POSMODERNISME DAN MASA DEPAN HUMANIORA
POSMODERNISME DAN MASA DEPAN HUMANIORA
Manneke Budiman
Universitas Indonesia
[email protected]
Tulisan pendek ini adalah refleksi intelektual saya atas posmodernisme sebagai teori dan
metodologi yang berdampak sangat besar dalam ilmu-ilmu humaniora dewasa ini. Gagasangagasan
yang
ditelurkan
dalam
lingkup
posmodernisme
mencengangkan
dan
telah
menggoyahkan pondasi banyak disiplin keilmuan, khususnya di bidang ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, tetapi posmodernisme juga menyisakan banyak kegelisahan terkait apa kemudian
terjadi dengan nasib ‘ilmu-ilmu’ dan ‘pengetahuan’ sebagai sarana-sarana untuk memahami
realitas. Terlebih lagi, apakah merasuknya posmodernisme di mana-mana itu juga menjadi
isyarat bagi akhir kehidupan humaniora sebagai ilmu yang mencoba menjelaskan manusia
sebagai makhluk sosial dengan segala tindak serta perilakunya.
Dalam kerja akademik saya, saya dapati posmodernisme telah membukakan banyak pintu
kemungkinan untuk mengerti dengan cara-cara berbeda yang segar dan tak terbayangkan
sebelumnya. Dunia semenjak posmodernisme tidak lagi diimajinasikan dengan cara yang sama
dalam benak kita. Kita ibarat memandang realitas dengan cara melampaui materialitasnya,
seperti memandang suatu objek secara tembus pandang, hingga ke apa yang ada di balik objek
itu untuk menemukan sesuatu yang berbeda. Ini hanya dapat terjadi apabila kacamata yang
dipakai betul-betul menyajikan sesuatu yang baru dan radikal. Oleh sebab itu, pada awal
pertumbuhannya, posmodernisme memang menjanjikan suatu perubahan cara pandang yang bisa
dikatakan ‘revolusioner’.1
Kendati demikian, sulit dibantah bahwa kegamangan kita dalam berinteraksi dengan
realitas sebagai akibat kehadiran posmodernisme menjadi suatu kegamangan berkepanjangan
dan tak diketahui obatnya. Materialitas dari realitas hidup kita adalah sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dari pengalaman inderawi serta biologis kita, tetapi posmodernisme melakukan
tekstualisasi atas materialitas itu, atau menjadikannya sebagai diskursus, dan keduanya ini
dibangun pertama-tama di atas basis bahasa, yang memediasi kita dengan realitas. Secara
gagasan, hal ini tentu saja mungkin untuk dibayangkan, tetapi pada tataran guna, manfaat apa
1 Lihat pembahasan Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya, Postmodernisme: Teori dan Metode (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014).
1
yang dapat diambil dari pemikiran yang mengandung potensi radikal namun dadam prosesnya
berujung pada jalan buntu ini?
Seperti telah ditunjukkan oleh banyak orang, istilah posmodernisme kini sudah
merambah banyak aspek dan maknanya pun bisa bermacam-macam seturut konteks
kemunculannya. Apa sebab? Sebelum pemikiran posmodernis lahir, paradigma modernis telah
berurat akar secara mendalam dalam dunia pemikiran serta praktik-praktik sosial. Modernisme
didirikan di atas tiang-tiang utama yang solid: rasionalisme (yang meliputi objektivisme dan
positivisme), linearitas (kemajuan), dan universalisme (dalil-dalil umum tentang fenomena).
Manusia modern memiliki kepercayaan diri amat kuat pada kemampuannya sendiri untuk
memecahkan masalah-masalah kehidupan akibat berpegang pada prinsip-prinsip dasar ini.
Mereka percaya bahwa objektivitas dapat dicapai karena selalu ada totalitas makna (dan
mungkin juga semacam ‘tujuan’) di balik segala sesuatu; bahwa sejarah selalu bergerak ke
depan, selaras dengan ‘kodrat’ manusia untuk menemukan hakikat dan rahasia hidupnya sendiri;
dan bahwa ada prinsip-prinsip alami yang dimiliki bersama oleh semua orang, meskipun
etnisitas, ras, kebangsaan, dan geografi membuat mereka berbeda-beda dalam banyak hal.
Memang, tiang-tiang utama penyangga hidup manusia modern ini terbukti telah turut
mengubah wajah dunia: dari penjelajahan samudra, penemuan-penemuan iptek, humanisme dan
pencerahan, sampai kebangkitan sentimen nasional, anti-kolonialisme, dan semangat untuk
mengubah serta membangun di semua bidang. Modernisme percaya pada totalitas dalam segala
yang dikerjakan, dan bahwa setiap produk pikiran serta tangan manusia pada hakikatnya
membuat martabat manusia menjadi lebih mulia. Namun, modernisme juga menolak hal-hal
yang dipandangnya mengancam peradaban manusia atau bisa menjatuhkan martabat manusia
dan hilangnya kemanusiaan. Sikap tanpa kompromi dan hitam-putih dalam menyikapi berbagai
ihwal kehidupan ini mau tidak mau membuat modernism harus mempercayai adanya
pengetahuan yang absah dan kebenaran yang ultimat. Tanpa itu, modernisme mustahil bisa
mengambil posisi tegas.
Dalam bidang seni dan sastra, misalnya, para seniman dan sastrawan modernis tidak
pernah ambigu dalam memosisikan diri mereka di tengah kancah masyarakat yang bergolak.
Mereka dengan sengaja menjaga jarak dari massa agar tidak dihanyutkan oleh kebodohan dan
kegilaan massa, walaupun risikonya adalah mereka menjadi terasing dan karya-karya mereka
menjadi sulit dipahami. Para seniman dan sastrawan modernis memandang diri mereka sebagai
penjaga kewarasan akal sehat masyarakat dan, dengan demikian, massa secara tersirat dipahami
2
sebagai sekumpulan besar manusia yang tidak memiliki cukup daya kritis untuk dapat
menyepakati apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Salah satu kritik posmodernis terhadap
kesenian dan kesusastraan modernis adalah bahwa, dengan bersikap demikian, seni dan sastra
hasil karya mereka akan selalu bersifat marjinal dan tidak pernah bisa efektif dalam mengubah
atau membentuk masyarakatnya. Sementara itu, terjangan arus kebudayaan massa yang dinilai
rendahan terus terjadi tanpa bendungan yang cukup kuat untuk menahannya. Dengan kata lain,
modernisme dinilai telah gagal dalam mewujudkan impian perubahan sosial.
