TOKOH DALAM NOVEL BANYUMASAN IKON PEMBEN

TOKOH DALAM NOVEL BANYUMASAN : IKON PEMBENTUK
KARAKTER LOKAL PEDESAAN BUDAYA BANYUMAS
Felix Brian Hari Ekaristianto
Abstrak
Karakter lokal pedesaan masyarakat Banyumas tercermin melalui
karya-karya Ahmad Tohari. Ikon lokal pedesaan masyarakat
Banyumas dapat tercipta melalui tokoh-tokoh dalam karya
tersebut. Dengan melakukan pengkajian terhadap tokoh-tokoh
tersebut maka kearifan lokal pedesaan masyarakat Banyumas akan
dapat diketahui dan ikon itupun dapat tercipta. Ikon dimungkinkan
untuk dijadikan model dalam pembentukan karakter.
Kata kunci: karakter lokal, masyarakat Banyumas, ikon lokal
A. Pendahuluan
Banyumas merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Tengah. Kabupaten Banyumas merupakan bagian dari wilayah budaya
Banyumasan yang berkembang di bagian barat Jawa Tengah. Bahasa yang
dituturkan adalah bahasa Banyumasan, yakni salah satu dialek bahasa Jawa yang
cukup berbeda dengan dialek standar bahasa Jawa (dialek Mataraman).
Masyarakat dari bahasa dan daerah lain kerap menjuluki bahasa ngapak karena
ciri khas bunyi /k/ yang dibaca penuh pada akhir kata (berbeda dengan dialek
Mataraman yang dibaca sebagai glottal stop).

Banyumas mempunyai kedudukan yang unik dalam kebudayaan Jawa.
Secara antropologis, Banyumas berada di antara dua kebudayaan besar yang
berkembang di Pulau Jawa, yaitu kebudayaan Jawa yang berpusat di Surakarta,
Yogyakarta, dan kebudayaan Sunda. Kedudukan Banyumas yang berdiri di antara
dua kebudayaan tersebut menyebabkan adanya beberapa bagian budaya
Banyumas yang tidak dapat dimasukkan atau dikategorikan sebagai budaya Jawa.
Keunikan

masyarakat

Banyumas

terletak

pada

karakter

umum


masyarakatnya. Menurut Priyadi (2003) karakter umum masyarakat Banyumas
yang meliputi (1) mencari kejayaan dan keemasan, (2) suka memberontak, (3)
sering konflik, (4) suka bekerja keras. Di samping itu, orang Banyumas memiliki
karakteristik sebagai (a) masyarakat egaliter, (b) orang-orang bebas, (c) orang-

1

orang vulgar, dan (d) budaya afirmatif dan budaya kritis. Karakter umum
masyarakat Banyumas tersebut tercermin salah satunya dari karya sastra
Banyumasan.
Ahmad Tohari adalah salah satu sastrawan yang paling produktif dalam
menghasilkan karya sastra. Karya-karyanya meliputi Kubah (1980); Novel Trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk: Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini
Hari (1985), Jantera Bianglala (1986); Di Kaki Bukit Cibalak (1986); Senyum
Karyamin (kumpulan cerpen 1989); Bekisar Merah (1993); Lingkar Tanah
Lingkar Air (1995); Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000); Belantik (2001);
Orang Orang Proyek (novel, 2002); Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen,
2004).
Perkembangan sastra di Banyumas saat ini cukup baik. Di beberapa
tempat muncul kantong-kantong sastra yang aktif bergerak dan berkarya.

Berbagai macam kegiatan apresiasi sastra telah dilakukan seperti diskusi sastra,
peluncuran buku sastra, pembuatan buletin sastra, dan bedah buku sastra.
Kantong-kantong sastra atau komunitas-komunitas sastra tersebut dipelopori oleh
orang-orang muda. Dari komunitas-komunitas sastra itulah muncul penulispenulis (sastrawan) muda Banyumas yang karya-karyanya telah dimuat di
berbagai media cetak baik lokal maupun nasional, dan juga telah termuat dalam
antologi bersama yang bersifat nasional (Lelono, 2012).
Sastra Banyumasan merupakan sastra yang mempunyai nilai-nilai unggul
dan perlu dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa. Mempelajari sastra
Banyumasan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mempelajari
kearifan lokal (local wisdom) yang ada di Banyumas. Kearifan lokal bukan
sekadar mengetahui nilai-nilai dalam kandungan budaya itu, akan tetapi hal yang
lebih jauh dari itu adalah menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah
kehidupan yang ada pada saat ini maupun yang akan datang.
Identitas masyarakat Banyumas tercermin dari sastra Banyumasan.
Identitas budaya ini dapat membedakan masyarakat Banyumas dengan
masyarakat lain. Identitas masyarakat itu menurut Poespowardojo (1993)
tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem
nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola
2


serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam
gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya.
Penokohan dalam sastra Banyumasan mencerminkan warna dan identitas
lokal budaya masyarakat Banyumas. Karakter umum masyarakat Banyumas
terwakili oleh tokoh dalam sastra Banyumasan. Hal ini sangat menarik karena
dengan membaca sastra Banyumasan maka masyarakat akan mengetahui
gambaran secara umum budaya Banyumasan, terutama dalam hal watak
masyarakatnya. Karya sastra Banyumasan merupakan cerminan dari budaya
Banyumas sehingga kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Banyumas dapat
terekspos secara luas. Kebudayaan adalah pencerminan perkembangan dan
menunjukan identitas manusia. Dengan demikian, budaya memiliki fungsi yang
sangat besar terhadap pembangunan nasional. Kearifan lokal pedesaan merupakan
salah satu bagian dari kebudayaan yang harus dilestarikan demi pembangunan
karakter bangsa dan negara.
B. Sastra, Kebudayaan, dan Kearifan lokal
Dalam suatu karya sastra terpancar pemikiran dan tradisi kehidupan suatu
masyarakat. Oleh karena itu, berbicara tentang kasusastraan berarti juga
membicarakan suatu segi kebudayaan (Lelono, 2012). Sastra sangat berperan
dalam mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai
disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu

manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, dan manusia sebagai
makhluk kultural. Peranan sastra terhadap kebudayaan tidak terlepas dari
pengarang sebagai penghasil karya sastra. Pengarang jelas merupakan anggota
masyarakat.

