Analisis Sosial Ekonomi Dan Lingkungan

  Analisis Sosial Ekonomi Dan Lingkungan M)

  IJ P

4.1 Analisis Sosial

  R ( H

  Analisis sosial adalah analisa dampak pembangunan infrastruktur Bidang Cipta

  NGA

  Karya, mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan terhadap masyarakat sekitar pelaksanaan kegiatan. Pada Bagian ini beberapa hal

  1 MENE

  2

  penting untuk di bahas antara lain : pengarusutamaan gender, identifikasi kebutuhan

  KA -20

  7 penanganan sosial pasca pelaksanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya.. ANG N J

  01

  2 I AA S N Y U

4.1.1 Pengarusutaman Gender

  R TA H KA TA

  Tingkat responsif gender atau perjuangan kaum perempuan di Kabupaten TA

INVES NG

  IP M

  Bantaeng sudah menyentuh ke berbagai segala aspek pembangunan, dalam hal ini

  AE EC A R

  Pemerintah Kabupaten Bantaeng selalu bersatu padu dan bersinergi dalam

  OG NG K BANT R

  mengembangkan program yang mengarah pada pembangunan di Kabupaten Bantaeng

   P EN BIDA AT khususnya dalam pengarusutamaan gender di Kabupaten Bantaeng. ANA P C BU EN

  Adapun bentuk responsif gender yang sudah dilaksanakan di Kabupaten

  KA R

  Bantaeng diantaranya adalah :

IEW EV

  1. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten R

  EN

  Bantaeng bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

  KUM

  setempat serta didukung oleh ACCESS-AUSAID telah melaksanakan dan

  DO

  mengembangkan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa dengan mengadopsi pendekatan Community Led Asseshment and Planing Process

  • – Gender and Poverty Inclusiv (CLAPP- GPI) atau proses penjajakan dan perencanaan yang dipimpin oleh

  IV - 1 masyarakat – termasuk orang miskin dan perempuan. Program ini telah diterapkan dikembangkan pada 4 (empat) tahun terakhir

  2. Adanya Program Pemberdayaan P2KP (PNPM Mandiri Perkotaan), Program KOTAKU, Program PAMSIMAS, Program PPIP dan PISEW yang telah banyak melibatkan perempuan dalam setiap kegiatan baik itu kegiatan sosial, ekonomi dan lingkungan. Utamanya di kegiatan lingkungan seperti kegiatan pembangunan jalan paving block, pembangunan drainase ataupun kegiatan- kegiatan fisik lainnya, itu sudah banyak melibatkan orang miskin, kaum perempuan dan bahkan anak-anak mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun pasca pelaksanaan kegiatan.

  

4.1.2 Identifikasi Kebutuhan Penanganan Sosial Pasca Pelaksanaan

Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

  Dasar peraturan perundang-undangan yang menyatakan perlunya memperhatikan aspek sosial adalah sebagai berikut :

  1. UU No. 17/2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional :  Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.

   Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.

  2. UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum :  Pasal 3: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan

  3. Peraturan Presiden No. 5/2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 :  Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja, termasuk peningkatan program di bidang pendidikan, kesehatan, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar.

   Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.

  4. Peraturan Presiden No. 15/2010 Tentang Percepatan penanggulangan Kemiskinan :  Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

  5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional :  Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.

  A. Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur tanggung jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.

  a. Proteksi Lingkungan Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak operasionalisasi terhadap lingkungan.

  b. Jaminan Kerja Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding secara kolektif.

  c. Hak Asasi Manusia Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di luar pekerjaan.

  d. Keterlibatan dalam komunitas Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu, produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.

  e. Standar bisnis Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan, perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.

  f. Pasar Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan antara perusahaan dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan

  g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal, kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.

  h. Proteksi Kesehatan Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan. i. Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan

  Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan menularkan praktek- praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih berada dalam tingkat perekonomian berkembang atau transional. j. Bantuan bencana kemanusiaan

  Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan. Perusahaan diharap kan dapat menerapkan konsep “respon proaktif” dan memusatkan pada tindakan pencegahan melalui upaya pemberdayaan.

