PEMBUATAN BAKSO SINTETIS GLUTEN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN MINYAK WIJEN.
PEMBUATAN BAKSO SINTETIS GLUTEN KEDELAI
DENGAN PENAMBAHAN MINYAK WIJ EN
SKRIPSI
Oleh :
APRIANTI RAHMADANI
NPM. 0733010021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
SURABAYA
2011
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
PEMBUATAN BAKSO SINTETIS GLUTEN KEDELAI
DENGAN PENAMBAHAN MINYAK WIJ EN
SKRIPSI
Oleh :
APRIANTI RAHMADANI
NPM. 0733010021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
SURABAYA
2011
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………
i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………
vi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… vii
BAB I.
PENDAHULUAN ……………………………………….……
1
A. Latar Belakang ……..……………………………………… 1
B. Tujuan penelitian ………………………………………..… 2
C. Manfaat penelitian …………………………………………. 3
BAB II.
TINJ AUAN PUSTAKA ………………………………….…..
4
A. Bakso …………………………………….………………… 4
B. Bakso Sintetis …………………………………………….... 4
C. Tepung Kedelai ……………………………………………. 14
D. Emulsi .……………………………………………………. 17
E. Minyak Wijen ……………………………………………… 17
F. Air ………………………………………………………… 19
G. Tepung Tapioka ……………………………………………. 19
H. Bahan Tambahan …………………………………………… 20
I. Analisa Keputusan …………………………………………. 21
J. Analisa Kelayakan Finansial ………………………………. 22
1. Break Even Point (BEP) ………………………………. 22
2. Net Present Value ……………………………………… 23
3. Payback Period (PP) ………………………………….
24
4. Internal Rate of Return ………………………………..
24
5. Gross Benefit Cross Ratio ……………………………..
25
K. Landasan Teori …………………………………………….
25
L. Hipotesa …………………………………………………… 28
iii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB III. BAHAN dan METODE ...…………….…………………….
29
A. Tempat dan Pelaksanaan Penelitian ………………………
29
B. Bahan …………………………………………………….
29
C. Alat ………………………………………………………
29
D. Metode Penelitian …………………………………………. 30
E. Parameter ………………………………………………….. 33
F. Prosedur Penelitian ………………………………………..
34
BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN ……………………………….
38
A. Hasil Analisa Bahan Baku ………………………………… 38
B. Hasil Analisa Bakso Sintetis ……………………………...
38
1. Kadar Air ……………………………………………..
38
2. Kadar Protein …………………………………………
41
3. Kadar Lemak …………………………………………
42
4. Kadar Pati …………………………………………….
44
5. Water Holding Capacity ………………………………
46
6. Rendemen ……………………………………………..
48
7. Tekstur ………………………………………………...
50
8. Uji Organoleptik ………………………………………
52
a. Uji hedonik rasa …………………………………… 52
b. Uji hedonik warna …………………………………
54
c. Uji hedonik tekstur ………………………………..
55
C. Analisa Keputusan ………………………………………… 56
D. Analisis Finansial …………………………………………
59
1. Kapasitas produksi …………………………………….
59
2. Biaya produksi ………………………………………...
59
3. Harga pokok produksi …………………………………
60
4. Harga jual produksi ……………………………………
60
5. Break event point ……………………………………...
60
6. Net present value ………………………………………
61
7. Payback periode ……………………………………….
61
8. Gross Benefit (Gross B/C) …………………………….. 62
iv
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB V.
9. Internal rate of return …………………………………
62
KESIMPULAN dan SARAN ………………………………..
64
A. Kesimpulan ………………………………………………..
64
B. Saran ………………………………………………………
65
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar Komposisi Gluten……………………………………. 6
Tabel 2.2 Daftar Komposisi Asam amino Gluten ……………………… 6
Tabel 2.3 Komposisi kimia Tepung Kedelai ……………………………. 15
Tabel 2.3 Sifat fungsional protein kedelai dalam produk daging sintetis . 15
Tabel 2.4 Komposisi Asam Lemak Minyak Wijen ……………………… 18
Tabel 2.5 Sifat Fisiko – Kimia Minyak Wijen……………………………. 18
Tabel 2.6. Komposisi Kimia Tepung Tapioka ............................................ 20
Tabel 4.1. Hasil Analisa bahan baku Tepung Kedelai……………………. 38
Tabel 4.2. Rerata kadar air bakso sintetis proporsi gluten:tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen ………………………. 39
Tabel 4.3. Rerata kadar protein bakso sintetis hasil pengaruh
proporsi gluten : tepung kedelai ……………………………… 41
Tabel 4.4. Rerata kadar protein bakso sintetis hasil pengaruh
penambahan minyak wijen…………………………………….. 42
Tabel 4.5. Rerata kadar lemak bakso sintetis proporsi
gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……….. 43
Tabel 4.6. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil perlakuan
proporsi gluten : tepung kedelai ………………………………. 45
Tabel 4.7. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil pengaruh
penambahan minyak wijen ……………………………………. 45
Tabel 4.8. Rerata WHC bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai
dan penambahan minyak wijen ……………………………….. 46
Tabel 4.9. Nilai rata –rata rendemen bakso sintetis proporsi
gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……….. 48
Tabel 4.10. Rerata tekstur bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai
dan penambahan minyak wijen ……………………………… 50
Tabel 4.11. Nilai rata-rata uji kesukaan rasa bakso ………………………. 53
Tabel 4.12. Nilai rata-rata uji kesukaan warna bakso ……………………. 54
Tabel 4.13. Nilai rata-rata uji kesukaan tekstur bakso …………………… 56
Tabel 4.14. Tabel Analisis keputusan Bakso Sintetis……………………... 58
vi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pembentukan ikatan penghubung gluten ……………………..
Gambar 2. Scanning electron micrograph gluten ………………………..
Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso sintetis ………………………
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung kedelai …………………….
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung kedelai (Koswara, 1992)…
Gambar 6. Diagram alir pembuatan bakso sintetis gluten – kedelai …..
Gambar 7. Hubungan antara penambahan tepung kedelai
dan minyak wijen terhadap kadar air bakso sintetis ………..
Gambar 8. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap kadar protein bakso sintetis ……......
Gambar 9. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap WHC bakso sintetis ………………...
Gambar 10. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap rendemen protein bakso sintetis ……
Gambar 11. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap tektur bakso sintetis ……………….
vii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7
7
14
16
35
37
40
43
47
49
51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa
Lampiran 2. Lembar Kuisioner.
Lampiran 3. Perincian Hasil Analisa Kadar Air
Lampiran 4. Perincian Hasil Analisa Kadar Protein
Lampiran 5. Perincian Hasil Analisa Kadar Lemak
Lampiran 6. Perincian Hasil Analisa Kadar Pati
Lampiran 7. Perincian Hasil Analisa Kekenyalan
Lampiran 8. Perincian Hasil Analisa Kadar Rendemen
Lampiran 9. Hasil analisa tekstur (mm/gr.dtk)
Lampiran 10. Uji Organoleptik Rasa
Lampiran 11. Uji Organoleptik Warna
Lampiran 12. Uji Organoleptik Tekstur
Lampiran 13. Perincian Data kapasitas Bakso Sintetis
Lampiran 14. Penghitungan Modal Perusahaan
Lampiran 15. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun
Lampiran 16. Perhitungan Keuntungan Produksi Bakso Sintetis
Lampiran 17. Perhitungan Payback Period dan Break Event Point Produksi Bakso
Lampiran 18. Laju Pengembalian Modal
Lampiran 19. Net Present Value dan Gross B/C
Lampiran 20. Laporan Rugi Laba Selama Umur Ekonomis Proyek (5 tahun)
viii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
PEMBUATAN BAKSO SINTETIS DENGAN
PENAMBAHAN MINYAK WIJ EN
APRIANTI RAHMADANI
NPM : 0733010021
INTISARI
Bakso daging sintetis merupakan salah satu produk yang dibuat
dengan menggunakan bahan – bahan protein nabati, dalam hal ini adalah
gluten yang ditambahkan dengan bahan lain untuk meningkatkan nilai gizinya.
Pada pembuatan bakso sintetis ini, dilakukan penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen. Penggunaan kedua bahan inni bertujuan untuk menciptakan
suatu produk bakso yang memiliki kadar protein tinggi, cita rasa dan tekstur
yang disukai konsumen. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor
pertama proporsi gluten : tepung kedelai (80:20,70:30 dan 60:40) dan faktor
kedua : penambahan minyak wijen ( 5%, 10%, 15%).
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai 70:30 dan penambahan minyak wijen 15% menghasilkan bakso yang
dapat diterima konsumen. Perlakuan tersebut menghasilkan kadar air
52,053%, kadar protein 20,024%, kadar lemak 9,556%, kadar pati 34,498%,
WHC 53,410%, kekenyalan 14,03 mm/gr.dtk, rendemen 272,23%, warna
(suka) 70, rasa (suka) 120,5 dan tekstur (suka) 116. Analisa finansial dari
perlakuan terbaik adalah sebagai berikut : kapasitas produksi 4680 kg/tahun,
nilai BEP 23,19% dari total produksi, harga pokok Rp. 3.050,-/bungkus; nilai
Payback Periode (PP) 2,9 tahun; nilai NPV Rp. 27.771.493-.; nilai Gross B/C
1,0337 dan nilai IRR 22,45% .
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bakso merupakan jenis makanan yang sangat popular di Indonesia,
ditemui di restoran sampai pedagang keliling. Di negara lain produk sejenis bakso
dikenal dengan nama “meatball”. Beberapa istilah yang diberikan menurut
Fulton,1983 antara lain: party meatballs, polpette (Italian meatballs), Morrocan
meatballs, Konigsberger klopse (meatball in Lemon and Caper Sauce), Curried
koptas (Indian meatball), Porcupines, Smoked Chinese meatballs, Swedish
meatball (Hamilton,1977) dan Ninh Hoa Grilled meatballs (Doung dan
Kiesel,1981).
Bakso biasanya terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan,
dicampur dengan bahan – bahan lainnya, dibentuk bulatan – bulatan, dan
selanjutnya direbus. Daging yang digunakan biasanya berupa daging sapi ataupun
ayam, akan tetapi saat ini mulai terjadi pergeseran gaya hidup masyarakat dimana
masyarakat mulai sadar untuk memperhatikan pola makan mereka. Banyak orang
yang sekarang mulai mengurangi mengkonsumsi daging untuk menghindari
kolesterol yang dapat menyebabkan penyakit jantung maupun darah tinggi
sehingga sekarang orang beralih ke makanan yang berasal dari nabati
(vegetarian).
Di Indonesia sendiri masih jarang ditemukan adanya penjual bakso
maupun restoran yang menjual bakso dari bahan utama bukan daging. Oleh
karena itu adanya bakso yang berbahan utama daging sintetis diharapkan dapat
1
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2
memberikan variasi pengolahan bakso sekaligus memenuhi pola makan bagi para
vegetarian.
Daging sintetis sebagai bahan baku bakso sintetis, sebagian besar terbuat
dari protein kedelai, konsentrat atau isolat protein kedelai, yang diproses menjadi
protein pekar (Texturized Vegetable Protein) atau protein pintal dengan
penambahan bahan pengikat, flavour, pewarna, stabillizer, dan suplementasi zat
gizi (Wolf dan Cowan,1971 dalam Koswara 1995) dan produk – produknya dapat
berupa bacon sintetis, daging asap sintetis, ham sintetis, dll (Koswara,1995).
Pembuatan daging sintetis dari protein kedelai memerlukan proses yang
rumit dan sampai saat ini produk – produk daging sintetis dari protein kedelai
harga jualnya cukup tinggi. Oleh karena itu, diupayakan pembuatan daging
sintetis dari bahan yang sama tetapi dengan metode yang lebih sederhana.
