DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP LPPM IAIN PURWOKERTO 2015

  

Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap

Tentang

  

Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin

Kerjasama

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

  

Dengan

LEMBAGA PENELITIAN DAN

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO

  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR …… TAHUN 2015 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI RAKYAT MISKIN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP

  AFTAR ISI D

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

  1 B. Identifikasi Masalah

  2 C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik

  3 D. Metode Analisis Naskah Akademik

  4 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

  A. Kajian Teoritis

  6 B. Praktek Empiris

  9 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT

  17 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

  A. Landasan Filosofis

  29 B. Landasan Sosiologis

  30 C. Landasan Yuridis

  32 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

  A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase

  43 B. Muatan Materi Peraturan Daerah

  44 BAB VI PENUTUP

  60 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI RAKYAT MISKIN

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum. Konsep ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga. Dengan dimasukkannya

  pasal ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara bahwa negara Indonesia harus merupakan negara hukum. Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.

  Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup setiap warga Negara. Dengan demikian cita-cita Negara hukum (rule of

  law) yang terkandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar Negara yang

  berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukanlah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekekuasaan yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang berbasis kekuasaan semata bukanlah hukum yang adil

  (just law) yang didasarkan pada keadilan bagi seluruh rakyat. Hukum

  bagi bangsa Indoensia hadir untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

  Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah supremasi hukum (supremacy of

  law) dan persamaan dalam hukum (equality before the law). Supremasi

  hukum menjadi ciri penting dari suatu Negara hukum yang menekankan bahwa kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat. Sedangkan persamaan dalam hukum menekankan bahwa di dalam suatu negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum.

  Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan yang tertuang dalam konstitusi ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia;

  Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum”. Kewajiban Negara untuk memfasilitasi warga Negara yang tidak mampu secara ekonomi di dalam mengakses keadilan. Negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk : 1. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; 2. mewujudkan hak konstitusional segala warga Negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; 3. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh daerah; 4. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

  Dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia, Pada tanggal 04 Oktober 2011 Pemerintah dan DPR telah menyetujui bersama undang-undang yang mengatur bantuan tentang Bantuan Hukum yang selanjutnya disebut UU Bantuan Hukum.

  Kehadiran UU Bantuan Hukum ini paling tidak menjawab ekspektasi yang tinggi dari masyarakat akan penyelesaian persoalan bantuan hukum di Indonesia, dimana sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang tak mendapatkan akses terhadap bantuan hukum. Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).

  Undang-Undang tentang Bantuan Hukum menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. UU Bantuan Hukum membebankan kewajiban kepada pemerintah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBN. Namun demikian pembentuk UU bantuan hukum menyadari bahwa dana yang dialokasikan dalam APBN tidak akan mampu untuk memenuhi semua permohonan bantuan hukum yang ada di seluruh daerah. Untuk itu UU bantuan hukum mendelegasikan kepada Pemerintah Daerah termasuk tentu saja pemerintah kabupaten Cilacap untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dalam APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-UndangNomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

  Sampai saat ini kabupaten Cilacap belum memiliki Peraturan Daerah yang secara khusus menjamin terlaksananya hak konstitusional warga negara, khususnya bagi orang atau kelompok masyarakat miskin.

  Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin dalam peraturan daerah nampaknya sangat mendesak untuk diwujudkan di kabupaten Cilacap. Peraturan Daerah merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin di kabupaten Cilacap.

  Berdasarkan hal tersebut diatas untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut perlu dilakukan kajian hukum yang khusus ditekankan pada permasalahan mengapa diperlukan Peraturan Dareah Tentang Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin di kabupaten Cilacap ?

B. Tujuan dan manfaat

  Tujuan disusunnya naskah akademik ini adalah memberikan kerangka pemikiran, paradigma, landasan hukum sampai pada taraf operasionalisasinya peraturan daerah yang dibuat. Sedangkan tujuan dibuatnya peraturan daerah tentang Bantuan Hukum bagi Rakyat Miskin Kabupaten Cilacap adalah :

  1. Memformulasi model bantuan hukum yang komprehensif/integral bagi warga Cilacap yang tidak mampu (masyarakat miskin), baik dalam bentuk non litigasi maupun litigasi, dilakukan oleh pekerja bantuan hukum yang tidak atau belum berprofesi sebagai advokat, baik yang tergabung dalam sebuah korporasi maupun secara perorangan.