Selain itu, modernisme juga dituduh tidak menyadari kontradiksi-kontradiksi internalnya
sendiri sehingga mudah menjelma menjadi suatu kekuatan destruktif. Imperialisme,
kolonialisme, dominasi, ketimpangan sosial yang menyebabkan lahirnya jurang antara kaya dan
miskin, adalah sebagian hal negatif yang ditudingkan orang kepada modernisme. Prinsip bahwa
untuk membangun sesuatu yang sungguh-sungguh baru haruslah melalui penghancuran atas
segala sesuatu yang lama, yang dalam praktiknya kerap dimanifestasikan dalam programprogram developmentalisme, telah menimbulkan kehancuran sosial di banyak tempat dengan
kerugian jiwa manusia yang tidak sedikit.
Bahkan, kritikus marxis Terry Eagleton tanpa sungkan menuduh posmodernisme sebagai
strategi baru kaum liberal untuk membungkam daya kritis. 2 Dengan tidak memberikan jalan
keluar bagi kebuntuan relasi antara pengetahuan/kebenaran dan realitas, posmodernisme secara
diam-diam berniat mematikan semangat perlawanan dengan dalih bahwa sistem yang hendak
dilawan sesungguhnya hanya seolah-olah sebuah sistem namun tak sungguh-sungguh ada.
Eagleton secara tak langsung menyerang Derrida, yang menjelaskan sebab-musabab kekalahan
gerakan perlawanan mahasiswa Prancis pada 1968 dengan dalih itu.
Secara umum, ada dua arus dominan dalam posmodernisme, khususnya di bidang ilmuilmu sosial dan humaniora: yang pertama adalah kelompok yang dianggap cukup ekstrem dari
segi curah pemikirannya, yaitu pertama, kelompok yang berpatokan pada bahasa dan
menganggap tidak ada hal apapun di luar teks. Karena bahasa adalah satu-satunya akses kita ke
realitas, maka segala sesuatunya adalah teks atau terstruktur seperti teks. Dua sosok terkemuka
yang dapat dikategorikan dalam kelompok ini adalah Jacques Derrida, penelur teori
dekonstruksi, dan Jacques Lacan, yang menerapkan pascastrukturalisme dalam psikoanalisis.
Sementara itu, kelompok yang lebih luwes dalam memahami posmodernisme dan
mencoba menggunakannya dalam kajian atas berbagai fenomena sosial, yang khususnya diwakili
oleh Michel Foucault dan Jean-François Lyotard, yang tetap menempatkan bahasa pada posisi
2 Dalam sebuah kuliah umum pada musim panas 1993 di Northwestern University, Chicago, Illinois, USA.
3
tak kalah penting, namun juga tertarik untuk menggali hubungan-hubungan yang mungkin
terbentuk antara bahasa di satu pihak dan praktik sosial di lain pihak sebagai unsur-unsur
pembentuk diskursus. Bagaimana realitas dikonstruksi, dan bagaimana konstruksi realitas
tersebut dikukuhkan serta diterima sebagai ‘kebenaran’. Sebaliknya, Derrida dan Lacan sama
sekali tidak menganggap realitas sebagai sesuatu yang relevan untuk dipertimbangkan, serta
menolak sepenuhnya untuk membicrakannya dalam teori-teori mereka.
Dalam peta teoritis imu-ilmu sosial dan humaniora, posmodernisme ditempatkan secara
berseberangan dari teori-teori kritis, khususnya yang dikembangkan oleh kelompok Frankfurt
sebelum Perang Dunia II, yang mencoba menerapkan teori ekonomi marxis dalam kajian-kajian
kritis atas kebudayaan. Bila teori-teori kritis sangat berhasrat untuk mencari terobosan bagi
dualisme antara teori dan praksis dalam kajian-kajian kebudayaan, posmodernisme dengan
sengaja justru hendak memutuskan sama sekali hubungan antara keduanya.
Bila teori-teori kritis berpendapat bahwa kebudayan telah gagal menjadikan kehidupan
menjadi indah, posmodernisme mempertanyakan konsep keindahan, yang sepertinya dipakai
begitu saja tanpa sikap kritis oleh para pemikir Frankfurt sebagai sesuatu yang identik dengan
estetika. Padahal, estetika itu sendiri sebagai sebuah bangunan atau sistem pengetahuan harus
digugat kerangka logikanya. Pemahaman salah kaprah kelompok Frankfurt atas apa yang sedang
terjadi dengan kebudayaan menjelang berkuasanya fasisme di Eropa membuat mereka terjebak
tanpa jalan keluar di antara dua setan yang sama-sama jahat, yaitu fasisme dan komunisme.3
Jika kecurigaan Eagleton terhadap posmodernisme dianggap masuk akal, mungkinkah
posmodernisme memang adalah perwujudan ideal dari liberalisme, yang mengail keuntungan
dari tindak saling menghancurkan antara fasisme dan komunisme? Seperti apa yang dituduhkan
pada posmodernisme, yakni ekspresi kekritisan yang di bawah permukaannya menyembunyikan
ketidaksukaan terhadap sikap kritis serta berkehendak mengekalkan status quo, liberalisme
memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada manusia untuk melakukan segala sesuatu,
sehingga kebebasan itu pada akhirnya mati dengan sendirinya karena tidak lagi relevan untuk
disikapi secara serius, apalagi diperjuangkan mati-matian. Manusia seakan-akan memiliki pilihan
tanpa batas, tetapi sesungguhnya pilihan-pilihan itu didiktekan atas dirinya, dan ia sama sekali
tidak memiliki kebebasan untuk memilih dalam arti yang sejati. Itu adalah sebentuk kebebasan
3 Ulasan yang sangat baik dan mendalam dalam karya berbahasa Indonesia tentang krisis kebudayaan dan arus
pemikiran teori-teori kritis dari kelompok Frankfurt dapat dijumpai, antara lain, dalam buku Greg Sutomo, Krisis
Seni, Krisis Kesadaran (Yogyakarta: Kanisius, 2003).
4
yang digunakan sebagai kedok bagi represi. Pemikir marxis Fredric Jameson menyebut gejala ini
sebagai bagian dari “logika budaya kapitalisme mutakhir”.4
Yang dijadikan sasaran kegusaran Eagleton, Jameson, dan kritikus marxis lain dalam hal
ini adalah posmodernisme ekstrem yang diwujudkan oleh postrukturalisme. Tokoh posmodernis
lain, seperti Foucault, misalnya, sebetulnya memiliki beberapa kemiripan ide dasar dengan para
teoritikus marxis. Konsep diskursus atau wacana yang ditelurkan Foucault, dalam banyak aspek
pentingnya, masih dapat ditelusuri jejak-jejaknya dalam gagasan marxis tentang ideologi
(sebagai “kesadaran palsu”), dan ide Foucault tentang wacana dominan yang berhasil
menciptakan ‘efek kebenaran’ menyisakan gaung ide marxis tentang hegemoni yang pernah
dicetuskan Gramsci. Tentu saja, kita bisa berdebat dan menemukan banyak perbedaan, tetapi
paralelisme pemikiran dan kemungkinan konvergensi antara kedua kutub yang tampaknya
bersebererangan itu terlalu nyata untuk dipungkiri.
