KANDUNGAN NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM LEKSIKON BATIK TRUSMI : Kajian Etnolinguistik.

(1)

KANDUNGAN NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM LEKSIKON BATIK TRUSMI

(KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagaian dari syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

oleh

Novi Pamelasari

0906574

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2013


(2)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu


(3)

KANDUNGAN NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM LEKSIKON BATIK TRUSMI

(KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

oleh Novi Pamelasari

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

© Novi Pamelasari

Universitas Pendidikan Indonesia Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(4)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya leksikon batik trusmi di Cirebon yang menyimpan kearifan lokal, yakni sistem nilai masyarakat keraton pada masa itu. Adapun pokok masalah yang dikaji adalah sebagai berikut (1) bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi; (2) bagaimana dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan; (3) bagaimana dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia; (4) bagaimana dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam.

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnolinguistik yang dipusatkan pada model etnografi komunikasi. Sementara itu, data penelitian ini dibatasi pada berbagai leksikon yang menunjukkan corak batik trusmi. Pembatasan ini dilakukan karena corak batik di setiap daerah cenderung berbeda-beda. Selain itu, data penelitian ini bersumber dari penggunaan leksikon batik trusmi yang terjadi di dalam masyarakat Trusmi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan dan wawancara mendalam. Teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap fenomena kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi.

Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut: (1) klasifikasi leksikon batik trusmi berdasarkan jenis corak meliputi wadasan, geometris,

nongeometris, pangkaan, byur, dan semarangan; (2) leksikon batik trusmi

mencerminkan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan; (3) leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan horizontal antarmanusia; (4) leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan horizontal antara manusia dan alam. Hal itu terbukti dari banyaknya leksikon batik trusmi yang sangat kental dengan makna simbolis yang berkaitan dengan kosmologi Cirebon.


(5)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) ABSTRACT

This research is motivated by the lexicon in Cirebon batik Trusmi that stores local wisdom, the value system of the palace at that time. The main problems studied are as follows: (1) how the classification and description of batik Trusmi lexicon, (2) how the dimensions of local knowledge on batik Trusmi lexicon reflecting the vertical relationship with God, (3) how the dimensions of local knowledge on batik lexicon Trusmi reflecting horizontal relationships between humans, (4) how the dimensions of local knowledge on batik Trusmi lexicon reflecting horizontal human relationship with nature.

This study uses ethnolinguistic approach that focused on the ethnography of communication models. Meanwhile, the limited research data on various lexicon that shows Trusmi batik patterns. This restriction is because the batik patterns in each region tend to vary. In addition, the research data is sourced from the use of batik Trusmi lexicon that occur in the community Trusmi. Data collection techniques used in this study were participant observation and in-depth interviews. Analysis techniques used in this study is a qualitative analysis of in-depth description of the phenomenon of the content value of local wisdom in the lexicon Trusmi batik.

The results showed the following: (1) batik Trusmi lexicon classification by type of pattern include Wadasan, geometric, nongeometris, pangkaan, SLOSH, and Semarang, (2) batik Trusmi lexicon reflects the vertical relationship between man and God; (3) Trusmi batik lexicon reflects local moral values indicating the horizontal dimension of human relationships, (4) batik Trusmi lexicon reflects the value of local knowledge which shows the horizontal dimension of the relationship between humans and nature. It was evident from the many batik lexicon Trusmi very think with symbolic meaning related to cosmology Cirebon.


(6)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……… i

PERNYATAAN ………. ii

KATA PENGANTAR ………..……… iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……….……….. iv

ABSTRAK ……… vii

DAFTAR ISI ………... ix

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Masalah ……..………... 5

1. Identifikasi Masalah ..….……….. 5

2. Pembatasan Masalah ……… 5

3. Perumusan Masalah ………. 6

C. Tujuan Penelitian ………... 6

D. Manfaat Penelitian ………. 7

E. Sistematik Penulisan ………... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA, ETNOLINGUISTIK DAN LEKSIKON BATIK TRUSMI ……….…….. 9

A. Kajian Pustaka …..………...…….………. 9

B. Etnolinguistik ………....... 11

1. Revitaslisasi Kebudayaan ………... 13

2. Ihwal Etnolingusitik dalam Ilmu Linguistik ………..14

C. Penggunaan Leksikon ………..17

D. Kandungan Nilai Kearifan Lokal ……….20

1. Hakikat Local Genius ……….... 21


(7)

x

E. Pandangan Hidup dalam Ungkapan Tradisional ………. 26

1. Hubungan antara manusia dan Tuhan ……… 27

2. Hubungan antara manusia dan sesama manusia ………... 28

3. Hubungan antara manusia dan alam ……….. 30

F. Perkembangan Batik Indonesia ……… 31

1. Batik Trusmi ……….. 33

2. Trusmi ……… 33

BAB III METODE PENELITIAN ………...……… 35

A. Lokasi dan Subjek Penelitian ………... 35

B. Desain Penelitian ……… 36

C. Metode Penelitian ………..……….. 37

D. Definis Operasional ………..…. 39

E. Instrumen Penelitian ……….…….……… 40

F. Teknik Pengumpulan Data ………..….. 43

1. Pengamatan Berperan Serta ………. 43

2. Wawancara mendalam (indepth interview) ………. 46

G. Teknik Analisis Data ……….. 47

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ………..……….... 48

A. Pemaparan Data Penelitian …….………...……….. 48

B. Pembahasan ………...……….. 58

1. klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi berdasarkan corak batik ………….. 59

2. dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan ………...….. 110

3. dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia ………... 122

4. dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam ……….... 134


(8)

xi

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik)

A. Simpulan ……… 150

B. Saran-saran ………..……….... 151

DAFTAR PUSTAKA ……… 152

RIWAYAT HIDUP ……….. 155


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilson menyatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan tentang ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensial, normatif maupun simbolis yang tercemin dalam tindakan (act) dan benda-benda hasil karya manusia (artifact) (Sibarani, 2004: 2). Bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisannya.

Hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat, diciptakan norma-norma yang dikenal dengan cara (usage), kebiasaan (folkways,), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custome) (Suryani, 1988: 115). Norma-norma tersebut merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat, bahkan semua bangsa di muka bumi ini. Pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian dan unsur-unsur kebudayaan lainnya hanya bisa disampaikan, diterangkan atau ditransmisi melalui bahasa.

Dalam konteks kehidupan masyarakat, adanya nama-nama batik yang khas juga menyiratkan hubungan antara bahasa dan kebudayaan terhadap ranah pengetahuan tertentu, yaitu etnolinguistik. Bahasa merupakan hasil kebudayaan yang dipergunakan atau diucapakan oleh suatu kelompok masyarakat adalah refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut (Levi-strauss, 1972: 68). Batik merupakan warisan leluhur yang tidak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia. Batik memberi makna yang sarat akan seni dan representasi budaya dari masing-masing daerah tanah air. Tiap daerah memiliki ciri motif dan cara pembuatan batik yang berbeda-beda.

Salah satu karya tersebut adalah batik trusmi. Perkembangan batik di daerah dengan latar belakang budaya yang berbeda tentu akan memberikan pengaruh terhadap batik itu sendiri serta leksikon yang menyertainya. Seperti diketahui, Cirebon merupakan salah satu kota budaya di Pulau Jawa yang terletak di sebelah utara ujung paling timur Provinsi Jawa Barat.