Pembuatan bakso sintetis sebelumnya pernah dibuat dengan menggunakan gluten
dan tepung tempe (Kurniawati,2009). Namun pembuatan bakso sintetis yang akan
dipergunakan pada penelitian ini yaitu pembuatan bakso sintetis dari proporsi
antara tepung kedelai : gluten dan minyak wijen. Penggunaan gluten dan tepung
kedelai dimaksudkan untuk meningkatkan nilai gizi bakso yang dihasilkan
sedangkan penggunaan minyak wijen ini untuk memperbaiki citarasa, tekstur, dan
menambah nilai gizi bakso sintetis.
B. Tujuan Penelitian
•
Mempelajari pengaruh proporsi tepung kedelai : gluten dengan minyak
wijen terhadap kualitas bakso sintetis.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3
•
Mendapatkan perlakuan terbaik dari penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen untuk menghasilkan bakso sintetis yang bermutu baik,
disukai konsumen dan memiliki kadar protein yang tinggi
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk diversifikasi pangan bagi orang
yang menghindari konsumsi daging (vegetarian) maupun alergi terhadap daging
hewan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
A. Bakso
Salah satu jenis produk olahan daging yang mempunyai aseptabilitas dan
nilai gizi yang cukup tinggi adalah bakso. Bakso merupakan salah satu produk
hasil pengolahan daging. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bakso
adalah daging (ikan, sapi, dan lain - lain), tepung tapioka, dan bumbu - bumbu
yaitu: garam, lada, dan bawang putih (Wibowo, 1995).
Bakso merupakan emulsi minyak dalam air, terjadi bila emulsifier lebih
terikat pada air atau lebih larut dalam air, maka dapat membantu terjadinya
dispersi minyak dalarn air (o/w), sehingga bakso bersifat elastis (Soeparno, 1992).
B. Bakso sintetis
Bakso sintetis merupakan bakso yang dibuat tidak menggunakan daging
hewani melainkan dari daging sintetis (meat – analog). Berdasarkan Peraturan
Menkes RI No 330/Menkes/Per/XI/1973. Daging sintetis yang termasuk makanan
buatan merupakan makanan yang diolah dari bahan mentah dengan maksud dan
tujuan untuk meniru suatu makanan alami yang pada dasarnya tidak terdapat
dalam makanan yang ditiru tersebut. Berdasarkan batasan diatas maka daging
sintetis adalah daging yang dibuat dari bahan bukan daging tetapi sesuai atau
mirip benar dengan sifat – sifat daging asli. Daging sintetis (meat – analog)
dibuat dari protein gluten maupun protein kedelai :
4
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
5
1. Daging sintetis dari gluten
Gluten pertama kali ditemukan pada awal abad ke -7 M oleh Pendeta
Budha di Tiongkok. Ketika itu para pendeta yang enggan meninggalkan
kelezatan daging berupaya keras menemukan protein nabati sebagai subtitusi
daging karena di dataran tiongkok banyak terdapat
lahan gandum. Para
pendeta tersebut akhirnya bereksperimen dengan membuat adonan sederhana
dari tepung gandum dan air. Saat meremas dan mengolah adonan itu dalam
bak air, mereka menemukan sesuatu yang baru. Ternyata tepung kanji itu
hanyut di dalam air. Semakin keras digiling dan diremas, semakin banyak
tepung kanji yang terpisah dan larut dalam air. Hasilnya , tersisa sebuah bahan
yang kenyal dan mengandung protein yang cukup tinggi. Setelah dimasak
dengan kaldu beraneka rasa selama beberapa waktu, bahan kenyal yang
kemudian dikenal dengan nama gluten ini berubah wujud menjadi bahan
bertekstur lembut mirip daging.
Bahan makanan jenis baru yang disebut dengan mien ching ini ternyata
juga bisa diolah menjadi sosis tradisional Cina. Bahkan bisa menggantikan
peran daging asap, daging ayam dan makanan berprotein hewani lainnya.
Bersamaan dengan perkembangan agama Budha ke berbagai negara gluten
juga ikut menyebar ke Jepang. Di negeri sakura ini mien ching diolah dengan
gaya musashi, yakni dicampur dengan kaldu yang terbuat dari shoyu alias saus
kedelai, kombu (rumput laut) dan jahe. Orang – orang Jepang bahkan
memberi nama mien ching nama baru yaitu fu atau seitan (Bangun, 2003).
Menurut Buckle (1987), gluten sebagai bahan dasar daging sintetis berada
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
6
dalam bentuk kering maupun basah. Gluten basah mempunyai daya simpan
terbatas karena mudah ditumbuhi mikroba, sementara gluten kering lebih
tahan. Baik gluten basah maupun kering mempunyai kandungan nutrisi
sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Daftar Komposisi Gluten
Air (%)
Protein(%)
Lemak(%)
Gluten basah
70
22
2
Gluten kering 10
72
4
Sumber: Buckle,1987
Karbohidrat(%)
6
14
Pada Tabel 2.1 diketahui bahwa kadar air gluten basah lebih tinggi
daripada gluten kering, karena alasan tersebut maka glutan basah memiliki
daya simpan terbatas. Selain itu, kandungan nutrisi gluten kering lebih tinggi
bila dibandingkan dengan gluten basah sehingga dalam pembuatan daging
sintetis lebih banyak digunakan gluten kering.
Tabel 2.2. Daftar Komposisi Asam Amino Gluten (gm per16 gm N)
Kandungan
Gliadin
Glutenin
Tryptophan
0,7
2,2
Lysine
0,5
1,5
Histidine
1,6
1,7
Ammonia
4,7
3,8
Argininine
1,9
3,0
Aspartic acid
1,9
2,7
Treonine
1,5
2,4
Serin
3,8
4,7
Glutamic acid
41,1
34,2
Proline
14,3
10,7
Glycine
1,5
4,2
Alanine
1,5
2,3
Cystine (half)
2,7
2,2
Valine
2,7
3,2
Methionine
1,0
1,3
Isoleucine
3,2
2,7
Leucine
6,1
6,2
Tyrosine
2,2
3,4
Phenylalaninne
6,0
4,1
Sumber:Inglett (1974)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7
Menurut Suhardi (1988), ikatan disulfida dalam gluten gandum berperan
penting dalam pembentukan ikatan penghubung (crosslinking) rantai – rantai
polipeptida. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
-S-S-
-S-S--
-S-S-
-S-S-
-S-S-S-S-
Intramolekuler
(protein gandum)
-S-S-
-S-S-
--
Intramolekuler & crosslink linear
(glutenin gandum)
Gambar 1. Pembentukan ikatan penghubung gluten
Gambar 2. Scanning electron micrograph gluten (Mc Williams,2001)
Pembentukan ikatan disulfida dalam suatu peptida melibatkan 2 tahap:
•
Tahap 1 : oksidasi gugus sulfihidril untuk membentuk sulfida.
•
Tahap 2 : pengaturan kembali ikatan sehingga membentuk struktur
yang lebih stabil.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
8
Ikatan disulfida berpindah dari satu posisi ke posisi lain melalui reaksi
pertukaran disulfida. Ikatan disulfida ini menyebabkan struktur menjadi lebih
kompak dan elastis (Mc Gilvery,1975). Adanya ikatan disulfida inilah yang
menyebabkan adonan menjadi elastis. Segera setelah gluten mengembang
dalam adonan, gluten dapat dipisahkan dari konstituen lain dalam tepung
terutama butir – butir pati yang ada pada tepung dengan jalan mencucinya
dalam air dingin. Dari hasil pencucian diperoleh gluten kasar yang masih
mengandung sedikit butir – butir pati dan 2/3 bagian air.
Pembuatan daging sintetis dari gluten ini pada awalnya menggunakan
tepung gandum (terigu) yang ditambahkan dengan kedelai dan albumin (putih
telur) akan tetapi pada perkembangannya daging sintetis dibuat dengan
menggunakan isolat protein kedelai (Whittaker,1977).
2. Daging sintetis dari kedelai
Daging sintesis dari kedelai bisa terbuat dari tepung, konsentrat, dan
isolat protein kedelai. Produk ini pertama kali dibuat oleh Husden dan Hoer
tahun 1972. Untuk membuat daging tiruan, tepung, konsentrat, maupun isolat
protein kedelai terlebih dahulu diolah menjadi protein pekar (TVP / Texturized
Vegetable Protein) atau protein pintal (SPV / Spun Vegetable Protein). Protein
pekar
dan
pintal
merupakan
daging
tiruan
dalam
bentuk
kering
(Uransyah,2011).
Meat analog mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain nilai gizi
cukup, lebih homogen dan lebih awet disimpan, dapat diatur hingga tidak
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
9
mengandung lemak hewani dan harganya lebih murah. Dibandingkan dengan
daging asli, daging tiruan mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain:
•
lebih homogen dan tahan lama disimpan (dalam bentuk keringnya)
•
dapat dibuat tidak mengandung lemak hewani atau kolesterol
•
tinggi kandungan asam lemak tidak jenuhnya sehingga baik untuk
kesehatan dan harganya lebih murah (30 - 50 persen harga daging asli)
•
teksturnya dapat dirasakan oleh mulut sebagai butiran atau serabut daging
asli
•
kekerasan atau keempukannya dapat diatur menurut kehendak konsumen
dengan mengatur penambahan air
•
dapat menyerap sari daging (yang biasanya keluar jika daging asli
dimasak) jika dicampur dengan daging asli dan dimasak
•
dapat diolah menjadi berbagai produk olahan daging seperti sosis, sarung
sosis (cassing), hamburger, daging rendang, meat loaf, meat ball, beef
steak, bakso, opor dan produk-produk lainnya.(Santoso,2005)
Protein pekar mempunyai kadar air 5 - 7 persen sehingga stabil dalam
penyimpanan dan pengangkutan. Tetapi bila telah dibasahkan atau direhidrasi
akan mekar dan harus ditangani seperti daging asli karena mudah rusak. Untuk
membuat protein pekar, mula-mula konsentrat protein kedelai dibuat adonan
dengan penambahan air ke dalam adonan tersebut dapat pula ditambahkan
bahan pengikat, stabillizer (pemantap), cita rasa (flavour) dan warna.
Kemudian pH adonan diatur menjadi 7,3 - 7,8 dengan penambahan natrium
bikarbonat. Dengan pemberian tekanan, adonan dipaksa melalui suatu heat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
10
exchange zone (sejenis ekstruder bertekanan tinggi) dan keluar melalui
lubang-lubang dengan diameter 1 mm sehingga terbentuk serabut - serabut
protein kedelai yang kemudian diikuti dengan pendinginan. Selanjutnya
dilakukan pengeringan sampai kadar air 5 - 7 persen, lalu dibuat butiran atau
tepung, dikemas dan disimpan (Uransyah, 2011).
Protein pintal umumnya dibuat dari isolat protein kedelai. Salah satu
sifat yang sangat menarik dari isolat protein kedelai ialah kemampuannya
untuk membentuk serat - serat atau benang-benang jika dipintal dalam larutan
asam Proses inilah yang kemudian berkembang menjadi proses yang sangat
penting dalam industri daging sintetis. (Santoso,2005).
Untuk membuatnya, mula-mula isolat protein kedelai dilarutkan dalam
larutan natrium bikarbonat encer atau basa lain sehingga membentuk larutan
kental. Kemudian cairan protein kental ini dipompa dan dilewatkan pada plat
platina yang mempunyai beribu-ribu lubang dengan diameter 1 mm. Benangbenang protein yang terbentuk kemudian dilewatkan ke dalam larutan asam
klorida encer sehingga membentuk benang - benang halus, ditarik dan dipintal
(dalam alat pemintal khusus). Suhu air pencuci dapat diatur sesuai dengan
tekstur daging tiruan yang diinginkan (Santoso,2005).
Protein kedelai yang sudah bertekstur seperti daging ini, dengan mudah
diberi rasa, warna serta vitamin sehingga menyerupai daging asli, kemudian
dibentuk, dikeringkan dan dikemas. Sebenarnya TVP dan SVP sudah
merupakan daging tiruan, hanya dalam bentuk kering sehingga awet disimpan.