Pengarang

menghasilkan

suatu

karya

sastra

atas

dasar

pengalamannya dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

karya sastra mewakili masyarakatnya.
Pengarang tidak pernah mengarang semata-mata atas dasar pengalamannya
secara pribadi. Pengarang dikondisikan secara sosial, artinya ia hanya ada dalam
kaitannya dengan masyarakat sehingga karya sastra bersifat sosial (Ratna, 2005).
Melalui pemahaman secara fakta sosial, pengarang menciptakan tokoh dalam
karya

sastranya

untuk

mewakili

tokoh-tokoh

sesungguhnya.
3

dalam


masyarakat

yang

Sastra adalah bagian integral suatu masyarakat tertentu. Sementara itu
masyarakat sendiri merupakan bagian dari kebudayaan yang lebih luas.
Keseluruhan permasalahan masyarakat yang dibicarakan dalam sastra tidak bisa
dilepaskan dari kebudayaan yang melatarbelakanginya. Karya sastra memiliki
berbagai cara dalam melestarikan kebudayaan. Hal tersebut secara keseluruhan
dilakukan melalui sarana bahasa.
Kearifan lokal merupakan dasar untuk pengambilan kebijakan pada taraf lokal
di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan
kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan
budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah
sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta
diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Kearifan lokal juga mengacu pada kekayaan budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah masyarakat dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai
elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga
masyarakat (Haba, 2007). Karkono (dalam Sutardjo, 2008) berpendapat bahwa

kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang
mencakup kemauan, cita-cita, ide, maupun semangat dalam mencapai
kesejahteraan, keselamatan lahir dan batin. Kebudayaan Jawa ini telah ada sejak
zaman prasejarah. Wilayah budaya Jawa meliputi daerah Jawa Barat (tanah
pasundan), daerah Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta daerah pesisir dan ujung
timur.
Kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan
Jawa. Namun karena kondisi dan letek geografis yang jauh dari pusat kekuasaan
keraton, latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat
dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya
Banyumas dapat dibedakan dari budaya Jawa (keraton).
Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang
dilandasi semangat kerakyatan, cablaka (transparancy) explosure (terbuka) dan
dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris
(Saptono, 2010). Kecenderungan demikian disebabkan oleh wilayah Banyumas

4

yang berada di pinggiran, jauh dari kerajaan-kerajan besar (Jogyakarta,
Surakarta).

Kearifan lokal masyarakat Banyumas tercermin dalam semboyan Banyumas
Satria. Menurut Nurhidayat (2013), Satria adalah sebuah sifat yang dimiliki oleh
para kstaria. Dalam sejarah Banyumas, Raden Joko Kaiman, pendiri Kabupaten
Banyumas, sangat mashur karena sifat satrianya. Sifat ini merupakan sifat yang
sangat luhur. Sifat-sifat satria dicirikan oleh beberapa hal, yakni sifat altruistis
yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri, sifat pejuang pembangunan yang
tangguh, tanggap dan tanggon, sifat membangkitkan jiwa persatuan kesatuan, dan
sifat mampu memberikan kesejahteraan kepada sesamanya.
Selain itu, kearifan lokal masyarakat Banyumas juga tercermin melalui karya
sastra. Salah satu pengarang yang berusaha memperlihatkan dan memperkenalkan
kearifan lokal masyarakat Banyumas adalah Ahmad Tohari. Ahmad Tohari tidak
pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya. Hampir semua
karyanya berwarnakan lapisan bawah dengan latar alam. Dia memiliki kesadaran
dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya. Ahmad
Tohari selalu menyatukan kehidupan pedesaan dan kehidupan orang-orang kecil
yang lugu dan sederhana dalam setiap karya-karyanya. Persoalan mengenai
lingkungan hidup yang jarang dijamah atau dijadikan latar oleh pengarang di
Indonesia justru menjadi salah satu daya pikat karya-karya Ahmad Tohari. Dunia
pedesaan yang lugu, kumuh, bodoh, dan alami masih tetap menjanjikan
kedamaian yang tulus dan alami. Dunia pedesaan adalah dunia jujur yang

senantiasa mengutamakan keharmonisan dan keselarasan hubungan dengan
makhluk hidup serta dunia di sekitarnya. Ahmad Tohari selalu menampilkan
warga desa dari kalangan bawah sebagai tokoh sentralnya. Ia seolah-olah
mewakili rakyat kecil yang miskin, bodoh, dan melarat. Masalah mengenai
kerakyatan sangat menonjol dalam setiap karya sastra Ahmad Tohari.
Kejadian atau peristiwa kehidupan dalam masyarakat dapat direkam oleh
pengarang melalui daya kreasi dan imajinasi. Kejadian tersebut dijadikan karya
sastra yang menarik dan bermanfaat. Karya sastra digunakan pengarang untuk
mengajak pembaca ikut melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman
hidup yang pernah dirasakannya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bisa
5

menjadi gambaran masyarakat di sekitar pengarang, sekaligus tanda yang
menunjukkan situasi dan kondisi lingkungan pengarang karena sebuah karya
sastra lahir dari situasi yang terjadi di sekitar pengarang.
Ian Watt (dalam Damono, 1979) mengklasifikasi tentang hubungan timbal
balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yang secara keseluruhan
merupakan bagan berikut:
a. Konteks sosial pengarang
Konteks sosial pengarang ada hubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam

masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi pengarang sebagai
perseorangan di samping memengaruhi isi karya sastra. Pendekatan ini meliputi:
bagaimana mata pencaharian pengarang, sampai dimana pengarang menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi dan masyarakat yang menjadi tujuan
pengarang.
Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup
kedesaanya. Hampir semua warna karyanya didominasi kisah lapisan bawah
dengan latar alam. Dia memiliki kesadaran dan wawasan alam yang jelas terlihat
pada tulisan-tulisannya karena rasa ketertarikannya dengan keaslian alam maka
Ahmad Tohari tidak pernah betah hidup di kota. Jabatannya dalam staff redaksi
kelompok Merdeka, Jakarta yang dipegangnya selama dua tahun ditinggalkannya.
Kini ia kembali berada di tengah sawah di antara lumpur dan katak, di antara
lumut dan batu cadas di desanya.
Ahmad Tohari dalam menghasilkan karya sastra selalu berhubungan dengan
masyarakat pedesaan karena ia bertujuan agar masyarakat luas mengenal
kebudayaan dan kearifan lokal Banyumas. Ia berusaha memperkenalkan dan
memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang dunia pedesaan yang
jujur dan senantiasa mengutamakan keharmonisan dan keselarasan hubungan
dengan maklhuk hidup dan sekitarnya. Dengan demikian, kearifan lokal
Banyumas dapat dikenal masyarakat dan masyarakat dapat mengetahui
pentingnya pelestarian kebudayaan lokal pedesaan.
6