(10)

2

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Batik trusmi sangat kental dengan makna simbolis yang berkaitan dengan kosmologi Cirebon. Leksikon batik Cirebon umumnya menyampaikan sebuah kearifan lokal, yakni sistem nilai masyarakat keraton pada masa itu. Beberapa leksikon batik Cirebon yang tergolong ke dalam batik keraton Cirebon di antaranya adalah Taman Arum Sunyaragi, Patran Kangkung, Mega Mendung,

Ayam Alas, Supit Urang, Taman Teratai, Paksinaga Liman, Singa Payung, Singa Barong, Sawat Penganten, Wadasan, dan Simbar Menjangan. Jenis leksikon batik

Pesisiran Cirebon antara lain leksikon motif Kapal Kompeni, Putri Cina, Parang,

Kawung, Kapal Keruk,dan Kapal Kandas.

Batik sebagai salah satu warisan budaya memerlukan pemaknaan ulang untuk ditransformasikan kepada generasi muda. Batik tidak cukup hanya dihadirkan secara fisik atau material sehingga dapat dijumpai di mana-mana karena dipakai oleh semua kalangan masyarakat. Namun, yang tidak kalah penting adalah menggali dan menilik nilai-nilai filosofis atau nonmaterial yang terkandung di dalamnya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan masyarakat. Menurut Rohaedi (1986: 28), kearifan lokal adalah adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.

Kandungan nilai kearifan lokal yang terdapat dalam leksikon batik trusmi di antaranya terdapat pada motif taman arum sunyaragi yang menunjukkan tradisi rekreatif sekaligus spiritual dari keluarga sultan yang disimbolkan ke dalam keharuman taman. Menurut sejarahnya, para keluarga keraton Cirebon senang membuat taman sebagai media untuk mendekatkan diri kepada sang Khalik atau disebut Manunggaling Kawulo Gusti. Taman ini sering kali dijadikan tempat menyepi serta semedi bagi para sultan keraton.

Leksikon batik trusmi taman arum sunyarangi memiliki dimensi yang mencerminkan kearifan lokal terhadap hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Pada kedudukannnya Tuhan berada pada peringkat paling tinggi, dan semua manusia yang ada di dunia, termasuk raja harus berbakti kepada-Nya (Warnaen, 1987). Dari pernyataan itu, tersirat bahwa Tuhan itu adalah Zat yang harus diberi


(11)

3

pembaktian atau pengabdian oleh semua manusia. Tegasnya, kepada Tuhanlah manusia harus memiliki kekuasaan yang mutlak, karena Dia dapat melihat segala perbuatan manusia di dunia.

Selain pada motif mega mendung yang biasanya berupa gambar awan berarak-arak. Motif ini secara visual memiliki kedekatan dengan motif awan pada ragam hias Cina. Hal ini membuktikan bahwa dalam kebudayaan Cirebon terdapat pula perbauran budaya dengan kebudayaan Cina. Salah satunya ditunjukkan dengan bukti pernikahan Sunan Gunung Jati dengan salah satu putri Cina bernama Ong Tien Nio dari Negeri Tar-Tar (Cina)

Pada leksikon batik mega mendung memiliki dimensi cerminan kearifan lokal yang berhubungan vertikal antara manusia dan Tuhan dengan adanya peralihan agama, dari Hindu ke Islam (Warnaen, 1987: 185), semata-mata harus dilihat dari segi sikap hidup masyarakat yang konsisten terhadap adanya kekuasaan Tuhan yang mahakuasa dan pada leksikon batik mega mendung ini juga terkandung dimensi cerminan kearifan lokal hubungan horizontal manusia dengan manusia bahwa tatacara mengambil perempuan untuk dijadikan istri harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, bahwa suami harus memiliki rasa tanggungjawab terhadap istrinya (Warnaen, 1987: 171).

Masuknya syiar islam dan berakulturasi dengan kebudayaan Cirebon diwakilkan dengan motif ayam alas (Sawung galing) yakni motif ayam jago sedang berkokok. Motif ini merupakan simbol sikap keberanian. Leksikon ayam

alas memiliki dimensi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia

dan manusia ini sudah mempunyai aturan yang harus dijalankan oleh semua anggota masyarakat (Warnaen, 1987: 174). Amat kentara pula, betapa besar peranan raja dan pemuka agama terhadap rakyat pada saat itu.

Sementara itu, sikap kepasrahan pada sang Khalik yang juga ditemukan dalam ajaran meditasi zikir khas Cirebon, dapat dilihat dalam motif patran

kangkung. Leksikon ini memiliki dimensi yang mencerminkan hubungan vertikal

antara manusia dan Tuhan. Kepercayaan akan keesaan Tuhan pada leksikon

patran kangkung bercampur dengan kepercayaan bahwa manifestasi kekuatan


(12)

4

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

kesan adanya pantheisme terasa sekali. Berdasarkan hal tersebut, terlihat dalam leksikon di atas mempunyai suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkan.

Penelitian tentang batik telah dilakukan oleh beberapa ahli. Salah satunya adalah kajian tentang perwujudan budaya belajar seni rupa masyarakat Jawa Barat oleh Suryatna (2010). Dalam penelitian tersebut, diungkap studi perwujudan budaya belajar seni gambar entitas masyarakat Jelekong-Bandung, seni batik Trusmi-Cirebon, dan seni keramik Anjun-Purwakarta. Temuan penelitian menunjukkan bahwa (1) gejala perwujudan budaya belajar tiga entitas masyarakat tersebut memiliki lingkungan yang berbeda, baik alam, sosial, budaya maupun pembelajarannya; (2) budaya belajar diwujudkan karena memiliki kepentingan yang sama, yakni tetap terpiliharanya keteraturan dan keseimbangan kehidupan bersama.

Berdasarkan uraian di atas, banyak hal yang dapat diamati dari keberadaan leksikon batik trusmi, khususnya dari sudut pandang kajian seni rupa. Akan tetapi, kajian tentang batik trusmi yang menggunakan pendekatan etnolinguistik belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, kajian tersebut sangat menantang untuk dilakukan.

Melalui studi etnolinguistik, ada beberapa hal penting yang dapat diungkap berkenaan dengan leksikon batik trusmi: klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi, dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan; dimensi nilai kearifan lokal yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia; dan dimensi nilai kearifan lokal yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam. Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat Trusmi akan pentingnya nilai-nilai yang terdapat dalam leksikon batik trusmi. Inilah yang menjadikan topik ini menarik dan penting untuk diteliti.


(13)

5

B. Masalah

Pada bagian masalah ini dibahas identifikasi masalah, batasan masalah, dan rumusan masalah. Semua hal itu dipaparkan sebagai berikut.

1. Identifikasi Masalah

Masalah dari penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1) Batik merupakan kebudayaan Indonesia yang terancam eksistensinya karena adanya klaim dari pihak asing.

2) Khazanah ilmu pengetahuan tentang batik tersimpan dalam leksikon perbatikan karena tersimpan ilmu pengetahuan atau kearifan lokal yang melekat pada leksikon perbatikan tersebut.

3) Leksikon batik trusmi merupakan identitas dan jatidiri masyarakatnya sehingga masing-masing individu dapat melekatkan diri dengan batik sebagai simbol kultural dan bahkan dalam skala nasional akan memupuk rasa nasionalisme dalam diri setiap masyarakat.