Untuk menjadi daging tiruan basah, kedua produk tersebut dapat ditambah air
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
11
(direhidrasi) sehingga menyerap air sebanyak 2 -3 kali beratnya. Biasanya air
yang ditambahkan dalam bentuk emulsi dengan minyak hewani atau nabati
yang dapat dibuat dengan menggunakan emulsifier. (Santoso,2005)
Daging sintetis atau yang dikenal dengan nama meat analog,
mempunyai beberapa keistimewaan antara lain gizi yang lebih baik, lebih
homogen dan yang penting lagi lebih tahan simpan. Kadang – kadang bahkan
tidak memerlukan penyimpanan dingin, dan dapat dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak mengandung lemak hewani, sedang harganya dapat ditekan
serendah mungkin (Koeswara,1995).
Karakter istik daging sintetis
Selama proses pengolahan atau pembuatan daging sintetis terjadi
perubahan – perubahan baik secara kimia maupun fisik. Perubahan tersebut antara
lain:
1. Perubahan Kadar Air (KA)
Selama proses pengolahan, daging sintetis mengalami penurunan kadar
air. Penurunan kadar air disebabkan karena pengaruh pencampuran gluten
dengan bahan – bahan lain dalam adonan sehingga menyebabkan molekul air
dalam gluten bergerak lebih cepat dan mudah terikat pada molekul – molekul
lain melalui suatu ikatan hidrogen. Menurut Winarno (2004), molekul air akan
membentuk hidrat dengan molekul lain yang mengandung atom - atom O dan
N seperti karbohidrat, protein dan garam sehingga air tidak dapat membeku
pada proses pembekuan tetapi dapat dihilangkan dengan cara pengeringan
biasa.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
12
2. Perubahan Kadar Protein
Menurut Sudarmadji, dkk (1996), molekul protein tersusun atas mata
rantai asam – asam amino. Asam amino merupakan senyawa yang memiliki
satu atau lebih gugus karboksi (- COOH) dan gugus amino (-NH2). Asam
amino yang berbeda – beda akan berikatan melalui suatu ikatan peptide.
3. Perubahan Tekstur
Perubahan kadar air daging sintetis akan mempengaruhi tekstur daging
sintetis yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi menyebabkan daging sintetis
menjadi cenderung lunak. Selain itu, tingkat kekerasan daging sintetis
dipengaruhi oleh kadar serat kasar daging sintetis. Serat kasar yang terdiri atas
selulosa akan membentuk rantai yang panjang dan kaku dalam bahan pangan.
Tekstur berserat pada daging sintetis disebabkan karena pembentukan benang
– benang fibril oleh protein gluten jika ditambahkan dengan air (de
Mann,1977).
4. Perubahan Cita Rasa
Proses pemanasan menyebabkan protein dalam bahan pangan mengalami
perubahan dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain yang membentuk
senyawa rasa (glutamine acid) (Sudarmadji,1996). Cita rasa daging sintetis
disebabkan karena lemak yang ditambahkan (dalam hal ini adalah lemak
nabati) karena lemak dapat meningkatkan kelezatan selain itu juga disebabkan
oleh penggunaan bumbu – bumbu yang ditambahkan.
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2009)
tentang bakso sintetis, hasil terbaik dengan kadar protein total 21,59%, kadar air
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
13
60,41%, kadar pati 15,44% diperoleh pada perlakuan proporsi gluten – tempe 80:
20 dan tapioka 10%.
Tahapan pembuatan bakso sintetis campuran gluten – tempe adalah
sebagai berikut:
a. Persiapan bahan
Menimbang bahan baku diantaranya gluten, tepung tempe ( gluten : tepung
tempe = 80:20) dan tepung tapioka 10 % (b/b)
b. Pencampuran
Mencampur semua bahan dan penambahan bumbu – bumbu diaduk sampai
terbentuk adonan.
c. Pencetakan
Adonan yang telah dicampur, dicatak berbentuk seperti bola – bola bakso
dengan 15 gram perbutir.
d. Perebusan
Selanjutnya direbus dalam air mendidih sampai bakso mengapung atau masak.
e. Penirisan dan pendinginan
Setelah itu diangkat, ditiriskan dan didinginkan pada suhu ruang.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
14
Proporsi
Gluten : Tempe
80:20
70:30
60:40
Pencampuran
Adonan
Pencetakkan
Perebusan
Penirisan dan Pendinginan
Bakso sintetis
Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso sintetis (Kurniawati, 2011).
C. Tepung kedelai
Menurut Koswara (1992), tepung kedelai kaya akan kandungan asam
amino
lisin
dan
leusin.
Tingginya
asam
amino
ini
berguna
untuk
menyempurnakan kandungan asam amino pada gluten yang rendah akan lisin
(Inglett, 1974). Tepung kedelai memiliki kadar lesitin sebesar 20 – 22%
(Hartomo,1992).
Tepung kedelai dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan
kandungan lemaknya, yaitu tepung kedelai berlemak penuh dan tepung kedelai
berlemak rendah. Dalam pembuatan tepung kedelai, proses pemanasan
(perebusan,
pengukusan,
atau
penyangraian)
merupakan
tahap
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
penting.
15
Pemanasan ini berakibat antitripsin dan enzim lipoksigenase menjadi tidak aktif,
sehingga tepungnya menjadi bergizi tinggi dan tidak berbau langu.
Jenis tepung
kedelai
Tabel 2.3 Komposisi kimia Tepung Kedelai
Minyak
Protein
Karbohidrat
(%BK)
(%BK)
(%BK)
Abu
(%BK)
Deffated soyflour
1,0
54,0
38,0
6,0
Fullfat soyflour
20,0
40,0
35,0
5,0
Sumber : Waggle dan Kolar (1979) dalam Winarno (2004)
Menurut Inglett (1972), Somaatmadja dkk (1985), dan Koswara (1992),
tepung kedelai dapat digunakan sebagai bahan pembuat daging sintetis (bakso).
Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat fungsional pada protein kedelai seperti
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sifat fungsional protein kedelai dalam produk daging sintetis
Sifat fungsional
Fungsi
Kohesi – adhesi*
Bahan pengikat
Pengikat flavor*
Penyerapan
Penyerapan dan
Ikatan hidrogen dari H2O
pengikat air**
Elastisitas **
Ikatan disulfide
Gel **
Pembentukan dan pengendapan matriks protein
Sumber : Kinsella (1979) dalam Somaatmadja dkk*(1985) dan Koswara**(1995)
Menurut Koswara (1995), pembuatan tepung kedelai adalah sebagai
berikut:
a. Sortasi
Mula-mula kedelai disortasi untuk memilih kedelai yang baik dan
membuang benda asing dan kedelai yang rusak atau pecah.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
16
b. Perendaman
Kedelai direndam selama 8 - 16 jam dan direbus 30 menit. Setelah itu,
kedelai ditiriskan dan dipisahkan kulitnya.
c. Pengeringan
Kedelai dikeringkan dengan dijemur atau menggunakan oven dengan suhu
50 – 60 °C.
d. Penggilingan
Kedelai digiling halus sehingga diperoleh tepung kedelai.
Kedelai
Sortasi
Perendaman
Perebusan
Penirisan dan pendinginan
Pengeringan
Penggilingan
Tepung Kedelai
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung kedelai (Koswara, 1992).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
17
D. Emulsi
Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain,
yang molekul – molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tapi saling
antagonistik. Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu:
1. Bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir – butir yang biasanya terdiri
dari lemak.
2. Media pendispersi yang juga dikenal sebagai continous phase (terdiri dari
air).
3. Emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi
di dalam air.
Senyawa ini molekul – molekulnya mempunyai afinitas terhadap kedua cairan
tersebut. Daya afinitasnya harus parsial dan tidak sama terhadap kedua cairan itu
(Winarno, 2004).
E. Minyak wijen
Wijen (Sesamum indicum) dikenal juga dengan nama : till, gingelly,
simsin dan ajonjoli (di Amerika Latin). Minyak wijen mengandung zat tidak
tersabunkan dalam jumlah relatif tinggi tetapi kandungan tertinggi adalah sterol
dan zat – zat yang tidak dapat dipisahkan dengan pemurnian, sedangkan kadar
bahan non minyak lainnya relatif rendah (Ketaren, 1986).
Minyak wijen mengandung kurang lebih 0,3 – 0,5 persen sesameoline
fenol berikatan 1-4 yang dikenal sebagai sesamol dan sesamin sekitar 0,5- 0,1
persen. Sesamol dihasilkan dari hidrolisa sesamoline dan merupakan suatu
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
18
antioksidan (Bailey, 1964). Minyak wijen juga mengandung asam – asam lemak
yaitu oleat dan linoleat, palmitat, dan stearat dan jumlahnya dapat dilihat pada
tabel 2.5.
Tabel 2.5 Komposisi Asam Lemak Minyak Wijen
Asam lemak
Rumus
Persen
Asam lemak jenuh
Palmitat
C16H32O2
9,1
Stearat
C18H36O2
4,3
Rachidat
C20H40O2
0,8
Asam lemak tak jenuh
Oleat
C18H34O2
45,4
Linoleat
C18H32O2
40,4
Linolenat
C18H30O2
Sumber : Hilditch (1974) dalam Ketaren (1986)
Tabel 2.6 Sifat Fisiko – Kimia Minyak Wijen
Karakteristik
Syarat
Berat jenis pada 25°C
0,916-0,921
Indeks bias pada 25°C
-1,4763
Bilangan Iod
103-112
Bilangan Penyabunan
188-193
Bilangan Reichert-Meissl
1,2
Bilangan Hehner
95,6-95,9
Campuran asam-asam lemak
Bilangan Iod
109-122
Titik beku
21-24°C
Titik cair
21-31,5°C
Sumber : Hilditch (1947)
Minyak yang dihidrogenasi mempunyai stabilitas yang tinggi dan tahan
terhadap ketengikan sehingga dapat digunakan sebagai bahan pencampur minyak
lain, terutama dalam pembuatan mentega putih dan margarine (Jamieson, 1943).
Wijen mempunyai nilai gizi yang baik karena kandungan proteinnya cukup tinggi
yaitu sebesar 19,3 persen, juga mengandung asam lemak essensial yang
dibutuhkan oleh tubuh seperti oleat dan linoleat, sehingga wijen merupakan salah
satu sumber lemak nabati yang baik. Minyak wijen mengahsilkan kalori yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
19
tinggi yaitu sekitar 902 kalori/100 gr, wijen juga mengandung vitamin B1 dan
vitamin C yang berfungsi sebagai zat pelindung tubuh manusia (Ketaren, 1986).
F. Air
Air dapat berupa komponen intrasel atau ekstrasel dalam sayuran dan
produk hewani, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk
yang diemulsi dan sebagai komponen tambahan dalam makanan lain (De
Mann,1997).
Air berfungsi mendistribusikan komponen atau bahan dasar dari adonan
yang homogen. Bila air yang digunakan terlampau sedikit akan menyebabkan
adonan kaku dan kurang kohesif, sedangkan bila terlampau banyak akan
meyebabkan adonan lembek sehingga tidak dapat dibentuk dan dicetak
(Pomeranz, 1985).
G. Tepung tapioka
Bahan lain yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah tapioka.
Untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi, jumlah tepung
yang digunakan sebaiknya paling banyak 15 % dari berat daging. Idealnya tepung
tapioka yang ditambahkan sebanyak 10 % dari berat daging (Wibowo, 2006).
Menurut Makfoeld (1982), tepung tapioka adalah granula - granula yang
terdapat di dalam umbi ketela pohon. Adapun komposisi kimia tepung tapioka
dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
20
Tabel 2.7. Komposisi Kimia Tepung Tapioka
Komposisi
Kalori (per 100 g)
Karbohldrat (%)
Protein
Lemak
Air (%)
Kalsium (mg/ 100 g)
Fosfor (mg/100 g)
Fe (mg/100 g)
Vitamin B I (mgl 100 g)
Vitamin C (mg/ 100 g)
Surnber: Makfoeld (1982)
Jumlah
307,00
88,20
1,10
0,50
9,10
84,00
125,00
1,00
0,04
0,04
Pada pernbuatan bakso terjadi proses gelatinisasi dari tapioka yaitu yang
rnempunyai sifat mudah menyerap air dan air yang diserap pada saat temperatur
meningkat. Jika pati dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan
granula ini mulai menggelembung. Ini terjadi saat suhu gelatinisasi tepung
tapioka antara 52 - 64 0C (Winamo, 2004).