b. Sastra sebagai cermin masyarakat
Sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin keadaan
masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila menilai
karya sastra sebagai cermin masyarakat. Hal pokok yang perlu mendapat
perhatian adalah 1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada saat karya
sastra itu dibuat, 2) sejauh mana pengaruh sifat pengarang dalam menggambarkan
keadaan masyarakat, dan 3) sejauh mana genre sastra yang dipakai pengarang
yang bisa dianggap mewakili seluruh masyarakat.
Unsur lokalitas karya-karya Ahmad Tohari sangat kental. Banyumas dan
dialek Banyumasan sangat menonjol dalam setiap karya-karyanya. Karakter
masyarakat dan kultur budaya pedesaan Banyumas sangat lekat dengan karya
sastranya. Ahmad Tohari cenderung cablaka dalam setiap karya sastranya, namun
ia tidak mengesampingkan faktor religiusitas seperti dalam novel Kubah. Novel
ini sangat kuat kesantriannya. Terlebih, di akhir cerita sang tokoh bertobat dan
berserah diri untuk mengurus masjid. Akhir cerita adalah bagian dakwah sang
pengarang terhadap pembacanya.
Ahmad Tohari memiliki karakter yang sederhana, lugas, apa adanya, santun,
dan anti feodalisme seperti halnya karakter masyarakat Banyumas secara umum.
Ahmad Tohari yang tidak hanya gencar menyuarakan nasib wong cilik yang
terpinggir dan dipinggirkan ke dalam teks sastra, tetapi juga menyelaraskan dan
menyatukan “darah kehidupan”-nya di tengah-tengah kehidupan wong cilik yang
bersahaja.
Karya-karya yang dihasilkan oleh Ahmad Tohari sangat mewakili keadaan
masyarakat Banyumas sebenarnya. Karakter-karakter tokoh dalam karya-karya
Ahmad Tohari disesuaikan dengan karakter masyarakat Banyumas secara umum,
sehingga karakter masyarakat Banyumas lebih terekspos dan masyarakat umum
tidak memandang masyarakat Banyumas dengan sebelah mata. Hal ini disebabkan
karena masyarakat Banyumas juga memiliki kearifan lokal yang dapat menjadi
teladan bagi masyarakat daerah lain.

7

c. Fungsi sosial sastra
Meneliti sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh
mana nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Tiga hal yang menjadi perhatian adalah
1) sejauh mana sastra dapat berfungsi untuk merombak masyarakat, 2) sejauh
mana sastra hanya sebagai hiburan, dan 3) sejauh mana terjadi sintesis antara
kemungkinan 1 dan 2 di otak.
Karya-karya Ahmad Tohari dapat digunakan untuk merombak pemikiran
masyarakat yang selama ini beranggapan bahwa hidup mewah di perkotaan adalah
hal yang membahagiakan. Kebahagiaan dan kedamaian hati tidak hanya dapat
diperolah dari hidup mewah di kota, juga tetapi dapat pula diperoleh di pedesaan
dengan

kehidupan

yang

sederhana.

Pedesaan

dengan

kejujuran

dan

kesederhanaanya mampu memberikan ketenangan batin dan kedamaian hati.
Selain itu, karya-karya Ahmad Tohari berhasil mengungkapkan realitas
yang memprihatinkan tentang kehidupan masyarakat dalam berpolitik, dan segala
kekejaman manusia demi memperoleh kejayaan. Dengan demikian, Ahmad Tohari
mampu membukakan pikiran masyarakat bahwa dalam berpolitik dan
memperoleh sesuatu juga harus memikirkan nasib manusia di sekitarnya.
Karya-karya Ahmad Tohari juga memberikan hiburan bagi masyarakat.
Hal ini tidak terlepas dari fungsi karya sastra sebagai sarana untuk menghibur.
Dengan gaya bahasa Ahmad Tohari yang menggelitik, masyarakat akan terhibur
dengan pengungkapan realitas kehidupan masyarakat pedesaan yang dituangkan
Ahmad Tohari dalam karya-karyanya.
C. Tokoh dan Karakter Umum Masyarakat
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002) tokoh cerita adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Misalnya,
dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari sengaja menokohkan
8

seorang ronggeng yaiu Srintil yang lugu dan naif. Srintil merupakan bagian
sekaligus simbol tradisi yang membesarkannya. Tokoh cerita menempati posisi
strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu
yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Setiap tokoh dalam suatu cerita pasti memiliki keunikan karakter. Bahkan,
tidak jarang pula karakter tokoh dalam suatu cerita mewakili karakter masyarakat
yang ada dalam dunia nyata. Misalnya, keunikan masyarakat Banyumas terletak
pada karakter umum masyarakatnya. Menurut Sugeng Priyadi (2003), karakter
umum masyarakat Banyumas yang meliputi (1) mencari kejayaan dan keemasan,
(2) suka memberontak, (3) sering konflik, dan (4) suka bekerja keras. Di samping
itu, orang Banyumas memiliki karakteristik sebagai (a) masyarakat egaliter, (b)
orang-orang bebas, (c) orang-orang vulgar, dan (d) budaya afirmatif dan budaya
kritis.
Berpijak dari pendapat di atas, dapatlah direlevansikan antara karakter tokoh
dalam karya-karya Ahmad Tohari dengan karakter umum masyarakat Banyumas.
Hal tersebut dapat dilihat dari uraian di bawah ini.
(1) Mencari Kejayaan dan Keemasan
Karakter masyarakat Banyumas yang mencari kejayaan dan keemasan
diwakili oleh tokoh Kartareja dan Nyai Kartareja dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk, tokoh Dalkijo dalam novel Orang-Orang Proyek, dan tokoh Pak Danu
dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak.
Kartareja dan Nyai Kartareja merupakan tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk yang berkarakter licik. Kelicikan mereka disebabkan karena mereka suka
mencari kejayaan dan keemasan. Demi memperoleh keuntungan yang lebih
banyak, mereka menipu Dower dan Sulam agar ketika malam bukak klambu
Srintil bisa melayani mereka berdua. Demi mendapatkan uang emas dan kerbau
yang dibawa oleh Dower dan Sulam, Kartareja dan istrinya mengakali mereka.
Hal tersebut tampak pada kutipan di bawah ini.

