Potensi Sumber Daya Air di Indonesia

Potensi Sumber Daya Air di Indonesia1
oleh Candra Samekto2 dan Ewin Sofian Winata3

I.

Pendahuluan
Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat penting

bagi hidup dan kehidupan seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Air adalah asal
muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari air bermula
kehidupan dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang. Tanpa air, berbagai
proses kehidupan tidak dapat berlangsung, sehingga penyediaan air baku untuk
kebutuhan domestik, irigasi dan industri menjadi menjadi perhatian dan prioritas utama.
Karena itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan bahwa air
merupakan hak azasi manusia; artinya, setiap manusia di muka bumi ini mempunyai
hak dasar yang sama terhadap pemakaian air. Di Indonesia, hak masyarakat terhadap
penggunaan air dijamin melalui Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 19454, dan Undang- Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air5.
Dalam perkembangannya, air secara sangat cepat menjadi sumberdaya yang
makin langka dan relatif tidak ada sumber penggantinya. Meskipun Indonesia termasuk
10 negara kaya air, namun dalam pemanfaatannya terdapat permasalahan mendasar

yang masih terjadi. Pertama, adanya variasi musim dan ketimpangan spasial
ketersediaan air. Pada musim hujan, beberapa bagian di Indonesia mengalami
kelimpahan air yang luar biasa besar sehingga berakibat terjadinya banjir dan kerusakan
lain yang ditimbulkannya. Di sisi lain, pada musim kering kekurangan air dan
kekeringan menjadi bencana di beberapa wilayah lainnya. Permasalahan mendasar yang
kedua adalah terbatasnya jumlah air yang dapat dieksplorasi dan dikonsumsi, sedangkan
                                                            

 Disampaikan pada Seminar Nasional: Aplikasi Teknologi Penyediaan Air Bersih untuk Kabupaten/Kota 
di Indonesia. Diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Lingkungan ‐ BPPT di Jakarta pada tanggal 16 Juni 
2010 
2
 Fungsional Perencana Muda di Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas 
3
 Staf Perencana di Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas 
4
Pasal 33 ayat 3 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat”.
5

Pasal 5 UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, menyebutkan bahwa “Negara menjamin hak setiap
orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya
yang sehat, bersih, dan produktif”.
1


 

jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan air baku
meningkat secara drastis. Masalah kualitas air semakin mempersempit alternatif
sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, bahkan air dapat
menjadi salah satu factor penghambat pertumbuhan perekonomian suatu negara.
Schouten (2006) memaparkan beberapa data yang menyajikan fakta bahwa air sangat
penting pernanannya dalam pembangunan ekonomi sebagaimana ditampilkan dalam
gambar di bawah ini:

Gambar 1. Curah Hujan vs Pertumbuhan GDP di Etiopia (1982-2000)
(Schouten, 2006).


25

80

20

60

10

20

5
0
2000

-5
-10
-15


-40
rainfall va riation around the m ean
-60

1999

1997
1998

1996

1995

1994

1993

1992

1991


1990

1989

1988

1987

1986

1985

1984

-20

1983

0

1982

percentage

15
40

G D P grow th

-80

-20
-25
-30

year


 


Gambar 2. Curah Hujan vs Pertumbuhan GDP di Zimbabwe (1979-1993)
(Schouten, 2006)

15.0

2.0
1.0
5.0

0.0
-1.0

1993

1992

1991

1990


1989

1988

1987

1986

1985

1984

1983

1982

1981

1980


0.0

1979

Real GDP growth (% )

10.0

-2.0

-5.0
-3.0

Real GDP grow th (%)

V ariability in Rainfall (M eter)

3.0

Variability in Rainfall (Meter)

-10.0

-4.0

Years

Dari Gambar 1 dan Gambar 2 di atas dapat dengan sangat jelas terlihat bahwa fluktuasi
pertumbuhan ekonomi Etiopia dan Zimbabwe mempunyai pola yang sama dengan
ketersediaan curah hujan di daerah tersebut.
Dengan memperhitungkan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan air yang
mengiringinya, masa depan neraca air, ketersediaan infrastruktur dan pelayanan sumber
daya air nampaknya akan menjadi sangat timpang dan sensitif. Untuk itu dibutuhkan
pengelolaan sumber daya air yang baik agar potensi yang ada dapat memberikan
manfaat yang sebesar – besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang
kehidupan.

II.