  2. Mewujudkan akses untuk memperoleh peradilan yang fair dan impartial bagi warga Cilacap yang tidak mampu secara ekonomi;

  3. Memberi legitimasi kepada sarjana hukum yang tidak atau belum menjadi advokat untuk beracara di pengadilan di wilayah hukum RI.

  4. Naskah akademik ini diharapkan memiliki kemanfaatan sebagai alasan, pedoman, dan arahan dalam membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Bantuan Hukum kepada Masyarakat Miskin.

C. Metode Analisis Naskah Akademik

  Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tradisi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Bantuan Hukum kepada Masyarakat Miskin.

  Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan pada kaidah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan pada kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat, meliputi :

  1. Identifikasi permasalahan terkait permasalahan hukum masyarakat miskin dan aktivitas bantuan hukum.

  2. Inventarisasi bahan hukum yang terkait.

  3. Sistematisasi bahan hukum

  4. Analisis bahan hukum,

  5. Perancangan dan penulisan

  •  --

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK A. Kajian Teoritis Indonesia sebagai Negara hukum menjamin kesetaraan bagi warga negaranya di hadapan hukum dalam dasar Negara dan konstitusinya. Sila kedua Pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila

  kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengakui dan menghormati hak warga Negara Indonesia untuk keadilan ini. UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum dan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

  Hak atas Bantuan Hukum adalah Hak Asasi Manusia: sebuah katalog hak dasar yang saat ini tengah menguat promosinya. Bantuan hukum, berkembang tidak saja dalam konteks pembelaan korban pelanggaran hak sipil dan politik, melainkan menjadi salah satu metode dalam promosi dan pembelaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob). Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and impartial court)1. Hak ini merupakan hak dasar setiap manusia. Hak ini bersifat universal, berlaku di manapun, kapan pun dan pada siapapun tanpa ada diskriminasi. Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan kewajiban Negara. Setiap warga Negara tanpa memandang suku, warna kulit, status sosial, kepercayaan dan pandangan politik berhak mendapatkan akses terhadap keadilan.

  Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak

boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan. Pendampingan

hukum (legal representation) kepada setiap orang tanpa diskriminasi itu

merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di

hadapan hukum. Tanpa adanya pendampingan hukum maka kesetaraan

di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai

universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi Bantuan hukum adalah media bagi warga Negara yang tidak

mampu untuk dapat mengakses terhadap keadilan sebagai manifestasi

jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum

meliputi masalah hak warga Negara secara konstitusional yang tidak

mampu, masalah pemberdayaan warga Negara yang tidak mampu dalam

akses terhadap keadilan, dan masalah hukum faktual yang dialami

warga Negara yang tidak mampu.

  Bantuan hukum tidak hanya ditujukan kepada individu, akan

tetapi juga ditujukan kepada anggota masyarkat secara kolektif. Bantuan

hikum yang dilakukan, tidak hanya menggunakan jalur litigasi saja, juga

menggunakan pendekatan mediasi dan jalur politik. Konsep bantuan

hukum lahir sebagai konsekwensi dari pemahaman kita terhadap

hukum. Realitas yang kita hadapi adalah adalah produk dari proses-

proses sosial yang terjadi di atas pola hubungan tertentu di antara

infrastruktur masyarakat yang ada. Hukum sebenarnya merupakan

superstruktur yang selalu berubah dan merupakan hasil interaksi antar

infrastruktur masyarakat. Oleh karena itu, selama pola hubungan

antar infrastruktur menunjukan gejala yang timpang maka hal tersebut

akan mempersulit terwujudnya hukum yang adil.

  Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi

perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga Negara yang tidak

mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan,

serta perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan

hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan

perundang-undangan yang menjamin hak warga negara Indonesia untuk

mendapatkan akses kepada keadilan dan pendampingan hukum,

termasuk bantuan hukum (legal aid) bagi warga Negara yang tidak

mampu.

