Menggereja dalam masyarakat konsumsi : studi atas pengalaman orang beribadah di Gereja Mal - USD Repository

  i

  

MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI:

STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG

BERIBADAH DI GEREJA MAL

TESIS

  

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

  

Oleh:

Norita Novalina Sembiring

NIM: 086322010

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

  

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010 ii

iii

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Norita Novalina Sembiring

  Nomor Mahasiswa : 086322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : MENGGEREJA DALAM MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG BERIBADAH DI GEREJA MAL

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada

Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan

secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama

tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 25 November 2010 Yang menyatakan (Norita Novalina Sembiring)

  iv

  

PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul

  “MENGGEREJA DALAM

MASYARAKAT KONSUMSI: STUDI ATAS PENGALAMAN ORANG

BERIBADAH DI GEREJA MAL merupakan hasil karya dan penelitian saya

  sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Pemakaian karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 28 Oktober 2010 Norita Novalina Sembiring v vi

  MOTTO

  Seorang ilmuwan dari India, Manmohan Singh, pernah bertutur :

  “ Tuhan menganugerahiku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, dan kebajikan untuk mengetahui perbedaannya.”

  PERSEMBAHAN Untuk masa dan asa yang memproses tiap langkah menjadi penuh arti… Terurai kata T e r i m a k a s i h …

  vii

  KATA PENGANTAR Hidup ibarat perjalanan panjang yang ditempuh dari satu titik ke titik lain.

  Katanya dalam perjalanan itu ada tiga tahap yang biasanya dialami, yaitu start, dead

  

point dan second wind. Dengan penuh semangat kita memulai perjalanan itu. Namun,

  setelah jauh berjalan kita mulai merasa kelelahan. Kita menatap ke belakang dan mengukur berapa jauh kita sudah berjalan. Akan tetapi, perjalanan itu belum selesai. Kita masih setengah jalan, atau bahkan masih seperempat jalan. Oleh karena itu, timbullah kejenuhan. Dalam kejenuhan ini kita bisa saja menjadi putus asa dan hilang harapan. Tahap ini disebut dead point. Kalau kita membiarkan diri berada pada tahap ini, maka sirnalah sudah impian untuk sampai pada garis finish. Lalu, bagaimana supaya kita tidak jatuh pada tahap ini? Ada yang bilang segeralah bangkit, lalu berjalanlah. Ingatlah bahwa perjalanan ini harus diselesaikan. Tahap ini disebut tahap

  

second wind, ibarat mendapatkan angin segar, kita kembali bergairah untuk

menuntaskan perjalanan panjang ini.

  Bagi saya, studi di Magister Program Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Sanata Dharma, ibarat perjalanan panjang mengalami tiga tahap tadi. Awal masuk di kampus ini, semangat saya begitu membara, mengindam- idamkan “Santapan Harian” yang disuguhkan oleh dosen-dosen di sini. Di perjalanan itu, ternyata proses menyelesaikan tesis adalah bagian terberat. Katanya, menyelesaikan tesis perlu kedisiplinan, ketekunan, dan juga ketenangan. Akan tetapi, rasa jenuh, bosan, malas mulai menggerayangi semangat yang membara tadi. Saya tidak punya kekuatan yang cukup untuk menjaga konsistensi semangat dan daya. Namun, sampai kapan harus begini? Akhirnya, angin segar itu datang menghampiri saya dan memberikan kekuatan baru untuk menuntaskan semuanya. Bagian kitab dari Mazmur menuturkan,

  

“Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan

jiwaku”. Akhirnya, saya menuntaskan proses penulisan tesis ini. Wah, lega sekali

  rasanya. Terimakasih untuk Sang Pengirim angin segar ini. viii

  Saya sangat bersyukur memiliki orangtua yang mendukung saya dalam proses “petualangan ilmu” di IRB. Terimakasih untuk Mamak dan Bapak yang selalu mengerti dan mendukung saya. Semua dukungan itu tentu tak pernah bisa terbalaskan. Karena memang semua pengorbanan Mamak dan bapak tak ternilai oleh apapun juga.

  Proses “meramu” dan “memasak” setiap teori yang didapat di IRB juga tak lepas dari kepiawaian tiap dosen yang mengampu mata kuliah menurut bidangnya masing-masing. Rasa terimakasih ini khususnya juga dialamatkan pada dosen pembimbing saya, Dr. St. Sunardi, yang telah memperkenalkan fenomena-fenomena sosial yang sangat menarik untuk dicermati dan diteliti dalam perkembangan masyarakat.

  Tips “memasak” data berdasarkan kerangka konseptual yang dipilih menjadi bagian yang paling mendebarkan untuk dikerjakan. Terimakasih untuk kesediaan Bapak berbagi tips itu. Terimakasih juga untuk Mbak Henkie yang setia mengurus keperluan mahasiswa. Tak lupa untuk Mba Devi, yang dengan cermat mengomentari kesalahan teknis dan logika kalimat dalam tesis ini.

  Saya juga mengucapkan terimakasih untuk gereja saya, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), khususnya yang ada di Yogyakarta dan Semarang. Dua gereja ini telah menjadi lokus saya bertumbuh dan berkembang dalam panggilan pelayanan, sementara saya kuliah di Yogyakarta. Pengalaman berjemaat di dua tempat ini telah memberikan pengalaman baru bagi saya memaknai setiap panggilan Tri Tugas Gereja.