4) Nilai-nilai budaya dalam leksikon batik trusmi yang ada di masyarakat Trusmi sudah bergeser.

2. Pembatasan Masalah

Agar masalah dapat terfokus dan tidak melebar, penelitian ini akan dibatasi pada hal-hal berikut ini.

1) Kandungan nilai pada leksikon batik trusmi yang menjadi fokus penelitian ini berlokasi di Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. 2) Penelitian ini menganalisis klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi,

dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dimensi kearifan lokal yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia, dan dimensi kearifan lokal yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam.


(14)

6

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

3) Sumber data akan diperoleh dari berbagai referensi yang berkaitan dengan leksikon batik trusmi dan narasumber yang bisa memberikan keterangan tentang berbagai leksikon yang digunakan dalam bidang batik di Trusmi. 4) Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi komunikasi kajian

etnolinguistik.

3. Perumusan Masalah

Penelitian ini akan difokuskan pada berbagai kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi. Masalah tersebut dapat dijabarkan ke dalam rumusan masalah sebagai berikut.

1) Bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi?

2) Bagaimana dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan?

3) Bagaimana dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia?

4) Bagaimana dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut: 1) klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi;

2) dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan;

3) dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia;

4) dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam.


(15)

7

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut.

1) Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan analisis bagi perkembangan disiplin ilmu etnolinguistik.

2) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a) sebagai salah satu usaha pelestarian bahasa dan budaya yang merupakan identitas budaya yang dimiliki oleh Cirebon;

b) sebagai salah satu upaya untuk memberikan kemudahan kepada produsen dan konsumen batik dalam memahami istilah perbatikan.

E. Sistematik Penulisan

Hasil penelitian ini dilaporkan dalam bentuk skripsi sehingga tata tulisnya harus mengikuti sistematik penulisan yang standar. Adapun sistematik penulisan yang digunakan dalam laporan ini adalah sebagai berikut.

Pada Bab I diuraikan latar belakang munculnya permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II memaparkan tinjauan pustaka dan kerangka teori, yaitu mencakup teori-teori yang digunakan untuk membedah permasalahan yang ada. Selanjutnya, pada Bab III dijelaskan metode penelitian yang meliputi pendekatan penelitian yang memaparkan metode yang digunakan dalam penelitian dan penentuan lokasi penelitian, definisi operasional, kemudian, dipaparkan data, serta strategi pengumpulan data, teknik seleksi data,dan instrumen penelitian.

Pada Bab IV dibahas klasifikasi dan deskripsi pada leksikon batik trusmi, dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan manusia, dan dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang


(16)

8

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

mencerminkan hubungan horizontal manusia dengan alam. Adapun Bab V terdiri dari simpulan dan saran.


(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bagian metodologi penelitian terdapat (a) lokasi dan subjek penelitian, (b) desain penelitian, (c) metode penelitian, (d) definisi operasional, (e) instrumen penelitian, (f) teknik pengumpulan data, dan (g) teknik analisis data.Untuk penjelasan semua hal tersebut, peneliti memaparkannya di bawah ini.

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lingkungan masyarakat perajin batik trusmi, yaitu di Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Lokasi penelitian ini sengaja dipilih karena Trusmi merupakan daerah yang masih kental dengan budaya batiknya. Dengan demikian, mempelajari budaya membatik itu sangat kental dengan adat istiadat atau tradisi warisan nenek moyang yang masih dilakukan sampai sekarang.

Data penelitian ini dibatasi pada berbagai leksikon yang menunjukkan corak batik trusmi. Pembatasan ini dilakukan karena corak batik di setiap daerah cenderung berbeda-beda, sedangkan alat dan proses yang berkaitan dengan batik hampir sama di setiap daerah. Adapun leksikon yang menunjukkan corak batik ini meliputi berbagai macam leksikon batik trusmi dalam berbagai peristiwa tutur yang dilakukan oleh masyarakat Trusmi. Tuturan dimaksud dibatasi pada tuturan lisan. Dasar pertimbangannya adalah bahwa tuturan lisan merupakan tuturan yang dominan terjadi dalam hampir semua peristiwa tutur yang berlangsung di berbagai ranah pemilihan bahasa di masyarakat Trusmi.

Data penelitian ini bersumber dari penggunaan leksikon batik trusmi yang terjadi di dalam masyarakat Trusmi. Penggunaan bahasa itu terjadi secara alami dari peristiwa tutur yang wajar di dalam masyarakat dalam kegiatan komunikasi sehari-hari. Peristiwa tutur yang diangkat sebagai sumber data adalah peristiwa tutur yang terjadi di dalam berbagai ranah sosial (domain) sebagaimana diajukan oeh Gumperz dengan sedikit modifikasi sesuai dengan situasi kebahasaan masyarakat Trusmi. Adapun ranah sosial tersebut meliputi (1) ranah keluarga, (2)


(18)

36

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

ranah pendidikan, (3) ranah upacara adat, (4) ranah pemerintahan, (5) ranah keagamaan, (6) pekerjaan (work) dan (7) ranah pergaulan dalam masyarakat.

B. Desain Penelitian

Untuk memperjelas paparan sebelumnya tentang metode penelitian, pada bagian ini akan digambarkan bagan alur penelitian dalam bentuk diagram berikut (adaptasi model Miles dan Huberman, 1984):

Leksikon batik Trusmi

Pengumpulan Data

1. Pengamatan berperan serta 2. Wawancara mendalam

Penyajian Data 1. Klasifikasi dan deskripsi

leksikon batik trusmi 2. Dimensi nilai kearifan lokal

pada leksikon batik Trusmi yang berhubungan dengan manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam

Penafsiran Data untuk Nilai-nilai Kearifan Lokal pada

leksikon batik Trusmi Penyimpulan Data

Hasil Analisis:

Muatan dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik Trusmi yang berhubungan dengan manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.


(19)

37

C. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian ini mengunakan teori etnolinguistik. Studi etnolinguistik merupakan kajian yang menafsirkan hubungan antara bahasa dan budaya dalam ranah tertentu. Penafsirannya tidak hanya dilakukan pada tataran bahasa, tetapi juga pada apa yang ada dibalik bahasa terkait dengan budaya setempat. Secara metodologis, pendekatan etnolinguistik dalam kajian ini dipusatkan pada model etnografi komunikasi untuk memfokuskan kerangka acuan karena pemberian tempat bahasa di dalam suatu kebudayaan bukan pada bahasa itu sendiri, melainkan pada komunikasinya (Sudana, dkk., 2012).

Dalam proses kelahiranya, etnografi komunikasi banyak mendapatkan bantuan dari ilmu yang lain, yaitu bahasa, kebudayaan, dan komunikasi itu sendiri. Sumbangan-sumbangan tersebut pada akhirnya memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana komunikasi, bahasa, dan kebudayaan dipandang secara ilmiah. Salah satu tradisi yang merupakan aliran pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial yang turut memberikan sumbangan pemahaman komprehensif terhadap etnografi komunikasi adalah etnometodologi. Etnometodologi merupakan suatu studi empiris tentang bagaimana orang menanggapi pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Etnometodologi mempelajari realitas sosial atas interaksi yang berlangsung sehari-hari (Kuswarno, 2008: 23). Oleh karena itu, etnometodologi bisa merupakan studi eksperimental khas penelitian kualitatif karena ia dapat meneliti bila terjadi penyimpangan pada aturan-aturan yang ada di masyarakat.