  B. Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan hidup, image, dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global, selain kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha.

  Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang terkait adalah urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per tahun akibat tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses pengembangan wilayah terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yang lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.

  Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk oleh urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada sebelumnya. Demikian juga ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat, terutama masyarakat miskin.

  Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan pembangunan yang bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial serta ketersedian infrastruktur suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman dapat mendukung pengembangan ekonomi dan wilayah secara efisien dan efektif.

  Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Tantangan pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah menjaga kawasan dan lingkungan hunian yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di Indonesia keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan serius dan sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan di masa mendatang.

  Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir belum dilakukan secara baik, sebagaimana ditunjukkan oleh pendanaan infrastruktur yang masih under- investment (< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah-daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.

  Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran mutu pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi. Selain itu, tidak dapat diabaikan pula berbagai kesepakatan pembangunan infratruktur bersama, seperti pada kesepakatan kerjasama ekonomi regional: APEC, AFTA, BIMP-EAGA, IMT-GT, SIJORI, Program ASEAN Highway, dan Asia Railway yang akan menuntut upaya sungguh-sungguh dari segenap pelaku pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Karena itu upaya untuk memobilisasi berbagai sumber pembiayaan perlu terus dilakukan dan ditingkatkan dengan mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja sama pemerintah-swasta (KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus infrastruktur, serta dana preservasi jalan.

  Dari sisi penyelenggaraan, banyaknya daerah pemekaran baru serta delivery system yang diterapkan, termasuk adanya tugas pembantuan dan dekonsentrasi menuntut adanya pemantapan tugas umum pemerintahan berupa pengaturan, pembinanan, pengawasan, dan fasilitasi bantuan teknis dalam dalam penguatan kapasitas kelembagaan ke-PU-an di daerah. Pelaksanaan pembangunan juga masih diwarnai praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) walaupun melalui kebijakan selama ini telah pula dilakukan pembenahan cukup signifikan untuk Isu lainnya yang juga memerlukan perhatian serius untuk lima tahun yang akan datang adalah pentingnya seluruh jajaran ke-PU-an untuk terus meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang didukung secara optimal oleh jajaran birokrasi melalui reformasi birokrasi yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas birokrasi serta mewujudkan disiplin dan etos kerja yang prima.

  Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat. Demikian pula dengan infrastruktur yang berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah diharapkan akan dapat terus mendorong percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial dan kenyamanan lingkungan.

  Tantangan umum lainnya yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur, khusunya bidang PU dan permukiman di Indonesia adalah kendala alamiah berupa struktur wilayah geografis; disparitas dan distribusi penduduk di Jawa dan luar Jawa; menurunnya kinerja infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah seperti jalan provinsi/kabupaten/kota; serta sulitnya pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang menyebabkan terhambatnya kelancaran pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya.

  Selanjutnya tantangan dan isu strategis masing-masing sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an diuraikan di bawah ini.

  Tantangan pembangunan

   Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota metro/besar yang sampai saat ini masih belum menuai hasil yang optimal. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang masih rendah, sampai saat ini masih sering terjadi di samping ketersediaan sarana dan prasarana persampahan masih belum memadai.  Meningkatkan keterpaduan penanganan drainase dari lingkungan terkecil hingga wilayah yang lebih luas dalam satu wilayah administrasi maupun antar kabupaten/kota dan provinsi.

   Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap aspek kesehatan akan menuntut pelayanan sanitasi sesuai dengan kriteria kesehatan dan standar teknis.

   Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas fasilitas sanitasi masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa layanan publik dan kesehatan.