  Dua tahun di Yogyakarta telah pula menambah khazanah pertemanan saya. Gak kebayang sebelumnya akan bertemu dengan teman-teman IRB 2008 yang

  “asoy

geboy”. Monik [thanx untuk persahabatan kita, yuks lembur bareng, hehe], Tika

  [teman kenalan pertama di IRB, hidup Lekra!!!], Aik [wualahh diet kita piye iki?], Doan [ingat ya, kronothesis, hehe], Mbak Rini [kapan aku diajarin Yoga?], Hikmah [argumentasinya setajam silet], Herlina [lama tak bersua, kemana dirimu?], Bang Inyiak [thanx ya udah mau jadi “dosen wali” di luar perkuliahan resmi], Son [thanx untuk wacana pendidikan ala anak PeJaBati], Mas Danang [ibu pendeti ini pergi dulu ix ya, heheh], Mas Wahyu [sebenarnya gimananya sih mas, kog aku gak ngerti?], Hadid [diam-diam tapi paper selalu jadi duluan], Manda [ketemu di Medan ajalah kita ya]. Kalian semua telah memberi warna dalam memaknai arti hidup dalam keberagamaan. Jangan lupa update milis ya, hehehe.

  Pertemanan ini juga semakin kaya dengan interaksi bersama teman-teman Permata di Jogya: Cobra (Wansa, Tinus, Thomas, Sanusi, Charlie, Eme, Citra, Tere),

bujur melala ya dek untuk setiap cerita yang terjalin di dalam kebersamaan kita.

  Semoga kita bisa bertemu dalam event-event lainnya (walahhh cem betol aja, hehehe). Kelto (Kelompok Teologi Karo), terimakasih untuk diskusi-diskusi kita tentang arti pelayanan yang sesungguhnya, meskipun kakak hanya bisa datang dua kali saja dalam pertemuan Kelto. Secara keseluruhan, terimakasih untuk semua teman Permata GBKP Rg. Yogyakarta, khususnya Pengurus Permata, bujur untuk rekomendasinya ya. It means a lot gie.

  Memaknai arti pertemanan yang sesunguhnya, tak akan pernah lengkap sebelum mengucapkan satu nama ini, Sony Tarigan. Terimakasih untuk semuanya. Untuk kam, gak ada kata yang cukup untuk mengungkapnya. Rasa terimakasih yang mendalam juga saya ucapkan pada mereka, yang selalu bertanya,

  “Ta, kapan

pulang?” yang ternyata mampu menumbuhkan semangat dan motivasi untuk suatu

  pertemuan yang sangat dirindu dan didamba.

  Proses penulisan ini bisa rampung oleh karena dukungan mereka, orang-orang yang saya hormati, hargai, dan sayangi yang hadir dalam “nuansanya” masing- masing. Selamat membaca karya ini. Selamat bertamasya dalam fenomena ibadah dan belanja yang menggairahkan dalam masyarakat konsumsi. Kiranya tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita yang hidup dalam produksi budaya yang berkembang dari waktu ke waktu.

  Akhir Oktober 2010 Norita Novalina Sembiring x

  

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

  i HALAMAN PERSETUJUAN ii HALAMAN PENGESAHAN iii HALAMAN PERNYATAAN iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v

  MOTTO vi PERSEMBAHAN vii KATA PENGANTAR viii ABSTRAK xi DAFTAR ISI xv

BAB I PENDAHULUAN

   1 1.

  Latar Belakang

  1

2. Rumusan Masalah

  8

  3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  9

  4. Tinjauan Pustaka

  10

  5. Kerangka Teori

  14

  6. Metode Penelitian

  22

  7. Sistematika Penulisan 25 xi

BAB II GEREJA DALAM PUSARAN MASYARAKAT KONSUMSI DI INDONESIA

IBADAH DAN KONSUMSI: PENGALAMAN IMAN DAN BELANJA YANG MENGGAIRAHKAN

  xii

  5. Kesimpulan

  62

  3. Pola Ibadah di Gereja Mal

  65

  4. Pengalaman Psikospiritual Orang-orang yang Beribadah di Mal

  73

  82

  80 BAB IV REALITAS SOSIAL ORANG-ORANG YANG MENGGEREJA

  57

  1. Simbol-simbol Baru yang Dipakai dalam Interaksi Umat di Gereja Mal

  83

  1.1 Bahasa Tubuh

  84

  2.3 Gereja Casa Piccola di Yogyakarta

  2.2 Gereja Casa Nera di Mal Piazza Calda

  28

  4. Kesimpulan

  1. Gereja dan Pasar

  29

  2. Sejarah Masyarakat Konsumsi di Indonesia

  30

  3. Gereja dan Pasar: Dulu Duel kini Duet

  35

  42 BAB III

  51

  45

  1. Mal sebagai One Stop Service

  46

  2. Yesus di Mal: Berduetnya Ibadat dan Pasar dalam Budaya Massa

  50

  2.1 Gereja Casa Rosa di Mal Piazza Calda

DI GEREJA MAL

  1.2 LCD dan Alkitab Elektronik

  93

  1.3 Bahasa Roh

  95

  1.4 Gaya Berpakaian 102

  1.5 Belanja di Mal 103

  2. Manakala Pasar dan Altar Menjadi Satu 108

  2.1. Manakala Tubuh Terbuai Pesona Musik 111

  2.2 Manakala Alkitab Masuk LCD 115

  2.3 Manakala Pakaian Gereja Berubah Gaya 119

  2.4 Manakala Sensasi Belanja Semakin Mempesona 120

  3. Kesimpulan 128

BAB V PENUTUP

   132 DAFTAR PUSTAKA 137 LAMPIRAN

  Transkripsi Wawancara xiii

  

ABSTRAK

Selama ini gereja dan pasar sering ditempatkan dalam posisi antagonistik.

