Komoditisasi dan likuiditas ekaristi di era modernitas cair : studi atas fenomena beribadah lintas paroki di Kota Yogyakarta.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRAK
Obyek material dalam penelitian ini adalah praktek beribadah lintas parokioleh
sebagian warga Gereja Kota Yogyakarta.‘Lived religion’ semacam ini menjadi obyek
material kajian religi. Saya mencoba mendekati fenomena religiositas ini dalam perspektif
sosiolog kontemporer, Zygmunt Bauman. Saya menggunakan konsep-konsep sosiologinya
untuk memahami dan menerangkan fenomena religiositas ini. Saya juga menggunakan
metodologi sosiologi Bauman, yakni hermeneutika sosiologis, dialektika dan metafora.
Dalam hermeneutika sosiologis terdapat dua langkah strategi analisis, yakni defamiliarisasi
dan memahami suatu fenomena dalam konteks struktural yang lebih besar. Oleh karena itu,
kajian penelitian ini termasuk di dalam kajian sosiologi agama.
Bauman menekankan pentingnya kita memahami suatu fenomena dalam konteks
struktural yang lebih besar. Konteks struktural kontemporer, menurut Bauman, adalah
masyarakat konsumen dan modernitas cair. Masyarakat kita saat ini adalah masyarakat
konsumen. Segala sesuatu, dalam masyarakat konsumen, dapat dijadikan komoditas
(produk). Saya memahami hal ini sebagai komoditisasi (commoditization), sebuah

terminologi yang banyak digunakan Bauman. Komoditisasi inilah yang menjadi proses awal
dalam ritual konsumsi. Di antara proses komoditisasi dan konsumsi itu terdapat aktivitas
belanja (shopping around).
Budaya konsumen ini meresap di seluruh dimensi kehidupan manusia di era
modernitas cair. Praktek religiositas warga Gereja juga tidak luput dari implikasi budaya
konsumen ini. Saya mencoba untuk menempatkan dan memahami fenomena beribadah lintas
paroki ini dalam konteks struktural masyarakat konsumen dan modernitas cair. Dalam
kerangka itu, praktek beribadah lintas teritorial paroki identik dengan aktivitas belanja
(shopping around). Jika demikian, maka ibadah (ekaristi) itu sendiri sebenarnya telah terlebih
dahulu dijadikan komoditas. Ekaristi telah dijadikan obyek konsumsi oleh warga Gereja di
era modernitas cair.
Komoditisasi ekaristiini berimplikasi pada semakin cairnya praktek ekaristiitu.
Struktur dan isi ekaristi menjadi semakin cair. Pengalaman warga Gereja yang merayakan
ekaristi juga menjadi semakin cair. Sementara itu, praktek belanja ekaristi menyebabkan
likuiditas komunitas Gereja teritorial dan juga likuiditas praktek kewargaan seseorang dalam
Gereja. Lebih lanjut, komoditisasi ekaristi ini menjadikan disposisi dan partisipasi warga
Gereja era modernitas cair di dalam ekaristi tersebut semakin ambivalen dan ambigu.
Religiositas warga Gereja di era modernitas cair menjadi semakin ambivalen dan ambigu.
Praktek religiositas menjadi semakin cair (liquid religiosity). Tidak ada batas yang jelas
antara konsumsi dan pengalaman religius yang otentik.

Komoditisasi ekaristi mencerminkan peningkatan individualitas dan individualisasi,
kedaulatan dan emansipasi warga Gereja sebagai agen dan konsumen dalam Gereja. Hal ini
tentunya dapat menginspirasi Gereja untuk senantiasa mentransformasi dan mereformasi
dirinya. Gereja dituntut untuk semakin kreatif dan inovatif dalam karya pelayanannya.
Kreativitas, inovasi, transformasi dan reformasi merupakan conditio sine qua non bagi Gereja
saat ini. Ecclesia semper reformanda. Aggiornamento. Inilah cara Gereja untuk tetap relevan
di dalam masyarakat konsumen di era modernitas cair.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
The material object in this research is the practice of cross-parish worship by some
Church members in the city of Yogyakarta. This lived religion is the material object of
religious studies. I tried to approach this phenomenon of religiosity in the perspective of
contemporary sociologist, Zygmunt Bauman. I use his sociological concepts to understand
and to explain this contemporary phenomenon of religiosity. I also use the methodology of

Bauman’s sociology, i.e. sociological hermeneutics, dialectics, and metaphor. Those are two
main strategy of analysis in sociological hermeneutics, i.e. defamiliarization and to
comprehend a phenomenon in the wider structural context. Therefore, this research include in
the sociology of religion scope.
Bauman emphasizes the importance of comprehending a phenomenon in the wider
structural context. According to Bauman,contemporary structural context is the society of
consumer and the liquid modernity. Our society today is a society of consumer. Everything in
a society of consumer can be commoditized. I understand this as a commoditization, the term
that is widely used by Bauman. Commoditization is the initial process in the ritual of
consumption. There is shopping around activity between the process of commoditization and
consumption.
In a society of consumer, everything is already in the process of becoming liquid. In
the era of liquid modernity, the consumer culture impact in all dimensions of human life.
Therefore, the practice of religiosity of the Church could not be separated from the
implications of this consumer culture. I try to posit and understand this simple phenomenon
in the structural context of society of consumer and liquid modernity. Within this framework,
the practice of cross-parish worship is the same as shopping around activity. Moreover, the
worship (Eucharist) itself has actually been commoditized. Eucharist becomes an object of
the Church consumption in the era of liquid modernity.
Eucharist commoditization has resulted in the liquidity of the practice of Eucharist.