Foucault tidak sedeterministik kaum marxis dalam menyikapi relasi antara ideologi dan
subjeknya karena, bagi Foucault, subjek terletak di dalam wacana, bukan di luarnya. Sementara
itu, bagi teoritikus marxis seperti Althusser, subjek senantiasa dicoba untuk ditarik ke dalam
medan pengaruh ideologi. Ironisnya, pemikir seperti Althusser tidak percaya bahwa manusia bisa
sepenuhnya terlepas dari kendali ideologi, sedangkan Foucault justru berbicara tentang
bagaimana suatu wacana terbentuk dan berubah dalam kerangka historis. Subjek dalam wacana
tidak dinafikan peranannya dalam perubahan wacana, walaupun hal ini tidak banyak dikupas
oleh Foucault.
Bagi postrukturalis seperti Lacan, subjek adalah apa yang terperangkap di dalam ranah
simbolik dan tak dapat mundur dari situ ataupun keluar dari situ tanpa berisiko mengalami
neurosis atau psikosis. Subjek menjadi petanda yang terus menggelincir di atas rantai
pemaknaan, mengira pada suatu titik di masa depan ia akan dapat bersatu dengan petandanya.
Selama subjek masih memiliki ilusi semacam ini, justru ia masih masuk dalam kategori waras.
Para teoritikus marxis akan segera menangkap ini sebagai apa yang dalam skema pemikiran
mereka disebut dengan subjek yang terinterpelasi atau terhegemoni oleh ideologi. Dengan cara
agak longgar, kita pun dapat menemukan kemiripannya dengan konsepsi subjek-dalam-wacana
yang digagas Foucault. Namun, seperti saya sebutkan di atas, postrukturalis seperti Lacan tidak
akan peduli dengan relasi antara subjek dan hal apapun di luar dirinya sebab bahkan psike si
4 Istilah ini mula-mula digunakan oleh Fredric Jameson untuk merujuk pada posmodernisme dalam tulisannya yang
terbit di New Left Review pada 1984, “Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism” (hal. 53 – 92).
5
subjek pun sudah terstruktur dan beroperasi seperti teks atau, dengan kata lain, telah dibentuk
oleh ranah simbolik yang tidak dapat dihindarinya kecuali jika ia bersiap menerima kegilaan.
Berbagai pernyataan dan argumentasi postmodern ini, selain menjadi sumber perseteruan
dengan kubu marxisme, juga kerap dinilai sebagai penyebab merebaknya konstruktivisme sosial,
yang kini telah menemukan pijakan cukup ajeg dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Konstruktivisme sosial membawa perubahan besar-besaran dalam cara ilmu pengetahuan
memahami realitas sosial. Kebudayaan tidak lagi diartikan sebagai pola-pola makna yang
diwariskan secara historis lewat berbagai ekspresi simbolik dan digunakan manusia untuk
melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan, sebagaimana pernah
dirumuskan oleh Clifford Geertz,5 melainkan sebagai ajang konstruksi dan kontestasi maknamakna yang tidak pernah berhenti ataupun selesai.
Realitas sosial kita, dengan demikian adalah sebuah bangunan kenyataan yang ada bukan
karena sebab-sebab alami tetapi sebagai hasil rekayasa suatu kekuasaan, yang kemudian kita
alami dan jalani sebagai ‘kenyataan hidup’. Pengertian baru atas karakteristik realitas ini
terutama tumbuh pesat pada 1970an dan 1980an. Sejak itu, subur bermunculan kajian-kajian
baru yang sebelumnya tidak berkembang atau tidak dipandang penting, seperti seksualitas
manusia, identitas gender, kritik atas imperialisme kultural, serta kajian atas pengalaman seharihari yang tampak banal.
Secara keseluruhan, konstruktivisme sosial ini menolak keyakinan bahwa kita mampu
memahami sesuatu tentang kehidupan tanpa dipengaruhi oleh opini dan prasangka sosial.
Akibatnya, mustahil bagi kita untuk dapat membuat klaim-klaim atas kebenaran. Di mata mereka
yang khawatir akan ancaman posmodernisme, gejala ini dilihat sebagai kian melebarnya jurang
antara teori dan praksis, yang dulu dengan sekuat tenaga hendak dipersempit, atau bahkan jika
bisa dijembatani, oleh para pemikir Frankfurt. Para praktisi humaniora pun kian mengalami
kesulitan untuk dapat menjelaskan apa yang sedang mereka tekuni kepada orang luar atau orang
awam. Sebagian kritikus bahkan mengaitkan perkembangan ini dengan makin surutnya minat
orang untuk belajar humaniora serta makin kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk bidangbidang humaniora di perguruan tinggi. Pada tataran kebijakan, masukan-masukan para praktisi
humaniora tidak lagi diperhitungkan secara serius karena dinilai terlalu terperangkap dalam
hutan rimba intelektual yang terlalu rumit untuk dapat dengan segera diterjemahkan ke tataran
aksi.
5 Dalam buku Clifford Geertz yang hingga kini masih menjadi pegangan di banyak departemen antropologi, The
Interpretation of Culture (New York: Pantheon, 1973).
6
Di dalam wujudnya yang paling ekstrem, pernyataan-pernyataan yang dirumuskan oleh
para praktisi humaniora tidak lagi dikenali sebagai berbasis ilmiah tetapi lebih sarat dengan
nuansa etis dan politis yang dikemas seolah-olah ilmiah. Pernyataan-pernyataan itu tak jarang
mengandung kontradiksi yang cukup kentara, tetapi yang dalam skema konstruktivisme sosial
malah dipahami sebagai bersifat emansipatoris. Edward Slingerland, seorang kritikus
posmodernisme lain, mengambil sebuah contoh pernyataan yang dibuat oleh Roland Barthes
tentang menulis, yakni: “Menulis sama sekali bukanlah sarana untuk berkomunikasi.”
Slingerland beranggapan pernyataan ini berkontradiksi dengan dirinya sendiri, dan menjadi sulit
untuk membedakan apa yang disebut dengan permainan diskursif dari masturbasi intelektual.6
Pernyataan-pernyataan yang tidak koheren seperti inilah yang sering kali disajikan
sebagai suatu ‘praktik pembebasan’ (dari relasi kuasa yang membelenggu struktur suatu wacana).
Namun, menurut Slingerland, persoalannya adalah bagaimana tujuan pembebasan itu bisa
dipertahankan jikalau pada saat bersamaan dilakukan penyangkalan terhadap kemungkinan
untuk memahami apapun? Siapa yang akan meladeni kita secara serius? Humaniora, tanpa
disadari, makin tenggelam dalam keasyikan mengutak-atik bentuk secara pedantik serta
kecanduan permainan imajinasi dan bahasa yang tak berbatas.