  Kini, posisi itu tampaknya sudah bergeser: tidak antagonistik lagi melainkan malah berduet dengan harmonis. Penelitian ini mengkaji fenomena pergeseran tersebut. Gereja dan pasar, dua hal yang dipahami secara berbeda, dalam kenyataannya sekarang ini bergabung menjadi satu. Sadar atau tidak sadar manusia tidak bebas memilih apa yang diinginkannya, melainkan mensintesakan pilihan-pilihan tersebut. Dalam penelitian ini, pilihan tersebut adalah soal ibadah dan belanja.

  Untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena di atas, ada beberapa masalah yang akan dijawab, yaitu bagaimana proses pembentukan gereja di mal, sejauh mana model bergereja di mal menyerupai model konsumsi, dan realitas sosial seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja di mal? Melalui dinamika ibadah dan konsumsi di gereja mal kita akan melihat budaya massa yang berkembang saat ini sebagai ciri dari masyarakat konsumsi.

  Untuk mendukung pencarian jawaban atas fenomena di atas, penulis melakukan penelitian lapangan di Jakarta dan Yogyakarta. Data empirik sangat penting untuk mengetahui pengalaman orang-orang yang selama ini belum terjangkau oleh konsep-konsep tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Melalui metode ini, penulis akan menemukan bagaimana kegairahan ibadah dan belanja dalam pesona mal. Data yang diperoleh dalam penelitian lapangan akan diolah dengan bantuan dari kerangka teoretis yang diambil dari Interaksionisme Simbolik karya George Herbert Mead dan Sosiologi Konsumsi Jean Baudrillard.

  Akhirnya, penelitian ini menemukan beberapa temuan yang menarik untuk dicermati. Temuan-temuan itu antara lain: adanya kemiripan dalam pola beribadah dan pola berkonsumsi di gereja mal. Kemiripan itu tampak lewat besarnya hasrat beribadah dan pemuasan yang diperoleh dalam beribadah di gereja mal serta kepuasan hasrat belanja dalam konsumsi barang-barang yang dipamerkan di toko- xiv toko yang terdapat di mal. Gereja mal juga melahirkan suatu realitas sosial baru bagi cara menggereja (ekklesiologi) umat yang datang ke sana, jika dibandingkan dengan gereja-gereja arus utama. Orang terhisap masuk menjadi bagian dari komunitas bukan hanya berdasarkan keimanan atau kebutuhan, melainkan berdasarkan interaksi simbolis dan nilai tanda konsumsi yang ditafsirkan dalam pola-pola hubungan seorang dengan yang lainnya. xv

  

ABSTRACT

  During times, the church and the marketplace are often placed in antagonistic positions. Now, that position seems to have shifted: no longer antagonistic but even a duet with harmony. This research examines the shifting phenomenon. Church and market, two things that were understood differently, in fact now joined into one. Conscious or not, human beings are not free to choose what they want, but synthesizes these choices. In this research, the choice is a matter of worship and shopping.

  There are several issues to be answered to know about the phenomenon: the process of establishing the church at the mall, the extent of the in-mall church model resembles the model of consumption, and the kind of social life realities that was born through the in-mall church pattern. Through the dynamics of in-mall church worship and culture of consumption, we will see a mass culture that was growing as a hallmark of consumptive society today.

  To support the search for answers to this phenomenon, I conducted field research in Jakarta and Yogyakarta. I believe that empirical data is very important to know people experiences that so far have not been answered by certain concepts. Therefore, in this research, I use interviews and observations directly in the field as methods. Through this method, I will find people excitement and how they got enchanted by the way of worship and shopping malls. The data which was obtained in field will be processed with the help of a theoretical framework drawn from the theory of symbolic interactionism by George Herbert Mead and the Sociology of Consumption by Jean Baudrillard.

  Finally, this research found some interesting findings to be observed. The findings include: the similar pattern of in-mall church worship and consumption in mall. Similarities were looked from the desire and satisfaction gained within the worship in an in-mall church as well as satisfaction and desire in the consumption of goods that were displayed in stores within shopping malls. In-mall church also gave xvi birth to a new social reality of how people go to in-mall church (ecclesiology) compares to the main stream churches. People who get into a part of the community were not based on faith or needs only, but by the symbolic interaction and sign of consumption values that were interpreted in patterns of relationship one with the other. xvii

Bab I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

  Apa yang terbersit dalam pikiran kita jika mendengar kata “gereja”? Mungkin kita akan menjawab, gedung atau bangunan, rumah ibadah, dan Kristen. Gereja identik dengan suatu bangunan, besar, kecil atau sedang yang terbuat dari beton atau setengah papan yang terletak di lahan tertentu dan biasanya dekat dengan pemukiman penduduk. Di bagian depan biasanya ada papan penanda nama gereja dan denominasinya (alirannya), serta lambang salib di atasnya.