  Antara bantuan hukum dan negara mempunyai hubungan yang

erat, apabila bantuan hukum dipahami sebagai hak maka dipihak lain

negara mempunyai kewajiban untuk pemenuhan hak tersebut. Negara

harus hadir dalam memfasilitasi pemenuhan tersebut. Tanggung jawab

negara ini harus dapat diimplementasikan melalui ikhtiar - ikhtiar

ketatanegaraan pada ranah legislasi, yudikasi dan eksekutorial. Pasal 14

Kovenan Hak Sipil Dan Politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan bantuan hukum

  

jika kepentingan keadilan menghendaki demikian. Untuk pemenuhan

hak tersebut, menurut pertimbangan Kovenan PBB tadi mewajibkan

negara untuk memajukan penghormatan universal dan ketaatan

terhadap HAM dan kebebasan. Kewajiban tersebut antara lain berupa

kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi

(to fulfill),dan kewajiban untuk melindungi (to protect). Kewajiban tersebut

termasuk kewajiban untuk melindungi, memenuhi/memfasilitasi dan

menghormati hak atas bantuan hukum. Negara bertanggung jawab

terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai

perwujudan akses terhadap keadilan dan mengimplentasikan dalam

bentuk pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh

negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang

berkeadilan. Kelahiran Undang

  • – Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang

    Bantuan Hukum merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam

    mengimplementasikan hak – hak konstitusional warga negara.

  Atas dasar argument tersebut, sudah jelas negara mempunyai

kewajiban dan yang paling penting adalah --implementasi dari kewajiban

tersebut. Tidak ada jaminan hukum untuk mewajibakan negara untuk

menghormati,melindungi, memfasilitasi dan memenuhi hak atas bantuan

hukum terhadap masyarakat.Undang

  • – Undang Bantuan Hukum

    mengamanatkan bahwa bantuan hukum tidak hanya merupakan

    kewajiban pemerintah pusat saja, akan tetapi juga merupakan kewajiban

    pemerintah daerah. Pasal 19 ayat (1) dan (2) mengamanatkan bahwa

    Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan

    Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Ketentuan

    lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1)diatur dengan Peraturan Daerah. Pemerintah

    Daerah, khususnya Kabupaten Cilacap untuk mewujudkan hak

    konstitusional setiap warga Negara khususnya masyarakat di Kabupaten

    Cilacap, sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan dihadapan

    hukum, maka Pemerintah Daerah perlu menjamin perlindungan hak

    asasi manusia dan berupaya untuk memberikan bantuan hukum kepada

    masyarakat yang tidak mampu.

  Disamping itu, pemberian bantuan hukum juga harus

dimaksudkan sebagai bagian integral dari kewajiban warga negara lain

yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan

bantuan hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Kovenan Hak-

hak Sipil dan Politik (diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005). 2

  

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 3 Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 4 Pasal 28I

ayat (2) UUD 1945 5 Pasal 2 ayat (2) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik

(diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005).

  Undang-undang Bantuan Hukum karena mengaturpelayanan dan

penyediaan jasa hukum bagi masyarakat untuk

memudahkanmasyarakat mendapatkan akses keadilan (access to justice). Pemberian layananbantuan hukum yang dilakukan selama ini masih belum banyak menyentuhkelompok warga Negara yang tidak mampu, sehingga mereka kesulitan untukmengakses keadilan melalui pemberian bantuan hukum karena terbentur olehketidakmampuan mereka untuk menyadari akan hak-haknya secarakonstitusional maupun ketidakmampun mereka dalam bidang ekonomi. Dalamkondisi seperti itu diperlukan layanan bantuan hukum yang mempunyai visi danmisi untuk memberdayakan warga negara yang tidak mampu sehingga merekayang tidak mampu mendapatkan kepastian jaminan implementasi hak-haknyasecara konstitusional. Cita-cita dan amanat konstitusi demikian hanya dapatdiwujudkan dengan melalui system pemberian layanan bantuan hukum yangbaik dan secara menyeluruh yang dituangkan dalam peraturan perundangundangandalam bentuk Undang-undang Bantuan Hukum, sehingga setiapwarga Negara yang tidak mampu, secara konstitusional berhak atas jaminanperlindungan hukum dan jaminan persamaan di depan hukum, sebagai saranapengakuan HAM dapat diwujudkan.