Pada kesempatan lain, saya pernah mengemukakan bahwa, bagaimanapun juga, ilmuilmu sosial dan humaniora adalah kajian tentang manusia, dan tantangan yang dihadapi ilmuilmu ini adalah bagaimana pengetahuan yang dihasilkannya mampu turut mengubah realitas
sosial yang timpang dan tak berkeadilan menjadi realitas yang lebih memasukkan kelompokkelompok marjinal di dalamnya. Posmodernisme dalam wujudnya yang esktrem mereduksi
manusia menjadi teks, dan ini adalah persoalan sangat serius. Bukan hanya humaniora yang
terancam kehilangan hakikatnya sebagai ilmu tentang kehidupan, tetapi para praktisi dan
ilmuwannya pun terancam menjadi “anti-humanis”, kehilangan empatinya pada manusia dalam
materialitas kehidupan sehari-hari yang konkret. 7 Namun, tantangan terhadap ilmu-ilmu sosial
dan humaniora yang terlalu kental dipengaruhi oleh posmodernisme juga datang dari bidangbidang ilmu lain dalam teritori ilmu dasar. Temuan-temuan empirik dan berbasis eksperimentasi
laboratorium atas tubuh manusia dalam neurosains, psikologi kognitif, dan biologi evolusioner
6 Lihat Edward Slingerland, What Science Offers the Humanities: Integrating Body and Culture (New York:
Cambridge University Press, 2008).
7 Pada acara peluncuran Jurnal Kebudayaan Kalam online di Salihara, Jakarta, pada 16 Juli 2013, dalam makalah
saya berjudul “Perjalanan Para Intelektual dan Pencarian Kembali akan Kemanusiaan: Menyambut Peluncuran
Jurnal Kebudayaan KALAM (daring).”
7
secara langsung menghadirkan gugatan terhadap premis-premis tentang tubuh, seksualitas,
kesadaran, dan jiwa yang dibuat dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan humaniora berbasis
posmodernisme.
Ini semua membuat keabsahan dalil-dalil tentang manusia dan perilakunya dalam ilmuilmu sosial dan humaniora kian tajam dipertanyakan. Walaupun kita tidak ingin kembali ke masa
ketika positivisme mendominasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang berbasis pada asumsi
umum bahwa kita selalu dapat menemukan pola-pola umum yang secara berulang muncul dan
menjadi prinsip dasar bagi pemahaman kita akan subjek kajian kita, kita juga tidak ingin ilmuilmu sosial dan humaniora tergiring hingga sebegitu jauh dari hubungannya dengan ilmu-ilmu
dasar. Temuan-temuan ilmu-ilmu dasar tidak dapat diabaikan begitu saja seolah-olah tak ada atau
tak penting.
Apakah seksualitas adalah suatu pilihan, dan apakah pilihan itu bersifat politis, seperti
kerap didengungkan oleh studi-studi gender berbasis konstruktivisme sosial, suka tidak suka
harus dapat diuji dengan merujuk pada apa yang ditemukan oleh ilmu-ilmu dasar seperti
neurosains tentang otak manusia dan cara kerjanya. Atau, apakah betul tidak ada perbedaan
genetik di antara ras-ras manusia dan bahwa ras adalah pertama-tama persoalan konstruksi lebih
daripada biologi. Diperlukan semacam “integrasi vertikal” antara ilmu-ilmu sosial dan
humaniora dengan ilmu-ilmu dasar.8 Tujuannya bukan untuk mengembalikan positivism, tetapi
agar ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak tercerabut dari realitas tentang manusia yang
semestinya menjadi subjek utama kajiannya—sesuatu yang oleh posmodernisme disisihkan dan
dipandang tidak relevan untuk dibahas.
Dalil bahwa realitas adalah konstruksi sosial, dan segala sesuatu bisa direduksi menjadi
teks, telah memberikan keleluasaan dan kebebasan berimajinasi kepada ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, tetapi ketika hal itu menjadi absolut dan mendikte keseluruhan kerangka pikir ilmuilmu tersebut, maka harga yang harus dibayar sangat tinggi, yaitu ilmu-ilmu sosial dan
humaniora kehilangan relevansinya di dunia nyata, tenggelam di dalam keasyikan permainan
bahasa dan wacana. Kemunculan cultural studies dalam kancah ilmu-ilmu sosial dan humaniora
sempat mencoba mengembalikan ilmu-ilmu itu pada ‘khitah’-nya, yakni perubahan sosial,
dengan cara mengawin-paksakan teori-teori marxis dan posmodern.
8 Pembahasan lebih rinci atas hal ini saya sampaikan dalam kata pengantar saya untuk seri penerbitan Kota, Kata
dan Kuasa dalam buku Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto
(Yogyakarta: Ombak, 2009), terj. Lilawati Kurnia, xvi – xxiv.
8
Lewat posmodernisme kemapanan dan status quo digoyahkan, dan lewat marxisme
jembatan antara teori dan praksis coba dibangun kembali. Dalam proses pertumbuhannya,
cultural studies memperlihatkan kecenderungan berbeda-beda di berbagai tempat, dan ada
kalanya unsur posmodernis menjadi terlalu kuat pengaruhnya, sehingga kajian-kajiannya khas
diwarnai oleh kepadatan berlebihan, ketidakmampuan untuk dipahami, serta kegenitan berteori.
Ini semua seakan untuk mengompensasikan absennya dimensi historis dalam kajian-kajian
tersebut. Cultural studies yang berfokus pada kontemporaritas secara berlebihan sehingga
menjadi ahistoris sebagai akibat bingkai pemikiran posmodernis yang diterapkan di dalamnya
akhirnya mengalami problem relevansi yang sama dan tercerabut dari kondisi nyata kehidupan.
Posmodernisme akan tetap bertahan selama beberapa waktu ke depan dalam ilmu-ilmu
sosial dan humaniora karena ia masih memiliki kegunaan yang tidak kecil dalam membongkar
ketimpangan dan kepalsuan dalam realitas sosial kita. Tetapi, ‘fatalisme’-nya yang terselubung di
balik sikap radikalnya membuatnya terbentur pada kebuntuan, ibarat menjadi sel kanker yang
menggerogoti keefektifannya sendiri sebagai alat bedah sosial. Di dalam riset-riset dan kajiankajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora, posmodernisme seyogyanya tidak dipakai secara tunggal
dalam metodologi melainkan dikombinasikan dengan pendekatan-pendekatan lain yang lebih
menaruh perhatian pada materialitas kehidupan yang diteliti. Bila ini tidak ditempuh, maka ilmuilmu sosial dan humaniora akan terperosok ke dalam krisis berkepanjangan yang kian mengikis
legitimasi serta kredibilitasnya sebagai pengetahuan.