Potensi Sumber Daya Air Di Indonesia
Secara nasional, ketersediaan air di Indonesia mencapai 694 milyar meter kubik


per tahun. Jumlah ini pada dasarnya adalah potensi yang dapat dimanfaatkan, namun
faktanya saat ini baru sekitar 23 persen yang sudah termanfaatkan, dimana hanya sekitar
20 persen yang dimanfaatkan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan air baku


 

rumah tangga, kota dan industri, 80 persen lainnya dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan irigasi. (Hartoyo, 2010)
Sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan masuk ke dalam
cekungan-cekungan air tanah yang potensinya mencapai lebih dari 308 milyar meter
kubik. Potensi volume cekungan air tanah terbesar berada di Sumatera yaitu sebesar 110
milyar meter kubik.
Tabel 1. Potensi Cekungan Air Tanah
No.
1
2
3
4
5
6
7
8

Pulau
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Bali
Nusa Tenggara
Sulawesi
Maluku
Papua
Total

Jumlah
65
80
22
8
47
91
68
16
397

Cekungan
Luas (km2)
270,656
80,936
209,971
4,381
41,425
37,768
25,830
52,662
723,629

Volume (Juta m3)
109,926
41,334
68,473
1,598
10,139
20,244
13,174
43,400
308,288

Sumber : Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008, Kementerian Lingkungan Hidup.
Indonesia memiliki lebih dari 5.590 sungai yang sebagian besar di antaranya
memiliki kapasitas tampung yang kurang memadai sehingga tidak bisa terhindar dari
bencana alam banjir, kecuali sungai-sungai di Pulau Kalimantan dan beberapa sungai di
Jawa. Secara umum sungai-sungai yang berasal dari gunung berapi (volcanic)
mempunyai perbedaan slope dasar sungai yang besar antara daerah hulu (upstream),
tengah (middlestream) dan hilir (downstream) sehingga curah hujan yang tinggi dan
erosi di bagian hulu akan menyebabkan jumlah sedimen yang masuk ke sungai sangat
tinggi. Tingginya sedimen yang masuk akhirnya menimbulkan masalah pendangkalan
sungai terutama di daerah hilir yang relatif lebih landai dan rata, sehingga sering terjadi
banjir di dataran rendah (Kementerian PPN/Bappenas, Infrastruktur Indonesia, 2003).
Sungai-sungai tersebut dikelompokkan menjadi 133 Wilayah Sungai (WS) yang terdiri
dari 13 WS kewenangan kabupaten, 51 WS kewenangan propinsi, dan 69 WS pusat
yang berlokasi di lintas propinsi, lintas negara, dan sungai strategis nasional. (Hartoyo,
2010). Jika dilihat lebih dalam dari aspek hidrologisnya, kondisi sungai-sungai induk
sangat bervariasi dari kondisi baik, sedang hingga buruk sebagaimana dilaporkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dalam Tabel 2 di bawah ini:


 

Tabel 2. Volume Sungai dan Kondisi Hidrologis
beberapa Sungai Tahun 2006
Provinsi/
Induk Sungai
Sumatera Utara
Barimun
Bingei
Asahan
Sumatera Barat
Batang Kuantan
Riau
S. Rokan
S. Siak
Batang Kampar
Batang Kuantan
Jambi
S. Batanghari

Lokasi

Luas DAS
(km2)

Volume
(106 m3)

Kondisi
Hidrologis

Seroja, Labuhan Batu
Binjai, Langkat
Asahan, Pulau Rakyat, Pulau Raja

6.781,00
1.621,30
4.669,40

5.606,00
789,30
2.355,00

Baik
Baik
Baik

Lima Puluh Koto, Payahkumbuh

1.421,00

1.705,00

Buruk

Lubuk Bendahara, Kampar
Pantai Cermin, Siak Hulu, Kampar
Lipat Kain, Kampar
Lbk Ambacang, Kuantan