B. Kajian Empiris

  Pemberian bantuan hukum yang dilakukan selama ini belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan untuk memuwujudkan hak-hak konstitusional mereka. Berbagai permasalahan hukum yang menimpa masyarakat miskin di Kabupaten Cilacap banyak tidak terakomodasi karena ketidakpahamana masyarakat akan akses hukum yang mudah, murah dan setara, bahkan ketiadaan biaya untuk melakukan penegakan

  • hukum dan keadilan menjadi penghambat bagi masyarakat yang hak

    hak hukumnya dilanggar.

  Tingkat kemiskinan di Cilacap memang bukan yang tertinggi di Jawa Tengah, tetapi penduduk miskin di Kabupaten Cilacap merupakan ketiga tertinggi di Jawa Tengah sebagaimana tabel di bawah ini. Tingkat kemiskinan Di 35 Kabupaten/Kota Jawa Tengah

  No. Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-rata Kab. Cilacap 21,40 19,88 18,11 17,15 15,92 18,49 1. Kab. Banyumas 22,93 21,52 20,20 21,11 19,44 21,04 2.

  3. Kab. Purbalingga 27,12 24,97 24,58 23,06 21,19 24,18 4.

  Kab. Banjarnegara 23,34 21,36 19,17 20,38 18,87 20,62

  5. Kab. Kebumen 27,87 25,73 22,70 24,06 22,40 24,55 6.

  Kab. Purworejo 18,22 17,02 16,61 17,51 16,32 17,14 7. Kab. Wonosobo 27,72 25,91 23,15 24,21 22,50 24,70

  8. Kab. Magelang 16,49 15,19 14,14 15,18 13,97 14,99 9.

  Kab. Boyolali 17,08 15,96 13,72 14,97 13,88 15,12 10.

  Kab. Klaten 21,72 19,68 17,47 17,95 16,71 18,71 11. Kab. Sukoharjo 12,13 11,51 10,94 11,13 10,16 11,17

  12. Kab. Wonogiri 20,71 19,08 15,67 15,74 14,67 17,17 13.

  Kab. Karanganyar 15,68 14,73 13,98 15,29 14,07 14,75 14.

  Kab. Sragen 20,83 19,70 17,49 17,95 16,72 18,54 15. Kab. Grobogan 19,84 18,68 17,86 17,38 16,14 17,98 16.

  Kab. Blora 18,79 17,70 16,27 16,24 15,11 16,82 17. Kab. Rembang 27,21 25,86 23,40 23,71 21,88 24,41 18.

  Kab. Pati 17,90 15,92 14,48 14,69 13,61 15,32

  19. Kab. Kudus 12,58 10,80 9,01 9,45 8,63 10,09 20.

  Kab. Jepara 11,05 9,60 10,18 10,32 9.38 10,11 21. Kab. Demak 21,24 19,70 18,76 18,21 16,73 18,93 22. Kab. Semarang 11,37 10,66 10,50 10,30 9,40 10,45 23. Kab. Temanggung 16,39 15,05 13,46 13,38 12,32 14,12

  24. Kab. Kendal 17,87 16,02 14,47 14,26 13,17 15,16 25.

  Kab. Batang 18,08 16,61 14,67 13,47 12,40 15,05

  26. Kab. Pekalongan 19,52 17,93 16,29 15,00 13,86 16,52 27.

  Kab. Pemalang 23,92 22,17 19,96 20,68 19,28 21,20 28.

  Kab. Tegal 15,78 13,98 13,11 11,54 10,75 13,03

  29. Kab. Brebes 25,98 24,39 23,01 22,72 21,12 23,44 30.

  Kota Magelang 11,16 10,11 10,51 11,06 10,31 10,63 31. Kota Surakarta 16,13 14,99 13,96 12,90 12,01 14,00 32.

  Kota Salatiga 8,7 7,82 8,28 7,80 7,11 7,90

  33. Kota Semarang 6,00 4,84 5,12 5,68 5,13 5,35 34.

  Kota Pekalongan 10,29 8,56 9,36 10,04 9,47 9,54 35.