H. Bahan tambahan
1. Garam
Garam yang digunakan pada pengolahan makanan adalah NaCL (Natrium
Chlorida). Penambahan garam pada pengolahan makanan bertujuan untuk
menambah citarasa. Makanan yang kurang dari 0,3% NaCl akan terasa
hambar dan kurang disenangi. Jumlah garam yang biasanya ditambahkan
untuk konsumsi adalah 2,5 – 3% (Winarno, 2004).
2. Gula
Gula yang biasa digunakan pada pengolahan makanan adalah jenis
sukrosa (kristal). Sukrosa adalah disakarida yang tersusun dari D – glukosa
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
21
dan D – fruktosa (De Mann,1997). Gula merupakan pemberi citarasa manis
pada suatu bahan makanan (Wiriono, 1894).
3. Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum L) merupakan umbi lapis yang juga
berfungsi sebagai bumbu masak atau penyedap masakan, mempunyai aroma
yang sedap karena adanya senyawa methyl – allyil – disulfide (Lamina, 1989).
4. Merica
Merica merupakan biji yang dihasilkan oleh tanaman lada (piperningrum)
mempunyai 2 sifat khas yaitu aroma yang khas dan rasa pedas yang
disebabkan oleh adanya zat piperanim. Piperanim dan chavicin, dua zat ini
yang menyebabkan merica digunakan sebagai penyedap / peningkat rasa
masakan (Rismunandar,1986).
I. Analisa Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih
tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan
adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan
guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1987).
Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur logis dan
kuantitatif yang tidak hanya menjelaskan mengenai proses pengambilan
keputusan
tetapi
merupakan
suatu
cara
untuk
membuat
(Admosudirjo,1987)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
keputusan
22
Pada penelitian ini, pemilihan perlakuan terbaik didasarkan pada hasil
analisa daging sintetis yang mempunyai mutu terbaik, baik dari segi fisik, kimia
dan organoleptik.
J . Analisa Kelayakan Finansial
Analisa kelayakan financial adalah analisa yang melihat suatu proyek dari
sudut lembaga atau badan – badan yang mempunyai kepentingan langsung dari
proyek atau yang menanamkan modal ke dalam proyek tersebut. Analisa
kelayakan adalah analisa yang ditunjukkan untuk meneliti suattu proyek layak
atau tidak layak untuk proyek tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek
tertentu sehingga dapat memenuhi syarat dapat berkembang atau tidak (Susanto
dan Saneto,1994).
Pada penelitian ini, beberapa parameter yang digunakan dalam analisa
finansial antara lain :
1. Br eak Even Point (BEP) (Susanto dan Saneto,1994).
Suatu analisis yang menunjukkan hubungan antara keuntungan, volume
produksi dan hasil penjualan adalah penentuan Break Even Point (BEP) .BEP
ialah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya
biaya produksi keseluruhan sama dengan besarnya nilai / hasil penjualan atau
laba. Jadi pada keadaan tersebut perusahaan tidak mendapatkan keuntungan
dan tidak mengalami kerugian.
Penentuan BEP dapat dikerjakan secara aljabar atau grafik. Dalam
penentuan BEP secara aljabar didasarkan atas hubungan antara nilai
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
23
penjualan, biaya produksi keseluruhan (biaya tetap + biaya tidak tetap) dan
volume produksi .
Volume penjualan pokok dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
FC
BEP =
P – VC
Keterangan :
BEP = Break Even Point
FC = Biaya Tetap
VC = Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp)
Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut :
a. Biaya Titik Impas (BEP)
Biaya Tetap
BEP =
1 – (biaya tidak tetap / penjualan)
b. Presentase
BEP (Rp)
BEP (%) =
X 100 %
Penjualan
c. Kapasitas Titik Impas (BEP Unit)
Kapasitas Titik Impas = persen titik impas x kapasitas produksi
2. Net Pr esent Value (NPV) (Susanto dan Saneto,1994).
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai permintaan sekarang
dengan nilai biaya sekarang. Bila dalam analisa diperoleh nilai NPV lebih
besar dari 0 (nol), berarti nilai proyek layak dilaksanakan, jika dalam
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
24
perhitungan diperoleh nilai NPV lebih kecil dari 0 (nol) , maka proyek
tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.
Bt - Ct
Rumus NPV :
NPV = ∑
(1+i )t
Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
t = 1, 2, 3, … , n
n = Umur ekonomis dari pada proyek
i = Social discount rate
3. Payback Per iode (PP) (Susanto dan Saneto,1994).
Payback Periode (PP) merupakan perhitungan jangka waktu yang
dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang ditanam pada proyek. Nilai
tersebut dapat berupa presentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan).
Payback Periode (PP) tersebut harus lebih kecil dari nilai ekonomis.
I
Rumus PP : PP =
Ab
Keterangan :
I = Jumlah modal
Ab = Penerimaan bersih perbulan atau tahun
4. Inter nal Rate Of Return (Susanto dan Saneto,1994).
Internal rate of Return adalah tingkat suku bunga yang menunjukkan
persamaan antara nilai penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
25
(modal) awal dari suatu proyek yang sedang dikerjakan. Kriteria ini
memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih bila nilai IRR lebih besar
dari nilai suku bunga yang berlaku, sedangkan bila IRR lebih kecil dari suku
bunga yang berlaku maka proyek tersebut dinyatakan
tidak layak untuk
dilaksanakan.
Rumus perhitungan IRR adalah sebagai berikut :
NPV
IRR = i +
( i’ - i )
NPV – NPV’
Keterangan :
NPV =
NPV positif hasil percobaan nilai
NPV’ =
NPV negative hasil percobaan nilai
i
= Tingkat bunga
5. Gr oss Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto,1994).
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) merupakan perbandingan
antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah dirupiahkan sekarang
(present value) .
Pendapatan
Nilai B/C Ratio =
Biaya produksi
K. Landasan Teori
Bakso merupakan emulsi minyak dalam air, terjadi bila emulsifier lebih
terikat pada air atau lebih larut dalam air, maka dapat membantu terjadinya
dispersi minyak dalarn air (o/w), sehingga bakso bersifat elastis. Emulsi adalah
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
26
suatu sistem dua fase yang terdiri dari suatu dispersi dua cairan yang tidak dapat
bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain (Soeparno, 1992).
Mekanisme terjadinya emulsi bakso daging sapi yaitu adanya partikel
protein dan air membentuk suatu matrik yang menyelubungi globula – globula
lemak. Protein miofibrillar yaitu aktin dan myosin merupakan agensia pengemulsi
pada daging sapi (Soeparno,1992).
Bakso sintetis harus memenuhi kriteria bakso daging sapi pada umumnya
yaitu adanya mekanisme emulsi oil in water (o/w). Air sebagai fase pendispersi,
lemak sebagai fase terdispersi dan lipoprotein sebagai emulsifier (pengemulsi)
(Kurniawati,2009).
Gluten adalah suatu massa yang kohesif dan viskoelastis yang dapat
meregang secara elastis (Pomeranz,1971). Penggunaan gluten sebagai bahan
utama dikarenakan gluten sering juga disebut dengan daging sintetis karena
kandungan protein dan teksturnya kenyal seperti daging hewan. Gluten
berdasarkan berat kering terdiri atas 75 - 85% protein, 5 – 10% lemak, 8 – 10%
residu pati, 1 - 2% gula reduksi, 2% selulosa dan 1% mineral. Komponen –
komponen penyusun yang berbeda ini akan berikatan membentuk jaringan yang
kuat dan rapat, namun memiliki elastisitas yang tinggi (Gordon,1993). Salah satu
fungsi gluten adalah memberikan kekuatan dan kestabilan adonan serta volume
produk (Desrosier,1988). Karbohidrat yang terdapat pada gluten kebanyakan tidak
larut air, tetapi berkemampuan mengikat dan menahan air dalam jumlah yang
besar. Sementara lipid membentuk kompleks lipoprotein dengan gluten. Protein
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
27
yang berasosiasi dengan lipid bertanggungjawab terhadap sifat – sifat kohesif dan
viskositas adonan (Belitz dan Grosh,1987).
Kedelai ditambahkan dengan tepung terigu dan albumin pada putih telur
digunakan sebagai meat analog sederhana (Whitaker, 1977). Kedelai dijuluki susu
nabati dijadikan sumber dan bahan baku zat pengemulsi, kedelai memang
kekurangan sistein dan metionin tetapi kaya lisin, leusin, asam glutamat dan
arginina, bersaing dengan telur, susu, dan daging (Hartomo, 1992). Penggilingan
kedelai perlu dilakukan bertujuan untuk membentuk emulsi protein kedelai dan
lemak yang merata. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara memotong –
motong bahan serta mencacah pada saat persiapan larutan protein, serta turut
membantu terbentuknya emulsi (Koswara,1995).
Lesitin merupakan pengemulsi alami yang berasal dari bahan nabati
sedangkan lipoprotein adalah pengemulsi yang berasal dari bahan makanan
hewani seperti susu dan telur (Hartomo,1992). Pengemulsi merupakan senyawa
aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antarpermukaan antara
antarmuka udara – cairan dan cairan – cairan. Kemampuan ini merupakan akibat
dari struktur molekul pengemulsi: molekulnya mengandung dua bagian yang
jelas, satu bagian mempunyai sifat polar (hidrofil), bagian yang lain bersifat non
polar (hidrofob) (de Mann,1997). Lesitin mempunyai sifat sebagai emulsifier
dalam pembentukkan emulsi. Kandungan lesitin dalam kedelai merupakan protein
konjugasi yaitu yang dapat berikatan dengan senyawa lain. Peranan lesitin sebagai
pengemulsi adalah mengoptimumkan dispersi lemak pada fase berair (Koswara,
1995) .
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
28
Penambahan minyak wijen dalam adonan bakso dapat berfungsi untuk
memperbaiki cita rasa, tekstur, dan menambah nilai gizi bakso sintetis. Minyak
wijen mengandung lemak nabati dan memiliki sifat tidak dapat memisah sehingga
kekentalannya baik (Ketaren,1986). Minyak wijen mengandung asam lemak
linoleat tinggi yang merupakan salah satu asam lemak essensial yang tidak dapat
disintesis oleh tubuh (Anonimous,1996). Minyak yang dihirogenasi mempunyai
stabilitas tinggi dan tahan ketengikan (Jamieson,1943 dalam Ketaren, 1986).
Protein wijen sangat baik untuk dikonsumsi karena memiliki sifat unik yaitu
kandungan asam amino sulfur (metionin dan sistin ) yang lebih tinggi dibanding
kedelai (Esminger,1994).
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2009)
tentang bakso sintetis, hasil terbaik dengan kadar protein total 21,59%, kadar air
60,41%, kadar pati 15,44% diperoleh pada perlakuan proporsi gluten – tempe 80:
20 dan tapioka 10%.
L. Hipotesa
Diduga proporsi tepung kedelai – gluten dan penambahan minyak wijen
berpengaruh nyata terhadap kualitas bakso sintetis.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB III
BAHAN dan METODE
A . Tempat dan Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan,
Laboratorium Analisa Pangan dan Laboratorium Uji Inderawi Program Studi
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan
Nasional “ Veteran “ Jawa Timur pada bulan Juli 2011 sampai November 2011.
B . Bahan
Bahan yang digunakan pada proses pembuatan bakso sintetis adalah gluten
kering dibeli di toko Sinar Yong Surabaya, tepung kedelai, air, minyak wijen,
serta bumbu – bumbu seperti : garam, gula, merica, bawang putih yang diperoleh
dari Pasar Soponyono, Surabaya
Bahan yang digunakan untuk d
DENGAN PENAMBAHAN MINYAK WIJ EN
SKRIPSI
Oleh :
APRIANTI RAHMADANI
NPM. 0733010021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
SURABAYA
2011
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
PEMBUATAN BAKSO SINTETIS GLUTEN KEDELAI
DENGAN PENAMBAHAN MINYAK WIJ EN
SKRIPSI
Oleh :
APRIANTI RAHMADANI
NPM. 0733010021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
SURABAYA
2011
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………
i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………
vi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… vii
BAB I.