The structure and the content of Eucharist will become more fluid. The experiences of the
Church member who celebrate the Eucharist become more fluid too. Meanwhile, the
practices of Eucharist affect the liquidity of Church territorial communities and the liquidity
of the practices of citizenship in Church. Furthermore, the commoditization of Eucharist
implicates the ambivalent and ambiguous disposition and participation of Church citizens in
the Eucharist. The religiosity of the Church members in the era of liquid modernity becomes
more ambivalent and ambiguous. The practice of religiosity becomes more fluid and liquid
(liquid religiosity). In this case, there is no clear boundary between consumption and an
authentic religious experience.
This Eucharist commoditization is the reflection of theincreasing of individuality and
individualization, sovereignty and emancipation of members of the Church as a consumer in
the Church in the era of liquid modernity. This of course can be an inspiration for the Church
to transform and reform itself continuously. The institution of the Church should be more
creative and innovative in his ministry. Creativity, innovation, transformation and
reformation are conditio sine qua non for the Church today. Ecclesia semper reformanda.
Aggiornamento. This is the way the Church to remain relevant in a society of consumer in the
era of liquid modernity.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN

MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KOMODITISASI DAN LIKUIDITAS EKARISTI
DI ERA MODERNITAS CAIR:
Studi atas Fenomena Beribadah Lintas Paroki di Kota Yogyakarta

Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta

Oleh:
Alfonsus No Embu
136322011

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta
2015

i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Tesis

KOMODITISASI DAN LIKUIDITAS EKARISTI
DI ERA MODERNITAS CAIR:
Studi atas Fenomena Beribadah Lintas Paroki di Kota Yogyakarta

Oleh
ALFONSUS NO EMBU

NIM: 136322011

Telah disetujui oleh

Dr. Albertus Bagus Laksana, S.J., Ph.D.

………………….…………..

Pembimbing I

Tanggal: 16 Juli 2015

ii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


Tesis

KOMODITISASI DAN LIKUIDITAS EKARISTI
DI ERA MODERNITAS CAIR:
Studi atas Fenomena Beribadah Lintas Paroki di Kota Yogyakarta

Oleh
ALFONSUS NO EMBU
NIM : 136322011

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat.

Tim Penguji
Ketua

: Dr. A.Budi Susanto, S.J., Ph.D.

………………………….


Sekretaris/Moderator : Dr. des. Vissia Ita Yulianto

………………………….

Anggota

….………..……………..

: 1. Y. Tri Subagya, M.A.
2. Dr. A. B. Laksana, S.J., Ph.D.

………….………………

Yogyakarta, 24 Agustus 2015
Direktur Program Pascasarjana

Prof. Dr. A. Supratikna

iii


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI

TERPUJI

MOTTO

PADA MULANYA ADALAH MIMPI

vi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR
Pada awal masa studi di Program Studi Ilmu Religi dan Budaya, sebenarnya
saya sudah memutuskan bahwa tema dan kajian tesis saya, nantinya, seputar persoalan
kajian religi.Saya merasa cukup terpaksa memilih kajian religi karena latarbelakang
pekerjaan saya.Saya seorang Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Agama.Jabatan
saya adalah Penyuluh Agama Katolik.Dan berdasarkan ketentuan Tugas Belajar, saya
harus mengambil jurusan dan kajian yang relevan dan berkaitan dengan tugas dan
jabatan saya sebagai Penyuluh Agama.
Saya sudah mempertimbangkan beberapa obyek material dan perspektif
kajiannya. Dan akhirnya saya berketetapan hati untuk meneliti fenomena praktek
beribadah lintas paroki oleh sebagian warga Gereja kota Yogyakarta,setelah
mendapatkan inspirasi dari Dr. St. Sunardi. Saya juga dianjurkannya untuk coba
menggunakan pemikirannya Zygmunt Bauman, yang sangat sedikit dibahas dalam
kuliah Kajian Budaya.Selebihnya cari tahu sendiri. Eh, saya jadi ‘birahi’ juga sama
pemikirannya ‘Nabi postmodernitas’ (sebagaimana disebut oleh Dennis Smith: 1999)
ini.
Sudah barang tentu, saya menyelesaikan penulisan tesis ini atas dukungan
berbagai pihak.Pertama-tama saya berterima kasih kepada Tuhan yang memberikan
saya cukup kemampuan dan kesempatan untuk mengembangkan diri.Terima kasih
untuk keluargaku yang telah membentuk kharakterku, dan membuatku berani
bermimpi dan mencoba menggapainya.Untuk bapakku, Antonius Embu (alm.) yang
tidak sempat merasakan kebanggaan atas pencapaianku hari ini.Untuk mama dan
kakak-kakakku yang selalu mendukung, mungkin ini salah satu caraku untuk membuat
vii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kalian bangga.Terima kasih untuk istriku, Rosmayasinta Makasau, yang juga sekaligus
menjadi ‘partner’ dalam perlombaan penulisan tesis ini.Kamu tetap lebih hebat,
sayang.Kamu mengerjakan tesis, tanpa meninggalkan pekerjaan di rumah.Terima
kasih untuk anakku, Fiolla, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
lebih dalam perjuanganku.Mommy dan Daddy sekolah tinggi-tinggi, hanya supaya
kemudian hari engkau melampauinya.
Terima kasih kepada institusi Kementerian Agama yang memberikan ruang
bagi saya untuk melanjutkan studi Magister ini.Terima kasih untuk rekan-rekan kerja
di Bidang Bimas Katolik Kementerian Agama Propinsi Papua. Terima kasih untuk
teman-teman di Kementerian Agama Kabupaten Merauke yang selalu menanyakan
perkembangan studi dan kapan saya akan pulang. Hal itu memberikan motivasi yang
besar bagi saya untuk segera menyelesaikan tesis ini.
Sudah sepantas dan selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada
Lembaga Universitas Sanata Dharma, khususnya Program Ilmu Religi dan Budaya,
yang memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tesis ini
secepat mungkin: perpustakaan yang lengkap (off line dan online), ruang-ruang yang
nyaman untuk belajar. Terima kasih untuk para dosen yang mudah ditemui dan mudah
dimintakan ‘pencerahan’: Prof. Pratik, Prof. Diyah Larasaty, Dr. Budi Susanto, Dr. St
Sunardi, Dr. Subanar, Dr. Katrin Bandel, Dr. Bagus Laksana, Dr. Des. Vita, Dr. Tri
Subagya.Secara khusus, saya berterima kasih kepada Dr. Bagus Laksana, S.J. yang
telah menjadi pembimbing utama penulisan tesis ini. Terima kasih atas kritik dan
masukan dalam proses penulisan hingga penyelesaian yang baik tesis ini.

viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Terima kasih untuk rekan-rekan belajarku, gangster IRB’13 alias ‘ALIANSI
BONOBO’. Ketua: Hans Salvatore. Wakil: Thomas Cahyo. Bendahara plus Seksi
Konsumsi: Anne Saka. Dewan Penatua: Riwie Nugroho, Andre Utomo, Jolni D.
Penasehat Rohani: Romo Koko Aleksander, ‘Pendeta’ Efraim Mangaluk dan ‘Haji’
Umar. Penasehat Jasmani: Vian Banditz. Artis Korea nyasar: Michan L. Juru kunci
alias paranormal IRB’13: Phomat Wali. Bintang Kelas: Vina Reta dan Titin. Noel
Sang pemimpi.Dwi Hartanto yang Marxis.Haji Jarkoni “Ali Antoni” yang
nyeleneh.Hahahahahaha. Ingat semboyan Bonobo, yang dirumuskan oleh seniman
kawakan IRB’13, Padmo Adi: “Apapun masalahnya, kita selesaikan dengan ……..”
Ah, kamu tahu lah apa itu………. Bersama kalian, kuliah di IRB terasa sangat
menggembirakan.
Penulisan tesis ini mungkin rada cepat, karena ‘dikejar’ batas akhir waktu
Tugas Belajar yang singkat. Ya, seperti orang yang tergesa-gesa dalam perjalanan,
kadang banyak hal yang terluput dari perhatiannya. ‘Keterluputan’ itu mungkin hal-hal
yang sangat penting dan perlu dibawaserta dalam perjalanan. Jadi, mungkin ada
banyak ‘keterluputan’ juga dalam tesis ini. Mungkin ada hal-hal penting, tetapi tidak
sempat menjadi bagian di dalam tesis ini. Ya, begitulah hasil dari sebuah pemikiran
dan tulisan dari ‘ketergesahan’. Walaupun demikian, semoga hasil dari pekerjaan yang
tergesa-gesa ini masih tersisa manfaat untuk para pembaca. Lebih dari itu, semoga
kajian sederhana ini dapat memberikan inspirasi bagi para pemikir lainnya untuk
mengembangkan penelitian lanjutan dengan tema yang serupa.
Yogyakarta, 21 Juli 2015
Alfonsus No Embu
ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK
Obyek material dalam penelitian ini adalah praktek beribadah lintas parokioleh
sebagian warga Gereja Kota Yogyakarta.‘Lived religion’ semacam ini menjadi obyek
material kajian religi. Saya mencoba mendekati fenomena religiositas ini dalam
perspektif sosiolog kontemporer, Zygmunt Bauman. Saya menggunakan konsepkonsep sosiologinya untuk memahami dan menerangkan fenomena religiositas ini.
Saya juga menggunakan metodologi sosiologi Bauman, yakni hermeneutika
sosiologis, dialektika dan metafora. Dalam hermeneutika sosiologis terdapat dua
langkah strategi analisis, yakni defamiliarisasi dan memahami suatu fenomena dalam
konteks struktural yang lebih besar. Oleh karena itu, kajian penelitian ini termasuk di
dalam kajian sosiologi agama.
Bauman menekankan pentingnya kita memahami suatu fenomena dalam
konteks struktural yang lebih besar. Konteks struktural kontemporer, menurut Bauman,
adalah masyarakat konsumen dan modernitas cair. Masyarakat kita saat ini adalah
masyarakat konsumen. Segala sesuatu, dalam masyarakat konsumen, dapat dijadikan
komoditas (produk). Saya memahami hal ini sebagai komoditisasi (commoditization),
sebuah terminologi yang banyak digunakan Bauman. Komoditisasi inilah yang
menjadi proses awal dalam ritual konsumsi. Di antara proses komoditisasi dan
konsumsi itu terdapat aktivitas belanja (shopping around).
Budaya konsumen ini meresap di seluruh dimensi kehidupan manusia di era
modernitas cair. Praktek religiositas warga Gereja juga tidak luput dari implikasi
budaya konsumen ini. Saya mencoba untuk menempatkan dan memahami fenomena
beribadah lintas paroki ini dalam konteks struktural masyarakat konsumen dan
modernitas cair. Dalam kerangka itu, praktek beribadah lintas teritorial paroki identik
dengan aktivitas belanja (shopping around). Jika demikian, maka ibadah (ekaristi) itu
sendiri sebenarnya telah terlebih dahulu dijadikan komoditas. Ekaristi telah dijadikan
obyek konsumsi oleh warga Gereja di era modernitas cair.
Komoditisasi ekaristiini berimplikasi pada semakin cairnya praktek ekaristiitu.
Struktur dan isi ekaristi menjadi semakin cair. Pengalaman warga Gereja yang
merayakan ekaristi juga menjadi semakin cair. Sementara itu, praktek belanja ekaristi
menyebabkan likuiditas komunitas Gereja teritorial dan juga likuiditas praktek
kewargaan seseorang dalam Gereja. Lebih lanjut, komoditisasi ekaristi ini menjadikan
disposisi dan partisipasi warga Gereja era modernitas cair di dalam ekaristi tersebut
semakin ambivalen dan ambigu. Religiositas warga Gereja di era modernitas cair
menjadi semakin ambivalen dan ambigu. Praktek religiositas menjadi semakin cair
(liquid religiosity). Tidak ada batas yang jelas antara konsumsi dan pengalaman
religius yang otentik.
Komoditisasi ekaristi mencerminkan peningkatan individualitas dan
individualisasi, kedaulatan dan emansipasi warga Gereja sebagai agen dan konsumen
dalam Gereja. Hal ini tentunya dapat menginspirasi Gereja untuk senantiasa
mentransformasi dan mereformasi dirinya. Gereja dituntut untuk semakin kreatif dan
inovatif dalam karya pelayanannya. Kreativitas, inovasi, transformasi dan reformasi
merupakan conditio sine qua non bagi Gereja saat ini. Ecclesia semper reformanda.
Aggiornamento. Inilah cara Gereja untuk tetap relevan di dalam masyarakat konsumen
di era modernitas cair.
x