9

“Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower”, kata Kartareja.
Istrinya tersenyum. Walaupun tidak selicik Kartareja, namun perempuan itu
sudah dapat menduga ke mana maksud tindakan suaminya. (Ronggeng Dukuh
Paruk, halaman 74)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kartareja dan istrinya sudah saling
mengerti

untuk bekerjasama mengakali Dower dan Sulam agar dapat tidur

bersama Srintil dalam waktu semalam. Hal itu mereka lakukan karena mereka
tidak mau rugi. Mereka ingin mendapatkan kerbau dan uang emas tanpa ingin
kehilangan salah satunya.
Tokoh selanjutnya adalah Dalkijo. Dalkijo merupakan salah satu tokoh dalam
novel Orang-Orang Proyek. Dalkijo adalah orang yang sangat membenci
kemiskinan. Ia membenci kemiskinan karena ingin hidup dengan kejayaan dan
keemasan. Bahkan, ia rela melakukan korupsi pada proyek yang sedang ia
kerjakan demi memperoleh kejayaan dan keemasan. Hal tersebut tampak pada
kutipan di bawah ini.
a) “Atau entahlah, yang jelas sekarang saya ada pada posisi bisa memutus
rantai panjang kemiskinan yang melilit kami. Saya kini punya kemampuan
untuk membalas dendam terhadap kemiskinan yang begitu lama
menyengsarakan kami. Saya sudah melakukan apa yang dibilang orang
sebagai tobat melarat. Selamat tinggal, nasi tiwul, tikar pandan, atau
rumah berlantai tanah, dan beratap rendah”. (Orang-Orang Proyek,
halaman 29)
b) “Saya tahu dalam perhitungan yang wajar, keuntungan kita dari proyekproyek yang kita kerjakan adalah nol atau malah minus. Tapi, ya itu tadi,
kalau kita bisa bermain, nyatanya perusahaan kita masih jalan”. (OrangOrang Proyek, halaman 27)
Kutipan (a) di atas menunjukkan bahwa Dalkijo sangat membenci kemiskinan.
Ia tidak mau menderita karena hidup miskin. Dalkijo melakukan berbagai cara
agar bisa keluar dari kemiskinan dan salah satu caranya adalah dengan korupsi
10

seperti yang ditunjukkan dalam kutipan (b) di atas. Oleh sebab itu, dapat diketahui
bahwa Dalkijo adalah orang yang suka terhadap kejayaan dan keemesan. Ia pun
rela melakukan apa saja demi mendapatkan hal tersebut.
Tokoh berikutnya adalah Pak Danu. Pak Danu adalah salah satu tokoh yang
terdapat dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Pak Danu memiliki karakter selalu
ingin dianggap kaya oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia bahkan rela
mencuri parfum agar bisa dipamerkan kepada warga. Hal tersebut tampak pada
kutipan di bawah ini.
Suatu siang Pak Danu pulang dari rumah taukenya. Ia sengaja singgah
beberapa kali ke rumah orang-orang yang dikenalnya. Pak Danu ingin
memamerkan sebuah parfum yang dicurinya dari rumah Akiat, sambil
berpropaganda dengan bangga, “Ya, inilah obat semprot ketiak yang sering
disiarkan oleh radio dan televise. Inilah barangnya, kalian baru melihat
gambarnya atau mendengar namanya saja bukan? Tetapi aku kini telah
memilikinya! Di kampung ini pastilah aku yang pertama kali memiliki barang
mahal ini”. (Di Kaki Bukit Cibalak, halaman 7)
Berdasarkan kutipan di atas maka dapat diketahui bahwa Pak Danu adalah
orang yang suka mencari kejayaan dan keemasan. Agar dianggap kaya oleh
warga, ia rela mencuri parfum dari rumah Akiat untuk dipamerkan kepada warga
sekitar.
Dari berbagai uraian di atas maka dapat diketahui bahwa masyarakat
Banyumas cenderung memiliki sifat suka mencari kejayaan dan keemasan. Hal
tersebut diwakili oleh tokoh Kartareja dan Nyai Kartareja dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk, tokoh Dalkijo dalam novel Orang-Orang Proyek, serta tokoh Pak
Danu dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Tokoh-tokoh tersebut mampu mewakili
karakter masyarakat Banyumas karena Ahmad Tohari mampu menggambarkan
tokoh-tokoh tersebut dengan sangat luwes.
(2) Suka Memberontak

11

Karakter masyarakat Banyumas yang suka memberontak diwakili oleh tokoh
Kabul dalam novel Orang-Orang Proyek, dan tokoh Pambudi dalam novel Di
Kaki Bukit Cibalak.
Kabul adalah tokoh utama dalam novel Orang-Orang Proyek. Ia seorang
pemuda baik hati yang idealis sehingga berani memberontak. Karena sikap
idealismenya yang tinggi tersebut, ia terpaksa bersitegang dengan atasan dan
mundur dari manipulasi proyek garapannya. Hal tersebut tampak dalam kutipan di
bawah ini.
“Terimakasih atas nasihat Pak Dalkijo. Untuk mereka yang suka gampangan
dan ingin serba mudah, nasihat bapak tentu pas. Dan maaf, Pak, saya bukan dari
kalangan seperti itu. Jadi saya memilih mengundurkan diri terhitung sejak hari
ini ........................................................................................................Maaf, Wat,
aku memutuskan berhenti karena prinsip yang harus ku bela”. (Orang-Orang
Proyek, halaman 200-201)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Kabul adalah orang yang memiliki
idealisme tinggi dan berani memberontak bila hal-hal yang dilakukan tidak sesuai
dengan kebenaran.
Tokoh selanjutnya adalah Pambudi.