Pemikiran etnografi komunikasi ini menggunakan etnometodologi sebagai salah satu prosedur dalam pengumpulan data. Hal ini terjadi karena etnometodologi memusatkan perhatian pada penemuaan proses dasar yang digunakan oleh penutur suatu bahasa untuk menghasilkan dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman komunikatif, termasuk asumsi-asumsi yang tidak ternyatakan, yang merupakan pengetahuan dan pemahaman kebudayaan yang diketahui. Etnometodologi menjadi dasar bagi etnografi komunikasi, terutama dalam melakukan analisis interaksi. Dengan menggunakan


(20)

38

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

metode ini, sumber data berlatar alami dengan peneliti yang berfungsi sebagai

human instrument (Moleong, 1995: 121-125).

Mulyana (2010: 162) menyatakan bahwa etnografi sering dikaitkan dengan hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan suatu komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti. Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif etnografi yakni dengan melibatkan peneliti dalam pergaulan dengan masyarakat Trusmi di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Penelitian dalam pandangan etnografi bermakna memahami gejala yang bersifat alamiah atau wajar sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi dan diatur dengan eksperimen atau tes (Muhadjir, 2000). Gejala yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gejala pemanfaatan leksikon batik trusmi oleh masyarakat Trusmi.

Dananjaya (Aminudin, 1990: 98-99) membatasi metode kualitatif sebagai suatu metode yang menggunakan kata-kata atau kalimat dalam suatu struktur yang logik untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu sama lain. Metode kualitatif menurut Mulyana (2010: 161) bahwa dalam ilmu antropologi sering juga disebut sebagai metode etnografis. Istilah etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan). Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya kegiatan peneliti untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Jadi, etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya, baik yang bersifat material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan, dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti (Mulyana, 2010: 161).

Mulyana (2010: 161) menyatakan bahwa metode etnografis sebenarnya memanfaatkan beberepa teknik pengumpulan data meskipun teknik utamanya terdiri dari pengamatan berperan-serta (participant observation). Pendekatan ini bertumpu pada teori fungsi bahasa yang digagas oleh Nababan (Sibarani 2004: 57) yang mengatakan bahwa setiap bahasa mempunyai empat golongan fungsi, yakni (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Di samping itu, Wierzbicka (1997: 11) mengatakan


(21)

39

bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan suatu masyarakat dengan leksikon bahasanya. Teori-teori tersebut merupakan pendekatan linguistik antropologis yang dimanfaatkan untuk mengeksplorasi kaitan erat antara bahasa dan budaya penuturnya.

Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 1996: 3), penelitian kualitatif dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan, dan orang-orang atau pelaku yang diamati. Penelitian kualitatif menurut Hasan (Aminudin, 1996: 16) selalu bersifat deskriptif, artinya data yang dianalisis berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antarvariabel.

Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif fenomenologi (Endraswara, 2003: 44), yakni keterlibatan peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami dengan masyarakat perajin batik trusmi di Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Penelitian dalam pandangan fenomenologi bermakna memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.

Fenomena yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fenomena pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi di Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Dengan metode ini, data penelitian yang dihasilkan adalah data yang memang sesuai dengan keadaan di lapangan tanpa ada kontrol dari peneliti. Dengan demikian, peneliti hanya menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta dan keadaan yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan dengan apa adanya.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional dari sejumlah konsep kunci dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Leksikon batik trusmi adalah berbagai istilah yang memberikan sumbangsih kerajinan tangan karya anak bangsa di Cirebon, Jawa Barat.


(22)

40

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

2) Pandangan hidup dalam ungkapan tradisional yang tercermin dalam leksikon batik trusmi mengandung pesan dan nasihat, terselubung makna dan nilai-nilai moral yang tinggi serta mencerminkan kearifan dari masyarakat penciptanya. 3) Kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi adalah nilai-nilai

yang mencerminkan dimensi hubungan vertikal antara manusia dan tuhan, dimensi hubungan horizontal antara manusia dan manusia, serta dimensi hubungan horizontal antara manusia dan alam.

E. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen, yaitu lembar catatan, lembar observasi, alat rekam, dan tabel klasifikasi. Alat ukur yang digunakan dalam tulisan ini disebut instrumen penelitian (Syarifuddin, 2008: 77). Dalam instrumen penelitian ini, peneliti melakukan obervasi di lapangan dengan mempersiapkan instrumen penelitian yang berupa pertanyaan-pertanyaaan tertulis tentang data-data leksikon batik trusmi. Pertanyaan tertulis yang dimaksudkan di sini adalah sebagai pedoman dalam melakukan wawancara dengan informan. Lembar catatan dan perekam digunakan saat proses pengumpulan data. Hal ini dilakukan agar memudahkan proses analisis data yang terkumpul kemudian dipindahkan ke dalam lembar observasi dan tabel klasifikasi.

Pada saat melakukan wawancara, peneliti mencatat nilai-nilai yang terkandung dalam leksikon batik trusmi sebagai data saat melakukan wawancara. Selain itu, dalam melakukan pengamatan berperan-serta peneliti juga melakukan fotografi. Hasilnya berupa gambar dan foto leksikon batik trusmi. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran umum tentang situasi yang tampak pada lingkungan masyarakat Trusmi di Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon yang masih melestarikan budaya membatik sampai sekarang. Dalam pemasukan leksikon ke dalam tabel klasifikasi, leksikon diatur sedemikian rupa hingga tersusun alfabetis. Hal ini dilakukan agar mempermudah dalam penyusunan kartu data. Beberapa instrumen penelitian dapat dilihat di bawah ini


(23)

41

LEMBAR OBSERVASI

No Data Klasifikasi Deskripsi W G NG P B S

Keterangan Klasifikasi:

W : Wadasan P: Pangkaan G: Geometris B: Byur

NG: Nongeometris S: Semarangan

Selain instrumen penelitian yang telah disebutkan di atas, ada pula kartu data. Kartu data digunakan untuk memudahkan dalam pengumpulan dan menganalisis data. Berikut kartu data yang akan digunakan.

LEMBAR KARTU DATA LEKSIKON BATIK TRUSMI No. 1

Data (ayam alas ) 1 klasifikasi

leksikon batik Trusmi :

Data ayam alas termasuk ke dalam corak wadasan. Corak ini ditandai adanya unsur-unsur dari keraton dan biasanya disebut dengan batik keraton. Kata ayam alas ini berasal dari kata ayam liar. Kata ayam mempunyai arti unggas yang pada umumnya tidak dapat terbang, dapat dijinakkan dan dipelihara. Sementara itu, kata alas, mempunyai arti hutan. Pada masyarakat Trusmi kata ayam

alas memiliki makna simbolis yang menyiratkan kisah

tentang ayam alas dari Gunung Jati. Leksikon ini berawal dari Kisah seorang walisongo bernama Sunan Gunung Jati yang meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunung jati yang menyebarkan ajaran islam di Jawa Barat. Gunung jati merupakan salah satu titik penting upaya penyebaran syiar Islam yang dilakukan pertama di bukit Amparan Jati di wilayah Cirebon.