  Karena terletak di lahan tertentu, beberapa gereja memiliki halaman yang cukup luas yang bisa dipakai untuk tempat parkir, untuk acara kebersamaan umat, atau sebagai tempat berjualan untuk mencari dana. Tak hanya identik dengan gedung atau bangunan, gereja juga identik dengan kumpulan orang, khususnya kumpulan orang-orang Kristen yang bertemu satu dengan lainnya dalam satu kesempatan yang dimaknai sebagai Dominggos, Hari Tuhan atau hari Minggu. Memaknai gereja sebagai suatu tempat pertemuan yang membahas tentang Tuhan, maka gereja mengartikulasikan banyak kegiatannya pada persoalan Yang Kudus di dalam ibadahnya.

  Gereja umumnya berada di wilayah tertentu dan dekat dengan pemukiman penduduk. Namun, pada kenyataannya, kini gereja berada di tempat-tempat lain, misalnya di hotel, aula perkantoran, Rumah Toko (RuKo), juga di mal. Yang terakhir, menjadi fenomena yang sangat menarik untuk diteliti karena mal yang merupakan pasar modern, adalah suatu tempat yang secara sadar dipahami sangat bertolak belakang dengan hakekat “kekudusan” gereja. Gereja yang terhisap dalam geliat pasar modern ini agaknya melahirkan karakteristik gereja yang baru, yang dalam penelitian ini, penulis mencoba memberi nama atas fenomena tersebut. Gereja dan pasar yang pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak mungkin digabungkan, kini malah bergabung dan menjual daya pikat kepada orang yang mengunjunginya. Ada gaya baru yang ditawarkan lewat munculnya gereja di mal, kendatipun kita tidak dapat menangkis kenyataan soal sulitnya memperoleh ijin untuk mendirikan rumah ibadah di tempat “yang umum” tadi.

  Kedudukan ibadah dalam gereja menjadi bagian yang sangat penting karena untuk itulah orang datang ke gereja. Dalam ibadah inilah makna kebersamaan dan perkumpulan umat Kristen diartikulasikan. Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan

  1

  mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Secara etimologis, ibadah berasal dari kata Arab abdi (`i-ba-dah), yang pengertiannya sama dengan pelayanan. Sementara itu, leitourgia dalam kata Yunani di dalam Alkitab Perjanjian Baru adalah terjemahan dari kata Ibrani `abodah, yang menunjukkan peng-abdi-an atau pe-layan-an. Ibadah/liturgi/bakti sebenarnya mempunyai pengertian luas yang meliputi seluruh hidup, yaitu bagaimana sikap dan tingkah

  2

  laku kita di hadapan Tuhan. Umat menggunakan kata ibadah dengan pengertian yang sangat sederhana, yaitu pergi ke gereja. Di gereja, yang bertugas melayani 1 Dedy Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 565. 2

  3

  umat adalah kaum klerus, pendeta, penatua, diaken. Dalam pemaparan di bab-bab selanjutnya poin ibadah akan dijelaskan lebih detil karena menyangkut respons umat terhadap pola-pola ibadah yang dinamis dan statis. Hal ini berhubungan dengan daya tarik ibadah yang dianggap mampu menyentuh kedalaman batin umat. Pola ini pulalah yang dilihat dalam ibadah di gereja mal.

  4 Ada beberapa unsur dalam ibadah. Pertama, kesadaran akan Allah. Pada

  bagian ini orang yang datang beribadah diajak untuk menyadari tentang kemuliaan, kekudusan, dan kemahakuasaan Allah. Kesadaran ini memampukan manusia untuk menghayati hakekat Tuhan yang dipercayainya dalam pergumulan hidupnya sehari-hari. Tuhan menjadi kekuatan yang memampukannya menjalani berbagai realitas sosial yang dihadapinya.

  Kedua, kesadaran diri, di mana manusia yang tadinya mengagungkan Tuhan dalam segala kemuliaan, keagungan, dan kemahakuasaanNya, balik memandang dirinya yang serba terbatas, hina dan tidak punya kuasa apa-apa. Cara pandang ini membuat manusia menaruh kepercayaannya pada Tuhan yang lebih 3 Pendeta, penatua dan diaken merupakan jabatan gerejawi, di mana ketiganya saling

  bekerjasama untuk mengatur dan mengurus kegiatan-kegiatan gereja, salah satunya adalah menyiapkan ibadah. 4 Beberapa istilah teknis untuk mengungkapkan hal ini adalah votum, salam, introitus.

  Tahbisan atau Votum, yaitu ucapan, “Dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”. Artinya, dengan demikian dinyatakan bahwa kebaktian kita tidaklah sama saja dengan suatu persidangan yang biasa. Gereja adalah himpunan orang-orang yang dipanggil, sehingga mereka datang bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan oleh karena mereka dipanggil oleh Tuhan. Kita berkumpul sebagai jemaat Kristus, kesatuan kita ada di dalam Kristus. Itulah sebabnya gereja berkumpul dalam nama Tuhan, sehingga kita yakin bahwa Kristus berada di tengah-tengah warga jemaat.

  

Salam, pada masa dahulu salam-menyalam berarti saling memohonkan berkat. Oleh karena warga

jemaat bersama-sama berkumpul di dalam nama Tuhan, lalu mereka saling salam-menyalami.