PENDAHULUAN ……………………………………….……
1
A. Latar Belakang ……..……………………………………… 1
B. Tujuan penelitian ………………………………………..… 2
C. Manfaat penelitian …………………………………………. 3
BAB II.
TINJ AUAN PUSTAKA ………………………………….…..
4
A. Bakso …………………………………….………………… 4
B. Bakso Sintetis …………………………………………….... 4
C. Tepung Kedelai ……………………………………………. 14
D. Emulsi .……………………………………………………. 17
E. Minyak Wijen ……………………………………………… 17
F. Air ………………………………………………………… 19
G. Tepung Tapioka ……………………………………………. 19
H. Bahan Tambahan …………………………………………… 20
I. Analisa Keputusan …………………………………………. 21
J. Analisa Kelayakan Finansial ………………………………. 22
1. Break Even Point (BEP) ………………………………. 22
2. Net Present Value ……………………………………… 23
3. Payback Period (PP) ………………………………….
24
4. Internal Rate of Return ………………………………..
24
5. Gross Benefit Cross Ratio ……………………………..
25
K. Landasan Teori …………………………………………….
25
L. Hipotesa …………………………………………………… 28
iii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB III. BAHAN dan METODE ...…………….…………………….
29
A. Tempat dan Pelaksanaan Penelitian ………………………
29
B. Bahan …………………………………………………….
29
C. Alat ………………………………………………………
29
D. Metode Penelitian …………………………………………. 30
E. Parameter ………………………………………………….. 33
F. Prosedur Penelitian ………………………………………..
34
BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN ……………………………….
38
A. Hasil Analisa Bahan Baku ………………………………… 38
B. Hasil Analisa Bakso Sintetis ……………………………...
38
1. Kadar Air ……………………………………………..
38
2. Kadar Protein …………………………………………
41
3. Kadar Lemak …………………………………………
42
4. Kadar Pati …………………………………………….
44
5. Water Holding Capacity ………………………………
46
6. Rendemen ……………………………………………..
48
7. Tekstur ………………………………………………...
50
8. Uji Organoleptik ………………………………………
52
a. Uji hedonik rasa …………………………………… 52
b. Uji hedonik warna …………………………………
54
c. Uji hedonik tekstur ………………………………..
55
C. Analisa Keputusan ………………………………………… 56
D. Analisis Finansial …………………………………………
59
1. Kapasitas produksi …………………………………….
59
2. Biaya produksi ………………………………………...
59
3. Harga pokok produksi …………………………………
60
4. Harga jual produksi ……………………………………
60
5. Break event point ……………………………………...
60
6. Net present value ………………………………………
61
7. Payback periode ……………………………………….
61
8. Gross Benefit (Gross B/C) …………………………….. 62
iv
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB V.
9. Internal rate of return …………………………………
62
KESIMPULAN dan SARAN ………………………………..
64
A. Kesimpulan ………………………………………………..
64
B. Saran ………………………………………………………
65
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar Komposisi Gluten……………………………………. 6
Tabel 2.2 Daftar Komposisi Asam amino Gluten ……………………… 6
Tabel 2.3 Komposisi kimia Tepung Kedelai ……………………………. 15
Tabel 2.3 Sifat fungsional protein kedelai dalam produk daging sintetis . 15
Tabel 2.4 Komposisi Asam Lemak Minyak Wijen ……………………… 18
Tabel 2.5 Sifat Fisiko – Kimia Minyak Wijen……………………………. 18
Tabel 2.6. Komposisi Kimia Tepung Tapioka ............................................ 20
Tabel 4.1. Hasil Analisa bahan baku Tepung Kedelai……………………. 38
Tabel 4.2. Rerata kadar air bakso sintetis proporsi gluten:tepung
kedelai dan penambahan minyak wijen ………………………. 39
Tabel 4.3. Rerata kadar protein bakso sintetis hasil pengaruh
proporsi gluten : tepung kedelai ……………………………… 41
Tabel 4.4. Rerata kadar protein bakso sintetis hasil pengaruh
penambahan minyak wijen…………………………………….. 42
Tabel 4.5. Rerata kadar lemak bakso sintetis proporsi
gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……….. 43
Tabel 4.6. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil perlakuan
proporsi gluten : tepung kedelai ………………………………. 45
Tabel 4.7. Rerata kadar pati bakso sintetis hasil pengaruh
penambahan minyak wijen ……………………………………. 45
Tabel 4.8. Rerata WHC bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai
dan penambahan minyak wijen ……………………………….. 46
Tabel 4.9. Nilai rata –rata rendemen bakso sintetis proporsi
gluten:tepung kedelai dan penambahan minyak wijen ……….. 48
Tabel 4.10. Rerata tekstur bakso sintetis proporsi gluten:tepung kedelai
dan penambahan minyak wijen ……………………………… 50
Tabel 4.11. Nilai rata-rata uji kesukaan rasa bakso ………………………. 53
Tabel 4.12. Nilai rata-rata uji kesukaan warna bakso ……………………. 54
Tabel 4.13. Nilai rata-rata uji kesukaan tekstur bakso …………………… 56
Tabel 4.14. Tabel Analisis keputusan Bakso Sintetis……………………... 58
vi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pembentukan ikatan penghubung gluten ……………………..
Gambar 2. Scanning electron micrograph gluten ………………………..
Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso sintetis ………………………
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung kedelai …………………….
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung kedelai (Koswara, 1992)…
Gambar 6. Diagram alir pembuatan bakso sintetis gluten – kedelai …..
Gambar 7. Hubungan antara penambahan tepung kedelai
dan minyak wijen terhadap kadar air bakso sintetis ………..
Gambar 8. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap kadar protein bakso sintetis ……......
Gambar 9. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap WHC bakso sintetis ………………...
Gambar 10. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap rendemen protein bakso sintetis ……
Gambar 11. Hubungan antara penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen terhadap tektur bakso sintetis ……………….
vii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7
7
14
16
35
37
40
43
47
49
51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa
Lampiran 2. Lembar Kuisioner.
Lampiran 3. Perincian Hasil Analisa Kadar Air
Lampiran 4. Perincian Hasil Analisa Kadar Protein
Lampiran 5. Perincian Hasil Analisa Kadar Lemak
Lampiran 6. Perincian Hasil Analisa Kadar Pati
Lampiran 7. Perincian Hasil Analisa Kekenyalan
Lampiran 8. Perincian Hasil Analisa Kadar Rendemen
Lampiran 9. Hasil analisa tekstur (mm/gr.dtk)
Lampiran 10. Uji Organoleptik Rasa
Lampiran 11. Uji Organoleptik Warna
Lampiran 12. Uji Organoleptik Tekstur
Lampiran 13. Perincian Data kapasitas Bakso Sintetis
Lampiran 14. Penghitungan Modal Perusahaan
Lampiran 15. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun
Lampiran 16. Perhitungan Keuntungan Produksi Bakso Sintetis
Lampiran 17. Perhitungan Payback Period dan Break Event Point Produksi Bakso
Lampiran 18. Laju Pengembalian Modal
Lampiran 19. Net Present Value dan Gross B/C
Lampiran 20. Laporan Rugi Laba Selama Umur Ekonomis Proyek (5 tahun)
viii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
PEMBUATAN BAKSO SINTETIS DENGAN
PENAMBAHAN MINYAK WIJ EN
APRIANTI RAHMADANI
NPM : 0733010021
INTISARI
Bakso daging sintetis merupakan salah satu produk yang dibuat
dengan menggunakan bahan – bahan protein nabati, dalam hal ini adalah
gluten yang ditambahkan dengan bahan lain untuk meningkatkan nilai gizinya.
Pada pembuatan bakso sintetis ini, dilakukan penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen. Penggunaan kedua bahan inni bertujuan untuk menciptakan
suatu produk bakso yang memiliki kadar protein tinggi, cita rasa dan tekstur
yang disukai konsumen. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor
pertama proporsi gluten : tepung kedelai (80:20,70:30 dan 60:40) dan faktor
kedua : penambahan minyak wijen ( 5%, 10%, 15%).
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan proporsi gluten : tepung
kedelai 70:30 dan penambahan minyak wijen 15% menghasilkan bakso yang
dapat diterima konsumen. Perlakuan tersebut menghasilkan kadar air
52,053%, kadar protein 20,024%, kadar lemak 9,556%, kadar pati 34,498%,
WHC 53,410%, kekenyalan 14,03 mm/gr.dtk, rendemen 272,23%, warna
(suka) 70, rasa (suka) 120,5 dan tekstur (suka) 116. Analisa finansial dari
perlakuan terbaik adalah sebagai berikut : kapasitas produksi 4680 kg/tahun,
nilai BEP 23,19% dari total produksi, harga pokok Rp. 3.050,-/bungkus; nilai
Payback Periode (PP) 2,9 tahun; nilai NPV Rp. 27.771.493-.; nilai Gross B/C
1,0337 dan nilai IRR 22,45% .
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bakso merupakan jenis makanan yang sangat popular di Indonesia,
ditemui di restoran sampai pedagang keliling. Di negara lain produk sejenis bakso
dikenal dengan nama “meatball”. Beberapa istilah yang diberikan menurut
Fulton,1983 antara lain: party meatballs, polpette (Italian meatballs), Morrocan
meatballs, Konigsberger klopse (meatball in Lemon and Caper Sauce), Curried
koptas (Indian meatball), Porcupines, Smoked Chinese meatballs, Swedish
meatball (Hamilton,1977) dan Ninh Hoa Grilled meatballs (Doung dan
Kiesel,1981).
Bakso biasanya terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan,
dicampur dengan bahan – bahan lainnya, dibentuk bulatan – bulatan, dan
selanjutnya direbus. Daging yang digunakan biasanya berupa daging sapi ataupun
ayam, akan tetapi saat ini mulai terjadi pergeseran gaya hidup masyarakat dimana
masyarakat mulai sadar untuk memperhatikan pola makan mereka. Banyak orang
yang sekarang mulai mengurangi mengkonsumsi daging untuk menghindari
kolesterol yang dapat menyebabkan penyakit jantung maupun darah tinggi
sehingga sekarang orang beralih ke makanan yang berasal dari nabati
(vegetarian).
Di Indonesia sendiri masih jarang ditemukan adanya penjual bakso
maupun restoran yang menjual bakso dari bahan utama bukan daging. Oleh
karena itu adanya bakso yang berbahan utama daging sintetis diharapkan dapat
1
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2
memberikan variasi pengolahan bakso sekaligus memenuhi pola makan bagi para
vegetarian.
Daging sintetis sebagai bahan baku bakso sintetis, sebagian besar terbuat
dari protein kedelai, konsentrat atau isolat protein kedelai, yang diproses menjadi
protein pekar (Texturized Vegetable Protein) atau protein pintal dengan
penambahan bahan pengikat, flavour, pewarna, stabillizer, dan suplementasi zat
gizi (Wolf dan Cowan,1971 dalam Koswara 1995) dan produk – produknya dapat
berupa bacon sintetis, daging asap sintetis, ham sintetis, dll (Koswara,1995).
Pembuatan daging sintetis dari protein kedelai memerlukan proses yang
rumit dan sampai saat ini produk – produk daging sintetis dari protein kedelai
harga jualnya cukup tinggi. Oleh karena itu, diupayakan pembuatan daging
sintetis dari bahan yang sama tetapi dengan metode yang lebih sederhana.