(24)

42

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Salah satu jenis hewan yang berkeliaran dan bertebangan di gunung jati yaitu ayam alas dengan bulu yang bersih mengkilat. Ayam jago ini juga menjadi binatang kesayangan raja karena bulunya yang bersih mengkilat. Selain itu, leksikon ayam alas ini menggambarkan ayam jago sedang berkokok. Ayam berkokok ini menunjukan identik dengan waktu terutama pada pagi hari. Semakin jelaslah bahwa leksikon ini meski kelihatan sederhana, memperlihatkan adanya suatu keistimewaan pada ayam. Oleh sebab itu, masyarakat Trusmi menjadikan leksikon motif ayam alas salah satu motif batik. Oleh sebab itu, leksikon motif ayam alas ini memberikan ide-ide atau gambar untuk menuangkannya dalam motif batik tulis kaitannya dengan sejarah yang patut dilestarikan. Leksikon motif ini termasuk kelompok motif batik keraton.

2 cerminan dimensi leksikon batik Trusmi :

Pada motif ayam alas ini memiliki nilai kearifan lokal tentang sikap keberanian, Dengan corak batik ini menceritakan masuknya syiar Islam dan berakulturasi dengan kebudayaan Cirebon sebagai bentuk etos kerja yang ulet di era informasi. Dengan demikian, motif ayam alas ini mempunyai dimensi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan manusia bahwa manusia adalah pelaku yang harus memainkan peran penting dalam proses kehidupannya dan kehidupan masyarakat yang dijalani dengan penuh keseimbangan.

Salah satu sikap keberanian Sunan gunung jati yang merupakan salah satu walisongo yang menyebarkan ajaran islam di Jawa barat meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunung jati. Gunung jati merupakan merupakan salah satu titik penting untuk upaya penyebaran syiar Islam yang dilakukan pertama di bukit Amparan Jati


(25)

43

di wilayah Cirebon. Oleh karena itu, sebagai sebagai manusia mempunyai aturan yang harus dijalankan oleh semua anggota masyarakat. begitu juga peranan raja mempunyai penting untuk menyebarkan agama terhadap rakyat pada saat itu.

F. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Suparlan (Patilima, 2011: 16), metode penelitian kualitatif umumnya menggunakan adalah (1) metode pengamatan, (2) metode pengamatan terlibat, dan (3) wawancara berpedoman. Oleh karena itu, peneliti mengunakan dua metode penelitian dalam mengumpulkan data, yakni pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam (indepth interview). Penelitian kualitatif terutama yang menganut paham atau aliran interpretive menekankan persepsi peneliti dan partisipan dalam menyikapi suatu fenomena. Dengan demikian, metode kualititif tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Pengamatan Berperan Serta

Metode pengamatan berperan serta merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini. Pengamatan berperan serta ini berarti peneliti ikut terjun langsung atau bergabung dengan para perajin batik trusmi dan masyarakat di sekitarnya dengan berbaur dalam kehidupan sehari-hari dan keterlibatan peneliti mengikuti proses membatik untuk memahami segala hal yang menjadi aturan dalam aktivitas membatik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai-niai kearifan lokal yang terdapat pada leksikon batik trusmi. Menurut Mulyana (2010: 163), pengamatan berperan-serta (pengamatan terlibat) adalah pengamatan yang dilakukan sambil sedikit banyak berperan-serta dalam kehidupan orang yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini, peneliti mengikuti seluruh rangkaian kegiatan membatik baik aktif maupun pasif yang dilaksankan di tempat penelitian. Selain itu juga, pengamatan berperan serta akan lebih menguntungkan peneliti karena peneliti terjun langsung dan ikut menghayati dalam kegiatan kebudayaan


(26)

44

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

membatik. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi langsung mengenai klasifikasi motif batik dan nilai-nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi pada kehidupan masyarakat Trusmi.

Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat pengamatan berperan-serta adalah peneliti dengan sengaja masuk ke dalam wilayah penelitian sehingga seakan-akan seperti responden. Biasanya peneliti lebih intens memasuki wilayah penelitian. Peneliti juga akan bersikap refleksif, yaitu berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk masuk ke dalam kehidupan para perajin dalam proses membatik. Setelah itu, merekam dan mengenal pelaksanaan kegiatan proses membuat batik trusmi.

Hal-hal yang diamati dalam penelitian ini, meliputi: cara, proses, dan jenis leksikon batik yang dilakukan oleh perajin batik. Di samping itu, dicermati juga nilai-nilai yang terkandung dalam leksikon batik Trusmi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui klasifikasi berdasarkan corak atau motif, dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan manusia, dan dimensi nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan alam. Dalam pengamatan ini, peneliti mencatat segala yang berhubungan dengan kegiatan perajin dan mengetahui jenis-jenis apa saja yang ada pada leksikon batik trusmi.

Pengamatan semacam ini memberikan keuntungan. Laporan bisa cepat diselesaikan karena peneliti sendiri ikut terlibat dalam kehidupan para perajin sehingga mudah teringat. Peneliti akan selalu mengikuti proses budaya terus-menerus, dan perlu tinggal agak lama di lapangan. Pengamatan berperan serta akan lebih memungkinkan peneliti memasuki fenomena yang lebih dalam. Peneliti tidak hanya mengamati serampangan saja, melainkan ikut terlibat dan menghayati sebuah fenomena yang ada pada masyarakat perajin disekitarnya. Dengan cara ini, akan terjadi interaksi sosial, psikologis, dan kultural antara perajin batik dan peneliti. Terjalinnya hubungan yang harmonis pun akan terjadi ketika peneliti ikut masuk di dalamnya. Hal ini dilakukan sekaligus untuk


(27)

45

mendekatkan peneliti kepada hal yang diteliti sehingga perajin batik merasa lebih simpatis. Perajin batik akan merasa diperhatikan khusus ketika ada peneliti yang juga ikut melakukan fenomena budaya tersebut.

Pengamatan berperan serta juga perlu dibatasi secara rigid. Artinya, ketika hendak mengamati fenomena budaya yang menurut kesan umum dianggap negatif, peneliti juga perlu hati-hati. Peneliti diharapkan bisa membatasi diri. Namun, peneliti juga tidak boleh terlalu larut di dalamnya secara berlebihan. Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Endraswara (2003: 209) ada baiknya peneliti mengembangkan relativisme budaya, yaitu upaya memahami sikap dan prilaku budaya secara keseluruhan. Pengertian ini menghendaki agar penelitian kebudayaan sesuai dengan aturan mainnya. Jika peneliti kebetulan pelaku budaya itu sendiri, sebaiknya peneliti bisa memisahkan diri ketika sebagai peneliti.

Pengamatan dapat dibedakan menjadi dua lagi: pengamatan terbuka dan pengamatan tertutup. Pengamatan terbuka menghendaki agar peneliti melakukan observasi dan diketahui oleh perajin batik. Sebaliknya, pengamatan tertutup berarti ketika observasi pengamat tidak diketahui oleh perajin batik. Pengamatan terbuka biasanya dilakukan pada tempat yang luas dan dalam tindakan budaya yang umum. Sementara itu, perilaku budaya khusus, semisalnya pada saat semedi atau ritual sakral, biasanya dilakukan pengamatan tertutup. Pengamatan juga dibedakan menurut latar pelaksanaanya, yaitu pengamatan terstruktur dan tidak terstruktur. Pengamatan terstruktur, biasanya situasi telah diatur dan hal-hal lain telah dipersiapkan. Sebaliknya, pengamatan tidak terstruktur adalah bentuk observasi yang alamiah. Observasi berlangsung secara natural dan kemungkinan tidak diketahui langsung oleh subjek penelitian.