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT
The material object in this research is the practice of cross-parish worship by
some Church members in the city of Yogyakarta. This lived religion is the material
object of religious studies. I tried to approach this phenomenon of religiosity in the
perspective of contemporary sociologist, Zygmunt Bauman. I use his sociological
concepts to understand and to explain this contemporary phenomenon of religiosity. I
also use the methodology of Bauman’s sociology, i.e. sociological hermeneutics,
dialectics, and metaphor. Those are two main strategy of analysis in sociological
hermeneutics, i.e. defamiliarization and to comprehend a phenomenon in the wider
structural context. Therefore, this research include in the sociology of religion scope.
Bauman emphasizes the importance of comprehending a phenomenon in the
wider structural context. According to Bauman,contemporary structural context is the
society of consumer and the liquid modernity. Our society today is a society of
consumer. Everything in a society of consumer can be commoditized. I understand this
as a commoditization, the term that is widely used by Bauman. Commoditization is the
initial process in the ritual of consumption. There is shopping around activity between
the process of commoditization and consumption.
In a society of consumer, everything is already in the process of becoming
liquid. In the era of liquid modernity, the consumer culture impact in all dimensions of
human life. Therefore, the practice of religiosity of the Church could not be separated
from the implications of this consumer culture. I try to posit and understand this simple
phenomenon in the structural context of society of consumer and liquid modernity.
Within this framework, the practice of cross-parish worship is the same as shopping
around activity. Moreover, the worship (Eucharist) itself has actually been
commoditized. Eucharist becomes an object of the Church consumption in the era of
liquid modernity.
Eucharist commoditization has resulted in the liquidity of the practice of
Eucharist. The structure and the content of Eucharist will become more fluid. The
experiences of the Church member who celebrate the Eucharist become more fluid too.
Meanwhile, the practices of Eucharist affect the liquidity of Church territorial
communities and the liquidity of the practices of citizenship in Church. Furthermore,
the commoditization of Eucharist implicates the ambivalent and ambiguous disposition
and participation of Church citizens in the Eucharist. The religiosity of the Church
members in the era of liquid modernity becomes more ambivalent and ambiguous. The
practice of religiosity becomes more fluid and liquid (liquid religiosity). In this case,
there is no clear boundary between consumption and an authentic religious experience.
This Eucharist commoditization is the reflection of theincreasing of
individuality and individualization, sovereignty and emancipation of members of the
Church as a consumer in the Church in the era of liquid modernity. This of course can
be an inspiration for the Church to transform and reform itself continuously. The
institution of the Church should be more creative and innovative in his ministry.
Creativity, innovation, transformation and reformation are conditio sine qua non for
the Church today. Ecclesia semper reformanda. Aggiornamento. This is the way the
Church to remain relevant in a society of consumer in the era of liquid modernity.

xi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...……………..……...………………………….……...…..

i

LEMBARAN PERSETUJUAN...…………….………………………………….

ii

LEMBARAN PENGESAHAN..…………………………………..….…...……..

iii

LEMBARAN PERNYATAAN KEASLIAN ………………………...……...….

iv

LEMBARAN

PERNYATAAN

PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .………....………...….……

v

LEMBARAN MOTTO..…………………………………….……………....…...

vi

KATA PENGANTAR..………………………………….……………..…...……

vii

ABSTRAK………...…………………………………………………………….

x

ABSTRACT..……………….…………………………………………………...

xi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….

x ii

DAFTAR TABEL …………..……..………………………………………….....

xvi

DAFTAR GAMBAR………………………………….…………………………

xvii

BAB I

Pendahuluan …..………………………….………………………...

1

A. Latar Belakang...……………………………………………………

1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah..……………………………….

10

C. Tujuan Penelitian.…………………………………………………..

11

D. Pentingnya Penelitian.……………………………………………...

12

E. Kajian Pustaka.……………………………………………………..

13

F. Kerangka Teoritis.……………………………………………….....

17

G. Metodologi Penelitian.……………………………………………...

23

xii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

1. Jenis Penelitian.……………………………………………….....

24

2. Data dan Sumber Data.…………………………………………..

25

3. Waktu, Tempat, Kelompok.……………………………………..

26

4. Teknik Pengumpulan Data.……………………………………...

26

5. Metode Analisis …………………………………………………

27

H. Sistematika Penulisan ……………………………………………...

33

BAB II

Konteks Kontemporer Gereja Indonesia: Masyarakat Konsumen
dan Modernitas Cair ...…………………………………….……….

36

A. Konteks Kontemporer Menurut Zygmunt Bauman ………………..

39

1. Segala Sesuatu (Menjadi) Cair ………………………………….

39

2. Masyarakat Konsumen ……………………………………….....

46

3. Manusia Konsumen ……………………………………………..

55

a. Manusia Stoller……………………………..

55

b. Manusia Pengembara (Vagabond)………….

57

c. Manusia Pelancong (Tourist) ………………

59

d. Manusia Pemain (Player) …………………..

60

4. Masyarakat Kota ……………………………………………..….

61

5. Komunitas (Menjadi) Cair ………………………………...…….

67

B. Indonesia: Masyarakat Konsumen …………………..……………..

78

C. Relasi Budaya Konsumen Dan Religiositas………………………..

91

BAB III

Gereja Katolik di Yogyakarta dan Realitas Praktek Beribadah
Lintas Paroki ....................................................................................

xiii

101

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

A. Sejarah dan Kharakteristik Gereja Katolik di Yogyakarta ………...

101

B. Beribadah Lintas Teritorial Paroki ………………………………...

111

C. Beberapa Fenomena Ekaristi dalam

Kaitan dengan Beribadah

Lintas Paroki ……………………………………………………….

125

1. Ekaristi dan Persolan Waktu …………………...……………….. 125
2. Ekaristi dan Budaya Populer ……………………………..……..

134

3. Ekaristi dan Media ……………………………………...……….

145

4. Ekaristi dan Pasar di Gereja …………………………………...... 149
5. Ekaristi dan (Ber)bahasa …………………………………..…….

155

6. Praktek Agama dan Even-Even ……..…………………………..

162

Komoditisasi dan Likuiditas Ekaristi ……………………………...

166

A. Beribadah Lintas Paroki dan Mentalitas Belanja ………………….

168

B. (Reposisi) Ekaristi Menjadi Komoditas ……………………..…….

174

C. Likuiditas dalam Belanja Ibadah (Ekaristi) ……………………......

186

BAB IV

1. Likuiditas Spasial dan Teritorial ………………………………... 186
2. Likuiditas Temporal ………………………………………….....

192

3. Likuiditas Struktural-Isi ………………………………………… 197
D. Likuiditas Kewargaan Gereja ……………………………………...

203

1. Likuiditas Komunitas Teritorial ………………………………...

204

2. Likuditas Praktek Kewargaan Gereja ………………………….

205

3. Dari Komunitas Menuju Kohabitasi …………………………….

211

E. Ambivalensi dan Ambiguitas Praktek Religiositas ………………

xiv

217

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB V

F. Likuditas Ekaristi dan Kedaulatan Umat ……..…………………...

226

Penutup …………………………………………………………....

