Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Hakim sebagai Mediator Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan T2 322008013 BAB II

(1)

10

BAB II

KONSEP KEKUASAAN YUDISIAL

Di Indonesia sistem pemerintahan menurut Undang-undang Dasar 1945 adalah suatu sistem yang unik, dimana didalamnya diatur tentang kedudukan, tugas dan wewenang serta tata cara pembentukan lembaga-lembaga Negara.

2.1

Konsep

Kekuasaan

YudisialDalam

Kerangka Asas Trias Politika.

Pembagian kekuasaan Negara beserta lembaga-lembaga Negaranya menurut Undang-undang Dasar 1945 tidaklah mengikuti ajaran “Trias Politica” walaupun pemisahan lembaga-lembaga tersebut hampir sama dengan ajaran konsep kekuasaan dalam kerangka asas Trias Politika.

2.1.1. Asas Trias Politica.

Sejarah pada masa lalu munculnya Trias politika bumi ini dihuni oleh masyarakat primitif sebagai suku, yang


(2)

11

dipimpin oleh kepala suku yang memutuskan seluruh perkara yang ada dari suku tersebut. Pada perkembangannya suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang menumpukkan tiga kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan yudikatif yang mempunyai kesamaan di Indonesia sekarang ini yaitu Dewan Perwakilan Daerah.

Trias Politika dari pemikiran John Locke adalah pemisahan kekuasaaan Legislatif, Eksekutif, dan federatif yang kemudian disempurnakan oleh pemikiran dari Montesgue yaitu Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang sekarang ini menjadi acuan negara-negara didunia saat ini.

2.1.2. Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.

Kekuasaan Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di Indonesia disebut dengan Dewan Perwakilan rakyat, lembaga ini dipilih melalui pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik. Produk Undang-undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan


(3)

12

Rakyat ini diantaranya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Penanaman Modal, Undang-undang Kehakiman dan sebagainya.

Dari produk Undang-undang yang dihasilkan oleh Kekuasaan Legislatif pelaksanaan dari Undang-undang dilaksanakan oleh Lembaga Eksekutif. Di Indonesia dilaksanakan oleh Presiden dan menteri-menterinya.

2.1.3. Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-undang Dasar 1945.

Kekuasaan Yudisial berwenang menafsirkan Undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran dari Undang-undang. Kekuasaan Yudisial dispesifikan kedalam masalah yang berkaitan dengan hukum, pelaksana dari kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar tahun 1945

Sebelum diamandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, masalah Kekuasaan Kehakiman diatur di dalam Pasal 24 dan 25. Ketentuannya ditegaskan sebagai berikut :


(4)

13

(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang.

(2) Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-undang.

Sedangkan di dalam Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim, ditetapkan dengan Undang-Undang”.

Penjabaran dari Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar Tahun 1945 tersebut, diatur di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah amandemen ketiga terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka ketentuan pasal 24 dirubah menjadi Pasal 24, Pasal 24 A, Pasal 24 B (tentang Komisi Yudisial), dan Pasal 24 C (tentang Mahkamah Konstitusi) sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman selain Mahkamah Agung.

Berdasarkan Pasal-pasal tersebut pasca amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945, maka


(5)

14

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal dimaksud dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha Negara, serta sebuah Mahkamah Konstitusi.1 Setelah

reformasi kekuasaan kehakiman sebagai salah satu kekuasaan Negara, pelaku kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan peradilan-peradilan yang ada dibawahnya, akan tetapi juga dilakukan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang terhadap Undang-undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan

1 Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen Ketiga), Pasal 24 ayat 1


(6)

15

lembaga Negara yang kewenangannya diberikan Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.2

2.2 Kekuasaan Kehakiman menurut

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009.

Di Indonesia sesuai dengan ketentuan Umum Undang-undang No. 48 tahun 2009 Pasal 1 ayat (2) pelaksana dari kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar tahun 1945.

Di dalam Undang – Undang Nomor 14 tahun 1970 (UU tentang Pokok – pokok Kekuasaan Kehakiman) yakni pada :

1. Pasal 2 ayat 1 isinya, adalah sebagai berikut :

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum

dalam pasal 1 diserahkan kepada Badan-badan

peradilan dan ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan


(7)

16

mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya”.

2. Pasal 4 ayat 2 yang isinya adalah, sebagai berikut : “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.

3. Pasal 5 yang isinya adalah, sebagai berikut :

a. Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

b. Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.