Hal-hal penting yang perlu diamati dalam fenomena budaya adalah (a) kejadian atau aktivitas budaya dari komunitas, (b) peristiwa dan situasi yang mengitarinya, (c) keikutsertaan pendukung budaya ke dalam suatu aktivitas tertentu, (d) kasus-kasus istimewa yang menonjol. Menurut Denzin (Mulyana, 2010: 163) pengamatan berperan-serta adalah strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden dan informasi, partisipan, serta observasi langsung serta introspeksi.


(28)

46

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu 2. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Tahap kedua dalam mencari data adalah wawancara langsung dengan responden yang telah ditentukan sebelumnya, di antaranya perajin batik, pengusaha, tokoh-tokoh yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan leksikon batik trusmi di Cirebon. Wawancara mendalam dilakukan supaya informasi yang dihasilkan tidak simpang siur dan jelas dari sumbernya. Berdasarkan sifatnya, wawancara yang dilakukakan dibagi dalam dua kategori, yakni wawancara terbuka dan tertutup. Wawancara terbuka dilakukan dengan pengunjung dan perajin batik trusmi. Sementara itu, wawancara tertutup dilakukan dengan kuncen selaku ketua adat, khususnya di daerah Trusmi dalam aktivitas dan rutinitasnya dalam kebudayaan Trusmi, terutama dalam kegiatan ritual kebudayaan Trusmian atau Selawean, yaitu acara memperingati lahirnya Nabi Muhammad saw. Dalam melakukan wawancara, peneliti langsung mendatangi responden sehingga data dapat diperoleh secara akurat tanpa ada pengaruh dari orang lain.

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang mendalam. Endraswara (2003: 212) menjelaskan bahwa wawancara merupakan proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, yaitu dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Wawancara mendalam biasanya dinamakan wawancara baku etnografi atau wawancara kualitatif (Endraswara, 2003: 214). Peneliti melakukan wawancara mendalam ini dengan santai, informal, dan masing-masing pihak seakan-akan tidak ada beban psikologis sehingga wawancara dapat berjalan dalam suasana akrab dan penuh persahabatan. Jenis wawancara ini juga lebih humanistik dan fleksibel dan masing-masing tidak akan saling menyalahkan satu sama lain yang penting ada keterbukaan antara peneliti dan para responden. Hal ini dilakukan agar memperoleh ke dalaman data yang menyeluruh dan lebih bermanfaat.

Koentjaraningrat (2005) membagi wawancara ke dalam dua golongan besar, yaitu (1) wawancara berencana (standardized interview), dan (2) wawancara tak berencana (unstandardized interview). Melalui wawancara mendalam (indept Interview) menurut Bogland dan Taylir (Endraswara, 2003:


(29)

47

214), peneliti akan membentuk dua macam pertanyaan, yaitu pertanyaan substantif dan pertanyaan teoretis. Pertanyaan substantif berupa persoalan khas yang berkait dengan aktivitas membatik dan pertanyaan teoritik berkaitan dengan klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi, dan dimensi nilai-nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi.

G. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap fenomena kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian akan dianalisis dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi (1) menganalisis berdasarkan klasifikasi berdasarkan jenis corak (wadasan, geometris,

nongeometris, pangkaan, byur, semarangan), (2) analisis berdasarkan dimensi

kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, dimensi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan manusia, dan dimensi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan alam, serta (3) simpulan.

Pada saat tahap klasifikasi juga akan ditemukan beragam leksikon yang digunakan untuk mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Trusmi di dalam leksikon batik tersebut. Klasifikasi juga mempelihatkan bentuk bahasa secara umum. Selanjutnya, analisis pola pokir dilakukan untuk analisis klasifikasi dengan memanfaatkan metode penafsiran (intepretation) oleh penulis. Menurut Geerts (Nuryani, 2010: 37), dalam penelitian kebudayaan senantiasa terbuka kemungkinan untuk menganalisis data dengan mempertimbangkan sifat penelitian itu sendiri. Adapun sifat peneliti itu adalah penafsiran (interpretatif). Beberapa komponen yang didapat dari wawancara dan gambar leksikon batik trusmi menjadi dasar peneliti untuk memberikan penafsiran mengenai klasifikasi perajin batik trusmi mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam leksikon batik trusmi. Dalam penelitian budaya khususnya, metode interpretatif menjadi sifat yang cukup penting.


(30)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Sesuai dengan rumusan masalah, terdapat empat simpulan dari penelitian ini. Pertama, berdasarkan bentuk corak batiknya, leksikon batik trusmi diklasifikasi menjadi enam kelompok, yaitu leksikon corak wadasan, geometris,

nongeometris, pangkaan, byur, dan semarangan. Ada 15 leksikon yang merujuk

pada corak wadasan, 7 leksikon yang merujuk pada corak geometris, 14 leksikon yang merujuk pada corak nongeometris, 3 leksikon yang merujuk pada corak

pangkaan, 6 leksikon yang merujuk pada corak byur, dan 2 leksikon yang

merujuk pada corak semarangan.

Kedua, leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Adapun leksikon batik trusmi tersebut di antaranya leksikon motif kapal kandas, kawung,

macan, mega mendung, taman arum sunyaragi, wadas, wadasan, naga seba, patran kangkung, sawat penganten, rumah adat, siti inggil, rajegwesi, burung phoenix, taman teratai, dan parang. Makna leksikon menunjukkan bahwa Tuhan

adalah sumber dari segala-galanya.

Ketiga, leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan horizontal manusia dengan manusia. Adapun leksikon batik trusmi tersebut di antaranya leksikon motif ayam alas, cerita panji,

ganggengan, pewayangan, putri cina, supit urang, singa barong, simbar menjangan, semen rama, singa payung, liris buketan, tambal sewu, soko cina, dan lokcan. Makna leksikon menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan

manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap silih

asih, silih asah, dan silih asuh yang berarti ‘saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh’ sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketenteraman, dan kekeluargaan.


(31)

151

Keempat, leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan horizontal manusia dengan alam. Adapun leksikon batik trusmi tersebut di antaranya leksikon motif ikan, katak dan kadal,

kembang waluh, kupu-kupu, kapal keruk, naga, kompeni, totok mimi, trusmi, udang, orang utan, paksi naga liman, lengko-lengko, burung merak merah, teluki, piring selampad, dan kembang kantil. Makna leksikon menunjukkan bahwa

lingkungan alam dan sosial merupakan suatu kesatuan lingkungan kehidupan manusia. Oleh karena itu, lingkungan alam melengkapi kehidupan manusia atau pun menjadi objek dari timbulnya ide-ide dan pola pikir manusia.

B. Saran-saran

Berdasarkan analisis data dan simpulan yang telah dikemukakan di atas, peneliti menyampaikan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya.