4.848,00
1.716,00
3.431,00
7.464,00

4.383,00
1.966,00
6.017,00
6.767,00

Sedang
Baik
Baik
Sedang

Batang Hari, Jambu

8.704,00

51.091,00

Baik

6.990,00

7.974,00

Baik

1.648,00
1.696,00

584,40
1.275,00

Buruk
Buruk

3.305,00

7.195,00

Baik

1.250,00
3.206,70
2.631,30

1.937,00
2.510,00
3.479,00

Buruk
Buruk
Sedang

Sumatera Selatan
S. Musi
Sungai Rotan, Gelumpang, Muara
Enim
Lampung
Way Seputih
Buyut Udik, Lampung Tengah
Way Sekampung Pujo Rahayu, Gedong Tataan,
Lampung Selatan
Jawa Barat
S.Cimanuk
Kertasemaya, Indramayu
Jawa Tengah
S. Pemali
Brebes, Brebes
S. B. Solo
Jebres, Jebres, Surakarta
S. Serayu
Kedunguter, Banyumas, Banyumas
D I Yogyakarta
S. Progo
Duwet, Kalibawang, Kulon Progo
Jawa Timur
B. Solo
Lamongan
Banten
S. Cisadane
Sukasari, Babakan, Tangerang
S. Ciujung
Cidoro Lebak, Rangkasbitung, Lebak
Kalimantan Barat
S. Kapuas
Manggu, Ngabang, Pontianak
Kalimantan Tengah
S. Barito
Dusun Tengah, Barito Selatan
S. Kapuas
Kapuas, Kapuas
S. Kahayan
Kurun, Gunung Mas
S. Katingan
Kasongan, Barito
S. Mentaya
Mentaya, Kotawaringin Timur
S. Lamandau
Arut, Kotawaringin
Sulawesi Tengah
S. Palu
Palu Selatan, Palu
Sulawesi Selatan
S. Rongkong
Ampana,. Sadang, Luwu
S. Cinranae
Madukeling, Sengkang, Wajo
S. Walanae
Mong, Mario Riwano, Soppeng

1.712,30

1.205,20

Buruk

17.300,00

9.056,00

Baik

1.146,00
1.363,90

2.645,00
1.646,00

Buruk
Buruk

3.710,00

9.498,00

Baik

1.531,00
4.741,00
5.591,00
4.741,00
4.765,90
1.968,00

237,80
14.766,00
11.535,00
32.732,00
8.019,00
3.676,00

Buruk
Sedang
Baik
Sedang
Baik
Buruk

3.062,00

910,20

Sedang

1.030,00
6.437,00
2.680,00

1.001,00
3.583,00
2.095,00

Sedang
Buruk
Buruk


 

S. Sadang

Kabere, Cendana, Enrekang

Sulawesi Tenggara
L. Roraya
Lainea, Konawe Selatan

5.760,00

2.756,00

Sedang

1.747,00

482,50

Buruk

Sumber : (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009)
Untuk meningkatkan manfaat dan ketersediaan air, telah dibangun bendungan
yang hingga saat ini telah mencapai 235 buah. Berdasarkan klasifikasi menurut
ketinggian dan volume tampungan, bendungan dibedakan menjadi: (a) bendungan
dengan ketinggian lebih dari atau sama dengan 15 meter dengan volume lebih besar dari
atau sama dengan 100.000 m3 (sebanyak 100 buah) dan (b) bendungan dengan
ketinggian kurang dari 15 meter dengan volume lebih besar dari atau sama dengan
500.000 m3 (sebanyak 135 buah). (Kementerian PPN/Bappenas, Infrastruktur
Indonesia, 2003)
Selain irigasi pada umumnya, pemanfaatan rawa untuk pertanian juga telah
dilakukan untuk menunjang pencapaian peningkatan produksi pangan nasional. Luas
lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti
dan beberapa instansi. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi terhadap
luas lahan rawa di Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Dari Total luas luas rawa di Indonesia tersebut, data dari Kementerian Pekerjaan
Umum (2007) menyatakan bahwa hanya 10,8 juta hektar yang berpotensi untuk
dikembangkan, terdiri dari 8,4 juta hektar rawa pasang surut (tidal) dan 2,4 juta hektar
rawa non-pasang surut. Sebagian besar rawa yang potensial tersebut, 91,32 persen
berada di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Dari total 10,8 juta hektar rawa
potensial tersebut, 2,9 juta hektar rawa pasang surut dan 1 juta hektar rawa lebak telah
direklamasi baik oleh pemerintah, maupun swasta dan masyarakat. Dari total 3,9 juta
hektar lahan yang rawa yang telah direklamasi, baru sekitar 2,6 juta hektar yang telah
dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, tambak dan lainnya. Secara rinci luas rawa
potensial di Indonesia disajikan pada Gambar 3. Pohon Rawa Potensial Indonesia.


 

Tabel 3. Estimasi Luas Rawa di Indonesia

Sumber : (Departemen Pertanian, 2006)


 

Gambar 3. Pohon Rawa Potensial Indonesia
Sumber : (Tim Swakelola Subdit Cantek Direktorat Rawa dan Pantai, 2007)

III.

