:
a. Anak (laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun).
b. Anak-anak yang belum kawin.
c. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
d. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
e. Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.

Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena:
a. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau
dengan lisan dengan dua orang saksi.
b. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

2. Kewajiban Wali
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:

18

a. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru
bahan-perubahan harta benda anak tersebut .
b. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.

3. Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48
UU ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan
anak tersebut memaksa.

4. Kekuasaan Wali
Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari
kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 UU ini, yaitu dalam
hal:
a. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
b. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.

Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai
wali (pasal 53 (2) UU No.1 tahun 1974). Dalam hal apabila wali menyebabkan
kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54 UU No.1 tahun 1974

19

menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang
berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut
dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk
mengganti kerugian tersebut.

20

BAB III
PEMBAHASAN

1.

Kedudukan Natalie Ng sebagai Wali Ibu dan Jeffery Handoyo sebagai
Wali Peserta.

2.

Tugas Perwalian Natalie Ng sebagai Wali Ibu dan Jeffery Handoyo
sebagai Wali Peserta.
Natalia Ng menikah dengan Jusuf Halim dan dikaruniai tiga orang anak,

Jusuf Halim meninggal dunia dalam kecelakaan mobil dan meninggalkan harta
warisan sebesar tiga milyar rupiah, Jika salah satu orangtua si anak meninggal
dunia, maka menurut Undang-Undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya
menjadi wali dari anak-anaknya. Perwalian oleh suami/isteri yang hidup paling
lama sebagaimana diatur dalam Pasal 345 sampai 354 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian
terhadap anak-anak yang belum dewasa demi hukum dipangku oleh orang tua
yang hidup terlama. Perkawinan Natalie Ng dengan Jusuf Halim dikaruniai tiga
orang anak yang tergolong belum dewasa, sehingga berdasarkan Undang-Undang
Natalie Ng berkedudukan sebagai wali bagi anak-anaknya.
Maksud dari belum dewasa dalam hal ini adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin (pasal 330 KUH PERDATA), atau mereka yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak

21

berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali ( pasal 50
Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), dan anak yang belum
mampu berdiri sendri atau belum dewasa, batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat
fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan pernikahan(Kompilasi
Hukum Islam pasal 98).
Natalie Ng sebagai Wali dari anak-anaknya mempunyai kewajiban sebagai
berikut :
1.

Ia harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap
pribadi anak sesuai dengan hukumnya dan wali harus mewakilinya
dalam segala tindak perdata (Pasal 383);

2. Ia sebagai wali yang menikah lagi wajib menyampaikan kepada wali
pengawas sebuah daftar lengkap mengenai harta kekayaan anak (Pasal
352);
3. Ia berkewajiban mengurus harta kekayaan anak yang berada dalam
perwaliannya dan bertanggung jawab atas biaya, rugi, dan bunga yang
timbul akibat pemeliharaan yang buruk (Pasal 385);
4. Ia wajib untuk mengadakan inventarisasi atas harta kekayaan anak
(Pasal 386);

Selain kewajibanya sebagai wali Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
juga mengatur hak wali yang terdiri dari :

22

1. Ia mempunyai hak dihormati oleh anak yang belum dewasa yang
berada di bawah perwaliannya (Pasal 383 ayat (2);
2. Orangtua yang ditunjuk sebagai wali berhak mengangkat seorang
wali bagi anak yang berada di bawah perwaliannya seandainya ia
telah meninggal dunia demi hukum atau penetapan hakim tidak
harus dilakukan oleh orang tua yang lain (Pasal 355);
3. Ia berhak meminta kepada Pengadilan Negeri untuk menempatkan
anak dalam waktu tertentu dalam sebuah lembaga negara apabila
wali mempunyai alasan yang kuat mengenai kelakuan anak
tersebut (Pasal 384);
4. Ia mempunyai hak nikmat atas harta kekayaan anak yang berada
dibawah perwaliannya (Pasal 311 ayat (1));
5. Ia berhak untuk mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan terlebih dahulu dalam rangka pengurusan perwalian
(Pasal 410);
6. Ia berhak untuk mendapatkan upah dari pengurusannya (Pasal
411).