4. Pasal 14 ayat 1 yang isinya adalah, sebagai berikut :

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Sebagai cikal bakal dari pada usaha pelaksanaan reformasi kekuasaan kehakiman yang termasuk


(8)

17

didalamnya reformasi birokrasi pada Mahkamah Agung dan peradilan-peradilan yang berada dibawahnya adalah pada dasarnya sejak ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAPMPR) Nomor X/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai salah satu buah dari adanya reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Undang-undang dimaksud menghendaki penyatu atapan dalam pembinaan dan pengawasan pada peradilan-peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, yang sebelumnya pembinaan dan pengawasannya berada dibawah eksekkutif untuk masalah administrasi financial dan menejemen seperti kepegawaian, keuangan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk hal-hal yang bersifat teknis peradilan berada dalam pembinaan dan pengawasan yudikatif (Mahkamah Agung).

Perundangan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dimaksud adalah untuk memperkuat prinsip


(9)

18

kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai dengan tuntutan reformasi dibidang hukum. Penguatan prinsip kekuasaan kehakiman dimaksud, adalah agar mendapat jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang-undang dimaksud menetapkan satu garis politik hukum mengenai kekuasaan kehakiman, bahwa pembinaan dan pengawasan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung, dan tidak bagi kekuasaan eksekutif turut campur dalam pembinaan dan pengawasannya.3

Akan tetapi dalam kurun waktu beberapa tahun sampai dengan tahun 2004, politik hukum satu atap yang digariskan oleh Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut belum bisa terwujud, mengingat masih berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal

3 Abdul Gani Abdulah, Prof, Dr, SH. Paradigma Baru Peradilan

Agama Dalam Era Bagir Manan, dalam Bagir Manan Hukuman dan Penegakan Hukum (Keuangan sebuah Pengadilan), MARI, 2008, Halaman 5


(10)

19

tersebut baru terwujud setelah amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Seperti telah disinggung diawal bahwa amandemen dimaksud telah menegaskan karakter dan sifat dari pada kekuasaan kehakiman dengan menegaskan Kekuasaan Kehakiman merupakan

kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan. Dari amandemen ketiga dimaksud telah berkonsekwensi diamandemennya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan terakhir diamandemen lagi dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan amandemen Undang-undang tersebut diatas, maka Mahkamah Agung adalah sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta peradilan Negara tertinggi. Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi bagi peradilan yang berada dibawahnya


(11)

20

mempunyai posisi dan peran strategis dibidang kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Mahkamah Agung tidak hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan tetapi juga sebagai puncak manajemen dibidang administrative, personil dan finansial, serta sarana dan prasarana keempat lembaga peradilan.4

Kebijakan satu atap yang digariskan undang-undang tersebut diatas memberikan tanggung jawab dan tantangan, karena Mahkamah Agung dituntut untuk menunjukan kemampuannya guna mewujudkan organisasi yang professional, efektif, efisien, transpran dan akuntabel.5 Tanggung jawab tersebut sebagai

konsekuensi logis dari politik hukum satu atap yang termaktub di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah amandemen ketiga Undang-Undang

4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasan

Kehakiman, Pasal 21 jo. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, Pasal 13 ayat 1 jo. Undang-undang Nomor 35 tahun 199, Pasal 11

5Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung RI,


(12)

21

Dasar 1945, maka Undang-undang Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diperbaiki kembali melalui Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Justifikasi politik hukum satu atap tersebut juga termuat didalam berbagai Undang-undang yakni :

a.undang Nomor 5 Tahun 2004 jo, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung;

b.undang Nomor 8 Tahun 2004 jo, Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum;

c. undang Nomor 3 Tahun 2006 jo, Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama; dan

d. undang Nomor 9 Tahun 2004 jo, Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


(13)

22

2.2.1 Kekuasaan dan Peranan Lembaga Pengadilan

Peranan pengadilan tidak dapat disangsikan lagi, sebab dengan lembaga pengadilan inilah segala yang menyangkut hak dan tanggung jawab yang terabaikan dapat diselesaikan, lembaga ini memberikan tempat bahkan membantu kepada mereka yang merasa dirampas hak-haknya dan memaksa kepada pihak-pihak agar bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan yang merugikan pihak lainnya. Aktivitas lembaga pengadilan demikian itu pada dasarnya adalah berupaya melendingkan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya masih abstrak karena dengan melalui bekerjanya lembaga pengadilan, hukum itu baru dapat diwujudkan, sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa;

kehadiran lembaga hukum itu merupakan

operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum yang nota bene bersifat abstrak. Melalui lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah hal-hal yang bersifat


(14)

23

abstrak tersebut dapat diwujudkan ke dalam kenyataan.6

Di dalam Undang-Undang telah memberikan kedudukan pada lembaga pengadilan, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan (pasal 2 UU No.2 tahun 1986). Kedudukan sebenarnya merupakan wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau rule.7 Dengan demikian lembaga pengadilan yang

merupakan wadah bagi rakyat pencari keadilan berisikan hak dan kewajiban, berarti pemegang peranan. Adapun peranannya adalah sebagaimana yang telah disebutkan di atas antara lain adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peranan demikian digolongkan sebagai peranan yang ideal.8