  Kota Tegal 11,28 9,88 10,62 10,81 10,04 10,53 Sumber : RPJMD Jawa Tengah 2013.

  Berdasarkan Tabel diatas, sebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukkan bahwa masih terdapat 15 kabupaten dengan angka kemiskinan di atas rata-rata provinsi dan nasional, sehingga masih perlu upaya percepatan penurunan Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah. Persentase penduduk miskin terbesar pada Tahun 2012 terdapat di Kabupaten Wonosobo sebesar 22,50%, Kebumen sebesar 22,40%, dan Rembang sebesar 21,88%. Dilihat dari jumlah penduduk miskin, kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Brebes sejumlah 364.900 orang, Banyumas sejumlah 304.000 orang, dan Cilacap sejumlah 260.900 orang. Data jumlah orang miskin di Cilacap cenderung turun sebagaimana tabel di bawah ini :

  Kabupaten/Kota Batas Kemiskinan (Rp/Kap/bl) Jumlah Pddk Miskin

  (000 org) Persentase Pddk Miskin

  Poverty Line Number of Percentage of

  Population Population Regency/City (Rp/Cap/Month) Below of Poverty

  02. Kab. Banyumas 249 807 271 800

  10 23,0 6 21,1

  00 184, 90 181,

  265 262 196,

  03. Kab. Purbalingga 230 461 247 508

  4 18,44

  80 21,1 1 19,4

  51 309, 80 296,

  295 742 328,

  2 15,24

  Line (Thousand) Below of Poverty Line 201

  70 17,1 5 15,9

  95 265, 70 255,

  256 615 281,

  01. Kab. Cilacap 224 530 240 025

  1 201 2 2013

  2 201 3 201

  3 201 1 201

  1 201 2 201

  9 20,53

04. Kab.

  369 221 056 177,

  315 566 203,

  7 13,96

  09. Kab. Boyolali 223 755 235 399

  247 845 139,

  52 131, 50 126,

  50 14,9 7 13,8

  8 13,27

  10. Kab. Klaten 275 002 296 530

  05 191, 30 179,

  58 169, 40 171,

  50 17,9 5 16,7

  1 15,60

  11. Kab. Sukoharjo 240 711 259 184

  279 400 91,9

  7 85,7 84,1 11,1 3 10,1

  6 9,87

  12. Kab. Wonogiri

207 221 235 146, 137, 132, 15,7 14,6

14,02

  00 15,1 8 13,9

  235 430 179,

  31 167, 00 166,

  Banjarnegara 192 303 205

  80 20,3 8 18,8

  7 18,71

  05. Kab. Kebumen 234 005 250 413

  267 763 279,

  42 262, 80 251,

  10 24,0 6 22,4

  21,32

  273 481 121,

  08. Kab. Magelang 204 430 218 950

  94 114, 80 109,

  00 17,5 1 16,3

  2 15,44

  07. Kab. Wonosobo 226 827 242 047

  258 522 182,

  95 172, 40 170,

  10 24,2 1 22,5

  22,08

  06. Kab. Purworejo 235 459 254 314

  496 019 728

  22. Kab. Semarang 227 471 244 762

  1 12,94

  19. Kab. Kudus 256 745 276 317

  299 097 73,5

  9 69,3 70,1 9,45 8,63 8,62

  20. Kab. Jepara 242 963 263 266

  285 287 113,

  35 107, 00 106,

  90 10,3 2 9,38 9,23

  21. Kab. Demak 254 441 276 041

  299 773 192,

  47 181, 60 172,

  50 18,2 1 16,7

  3 15,72

  263 352 95,9

  12 165, 00 157,

  9 90,6 83,2 10,3 9,40 8,51 23.