Pembuatan bakso sintetis sebelumnya pernah dibuat dengan menggunakan gluten
dan tepung tempe (Kurniawati,2009). Namun pembuatan bakso sintetis yang akan
dipergunakan pada penelitian ini yaitu pembuatan bakso sintetis dari proporsi
antara tepung kedelai : gluten dan minyak wijen. Penggunaan gluten dan tepung
kedelai dimaksudkan untuk meningkatkan nilai gizi bakso yang dihasilkan
sedangkan penggunaan minyak wijen ini untuk memperbaiki citarasa, tekstur, dan
menambah nilai gizi bakso sintetis.
B. Tujuan Penelitian
•
Mempelajari pengaruh proporsi tepung kedelai : gluten dengan minyak
wijen terhadap kualitas bakso sintetis.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3
•
Mendapatkan perlakuan terbaik dari penambahan tepung kedelai dan
minyak wijen untuk menghasilkan bakso sintetis yang bermutu baik,
disukai konsumen dan memiliki kadar protein yang tinggi
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk diversifikasi pangan bagi orang
yang menghindari konsumsi daging (vegetarian) maupun alergi terhadap daging
hewan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
A. Bakso
Salah satu jenis produk olahan daging yang mempunyai aseptabilitas dan
nilai gizi yang cukup tinggi adalah bakso. Bakso merupakan salah satu produk
hasil pengolahan daging. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bakso
adalah daging (ikan, sapi, dan lain - lain), tepung tapioka, dan bumbu - bumbu
yaitu: garam, lada, dan bawang putih (Wibowo, 1995).
Bakso merupakan emulsi minyak dalam air, terjadi bila emulsifier lebih
terikat pada air atau lebih larut dalam air, maka dapat membantu terjadinya
dispersi minyak dalarn air (o/w), sehingga bakso bersifat elastis (Soeparno, 1992).
B. Bakso sintetis
Bakso sintetis merupakan bakso yang dibuat tidak menggunakan daging
hewani melainkan dari daging sintetis (meat – analog). Berdasarkan Peraturan
Menkes RI No 330/Menkes/Per/XI/1973. Daging sintetis yang termasuk makanan
buatan merupakan makanan yang diolah dari bahan mentah dengan maksud dan
tujuan untuk meniru suatu makanan alami yang pada dasarnya tidak terdapat
dalam makanan yang ditiru tersebut. Berdasarkan batasan diatas maka daging
sintetis adalah daging yang dibuat dari bahan bukan daging tetapi sesuai atau
mirip benar dengan sifat – sifat daging asli. Daging sintetis (meat – analog)
dibuat dari protein gluten maupun protein kedelai :
4
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
5
1. Daging sintetis dari gluten
Gluten pertama kali ditemukan pada awal abad ke -7 M oleh Pendeta
Budha di Tiongkok. Ketika itu para pendeta yang enggan meninggalkan
kelezatan daging berupaya keras menemukan protein nabati sebagai subtitusi
daging karena di dataran tiongkok banyak terdapat
lahan gandum. Para
pendeta tersebut akhirnya bereksperimen dengan membuat adonan sederhana
dari tepung gandum dan air. Saat meremas dan mengolah adonan itu dalam
bak air, mereka menemukan sesuatu yang baru. Ternyata tepung kanji itu
hanyut di dalam air. Semakin keras digiling dan diremas, semakin banyak
tepung kanji yang terpisah dan larut dalam air. Hasilnya , tersisa sebuah bahan
yang kenyal dan mengandung protein yang cukup tinggi. Setelah dimasak
dengan kaldu beraneka rasa selama beberapa waktu, bahan kenyal yang
kemudian dikenal dengan nama gluten ini berubah wujud menjadi bahan
bertekstur lembut mirip daging.
Bahan makanan jenis baru yang disebut dengan mien ching ini ternyata
juga bisa diolah menjadi sosis tradisional Cina. Bahkan bisa menggantikan
peran daging asap, daging ayam dan makanan berprotein hewani lainnya.
Bersamaan dengan perkembangan agama Budha ke berbagai negara gluten
juga ikut menyebar ke Jepang. Di negeri sakura ini mien ching diolah dengan
gaya musashi, yakni dicampur dengan kaldu yang terbuat dari shoyu alias saus
kedelai, kombu (rumput laut) dan jahe. Orang – orang Jepang bahkan
memberi nama mien ching nama baru yaitu fu atau seitan (Bangun, 2003).
Menurut Buckle (1987), gluten sebagai bahan dasar daging sintetis berada
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
6
dalam bentuk kering maupun basah. Gluten basah mempunyai daya simpan
terbatas karena mudah ditumbuhi mikroba, sementara gluten kering lebih
tahan. Baik gluten basah maupun kering mempunyai kandungan nutrisi
sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Daftar Komposisi Gluten
Air (%)
Protein(%)
Lemak(%)
Gluten basah
70
22
2
Gluten kering 10
72
4
Sumber: Buckle,1987
Karbohidrat(%)
6
14
Pada Tabel 2.1 diketahui bahwa kadar air gluten basah lebih tinggi
daripada gluten kering, karena alasan tersebut maka glutan basah memiliki
daya simpan terbatas. Selain itu, kandungan nutrisi gluten kering lebih tinggi
bila dibandingkan dengan gluten basah sehingga dalam pembuatan daging
sintetis lebih banyak digunakan gluten kering.
Tabel 2.2. Daftar Komposisi Asam Amino Gluten (gm per16 gm N)
Kandungan
Gliadin
Glutenin
Tryptophan
0,7
2,2
Lysine
0,5
1,5
Histidine
1,6
1,7
Ammonia
4,7
3,8
Argininine
1,9
3,0
Aspartic acid
1,9
2,7
Treonine
1,5
2,4
Serin
3,8
4,7
Glutamic acid
41,1
34,2
Proline
14,3
10,7
Glycine
1,5
4,2
Alanine
1,5
2,3
Cystine (half)
2,7
2,2
Valine
2,7
3,2
Methionine
1,0
1,3
Isoleucine
3,2
2,7
Leucine
6,1
6,2
Tyrosine
2,2
3,4
Phenylalaninne
6,0
4,1
Sumber:Inglett (1974)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7
Menurut Suhardi (1988), ikatan disulfida dalam gluten gandum berperan
penting dalam pembentukan ikatan penghubung (crosslinking) rantai – rantai
polipeptida. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
-S-S-
-S-S--
-S-S-
-S-S-
-S-S-S-S-
Intramolekuler
(protein gandum)
-S-S-
-S-S-
--
Intramolekuler & crosslink linear
(glutenin gandum)
Gambar 1. Pembentukan ikatan penghubung gluten
Gambar 2. Scanning electron micrograph gluten (Mc Williams,2001)
Pembentukan ikatan disulfida dalam suatu peptida melibatkan 2 tahap:
•
Tahap 1 : oksidasi gugus sulfihidril untuk membentuk sulfida.
•
Tahap 2 : pengaturan kembali ikatan sehingga membentuk struktur
yang lebih stabil.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
8
Ikatan disulfida berpindah dari satu posisi ke posisi lain melalui reaksi
pertukaran disulfida. Ikatan disulfida ini menyebabkan struktur menjadi lebih
kompak dan elastis (Mc Gilvery,1975). Adanya ikatan disulfida inilah yang
menyebabkan adonan menjadi elastis. Segera setelah gluten mengembang
dalam adonan, gluten dapat dipisahkan dari konstituen lain dalam tepung
terutama butir – butir pati yang ada pada tepung dengan jalan mencucinya
dalam air dingin. Dari hasil pencucian diperoleh gluten kasar yang masih
mengandung sedikit butir – butir pati dan 2/3 bagian air.
Pembuatan daging sintetis dari gluten ini pada awalnya menggunakan
tepung gandum (terigu) yang ditambahkan dengan kedelai dan albumin (putih
telur) akan tetapi pada perkembangannya daging sintetis dibuat dengan
menggunakan isolat protein kedelai (Whittaker,1977).
2. Daging sintetis dari kedelai
Daging sintesis dari kedelai bisa terbuat dari tepung, konsentrat, dan
isolat protein kedelai. Produk ini pertama kali dibuat oleh Husden dan Hoer
tahun 1972. Untuk membuat daging tiruan, tepung, konsentrat, maupun isolat
protein kedelai terlebih dahulu diolah menjadi protein pekar (TVP / Texturized
Vegetable Protein) atau protein pintal (SPV / Spun Vegetable Protein). Protein
pekar
dan
pintal
merupakan
daging
tiruan
dalam
bentuk
kering
(Uransyah,2011).
Meat analog mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain nilai gizi
cukup, lebih homogen dan lebih awet disimpan, dapat diatur hingga tidak
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
9
mengandung lemak hewani dan harganya lebih murah. Dibandingkan dengan
daging asli, daging tiruan mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain:
•
lebih homogen dan tahan lama disimpan (dalam bentuk keringnya)
•
dapat dibuat tidak mengandung lemak hewani atau kolesterol
•
tinggi kandungan asam lemak tidak jenuhnya sehingga baik untuk
kesehatan dan harganya lebih murah (30 - 50 persen harga daging asli)
•
teksturnya dapat dirasakan oleh mulut sebagai butiran atau serabut daging
asli
•
kekerasan atau keempukannya dapat diatur menurut kehendak konsumen
dengan mengatur penambahan air
•
dapat menyerap sari daging (yang biasanya keluar jika daging asli
dimasak) jika dicampur dengan daging asli dan dimasak
•
dapat diolah menjadi berbagai produk olahan daging seperti sosis, sarung
sosis (cassing), hamburger, daging rendang, meat loaf, meat ball, beef
steak, bakso, opor dan produk-produk lainnya.(Santoso,2005)
Protein pekar mempunyai kadar air 5 - 7 persen sehingga stabil dalam
penyimpanan dan pengangkutan. Tetapi bila telah dibasahkan atau direhidrasi
akan mekar dan harus ditangani seperti daging asli karena mudah rusak. Untuk
membuat protein pekar, mula-mula konsentrat protein kedelai dibuat adonan
dengan penambahan air ke dalam adonan tersebut dapat pula ditambahkan
bahan pengikat, stabillizer (pemantap), cita rasa (flavour) dan warna.
Kemudian pH adonan diatur menjadi 7,3 - 7,8 dengan penambahan natrium
bikarbonat. Dengan pemberian tekanan, adonan dipaksa melalui suatu heat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
10
exchange zone (sejenis ekstruder bertekanan tinggi) dan keluar melalui
lubang-lubang dengan diameter 1 mm sehingga terbentuk serabut - serabut
protein kedelai yang kemudian diikuti dengan pendinginan. Selanjutnya
dilakukan pengeringan sampai kadar air 5 - 7 persen, lalu dibuat butiran atau
tepung, dikemas dan disimpan (Uransyah, 2011).
Protein pintal umumnya dibuat dari isolat protein kedelai. Salah satu
sifat yang sangat menarik dari isolat protein kedelai ialah kemampuannya
untuk membentuk serat - serat atau benang-benang jika dipintal dalam larutan
asam Proses inilah yang kemudian berkembang menjadi proses yang sangat
penting dalam industri daging sintetis. (Santoso,2005).
Untuk membuatnya, mula-mula isolat protein kedelai dilarutkan dalam
larutan natrium bikarbonat encer atau basa lain sehingga membentuk larutan
kental. Kemudian cairan protein kental ini dipompa dan dilewatkan pada plat
platina yang mempunyai beribu-ribu lubang dengan diameter 1 mm. Benangbenang protein yang terbentuk kemudian dilewatkan ke dalam larutan asam
klorida encer sehingga membentuk benang - benang halus, ditarik dan dipintal
(dalam alat pemintal khusus). Suhu air pencuci dapat diatur sesuai dengan
tekstur daging tiruan yang diinginkan (Santoso,2005).
Protein kedelai yang sudah bertekstur seperti daging ini, dengan mudah
diberi rasa, warna serta vitamin sehingga menyerupai daging asli, kemudian
dibentuk, dikeringkan dan dikemas. Sebenarnya TVP dan SVP sudah
merupakan daging tiruan, hanya dalam bentuk kering sehingga awet disimpan.