Kondisi Sumber Daya Air di Indonesia

A.

Kondisi DAS
Masalah air di Indonesia ditandai dengan kondisi lingkungan yang makin tidak

kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara
lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu
akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai
18,5 juta hektar. Gambar 4 di bawah menggambarkan perubahan penutupan hutan dan
lahan yang terjadi antara tahun 1992 dan tahun 2003.


 

Gambar 4. Kondisi Penutupan Lahan Tahun 1992 (atas) dan Tahun 2003 (bawah)

(Sumber : Deputi SDA-LH, Bappenas (2008); Kementerian Kehutanan)

Fenomena ini telah menyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk menyimpan
air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin meningkat,
demikian juga sedimentasi makin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di waduk
dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999
terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi kritis, yang
diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah
jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai
akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai yang telah
menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai.
(Kementerian PPN/Bappenas, Infrastruktur Indonesia, 2003)


 

Gambar 5. Kerusakan Kondisi DAS Tahun 1984 (atas) dan Tahun 2005 (bawah)

Sumber: Ditjen SDA, Kementerian PU (2008)

Laju deforestrasi meningkat pesat yaitu dari 1,6 juta ha/th menjadi 2,1 juta ha/th
pada

kurun

1985–2001.

perubahan/konversi

Laju

kawasan

deforestrasi

hutan

menjadi

ini

disebabkan

pemukiman,

oleh

terjadinya

perindustrian,

dan

pertambangan serta makin maraknya illegal logging. World Resources Institute (2002)
memproyeksikan bahwa dalam waktu kurang dari 20 tahun mendatang luas hutan di

10 
 

Indonesia akan berkurang 15–32,5 juta hektar. Berkurangnya luas hutan dapat
mengurangi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya termasuk jasa-jasa
lingkungan lainnya. Selain itu, memburuknya kondisi hutan mempengaruhi persediaan
air bagi kehidupan manusia, baik air tanah maupun air permukaan. Kasus-kasus
pencemaran lingkungan juga cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan
industrialisasi yang tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih memberikan
dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan. Sungai sungai di perkotaan
tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh
bahan kimia baik dari sampah padat maupun pupuk. Masalah pencemaran ini
disebabkan juga oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat
dengan kualitas lingkungan yang baik. Kondisi di atas menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya ketidakseimbangan sistem lingkungan secara keseluruhan dalam menyangga
kehidupan manusia, dan keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang.

B.

Neraca air
Kebutuhan air nasional saat ini terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, dengan

tujuan penggunaannya terutama untuk air minum, rumah tangga, perkotaan, industri,
pertanian, dan lainnya. Dari data neraca air tahun 2003 dapat dilihat bahwa kebutuhan
air pada musim kemarau di Pulau Jawa dan Bali yang sebesar 38,4 miliar meter kubik,
hanya terpenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66 persen. Defisit ini
diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2020, dimana jumlah penduduk dan
aktifitas perekonomian meningkat secara signifikan. (Direktorat Pengairan dan Irigasi
Bappenas, 2006)
Tabel 4. Neraca Air Per Pulau Tahun 2003
PULAU SUMATERA
KETERSEDIAAN AIR TOTAL

PULAU JAWA DAN BALI
KETERSEDIAAN AIR TOTAL

3

480,968.0 (Juta m )
25 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3

3

96,193.6 (Juta m )
384,774.4 (Juta m )
KEBUTUHAN AIR TOTAL
3

19,965.7 (Juta m ) 18 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3
3
11,646.7 (Juta m )
8,319.0 (Juta m )
SURPLUS
SURPLUS

3

126,451.0 (Juta m )
7 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3

3

25,290.2 (Juta m )
101,160.8 (Juta m )
KEBUTUHAN AIR TOTAL
3

65,839.1 (Juta m )
59 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3
3
38,406.1 (Juta m )
27,432.9 (Juta m )
SURPLUS
DEFISIT

11 
 

PULAU KALIMANTAN
KETERSEDIAAN AIR TOTAL

PULAU NUSA TENGGARA
KETERSEDIAAN AIR TOTAL
3

42,156.0 (Juta m )
2 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3

3

4,215.6 (Juta m )
37,940.4 (Juta m )
KEBUTUHAN AIR TOTAL
3

5,760.0 (Juta m )
5 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3
3
4,320.0 (Juta m )
1,440.0 (Juta m )
SURPLUS
DEFISIT