  Biasanya pemimpin kebaktian menyampaikan, “Sejahteralah kamu”, dan dijawab, “Dengan roh- mu pun”. Introitus, yaitu ayat pembimbing, yang dipilih dari Alkitab berhubung dengan waktu

tahun gereja. Maksudnya supaya mulai dari awal, pikiran kita telah diarahkan kepada pokok-pusat

yang khusus pada kebaktian itu. Kutipan dari B. J. Boland, Percakapan tentang Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1951), h. 138-141. berkuasa dalam hidupnya. Ketiga, pengakuan dosa. Umat yang menyadari kekuatan Tuhan dan kekuatan dirinya, menyadari bahwa sebagai makhluk yang bertaqwa, kerapkali ia tidak taat dalam aturan Tuhannya. Oleh karena itu umat melihat dirinya sebagai orang yang berdosa dan memohon pengampunan dari Tuhan semata. Keempat, pengampunan dosa, di mana Tuhan yang sifat-Nya adalah pengasih dan pengampun memberikan pengampunan pada orang yang mengaku dosanya.

  Orang yang telah berekonsiliasi dengan Sang Kudus yang disembahnya itu akhirnya menjadi pribadi yang siap menerima pelayanan firman atau khotbah.

  Itulah unsur kelima. Umat diberikan petunjuk hidup baru melalui firman Tuhan yang dikhotbahkan oleh pendeta. Setelah itu, individu tadi memiliki komitmen (respon) terhadap firman Tuhan, dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya. Ini adalah unsur keenam. Umat yang telah semakin mantap dan dibaharui imannya ini akhirnya diberikan suatu tugas pengutusan. Umat diutus keluar sebagai manusia yang terus bergumul dalam kesehariannya dengan tetap berpegang pada firman Tuhan. Dalam menjalankan serangkaian aktifitasnya umat diberkati sebagai orang-orang yang mengandalkan hidupnya pada Tuhan yang disembahnya dalam ibadah tadi. Dan ini adalah unsur yang terakhir.

  Keseluruhan unsur inilah yang dikemas secara berbeda oleh gereja-gereja. Ada yang mengemasnya dengan suasana tenang, syahdu, dan impresif. Akan tetapi, ada pula yang mengemasnya dengan suasana meriah dan ekspresif.

  Kemasan meriah dan ekspresif inilah yang ditampilkan dalam ibadah-ibadah di gereja mal, sebagaimana nilai tanda mal yang merupakan tempat untuk menikmati kemeriahan dan kemewahan. Penulis memakai istilah gereja mal untuk membedakannya dengan gereja arus utama. Gereja mal adalah suatu gereja yang berada di mal dan memanfaatkan “barang-barang” mal untuk mengemas ibadahnya dengan menarik dan menggairahkan.

  Menurut pengamatan penulis, menggereja di gereja mal memang memiliki

  

sense yang berbeda tatkala saya menggereja di gereja saya sendiri, yang beraliran

  5

  arus utama . Ada beberapa hal menarik di gereja mal, antara lain: orang datang secara berombongan, muda-mudi, orangtua, sampai anak-anak yang hadir di sana umumnya tidak datang sendirian, minimal mereka datang berdua. Pilihan waktu ibadah juga beragam, mulai dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Biasanya dibagi menjadi empat atau lima kali jam ibadah. Jumlah yang datang ibadah ke gereja mal tidak kecil, pastinya lebih dari ratusan orang. Pola ibadah yang dihadirkan juga sangat wah dan glamour dibantu oleh musik dengan full band dan keterlibatan anak-anak muda yang energik dan piawai bermain musik.

  6 Ada yang mengatakan bahwa model ibadahnya lebih nge-roh, rame.

  Sekelompok pemusik, beberapa penyanyi (singer), dancer, serta seorang WL

  7

(Worship Leader) menambah meriahnya ibadah di sana. Kelompok musik ini

  sangat pandai mengatur suasana. Seorang Worship Leader dengan cakap menyemarakkan dan meneduhkan suasana. Ia tahu betul di mana moment orang harus menari, melompat, dan bertepuk saat bernyanyi, serta di mana moment 5 Beberapa contoh gereja arus utama adalah GKJ, HKBP, GBKP, GKI, GPIB, GKPS.

  Gereja-gereja ini umumnya tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). 6 Pengakuan IS, seorang Worship Leader (WL) di gereja mal,wawancara tanggal 25 Mei 2009 di Yogyakarta. 7 Worship Leader (WL) adalah seorang pemandu ibadah, biasanya menyapa umat pada orang harus khusyuk, merenung, bahkan setengah menangis saat bernyanyi. Kesemarakan ini semakin bertambah dengan tarian beberapa nona-nona manis yang memakai gaun panjang dengan memegang tamborin di tangannya dan menghentakkannya ke kanan ke kiri, ke muka dan ke belakang. Suara gemerincing tamborin menambah manisnya suasana ibadah di sana. Singkatnya,

  8 “ibadah di sana lebih hidup, gak bikin ngantuk”.

  Tempat duduk umat juga fleksibel, tidak ada aturan sebelah kiri tempat duduk khusus laki-laki dan sebelah kanan khusus tempat duduk perempuan (jika membandingkannya dengan posisi duduk di gereja suku tertentu). Ruangan ber-

  

AC dan modern menambah kesan mewah dalam ibadah di gereja mal. Mereka

  yang datang berpakaian lebih santai, sebenarnya lebih mirip pakaian untuk jalan- jalan daripada pakaian ke gereja. Balutan kaos dan celana jeans, stelan blouse dan celana legging, menambah kesan simple, trendy dan modis.

