pengetahuan dasar KONSTITUSI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkataan “konstitusi” berasal dari bahasa Perancis Constituer dan Constitution,
kata pertama berarti membentuk, mendirikan atau menyusun, dan kata kedua
berarti susunan atau pranata (masyarakat). Dengan demikian konstitusi memiliki
arti; permulaan dari segala peraturan mengenai suatu Negara. Pada umumnya
langkah awal untuk mempelajari hukum tata negara dari suatu negara dimulai
dari konstitusi negara bersangkutan. Mempelajari konstitusi berarti juga
mempelajari hukum tata negara dari suatu negara, sehingga hukum tata negara
disebut juga dengan constitutional law. Istilah Constitutional Law di Inggris
menunjukkan arti yang sama dengan hukum tata negara. Penggunaan
istilah Constitutional Law didasarkan atas alasan bahwa dalam hukum tata
Negara unsur konstitusi lebih menonjol.
Dengan demikian suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang
bersifat fundamental untuk menegakkan bangunan besar yang bernama
“Negara”. Karena sifatnya yang fundamental ini maka aturan ini harus kuat dan
tidak boleh mudah berubah-ubah. Dengan kata lain aturan fundamental itu harus
tahan uji terhadap kemungkinan untuk diubah-ubah berdasarkan kepentingan
jangka pendek yang bersifat sesaat.
1.2 Sejarah

Sebagai Negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki
konstitusi yang dikenal dengan undang-undang dasar 1945. Eksistensi UndangUndang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang
sangaat panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi
pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancing sejak 29 Mei 1945
sampai 16 Juni 1945 oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa jepang dikenal dengan
dokuritsu zyunbi tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno

1

dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri
dari 11 orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil
dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan
berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun
Tenno Heika pada 29 April 1945.
Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk
memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut
antara lain berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur
raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari

kekuasaan pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak
menggerakkan angkatan perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk
mengakhiri kekuasaan penjajahan Belanda”.
Sejak saat itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai
saudara muda serta membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas
di semua bidang, sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri
sendiri sebagai bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah
tetaplah penjajah yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan
bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi
ingat akan janjinya. Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat
Indonesia lebih bebas dan leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada
Jepang sampai saat kemerdekaan tiba. Dengan terpilihnya presiden dan
wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara formal
Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim
diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
Ø Rakyat, yaitu bangsa Indonesia
Ø Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke
merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil;
Ø Kedaulatan yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan Indonesia;
Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk

pimpinan pemerintahan Negara;

2

Tujuan Negara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
pancasila; dan Bentuk Negara yaitu Negara kesatuan.
Secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu : 1) konstitusi tertulis dan
2) konstitusi tak tertulis. Dalam hal yang kedua ini, hampir semua negara di dunia
memiliki konstitusi tertulis atau undang-undang dasar (UUD) yang pada
umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara
bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis
adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua
lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat
kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif
baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari
tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena
ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau
hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam
kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.

Pada hampir semua konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan
berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan
itu dibentuklah lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu
perlu ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga negara yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu itu.
Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau
kewenangan itu, salah satu yang paling terkemuka adalah pandangan
Montesquieu bahwa kekuasaan negara itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan
yang harus dipisahkan secara ketat. Ketiga jenis kekuasaan itu adalah : 1)
kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif); 2) kekuasaan
melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman
(judikatif).
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi atau dipisahkan di
dalam konstitusi dikemukakan oleh van Vollenhoven dalam buku
karangannya Staatsrecht over Zee. Ia membagi kekuasaan menjadi empat

3

macam yaitu :1) pemerintahan (bestuur); 2) perundang-undangan; 3) kepolisian
dan 4)pengadilan. Van Vollenhoven kemungkinan menilai kekuasaan eksekutif itu

terlalu luas dan karenanya perlu dipecah menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian
memegang jenis kekuasaan untuk mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau
perlu memaksa untuk melaksanakan hukum.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia
mendukung gagasan Van Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk
menambah dua lagi jenis kekuasaan negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan
Kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara untuk menjadi jenis kekuasaan
ke-lima dan ke-enam.[2]
Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa jenis kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu
umumnya terbagi atas enam dan masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu
badan atau lemabaga tersendiri yaitu:
1.

kekuasaan membuat undang-undang (legislatif)

2.

kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)


3.

kekuasaan kehakiman (judikatif)

4.

kekuasaan kepolisian

5.

kekuasaan kejaksaan

6.

kekuasaan memeriksa keuangan Negara

4

BAB II

KONSTITUSI
2.1. Pengertian
Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuanketentuan dasar atau hukum dasar. Konstitusi dalam pengertian sempit berarti
piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) ialah suatu
dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Konstitusi (constitutio)
dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada
pemerintahan negara biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis - dalam
kasus bentukan Negara, sedangkan menurut EC Wade Konstitusi adalah naskah
yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan pemerintahan suatu
negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut dan
menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan
kekuasaan.
2.2. Tujuan
Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk
keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai
kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada
dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah
konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan
tujuan konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembagalembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar

lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat)
dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya
mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Tolak ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak
pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang
bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis
timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya

5

dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang
tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik
dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak
negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi
yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Aturanaturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam Undang-undang atau
bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat.

2.3. Ciri- Ciri Konstitusi
Berbicara mengenai konstitusi, maka kita tak akan lepas dari fungsi
konstitusi itu sendiri, Dan di antara fungsi daripada konstitusi adalah

1.

Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi
konstitusionalisme;

2.

Memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;

3.

Sebagai instrumnen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang
kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam
sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara;

Sifat Konstitusi 1. Formil dan materiil; Formil berarti tertulis. Materiil dilihat dari
segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara. (sama
dengan konstitusi dalam arti relatif). 2. Flexibel dan rigid, Kalau rigid berarti kaku
suliot untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare
Menurut James Bryce, ciri flexibel : Elastis, Diumumkan dan diubah sama

dengan undang-undang dan Tertulis dan tidak tertulis.

6

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.

Pengertian Konstitusi

Konstitusi (constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan
hukum bentukan pada pemerintahan negara biasanya dikodifikasikan sebagai
dokumen tertulis dalam kasus bentukan negara.
2.

Sejarah konstitusi di Indonesia.

Latar belakang terbentuknya konstitusi bermula dari janji Jepang untuk
memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Namun janji

hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang selalu ingin lebih lama menindas
dan menguras kekayaan bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oleh
sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya. Setelah menyerah tanpa syarat
kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan leluasa untuk berbuat dan tidak
bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan tiba.
3.

Fungsi dan sifat konstitusi

Mengenai kesimpulan dari fungsi dan sifat konstitusi, kami rasa cukup di
pembahsan poin C, karena itu sudah kami simpulkan, jadi kami rasa gak perlu
kami tulis kembali disini.
4.

Tujuan konstitusi

Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan
jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan
yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada
penguasa untuk mewujudkan tujuan Negara.
3.2. Saran
Setelah kita fahami mengenai pembahsan diatas, kita sebagai warga Negara
Indonesia yang baik harus taat dan patuh kepada konstitusi tersebut.

7

DAFTAR PUSTAKA
Miriam Budiardjo, Miriam B dkk. Dasar-dasar ilmu politik, Gramedia Pustaka
Utama (2003)
makalah Prof. Jimly Asshiddiqie, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial Menurut UUD 1945 serta Mahkamah Konstitusi
Dahl, Robert A, 1982, Dilemma Demokrasi Pluralis, Terj. S. Simamora, Jakarta:
C.V. Rajawali
http://jakarta45.wordpress.com/2009/08/09/konstitusi-sejarah-konstitusiindonesia/

8