3

556,699.0 (Juta m )
28 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3

3

4,898.0 (Juta m )
4 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3
3
2,857.2 (Juta m )
2,040.8 (Juta m )
SURPLUS
SURPLUS

PULAU SULAWESI
KETERSEDIAAN AIR TOTAL

PULAU PAPUA
KETERSEDIAAN AIR TOTAL

3

143,778.0 (Juta m )
7 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3

3

3

545,377.0 (Juta m )
28 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3

14,377.8 (Juta m )
129,400.2 (Juta m )
KEBUTUHAN AIR TOTAL
3

3

167,009.7 (Juta m )
389,689.3 (Juta m )
KEBUTUHAN AIR TOTAL

3

163,613.1 (Juta m )
381,763.9 (Juta m )
KEBUTUHAN AIR TOTAL

15,440.0 (Juta m )
14 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3
3
9,006.7 (Juta m )
6,433.3 (Juta m )
SURPLUS
SURPLUS

3

137.2 (Juta m )
0.1 % Tot. Nas
MUSIM HUJAN
MUSIM KEMARAU
3
3
80.0 (Juta m )
57.2 (Juta m )
SURPLUS
SURPLUS

Sumber : (Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2006); Ditjen SDA Kementerian
PU (2003)

Melihat lebih jauh pada kondisi di Pulau Jawa, Bappenas (2006) telah melakukan suatu
kajian lebih mendalam untuk melihat neraca air per kabupaten/kota sehingga dapat
memproyeksikan kondisi ketersediaan air diperbandingkan dengan kebutuhannya
hingga tahun 2025 sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Neraca Air per Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

  
Tahun 2005

12 
 

Tahun 2015

Tahun 2025

(Sumber: Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas, 2006)

C.

Tampungan
Dari 235 bendungan di Indonesia, sekitar 17,02 persen (40 buah) di antaranya

berkinerja rendah; 12,34 persen (29 buah) sedang, dan yang masih baik hanya sekitar
21,28 persen (50 buah); Sisanya sebanyak 98 bendungan belum tercatat kondisinya.
(Kementerian PPN/Bappenas, Infrastruktur Indonesia, 2003) Hasil pemantauan volume
beberapa waduk utama di Indonesia, terutama di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pada
tahun 2008 volume waduk pada umumnya menurun pada bulan April hingga Oktober.
Waduk Cirata di Jawa Barat mengalami penurunan volume air terbesar yaitu sebesar 89
persen. Sedangkan Waduk Sermo di DI. Yogyakarta mengalami penurunan terkecil
yaitu sekitar 33%. Persentase penurunan volume waduk selama musim kemarau
mengindikasikan adanya kerusakan fungsi resapan air di bagian hulu. (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2009)
Menelaah kapasitas tampungan terbangun yang dimiliki, sebagaimana
dilaporkan oleh the World Bank (2005), Indonesia menduduki peringkat yang cukup

13 
 

rendah jika diperbandingkan dengan negara-negara lain. Amerika Serikat menduduki
peringkat atas dengan jumlah tampungan mencapai 6.000 m3/jiwa/tahun. Indonesia
pada tahun 2005 tercatat hanya memiliki tampungan air sebesar 30 m3/jiwa/tahun,
dibandingkan dengan Thailand yang sudah mencapai 1.200 m3/jiwa/tahun. Hanya
Ethiopia yang posisinya berada di bawah Indonesia yaitu sebesar 10 m3/jiwa/tahun.
Untuk itu ke depan pembangunan tampungan-tampungan air baik sekala besar dan
terutama skala kecil harus terus dipacu untuk dilaksanakan.
Gambar 7. Kapasitas Tampungan per Kapita per Tahun (m3/jiwa/tahun)
(Sumber: World Bank, 2005)

D.

Kualitas Air
Selain isu kuantitas, penurunan kualitas merupakan isu yang tidak kala

pentingnya dalam rangka pemanfaatan air secara optimal. Hasil pemantauan yang
dilakukan pada tahun 2008 oleh 30 Bapedalda Provinsi terhadap 35 sungai di Indonesia
menunjukkan bahwa status mutu air pada umumnya sudah tercemar berat jika
dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas II.

14 
 

Tabel 5. Status Mutu Air beberapa Sungai di Indonesia Tahun 2008
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.