6 Satjipto Raharjo,” Teori dan Metode dalam Soiologi Hukum”

(Makalah dalam pertemuan ilmiah, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta 11-12 November 1984, Halaman 5

7 Soerjono Soekanto, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum’ Jakarta Penerbit Rajawali, 1983, Halaman 11


(15)

24

Kedua peranan tersebut di atas belum memberikan arti baik bagi lembaga pengadilan sendiri maupun kepada pencari keadilan sebab, apabila hanya berhenti terbatas kepada kedua peranan tersebut berarti lembaga pengadilan belum melakukan suatu peranan yang sebenarnya atau peranan yang aktual.9 Oleh karena itu

bagi lembaga pengadilan harus pula mewujudkan peranan tersebut. Peranan aktual ini adalah menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana peranan, yakni para penegak hukum yang di satu pihak menerapkan perundang - undangan, dan di lain pihak melakukan dikreasi di dalam keadaan-keadaan tertentu.10

Lembaga pengadilan seperti juga pada organisasi lainnya mempunyai tujuan-tujuan baik yang sudah ditetapkan dalam hukum positif maupun tujuan-tujuan yang dipilih atas dasar diskresi. Tujuan utama lembaga pengadilan adalah terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pemilihan terhadap suatu tujuan

9 Ibid, halaman 15. 10 Ibid, halaman 16


(16)

25

sering kali mengalami perubahan dan tidak selalu sama dari masa ke masa. Perubahan ini dapat muncul karena adanya kebijaksanaan formal baik dari Negara maupun dari lembaga pengadilan sendiri. Contoh mengenai perubahan ini terdapat dalam UU No.19 tahun 1964 dan UU No.14 tahun 1970, kedua-duanya mengenai kekuasaan kehakiman. Pada UU pertama tujuan yang dipilih adalah Masyarakat Sosial Indonesia, sedangkan UU yang kedua, tujuan yang dipilih adalah Terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.11

Tujuan lembaga pengadilan ini kembali berubah setelah berlakunya UU No 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang ini nampaknya tujuan yang dipilih berbeda dengan tujuan yang dipilih dalam UU sebelumnya. Tujuannya adalah terwujudnya keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan ketertiban.

11 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Bandung :


(17)

26

Tujuan ini disimpulkan dari penjelasan umum Undang-Undang No. 2 tahun 1986 yaitu sebagai berikut12 :

Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang sejahtera, aman, tentram dan tertib seperti yang diamanahkan oleh Garis-garis

Besar Haluan Negara. Oleh karena itu untuk

mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam mencapai keadilan sebagaimaan dimaksud Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu”.

Di dalam hubungan-hubungan sosialnya, peranan pengadilan dapat dihubungkan dengan tugas-tugas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Bergesernya tugas

12 C.S.T. Kansil. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman


(18)

27

dan tujuan-tujuan tersebut baik karena adanya perubahan undang-undang maupun karena diskresi pengadilan akan berpengaruh kepada peranan yang dilakukan oleh lembaga pengadilan. Dalam hal terjadi perubahan tujuan niscaya akan terjadi pula perubahan peran pengadilan.

Perubahan tujuan pengadilan yang berakibat perubahan pula peranan dapat dicontohkan misalnya, pengadilan menentukan tujuan utamanya yakni, terciptanya kerukunan dan perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa, peranan pengadilan di sini adalah merukunkan dan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu dengan jalan mediasi maupun secara kompromi. Akan tetapi karena tujuan utama ini tidak berhasil maka terjadi pergeseran kepada tujuan lainnya, misalnya adalah penegakan hukum. Dengan berubahnya tujuan utama tersebut menunjukkan pula terjadinya perubahan peranan yaitu bukan lagi mendamaikan atau merukunkan akan tetapi peranan pengadilan di sini adalah menetapkan secara tegas apa yang dihadapinya


(19)

28

dan menentukan pula pihak-pihak yang dinyatakan melanggar peraturan hukum itu.

2.2.2 Mediasi dalam Ketentuan Hukum Acara Perdata.

Mediasi adalah penyelesesaian sengketa secara damai dalam Hukum Acara Perdata. Pengertian Mediasi dengan Ajudikasi Menurut Pakar adalah

Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris

mediation yang artinya penyelesaian sengketa yang

melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan mediator atau orang yang menjadi penengah.