1) Penelitian mengenai leksikon batik trusmi dalam kajian etnolinguistik masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya dapat melakukan kajian tentang leksikon batik trusmi dalam studi penelitian linguistik yang lebih luas. 2) Penelitian mengenai kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik

trusmi masih jarang ditemukan karena lebih banyak mengenai perkembangan industri batik trusmi dalam bidang seni. Jadi, penelitian sejenis dalam bidang bahasa seyogianya dapat digalakkan.

3) Penelitian mengenai kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi ini merupakan usaha pelestarian bahasa dan budaya yang merupakan identitas Cirebon dengan payung penelitian etnolinguistik. Penelitian lain dalam bidang keilmuan yang berbeda seyogianya dapat dilakukan untuk melengkapi penelitian sebagai sumber informasi pembaca.


(32)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Daftar Pustaka

Aminuddin.(1990). Pengembangan penelitian kualitatif dalam bidang bahasa dan

sastra. Malang: YA3.

Chaer, A. (2007). Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka cipta. Beratha,N. L. S.(1998). “Materi Liguistik Kebudyaan” dalam Linguistik Tahun V

Edisi 9, September 1998. Denpasar: Program Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Beliani, L, (2010). “Leksikon Perbatikan di Tasikmalaya (Suatu Kajian Etnolinguistik)”. Skripsi pada Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Dhianto, A. (1985). Desain Batik Tradisional Cirebon. Desain Tekstil. Desain ITB. Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2008). Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. F. (2006). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan

Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Duranti, A. (2000). Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University Press.

Endraswara, S. (2003). Metodologi Penelitian Kebudayaan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fatehah, N. (2009). “Leksikon Perbatikan di Pekalongan”. Tesis master pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: tidak diterbitkan.

Foley, W. A. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.

Haviland, A. W. (1999).Antropologi. Jakarta: Erlangga.

Hidayat, A. A. (2009). Filsafat Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ibrahim, A. S. (1994). Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional.

Kartika. (2008). Perkembangan Batik Tulis Tasik [online]. Tersedia: http/www.blogsunpad.ac.id. [16 Oktober 2009]

Kridalaksana, H. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kuswarno, E. (2008). Etnografi Komunikasi:suatu pengantar dan contoh

penelitian. Bandung: Widya Padjajaran.

Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Ilmu Antropologi : Pokok-pokok Etnografi

II. Jakarta: Rineka Cipta.

Levi.S,C. (1963). Anthrophology structural Volume II. Diterjemahkan oleh M. Layton. New York:Pinguins books.

Mifzal, A. (2012). Mengenal Ragam Batik Nusantara. Yogyakarta: Javalitera. Muhadjir,N. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Raka Sarasisn.


(33)

153

Novi Pamelasari, 2013

Mumfangati, dkk (2004). Kearifan Lokal Di Lingukungan Masyarakat

Samin,Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementrian

Kebudayaan dan Pariwisata.

Moleong, L. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, D. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Musman, A & Arini, A. B. (2011). Batik Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta: G-Medi

Jos, D. P. (1993). Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Patilima, H. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Reza, F. (2011). “Perkembangan Industri Kerajinan Batik di Desa Trusmi Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon”. Skripsi pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Rohaedi, A.(1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Rosidi, A. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, A.(2011). Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat.

Sarifuddin. (2008). “Mantra Nelayan Bajo: Cerminan Pikiran Kolekstif Orang Bajo di Sumbawa”. Disertasi pada Fakutlas Ilmu Budaya Univertsitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sarosa, S. (2012). Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar). Jakarta: PT Indeks.

Spradley, J. P. (1997). Metode Etnografi. Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suryani, NS, E.(2011). Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sa’adu, A. (2010). Buku Panduan Mengenal dan Membuat Batik.Yogyakarta:

Harmoni.

Samarin, W. J. (1988). Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.

Sibarani, R. (2004). Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik

Antropologi . Medan: Penerbit Poda.

Sudana,U,dkk.(2010). “Pemetaan Variasi Bahasa Daerah di Jawa Barat: Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi ,

Kabupaten Karawang, dan Kota Depok)”. Laporan penelitian dalam

rangka Pembuatan Peta Sebaran Bahasa Daerah di Jawa Barat oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Bandung: tidak diterbitkan.

Suryatna, A. (2010). “Perwujudan Budaya Belajar Tiga Entitas Masyarakat Jawa Barat (Studi Perwujudan Budaya Belajar Seni Gambar Entitas Masyarakat Jelengkong-Bandung,Seni Batik Trusmi-Cirebon Dan Seni Keramik Anjun-Purwakarta)”. Disertasi pada Program Studi Pendidikan Umun Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.


(34)

154

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Universitas Pendidikan Indonesia. (2011). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Warnaen, S, dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin

Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. (Tahap I). Bandung: Bagian

Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanolog). Widiatmoko, S. (2011)”Leksikon Kemaritiman di Pantai Tanjungpakis Kabupaten

Karawang (Sebuah Kajian Etnolinguistik)” Skripsi pada Fakultas

Pendidikan Bahasa Dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Wierzbicka, A. (1997). Understanding Cultures through Their Key Words:

English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford


(1)

47

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

214), peneliti akan membentuk dua macam pertanyaan, yaitu pertanyaan substantif dan pertanyaan teoretis. Pertanyaan substantif berupa persoalan khas yang berkait dengan aktivitas membatik dan pertanyaan teoritik berkaitan dengan klasifikasi dan deskripsi leksikon batik trusmi, dan dimensi nilai-nilai kearifan lokal pada leksikon batik trusmi.

G. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap fenomena kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian akan dianalisis dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi (1) menganalisis berdasarkan klasifikasi berdasarkan jenis corak (wadasan, geometris, nongeometris, pangkaan, byur, semarangan), (2) analisis berdasarkan dimensi kearifan lokal pada leksikon batik trusmi yang mencerminkan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, dimensi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan manusia, dan dimensi yang mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan alam, serta (3) simpulan.

Pada saat tahap klasifikasi juga akan ditemukan beragam leksikon yang digunakan untuk mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Trusmi di dalam leksikon batik tersebut. Klasifikasi juga mempelihatkan bentuk bahasa secara umum. Selanjutnya, analisis pola pokir dilakukan untuk analisis klasifikasi dengan memanfaatkan metode penafsiran (intepretation) oleh penulis. Menurut Geerts (Nuryani, 2010: 37), dalam penelitian kebudayaan senantiasa terbuka kemungkinan untuk menganalisis data dengan mempertimbangkan sifat penelitian itu sendiri. Adapun sifat peneliti itu adalah penafsiran (interpretatif). Beberapa komponen yang didapat dari wawancara dan gambar leksikon batik trusmi menjadi dasar peneliti untuk memberikan penafsiran mengenai klasifikasi perajin batik trusmi mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam leksikon batik trusmi. Dalam penelitian budaya khususnya, metode interpretatif menjadi sifat yang cukup penting.


(2)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Sesuai dengan rumusan masalah, terdapat empat simpulan dari penelitian ini. Pertama, berdasarkan bentuk corak batiknya, leksikon batik trusmi diklasifikasi menjadi enam kelompok, yaitu leksikon corak wadasan, geometris, nongeometris, pangkaan, byur, dan semarangan. Ada 15 leksikon yang merujuk pada corak wadasan, 7 leksikon yang merujuk pada corak geometris, 14 leksikon yang merujuk pada corak nongeometris, 3 leksikon yang merujuk pada corak pangkaan, 6 leksikon yang merujuk pada corak byur, dan 2 leksikon yang merujuk pada corak semarangan.