Pambudi adalah tokoh dalam utama

dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Ia adalah seorang pemuda yang pada awalnya
bekerja di koperasi desa, tetapi Pambudi paham betul bagaimana teman kerjanya
Poyo bisa hidup lebih makmur daripada dia. Hal itu disebabkan Poyo bekerja
sama dengan Pak lurah yang baru. Pak Dirga adalah nama lurah itu. Sama dengan
lurah-lurah sebelumnya, ia adalah seorang lurah yang curang demi keuntungan
diri sendiri. Pambudi sangat berbeda prinsip dengan Pak Dirga yang menyebabkan
akhirnya Pambudi mundur dari koperasi. Hal tersebut tampak dalam kutipan di
bawah ini.
Bahkan dalam hatinya, Pambudi merasa lega. Ia merasa telah menuruti
suara hati nuraninya untuk tidak turut melakukan kecurangan bersama Pak
Dirga.................................................................................. Pambudi tidak bisa
12

mengatakan mengapa di pagi hari itu ia merasa begitu tentram. Padahal tadi
malam ia telah menulis surat kepada Pak Dirga. Pambudi menyatakan
mengundurkan diri dari kepengurusan lumbung koperasi desa. (Di Kaki Bukit
Cibalak, halaman 27)
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Pambudi memiliki sifat berani
memberontak. Pemberontakan itu ia wujudkan dengan cara mengundurkan diri
dari koperasi desa. Ia lebih memilih untuk tetap pada idealismenya daripada
menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya.
Karakter orang Banyumas yang idealis dan berani memberontak sangat
terwakili oleh kedua tokoh di atas. Kedua tokoh di atas mampu mengambil
keputusan yang sangat berani meskipun mereka harus kehilangan mata
pencaharian mereka demi membela kepentingan rakyat. Mereka tidak takut
kepada apa pun dan siapa pun selama hal tersebut membela hak rakyat kecil.
Mereka

berani

memberontak

kepada

penguasa

dan

mengesampingkan

kepentingan pribadi demi rakyat kecil.

(3) Sering berkonflik
Karakter orang Banyumas yang sering berkonflik diwakili oleh tokoh Margo
dan Triman dalam novel Kubah, serta tokoh Pak Dirga dalam novel Di Kaki Bukit
Cibalak. Margo dan Triman adalah dua kader PKI yang menghasut Karman
sehingga Karman dendam dengan keluarga Haji Bakir. Margo dan Triman
menciptakan konflik di antara Karman dan keluarga Haji Bakir. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini.

13

“Jauhkan Karman dari Haji Bakir, dari masjidnya. Harus ditemukan cara
untuk memisahkan Karman dari tuan tanah dan masjidnya itu.” (Kubah, halaman
88)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Margo dan Triman membuat sebuah
rencana agar Karman jauh dari Haji Bakir. Margo dan triman sengaja menciptakan
konflik di antara keduanya. Dengan demikian, Karman bisa direkrut menjadi
kader PKI.
Tokoh berikutnya adalah Pak Dirga. Pak Dirga adalah tokoh dalam novel Di
Kaki Bukit Cibalak. Pak Dirga adalah tokoh yang suka berjudi, suka korupsi, dan
suka berganti-ganti istri. Pak Dirga memfitnah Pambudi agar Pambudi dianggap
sebagai orang yang telah menggunakan uang warga desa demi kepentingan
pribadi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Kukira sudah cukup, Pak. Tak ada pengeluaran yang tidak dapat kita
buktikan kesahannya. Pengeluaran untuk biaya pelantikan bapak sebelas
bulan yang lalu sudah dihapuskan.”
“Hanya dihapuskan?”
“Ya, Pak. Tapi dalam buku yang kedua ada pengeluaran sebesar 125.000 atas
tanggung jawab seseorang.”
“Pambudi.”
“Ya.”
“Jempolan! Simpan buku yang kedua itu. Nanti pada saat yang tepat kita
akan menyebarluaskan isinya. Semua warga Tanggir akan mencap Pambudi
sebagai ‘kelilip’ desa.” (Di Kaki Bukit Cibalak, halaman 59-60)
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pak Dirga telah berencana
memfitnah Pambudi. Fitnah ini bertujuan agar Pambudi dianggap sebagai

14

koruptor oleh warga desa. Dengan demikian, maka akan terjadi konflik di antara
warga desa dan Pambudi.
Karakter orang Banyumas yang sering konflik sangat terwakili oleh ketiga
tokoh di atas. Ketiga tokoh di atas mampu membuat tokoh lain berkonflik karena
adanya fitnah dan hasutan yang dibuat oleh mereka. Mereka melakukan hal itu
semata-mata hanya untuk kepentingan diri mereka dan kelompoknya masingmasing.
(4) Suka Bekerja Keras
Karakter orang Banyumas yang suka bekerja keras diwakili oleh tokoh
Pambudi dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak dan Karman dalam novel Kubah.
Pambudi adalah tokoh uatama dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Pambudi
memiliki sifat pekerja keras. Sifat Pambudi tersebut dapat dilihat dari kutipan di
bawah ini.
“Kehidupan yang rutin mulai dilakukan oleh Pambudi. Pagi-pagi menanak

nasi dan merebus air untuk berdua. Sesudah Topo berangkat ke kampus ia
membuka-buka buku pelajaran SMA yang didatangkan oleh sahabatnya. Dua
bulan lamanya Pambudi bekerja keras. Pambudi juga berusaha mendapatkan
pekerjaan sementara. Pambudi bekerja di toko arloji. Selain menjaga toko, ia
juga harus menyapu, mengepel, dan mengantarkn babu ke pasar.” (Di Kaki Bukit
Cibalak, halaman 104)
Pambudi bekerja keras demi biaya pengobatan Mbok Ralem yang terkena
penyakit kanker. Tanpa pantang menyerah Pambudi bekerja keras untuk
mengumpulkan uang. Pambudi adalah tokoh dengan karakter suka bekerja keras.
Tokoh selanjutnya adalah Karman. Karman adalah tokoh utama dalam novel
Kubah. Karman memiliki sifat pekerja keras. Ia selalu berusaha menyempatkan
diri melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan seperti bekerja pada Bu Haji
Bakir agar mendapat sesuap nasi. Sifat Karman tersebut dapat dilihat dari kutipan
di bawah ini :
15

“Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan Karman sementara
anak itu momong adiknya”. (Kubah, halaman 64).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Karman merupakan anak yang
bekerja keras demi dapat menghidupi keluarganya karena ayah yang telah
meninggal dan ibunya yang telah tidak memiliki pekerjaan.
Kedua tokoh di atas mewakili karakter masyarakat Banyumas yang suka
bekerja keras. Pambudi dan Karman adalah cerminan dari masyarakat Banyumas
yang suka bekerja keras. Sifat ini merupakan sifat yang bijakasana karena mereka
bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga orang lain.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, dapat diketahui bahwa watak tokoh-tokoh
dalam karya Ahmad Tohari merupakan relevansi dari masyarakat Banyumas di
dunia nyata. Dengan demikian, karakter masyarakat Banyumas secara umum
dapat diketahui oleh masyarakat luas melalui karya-karya Ahmad Tohari. Selain
karakter umum di atas, masyarakat Banyumas juga memiliki keunikan lain.
Seperti yang disampaikan oleh Priyadi (2003), orang Banyumas memiliki
karakteristik sebagai (a) masyarakat egaliter, (b) orang-orang bebas, (c) orangorang vulgar, dan (d) budaya afirmatif dan budaya kritis. Hal tersebut akan
dijabarkan sebagai berikut.
(a) Masyarakat egaliter
Bagi orang Banyumas, seseorang jauh lebih dihargai dalam pergaulan seharihari apabila ia menegur lawan bicara dengan menyebut namanya (Sugeng Priyadi,
2003). Orang Banyumas kadang-kadang tidak memperhatikan sebutan yang erat
dengan status sosial. Asalkan ia mengenal dengan baik nama orang itu, maka ia
berperilaku penuh dengan keakraban. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa
tokoh yang ada di dalam karya-karya Ahmad Tohari. Seperti tokoh Kabul dalam
Orang-Orang Proyek yang memanggil Wati dengan menyebut namanya saja
karena mereka sudah akrab. Seperti pada kutipan berikut “Wat, maafkan bila
ucapanku tadi membuat kamu sedih.”(Orang-Orang Proyek, halaman 183). Dari
kutipan tersebut tampak bahwa Kabul menggunakan kata Wat untuk menyebut
16

nama Wati. Hal tersebut Kabul lakukan karena ia sudah akrab dengan Wati. Yos
yang juga merupakan salah satu tokoh dalam novel Orang-Orang Proyek juga
menyebut Wati dengan kata Wat, seperti pada kutipan berikut “Wat, aku datang
untuk bertanya.” (Orang-Orang Proyek, halaman 176). Kedua tokoh di atas
menunjukkan bahwa orang Banyumas lebih suka menyebut nama untuk
memanggil seseorang yang sudah dikenal akrab. Sementara itu, tokoh lain dalam
novel Orang-Orang Proyek yang menggunakan nama untuk menyapa secara
langsung adalah Basar. Basar memanggil Kabul hanya dengan kata Bul. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan berikut “Bul, tolong pahami posisiku yang sulit ini”.
(Orang-Orang Proyek, halaman 143). Basar memanggil Kabul hanya dengan
sebutan Bul karena Basar telah mengenal Kabul dengan dekat. Mereka adalah
teman semasa kuliah sehingga untuk menunjukkan keakraban Basar memanggil
Kabul dengan sebutan Bul.
Selain

tokoh-tokoh

dalam

Orang-Orang

Proyek,

tokoh

lain

yang

menggunakan nama untuk menyapa juga terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk. Tokoh yang menggunakan sapaan tersebut adalah Rasus. Rasus memanggil
Srintil dengan sebutan Srin. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut “Srin, tepuk
pipimu yang kanan. Ada nyamuk.” (Ronggeng Dukuh Paruk, halaman 65).
Kutipan di atas menunjukkan panggilan Rasus kepada Srintil dengan sebutan Srin.
Hal tersebut terjadi karena Rasus dan Srintil adalah teman sejak kecil sehingga
mereka sangat akrab. Srintil pun juga menyebutkan nama untuk memanggil
Rasus. Hal ini terdapat pada kutipan berikut “Wah, kau benar, Rasus. Seharusnya
aku tidak melupakan hal itu.” (Ronggeng Dukuh Paruk, halaman 37). Dari kedua
tokoh di atas tampak bahwa masyarakat Banyumas cenderung lebih suka
menggunakan nama orang untuk menunjukkan kedekatan / keakraban ketika
saling berkomunikasi.
Berikutnya dalam menyapa tokoh lain juga terdapat dalam tokoh Sapon dalam
novel Bekisar Merah. Sapon menyapa Lasi dengan sebutan Las. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut “Las, kamu jangan linglung.” (Bekisar Merah,
halaman 99). Kutipan tersebut menunjukkan panggilan Sapon kepada Lasi dengan
sebutan Las. Hal ini terjadi karena Sapon dan Lasi adalah teman akrab. Lasi pun
17

juga memanggil Mukri dengan sapaan kamu. Hal ini terdapat pada kutipan berikut
“Sudah malam begini kamu mau meneruskan pekerjaanmu?” (Bekisar Merah,
halaman 22). Kutipan tersebut menunjukkan adanya keakraban pada diri Lasi dan
Mukri karena Lasi hanya menggunakan kata sapaan kamu untuk memanggil
Mukri.
Beberapa tokoh di atas dapat mewakili masyarakat Banyumas yang egaliter.
Hal tersebut terjadi karena adanya sifat keakraban yang timbul dari masyarakat
Banyumas secara umum. Sikap egaliter masyarakat Banyumas akan menjauhkan
setiap individu dari sikap feodalistik yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan
harta sebagai kiblat hubungan sosial.
(b) Orang-orang bebas
Masyarakat Banyumas adalah masyarakat

bebas dalam kehidupan yang

sesungguhnya. Orang Banyumas lebih bebas dalam mengekspresikan ide atau
gagasannya. Kebebasan gaya Banyumasan juga kelihatan dari pemakaian kata
yang bervariasi. Contohnya, ada pemakaian kata kepriben, kepriwen, keprimen,
dan keprigen yang juga menunjukkan keanekaragaman wilayah geografis bahasa
dialek Banyumasan. Memang konsonan pada ketiga kata yang pertama masih
dekat daripada keprigen. Ada kesan bahwa wong Banyumas dalam berbahasa
sering sekarepe dhewek sehingga variasi kata menjadi semakin kaya (Priyadi
2003).
(c) Orang-orang vulgar
Masyarakat Banyumas termasuk orang-orang yang suka blak-blakan. Artinya,
mereka sangat terbuka dalam membicarakan segala sesuatu. Kevulgaranan gaya
Banyumasan juga dapat dilihat dari pemakaian kata-kata yang mungkin telah
dianggap tabu oleh masyarakat di luar daerah Banyumas, seperti kata-kata asu
buntung, bajul buntung, dan bajingan yang kerap kali diucapkan oleh tokoh Rasus
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, serta seruan cabul seperti kata cesss...
cessss yang sering diucapkan Sakum ketika Srintil menari dengan cara