Ada beberapa batasan mediasi yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya :

Gary Goodpaster

Gary Goodpaster mengemukakan bahwa :

“Mediasi adalah proses negoisasi pemecahan masalah di mana pihak luas yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang


(20)

29

bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesempatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau artiber, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan

kepada mediator untuk membantu mereka

menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara memengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif, dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.13

Christopher W. Moore

Hal yang senada juga dikemukakan Christopher W. Moore seperti di bawah ini :

13 Gary Goodpaster, 1993, Negosiasi dan mediasi : sebuah Pedoman

negosiasi dan Penyelesaian sengketa melalui Negosiasi, Jakarta,ELIPS Project, Halaman 201


(21)

30

Mediasi adalah intervensi dalam sebuah

sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.14

Jacqueline M. Nolan Haley

Jacqueline M. Nolan Haley juga mengemukakan batasan mediasi sebagai berikut :

“Mediation is generally understood to be a short-term structured, task-oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement. Unlike the adjudication process, where a third party intervener imposes a decision, no such compulsion exists

14 Christopher W. Moore, Mediasi lingkungan,Jakarta: Indonesia


(22)

31 in mediation. The mediator aids the parties in reaching a consensus. It is the parties themselves who shape their agreement.15

Kimberlee K. Kovach

Kemudian, Kimberlee K. Kovach merumuskan batasan mediasi tersebut sebagai berikut :

Facilited negotiation, it is a process by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory resolution.16

Mark E. Roszkowski

Mark E. Roszkowski17 dalam buku Business Law, Principle, Cases and Policy mengemukakan bahwa :

“Mediation is a relatively informal process in which a neutral third party, the mediator, helps to resolve a dispute”.

15 Jacqueline M. Nolan Haley 1992, Alternative DisputeResolition,

USA, West Publising Co, Halaman 56

16 Kimberlee K. Kovach 1994, Mediation and Practice, St. Paul :

Publising Co, Halaman. 16

17 Mark E. Roszkowski dalam buku Business Law, principle, Cases

and Policy sebagaimana dikutip Gunawan Widjaya dan Ahmad yani 2000, seri Hukum Bisnis: hukum Arbitrase, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Halaman 33


(23)

32

“In many respect, therefore, mediator can be considered as structured, negotiation in which the mediator facilities the process”.

Black’s Law Dictionary

Berikutnya dalam Black’s Law Dictionary18 dikatakan bahwa :

“Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps, disputing parties to reach an agreement”.

“The mediator has no power to impose a decision on the parties”.

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS

Selanjutnya, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS mengatakan bahwa :

“Mediation, mediasi : salah satu alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah; sama seperti konsiliasi”.


(24)

33 “Mediator penengah : seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap

pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan

sengketanya.19

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan batasan bahwa :

“Mediasi : proses pengikutsertaan pihak ketiga

dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai

penasihat”.

“Mediator : perantara (penghubung, penegah) bagi pihak-pihak yang bersangketa itu.20

Kamus Hukum : Dictionary of Law Complete Edition

Sementara itu, dalam Kamus Hukum : Dictionary of Law Complete Edition, mengartikan mediasi diartikan sebagai :

19 Tim Penyunting Kamus Hukum Ekonomi WLIPS, 1997. Kamus

Hukum Ekonomi ELIPS, Jakarta Halaman 111.

20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa, 1988. Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen pendidikan dan Kebudayaan.


(25)

34

“Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.21

Pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa antara dua pihak”.

Undang – Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS)

Sehubungan dengan pengertian mediasi, ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3) UUAAPS menyatakan sebagai berikut :

Dalam hal sengketa atau beda pendapat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaiakan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator”.

21 M. Marwan dan Jimmy P, 2009, Kamus Hukum, Dictionary of Law


(26)

35

Dari beberapa rumusan pengertian mediasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut dinamakan “mediator” atau “penengah”, yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator di sini hanya bertindak sebagai fasilitator belaka. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak yang bersengketa, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.


(27)

36

Dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan terdapat beberapa proses mediasi yang harus dilakukan yang dibagi dalam tiga tahap yaitu :

1.Pra mediasi

- Para Pihak dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara.

- Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim

- Pada hari pertama sidang Majelis Hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi. Para pihak dapat memilih mediator Hakim atau non Hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari. Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka Majelis Hakim menetapkan mediator dari para Hakim.


(28)

37

2. Proses mediasi

- Setelah penunjukan mediator para pihak wajib menyerahkan foto copy dokumen yang memuat duduk perkara, foto copy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.

- Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.

- Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.

- Apabila diperlukan kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya dilakukan.

3. Proses Akhir mediasi

- Jangka waktu proses mediasi di dalam Pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja dan


(29)

38

dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.

- Jika mediasi menghasilkan kesepakatan para pihak wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani

kedua pihak, dimana Hakim dapat

mengukuhkan sebagai akta perdamaian.

- Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang Acara yang berlaku.