Untuk menjadi daging tiruan basah, kedua produk tersebut dapat ditambah air
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
11
(direhidrasi) sehingga menyerap air sebanyak 2 -3 kali beratnya. Biasanya air
yang ditambahkan dalam bentuk emulsi dengan minyak hewani atau nabati
yang dapat dibuat dengan menggunakan emulsifier. (Santoso,2005)
Daging sintetis atau yang dikenal dengan nama meat analog,
mempunyai beberapa keistimewaan antara lain gizi yang lebih baik, lebih
homogen dan yang penting lagi lebih tahan simpan. Kadang – kadang bahkan
tidak memerlukan penyimpanan dingin, dan dapat dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak mengandung lemak hewani, sedang harganya dapat ditekan
serendah mungkin (Koeswara,1995).
Karakter istik daging sintetis
Selama proses pengolahan atau pembuatan daging sintetis terjadi
perubahan – perubahan baik secara kimia maupun fisik. Perubahan tersebut antara
lain:
1. Perubahan Kadar Air (KA)
Selama proses pengolahan, daging sintetis mengalami penurunan kadar
air. Penurunan kadar air disebabkan karena pengaruh pencampuran gluten
dengan bahan – bahan lain dalam adonan sehingga menyebabkan molekul air
dalam gluten bergerak lebih cepat dan mudah terikat pada molekul – molekul
lain melalui suatu ikatan hidrogen. Menurut Winarno (2004), molekul air akan
membentuk hidrat dengan molekul lain yang mengandung atom - atom O dan
N seperti karbohidrat, protein dan garam sehingga air tidak dapat membeku
pada proses pembekuan tetapi dapat dihilangkan dengan cara pengeringan
biasa.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
12
2. Perubahan Kadar Protein
Menurut Sudarmadji, dkk (1996), molekul protein tersusun atas mata
rantai asam – asam amino. Asam amino merupakan senyawa yang memiliki
satu atau lebih gugus karboksi (- COOH) dan gugus amino (-NH2). Asam
amino yang berbeda – beda akan berikatan melalui suatu ikatan peptide.
3. Perubahan Tekstur
Perubahan kadar air daging sintetis akan mempengaruhi tekstur daging
sintetis yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi menyebabkan daging sintetis
menjadi cenderung lunak. Selain itu, tingkat kekerasan daging sintetis
dipengaruhi oleh kadar serat kasar daging sintetis. Serat kasar yang terdiri atas
selulosa akan membentuk rantai yang panjang dan kaku dalam bahan pangan.
Tekstur berserat pada daging sintetis disebabkan karena pembentukan benang
– benang fibril oleh protein gluten jika ditambahkan dengan air (de
Mann,1977).
4. Perubahan Cita Rasa
Proses pemanasan menyebabkan protein dalam bahan pangan mengalami
perubahan dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain yang membentuk
senyawa rasa (glutamine acid) (Sudarmadji,1996). Cita rasa daging sintetis
disebabkan karena lemak yang ditambahkan (dalam hal ini adalah lemak
nabati) karena lemak dapat meningkatkan kelezatan selain itu juga disebabkan
oleh penggunaan bumbu – bumbu yang ditambahkan.
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2009)
tentang bakso sintetis, hasil terbaik dengan kadar protein total 21,59%, kadar air
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
13
60,41%, kadar pati 15,44% diperoleh pada perlakuan proporsi gluten – tempe 80:
20 dan tapioka 10%.
Tahapan pembuatan bakso sintetis campuran gluten – tempe adalah
sebagai berikut:
a. Persiapan bahan
Menimbang bahan baku diantaranya gluten, tepung tempe ( gluten : tepung
tempe = 80:20) dan tepung tapioka 10 % (b/b)
b. Pencampuran
Mencampur semua bahan dan penambahan bumbu – bumbu diaduk sampai
terbentuk adonan.
c. Pencetakan
Adonan yang telah dicampur, dicatak berbentuk seperti bola – bola bakso
dengan 15 gram perbutir.
d. Perebusan
Selanjutnya direbus dalam air mendidih sampai bakso mengapung atau masak.
e. Penirisan dan pendinginan
Setelah itu diangkat, ditiriskan dan didinginkan pada suhu ruang.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
14
Proporsi
Gluten : Tempe
80:20
70:30
60:40
Pencampuran
Adonan
Pencetakkan
Perebusan
Penirisan dan Pendinginan
Bakso sintetis
Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso sintetis (Kurniawati, 2011).
C. Tepung kedelai
Menurut Koswara (1992), tepung kedelai kaya akan kandungan asam
amino
lisin
dan
leusin.
Tingginya
asam
amino
ini
berguna
untuk
menyempurnakan kandungan asam amino pada gluten yang rendah akan lisin
(Inglett, 1974). Tepung kedelai memiliki kadar lesitin sebesar 20 – 22%
(Hartomo,1992).
Tepung kedelai dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan
kandungan lemaknya, yaitu tepung kedelai berlemak penuh dan tepung kedelai
berlemak rendah. Dalam pembuatan tepung kedelai, proses pemanasan
(perebusan,
pengukusan,
atau
penyangraian)
merupakan
tahap
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
penting.
15
Pemanasan ini berakibat antitripsin dan enzim lipoksigenase menjadi tidak aktif,
sehingga tepungnya menjadi bergizi tinggi dan tidak berbau langu.
Jenis tepung
kedelai
Tabel 2.3 Komposisi kimia Tepung Kedelai
Minyak
Protein
Karbohidrat
(%BK)
(%BK)
(%BK)
Abu
(%BK)
Deffated soyflour
1,0
54,0
38,0
6,0
Fullfat soyflour
20,0
40,0
35,0
5,0
Sumber : Waggle dan Kolar (1979) dalam Winarno (2004)
Menurut Inglett (1972), Somaatmadja dkk (1985), dan Koswara (1992),
tepung kedelai dapat digunakan sebagai bahan pembuat daging sintetis (bakso).
Hal ini disebabkan oleh beberapa sifat fungsional pada protein kedelai seperti
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sifat fungsional protein kedelai dalam produk daging sintetis
Sifat fungsional
Fungsi
Kohesi – adhesi*
Bahan pengikat
Pengikat flavor*
Penyerapan
Penyerapan dan
Ikatan hidrogen dari H2O
pengikat air**
Elastisitas **
Ikatan disulfide
Gel **
Pembentukan dan pengendapan matriks protein
Sumber : Kinsella (1979) dalam Somaatmadja dkk*(1985) dan Koswara**(1995)
Menurut Koswara (1995), pembuatan tepung kedelai adalah sebagai
berikut:
a. Sortasi
Mula-mula kedelai disortasi untuk memilih kedelai yang baik dan
membuang benda asing dan kedelai yang rusak atau pecah.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
16
b. Perendaman
Kedelai direndam selama 8 - 16 jam dan direbus 30 menit. Setelah itu,
kedelai ditiriskan dan dipisahkan kulitnya.
c. Pengeringan
Kedelai dikeringkan dengan dijemur atau menggunakan oven dengan suhu
50 – 60 °C.
d. Penggilingan
Kedelai digiling halus sehingga diperoleh tepung kedelai.
Kedelai
Sortasi
Perendaman
Perebusan
Penirisan dan pendinginan
Pengeringan
Penggilingan
Tepung Kedelai
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung kedelai (Koswara, 1992).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
17
D. Emulsi
Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain,
yang molekul – molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tapi saling
antagonistik. Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu:
1. Bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir – butir yang biasanya terdiri
dari lemak.
2. Media pendispersi yang juga dikenal sebagai continous phase (terdiri dari
air).
3. Emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi
di dalam air.
Senyawa ini molekul – molekulnya mempunyai afinitas terhadap kedua cairan
tersebut. Daya afinitasnya harus parsial dan tidak sama terhadap kedua cairan itu
(Winarno, 2004).
E. Minyak wijen
Wijen (Sesamum indicum) dikenal juga dengan nama : till, gingelly,
simsin dan ajonjoli (di Amerika Latin). Minyak wijen mengandung zat tidak
tersabunkan dalam jumlah relatif tinggi tetapi kandungan tertinggi adalah sterol
dan zat – zat yang tidak dapat dipisahkan dengan pemurnian, sedangkan kadar
bahan non minyak lainnya relatif rendah (Ketaren, 1986).
Minyak wijen mengandung kurang lebih 0,3 – 0,5 persen sesameoline
fenol berikatan 1-4 yang dikenal sebagai sesamol dan sesamin sekitar 0,5- 0,1
persen. Sesamol dihasilkan dari hidrolisa sesamoline dan merupakan suatu
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
18
antioksidan (Bailey, 1964). Minyak wijen juga mengandung asam – asam lemak
yaitu oleat dan linoleat, palmitat, dan stearat dan jumlahnya dapat dilihat pada
tabel 2.5.
Tabel 2.5 Komposisi Asam Lemak Minyak Wijen
Asam lemak
Rumus
Persen
Asam lemak jenuh
Palmitat
C16H32O2
9,1
Stearat
C18H36O2
4,3
Rachidat
C20H40O2
0,8
Asam lemak tak jenuh
Oleat
C18H34O2
45,4
Linoleat
C18H32O2
40,4
Linolenat
C18H30O2
Sumber : Hilditch (1974) dalam Ketaren (1986)
Tabel 2.6 Sifat Fisiko – Kimia Minyak Wijen
Karakteristik
Syarat
Berat jenis pada 25°C
0,916-0,921
Indeks bias pada 25°C
-1,4763
Bilangan Iod
103-112
Bilangan Penyabunan
188-193
Bilangan Reichert-Meissl
1,2
Bilangan Hehner
95,6-95,9
Campuran asam-asam lemak
Bilangan Iod
109-122
Titik beku
21-24°C
Titik cair
21-31,5°C
Sumber : Hilditch (1947)
Minyak yang dihidrogenasi mempunyai stabilitas yang tinggi dan tahan
terhadap ketengikan sehingga dapat digunakan sebagai bahan pencampur minyak
lain, terutama dalam pembuatan mentega putih dan margarine (Jamieson, 1943).
Wijen mempunyai nilai gizi yang baik karena kandungan proteinnya cukup tinggi
yaitu sebesar 19,3 persen, juga mengandung asam lemak essensial yang
dibutuhkan oleh tubuh seperti oleat dan linoleat, sehingga wijen merupakan salah
satu sumber lemak nabati yang baik. Minyak wijen mengahsilkan kalori yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
19
tinggi yaitu sekitar 902 kalori/100 gr, wijen juga mengandung vitamin B1 dan
vitamin C yang berfungsi sebagai zat pelindung tubuh manusia (Ketaren, 1986).
F. Air
Air dapat berupa komponen intrasel atau ekstrasel dalam sayuran dan
produk hewani, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk
yang diemulsi dan sebagai komponen tambahan dalam makanan lain (De
Mann,1997).
Air berfungsi mendistribusikan komponen atau bahan dasar dari adonan
yang homogen. Bila air yang digunakan terlampau sedikit akan menyebabkan
adonan kaku dan kurang kohesif, sedangkan bila terlampau banyak akan
meyebabkan adonan lembek sehingga tidak dapat dibentuk dan dicetak
(Pomeranz, 1985).
G. Tepung tapioka
Bahan lain yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah tapioka.
Untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi, jumlah tepung
yang digunakan sebaiknya paling banyak 15 % dari berat daging. Idealnya tepung
tapioka yang ditambahkan sebanyak 10 % dari berat daging (Wibowo, 2006).
Menurut Makfoeld (1982), tepung tapioka adalah granula - granula yang
terdapat di dalam umbi ketela pohon. Adapun komposisi kimia tepung tapioka
dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
20
Tabel 2.7. Komposisi Kimia Tepung Tapioka
Komposisi
Kalori (per 100 g)
Karbohldrat (%)
Protein
Lemak
Air (%)
Kalsium (mg/ 100 g)
Fosfor (mg/100 g)
Fe (mg/100 g)
Vitamin B I (mgl 100 g)
Vitamin C (mg/ 100 g)
Surnber: Makfoeld (1982)
Jumlah
307,00
88,20
1,10
0,50
9,10
84,00
125,00
1,00
0,04
0,04
Pada pernbuatan bakso terjadi proses gelatinisasi dari tapioka yaitu yang
rnempunyai sifat mudah menyerap air dan air yang diserap pada saat temperatur
meningkat. Jika pati dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan
granula ini mulai menggelembung. Ini terjadi saat suhu gelatinisasi tepung
tapioka antara 52 - 64 0C (Winamo, 2004).