   Mendorong dan meningkatkan keterlibatan dunia usaha (swasta) dalam pendanaan pembangunan prasarana air minum.  Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam penyediaan air minum baik dalam pengolahan maupun pembiayaan penyediaan air minum.  Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru, rata-rata sekitar 820.000 unit rumah, terdapat backlog perumahan sebesar 6 juta unit.

   Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun kebakaran melalui pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan administrasi/perizinan.

   Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun bangunan gedung memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga dapat meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan kriminalitas.

   Mendorong penerapan konsep gedung ramah lingkungan (green building) untuk mengendalikan penggunaan energi sekaligus mengurangi emisi gas dan efek rumah kaca dalam kerangka mitigasi dan adaptasi terhadap isu  Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang bagi permukiman.  Menyelaraskan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil mengacu pada sistem pembangunan perkotaan nasional.

   Melanjutkan program pengembangan kawasan agropolitan.

  Isu strategis sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an

   Keterlibatan swasta dalam penanganan sampah khususnya untuk kawasan perkotaan sudah cukup tinggi namun pihak swasta lebih mengutamakan mengelola persampahan pada kawasan elit dengan kemampuan membayar dari konsumen yang sudah cukup tinggi. Potensi swasta dan masyarakat yang sangat besar dalam pengembangan kawasan belum dikelola dengan optimal.

   Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan persampahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

   Penanganan sistem drainase perkotaan di Indonesia masih bersifat parsial, sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan secara tuntas.

   Melengkapi peraturan perundang-undangan yang lebih operasional sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di tingkat pusat dan daerah dan meningkatkan law enforcement-nya.

   Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggaraan air minum di daerah; perlunya perubahan mindset penyelenggaraan, tugas, dan kewenangan dalam pelayanan air minum; makin sulitnya penyediaan air baku; serta masih rendahnya cakupan dan kualitas pelayanan penyelenggaraan air minum.

   Intervensi swasta yang sulit dibendung kadang berakibat pada tidak yang ada.

   Memperkuat instrumen pengaturan mulai dari perencanaan sampai dengan pengendalian dalam pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan, serta mendorong daerah untuk lebih optimal dalam pengelolaan gedung dan penataan lingkungan dengan melengkapi Perda tentang Bangunan Gedung; Ruang Terbuka Hijau; Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK); Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan; dan pengelolaan sanitasi.

   Meningkatkan jumlah bangunan gedung yang andal (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan) serta meningkatkan kualitas pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara.

   Meningkatkan jumlah kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional yang direvitalisasi dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk penataan lingkungan.

  Tantangan pembangunan sub bidang jasa konstruksi

   Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Departemen PU menerima mandat sebagai pembina jasa konstruksi nasional untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Tantangan ke depan pemerintah perlu lebih serius melaksanakan pembinaan jasa konstruksi mengingat meningkatnya concern terhadap jasa konstruksi. Sementara di lain pihak pembinaan jasa konstruksi yang selama ini berjalan ditengarai dan dipersepsikan lebih menjadi bagian dari tugas Departemen PU semata dan belum menjadi tanggung jawab semua pihak.

   Meningkatnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembinaan jasa konstruksi sebagai tindak lanjut Surat Edaran Mendagri No. 601/2006 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Daerah dengan membentuk unit kerja yang mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi dan pengalokasian positif. Namun unit struktural pembina jasa konstruksi daerah belum jelas dengan berlakunya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah karena tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pembinaan jasa konstruksi masuk dalam rumpun urusan pekerjaan umum. Selain itu, petunjuk teknis mengenai pembentukan unit struktural pembina jasa konstruksi di daerah belum tersedia dan Tim Pembina jasa konstruksi di tingkat pusat sesuai PP 30/2000 yang bertugas untuk mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi antar departemen dan LPND terkait dalam rangka pembinaan jasa konstruksi daerah (provinsi) belum terbentuk.  Asosiasi konstruksi juga masih lebih cenderung mengutamakan kepentingan- kepentingan politis, sementara forum jasa konstruksi belum intens dan kurang maksimal melakukan pembinaan.