2.3

Hakim

sebagai

Personifikasi

dari

Kekuasaan Yudisial.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen). Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI, Badan-badan peradilan lain di bawah


(30)

39

Mahkamah Agung (Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945). Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya). (Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1984). Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No.2 Tahun1986) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum kepada instansi pemerintah di daerahnya apabila diminta (Pasal 52 UU No.2 Tahun 1986).


(31)

40

2.3.1 Fungsi dan Tugas Hakim menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman:

Tugas Pokok :

Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Fungsi :

Melakukan tugas-tugas Pengawasan sebagai Pengawas Bidang dengan memberi petunjuk dan bimbingan yang diperlukan bagi para Pejabat structural maupun Fungsional.

Pada prinsipnya peran merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dengan fungsi dan kewenangan, yakni peran merupakan limpahan dari fungsi dan kewenangan, oleh karena itu berbicara mengenai peran sekaligus berbicara tentang fungsi dan kewenangan.

2.3.2 Kewenangan hakim secara umum.

Peranan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman melalui badan peradilan, tidak lain daripada


(32)

41

melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang disebutkan Undang-Undang. Peran Hakim Dari Segi Tujuan Melaksanakan Fungsi Dan Kewenangan Peradilan.

Pasal 2 ayat (2 dan 4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1 dan 2) dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan beberapa asas, bahwa :

- Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

- Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

- Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan

- Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

- Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.


(33)

42

- Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

- Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela, jujur, adil, profesional dan pengalaman di bidang hukum.

- Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya dan tidak menutup usaha penyelesaian perkara secara perdamaian. Bertitik tolak dari segi tujuan melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dari asas-asas di atas, peran hakim secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Menegakkan Kebenaran dan Keadilan

Menegakkan kebenaran dan keadilan bukan menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit, yakni hakim tidak berperan menjadi mulut undang-undang dan hakim tidak boleh berperan


(34)

43

mengidentikkan kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan. Dalam hal inilah dituntut peran hakim.

1) Harus mampu menafsir Undang-undang secara aktual.

Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan kemasalahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran hakim menafsir dan menentukan undang-undang mesti tetap beranjak dari landasan cita-cita umum (common basic idie) yang terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan 2) Harus berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum.

Dalam hal ketentuan peraturan undang-undang tidak mengatur sesuatu permasalahan tentang suatu kasus konkreto, hakim harus berperan menciptakan hukum baru disesuaikan dengan kesadaran perkembangan dan


(35)

44

kebutuhan masyarakat, hal itu dapat diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat dan dari pengalaman tersebut hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan. 3) Harus berani berperan melakukan contra legem

Dalam hal ini hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan berbarengan dengan boleh mencipta hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis, tapi hal inipun harus tetap beranjak dari

common basic idie.


(36)

45

Pada prinsipnya setiap kasus mengandung particular reason, maka dalam kenyataan tidak ada perkara yang persis mirip, oleh karena itu hakim harus mampu berperan mengadili perkara case by case, tidak dibenarkan sekedar membabi buta mengikuti putusan yang telah ada tanpa menilai keadaan khusus (particular reason) yang terkandung dalam perkara yang bersangkutan dan menerapkannya secara kasuistik sesuai dengan keadaan konkreto perkara yang diperiksa.

b. Memberi Edukasi, Koreksi, Prepensi dan Represip

Memberi Edukasi, hakim melalui produk putusan yang dijatuhkan harus mampu memberi pendidikan dan pelajaran kepada yang berperkara dan masyarakat. Dari putusan yang dijatuhkan, anggota masyarakat harus dapat memetik pelajaran dan pengalaman bahwa berbuat seperti itu adalah salah dan keliru.

Memberi Koreksi, bahwa putusan hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan setiap kesalahan yang dilakukan seseorang.


(37)

46

Memberi prepensi, makna dan tujuan prepensi ini berkaitan dengan edukasi dan koreksi putusan yang dijatuhkan, hakim harus mampu memberi pengertian kepada masyarakat, mana yang benar dan mana yang salah. Pengertian yang demikian akan menanamkan kesadaran bagi mereka untuk tidak melakukan perbuatan yang seperti itu.

Memberi Represif, bahwa putusan hakim harus tegas membenarkan yang benar dan menghukum yang salah. Ketegasan yang demikian akan berperan menegakkan kepastian hukum pada satu segi serta menegakkan kebenaran dan keadilan pada segi lain. Ketegasan memberi hukuman kepada yang salah sangat luas dampaknya, masyarakat merasa dilindungi dan mereka merasa tenteram serta citra wibawa pengadilan akan tegak sebagai lembaga pencari kebenaran dan keadilan. Dalam kerangka edukasi, koreksi, prepensi dan represip, peran hakim baru dapat memberi makna apabila putusan-putusan yang dijatuhkan dilakukan melalui proses persidangan yaitu:


(38)

47 1) Didukung oleh integritas dan profesionalisme yang solid.