Didalam kasus ini Natalie Ng tidak melakukan tugasnya sebagai wali
dengan baik, sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, ia terjerumus ke dalam perjudian dan meyalahgunakan tugas perwalian
yang diembanya dengan menjual harta warisan yang merupakan hak anaknya
untuk menutupi hutang judi, yang atas sepengetahuan suaminya. Pasal. 52 UU

23

No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 UU ini, yakni orang
tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut
memaksa. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: Wali
bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan dan kelalaiannya. Pasal 54
Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 juga menyatakan: Wali yang telah

menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaanya, atas
tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan putusan Pengadilan, yang
bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. Dalam hal ini
Natalie Ng dapat dicabut kekuasaanya sebagai wali terhadap anak-anaknya atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan
saudara kandung yang telah dewasa dan pejabat yang berwenang dengan putusan
pengadilan dalam hal-hal :
 Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya
 Ia berkelakuan buruk sekali
Meskipun orangtua dicabut kekuasaanya, mereka masih berkewajiban
untuk memberi pemeliharaan terhadap anak tersebut. Jika perwalian itu dilakukan
oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langstlevende ouder) maka
apabila ibu kawin lagi, suaminya menjadi medevoogd (wali serta atau wali
peserta) sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.

24

Wali peserta menurut Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
adalah suatu keadaan dimana suami dari suatu pasangan suami istri tersebut
meninggal, dan apabila si istri/ibu tersebut kawin lagi maka suaminya akan
menjadi wali peserta (medevoogd) demi hukum, selama dalam perkawinan antara
suami dan istri tidak ada pisah meja dan ranjang atau tidak ada pisah harta benda.
Istrinya bertanggung jawab secara tanggung-menanggung sepenuhnya atas segala
perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung. Perwalian peserta
suami tersebut berakhir, apabila sang suami tersebut dipecat dari perwalian atau si
ibu berhenti menjadi wali.

Mengenai kewajiban Wali Peserta, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tidak menjabarkan secara rinci mengenai kewajiban dari sang wali peserta
tersebut, sehingga tidak ada kejelasan hak dan kewajiban wali peserta terhadap
istri, anak-anak, maupun harta kekayaan milik mereka.

Pada kasus di atas, Jeffry Handoyo sebagai wali peserta berdasarkan
uraian

pada

bab-bab

sebelumnya

dan

Natalie

Ng

sebagai

wali

ibu

(moedervoodges) atas Anita Halim, Johnny Halim, dan Rita Halim, mereka adalah
anak-anak hasil perkawinan Natalie Ng dengan (alm) Jusuf Halim. Setelah
almarhum meninggal, Natalie Ng kemudian menikah lagi, yaitu dengan Jeffry
Handoyo. Dengan demikian Jeffry Handoyo menjadi wali peserta dari Natalie Ng
atas Anita Halim, Johnny Halim, dan Rita Halim.

25

Natalie Ng berdasarkan hukum positif mempunyai banyak kewajiban
sebagai wali ibu, bagaimana dengan Jeffry Handoyo sebagai wali peserta? Hukum
positif yang mengatur tentang wali peserta (KUH Perdata) tidak mengatur secara
spesifik mengenai kewajiban sebagai wali peserta, bahkan wali peserta merupakan
tanggung jawab istrinya secara tanggung-menanggung atas segala perbuatan yang
dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur bagaimana
berakhirnya Jeffry Handoyo sebagai wali peserta. Berakhirnya Jefrry Handoyo
sebagai wali peserta dapat terjadi apabila :
-

Natalia Ng sebagai wali ibu telah berhenti menjadi wali;

-

Jeffry Handoyo telah dipecat menjadi suami;

-

Antara suami istri tersebut bercerai,pisah meja dan tempat tidur, atau
perpisahan harta kekayaan.

3.

Peran dan Kedudukan Paman sebagai Wali
Perwalian dapat dilakukan setelah hilangnya kekuasaan orang tua.