  Kab. Temanggung 198

  888 212 487 229

  548 94,9 2 89,5 91,1 13,3

  8 12,3 2 12,42

  24. Kab. Kendal 234 475 253 276

  275 016 128,

  58 121, 20 117,

  70 14,2 6 13,1

  7 12,68

  25. Kab. Batang 184 592 195 983

  208 671 95,3

  1 89,8 87,5 13,4 7 12,4

  90 14,6 9 13,6

  314 609 175,

  37

  2 15,93

  90

  20

  4

  7

  13. Kab. Karanganyar 236 093 255 072

  275 865 124,

  49 117, 40 114,

  40 15,2 9 14,0

  7 13,58

  14. Kab. Sragen 222 267 234 254

  247 495 154,

  26 145, 30 139,

  00 17,9 5 16,7

  15. Kab. Grobogan 242 212 260 435

  18. Kab. Pati 264 372 288 271

  278 786 227,

  78 214, 60 199,

  00 17,3 8 16,1

  4 14,87

  16. Kab. Blora 206 016 221 088

  237 850 134,

  93 127, 10 123,

  80 16,2 4 15,1

  1 14,64

  17. Kab. Rembang 240 859 261 156

  284 160 140,

  38 132, 40 128,

  00 23,7 1 21,8

  8 20,97

  11,96

  26. Kab. Pekalongan 249 958 270 026

  333 553 25,9

  302 884 13,3

  1 12,6 11,5 7,80 7,11 6,40

  33. Kota Semarang 272 996 297 848

  328 271 88,4

  5 83,3 86,7 5,68 5,13 5,25

  34. Kota Pekalongan 270 663 294 586

  322 313 28,2

  8 27,3 24,1 10,0 4 9,47 8,26

  35. Kota Tegal 280 349 305 818

  2 24,4 21,6 10,8 1 10,0

  1 11,74

  4 8,84 Jawa Tengah 217 440

  233 769 261 881

  5 255,

  96

  4 952,

  10

  4 811, 30 16,2

  1 14,9 8 14,44

  Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah Source : BPS-Statistics Indonesia of Jawa Tengah Province

  32. Kota Salatiga 254 726 277 039

  371 918 64,5 60,7 59,7 12,9 12,0

  293 039 125,

  12 151, 70 149,

  94 118, 60 116,

  50 15,0 13,8 6 13,51

  27. Kab. Pemalang 235 316 251 986

  271 861 261,

  20 245, 90 246,

  80 20,6 8 19,2

  8 19,27

  28. Kab. Tegal 222 700 239 207

  258 366 161,

  80 11,5 4 10,7

  31. Kota Surakarta 326 233 361 517

  5 10,58

  29. Kab. Brebes 261 160 281 601

  307 238 394,

  42 371, 40 367,

  90 22,7 2 21,1

  2 20,82

  30. Kota Magelang 280 877 313 250

  350 554 13,0

  9 12,3 11,8 11,0 6 10,3

  1 9,80

  Permasalahan hukum yang menimpa warga cilacap, begitu

  

beragam mulai dari permasalahan tanah, tenaga kerja (TKI maupun

lokal), perkawinan, maupun permasalahan lainnya. Diantara yang

menonjol adalah : Seperti sengketa tanah timbul di Laguna Segara

Anakan antara warga dengan Perhutani, sengketa tanah antara warga

Desa Cimrutu Kecamatan Patimuan dengan Perhutani, serta antara

warga Desa Sidaurip, Cisumur, dan Gintungreja Kecamatan

Gandrungmangu dengan Perhutani.

  Di Laguna Segara Anakan, sengketa tanah timbul terjadi karena

warga menganggap tanah tersebut merupakan lahan pertanian, padahal

tanah tersebut berada dalam penguasaan perhutani karena timbul di

kawasan hutan mangrove. Sedangkan untuk kasus sengketa tanah di

Desa Cimrutu, disebabkan karena dahulu pada zaman revolusi fisik ada

beberapa warga yang bermukim dalam kawasan hutan. Lambat laun

kawasan tersebut semakin berkembang hingga akhirnya kawasan

tersebut ditetapkan sebagai desa dan diberi nama Desa Cimrutu. Saat

ini, desa tersebut dihuni tak kurang dari 900 keluarga. Permasalahan

muncul karena desa tersebut berada di dalam kawasan hutan. Padahal

apabila mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, disebutkan bahwa kawasan hutan tidak boleh

beralih fungsi. "Sedangkan di Desa Cimrutu, kawasan hutan telah

beralih fungsi menjadi permukiman. Sedangkan kasus di Desa Cisumur

dan Sidaurip di Kecamatan Gandrungmangu, disebabkan karena ada

kawasan hutan yang berubah menjadi lahan pertanian. Beberapa kali

Perhutani berusaha menguasai kembali lahan tersebut selalu dihalangi

oleh warga karena mereka merasa lebih berhak menguasai lahan itu.