Memang akui bahwa hakim bukan manusia yang bersifat ultimate, juga tidak absolut kemampuan dan kesempurnaannya, hakim memiliki kekurangan dan kelebihan, namun demikian pada diri hakim dituntut sifat dan sikap manusia tipe ideal dalam bentuk :

a) Memegang teguh disiplin, yakni harus menepati ketentuan aturan persidangan,jika sidang ditetapkan pada hari dan jam tertentu, tepati dengan patuh.

b) Kwalitas moral yang tinggi dan mantap, yakni tidak ragu-ragu dan terombang-ambing, tidak dapat dipengaruhi apa dan siapapun, kokoh memegang prinsip kejujuran.

c) Berwawasan luas, yakni cakap dan trampil, menguasai dengan baik tehnis justisial, memiliki dinamika antisipasi yang luwes secara efektif, maupun memodifikasi nilai-nilai yang segar secara analitis dan konstruktif, sehingga putusan yang dijatuhkan


(39)

48

mengandung nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan yang berbobot hukum yang matang (the maturity of law), yaitu yang rasional, praktis dan aktual.

2) Didukung oleh sikap arif dan manusiawi.

Hakim sebagai pejabat yang dianugerahi negara hukum memimpin persidangan, mutlak dituntut kearifan, yakni berbudi luhur yang tulus dan ikhlas sebagai seorang manusia sopan dan santun, mampu menempatkan diri sebagai agent of service tidak ubahnya sebagai pelayan yang mengabdi kepada keadilan, menjauhkan sikap dan perilaku arogansi (kecongkakan kekuasaan) dan

instrument of power dan menjunjug tinggi harkat

martabat orang yang berperkara.

3) Menegakkan asas Imperialitas dan audi et alturampartem

Hakim tidak bertindak berat sebelah, maka hakim harus memberi kesempatan yang sama dan seimbang kepada para pihak dalam membela dan mempertahankan hak dan kepentingan mereka. Dengan demikian proses


(40)

49

persidangan benar-benar menegakkan prinsip equality before the law, equal protection of the law, equal justice under the law, tidak boleh bersikap diskriminatif, baik yang bersifat normatif dan kategoris berdasar jenis kelamin, etnis, golongan dan status social

4) Menegakkan asas peradilan sederhana, cepat danbiaya ringan

Asas ini jangan hanya rumusan mati dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tapi benar-benar diwujudkan jika ingin menampilkan putusan yang mengandung edukasi, koreksi, prepensi dan represip. Proses persidangan yang panjang dan bertele-tele mengakibatkan kebenaran dan keadilan hancur ditelan masa, menimbulkan kebingungan dan keresahan yang berkepanjangan bagi yang berperkara dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat atas lembaga peradilan.

Baik dari segi doktrin maupun politik hukum, salah satu tujuan penegakan hukum melalui putusan hakim, bertujuan memproyeksikan tatanan masyarakat pada


(41)

50

masa yang akan datang. Penegakan hukum melalui putusan hakim bukan sekedar memberi kepastian hukum masa kini, tapi sekaligus harus mampu merekayasa tatanan masyarakat pada masa yang akan datang, dalam hal ini paling tidak pada bidang kehidupan tertentu, peran hakim harus mampu memproyeksikan rekayasa atau menjadi bagian rekayasa tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih tertib di masa yang akan datang.

Bahwa hakim tidak semata-mata berperan dan berfungsi untuk memeriksa dan memutus perkara, tapi sesuai pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg, undang-undang memberi para hakim untuk mendamaikan. Peran mendamaikan lebih utama dari fungsi memutus perkara, upaya mendamaikan merupakan prioritas utama, sedangkan fungsi mengadili merupakan kegiatan dan tindak lanjut atas kegagalan upaya mendamaikan. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, menegaskan bahwa dalam perkara perdata, khususnya yang sifatnya contentius, mediasi adalah suatu hal yang


(42)

51

imperatif, bahkan menurut Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Penegakkan hukum melalui badan peradilan (hakim) memerlukan terwujudnya unified legal framework dan

unified legal opinion, yakni perlu terwujudnya

keseragaman landasan hukum dan keseragaman pandangan hukum diantara para hakim, agar tidak berkembang putusan-putusan yang yang bersifat fluktuasis dan yang bercorak disparitas tinggi. Law standard dapat terbina dan terwujud, para hakim harus meneliti putusan-putusan yang telah menjadi stare decesis, yakni putusan yang mengandung nilai judge made law, berupa putusan yang aktual yang bermakna pembaharuan dari pembangunan hukum, isinya mengandung perlindungan kepentingan umum atau maslahat umum atau putusan tersebut mengandung


(43)