9
Manneke Budiman
Universitas Indonesia
[email protected]
Tulisan pendek ini adalah refleksi intelektual saya atas posmodernisme sebagai teori dan
metodologi yang berdampak sangat besar dalam ilmu-ilmu humaniora dewasa ini. Gagasangagasan
yang
ditelurkan
dalam
lingkup
posmodernisme
mencengangkan
dan
telah
menggoyahkan pondasi banyak disiplin keilmuan, khususnya di bidang ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, tetapi posmodernisme juga menyisakan banyak kegelisahan terkait apa kemudian
terjadi dengan nasib ‘ilmu-ilmu’ dan ‘pengetahuan’ sebagai sarana-sarana untuk memahami
realitas. Terlebih lagi, apakah merasuknya posmodernisme di mana-mana itu juga menjadi
isyarat bagi akhir kehidupan humaniora sebagai ilmu yang mencoba menjelaskan manusia
sebagai makhluk sosial dengan segala tindak serta perilakunya.
Dalam kerja akademik saya, saya dapati posmodernisme telah membukakan banyak pintu
kemungkinan untuk mengerti dengan cara-cara berbeda yang segar dan tak terbayangkan
sebelumnya. Dunia semenjak posmodernisme tidak lagi diimajinasikan dengan cara yang sama
dalam benak kita. Kita ibarat memandang realitas dengan cara melampaui materialitasnya,
seperti memandang suatu objek secara tembus pandang, hingga ke apa yang ada di balik objek
itu untuk menemukan sesuatu yang berbeda. Ini hanya dapat terjadi apabila kacamata yang
dipakai betul-betul menyajikan sesuatu yang baru dan radikal. Oleh sebab itu, pada awal
pertumbuhannya, posmodernisme memang menjanjikan suatu perubahan cara pandang yang bisa
dikatakan ‘revolusioner’.1
Kendati demikian, sulit dibantah bahwa kegamangan kita dalam berinteraksi dengan
realitas sebagai akibat kehadiran posmodernisme menjadi suatu kegamangan berkepanjangan
dan tak diketahui obatnya. Materialitas dari realitas hidup kita adalah sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dari pengalaman inderawi serta biologis kita, tetapi posmodernisme melakukan
tekstualisasi atas materialitas itu, atau menjadikannya sebagai diskursus, dan keduanya ini
dibangun pertama-tama di atas basis bahasa, yang memediasi kita dengan realitas. Secara
gagasan, hal ini tentu saja mungkin untuk dibayangkan, tetapi pada tataran guna, manfaat apa
1 Lihat pembahasan Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya, Postmodernisme: Teori dan Metode (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014).
1
yang dapat diambil dari pemikiran yang mengandung potensi radikal namun dadam prosesnya
berujung pada jalan buntu ini?
Seperti telah ditunjukkan oleh banyak orang, istilah posmodernisme kini sudah
merambah banyak aspek dan maknanya pun bisa bermacam-macam seturut konteks
kemunculannya. Apa sebab? Sebelum pemikiran posmodernis lahir, paradigma modernis telah
berurat akar secara mendalam dalam dunia pemikiran serta praktik-praktik sosial. Modernisme
didirikan di atas tiang-tiang utama yang solid: rasionalisme (yang meliputi objektivisme dan
positivisme), linearitas (kemajuan), dan universalisme (dalil-dalil umum tentang fenomena).
Manusia modern memiliki kepercayaan diri amat kuat pada kemampuannya sendiri untuk
memecahkan masalah-masalah kehidupan akibat berpegang pada prinsip-prinsip dasar ini.
Mereka percaya bahwa objektivitas dapat dicapai karena selalu ada totalitas makna (dan
mungkin juga semacam ‘tujuan’) di balik segala sesuatu; bahwa sejarah selalu bergerak ke
depan, selaras dengan ‘kodrat’ manusia untuk menemukan hakikat dan rahasia hidupnya sendiri;
dan bahwa ada prinsip-prinsip alami yang dimiliki bersama oleh semua orang, meskipun
etnisitas, ras, kebangsaan, dan geografi membuat mereka berbeda-beda dalam banyak hal.
Memang, tiang-tiang utama penyangga hidup manusia modern ini terbukti telah turut
mengubah wajah dunia: dari penjelajahan samudra, penemuan-penemuan iptek, humanisme dan
pencerahan, sampai kebangkitan sentimen nasional, anti-kolonialisme, dan semangat untuk
mengubah serta membangun di semua bidang. Modernisme percaya pada totalitas dalam segala
yang dikerjakan, dan bahwa setiap produk pikiran serta tangan manusia pada hakikatnya
membuat martabat manusia menjadi lebih mulia. Namun, modernisme juga menolak hal-hal
yang dipandangnya mengancam peradaban manusia atau bisa menjatuhkan martabat manusia
dan hilangnya kemanusiaan. Sikap tanpa kompromi dan hitam-putih dalam menyikapi berbagai
ihwal kehidupan ini mau tidak mau membuat modernism harus mempercayai adanya
pengetahuan yang absah dan kebenaran yang ultimat. Tanpa itu, modernisme mustahil bisa
mengambil posisi tegas.
Dalam bidang seni dan sastra, misalnya, para seniman dan sastrawan modernis tidak
pernah ambigu dalam memosisikan diri mereka di tengah kancah masyarakat yang bergolak.
Mereka dengan sengaja menjaga jarak dari massa agar tidak dihanyutkan oleh kebodohan dan
kegilaan massa, walaupun risikonya adalah mereka menjadi terasing dan karya-karya mereka
menjadi sulit dipahami. Para seniman dan sastrawan modernis memandang diri mereka sebagai
penjaga kewarasan akal sehat masyarakat dan, dengan demikian, massa secara tersirat dipahami
2
sebagai sekumpulan besar manusia yang tidak memiliki cukup daya kritis untuk dapat
menyepakati apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Salah satu kritik posmodernis terhadap
kesenian dan kesusastraan modernis adalah bahwa, dengan bersikap demikian, seni dan sastra
hasil karya mereka akan selalu bersifat marjinal dan tidak pernah bisa efektif dalam mengubah
atau membentuk masyarakatnya. Sementara itu, terjangan arus kebudayaan massa yang dinilai
rendahan terus terjadi tanpa bendungan yang cukup kuat untuk menahannya. Dengan kata lain,
modernisme dinilai telah gagal dalam mewujudkan impian perubahan sosial.