Sungai
Krueng Aceh
Deli
Batang Agam
Kampar
Indragiri
Rokan
Siak
Batanghari
Air Bengkulu
Musi
Rangkui
Way Sekampung
Ciliwung
Kali Angke
Citarum
Progo
Progo
Bengawan Solo
Tukad Badung
Jangkok
Dendeng
Kapuas
Mahakam
Kahayan
Martapura
Bone
Tondano
Palu
Tallo
Jeneberang
Konaweha
Batu Gajah
Batu Merah
Tabobo
Anafre

Provinsi
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Riau
Riau
Riau
Jambi
Bengkulu
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Lampung
DKI Jakarta
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku
Maluku Utara
Papua

Jumlah Titik
6
11
6
10
14
15
14
12
6
8
6
6
15
6
6
6
7
10
6
6
5
6
6
6
6
6
8
6
6
6
6
3
3
6
6

Status Mutu
Cemar berat

Cemar berat

Cemar sedang
Cemar sedang – cemar berat
Cemar berat
Cemar berat
Cemar sedang
Cemar berat
Cemar berat
Cemar berat
Cemar sedang – cemar berat
Cemar berat
Cemar berat
Cemar berat
Cemar berat

Cemar berat
Cemar berat
Cemar sedang
Cemar berat
Cemar berat
Cemar berat
Cemar sedang
Cemar berat
Cemar berat
Cemar sedang – cemar berat

Sumber : (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009)
IV.

Tantangan Penyediaan Air Baku

A.

Proyeksi Kebutuhan Air Baku
Kajian global kondisi air di dunia yang disampaikan pada World Water Forum II

di Denhaag tahun 2000, memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 akan terjadi krisis air
di beberapa negara. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara kaya air namun krisis air
diperkirakan akan terjadi juga, sebagai akibat dari kesalahan pengelolaan air yang
tercermin dari tingkat pencemaran air yang tinggi, pemakaian air yang tidak efisien,
fluktuasi debit air sungai yang sangat besar, kelembagaan yang masih lemah dan

15 
 

peraturan perundang-undangan yang tidak memadai. Pulau Jawa yang luasnya mencapai
tujuh persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya mempunyai empat setengah
persen dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini dihuni oleh sekitar 65
persen total penduduk Indonesia. Kondisi ini menggambarkan potensi kelangkaan air di
Pulau Jawa sangat besar. Jika dilihat ketersediaan air per kapita per tahun, di Pulau Jawa
hanya tersedia 1.750 meter kubik per kapita per tahun, masih di bawah standar
kecukupan yaitu 2000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah ini akan terus menurun
sehingga pada tahun 2020 diperkirakan hanya akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik
per kapita per tahun. Apabila fenomena ini terus berlanjut maka akan terjadi
keterbatasan pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah karena daya
dukung sumberdaya air yang telah terlampaui. (Kementerian PPN/Bappenas,
Infrastruktur Indonesia, 2003)
B.

Peningkatan Operasi dan Pemeliharaan Prasarana Air Baku

Pada daerah-daerah perkotaan, awalnya suplai air minum umumnya berasal dari
sumur-sumur dalam, namun karena jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas akhirnya
kota-kota besar terpaksa menggunakan air baku dari aliran sungai yang melewati kota
atau yang mengalir tidak jauh dari kota dengan terlebih dahulu dijernihkan melalui
instalasi penjernihan air. Sejalan dengan makin besarnya kebutuhan pasokan air baku
untuk air minum yang harus dipenuhi dari aliran air sungai, makin besar pula peran
infrastruktur sumberdaya air dalam mendukung pengadaan air baku. Contoh fenomenal
dalam pengadaan air baku untuk air minum adalah pengadaan air baku untuk DKI
Jakarta yang sebagian besar dipasok dari Waduk Jatiluhur pada sungai Citarum. Air
baku untuk air minum Jakarta yang diambil dari waduk dialirkan melalui Saluran Induk
Tarum Barat yang merupakan bagian dari Jaringan Irigasi Jatiluhur. Dengan demikian,
dukungan infrastruktur sumberdaya air terhadap pemenuhan kebutuhan air baku baik
untuk air minum maupun keperluan rumah tangga lainnya menjadi sangat penting.
Mengingat pentingnya peran infrastruktur sumberdaya air dalam mendukung
penyediaan air baku, maka peningkatan operasi dan pemeliharaan prasarana air baku
yang sudah dibangun mutlak dilakukan secara terus menerus untuk mempertahankan
dan menjaga kehandalan layanan penyediaan air baku.