18

menggoyangkan pinggulnya. Beberapa kutipan berikut ini menunjukkan tentang
hal tersebut :
1. “Santayib. Engkau Anjing! Asu buntung. Lihat bokor ini biru karena
beracun. Asu buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau...
engkau aaasssu...” (Ronggeng Dukuh Paruk, halaman 26).
2. Kata itu berulang-ulang terdengar di telingaku. Karena diusir dengan
halus aku pun pulang. Dalam hati aku mengumpat : Bajingan ! (Ronggeng
Dukuh Paruk, halaman 26).
3. Sakum tak pernah lupa akan tugasnya. Memonyongkan mulut lalu
mengembuskan seruan cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul.
Cesss... cessss. (Ronggeng Dukuh Paruk, halaman 48).
4. “Kartareja memang bajingan. Bajul buntung,” jawabku, mengumpat
dukun ronggeng itu. (Ronggeng Dukuh Paruk, halaman 49).
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan tentang kevulgaran masyarakat
Banyumas dalam berkata-kata. Penggunaan bahasa dalam masyarakat dapat
mencerminkan tingkat intelektualitas mereka. Dengan demikian maka sastra dapat

dimanfaatkan untuk penulisan sejarah intelektual masyarakat Banyumas seperti
yang terlukis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk di atas.
(d) Budaya afirmatif dan budaya kritis
Menurut Kuntowijoyo (Priyadi, 2003) orang Banyumas ternyata memiliki dua
kutub karakter yang bertolak belakang. Di satu sisi, orang cenderung afirmatif
terhadap pihak penguasa dan di sisi lain sangat kritis. Perbedaan karakter ini
sangat kental pada novel-novel Ahmad Tohari. Di Kaki Bukit Cibalak adalah salah
satu novel yang menunjukkan hal tersebut. Perbedaan karakter yang bertolak
belakang tersebut diwakili oleh tokoh Pambudi yang sangat kritis terhadap
penguasa saat itu yakni Pak Dirga yang menjabat sebagai kepala desa. Disisi lain,
Poyo adalah wakil dari masyarakat yang afirmatif terhadap penguasa. Pambudi
sangat kritis terhadap pemerintahan Pak Dirga karena Pak Dirga adalah sosok
19

pemimpin yang suka mengorupsi uang rakyat. Sementara itu, Poyo justru selalu
berada pada pihak Pak Dirga.
Novel Orang-Orang Proyek juga menunjukkan karakter masyarakat
Banyumas yang bertolak belakang tersebut. Tokoh yang mewakili hal tersebut
adalah Kabul yang sangat kritis terhadap penguasa saat itu, yakni Partai Gerakan
Lestari Menang (GLM). Kabul sangat kritis karena pembangunan proyek
jembatan yang sedang ia lakukan sarat akan korupsi yang dilakukan oleh GLM.
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan jembatan sangat tidak sesuai
dengan standar baku mutu sehingga akan merugikan rakyat kecil. Sementara itu,
pimpinan Kabul yakni Dalkijo justru sangat afirmatif terhadap GLM. Dengan
demikian, ia akan memperoleh banyak keuntungan dari korupsi yang dilakukan
jajaran tertinggi GLM sampai dengan yang terendah.
Tokoh-tokoh dalam novel di atas sangat mewakili sifat masyarakat Banyumas
yang afirmatif terhadap penguasa namun juga sangat kritis. Melalui tokoh-tokoh
di atas, Ahmad Tohari mampu menyajikan karakter masyarakat Banyumas yang
unik kepada masyarakat luas dalam bentuk tulisan yang dikemas secara baik.
D. Tokoh sebagai Ikon
Tokoh-tokoh

dalam novel Ahmad Tohari selalu memiliki karakter yang

hampir sama antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya. Karakter yang
hampir sama tersebut paling dominan terlihat pada karakter tokoh-tokoh utama.
Namun untuk mendongkrak karakter tokoh utama agar lebih tergambarkan dengan
jelas, Ahmad Tohari menggunakan tokoh lain yang digunakan sebagai pemicu
munculnya karakter tokoh utama tersebut. Karakter yang dimiliki oleh tokoh
utama ialah karakter yang idealis, sering memberontak, dan cinta budaya daerah.
Maksud dari ketiga hal diatas adalah karakter utama memiliki idealisme yang
tinggi dalam hal kebenaran dan kepentingan rakyat kecil. Apabila pemimpin
maupun tokoh lain melakukan hal yang tidak sesuai dengan kebenaran dan
kepentingan rakyat kecil, maka tokoh utama tidak akan segan-segan untuk
memberontak. Dengan idealisme yang tinggi, tokoh utama juga berusaha
20

mempertahankan kebudayaan daerahnya. Tokoh utama sadar bahwa kebudayaan
yang mereka miliki adalah kebudayaan yang pantas dan harus dipertahankan.
Idealisme tokoh tersebut dapat dibuktikan melalui pemikiran-pemikiran yang
tampak pada tokoh Srintil (Ronggeng Dukuh Paruk), Pambudi (Di Kaki Bukit
Cibalak), dan Kabul (Orang-orang Proyek). Srintil dengan idealismenya berusaha
untuk mempertahankan kebudayaan daerah Banyumas. Wujud dari idealisme
Srintil ialah ia ingin menjadi ronggeng. Walaupun dilarang oleh Rasus untuk
menjadi ronggeng, Srintil tetap melakukannya karena ia ingin mempertahankan
kebudayaan yang telah lama hidup di Banyumas. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun Srintil adalah orang desa yang bodoh dan tidak berpendidikan namun
dia tahu bahwa kebudayaan harus terus dipertahankan. Ini adalah wujud dari
kearifan lokal masyarakat Banyumas yang tetap selalu mempertahankan
kebudayaannya tanpa peduli apa yang dikatakan orang tentang kebudayaan
Banyumas yang dianggap tidak setinggi dan seadiluhung kebudayaan Jawa
Keraton (Surakarta dan Yogyakarta). Mungkin selama ini masyarakat di luar
Banyumas menganggap bahwa ronggeng bukanlah suatu kebudayaan melainkan
hanya sekadar profesi yang mengutamakan nafsu dan ekonomi sebagai tujuan
utamanya. Namun melalui, Srintil pandangan ini dapat diubah karena kegigihan
srintil mempertahankan ronggeng sebagai kebudayaan. Bagi Srintil, ronggeng
bukanlah sekadar profesi melainkan sebagai wujud pengabdian kepada nenek
moyangnya Ki Secamenggala. Oleh karena itu, Srintil tetap mepertahankan
ideologinya untuk terus menjadi ronggeng. Apabila seorang Srintil yang
notabenenya adalah orang kampung yang bodoh dan tidak berpendidikan mampu
berpikir dan berusaha mempertahankan kebudayaannya lalu bagaimanakah
dengan orang-orang yang mengaku sebagai orang yang berpendidikan, tetapi tidak
mau mempertahankan budayanya sendiri dan justru mengunggulkan budaya
asing. Dengan demikian, tidakkah Srintil pantas dijadikan sebagai ikon
masyarakat Banyumas yang berusaha mempertahankan kebudayaan dan kearifan
lokal daerahnya.
Walaupun Pambudi dan Kabul merupakan tokoh yang berasal dari dua novel
yang berbeda. Mereka sama-sama memiliki ideologi untuk memperjuangkan nasib
21