Perwalian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dibagi menjadi
tiga macam akan tetapi jika dikaitkan dengan problematika yang ada yaitu pada
perkembangannya, orang tua yang hidup terlama baik ibu maupun ayah belum
tentu dapat melakukan tugas perwaliannya dengan baik sehingga dimungkinkan
perwalian dicabut bahkan dipecat dan berpindah ke tangan orang lain seperti yang
tertera di dalam kasus posisi yang telah disebutkan sebelumnya. Orang lain yang

26

dapat dijadikan wali adalah dalam pengertian syarat-syarat tertentu untuk menjadi
wali.
Berdasarkan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa semua anak yang belum dewasa yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk
seorang wali oleh pengadilan. Hakim akan mengangkat seorang wali setelah
mendengar keluarga sedarah (bloedverwarten) atau semenda atau periparan
(aangehuwden). Ketentuan yang demikian dapat diartikan bahwa anak-anak yang
tidak dibawah kekuasaan orang tua dapat diangkat wali oleh hakim dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu walaupun bukan orang tuanya. Paman dapat
berperan aktif sebagai wali di dalam melaksanakan tugas perwalian selama hakim
memutuskan demikian.
Dalam kasus tersebut dapat diketahui bahwa dalam hal ini Liem Ing Kie
yaitu paman dari ketiga anak tersebut mengajukan onzet kepada Pengadilan
Negeri Surabaya terhadap Natalie Ng atas perwaliannya kepada ketiga orang
keponakannya, yakni Anita Halim, Johnny Halim, dan Rita Halim. Hal tersebut
dapat dilaksanakan jika disertai dengan alas dasar yang jelas yaitu bahwa jika wali
ibu dianggap tidak cakap yaitu di dalam kasus tersebut dinyatakan bahwa Natalie
Ng boros karena terjerumus ke dalam dunia perjudian sehingga harta warisan
yang merupakan hak dari ketiga keponakannya disalahgunakan pengurusannya.
Dalam keadaan yang demikian Lim Ing Kie harus mampu membuktkan bahwa
Natalie Ng benar-benar tidak dapat melakukan tugas perwaliannya. Kedudukan
Lim Ing Kie di dalam mengajukan permohonan onzet tersebut ada pada posisi

27

bahwa dirinya merupakan bagian dari keluarga garis sejajar ayah ketiga anak
tersebut yaitu Jusuf Halim sehingga dalam keadaan wali ibu tidak dapat
melakukan tugas perwaliannya maka Lim Ing Kie diperbolehkan mengajukan
permohonan onzet tersebut.
Dalam hal hakim memutuskan perwalian untuk jatuh ke tangan Lim Ing
Kie maka Lim Ing Kie telah memiliki hak dan kewajiban baru yaitu melakukan
pengurusan tugas perwaliannya. Adapun peran Lim Ing Kie sebagai wali
pengurusan harta anak adalah berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Kewajiban
perwalian yang bukan oleh ibu/bapak anak-anak tersebut diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu antara lain:
a. Setiap wali harus mneyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan
terhadap pribadi anak sesuai dengan hukumnya dan wali harus
mewakilinya dalam segala tindak perdata (Pasal 383);
b. Seorang wali wajib menginventarisasi atas harta kekayaan anak (Pasal
386);
c. Kewajiban wali untuk menentukan jumlah uang yang akan dipergunakan
untuk kepentingan anak yang minderjarig selama satu tahun kecuali
perwalian oleh bapak/ibu (Pasal 388);
d. Wali wajib mengusahakan benda bergerak yang tidak memberikan hasil
dan perabot rumah supaya dijual (Pasal 389).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui hal-hal yang menjadi
kewajiban yang merupakan bagian dari peran Lim Ing Kie dalam melaksanakan
pengurusan wali tersebut. Setelah Lim Ing Kie menjadi wali yang ditetapkan oleh