Alasannya karena warga telah menguasi lahan itu selama bertahun-

tahun.

  Nelayan di Kabupaten Cilacap seringkali mengalami permasalahan mengenai pencemaran lingkungan serta hak

  • – hak nelayan yang

    termarjinalkan. Sedangkan permasalahan Tenaga kerja Indonesia asal

    Cilacap mengalami permasalahan hukum mulai dari perekrutan,

    penempatan sampai kembali ke tanah air, baik sebagai pelaku maupun

    korban.

  Fakta empiris menunjukkan betapa sangat dibutuhkan peran LSM,

BKBHPendidikan Tinggi Hukum maupun LBH milik Ormas Keagamaan

maupun Sosial,maupun Praktisi, yang mempunyai komitmen dalam

pemberian bantuan hukumkepada warga Negara yang tidak mampu.

Fakta-fakta empiris tersebut misalnya,pengalaman yang dikemukakan

oleh Dorma Sinaga dan Lambok Gultom,masing-masing sebagai Ketua

dan Sekretaris Asosiasi Penasehat Hukum danHAM (APHI), pada saat

memberikan keterangan dalam sidang gugatan judicialreview di

Mahkamah Konstitusi RI atas pasal 31 UU no 18 tahun 2003, pada pokoknya sebagai berikut : Pelanggaraan terhadap hak-hak rakyat

masihberjalan dimana-mana, pembelaan terhadap hak-hak rakyat

  

banyak dilakukanoleh LBH atau LSM atau Kampus. Peran mereka

memberikan suatu pelayananhukum kepada masyarakat, mereka

melakukan penanganan perkara ataumelakukan advokasi terhadap hak-

hak rakyat dengan litigasi maupun nonlitigasi.

  Permasalahan hukum tersebut rata

  • – rata menimpa masyarakat

    miskin di Kabupaten Cilacap, sehingga perlu adanya bantuan dan

    pendampingan hukum oleh advokat maupun lembaga bantuan hukum

    secara Cuma – Cuma. Lembaga bantuan hukum yang melayani

    masyarakat miskin di cilacap yang terakreditasi, saat ini hanya

    berjumlah 3 LBH, yaitu LBH Wahana (berkantor pusat di Cilacap), LBH

    Perisai Kebenaran (kantor Cabang/Perwakilan) dan LKBH STAIN

    Purwokerto (kantor Cabang/Perwakilan), sedangkan lembaga-lembaga

    bantuan hukum lainnya belum terakreditasi di Kementerian Hukum dan

    HAM, sehingga belum dapat mengakses program bantuan hukum bagi

    masyarakat miskin. Untuk itu perlunya dorongan bagi Lembaga Bantuan

    Hukum yang belum terakreditasi, khususnya milik ormas dan perguruan

    tinggi untuk melakukan proses akreditasi.
    •  --

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT Sebagai bagian dari produk peraturan perundang-undangan, peraturan daerah haruslah mendasarkan pada landasan yuridis yang kuat. Landasan yuridis yang dimaksud disini adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan. Kajian ini akan memperlihatkan harmonisasi dan singkronisasierah suatu

  

peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan lain yang

mengatur hukum yang secara hirarkhis bahwa hukum yang lebih rendah

bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih atas.

  Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan

Perundang-undangan diatur pada pasal 10 yat (1) yang secara hirarkhis

diatur sebagai berikut: Jenis dan peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

  3. Peraturan Pemerintah

  4. Peraturan Presiden

  5. Peraturan Daerah Kajian ini akan memberikan gambaran secara utuh/komprehensif

mengenai pengaturan Bantuan Hukum yang telah diatur dalam peraturan

perundang- undangan yang telah ada. Dari hasil kajian ini dapat diketahui

apakah sudah cukup memadai atau belum cukup memadai pengaturan

tentang Bantuan Hukum dalam peraturan perundaang-undangan yang

telah ada, dan oleh karenanya menjadi perlu atau tidak kelahiran Undang-

Undang tentang Bantuan Hukum. Secara metodis, kajian ini akan

dilakukan dengan cara harmonisasi atau sinkronisasi ketentuan tentang

Bantuan Hukum yang telah ada dan diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

  Secara substansi, Raperda tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat

Miskin ini dibuat dalam rangka memberikan penjabaran secara teknis

tentang kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Cilacap terkait dengan

  

penyelenggaraanri hak konstitusional warga Negara. Oleh karena itu,

Raperda Bantuan hukum ini memiliki keterkaitan dengan peraturan

perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

  

Memperoleh bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga

Negara .Dalam Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

disebutkan bahwa setiap orang termasuk orang yang tidak mampu,

mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak

mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan.

Karena sangat sulit bisa dipahami secara konstitusional, bahwa orang

miskin dapat memperoleh jaminan terhadap hak pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

dihadapan hukum, tetapi mereka orang yang tidak mampu dan tidak pula

diberi akses terhadap keadilan, melalui lembaga- lembaga pengadilan

negara (litigasi) maupun proses non litigasi. Penjaminan Negara atas hak

dasar berupa jaminan adanya perlakuan Negara secara setara dan

berkeadilan sangat jelas dinyatakan oleh UUD 1945 sebagaimana

disebutkan dalam pasal 28D yang berbunyi. Ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

  Ayat (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Dalam konteks demikian, sangat diperlukan kehadiran Organisasi Bantuan

Hukum (OBH), yang memang sejak awal di desain untuk melakukan

pekerjaanhukum untuk orang yang tidak mampu. Agar dengan demikian

orang yang tidak mampu dapat dijamin hak-haknya melalui akses terhadap

keadilan dengan mendapatkan bantuan hukum dari Organisasi Bantuan

Hukum (OBH) secara cuma-cuma. Kehadiran OBH adalah implementasi

kewajaiban Negara untuk membantu Negara dalam tugas pemberian

bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu. Oleh karena fungsi dan

tugas yang dilakukan oleh PBH adalah membantu Negara, bagi terciptanya

kesejahteraan kehidupan masyarakatnya khususnya dalam jaminan hak-

hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka sudah seyognyanya

apabila visi dan misi yang diusung oleh PBH dalam melakukan tugas

bantuan hukum Cuma-Cuma kepada orang tidak mampu.

  Organisasi Bantuan Hukum (OBH) sejak awal mempunyai komitmen

memberikan bantuan hukum kepada orang tidak mampu secara cuma-

cuma, tetapi Advokat sejak awal didesain untuk menjadi orang yang

berprofesi member jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan,

berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum , menjalankan

kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum

lain untuk kepentingan hukum klien, secara professional dengan

mendapatkan honorarium dari Klien, disamping memang Advokat juga

mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada pencari keadilan yang tidak mampu, akan tetapi pengaturan lebih

lanjut mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma yang juga harus

dilakukan oleh Advokat belum ada.

  Kehadiran Advokat dengan OBH nya sebagaimana ketentuan UU

No18 tahun 2003, di desain sejak awal bahwa tugas bantuan hukum cuma-

cuma tidak dipahami sebagai sebuah profesi dan mata pencaharian/

pekerjaan, yang di dalamnya selalu ada motif mendapatkan imbalan berupa

gaji atau pendapatan, tetapi Advokat adalah pekerjaan, profesi atau mata

pencaharian sehingga selalu terdapat motif imbalan atau honorarium.

  Terhadap ketentuan pasal 28 D ayat (2) tersebut, memberikan hak

kepada PBH dalam melakukan tugas bantuan hukum, mendapat imbalan

dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terbentuk

antara OBH dengan Orang tidak mampu yang mendapatkan bantuan

hukum. Oleh Karenanya, adalah menjadi kewajiban Negara untuk

menyediakan anggaran bagi kepentingan pemberian bantuan hukum yang

dilakukan oleh OBH. Sebab sangat tidak mungkin pula, akan berjalan

dengan baik dan optimal aktifitas OBH dalam melakukan tugas bantuan

hukum, apabila tidak mendapatkan dukungan khususnya anggaran dari

Negara.. Imbalan tidak berartidi sama artikan dengan honorarium yang

diterima Advokat dari Kliennya.