H. Bahan tambahan
1. Garam
Garam yang digunakan pada pengolahan makanan adalah NaCL (Natrium
Chlorida). Penambahan garam pada pengolahan makanan bertujuan untuk
menambah citarasa. Makanan yang kurang dari 0,3% NaCl akan terasa
hambar dan kurang disenangi. Jumlah garam yang biasanya ditambahkan
untuk konsumsi adalah 2,5 – 3% (Winarno, 2004).
2. Gula
Gula yang biasa digunakan pada pengolahan makanan adalah jenis
sukrosa (kristal). Sukrosa adalah disakarida yang tersusun dari D – glukosa
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
21
dan D – fruktosa (De Mann,1997). Gula merupakan pemberi citarasa manis
pada suatu bahan makanan (Wiriono, 1894).
3. Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum L) merupakan umbi lapis yang juga
berfungsi sebagai bumbu masak atau penyedap masakan, mempunyai aroma
yang sedap karena adanya senyawa methyl – allyil – disulfide (Lamina, 1989).
4. Merica
Merica merupakan biji yang dihasilkan oleh tanaman lada (piperningrum)
mempunyai 2 sifat khas yaitu aroma yang khas dan rasa pedas yang
disebabkan oleh adanya zat piperanim. Piperanim dan chavicin, dua zat ini
yang menyebabkan merica digunakan sebagai penyedap / peningkat rasa
masakan (Rismunandar,1986).
I. Analisa Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih
tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan
adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan
guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1987).
Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur logis dan
kuantitatif yang tidak hanya menjelaskan mengenai proses pengambilan
keputusan
tetapi
merupakan
suatu
cara
untuk
membuat
(Admosudirjo,1987)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
keputusan
22
Pada penelitian ini, pemilihan perlakuan terbaik didasarkan pada hasil
analisa daging sintetis yang mempunyai mutu terbaik, baik dari segi fisik, kimia
dan organoleptik.
J . Analisa Kelayakan Finansial
Analisa kelayakan financial adalah analisa yang melihat suatu proyek dari
sudut lembaga atau badan – badan yang mempunyai kepentingan langsung dari
proyek atau yang menanamkan modal ke dalam proyek tersebut. Analisa
kelayakan adalah analisa yang ditunjukkan untuk meneliti suattu proyek layak
atau tidak layak untuk proyek tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek
tertentu sehingga dapat memenuhi syarat dapat berkembang atau tidak (Susanto
dan Saneto,1994).
Pada penelitian ini, beberapa parameter yang digunakan dalam analisa
finansial antara lain :
1. Br eak Even Point (BEP) (Susanto dan Saneto,1994).
Suatu analisis yang menunjukkan hubungan antara keuntungan, volume
produksi dan hasil penjualan adalah penentuan Break Even Point (BEP) .BEP
ialah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya
biaya produksi keseluruhan sama dengan besarnya nilai / hasil penjualan atau
laba. Jadi pada keadaan tersebut perusahaan tidak mendapatkan keuntungan
dan tidak mengalami kerugian.
Penentuan BEP dapat dikerjakan secara aljabar atau grafik. Dalam
penentuan BEP secara aljabar didasarkan atas hubungan antara nilai
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
23
penjualan, biaya produksi keseluruhan (biaya tetap + biaya tidak tetap) dan
volume produksi .
Volume penjualan pokok dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
FC
BEP =
P – VC
Keterangan :
BEP = Break Even Point
FC = Biaya Tetap
VC = Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp)
Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut :
a. Biaya Titik Impas (BEP)
Biaya Tetap
BEP =
1 – (biaya tidak tetap / penjualan)
b. Presentase
BEP (Rp)
BEP (%) =
X 100 %
Penjualan
c. Kapasitas Titik Impas (BEP Unit)
Kapasitas Titik Impas = persen titik impas x kapasitas produksi
2. Net Pr esent Value (NPV) (Susanto dan Saneto,1994).
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai permintaan sekarang
dengan nilai biaya sekarang. Bila dalam analisa diperoleh nilai NPV lebih
besar dari 0 (nol), berarti nilai proyek layak dilaksanakan, jika dalam
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
24
perhitungan diperoleh nilai NPV lebih kecil dari 0 (nol) , maka proyek
tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.
Bt - Ct
Rumus NPV :
NPV = ∑
(1+i )t
Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
t = 1, 2, 3, … , n
n = Umur ekonomis dari pada proyek
i = Social discount rate
3. Payback Per iode (PP) (Susanto dan Saneto,1994).
Payback Periode (PP) merupakan perhitungan jangka waktu yang
dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang ditanam pada proyek. Nilai
tersebut dapat berupa presentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan).
Payback Periode (PP) tersebut harus lebih kecil dari nilai ekonomis.
I
Rumus PP : PP =
Ab
Keterangan :
I = Jumlah modal
Ab = Penerimaan bersih perbulan atau tahun
4. Inter nal Rate Of Return (Susanto dan Saneto,1994).
Internal rate of Return adalah tingkat suku bunga yang menunjukkan
persamaan antara nilai penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
25
(modal) awal dari suatu proyek yang sedang dikerjakan. Kriteria ini
memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih bila nilai IRR lebih besar
dari nilai suku bunga yang berlaku, sedangkan bila IRR lebih kecil dari suku
bunga yang berlaku maka proyek tersebut dinyatakan
tidak layak untuk
dilaksanakan.
Rumus perhitungan IRR adalah sebagai berikut :
NPV
IRR = i +
( i’ - i )
NPV – NPV’
Keterangan :
NPV =
NPV positif hasil percobaan nilai
NPV’ =
NPV negative hasil percobaan nilai
i
= Tingkat bunga
5. Gr oss Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto,1994).
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) merupakan perbandingan
antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah dirupiahkan sekarang
(present value) .
Pendapatan
Nilai B/C Ratio =
Biaya produksi
K. Landasan Teori
Bakso merupakan emulsi minyak dalam air, terjadi bila emulsifier lebih
terikat pada air atau lebih larut dalam air, maka dapat membantu terjadinya
dispersi minyak dalarn air (o/w), sehingga bakso bersifat elastis. Emulsi adalah
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
26
suatu sistem dua fase yang terdiri dari suatu dispersi dua cairan yang tidak dapat
bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain (Soeparno, 1992).
Mekanisme terjadinya emulsi bakso daging sapi yaitu adanya partikel
protein dan air membentuk suatu matrik yang menyelubungi globula – globula
lemak. Protein miofibrillar yaitu aktin dan myosin merupakan agensia pengemulsi
pada daging sapi (Soeparno,1992).
Bakso sintetis harus memenuhi kriteria bakso daging sapi pada umumnya
yaitu adanya mekanisme emulsi oil in water (o/w). Air sebagai fase pendispersi,
lemak sebagai fase terdispersi dan lipoprotein sebagai emulsifier (pengemulsi)
(Kurniawati,2009).
Gluten adalah suatu massa yang kohesif dan viskoelastis yang dapat
meregang secara elastis (Pomeranz,1971). Penggunaan gluten sebagai bahan
utama dikarenakan gluten sering juga disebut dengan daging sintetis karena
kandungan protein dan teksturnya kenyal seperti daging hewan. Gluten
berdasarkan berat kering terdiri atas 75 - 85% protein, 5 – 10% lemak, 8 – 10%
residu pati, 1 - 2% gula reduksi, 2% selulosa dan 1% mineral. Komponen –
komponen penyusun yang berbeda ini akan berikatan membentuk jaringan yang
kuat dan rapat, namun memiliki elastisitas yang tinggi (Gordon,1993). Salah satu
fungsi gluten adalah memberikan kekuatan dan kestabilan adonan serta volume
produk (Desrosier,1988). Karbohidrat yang terdapat pada gluten kebanyakan tidak
larut air, tetapi berkemampuan mengikat dan menahan air dalam jumlah yang
besar. Sementara lipid membentuk kompleks lipoprotein dengan gluten. Protein
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
27
yang berasosiasi dengan lipid bertanggungjawab terhadap sifat – sifat kohesif dan
viskositas adonan (Belitz dan Grosh,1987).
Kedelai ditambahkan dengan tepung terigu dan albumin pada putih telur
digunakan sebagai meat analog sederhana (Whitaker, 1977). Kedelai dijuluki susu
nabati dijadikan sumber dan bahan baku zat pengemulsi, kedelai memang
kekurangan sistein dan metionin tetapi kaya lisin, leusin, asam glutamat dan
arginina, bersaing dengan telur, susu, dan daging (Hartomo, 1992). Penggilingan
kedelai perlu dilakukan bertujuan untuk membentuk emulsi protein kedelai dan
lemak yang merata. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara memotong –
motong bahan serta mencacah pada saat persiapan larutan protein, serta turut
membantu terbentuknya emulsi (Koswara,1995).
Lesitin merupakan pengemulsi alami yang berasal dari bahan nabati
sedangkan lipoprotein adalah pengemulsi yang berasal dari bahan makanan
hewani seperti susu dan telur (Hartomo,1992). Pengemulsi merupakan senyawa
aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antarpermukaan antara
antarmuka udara – cairan dan cairan – cairan. Kemampuan ini merupakan akibat
dari struktur molekul pengemulsi: molekulnya mengandung dua bagian yang
jelas, satu bagian mempunyai sifat polar (hidrofil), bagian yang lain bersifat non
polar (hidrofob) (de Mann,1997). Lesitin mempunyai sifat sebagai emulsifier
dalam pembentukkan emulsi. Kandungan lesitin dalam kedelai merupakan protein
konjugasi yaitu yang dapat berikatan dengan senyawa lain. Peranan lesitin sebagai
pengemulsi adalah mengoptimumkan dispersi lemak pada fase berair (Koswara,
1995) .
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
28
Penambahan minyak wijen dalam adonan bakso dapat berfungsi untuk
memperbaiki cita rasa, tekstur, dan menambah nilai gizi bakso sintetis. Minyak
wijen mengandung lemak nabati dan memiliki sifat tidak dapat memisah sehingga
kekentalannya baik (Ketaren,1986). Minyak wijen mengandung asam lemak
linoleat tinggi yang merupakan salah satu asam lemak essensial yang tidak dapat
disintesis oleh tubuh (Anonimous,1996). Minyak yang dihirogenasi mempunyai
stabilitas tinggi dan tahan ketengikan (Jamieson,1943 dalam Ketaren, 1986).
Protein wijen sangat baik untuk dikonsumsi karena memiliki sifat unik yaitu
kandungan asam amino sulfur (metionin dan sistin ) yang lebih tinggi dibanding
kedelai (Esminger,1994).
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2009)
tentang bakso sintetis, hasil terbaik dengan kadar protein total 21,59%, kadar air
60,41%, kadar pati 15,44% diperoleh pada perlakuan proporsi gluten – tempe 80:
20 dan tapioka 10%.
L. Hipotesa
Diduga proporsi tepung kedelai – gluten dan penambahan minyak wijen
berpengaruh nyata terhadap kualitas bakso sintetis.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB III
BAHAN dan METODE
A . Tempat dan Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan,
Laboratorium Analisa Pangan dan Laboratorium Uji Inderawi Program Studi
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan
Nasional “ Veteran “ Jawa Timur pada bulan Juli 2011 sampai November 2011.
B . Bahan
Bahan yang digunakan pada proses pembuatan bakso sintetis adalah gluten
kering dibeli di toko Sinar Yong Surabaya, tepung kedelai, air, minyak wijen,
serta bumbu – bumbu seperti : garam, gula, merica, bawang putih yang diperoleh
dari Pasar Soponyono, Surabaya
Bahan yang digunakan untuk d