Selain itu, modernisme juga dituduh tidak menyadari kontradiksi-kontradiksi internalnya
sendiri sehingga mudah menjelma menjadi suatu kekuatan destruktif. Imperialisme,
kolonialisme, dominasi, ketimpangan sosial yang menyebabkan lahirnya jurang antara kaya dan
miskin, adalah sebagian hal negatif yang ditudingkan orang kepada modernisme. Prinsip bahwa
untuk membangun sesuatu yang sungguh-sungguh baru haruslah melalui penghancuran atas
segala sesuatu yang lama, yang dalam praktiknya kerap dimanifestasikan dalam programprogram developmentalisme, telah menimbulkan kehancuran sosial di banyak tempat dengan
kerugian jiwa manusia yang tidak sedikit.
Bahkan, kritikus marxis Terry Eagleton tanpa sungkan menuduh posmodernisme sebagai
strategi baru kaum liberal untuk membungkam daya kritis. 2 Dengan tidak memberikan jalan
keluar bagi kebuntuan relasi antara pengetahuan/kebenaran dan realitas, posmodernisme secara
diam-diam berniat mematikan semangat perlawanan dengan dalih bahwa sistem yang hendak
dilawan sesungguhnya hanya seolah-olah sebuah sistem namun tak sungguh-sungguh ada.
Eagleton secara tak langsung menyerang Derrida, yang menjelaskan sebab-musabab kekalahan
gerakan perlawanan mahasiswa Prancis pada 1968 dengan dalih itu.
Secara umum, ada dua arus dominan dalam posmodernisme, khususnya di bidang ilmuilmu sosial dan humaniora: yang pertama adalah kelompok yang dianggap cukup ekstrem dari
segi curah pemikirannya, yaitu pertama, kelompok yang berpatokan pada bahasa dan
menganggap tidak ada hal apapun di luar teks. Karena bahasa adalah satu-satunya akses kita ke
realitas, maka segala sesuatunya adalah teks atau terstruktur seperti teks. Dua sosok terkemuka
yang dapat dikategorikan dalam kelompok ini adalah Jacques Derrida, penelur teori
dekonstruksi, dan Jacques Lacan, yang menerapkan pascastrukturalisme dalam psikoanalisis.
Sementara itu, kelompok yang lebih luwes dalam memahami posmodernisme dan
mencoba menggunakannya dalam kajian atas berbagai fenomena sosial, yang khususnya diwakili
oleh Michel Foucault dan Jean-François Lyotard, yang tetap menempatkan bahasa pada posisi
2 Dalam sebuah kuliah umum pada musim panas 1993 di Northwestern University, Chicago, Illinois, USA.
3
tak kalah penting, namun juga tertarik untuk menggali hubungan-hubungan yang mungkin
terbentuk antara bahasa di satu pihak dan praktik sosial di lain pihak sebagai unsur-unsur
pembentuk diskursus. Bagaimana realitas dikonstruksi, dan bagaimana konstruksi realitas
tersebut dikukuhkan serta diterima sebagai ‘kebenaran’. Sebaliknya, Derrida dan Lacan sama
sekali tidak menganggap realitas sebagai sesuatu yang relevan untuk dipertimbangkan, serta
menolak sepenuhnya untuk membicrakannya dalam teori-teori mereka.
Dalam peta teoritis imu-ilmu sosial dan humaniora, posmodernisme ditempatkan secara
berseberangan dari teori-teori kritis, khususnya yang dikembangkan oleh kelompok Frankfurt
sebelum Perang Dunia II, yang mencoba menerapkan teori ekonomi marxis dalam kajian-kajian
kritis atas kebudayaan. Bila teori-teori kritis sangat berhasrat untuk mencari terobosan bagi
dualisme antara teori dan praksis dalam kajian-kajian kebudayaan, posmodernisme dengan
sengaja justru hendak memutuskan sama sekali hubungan antara keduanya.
Bila teori-teori kritis berpendapat bahwa kebudayan telah gagal menjadikan kehidupan
menjadi indah, posmodernisme mempertanyakan konsep keindahan, yang sepertinya dipakai
begitu saja tanpa sikap kritis oleh para pemikir Frankfurt sebagai sesuatu yang identik dengan
estetika. Padahal, estetika itu sendiri sebagai sebuah bangunan atau sistem pengetahuan harus
digugat kerangka logikanya. Pemahaman salah kaprah kelompok Frankfurt atas apa yang sedang
terjadi dengan kebudayaan menjelang berkuasanya fasisme di Eropa membuat mereka terjebak
tanpa jalan keluar di antara dua setan yang sama-sama jahat, yaitu fasisme dan komunisme.3
Jika kecurigaan Eagleton terhadap posmodernisme dianggap masuk akal, mungkinkah
posmodernisme memang adalah perwujudan ideal dari liberalisme, yang mengail keuntungan
dari tindak saling menghancurkan antara fasisme dan komunisme? Seperti apa yang dituduhkan
pada posmodernisme, yakni ekspresi kekritisan yang di bawah permukaannya menyembunyikan
ketidaksukaan terhadap sikap kritis serta berkehendak mengekalkan status quo, liberalisme
memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada manusia untuk melakukan segala sesuatu,
sehingga kebebasan itu pada akhirnya mati dengan sendirinya karena tidak lagi relevan untuk
disikapi secara serius, apalagi diperjuangkan mati-matian. Manusia seakan-akan memiliki pilihan
tanpa batas, tetapi sesungguhnya pilihan-pilihan itu didiktekan atas dirinya, dan ia sama sekali
tidak memiliki kebebasan untuk memilih dalam arti yang sejati. Itu adalah sebentuk kebebasan
3 Ulasan yang sangat baik dan mendalam dalam karya berbahasa Indonesia tentang krisis kebudayaan dan arus
pemikiran teori-teori kritis dari kelompok Frankfurt dapat dijumpai, antara lain, dalam buku Greg Sutomo, Krisis
Seni, Krisis Kesadaran (Yogyakarta: Kanisius, 2003).
4
yang digunakan sebagai kedok bagi represi. Pemikir marxis Fredric Jameson menyebut gejala ini
sebagai bagian dari “logika budaya kapitalisme mutakhir”.4
Yang dijadikan sasaran kegusaran Eagleton, Jameson, dan kritikus marxis lain dalam hal
ini adalah posmodernisme ekstrem yang diwujudkan oleh postrukturalisme. Tokoh posmodernis
lain, seperti Foucault, misalnya, sebetulnya memiliki beberapa kemiripan ide dasar dengan para
teoritikus marxis. Konsep diskursus atau wacana yang ditelurkan Foucault, dalam banyak aspek
pentingnya, masih dapat ditelusuri jejak-jejaknya dalam gagasan marxis tentang ideologi
(sebagai “kesadaran palsu”), dan ide Foucault tentang wacana dominan yang berhasil
menciptakan ‘efek kebenaran’ menyisakan gaung ide marxis tentang hegemoni yang pernah
dicetuskan Gramsci. Tentu saja, kita bisa berdebat dan menemukan banyak perbedaan, tetapi
paralelisme pemikiran dan kemungkinan konvergensi antara kedua kutub yang tampaknya
bersebererangan itu terlalu nyata untuk dipungkiri.