28

hakim

maka

terhadap

harta

kekayaan

ketiga

keponakannya

adalah

menginventarisasi dan menentukan jumlah uang yang akan dipergunakan untuk
kepentingan minderjarig yang dalam hal ini adalah ketiga keponakannya serta
menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan serta mewakilinya dalam setiap
tindakan perdata.
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 pun di dalam Pasal 51
mengamanatkan bahwa perwalian dapat terjadi karena:
a. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau
dengan lisan dengan dua orang saksi.
b. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Lim Ing Kie sebagai paman menjadi boleh untuk diberikan perwalian atas
ketiga keponakannya karena pada dasarnya telah memenuhi dan tidak melanggar
undang-undang tersebut. Terutama setelah adanya pencabutan terhadap kekuasaan
wali ibu yaitu Natalie Ng yang telah memenuhi syarat-syarat untuk dicabutnya
kekuasaan wali. Atas pencabutan kekuasaan wali Natalie Ng maka berdasarkan
penetapan pengadilan Lim Ing Kie menjadi wali atas ketiga keponakannya.
Kekuasaan wali tersebut menciptakan hak dan kewajiban serta peran juga
kedudukan yang baru bagi Lim Ing Kie yaitu sebagai wali atas ketiga
keponakannya dan berperan untuk melakukan pengurusan atas harta maupun
kepentingan perdata atas pribadi masing-masing keponakannya dan diliputi oleh

29

beberapa kewajiban perwalian berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yaitu antara lain:
a. Wali wajib mengurus anak yang berada di bawah kekuasannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak
itu.
b. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak tersebut.
c. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
Berdasarkan

kewajibannya

tersebut

maka

Lim

Ing

Kie

dalam

kedudukannyta sebagai wali berperan aktif dalam membuat daftar harta benda
keponakannya

dan

memperjuangkan

agar

Natalie

Ng

yang

telah

menyalahgunakan uang milik keponakannya itu mengembalikan uang tersebut
dan mencatat semua perubahan atas harta benda keponakannya tersebut serta
setelah harta benda anak tersebut berada di tangan Lim Ing Kie pun bertanggung
jawab atas harta tersebut serta mengurusinya sehingga kebutuhan hidup anak-anak
atau dalam hal ini adalah keponakan-keponakannya dapat terpenuhi.

30

BAB IV
KESIMPULAN

Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka pada prinsipnya terdapat
perbedaan pengaturan tentang perwalian menurut Undang-Undang No.1 Tahun
1974 dan Kitab Udang-Undang Hukum Perdata. Perbedaan tersebut yaitu :
- Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak-anak yang menerima
perwalian adalah anak-anak yang belum berumur 21 tahun atau belum kawin
sebelumnya (pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
- Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, anak-anak yang menerima
perwalian adalah anak-anak yang belum mecapai umur 18 tahun atau belum
kawin (pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974).

Dalam hal pengangkatan wali, di dalam KitabUndang-Undang Hukum
Perdata ada tiga jenis perwalian, yaitu:
1. Perwalian dari suami atau isteri yang hidup lebih lama (pasal 345354 KUH Perdata).
2.

Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan wasiat atau

akta

tersendiri (pasal 355 ayat (1) KUH Perdata).
3. Perwalian yang diangkat oleh hakim (pasal 359 KUH Perdata).

Sedangkan menurut Undang-Undang No.1 Tahun

1974 tentang

perkawinan, perwalian hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua

31

yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan
surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (pasal 51 ayat (1) UU
No.1 tahun 1974).

Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan, saat ini yang kita pakai sebagai
undang-undang di Indonesia

adalah

ketentuan

Undang-Undang

No.1

Tahun 1974 tentang perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
KUH

Perdata dipergunakan sebagai pedoman hukum dan bukan sebagai

Undang-Undang, hal ini sesuai dengan asas Lex Spesialis Derogat Legi Generali.

32

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Kamil Fauzan, 2008, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Prawirohmijoyo Soetojo R, Safioedin Azis, 1986, Hukum Orang dan
Keluarga, Cetakan V, Penerbit Alumni, Bandung.
Subekti

R, 2003, Pokok-Pokok

Hukum

Perdata, Cetakan

Ketigapuluh Satu, Penerbit Intermasa, Jakarta.
Subekti R, Tjitrosudibjo, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan
XXV, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Vollmar

H.F.A., 1952, Pengantar

Cetakan

Study Hukum

Perdata, Jilid I

III, Penerbit Rajawali, Jakarta.

33