  Mal punya daya tarik sendiri karena segala kebutuhan nyaris ada di sana. Mulai dari bumbu dapur sampai barang elektronik ada di sana. Oleh karena itu, orang tidak perlu repot-repot lagi berbelanja di tempat lain. Kenyamanan belanja semakin nikmat dengan suasana ruangan yang sejuk dan desain yang modern. Kalau pun orang harus berdesak-desakan memilih barang yang sedang discount besar-besaran, pengunjung tetap menikmati suasana belanja. Apalagi jika barang yang ditawarkan edisi terbatas, maka berlomba cepat orang akan membeli barang itu.

  8

  Dalam penelitian ini, penulis ingin mengkaji hadirnya gereja dalam ruang konsumsi. Gereja yang hadir di mal umumnya beraliran gereja kharismatik. Oleh karena itu untuk membedakannya dengan gereja yang lain, penulis memakai istilah gereja arus utama (mainstream) atau konvensional untuk merujuk pada gereja-gereja anggota Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) yang umumnya tidak berada di mal dan istilah gereja mal untuk merujuk pada gereja-gereja yang ada di mal.

  Dalam kajian budaya penelitian ini bisa masuk ke dalam ranah politik identitas. Bagaimana identitas religius orang-orang yang beribadah di gereja mal? Selain itu penulis menelusuri realitas sosial seperti apa yang terlahir dalam fenomena gereja mal? Bisa dipastikan mereka yang beribadah di sana berasal dari kelompok sosial tertentu, yaitu kelas menengah atas yang memiliki pergumulan hidup sekitar dunia kerja dan bisnisnya. Cara berpakaiannya, sarana transportasi yang digunakannya, golongan usianya menjadi penanda (signifier) identitasnya. Faktor-faktor apa saja yang mendukungnya hadir? Di manakah letak hubungan antara gereja dan mal? Seberapa besar pengaruh ruang konsumsi terhadap motivasi beribadah dan sekuat apa pula bentuk ibadah di gereja mal memberi daya tarik pada orang yang datang? Penulis ingin menelusuri desire apa yang dijawab lewat kehadiran gereja mal? Apakah pola ibadah dan pola konsumsi memiliki kemiripan? Persoalan seperti inilah yang hendak penulis kaji dalam tesis ini.

2. Rumusan Masalah 1.

  Bagaimana proses pembentukan gereja di mal? 2. Sejauh mana model menggereja di mal menyerupai model mengonsumsi?

  3. Realitas sosial seperti apakah yang terlahir lewat pola menggereja di mal? Pertanyaan pertama ingin menggali muncul dan berkembangnya kehadiran gereja-gereja di mal di Indonesia. Dari penelusuran yang mendalam tentang latar belakang gereja di mal kita bisa tahu faktor-faktor apa saja yang menyebabkan gereja hadir di mal. Sejauh mana alasan birokrasi administrasi mempengaruhinya, sejauh mana pula modernisasi menjadi aspek yang penting dalam kemunculan gereja di mal, serta sebesar apa desire umat yang mau dijawab lewat kehadiran gereja di mal.

  Rumusan masalah kedua menganalisis bagaimana pola-pola ibadah dan pola-pola konsumsi memiliki kemiripan satu sama lain. Bagaimana hasrat belanja yang tak pernah terpuaskan memiliki kemiripan dengan kerinduan orang untuk mencari dan bertemu dengan Yang Kudus. Ibadah yang didominasi dengan fasilitas modern, isi khotbah tentang kesuksesan dan kemakmuran, serta kesaksian orang-orang yang telah menerima “dasyatnya” khotbah itu dalam hidupnya. Penulis ingin menggali bagaimana hasrat berkonsumsi orang-orang dalam pesona belanja yang menggairahkan di mal. Dari sana, penulis mencoba menemukan sosialitas yang terbentuk di gereja mal.

  Sementara itu, rumusan masalah yang terakhir ingin mengamati realitas sosial seperti apa yang muncul pada orang-orang yang menggereja di gereja mal.

  Apakah interaksi antar umat mewujudkan suatu bentuk persekutuan yang kuat dan mendalam di gereja ini? Adakah persekutuan di sana mencerminkan keakraban dan kehangatan antar umat? Atau umat hanya peduli pada kepuasan pribadi dalam ibadah saja.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.

  Dengan menelusuri pembentukan gereja di mal melalui literatur atau wawancara, maka penulis bisa mengetahui dengan lebih jelas apa situasi sosial, ekonomi, dan budaya di balik terbentuknya gereja di mal. Data historis ini memberi manfaat bagi gereja-gereja untuk melihat wacana kehadiran gereja yang semakin banyak mengambil ruang publik sebagai tempat utama ibadahnya.

  2. Dengan menganalisis pola ibadah dan pola konsumsi dalam praktik menggereja di mal, penulis berusaha menemukan budaya yang berkembang dalam masyarakat konsumsi saat ini. Bagaimana hubungan gereja dan budaya konsumsi yang semakin tidak bisa dihindarkan dalam kenyataan hidup manusia saat ini. Lalu, sensasi ibadah dan belanja seperti apa yang dirasakan manakala aktivitas hidup manusia bisa dilakukan dengan one-stop service.