Foucault tidak sedeterministik kaum marxis dalam menyikapi relasi antara ideologi dan
subjeknya karena, bagi Foucault, subjek terletak di dalam wacana, bukan di luarnya. Sementara
itu, bagi teoritikus marxis seperti Althusser, subjek senantiasa dicoba untuk ditarik ke dalam
medan pengaruh ideologi. Ironisnya, pemikir seperti Althusser tidak percaya bahwa manusia bisa
sepenuhnya terlepas dari kendali ideologi, sedangkan Foucault justru berbicara tentang
bagaimana suatu wacana terbentuk dan berubah dalam kerangka historis. Subjek dalam wacana
tidak dinafikan peranannya dalam perubahan wacana, walaupun hal ini tidak banyak dikupas
oleh Foucault.
Bagi postrukturalis seperti Lacan, subjek adalah apa yang terperangkap di dalam ranah
simbolik dan tak dapat mundur dari situ ataupun keluar dari situ tanpa berisiko mengalami
neurosis atau psikosis. Subjek menjadi petanda yang terus menggelincir di atas rantai
pemaknaan, mengira pada suatu titik di masa depan ia akan dapat bersatu dengan petandanya.
Selama subjek masih memiliki ilusi semacam ini, justru ia masih masuk dalam kategori waras.
Para teoritikus marxis akan segera menangkap ini sebagai apa yang dalam skema pemikiran
mereka disebut dengan subjek yang terinterpelasi atau terhegemoni oleh ideologi. Dengan cara
agak longgar, kita pun dapat menemukan kemiripannya dengan konsepsi subjek-dalam-wacana
yang digagas Foucault. Namun, seperti saya sebutkan di atas, postrukturalis seperti Lacan tidak
akan peduli dengan relasi antara subjek dan hal apapun di luar dirinya sebab bahkan psike si
4 Istilah ini mula-mula digunakan oleh Fredric Jameson untuk merujuk pada posmodernisme dalam tulisannya yang
terbit di New Left Review pada 1984, “Postmodernism, or the Cultural Logic of Late Capitalism” (hal. 53 – 92).
5
subjek pun sudah terstruktur dan beroperasi seperti teks atau, dengan kata lain, telah dibentuk
oleh ranah simbolik yang tidak dapat dihindarinya kecuali jika ia bersiap menerima kegilaan.
Berbagai pernyataan dan argumentasi postmodern ini, selain menjadi sumber perseteruan
dengan kubu marxisme, juga kerap dinilai sebagai penyebab merebaknya konstruktivisme sosial,
yang kini telah menemukan pijakan cukup ajeg dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Konstruktivisme sosial membawa perubahan besar-besaran dalam cara ilmu pengetahuan
memahami realitas sosial. Kebudayaan tidak lagi diartikan sebagai pola-pola makna yang
diwariskan secara historis lewat berbagai ekspresi simbolik dan digunakan manusia untuk
melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan, sebagaimana pernah
dirumuskan oleh Clifford Geertz,5 melainkan sebagai ajang konstruksi dan kontestasi maknamakna yang tidak pernah berhenti ataupun selesai.
Realitas sosial kita, dengan demikian adalah sebuah bangunan kenyataan yang ada bukan
karena sebab-sebab alami tetapi sebagai hasil rekayasa suatu kekuasaan, yang kemudian kita
alami dan jalani sebagai ‘kenyataan hidup’. Pengertian baru atas karakteristik realitas ini
terutama tumbuh pesat pada 1970an dan 1980an. Sejak itu, subur bermunculan kajian-kajian
baru yang sebelumnya tidak berkembang atau tidak dipandang penting, seperti seksualitas
manusia, identitas gender, kritik atas imperialisme kultural, serta kajian atas pengalaman seharihari yang tampak banal.
Secara keseluruhan, konstruktivisme sosial ini menolak keyakinan bahwa kita mampu
memahami sesuatu tentang kehidupan tanpa dipengaruhi oleh opini dan prasangka sosial.
Akibatnya, mustahil bagi kita untuk dapat membuat klaim-klaim atas kebenaran. Di mata mereka
yang khawatir akan ancaman posmodernisme, gejala ini dilihat sebagai kian melebarnya jurang
antara teori dan praksis, yang dulu dengan sekuat tenaga hendak dipersempit, atau bahkan jika
bisa dijembatani, oleh para pemikir Frankfurt. Para praktisi humaniora pun kian mengalami
kesulitan untuk dapat menjelaskan apa yang sedang mereka tekuni kepada orang luar atau orang
awam. Sebagian kritikus bahkan mengaitkan perkembangan ini dengan makin surutnya minat
orang untuk belajar humaniora serta makin kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk bidangbidang humaniora di perguruan tinggi. Pada tataran kebijakan, masukan-masukan para praktisi
humaniora tidak lagi diperhitungkan secara serius karena dinilai terlalu terperangkap dalam
hutan rimba intelektual yang terlalu rumit untuk dapat dengan segera diterjemahkan ke tataran
aksi.
5 Dalam buku Clifford Geertz yang hingga kini masih menjadi pegangan di banyak departemen antropologi, The
Interpretation of Culture (New York: Pantheon, 1973).
6
Di dalam wujudnya yang paling ekstrem, pernyataan-pernyataan yang dirumuskan oleh
para praktisi humaniora tidak lagi dikenali sebagai berbasis ilmiah tetapi lebih sarat dengan
nuansa etis dan politis yang dikemas seolah-olah ilmiah. Pernyataan-pernyataan itu tak jarang
mengandung kontradiksi yang cukup kentara, tetapi yang dalam skema konstruktivisme sosial
malah dipahami sebagai bersifat emansipatoris. Edward Slingerland, seorang kritikus
posmodernisme lain, mengambil sebuah contoh pernyataan yang dibuat oleh Roland Barthes
tentang menulis, yakni: “Menulis sama sekali bukanlah sarana untuk berkomunikasi.”
Slingerland beranggapan pernyataan ini berkontradiksi dengan dirinya sendiri, dan menjadi sulit
untuk membedakan apa yang disebut dengan permainan diskursif dari masturbasi intelektual.6
Pernyataan-pernyataan yang tidak koheren seperti inilah yang sering kali disajikan
sebagai suatu ‘praktik pembebasan’ (dari relasi kuasa yang membelenggu struktur suatu wacana).
Namun, menurut Slingerland, persoalannya adalah bagaimana tujuan pembebasan itu bisa
dipertahankan jikalau pada saat bersamaan dilakukan penyangkalan terhadap kemungkinan
untuk memahami apapun? Siapa yang akan meladeni kita secara serius? Humaniora, tanpa
disadari, makin tenggelam dalam keasyikan mengutak-atik bentuk secara pedantik serta
kecanduan permainan imajinasi dan bahasa yang tak berbatas.