Kedua, leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Adapun leksikon batik trusmi tersebut di antaranya leksikon motif kapal kandas, kawung, macan, mega mendung, taman arum sunyaragi, wadas, wadasan, naga seba, patran kangkung, sawat penganten, rumah adat, siti inggil, rajegwesi, burung phoenix, taman teratai, dan parang. Makna leksikon menunjukkan bahwa Tuhan adalah sumber dari segala-galanya.

Ketiga, leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan horizontal manusia dengan manusia. Adapun leksikon batik trusmi tersebut di antaranya leksikon motif ayam alas, cerita panji, ganggengan, pewayangan, putri cina, supit urang, singa barong, simbar menjangan, semen rama, singa payung, liris buketan, tambal sewu, soko cina, dan lokcan. Makna leksikon menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap silih

asih, silih asah, dan silih asuh yang berarti ‘saling mengasihi, saling mengasah

atau mengajari, dan saling mengasuh’ sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketenteraman, dan kekeluargaan.


(3)

151

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Keempat, leksikon batik trusmi mencerminkan nilai kearifan lokal yang menunjukkan dimensi hubungan horizontal manusia dengan alam. Adapun leksikon batik trusmi tersebut di antaranya leksikon motif ikan, katak dan kadal, kembang waluh, kupu-kupu, kapal keruk, naga, kompeni, totok mimi, trusmi, udang, orang utan, paksi naga liman, lengko-lengko, burung merak merah, teluki, piring selampad, dan kembang kantil. Makna leksikon menunjukkan bahwa lingkungan alam dan sosial merupakan suatu kesatuan lingkungan kehidupan manusia. Oleh karena itu, lingkungan alam melengkapi kehidupan manusia atau pun menjadi objek dari timbulnya ide-ide dan pola pikir manusia.

B. Saran-saran

Berdasarkan analisis data dan simpulan yang telah dikemukakan di atas, peneliti menyampaikan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya.

1) Penelitian mengenai leksikon batik trusmi dalam kajian etnolinguistik masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya dapat melakukan kajian tentang leksikon batik trusmi dalam studi penelitian linguistik yang lebih luas. 2) Penelitian mengenai kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik

trusmi masih jarang ditemukan karena lebih banyak mengenai perkembangan industri batik trusmi dalam bidang seni. Jadi, penelitian sejenis dalam bidang bahasa seyogianya dapat digalakkan.

3) Penelitian mengenai kandungan nilai kearifan lokal dalam leksikon batik trusmi ini merupakan usaha pelestarian bahasa dan budaya yang merupakan identitas Cirebon dengan payung penelitian etnolinguistik. Penelitian lain dalam bidang keilmuan yang berbeda seyogianya dapat dilakukan untuk melengkapi penelitian sebagai sumber informasi pembaca.


(4)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Daftar Pustaka

Aminuddin.(1990). Pengembangan penelitian kualitatif dalam bidang bahasa dan sastra. Malang: YA3.

Chaer, A. (2007). Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka cipta. Beratha,N. L. S.(1998). “Materi Liguistik Kebudyaan” dalam Linguistik Tahun V

Edisi 9, September 1998. Denpasar: Program Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Beliani, L, (2010). “Leksikon Perbatikan di Tasikmalaya (Suatu Kajian Etnolinguistik)”. Skripsi pada Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Dhianto, A. (1985). Desain Batik Tradisional Cirebon. Desain Tekstil. Desain ITB. Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. F. (2006). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Duranti, A. (2000). Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University Press.

Endraswara, S. (2003). Metodologi Penelitian Kebudayaan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fatehah, N. (2009). “Leksikon Perbatikan di Pekalongan”. Tesis master pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: tidak diterbitkan.

Foley, W. A. 2001. Anthropological Linguistics. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.

Haviland, A. W. (1999).Antropologi. Jakarta: Erlangga.

Hidayat, A. A. (2009). Filsafat Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ibrahim, A. S. (1994). Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional.

Kartika. (2008). Perkembangan Batik Tulis Tasik [online]. Tersedia: http/www.blogsunpad.ac.id. [16 Oktober 2009]

Kridalaksana, H. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kuswarno, E. (2008). Etnografi Komunikasi:suatu pengantar dan contoh

penelitian. Bandung: Widya Padjajaran.

Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Ilmu Antropologi : Pokok-pokok Etnografi

II. Jakarta: Rineka Cipta.

Levi.S,C. (1963). Anthrophology structural Volume II. Diterjemahkan oleh M. Layton. New York:Pinguins books.

Mifzal, A. (2012). Mengenal Ragam Batik Nusantara. Yogyakarta: Javalitera. Muhadjir,N. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Raka Sarasisn.


(5)

153

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Mumfangati, dkk (2004). Kearifan Lokal Di Lingukungan Masyarakat Samin,Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Moleong, L. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, D. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Musman, A & Arini, A. B. (2011). Batik Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta: G-Medi

Jos, D. P. (1993). Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Patilima, H. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Reza, F. (2011). “Perkembangan Industri Kerajinan Batik di Desa Trusmi Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon”. Skripsi pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Rohaedi, A.(1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Rosidi, A. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, A.(2011). Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat.

Sarifuddin. (2008). “Mantra Nelayan Bajo: Cerminan Pikiran Kolekstif Orang Bajo di Sumbawa”. Disertasi pada Fakutlas Ilmu Budaya Univertsitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sarosa, S. (2012). Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar). Jakarta: PT Indeks.

Spradley, J. P. (1997). Metode Etnografi. Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suryani, NS, E.(2011). Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sa’adu, A. (2010). Buku Panduan Mengenal dan Membuat Batik.Yogyakarta:

Harmoni.

Samarin, W. J. (1988). Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.

Sibarani, R. (2004). Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi . Medan: Penerbit Poda.

Sudana,U,dkk.(2010). “Pemetaan Variasi Bahasa Daerah di Jawa Barat: Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi ,

Kabupaten Karawang, dan Kota Depok)”. Laporan penelitian dalam

rangka Pembuatan Peta Sebaran Bahasa Daerah di Jawa Barat oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Bandung: tidak diterbitkan.

Suryatna, A. (2010). “Perwujudan Budaya Belajar Tiga Entitas Masyarakat Jawa Barat (Studi Perwujudan Budaya Belajar Seni Gambar Entitas Masyarakat Jelengkong-Bandung,Seni Batik Trusmi-Cirebon Dan Seni Keramik Anjun-Purwakarta)”. Disertasi pada Program Studi Pendidikan Umun Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.


(6)

Novi Pamelasari, 2013

Kandungan Nilai Kearifan Lokal Dalam Leksikon Batik Trusmi (Kajian Etnolinguistik) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Universitas Pendidikan Indonesia. (2011). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Warnaen, S, dkk. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. (Tahap I). Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanolog). Widiatmoko, S. (2011)”Leksikon Kemaritiman di Pantai Tanjungpakis Kabupaten

Karawang (Sebuah Kajian Etnolinguistik)” Skripsi pada Fakultas

Pendidikan Bahasa Dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Wierzbicka, A. (1997). Understanding Cultures through Their Key Words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. New York: Oxford University Press.