16 
 

C.

Menambah Tampungan
Selain mempertahankan fungsi yang sudah ada, pembangunan tampungan-

tampungan baru, baik yang berskala besar maupun kecil sangat dibutuhkan dalam
rangka meningkatkan kapasitas tampungan air baku. Hal ini perlu segera dilakukan
sebagai konsekuensi meningkatnya kebutuhan air baku seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk yang terjadi. Pembangunan tampungan skala besar juga dapat
digunakan secara multifungsi bersama sektor lain, seperti irigasi untuk mendukung
ketahanan pangan, penyediaan tenaga listrik, dan lain sebagainya.

Pembangunan

tampungan baru juga diharapkan dapat mengatasi variasi musim dan ketimpangan
spasial ketersediaan air yang menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau. Dengan adanya tampungan-tampungan baru, ketersediaan air yang luar
biasa melimpah di musim hujan dapat disimpan dan kemudian dipergunakan di musim
kemarau.
Penambahan tampungan-tampungan baru tersebut juga selain merupakan upaya
untuk melakukan konservasi di hulu yang dimaksudkan untuk mempertahankan dan
memelihara keberadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air sehingga dapat lebih dijamin
ketersediaan

dan

kualitas

air

untuk

memenuhi

berbagai

kebutuhan

secara

berkesinambungan baik bagi generasi sekarang maupun akan datang. Selain itu,
pembangunan tampungan baru juga merupakan upaya untuk melakukan pengendalian
banjir yang saat ini sering terjadi di hilir terutama di beberapa wilayah perkotaan.
Sebagai contoh, untuk mengurangi resiko banjir yang setiap tahun melanda hilir
Bengawan Solo, Pemerintah menargetkan pembangunan tujuh buah waduk di hulu
Bengawan Solo yang merupakan salah satu prioritas nasional dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
D.

Teknologi Tepat Guna

Dalam menghadapi tantangan penyediaan dan pengelolaan air baku yang
semakin rumit, penyediaan air baku tidak cukup dilakukan melalui penambahan
tampungan saja tetapi juga harus didiukung dengan pengembangan teknologi tepat guna
seperti pengembangan metode penjernihan air dan lain sebagainya. Upaya
pengembangan dan inovasi teknologi tepat guna perlu dilakukan secara terus menerus
dan peran lembaga peneliti yang ada seperti LIPI, BPPT dan universitas menjadi sangat
17 
 

vital. Lebih lanjut, pengembangan teknologi tersebut juga penting untuk disosialisasikan
terutama kepada pemerintah sehingga dapat diadopsi dalam kebijakan pembangunan
nasional.
V.

Eco-Efficient
Salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan sumberdaya air adalah

dengan mengedepankan konsep keberlanjutan lingkungan dalam pemanfaatan Sumber
Daya Air, yang dikenal dengan konsep Eco-efficient. Eco-efficient dalam pengelolaan
Sumber Daya Air adalah sebuah proses
yang

berkelanjutan

dalam

desain,

konstruksi, operasi dan pemeliharaan
dengan meminimalkan dampak negatif
terhadap

lingkungan.

Eco-efficient

merupakan paradigma dan strategi baru
untuk mencapai tujuan pembangunan
Sumber Daya Air yang berkelanjutan
melalui perencanaan dan pengelolaan
yang terintegrasi dari efisiensi ekologi

Gambar 8. Eco-Efficient dalam pengelolaan SDA

dan efisiensi ekonomi secara bersamasama6. Eco-Efiicient yang pada awalnya dikenal pada sector industri ini diartikan
sebagai penyediaan barang produksi atau jasa yang memiliki nilai ekonomi yang
kompetitif namun dengan mengurangi dampak negatif terhadap ekologi sehingga dapat
sejalan dengan daya dukung lingkungan (bumi) (WBCSD, 1992). Secara lebih simple
eco-efficient dapat diartikan sebagai down-scalling dari konsep sustainable development
sehingga lebih membumi dan dapat diimplementasikan secara nyata dengan
memperhatikan prinsip-prinsip economical efficiency dan ecological efficiency (Kim,
2009). UNESCAP pada tahun 2008 mencoba memformulasikan ulang konsep ecoefficient ini untuk dapat diadopsi pada sector publik. Salah satu tantangan terbesar
dalam aplikasi di sector publik adalah bagaimana pendekatan eco-efficient ini dapat
memberikan nilai tambah dan tidak mensyaratkan adanya penambahan biaya baru.
                                                            