Pada kesempatan lain, saya pernah mengemukakan bahwa, bagaimanapun juga, ilmuilmu sosial dan humaniora adalah kajian tentang manusia, dan tantangan yang dihadapi ilmuilmu ini adalah bagaimana pengetahuan yang dihasilkannya mampu turut mengubah realitas
sosial yang timpang dan tak berkeadilan menjadi realitas yang lebih memasukkan kelompokkelompok marjinal di dalamnya. Posmodernisme dalam wujudnya yang esktrem mereduksi
manusia menjadi teks, dan ini adalah persoalan sangat serius. Bukan hanya humaniora yang
terancam kehilangan hakikatnya sebagai ilmu tentang kehidupan, tetapi para praktisi dan
ilmuwannya pun terancam menjadi “anti-humanis”, kehilangan empatinya pada manusia dalam
materialitas kehidupan sehari-hari yang konkret. 7 Namun, tantangan terhadap ilmu-ilmu sosial
dan humaniora yang terlalu kental dipengaruhi oleh posmodernisme juga datang dari bidangbidang ilmu lain dalam teritori ilmu dasar. Temuan-temuan empirik dan berbasis eksperimentasi
laboratorium atas tubuh manusia dalam neurosains, psikologi kognitif, dan biologi evolusioner
6 Lihat Edward Slingerland, What Science Offers the Humanities: Integrating Body and Culture (New York:
Cambridge University Press, 2008).
7 Pada acara peluncuran Jurnal Kebudayaan Kalam online di Salihara, Jakarta, pada 16 Juli 2013, dalam makalah
saya berjudul “Perjalanan Para Intelektual dan Pencarian Kembali akan Kemanusiaan: Menyambut Peluncuran
Jurnal Kebudayaan KALAM (daring).”
7
secara langsung menghadirkan gugatan terhadap premis-premis tentang tubuh, seksualitas,
kesadaran, dan jiwa yang dibuat dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan humaniora berbasis
posmodernisme.
Ini semua membuat keabsahan dalil-dalil tentang manusia dan perilakunya dalam ilmuilmu sosial dan humaniora kian tajam dipertanyakan. Walaupun kita tidak ingin kembali ke masa
ketika positivisme mendominasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang berbasis pada asumsi
umum bahwa kita selalu dapat menemukan pola-pola umum yang secara berulang muncul dan
menjadi prinsip dasar bagi pemahaman kita akan subjek kajian kita, kita juga tidak ingin ilmuilmu sosial dan humaniora tergiring hingga sebegitu jauh dari hubungannya dengan ilmu-ilmu
dasar. Temuan-temuan ilmu-ilmu dasar tidak dapat diabaikan begitu saja seolah-olah tak ada atau
tak penting.
Apakah seksualitas adalah suatu pilihan, dan apakah pilihan itu bersifat politis, seperti
kerap didengungkan oleh studi-studi gender berbasis konstruktivisme sosial, suka tidak suka
harus dapat diuji dengan merujuk pada apa yang ditemukan oleh ilmu-ilmu dasar seperti
neurosains tentang otak manusia dan cara kerjanya. Atau, apakah betul tidak ada perbedaan
genetik di antara ras-ras manusia dan bahwa ras adalah pertama-tama persoalan konstruksi lebih
daripada biologi. Diperlukan semacam “integrasi vertikal” antara ilmu-ilmu sosial dan
humaniora dengan ilmu-ilmu dasar.8 Tujuannya bukan untuk mengembalikan positivism, tetapi
agar ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak tercerabut dari realitas tentang manusia yang
semestinya menjadi subjek utama kajiannya—sesuatu yang oleh posmodernisme disisihkan dan
dipandang tidak relevan untuk dibahas.
Dalil bahwa realitas adalah konstruksi sosial, dan segala sesuatu bisa direduksi menjadi
teks, telah memberikan keleluasaan dan kebebasan berimajinasi kepada ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, tetapi ketika hal itu menjadi absolut dan mendikte keseluruhan kerangka pikir ilmuilmu tersebut, maka harga yang harus dibayar sangat tinggi, yaitu ilmu-ilmu sosial dan
humaniora kehilangan relevansinya di dunia nyata, tenggelam di dalam keasyikan permainan
bahasa dan wacana. Kemunculan cultural studies dalam kancah ilmu-ilmu sosial dan humaniora
sempat mencoba mengembalikan ilmu-ilmu itu pada ‘khitah’-nya, yakni perubahan sosial,
dengan cara mengawin-paksakan teori-teori marxis dan posmodern.
8 Pembahasan lebih rinci atas hal ini saya sampaikan dalam kata pengantar saya untuk seri penerbitan Kota, Kata
dan Kuasa dalam buku Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto
(Yogyakarta: Ombak, 2009), terj. Lilawati Kurnia, xvi – xxiv.
8
Lewat posmodernisme kemapanan dan status quo digoyahkan, dan lewat marxisme
jembatan antara teori dan praksis coba dibangun kembali. Dalam proses pertumbuhannya,
cultural studies memperlihatkan kecenderungan berbeda-beda di berbagai tempat, dan ada
kalanya unsur posmodernis menjadi terlalu kuat pengaruhnya, sehingga kajian-kajiannya khas
diwarnai oleh kepadatan berlebihan, ketidakmampuan untuk dipahami, serta kegenitan berteori.
Ini semua seakan untuk mengompensasikan absennya dimensi historis dalam kajian-kajian
tersebut. Cultural studies yang berfokus pada kontemporaritas secara berlebihan sehingga
menjadi ahistoris sebagai akibat bingkai pemikiran posmodernis yang diterapkan di dalamnya
akhirnya mengalami problem relevansi yang sama dan tercerabut dari kondisi nyata kehidupan.
Posmodernisme akan tetap bertahan selama beberapa waktu ke depan dalam ilmu-ilmu
sosial dan humaniora karena ia masih memiliki kegunaan yang tidak kecil dalam membongkar
ketimpangan dan kepalsuan dalam realitas sosial kita. Tetapi, ‘fatalisme’-nya yang terselubung di
balik sikap radikalnya membuatnya terbentur pada kebuntuan, ibarat menjadi sel kanker yang
menggerogoti keefektifannya sendiri sebagai alat bedah sosial. Di dalam riset-riset dan kajiankajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora, posmodernisme seyogyanya tidak dipakai secara tunggal
dalam metodologi melainkan dikombinasikan dengan pendekatan-pendekatan lain yang lebih
menaruh perhatian pada materialitas kehidupan yang diteliti. Bila ini tidak ditempuh, maka ilmuilmu sosial dan humaniora akan terperosok ke dalam krisis berkepanjangan yang kian mengikis
legitimasi serta kredibilitasnya sebagai pengetahuan.
9