rakyat kecil. Mereka kritis dan apatis terhadap pemerintahan yang korup. Mereka
mampu memberikan perlawanan terhadap pemerintah yang korupsi dengan cara
mereka masing-masing. Seperti Pambudi yang membeberkan korupsi Pak Dirga
melalui media massa. Dan dengan cara seperti itu Pak Dirga akhirnya
memperoleh akibat dari hal yang dilakukannya. Sementara itu, Kabul memilih
meninggalkan proyek yang sedang ia kerjakan, akibatnya hanya dalam waktu
beberapa tahun jembatan yang telah selesai dikerjakan rusak karena bahan baku
yang digunakan tidak sesuai dengan standar baku mutu. Kedua tokoh di atas
mencerminkan masyarakat Banyumas yang memiliki kearifan lokal untuk tetap
selalu jujur dan mempertahankan prinsip untuk tidak elitis melainkan populis.
Dengan penjelasan tersebut, tidakkah pantas tokoh-tokoh di atas dijadikan
sebagai ikon kearifan lokal pedesaan masyarakat Banyumas? Dan Ahmad Tohari
sebagai ikon sastrawan Banyumas yang mempertahankan kearifan lokal pedesaan
masyarakat Banyumas? Makalah ini menganggap bahwa tokoh-tokoh di atas dan
Ahmad Tohari sebagai penciptanya pantas untuk dijadikan ikon pemertahan
kearifan lokal masyarakat Banyumas. Saat ini yang dibutuhkan oleh masyarakat
adalah figur bukanlah hanya sekadar janji. Maka memiliki ikon kebudayaan
adalah hal yang penting. Namun pantas atau tidaknya tokoh-tokoh di atas dan
Ahmad Tohari sebagai penciptanya untuk menjadi ikon kearifan lokal pedesaan
masyarakat Banyumas tergantung pada masyarakat Banyumas sendiri. Hal ini
disebabkan karena masyarakat Banyumas adalah pemilik dari budaya dan kearifan
lokal itu sendiri. Jadi tidak ada yang lebih berhak untuk menentukan tokoh
maupun seseorang dijadikan sebagai ikon kearifan lokal dan kebudayaannya
kecuali masyarakat pemiliknya sendiri. Ikon tersebut bisa diwujudkan melalui
gambar, kisah di dalam buku pelajaran sekolah, film, serta media lain yang dapat
digunakan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh tersebut kepada masyarakat luas.
E. Penutup
Karakter tokoh dalam karya-karya Ahmad Tohari merupakan cerminan bagi
karakter masyarakat Banyumas secara umum. Ahmad Tohari berhasil memberikan
warna dan identitas budaya lokal masyarakat Banyumas. Kearifan lokal yang
22

terbentuk didalam kebudayaan masyarakat Banyumas juga dipengaruhi oleh
karakter masyarakat Banyumas tersebut. Beberapa karakter masyarakat Banyumas
seperti mencari kejayaan dan keemasan, suka memberontak, sering konflik, suka
bekerja keras, masyarakat egaliter, orang-orang bebas, orang-orang vulgar, dan
budaya afirmatif dan budaya kritis memang disengaja oleh Ahmad Tohari
digambarkan dalam karyanya karena ia ingin menunjukkan bahwa masyarakat
Banyumas memang masyarakat yang penuh kebebasan dan idealisme yang tinggi.
Selama ini masyarakat lain memandang masyarakat Banyumas dengan
sebelah mata. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan masyarakat Banyumas
merupakan kebudayaan yang rendah karena bersifat kasar, vulgar, dan bebas.
Tidak seperti kebudayaan jawa keraton yang halus dan dianggap bernilai sosial
tinggi. Namun dengan penelitian ini membuktikan bahwa kebudayaan masyarakat
Banyumas juga memiliki kearifan lokal yang tinggi sehingga pantas untuk
diteladani masyarakat dari daerah lain. Sehingga alangkah baiknya apabila
karakter umum masyarakat Banyumas di atas tidak dianggap sebagai kebudayaan
rendah. Akan tetapi harus disadari bahwa karakter masyarakat Banyumas tersebut
adalah warna dari salah satu kebudayaan Indonesia. Dengan hal tersebut, untuk
menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat Banyumas dapat dianggap sejajar
dengan kearifan lokal lainnya maka masyarakat Banyumas memerlukan ikon
untuk mendobrak anggapan tersebut. Memiliki ikon kebudayaan merupakan hal
yang penting demi majunya dan bertahannya suatu kebudayaan serta kearifan
lokal daerah sehingga masyarakat Banyumas memiliki panutan yang sesuai serta
memiliki sosok yang dapat mewakili kearifan lokal dan kebudayaan Banyumas.
DAFTAR PUSTAKA
Tohari, Ahmad. 2005. Bekisar Merah : Cetakan Kelima. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 2005. Di Kaki Bukit Cibalak: Cetakan Ketiga. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 2007. Orang-Orang Proyek. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 2011. Ronggeng Dukuh Paruk : Cetakan Ketujuh. Jakarta:
Gramedia.
Tohari, Ahmad. 2011. Kubah : Cetakan Keempat. Jakarta: Gramedia.

23

Lelono, Bambang. 2012. Sastra Banyumasan: Warna dan Identitas Budaya Lokal
dalam Sastra Indonesia Modern. PIBSI xxxiv.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi: Cetakan Keempat.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sutardjo, Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta : Universitas Sebelas
Maret.
Nurhidayat. 2013. Memaknai Banyumas Satria. http://www.ahmadtohari.com.
Diakses 13 November 2013.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta :
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Saptono. 2010. Kebudayaan sebagai Identitas masyarakat
http://www.isi-dps.ac.id. Diakses 13 November 2013.

Banyumas.

Poespowardjojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan
Filosofis. Jakarta: Gramedia.
Priyadi, Sugeng. 2003. Beberapa Karakter Orang Banyumas. FKIP UMP.
Haba, John. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal : Studi Resolusi Konfrlik di
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP dan European
Commission.

24