  Eco- Efficiency untuk pertama kalinya dipromosikan dalam “The World Business Council on
Sustainable Development”(WBCSD) sebagai konsep bisnis untuk memperbaiki kinerja ekonomi dan
kondisi lingkungan pada setiap perusahaan. Eco-efficiency telah banyak diterapkan didunia industri di
berbagai negara. 
6

18 
 

Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara Asia dan Pasifik yang telah
melaksanakan Eco-efficient dalam kebijakan prasarana Sumber Daya Air menunjukkan
bahwa dengan penerapan konsep Eco-efficient dapat menyeimbangkan antara
pertumbuhan ekonomi dan lingkungan (green-growth). Negara-negara di kawasan Asia
Pasifik yang telah melakukan eco-effuciency antara lain Korea Selatan, Jepang,
Singapura, China, Selandia Baru, Australia dan Brazil. Pendekatan ini sebenarnya
bukan hal yang baru bagi Indonesia, hanya saja dalam prakteknya belum terkonsep
secara baik dan diaplikasikan secara masal. System of Rice Intensification (SRI),
biopori, micro-hydro, serta upaya penampungan air hujan untuk dimanfaatkan kembali
merupakan beberapa contoh teknologi yang pada dasarnya sudah mengaplikasikan
konsep eco-efficient. Memperhatikan tantangan dan permasalahan ke depan, maka
Pemerintah Indonesia telah mengadopsi konsep Eco-efficient sebagai salah satu arah
kebijakan nasional bidang infrastruktur Sumber Daya Air khususnya dalam peningkatan
cakupan dan kualitas layanan air baku7. Dalam konteks penyediaan air baku, konsep
eco-efficient yang bisa diterapkan antara lain pemanfaatan air hujan melalui pemanenan
air hujan (rainwater harvesting). Teknologi pemanenan air hujan ini adalah teknologi
yang sederhana yang dapat mudah di terapkan oleh masyarakat. Selain bermanfaat dapat
meningkatkan ketersediaan air baku untuk air minum, ternak, irigasi, teknik pemanenan
air hujan ini sekaligus bermanfaat untuk konservasi yaitu sebagai recharge untuk air
tanah.

                                                            

7

Konsep Eco-efficient dalam kebijakan nasional tertuang dalam Buku II Bab V Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN 2010-2014). Di dalam RPJMN 2010-2014 disebutkan
bahwa dalam rangka peningkatan cakupan dan kualitas layanan air baku secara optimal, berkelanjutan,
adil, dan merata, salah satunya akan ditempuh dengan mengembangkan dan menerapkan teknologi
pengolahan air yang murah dan ramah lingkungan sesuai dengan kaidah-kaidah eco efficient.

19 
 

Bibliography
Departemen Pertanian. (2006). Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Jakarta: Balai Besar 
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Departemen 
Pertanian. 
Deputi SDA‐LH Bappenas. (2008). Konsep Rancangan Awal RPJMN 2010‐2014 Bidang Sumber 
Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas 
Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas. (2006). Laporan Akhir Buku 1 Prakarsa Strategis 
Pengelolaan Sumber Daya Air Untuk Mengatasi Banjir Dan Kekeringan di Pulau 
Jawa. Jakarta: Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas. 
Hartoyo. (2010). Program Pengembangan Penyediaan Air Untuk Menjamin Ketahanan Pangan 
Nasional. Seminar Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air untuk 
Ketahanan Pangan. Bogor: Kementerian Pekerjaan Umum. 
Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008. Jakarta: 
Kementerian Lingkungan Hidup. 
Kementerian PPN/Bappenas. (2009). Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004 ‐ 2009. 
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas,. 
Kementerian PPN/Bappenas. (2003). Infrastruktur Indonesia. Jakarta: Kementerian 
PPN/Bappenas. 
Kim, T. H. (2009). Eco efficient Water Infrastructure in Indonesia. Presented in the Workshop 
on Eco‐Efficient Concept Development. Jakarta: Dit. Pengairan dan Irigasi, 
Bappenas 
Schouten, M. (2006). Integrated Water Resources Management. Unpublish lectures note. 
Delft: UNESCO‐IHE Institute for Water Education 
Tim Swakelola Subdit Cantek Direktorat Rawa dan Pantai. (2007). Laporan Akhir Updating Data 
Pengelolaan Rawa Dan Pengamanan Pantai TA. 2007. Jakarta: Kementerian 
Pekerjaan Umum. 
 

20