52

common basic idie tatanan hukum masa yang akan datang dan putusan dimaksud bersifat konstan, yaitu selalu diikuti dalam kasus yang sama dari jumlahnya sudah banyak, maka putusan yang demikian dikualifikasi sebagai yurisprudensi. Akan tetapi azas terikat mengikuti yurisprudensi, harus bersifat dinamik dengan acuan, Pertama : hakim tetap bebas menjatuhkan putusan yang bersifat variabel dalam kasus yang sama, berarti boleh menjatuhkan putusan yang menyimpang dari yurisprudensi, tetapi penyimpangan ini tidak bercorak fundamental hanya bersifat variabel, Kedua : hakim tetap bebas mencipta putusan baru, tetap dimungkinkan menyimpang secara keseluruhan dari putusan yurisprudensi yang telah bersifat stare decesis bilamana yurisprudensi tersebut tidak aktual lagi atau yurisprusensi itu bertentangan dengan kepentingan, ketertiban atau kemasalahatan umum.


(44)

53 2.3.3. Kewenangan Hakim Perdata.

Kewenangan Hakim Perdata adalah mengadili perkara Perdata yaitu tindakan Hakim atau Majelis Hakim sebelum sidang pertama dilangsungkan, dan tindakan hakim selama proses persidangan hingga mencapai putusan akhir dan musyawarah Majelis hakim.

Kewenangan tersebut diantaranya : - Mempelajari gugatan masuk. - Menentukan hari sidang.

- Pemanggilan pihak-pihak berperkara. - Mendamaikan para pihak.

2.4 Penyelenggaraan Peradilan Perdata di

Indonesia.

Tugas utama Pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili perkara hukum yang masuk baik perkara pidana maupun perkara perdata. Dan menjadi tugas Hakim untuk menyelesaikan perkara tersebut sampai pada putusan akhir.


(45)

54

2.4.1 Peradilan Perdata dan Hukum Acara Perdata.

Peradilan Perdata di Indonesia adalah peradilan yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Perdata yang terjadi pada perseorangan atau badan hukum. Sebelum menempuh penyelesaian secara hukum disarankan untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi. Sumber hukum peradilan Perdata di Indonesia Undang-undang Hukum Perdata, HIR, RBg, dsb.

Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur dan mempertahankan hukum perdata materiil. Dimana dalam Hukum Acara Perdata mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada Hakim atau Pengadilan.

2.4.2. Asas-asas hukum Acara Perdata di Indonesia.

Bertitik tolak kepada praktek peradilan di Indonesia maka asas-asas dalam hukum Hukum Acara Perdata adalah :


(46)

55

Merupakan aspek yang fundamental dari hukum acara perdata , dimana sebelum sidang dimulai maka hakim Ketua Majelis harus menyatakan persidangan terbuka untuk umum.

b. Hakim bersifat pasif.

Dalam asas ini disebutkan bahwa apabila gugatan tidak diajukan oleh oleh para pihak maka tidak ada hakim yang mengadili perkara tersebut.

c. Peradilan dengan membayar biaya.

Peradilan perdata pada asasnya membayar biaya perkara, dan bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk berperkara secara cuma-cuma.

Peradilan perdata pada hakekatnya adalah bagian dari peradilan atau Kekuasaan Yudisial secara umum. Dalam pengertian demikian maka penyelenggaraan Peradilan Perdata pada hakekatnya adalah tetap dalam kerangka Kekuasaan Yudisial yang memposisikan hakim sebagai ajudikator seperti dikehendaki oleh pasal 24 ayat


(47)

56

(1) UUD 1945 jo. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman.

1. Mediasi dalam Ketentuan Hukum Acara Perdata. Dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan terdapat beberapa proses mediasi yang harus dilakukan yang dibagi dalam tiga tahap yaitu :

a. Pra mediasi

- Para Pihak dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara.

- Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim

b. Pada hari pertama sidang Majelis Hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi. Para pihak dapat memilih mediator Hakim atau non Hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari. Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka Majelis Hakim menetapkan mediator dari para Hakim.


(48)

57

c. Proses mediasi

- Setelah penunjukan mediator para pihak wajib menyerahkan foto copy dokumen yang memuat duduk perkara, foto copy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.

- Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.

- Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.

- Apabila diperlukan kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya dilakukan.


(49)

58

- Jangka waktu proses mediasi di dalam Pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.

- Jika mediasi menghasilkan kesepakatan para pihak wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani kedua pihak, dimana Hakim dapat mengukuhkan sebagai akta perdamaian.

- Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang Acara yang berlaku.

2.4.3Dading.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerliske atau Rechtvordering atau disingkat RV pada tahun 1894 penyelesaian perkara secara damai sudah ada, bunyi pasal didalamnya mengatur : (1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan mendamaikan


(50)

59

mereka.(2) Jika perdamaian yang demikian itu dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan hukum dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

Penyelesaian sengketa melalui upaya damai atau dikenal dengan istilah “ dading “ telah diatur dalam pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang.