  3. Mendeskripsikan pengalaman orang beribadah di gereja mal. Kajian ini akan mewarnai wacana konsumsi yang selama ini dipahami sebagai gaya hidup modern dan kapitalistis, dengan mengetengahkan persoalan konsumsi spiritual yang terjadi di gereja mal. Dalam wilayah teologi, kajian ini ingin memperlihatkan wilayah-wilayah psiko-spiritual manusia dalam memaknai ruang menggereja. Untuk studi agama kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap hubungan gereja dan konsumsi. Tidak hanya alergi atau gelisah dengan hadirnya mal sebagai “produk dunia” yang berdosa, namun melihatnya dengan lebih jujur dalam memproduksi budaya warga jemaatnya.

4. Tinjauan Pustaka

  Kajian tentang gereja di mal sejauh ini cenderung terfokus pada masalah teologi praktis. Gereja-gereja yang ada di mal umumnya berasal dari aliran neo- pentakostal atau kharismatik. Oleh karena itu para peneliti menempatkan gereja mal dalam payung besar konsep gereja kharismatik, yang memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan gereja arus utama dalam cara beribadah, bernyanyi, berdoa, pakaian dan isi khotbah pendeta, sakramen perjamuan kudus, dan fasilitas-fasilitas modern yang mendukung ibadah. Melihat perbedaan yang mencolok inilah, beberapa peneliti umumnya terfokus pada kajian mendalam tentang konsep ibadah gereja kharismatik dan konsep ibadah gereja konvensional, lalu menawarkan dialog di antara keduanya (Lihat Wilfred J. Samuel, 2007; Rijnardus van Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, 2007). Dalam hal ini, Samuel menangkap “kebingungan” warga jemaat yang bertanya, “Dalam ibadah,

  

haruskah kita bertepuk tangan atau duduk tenang? Haruskah kita mengangkat

  

tangan ke atas atau mengatupkan tangan di depan dada ketika mendengar firman

9 Pertanyaan-

  

Tuhan?” pertanyaan “klasik” seperti ini sering dihadapi oleh warga

  jemaat ketika berhadapan dengan teologi, pengalaman, dan kebiasaan yang berbeda di gereja arus utama. Ia menganalisis, mengapresiasi, membandingkan, sekaligus mengkritik kedua tradisi gereja, baik tradisi gereja kharismatik maupun tradisi gereja konvensional. Akhirnya ia memberi arah baru bagi interaksi positif

  10 antara kelompok Kristen tradisional dan kelompok Kristen kharismatik.

  Kehadiran gereja-gereja kharismatik ini juga menimbulkan reaksi antipati dari kalangan gereja-gereja arus utama. Pendeta-pendeta gereja arus utama [ada yang] menaruh curiga terhadap perkembangan gereja kharismatik. Hal inilah yang

  11

  diamati oleh van Kooij dan Tsalatsa. Dalam penelitian kedua orang ini mereka menemukan bahwa terdapat warga jemaat gereja arus utama yang menjadi warga jemaat “simpatisan” di gereja kharismatik. Menurut pengakuan para simpatisan ini kebutuhan batin mereka lebih terjawab dalam ibadah di gereja kharismatik.

  Ibadah yang ekspresif di gereja kharismatik tampaknya menjawab “kehausan spiritual” warga jemaat. Oleh karena itu mereka mengusulkan supaya ada dialog

  9 Wilfred J. Samuel, Kristen Kharismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan Pasca- Kharismatik, ( terj.Liem Siem Kie ) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007). 10 Awalnya disebut sebagai Gerakan Kharismatik atau Gerakan Pentakosta Baru.

  Gerakan ini berakar di Amerika, tumbuh subur sebagai gereja-gereja yang mempunyai ciri: tidak begitu mementingkan pelembagaan gereja secara baku; lebih menekankan persekutuan yang

diwarnai kehangatan persaudaraan, suka melakukan kebangunan rohani dan membentuk jaringan dalam bentuk persekutuan- persekutuan doa, suka menyebut diri dengan nama “injili”, tidak menyukai pembakuan ajaran gereja maupun penyajian teologi secara ilmiah, dan sebagai

konsekwensinya lebih menggemari khotbah dan kesaksian yang sederhana dan menggugah emosi (Lih, Chr de Jonge dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah Ekklesiologi , Jakarta BPK Gunung Mulia, 1989, h. 108). 11 antara pendeta-pendeta gereja kharismatik dengan pendeta-pendeta gereja arus utama.

  Penelitian yang mulai menelisik relasi ekonomi dan agama, antara lain dengan melihat kekuatan pasar dan media yang mewarnai gaya hidup posmodern (Lihat Vincent J. Miller, 2003: Pradip Thomas, 2009; Steinar Kvale, 2003; Eka Darmaputera, 1998.). Miller dalam penelitiannya berfokus pada sebuah topik bagaimana kebiasaan konsumsi mengubah hubungan kita dengan kepercayaan religius yang kita anut. Analisis tentang pembawa kebiasaan-kebiasaan ini ke dalam praktik religius membutuhkan sebuah pertimbangan yang lebih jauh tentang asal-usul dan ciri-ciri masyarakat konsumsi-tinggi. Analisis landasan dari penelitiannya adalah soal komodifikasi, sebuah cerita tentang kemerosotan dan kehilangan. Ketika kita menganggap tradisi-tradisi kultural dan religius sebagai komodifikasi, tradisi-tradisi tersebut kehilangan kuasa untuk mempengaruhi praktik hidup yang konkrit. Cerita tentang cara-cara dalam mana kepercayaan, narasi, simbol, dan praktik religius ini dilucuti dalam budaya kapitalisme maju tidak serta-merta mempradugakan bahwa ada sebuah masa ketika unsur-unsur

  12 tradisi religius ini secara langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

  Thomas mengetengahkan hubungan antara pasar, komoditi, dan agama dalam budaya pop dengan politik ekonomi. Dalam hal ini ia menyoroti bagaimana gereja-gereja dari kelompok Pentakostal dan Neo-Pentakostal menggunakan

  13

  produk multi media dalam penginjilannya. Kvale melihat aspek psikologis yang 12 Vincent J. Miller,Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a

  Consumer Culture (New York 13 ∙ London: Continuum, 2003.). berperan dalam pembentukan pola-pola hidup manusia di tiga wilayah, yaitu gereja, industri (pabrik), dan pasar. Ia melihat bagaimana agama, konsumsi, dan

  14

  industri saling kena-mengena dalam psikologis manusia. Darmaputera dalam judul tulisannya Altar dan Pasar melihat bahwa dalam memasuki millenium ketiga, ekonomi dan agama hadir sebagai dua kekuatan yang paling menentukan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak umat manusia, baik individual maupun relasional. Ia menyimpulkan tiga hal tentang relasi antara ekonomi dan agama yaitu isolasi, kolusi, dan saling menantang. Ia tidak memberi kesimpulan bagaimana keduanya bisa berelasi. Ia justru menyisakan pertanyaan bagaimana menghubungkan dengan benar, secara dinamis dan dialektis, antara pasar dan

  15 altar.

  Dari pemetaan tinjauan kepustakaan di atas, penulis belum melihat kajian

yang spesifik tentang kehadiran gereja mal di Indonesia dan bagaimana kekuatan

konsumsi masuk ke dalam pemaknaan aktifitas agama manusia zaman modern

saat ini. Kajian yang ada selama ini masih bergerak pada masalah teologi dan

ekspresi iman manusia yang bergumul dengan sejuta persoalan hidupnya yang

terjawab lewat “sentuhan” dekorasi ritual ibadah dan fisik bangunannya. Dalam

penelitian ini penulis ingin mencari tahu apa duduk perkara maraknya

kemunculan gereja di ruang konsumsi.

  

„religious‟ signifying processes and the „rumours of God‟ in „irreligious‟ spaces at the expense of

understanding the relationship between politics, economics, power and religion in the 21st century, an era imprinted by close correspondences between fundamentalist religion, economics and politics, remains a significant oversight in contemporary studies of religion and/as media 14 ”.

  Steinar Kvale, “The Church, the Factory and the Market Scenarios for Psychology in a Postmodern Age 15 (Theory Psychology 2003; 13; 579, SAGE publication).

  Eka Darmaputera, ”Altar dan Pasar: Sebuah Telaah Reflektif Mengenai Relasi Agama

5. Kerangka Teori

  Untuk menjawab persoalan-persoalan yang sudah diuraikan di atas, penelitian ini menggunakan kerangka konseptual yang dipinjam dari Interaksionisme Simbolik karya George Herbert Mead dan Sosiologi Konsumsi dari Jean Baudrillard. Interaksionisme Simbolik diharapkan bisa membantu untuk melihat jenis interaksi yang ada di gereja mal. Sementara itu Sosiologi Konsumsi Baudrillard diharapkan bisa membantu melihat pengalaman orang yang menggereja di dalam masyarakat konsumsi. Dua teori ini memiliki hubungan satu dengan yang lain dan berfaedah untuk membantu penulis mencermati penelitian ini.

  Kedua teori ini dipilih karena tema ini didekati dari perspektif sosiologis yang menempatkan individu dalam pembentukan struktur sosial. Peran individu merupakan bagian penting dalam penelitian ini. Dengan sengaja saya juga tidak memakai teori tentang agama, meskipun tema tesis ini tentang gereja. Saya berusaha bersikap netral agar tidak terjebak pada penilaian hitam putih atas fenomena gereja di mal.

  Interaksionisme Simbolik adalah suatu teori yang diterapkan dalam sosiologi. Teori ini mau menjawab bagaimana masyarakat itu terbentuk dan ingin mengatasi pandangan lain yang cenderung menganggap individu semata-mata hanya dibentuk oleh struktur sosial saja. Interaksionisme Simbolik mau memberi tempat pada individu. Ada beberapa konsep penting dalam teori Mead ini antara lain tentang : perbuatan, gestur, sombol-simbol signifikan, pikiran, konsep diri

  16 dan masyarakat.

  Dalam teori interaksi simbol, kenyataan sosial muncul melalui proses interaksi. Teori ini berhubungan dengan media simbol di mana interaksi terjadi.

  Dalam karya Mead, khususnya, teori ini meliputi analisa mengenai kemampuan manusia untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Interaksionisme simbol memusatkan perhatiannya terutama pada tingkat interaksi antar pribadi

  17

  secara mikro. Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan

  18 individu yang lain.

  Interaksionisme Simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif- perspektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga 16 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi (terj.Nurhadi) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, cet. Ke-5, 2010), h. 380-391. 17 Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), h.

  4. 18 Cuplikan dari buku Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern (Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2001). menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk

  19 sepenuhnya.