   Memperkuat pasar konstruksi dan meningkatkan profesionalisme industri konstruksi. Termasuk perlunya memperkuat para pelaku usaha konstruksi kecil dan menengah antara lain karena lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .

   Dari sekitar 115 ribu kontraktor di Indonesia hampir semuanya memperebutkan 40% pangsa pasar jasa konstruksi nasional yang umumnya disediakan pemerintah (APBN dan APBD). Sedangkan 60% pasar jasa konstruksi Indonesia lainnya, justru diambil kontraktor luar negeri terutama sektor migas. Sementara permintaan keterlibatan badan usaha/tenaga kerja konstruksi di luar negeri terus meningkat.

  Isu strategis sub bidang jasa konstruksi

   Kompetensi SDM Konstruksi Indonesia masih harus ditingkatkan dalam bersaing di tingkat internasional. Pemerintah perlu meningkatkan kemampuan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan agar dapat  Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi menuju tenaga ahli bidang konstruksi terampil.  Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi masih menghadapi permasalahan pada proses sertifikasi yang masih kurang obyektif dan mahal, sehingga langsung atau tidak langsung menyebabkan tenaga ahli dan tenaga terampil bidang konstruksi masih jauh dari cukup.

   Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana pelatihan mengacu pada kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi (kondisi prasarana dan sarana pelatihan saat ini sangat jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara tetangga).

   Meningkatkan kualitas sertifikasi dan pelatihan tenaga kerja konstruksi.  Penerapan konsep green construction yang merupakan proses konstruksi yang menggunakan bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah lingkungan di bidang pembangunan konstruksi dalam rangka merespon pemanasan global.

   Lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .

   KKN dalam industri konstruksi nasional masih dominan dalam perilaku bisnis jasa konstruksi. Kondisi ini telah membuat persaingan di industri konstruksi bukan berdasarkan kompetensi tetapi negoisasi atau lobby (oligopolis).

   Pasar jasa konstruksi nasional masih terdistorsi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand. Oleh karena itu perlu upaya pembinaan perusahaan jasa konstruksi melalui penerapan kualifikasi atau persyaratan dalam pendirian badan usaha jasa konstruksi.

   Globalisasi bisnis konstruksi merupakan suatu keniscayaan. Liberalisasi perdagangan jasa konstruksi merupakan suatu yang akan terjadi. Indonesia sebagai negara anggota WTO akan dihadapkan pada tekanan untuk  Otonomi daerah sebagai instrumen desentralisasi akan menjadi pendorong perdagangan sektor konstruksi nasional menjadi berkembang akibat kebijakan penanaman modal langsung ke daerah.

  Tantangan pembangunan bidang penataan ruang

   Melengkapi peraturan perundangan dan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) di bidang penataan ruang untuk mendukung implementasi penataan ruang di lapangan.

   Meningkatkan pemanfaatan RTR secara optimal dalam mitigasi dan penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah, dan pengembangan kawasan.

   Meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang terutama melalui dukungan sistem informasi dan monitoring penataan ruang di daerah untuk mengurangi terjadinya konflik pemanfaatan ruang antarsektor, antarwilayah, dan antarpelaku.

   Meningkatkan kepastian hukum dan koordinasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.  Meminimalkan potensi terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan koordinasi dan penyediaan pedoman penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil agar sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dapt dimanfaatkan secara optimal.

   Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.

  Isu strategis bidang penataan ruang

   Perlu segera menyelesaikan peraturan operasionalisasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan bahwa seluruh Peraturan Presiden harus diselesaikan pada tahun 2012, sementara seluruh Peraturan Menteri yang berbentuk NSPK dan RTRW  Pentingnya menyelesaikan penyesuaian/revisi RTRW Kabupaten/Kota.

   Perlu segera menyelesaikan RTR Kawasan Strategis Nasional seperti Kawasan Ekonomi Khusus untuk mengantisipasi fenomena ekonomi global sebagaimana diamanatkan oleh RTRWN.

   Melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang dengan melengkapi instrumen hukum sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

   Meningkatkan kemampuan aparat perencana maupun pelaksana pengendali dan pengawas pemanfaatan ruang, baik di tingkat pusat maupun di daerah, untuk menjamin pelaksanaan RTR yang semakin berkualitas serta dalam rangka pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang yang efektif.

   Menyelenggarakan upaya-upaya sosialisasi yang lebih memadai guna meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kegiatan penataan ruang, baik dalam perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang.

   Menyelaraskan pola penyusunan RTRW di daerah dalam rangka menjaga keserasian antardaerah dan antartingkatan RTRW.

  C. Aspek Sosial pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dari sudut ruang perkotaan secara umum, dan penyediaan ketersediaan infrastruktur bidang ke-Cipta Karya-an adalah permasalahan sehari-hari, dan kombinasinya pada tingkat analisis lokal, serta memberikan wawasan segar tentang bagaimana sosialisasi terhadap infrastruktur yang dibangun.

  Aspek Sosial Merupakan aspek akhir dari seluruh hirarki dari kajian seluruh studi kelayakan. Suatu proyek investasi harus memiliki kohesif dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya dan tidak menimbulkan inklusif. Sehingga investasi tersebut tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan pembangunan. Dinilai layak investasi dan dapat diambil suatu keputusan investasi dinyatakan bermanfaat bagi masyarakat.

  Pengarusutamaan sosial dalam penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta Karya sangat penting untuk mengurangi kesenjangan sosial di dalam memperoleh aksesibilitas, kontrol, partisipasi dan manfaat dari penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta Karya.

  Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindaklanjuti adalah isu kemiskinan. Kajian aspek sosial lebih menekankan pada manusianya sehingga yang disasar adalah kajian mengenai penduduk miskin, mencakup data eksisting, persebaran, karakteristik, hingga kebutuhan penanganannya.

  Selain itu aspek yang perlu diperhatikan adalah responsivitas kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah kegiatan responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP), Pengembangan Infrasruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang Cipta Karya.

  Menindaklanjuti hal tersebut maka diperlukan suatu pemetaan awal untuk mengetahui bentuk responsif gender dari masing-masing kegiatan, manfaat, hingga permasalahan yang timbul sebegai pembelajaran di masa datang di daerah.

  Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali.

  Permasalahan yang perlu diantisipasi di masa datang :

  1. Konsultasi masyarakat Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan 2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan. Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.

  3. Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek. Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.

  4. Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur, seperti kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang menjadi lebih singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk

4.2 Analisis Ekonomi

  Analisis Ekonomi adalah analisa dampak pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya, mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan terhadap masyarakat sekitar pelaksanaan kegiatan. Pada Bagian ini hal penting untuk dibahas antara : Kemiskinan, analisis dampak pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya terhadap ekonomi lokal masyarakat.

4.2.1 Kemiskinan

  Garis kemiskinan di Kabupaten Bantaeng Tahun 2010 sebesar Rp.161.499 dan penduduk miskin berjumlah 18,14 dengan persentase 10,24%, tahun 20111 garis kemiskinan sebesar Rp.177.829 dan penduduk miskin 16,48 dengan persentase 9,21%, tahun 2012 garis kemiskinan Rp.195.810 dan penduduk miskin 15,90 dengan persentase 8,89%, garis kemiskinan pada tahun 2013 sebesar Rp.200.302 dan penduduk miskin 18,90 dengan persentase 10,45% dan pada tahun 2014 garis kemiskinan sebesar Rp. 209.080 dan penduduk miskin 17,66 dengan persentase 9,68%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.1. Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kabupaten Bantaeng, Tahun 2010-2015

  Garis Kemiskinan Penduduk Miskin Tahun (Rupiah) Jumlah Persentase

  2010 161.499 18,14 10,24 2011 177.829 16,48 9,21 2012 195.810 15,90 8,89 2013 200.302 18,90 10,45 2014 209.080 17,66 9,68 2015 ..... ..... .....