Menurut Ahli Hukum Acara Perdata M. Yahya Harahap dading dalam praktek Hukum Acara Perdata adalah persetujuan atau perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaikan oleh Pengadilan. Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan pada pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg dan pasal 1851 KUH Perdata. Hakim yang


(51)

60

mengabaikan pemeriksaan tahap mendamaikan dan langsung memasuki tahap-tahap pemeriksaan jawab menjawab dianggap melanggar tata tertib beracara Akibatnya pemeriksaan dianggap tidak sah dan pemeriksaan harus dinyatakan batal demi hukum.22

Menurut Sudikno Mertokusumo berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim menjatuhkan putusan yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.

Jadi pasal 130 HIR telah mengatur lembaga perdamaian , dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara sebelum hakim melanjutkan pemeriksaan perkaranya , jadi perdamaian tersebut hanya bersifat anjuran yaitu hakim hanya menawarkan dan bukan sebagai mediator dan pasal tersebut tidak mengatur keharusan bagi

22M. Yahya Harahap, 2005 Hukum Acara Perdata Gugatan,

persidangan, penyitaan , pemeriksaan dan putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.240.


(52)

61

hakim untuk mengusahakan perdamaian diantara pihak-pihak.


(1)

56

(1) UUD 1945 jo. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman.

1. Mediasi dalam Ketentuan Hukum Acara Perdata. Dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan terdapat beberapa proses mediasi yang harus dilakukan yang dibagi dalam tiga tahap yaitu :

a. Pra mediasi

- Para Pihak dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara.

- Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim

b. Pada hari pertama sidang Majelis Hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi. Para pihak dapat memilih mediator Hakim atau non Hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari. Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka Majelis Hakim menetapkan mediator dari para Hakim.


(2)

57

c. Proses mediasi

- Setelah penunjukan mediator para pihak wajib menyerahkan foto copy dokumen yang memuat duduk perkara, foto copy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.

- Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.

- Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.

- Apabila diperlukan kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya dilakukan.


(3)

58

- Jangka waktu proses mediasi di dalam Pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.

- Jika mediasi menghasilkan kesepakatan para pihak wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani kedua pihak, dimana Hakim dapat mengukuhkan sebagai akta perdamaian.

- Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang Acara yang berlaku.

2.4.3Dading.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerliske atau Rechtvordering atau disingkat RV pada tahun 1894 penyelesaian perkara secara damai sudah ada, bunyi pasal didalamnya mengatur : (1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan mendamaikan


(4)

59

mereka.(2) Jika perdamaian yang demikian itu dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan hukum dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.

Penyelesaian sengketa melalui upaya damai atau

dikenal dengan istilah “ dading “ telah diatur dalam pasal

130 HIR/Pasal 154 Rbg dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang.

Menurut Ahli Hukum Acara Perdata M. Yahya Harahap dading dalam praktek Hukum Acara Perdata adalah persetujuan atau perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaikan oleh Pengadilan. Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan pada pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg dan pasal 1851 KUH Perdata. Hakim yang


(5)

60

mengabaikan pemeriksaan tahap mendamaikan dan langsung memasuki tahap-tahap pemeriksaan jawab menjawab dianggap melanggar tata tertib beracara Akibatnya pemeriksaan dianggap tidak sah dan pemeriksaan harus dinyatakan batal demi hukum.22

Menurut Sudikno Mertokusumo berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim menjatuhkan putusan yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.

Jadi pasal 130 HIR telah mengatur lembaga perdamaian , dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara sebelum hakim melanjutkan pemeriksaan perkaranya , jadi perdamaian tersebut hanya bersifat anjuran yaitu hakim hanya menawarkan dan bukan sebagai mediator dan pasal tersebut tidak mengatur keharusan bagi

22M. Yahya Harahap, 2005 Hukum Acara Perdata Gugatan,

persidangan, penyitaan , pemeriksaan dan putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.240.


(6)

61

hakim untuk mengusahakan perdamaian diantara pihak-pihak.


Dokumen yang terkait

Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan

0 24 135

IMPLEMENTASI PERMA NOMOR. 01 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Implementasi Perma Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Dalam Menyelesaikan Sengketa Perceraian(Studi Hukum Di Pengadilan Agama Surakarta).

0 3 19

IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO.

0 0 178

IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO.

0 1 104

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Hakim sebagai Mediator Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Hakim sebagai Mediator Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan T2 322008013 BAB I

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Hakim sebagai Mediator Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan T2 322008013 BAB IV

0 1 2

Studi komparasi efektifitas Perma No. 1 Tahun 2008 dan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi terhadap peran mediator di Pengadilan Agama Sidoarjo.

0 0 74

IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO

0 0 75

IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO

0 0 75