236

A. Kesimpulan ………………………………………………………...

236

B. Relevansi Dan Kontribusi Penelitian ……….……………………..

238

C. Rekomendasi Untuk Penelitian Lanjutan ……………………….....

240

DAFTAR PUSTAKA …………………….……………………………………..

243

LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………..………………………….........

251

Lampiran 1 : Daftar Pertanyaan Wawancara …………………….

251

Lampiran 2 : Daftar Narasumber..………………………………..

256

Lampiran 3 : Contoh Lagu-Lagu Populer yang Dinyanyikan
dalam Ekaristi……………………………………… 259

xv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR TABEL

Tabel 1.

Jadwal Perayaan Ekaristi Gereja Katolik Kristus Raja-Baciro

126

Tabel 2. Jadwal Perayaan Ekaristi Gereja Katolik Sta Maria AsumptaBabarsari……………………………………………………………. 126
Tabel 3. Jadwal Perayaan Ekaristi Gereja Katolik St Antonius Padua-Kota
Baru…………………………………………………………………

126

Tabel 4.

Jadwal Perayaan Ekaristi Gereja Katolik Keluarga Kudus-Banteng

127

Tabel 5.

Jadwal Perayaan Ekaristi Paroki St Yohanes Rasul-Pringwulung

127

Tabel 6.

Jadwal Perayaan Ekaristi Gereja St Albertus Agung-Jetis

127

Tabel 7. Perbandingan jumlah ekaristi berbahasa Jawa dan ekaristi
berbahasa Indonesiadi beberapa paroki di Kota Yogyakarta dalam
satu bulan

156

xv i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Karikatur pada Buku Misa Masa Biasa XXXII/B, 10-11
November 2012, Paroki St Antonius- Kota Baru……………….

Gambar 2.

177

Karikatur pada Buku Misa Masa Biasa XXXII/A, 8-9
November 2014, Paroki St Antonius- Kota Baru ………………

xvii

178

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konteks zaman kita dewasa ini, menurut Zygmunt Bauman (2007a: 75)
begitu ditandai oleh budaya konsumen atau konsumerisme. Segala ruang dan
setiap orang dilingkupi oleh komoditas-komoditas, interaksi dan transaksi
konsumsi. Tidak ada seorangpun yang dapat menghindarinya. Setiap orang pada
zaman ini adalah konsumen. Dan hampir segala sesuatu dikomodifikasi menjadi
komoditas konsumsi (Zukin et al. 2004: 173-197). Karena itu, Bauman sepakat
dengan Baudrillard untuk menyebut masyarakat kita dewasa ini adalah
masyarakat konsumen. Secara terminologis Baudrillard menyebutnya sebagai
Consumer Society (Baudrillard 1998), sedangkan Bauman menyebutnya sebagai
‘Society of Consumer” (Bauman 2007a: 11).
Pembahasan Bauman tentang masyarakat konsumen tersebut sangat erat
dan tidak dapat dilepaskan dari diskusinya tentang era modernitas cair. Dalam
bukunya Consuming Life, Bauman menyebut masyarakat saat ini sebagai ”the
liquid modern society of consumers” (2007a: 32). Masyarakat konsumen
sekaligus merupakan penanda era modernitas cair. Dalam hal ini, menurut
pemikiran Bauman, modernitas cair identik dengan masyarakat konsumen.
Masyarakat konsumen dan budaya konsumen secara keseluruhan meresap di
dalam modernitas cair. Manusia di era modernitas cair adalah konsumenkonsumen. Budaya di era modernitas cair adalah budaya konsumen (2007a: 11).
Mereka menjalani kehidupan mereka melalui apa yang mereka konsumsi.
Konsumsi menjadi tujuan utama manusia zaman ini (Blackshaw 2005: 130).

1

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Dengan kata lain, identitas, status, kewargaan seseorang dalam masyarakat
modern ditentukan oleh apa yang dikonsumsinya.
Menurut Bauman (2000), modernitas cair berarti era di mana segala
soliditas sedang dalam proses pencairan atau pelelehan (fluiditas, likuiditas) yang
terus menerus tanpa henti (Blackshaw 2005: 24-52). Kini, tidak ada sesuatupun
yang tetap solid, permanen. Segala sesuatu sedang bergerak, berubah, bergeser
dengan arah yang tidak dapat sepenuhnya diprediksi. Berkaitan dengan hal itu,
penanda lain modernitas cair adalah mobilitas, fleksibilitas, variabilitas. Warga
modern cair yang adalah konsumen cenderung melampaui batas-batas, baik batas
teritorial (ruang) maupun nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.
Konsumen-konsumen yang senantiasa bergerak dan melampaui batas-batas
dengan tujuan mencari, menemukan dan memenuhi hasrat konsumsi sebagai
alasan kebahagiaan dan tujuan hidupnya.
Nick Stevenson dalam bukunya Cultural Citizenship: Cosmopolitan
Questions (2003) membahas tentang implikasi konsumerisme atau budaya
konsumen terhadap kewargaan umum. Stevenson mengadopsi beberapa gagasan
Bauman tentang masyarakat konsumen dan kewargaan. Kewargaan budaya ini
mempunyai pengaruh terhadap praktek-praktek kewarganegaraan (kewargaan
politis). Saya mengasumsikan bahwa kewargaan seseorang dalam masyarakat
konsumen merongrong religiositas1, dalam hal ini secara khusus saya menyoroti
1

Ada beberapa pendapat ahli yang membuat pembagian dan pembedaan dimensi
religiositas. Menurut Stanley Hall (1891), Edward Starbuck (1899) dan James Leuba (1922, 1925)
terdapat empat dimensi religiositas, yakni: beliefs (keyakinan), works (karya), practices (praktekpraktek) dan feelings (emosi, perasaan). Fichter (1951, 1969) menyebut empat dimensi religiositas,
yakni: communion, creed, code of conduct dan cult. Fukuyama (1961) membagi ke dalam empat
dimensi, yakni: Creedal (pengakuan iman), cultic (upacara kultus), cognitive (ajaran rasional) dan
devosional. Charles Glock (1965) menyebut adanya lima dimensi religiositas, yakni: ideological,
consequential, ritualistic, intellectual dan experiential. Glock kemudian memperbaharui
pandangannya ini bersama Starck (1968) dan menyebut adanya enam dimensi religiositas, yakni:

2

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

praktek kewargaannya (berkomunitas) dan praktek beribadah 2 dalam Gereja
Katolik3. Saya sangat tertarik untuk meneliti implikasi budaya konsumen terhadap
praktek kewargaan seseorang di dalam Gereja. Saya tidak hendak membuat
dikotomi antara kewargaan umum dan kewargaan Gereja, tetapi saya mempunyai
keyakinan akan adanya kharakter-kharakter khusus dalam hal kewargaan Gereja,
dan dengan demikian tentunya mempunyai implikasi khusus juga.
Secara tematis memang sudah ada penelitian tesis yang coba membahas
budaya konsumen dan Gereja di Indonesia, yakni tesis Norita Novalina
Sembiring, mahasiswa magister Ilmu Religi dan Budaya-Sanata Dharma, berjudul
Menggereja Dalam masyarakat konsumen: Studi Atas Pengalaman Orang
Menggereja Di Mall (2010). Sembiring seorang Kristen Protestan, dan Gereja
yang ditelitinya adalah denominasi Kharismatik. Posisi subyektif Sembiring dan
subyek kajiannya berbeda dari posisi dan minat saya dalam penelitian ini. Fokus
penelitiannya adalah hadirnya gereja dalam ruang lingkup konsumsi (mall) dan
berbagai realitas sosial dalam kegiatan ibadah di gereja mall. Ada beberapa hal
yang sangat berbeda antara penelitian saya dengan penelitian yang sudah dibuat
Sembiring, sebagai berikut: pertama, posisi subyektif saya adalah seorang Katolik
dan fenomena yang akan diteliti adalah fenomena-fenomena religiositas dalam
ruang lingkup Gereja Katolik. Kedua, saya hendak mengkaji hadirnya konsumsi
particularism, beliefs, ethicals, practice, knowledge, experience. Yang terakhir Verbita (1970)
menyebut adanya enam dimensi religiositas, yakni: community, doctrine, ethics, rituals,
knowledge, dan emotion. Semua ahli ini sepakat bahwa religiositas itu multidimensional (Mueller
1980: 1-24). Adapun dua variable utama dalam penelitan tesis ini termasuk ke dalam dua dimensi
religiositas yang berbeda, yakni: pengalaman berekaristi termasuk ke dalam dimensi ritual,
sedangkan kewargaan Gereja termasuk ke dalam dimensi komunitas.
2
Kata ‘beribadah’ dalam konteks penelitian dan penulisan tesis ini dipakai dalam
pengertian ‘mengikuti perayaan ekaristi’.
3
Untuk selanjutnya, penulis menggunakan istilah Gereja (dengan huruf ‘G’ kapital)
untuk menyebut Gereja Katolik dan gereja (dengan huruf ‘g’ kecil) untuk menyebut gereja-gereja
di luar Gereja Katolik atau juga untuk menyebut bangunan gereja, sesuai konteksnya dalam
tulisan.

3

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

dalam ruang lingkup Gereja, yakni bagaimana budaya konsumen berimplikasi
terhadap praktek beribadah dan praktek kewargaan (komunitas) orang-orang
Katolik Indonesia dalam Gereja di era modernitas cair. Dalam dua hal ini sangat
jelas perbedaan posisi dan minat saya dalam penelitian, jika dibandingkan dengan
penelitian tesis yang sudah dilakukan oleh Sembiring.
Sebenarnya, ada banyak tulisan yang coba membedah persoalan Gereja
berhadapan dengan budaya konsumen. Paling tidak, ada dua tulisan yang paling
dekat pokok kajiannya dengan tesis ini. Pertama, tulisan Prof. L.O.K. Lategen
berjudul Remarks On The Church In The Consumer Society: Similarities And
Dissimilarities (2004). Dalam tulisannya ini, Lategen menegaskan pentingnya
Gereja mencontohi dan mengaplikasikan kharakteristik masyarakat konsumen
kedalam karya dan pelayanan Gereja. Gereja perlu mengaktualisasikan dirinya
seperti pusat perbelanjaan (shopping mall). Pada bagian akhir, Lategen
memberikan guideline bagaimana Gereja perlu mengembangkan karya pelayanan
yang semenarik mungkin dalam masyarakat konsumen postmodern ini. Kedua,
tulisan hasil penelitian Scott J. Vittel, Joseph G. P. Paolillo dan Jatinder J. Singh
berjudul Religiosity And Consumer Ethics (2005). Dalam tulisan ini, ketiganya
fokus pada persoalan pengaruh religiositas personal terhadap keputusan,
keyakinan dan perilaku etis individu dalam konsumsi. Tujuan penelitiannya
adalah untuk menginvestigasi hubungan antara religiositas dan keputusan etis
seorang konsumen dalam berbagai situasi. Mereka juga menguji sejauh mana
religiositas seseorang berperan dalam tindakan dan keputusannya sebagai
konsumen di dalam masyarakat konsumen.

4

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Beberapa referensi penelitian ataupun tulisan di atas sudah mendiskusikan
tentang relasi antara budaya konsumen dan masyarakat konsumen dengan
religiositas. Namun, saya belum menemukan penelitian dan atau tulisan yang
secara khusus mengkaji tentang implikasi masyarakat konsumen terhadap praktek
beribadah dan kewargaan (komunitas) Gereja. Hal ini sangat menarik bagi saya,
karena manusia pada saat yang sama sekaligus menjadi homo consumans atau
I'homme consommateur dan juga homo religiosus. Manusia, pada saat yang sama,
juga makhluk religius, yang merujuk pada kecenderungan kelekatan dan
kedekatannya dengan Subyek Supranatural dan juga menjadi anggota masyarakat
konsumen. Kenneth Hamilton dalam tulisannya ‘Homo Religiosus and Historical
Faith” (1965) menyatakan dengan tegas bahwa manusia tetaplah homo religiosus,
bahkan ketika gelombang sekularisasi membawa manusia kepada kehilangan
religiositasnya. “Man, even when secularized, is homo religiosus still;….”
(Hamilton 1965: 213-222). Seseorang, apalagi dalam konteks Indonesia, sekaligus
menjadi makhluk konsumen dan juga makhluk religius.
Selain itu, Gereja berhadapan langsung dan tidak bisa lari atau
menghindari masyarakat dan budaya konsumen ini. Sebagian warga masyarakat
konsumen dan budaya konsumen itu adalah anggota Gereja, umat Allah. Dalam
hal ini ada hibriditas kewargaan. Berkaitan dengan itu, dalam konteks yang lain,
Josee Johnston menggagaskan konsep hibriditas kewargaan semacam ini, dalam
tulisannya “The citizen-consumer hybrid: ideological tensions and the case of
Whole Foods Market”(2008). Dengan kata lain, Gereja berhadapan langsung
dengan umatnya sendiri yang juga merupakan masyarakat konsumen. Konsep
kunci dan baru dalam wacana ini adalah ‘warga Gereja-konsumen”. Term

5

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

‘citizen’ lebih biasa digunakan dalam konteks pembicaraan tentang kewargaan
budaya dan kewargaan politis, tetapi dapat dipakai juga dalam konteks kewargaan
Gereja. Gagasan tersebut di atas relevan ketika saya menggunakannya dalam
konteks konsep hybrid “warga Gereja-konsumen”. Di dalam konsep hybrid warga
Gereja-Konsumen secara implisit tergambar kontestasi ideologis kewargaan
Gereja dan masyarakat konsumen.
Bertolak dari beberapa argumentasi di atas, saya sampai pada suatu asumsi
bahwa pola perilaku atau budaya konsumen itu berhubungan erat dengan
religiositas umat Allah. Religiositas seseorang dapat menentukan pola perilaku
konsumsinya. Dan sebaliknya, budaya konsumen juga mempengaruhi religiositas
umat Allah, secara khusus dalam praktek beribadah dan kewargaannya dalam
Gereja. Lategan (2004) lebih menelaah bagaimana Gereja mengadopsi,
mengadaptasikan dan mengaplikasikan kharakteristik masyarakat konsumen ke
dalam karya pelayanan Gereja, sehingga menjadi menarik. Sementara itu, Scott J.
Vittel, Joseph G. P. Paolillo dan Jatinder J. Singh (2005) lebih tertarik membahas
bagaimana religiositas mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dan keputusan
etis seorang konsumen.
Berbeda dari dua penelitian dan tulisan di atas, minat saya adalah
menyelidiki sejauh mana budaya konsumen merasuk dan mempengaruhi
kehidupan religiositas seseorang, khusus dalam praktek beribadah dan
kewargaannya sebagai anggota Gereja, dan mengidentifikasi kewargaan Gereja
yang cair. Posisi dan titik tolak penelitian peneliti, persisnya, berbeda dari posisi
dan titik tolak Scott J. Vittel, Joseph G. P. Paolillo dan Jatinder J. Singh (2005)
dalam kaitan antara religiositas dan etika konsumsi. Dalam hal ini saya

6

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

menemukan ‘kebaruan’ dalam penelitian ini. Gagasan ini memperoleh
landasannya pada pendapat Paul Heelas (1996), sebagaimana diuraikan oleh
Karner, bahwa “However

they

are

defined,

consumption,

consumerism,

consumer society and consumer culture are seen as corrosive of religious
belief,

practise

and

institution” (bdk.Karner et al. 2004: 19). Walaupun

demikian, Heelas tidak menjelaskan bagaimana hubungan konsumsi, masyarakat
dan budaya konsumen mempengaruhi religiositas praktis seorang homo
religiosus.
Salah satu penanda masyarakat dan budaya konsumen menurut Bauman
adalah aktivitas shopping/berbelanja.
If 'shopping' means scanning the assortment of possibilities, examining,
touching, feeling, handling the goods on display, comparing their costs
with the contents of the wallet or the remaining credit limit of credit cards,
putting some of them in the trolley and others back on the shelf - then we
shop outside shops as much as inside; we shop in the street and at home, at
work and at leisure, awake and in dreams. Whatever we do and whatever
name we attach to our activity is a kind of shopping, an activity shaped in
the likeness of shopping (2000: 73).
Pengertian ‘berbelanja’ dalam hal ini tidak semata hanya mencakup kegiatan
berbelanja dalam konteks riil pasar. Bauman memahami terminologi berbelanja
(shopping around) lebih luas, yakni mencakup kegiatan seseorang mencari,
memilah, memilih dan mengkonsumsi sesuatu hal. Bauman menekankan bahwa
aktivitas berbelanja (shopping around) ini tidak hanya akan makanan, minuman,
meubel, tetapi tentang apa saja yang dapat dikomoditisasi menjadi obyek
kons um s i .
Aktivitas ‘shopping around’ ini juga terjadi di dalam praktek dan
pengalaman religiositas seorang beragama dalam konteks masyarakat konsumen.
Dalam penelitian ini, saya mengkaji fenomena ‘shopping around’ ini dalam hal
7

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

praktek dan pengalaman religiositas sebagian warga Gereja Katolik di Kota
Yogyakarta. Untuk mengkaji persoalan di atas, secara khusus, saya akan meneliti
fenomena umat beribadah lintas paroki di Kota Yogyakarta. Fenomena ini
menarik bagi saya, karena sejatinya, pelayanan pastoral, administratif dan praktek
kewargaan Gereja itu pertama-tama berdasarkan wilayah teritorial paroki. Dengan
kata lain, paroki merupakan komunitas umat beriman Katolik yang dibentuk
secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam wilayah Gereja
Partikular tertentu (bdk. Kitab Hukum Kanonik art. 515 § 1).
Sepintas, fenomena di atas kelihatannya sederhana dan sepele, biasa dan
tidak menjadi masalah. Tetapi yang jelas, fenomena ini sudah menjadi way of life
sebagian warga Gereja dalam hal beribadah. Setiap subyek, yang melakukan
praktek beribadah lintas teritorial paroki, tentunya mempunyai latar belakang dan
alasan-alasannya sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan gejala komoditisasi 4
ekaristi atau ekaristi menjadi obyek konsumsi di Kota Yogyakarta dan bagaimana
prinsip-prinsip konsumsi dipakai dalam praktek pilihan warga untuk beribadah.
Dengan demikian minat saya dalam penelitian tesis ini adalah mengkaji relasi
antara masyarakat dan budaya konsumen dengan persoalan religiositas dan
4

Dalam bukunya Consuming Life (2007a), Bauman banyak menyebut dan berbicara
tentang komoditisasi (commoditization) Ia bahkan sama sekali tidak menyebut dan menggunakan
istilah komodifikasi (commodification). Menurut Bauman, dalam masyarakat konsumen segala
sesuatu dapat menjadi komoditas. Bahkan, konsumen juga adalah komoditas. Komoditisasi
konsumen berarti peningkatan statusnya dalam masyarakat konsumen sebagai komoditas yang
punya nilai jual. “…,but the commoditization or recommoditization of the consumer: raising the
status of consumers to that of sellable commodities” (2007a: 57). Karena itu, Bauman menegaskan
formula “no consumer unless a commodity” (2007a: 67). Lebih lanjut, Bauman menjelaskan
bahwa komoditisasi berkaitan erat dengan konsumsi. Konsumsi hanya dapat ada mengandaikan
adanya proses komoditisasi yang mendahuluinya. “Commoditization precedes consumption and
controls the entry into the world of consumers” (2007a: 67).
Dalam tesis ini, saya menggunakan ‘komoditisasi’ sebagai terminologi kunci, di samping
likuiditasatau fluiditas, dalam membicarakan realitas ekaristi. Ketika berbicara tentang
‘komoditisasi ekaristi”, saya bermaksud untuk mengatakan tentang ekaristi yang dijadikan
komoditas atau produk atau obyek konsumsi. Artinya, dalam masyarakat konsumen, ekaristi juga
berubah menjadi komoditas untuk konsumsi. Dengan demikian, sebelum mengkonsumsinya,
ekaristi itu sudah terlebih dahulu dijadikan komoditas (dikomoditisasi/commoditized).

8

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

kewargaan Gereja pada era modernitas cair ini. Berdasarkan beberapa pokok
pikiran tersebut di atas, saya memilih judul tesis ini: KOMODITISASI DAN
LIKUIDITAS EKARISTI DI ERA MODERNITAS CAIR: Studi atas Fenomena
Beribadah Lintas Paroki di Kota Yogyakarta.
Bagus Laksana, di dalam tulisannya berjudul Meretas Jalan ke Depan:
Perkembangan Kajian Religi Kontemporer dan Tantangan di Indonesia” termuat
di dalam jurnal ilmu humaniora baru, RETORIK (Vol.3 No.2, juni 2013), ada
banyak kemungkinan topik penelitian Kajian Religi. Salah satu dan yang pertama
disebutkan adalah topik tentang “religion and culture” (agama dan budaya)
(2013a: 5). Dalam penelitian tesis ini, saya mengeksplorasi topik budaya
masyarakat konsumen dan religiositas (praktek beribadah lintas paroki). Dan topik
ini tentunya menjadi salah satu topik khusus di dalam pembicaraan tentang
“religion and culture.” Dengan demikian, persoalan konsumsi, religiositas
(khususnya praktek beribadah dan kewargaan Gereja) dalam konteks modernitas
cair menjadi begitu aktual dan relevan untuk diteliti dan dikaji.
Dengan demikian, saya berharap bahwa penelitian ini akan memberikan
kontribusi positif dalam diskursus konteks Gereja Indonesia kontemporer dan
kontekstualisasi Gereja Indonesia dalam modernitas cair. Apabila Gereja tetap
tidak menyadari konteks umatnya yang sekaligus menjadi warga masyarakat
konsumen dan warga modernitas cair, selanjutnya Gereja tidak mengembangkan
pola-pola pelayanan yang kontekstual, maka saya mengkhwatirkan Gereja akan
semakin ditinggalkan oleh warga (umat)-nya. Gereja Indonesia bisa lebih cepat
menjadi seperti Gereja di Eropa hari ini. Kyle Beshears mengatakan, dalam
bukunya Empty Churches: The Decline of Cultural Christianity in the West,

9

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

sambil mengutip ungkapan Frederich Nietzsche yang terkenal "God is dead",
bahwa Gereja (kekristenan) di Eropa sudah mati. Sekularisme telah benar-benar
memenangkan, bahkan menggantikan kekristenan sebagai budaya Eropa. Sebagai
hasilnya, Gereja ditinggalkan oleh warganya dan menjadi sepi, kosong. Jika tidak,
banyak orang Eropa masih saja mengidentifikasikan diri mereka sebagai orangorang Kristen, tetapi meninggalkan hak-hak, tugas dan kewajibannya sebagai
warga Gereja. (http://blogs.christianpost.com/dear-ephesus/empty-churches-thedecline-of-cultural-christianity-in-the-west-17067/. Accessed: 15/02/2015 20:13).
Thomas C. Reeves juga menegaskan hal tersebut di atas dalam bukunya The
Empty

Church:

T he

Suicide

of

Liberal

C hr i s t i ani t y

Hardcover

(http://www.amazon.com/ The – Empty – Church – Suicide - Christianity/dp
/0684828111. Accessed: 05/02/2015 00:13).
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Konteks struktural seseorang tentunya membentuk disposisi tertentu dalam
pengalaman pribadi seseorang dalam berbagai dimensi kehidupannya. Dalam
penelitian tesis ini, saya berfokus pada relasi konteks modernitas cair dan
masyarakat konsumen dengan praktek religiositas warga Gereja. Kegiatan khas
masyarakat konsumen, yakni belanja dapat saja juga terjadi dalam praktek
religiositas warga Gereja. Budaya masyarakat konsumen di era modernitas cair
tentu berimplikasi terhadap praktek religiositas warga Gereja Kota Yogyakarta.
Praktek religiositas saat ini tentu menjadi ambigu dan ambivalen juga oleh
pengaruh budaya masyarakat konsumen dan modernitas cair.
Dengan demikian, pokok persoalan yang akan dibahas didalam tesis ini
dirumuskan di dalam tiga pertanyaan, yakni:

10

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

1. Bagaimana praktek religiositas warga Gereja Katolik di Kota Yogyakarta?
2. Apakah aktivitas belanja (shopping around) terjadi juga dalam konteks praktek
religiositas warga Gereja Kota Yogyakarta?
3. Apa implikasi budaya konsumen terhadap religiositas warga Gereja Kota
Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum hendak mengeksplorasi relasi antara
masyarakat dan budaya konsumen dengan religiositas (khususnya praktek
beribadah dan kewargaan [komunitas] Gereja). Gagasan pokoknya adalah bahwa
masyarakat konsumen dengan budaya konsumennya dan kewargaan Gereja di era
modernitas cair saling mempengaruhi, baik secara positif maupun negatif, secara
sadar ataupun tidak disadari. Secara detail, berdasarkan beberapa pokok persoalan
yang telah dirumuskan, ada beberapa tujuan khusus penelitian dan penelitian ini,
yakni:
1. Mengekplorasi mengapa dan bagaimana budaya konsumen mempengaruhi
religiositas seorang warga Gereja. Budaya konsumen begitu kuat merasuki
setiap dimensi kehidupan masyarakat, dengan pr