  Sumber : Bantaeng Dalam Angka 2016

4.2.2 Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bidang CIpta Karya terhadap

  Pelaksanaan usaha dan kegiatan pembangunan di bidang Pekerjaan Umum adalah beberapa kegiatan yang diwajibkan untuk melakanakan kegiatan kajian dampak penting yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam rangka untuk menyeimbangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan menitikberatkan pada keseimbangan antar usaha atau kegiatan dengan lingkungan yang memperoleh manfaat dari usaha atau kegiatan tersebut.

  Komponen sosial ekonomi yang dianggap penting khususnya yang berkaitan dengan dampak penting sosial dan lingkungan yang perlu untuk diketahui adalah sebagai berikut :

  a. Pola perkembangan penduduk (jumlah, perbandingan kelamin dll) pada masa yang lalu sampai sekarang perlu untuk diketahui.

  b. Pola perpindahan sangat erat hubungannya dengan perkembangan penduduk, pola perpindahan ke luar dan masuk ke suatu daerah secara umum serta pola perpindahan musiman dan tetap.

  c. Pola perkembangan ekonomi masyarakat ini erat hubungannya dengan pola perkembangan penduduk perpindahan keadaan sumber daya alam dan pekerjaan yang tersedia.

  d. Penyerapan tenaga kerja : masalah pengangguran merupakan masalah umum, makin banyak proyek yang akan dibangun dapat menyerap tenaga kerja setempat semakin besar yang akan membawa dampak positif.

  e. Berkembangnya struktur ekonomi : struktur ekonomi ini dimaksudkan dengan timbulnya aktifitas perekonomian lain akibat adanya suatu kegiatan sehingga merupakan sumber pekerjaan baru yang dapat menyerap tenaga kerja.

  f. Peningkatan pendapatan masyarakat : keadaan umum pada masyarakat adalah rendahnya pendapatan masyarakat, peningkatan pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung dari suatu kegiatan akan memberikan dampak yang berarti. g. Perubahan lapangan kerja : dengan timbulnya lapangan pekerjaan baru baik ekonomi perlu diperhatikan.

  h. Kesehatan masyarakat : kesehatan masyarakat selain erat hubungannya dengan pendapatan masyarakat, juga erat kaitannya dengan kebiasaan kehidupan masyarakat sehari-hari, misalnya kebiasaan mandi, cuci dan keperluan lainnya yang masih menggunakan air sungai.

  Dalam proses pelaksanaan RPIJM Bidang Cipta Karya, bentuk peran masyarakat dapat dilakukan melalui pelaksanaan program dan kegiatan yang sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan, meliputi:

  a. Masukan mengenai kebijakan RPIJM;

  b. Kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pelaksanaan RPIJM; c. Kegiatan pelaksanaan RPIJM yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. Peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pelaksanaan RPIJM dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  e. Kegiatan menjaga pelaksanaan RPIJM dan memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam dimana program tersebut dilaksanakan;

  f. Kegiatan investasi dalam pelaksanaan RPIJM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.3 Analisis Lingkungan

  Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU 24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.

  Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.

  Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.

  Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan, sepertitercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.

  Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasionaldan daerah melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi,tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.

  Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan teknis analisis.

  Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.

  Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan

  (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapatditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional maupun daerah.

  Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.

  Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.

  2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi tanah.

  3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.

  4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.

  5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

  6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003 –2020.

  7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.

  8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.

  9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami, dan lainnya).

  10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang 11. Meningkatkan diplomasi internasional.

  12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan hidup dan sumber daya alam. Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

  1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.

  2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah.

  3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.

  4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan pembangunan.

  5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.

  6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan

  7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana. Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004

  • – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik.
Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta bencana alam lainnya;

4.3.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS)