Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat Kabupaten Simalungun di Pematang Raya Tahun 2017

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kelelahan Akibat Kerja

2.1.1

Defenisi Kelelahan
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh

terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat.
Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan syaraf pusat terdapat
sistem aktivasi (bersifat simpatis) dan inhibisi (bersifat parasimpatis) (Tarwaka,
2004). Menurut Tarwaka (dalam Suma’mur, 2013) kelelahan adalah keadaan yang
disertai penurunana efisiensi dan ketahanan dalam bekerja. Kata kelelahan
menunjukkan keadaan yang berbeda – beda, tetapi semuanya berakibat kepada
pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Kata lelah (fatigue)
menunjukkan keadaan tubuh dan mental yang berbeda, tetapi semuanya berakibat
kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja.
Istilah kelelahan selalu mengarah kepada kondisi melemahnya tenaga

untuk melakukan suatu kegiatan, walaupun itu bukan satu-satunya gejala.
Secara umum gejala kelelahan yang lebih dekat adalah pada pengertian
kelelahan fisik atau physical fatigue dan kelelahan mental atau mental fatigue
(Budiono, 2003). Jika dalam jangka waktu yang panjang seseorang terus
menerus harus melakukan gerak yang sama maka sirkulasi darah menjadi
terganggu, dan orang tersebut menjadi cepat lelah. Hal ini juga dikemukan
oleh Suma’mur (2009) bahwa pekerja yang telah mulai mengalami perasaan

9
Universitas Sumatera Utara

10

lelah dan tetap ia paksakan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam
kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30- 40% dari tenaga aerobik
maksimal (Astrand, Rodahl, 1977 dan Pulat, 1992 dalam tarwaka 2004).
2.1.2

Jenis Kelelahan


Secara umum, kelelahan dapat dibedakan dalam beberapa macam,yaitu :
1. Berdasarkan proses dalam otot
Kelelahan dapat dibagi dua berdasarakan proses dalam otot yaitu kelelahan otot
dan kelelahan umum (Budiono, 2003) :
a. Kelelahan otot
Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadi tekanan melalui fisik
untuk suatu waktu disebut kelelahan otot secara fisiologis, yang ditunjukkan tidak
hanya dengan berkurangnya tekanan fisik tetapi juga makin rendahnya gerakan.
Pada akhirnya kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang
menguntungkan seperti : melemahnya kemampuan tenaga kerja dalam melakukan
pekerjaannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja
sehingga dapat mempengaruhi produktivitas kerjanya.
Sampai saat ini berlaku dua teori tentang kelelahan otot yaitu teori kimia
dan teori saraf pusat terjadinya kelelahan. Pada teori kimia secara umum
menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangnya cadangan
energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya efisiensi
otot. Sedangkan teori saraf pusat menjelaskan bahwa perubahan kimia hanya

Universitas Sumatera Utara


11

merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan
dihantarkannya rangsangan saraf melalui saraf sensoris ke otak yang disadari
sebagai kelelahan otot. Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak
dalam mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel
saraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan menurunkan
kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan
menjadi lambat. Dengan demikian semakin lambat gerakan seorang akan
menunjukkan semakin lelah kondisi otot seseorang (Tarwaka, 2004).
b. Kelelahan umum
Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar biasa.
Semua aktivitas menjadi terganggu dan biasanya akan menimbulkan rasa kantuk.
Kelelahan umum biasanya ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja
yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik,
keadaan dirumah, sebab-sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi
(Tarwaka, 2004).
2. Berdasarkan penyebab kelelahan
a. Kelelahan fisik yaitu kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan (fisik)
ditempat kerja, antara lain : kebisingan, suhu, shift kerja, dll

b. Kelelahan psikologis yang disebabkan oleh faktor psikologis (konflik-konflik
mental), monotoni pekerjaan, bekerja karena terpaksa, pekerjaan yang
bertumpuk-tumpuk (Ambar, 2006).

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.3

Faktor-faktor Penyebab Kelelahan Akibat Kerja
Grandjean (dalam Tarwaka 2004 ) menjelaskan bahwa faktor penyebab

terjadinya

kelelahan

di

industri


sangat

bervariasi,

dan

untuk

memelihara/mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus
dilakukan di luar tekanan (cancel out the stress). Penyegaran terjadi terutama
selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja
juga

dapat

memberikan

penyegaran.


Faktor-faktor

penyebab

kelelahan

digambakan seperti pada gambar 2.1.

Intensitas dan lamanya
kerja fisik dan mental

Lingkungan: iklim, penerangan,
kebisingan, getaran, dll

Cyrcadian rhytim

Penyembuhan/p
enyegaran

Problem Fisik: tanggung

jawab, kekawatiran konflik

Kenyerian dan kondisi
kesehatan

nutrisi

Tingkat
Kelelahan

Gambar 2.1 Teori Kombinasi Pengaruh Penyebab Kelelahan dan
Penyegaran (Recuperation).
Sumber: Grandjean (1991:838). Encyclopaedia of Occupational Health and
Safety. ILO.Geneva.

Universitas Sumatera Utara

13

Kelelahan yang disebabkan oleh karena kerja statis berbeda dengan kerja

dinamis. Pada kerja otot statis, dengan pengerahan tenaga 50% dari kekuatan
maksimum otot hanya dapat bekerja selama 1 menit, sedangkan pada pengerahan
tenaga < 20% kerja fisik dapat berlangsung cukup lama. Tetapi pengerahan tenaga
otot statis sebesar 15-20% akan menyebabkan kelelahan dan nyeri jika
pembebanan berlangsung sepanjang hari. Astrand & Rodahl (dalam Tarwaka
2004) berpendapat bahwa kerja dapat dipertahankan beberapa jam per hari tanpa
gejala kelelahan jika tenaga yang dikerahkan tidak melebihi 8% dari maksimum
tenaga otot. Grandjean (dalam Tarwaka 2004) juga menyatakan bahwa kerja otot
statis merupakan kerja berat (Strenous), kemudian mereka membandingkan antara
kerja otot statis dan dinamis. Pada kondisi yang hampir sama, kerja otot statis
mempunyai konsumsi energi lebih tinggi, denyut nadi meningkat dan diperlukan
waktu istirahat yang lebih lama.
Waters & Bhattacharya (dalam Tarwaka 2004) berpendapat agak lain,
bahwa kontraksi otot baik statis maupun dinamis dapat menyebabkan kelelahan
otot setempat. Kelelahan tersebut terjadi pada waktu ketahanan (Endurance time)
otot terlampaui. Waktu ketahanan otot tergantung pada jumlah tenaga yang
dikembangkan oleh otot sebagai suatu prosentase tenaga maksimum yang dapat
dicapai oleh otot. Kemudian pada saat kebutuhan metabolisme dinamis dan
aktivitas melampaui kapasitas energi yang dihasilkan oleh tenaga kerja, maka
kontraksi otot akan terpengaruh sehingga kelelahan seluruh badan terjadi.

Sedangkan Annis & McConville (dalam Tarwaka 2004) berpendapat bahwa saat
kebutuhan metabolisme dinamis dan aktivitas melampaui kapasitas energi yang

Universitas Sumatera Utara

14

dihasilkan oleh tenaga kerja, maka kontraksi otot akan terpengaruh sehingga
kelelahan seluruh badan terjadi. Kemudian mereka merekomendasikan bahwa,
penggunaan energi tidak melebihi 50% dari tenaga aerobik maksimum untuk kerja
1 jam; 40% untuk kerja 2 jam dan 33% untuk kerja 8 jam terus menerus. Nilai
tersebut didesain untuk mencegah kelelahan yang dipercaya dapat meningkatkan
resiko cedera otot skeletal pada tenaga kerja.
Untuk mengurangi tingkat kelelahan maka harus dihindarkan sikap kerja
yang bersifat statis dan diupayakan sikap kerja yang lebih dinamis. Hal ini dapat
dilakukan dengan merubah sikap kerja yang statis menjadi sikap kerja yang lebih
bervariasi atau dinamis, sehingga sirkulasi darah dan oksigen dapat berjalan
normal ke seluruh anggota tubuh. Sedangkan untuk menilai tingkat kelelahan
seseorang dapat dilakukan pengukuran kelelahan secara tidak langsung baik
secara objektif maupun subjektif.

2.1.4

Gejala Kelelahan
Kelelahan memang mudah untuk dihilangkan, dengan istirahat yang cukup

perasaan lelah akan segera hilang. Namun, kelelahan yang terjadi secara terus
menerus akan berakibat pada kelelahan yang bersifat kronis (Suma’mur, 2009).
Oleh sebab itu baik tenaga kerja ataupun pengusaha perlu mengetahui kejadian
kelelahan yang dapat dikenali dengan melihat gejala kelelahan. Adapun gejala
kelelahan menurut Suma’mur (2009) adalah sebagai berikut :
1. Perasaan berat dikepala

17. Tidak dapat berkonsentrasi

2. Menjadi lelah seluruh badan

18. Tidak mempunyai perhatian

3. Kaki merasa berat terhadap sesuatu


19. Cenderung untuk lupa

Universitas Sumatera Utara

15

4. Menguap

20. Kurang kepercayaan

5. Pikiran terasa kacau

21. Cemas terhadap sesuatu

6. Menjadi mengantuk

22. Tidak dapat mengontrol sikap

7. Merasakan beban pada mata

23.Tidak dapat tekun bekerja

8. Kaku dan canggung dalam gerakan

24. Sakit kepala

9. Tidak seimbang ketika berdiri

25. Bahu terasa kaku

10.Ingin berbaring

26. Punggung terasa nyeri

11.Susah dalam berfikir

27. Pernafasan terasa tertekan

12.Lelah berbicara

28. Haus

13.Menjadi gugup

29. Spasme dari kelopak mata

14. Suara serak

30. Tremor pada anggota badan

15. Merasa pening
16. Merasa kurang sehat
Gejala perasaan atau tanda kelelahan 1-10 menunjukkan melemahnya kegiatan,
11- 20 menunjukkan menunjukkan melemahnya motivasi, dan 21 – 30 gambaran
kelelahan fisik sebagai akibat dari keadaan umum yang melemahkan (Suma’mur,
2009).
2.1.5

Langkah-langkah Mengatasi Kelelahan
Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks dan saling

mengkait antara factor yang satu dengan yang lain. Yang terpenting adalah
bagaimana menangani setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi kronis.
Agar dapat menangani kelelahan dengan tepat, maka kita harus mengetahui apa
yang menjadi penyebab terjadinya kelelahan. Berikut ini akan diuraikan secara

Universitas Sumatera Utara

16

skematis antara faktor penyebab terjadinya kelelahan, penyegaran dan cara
menangani kelelahan agar tidak menimbulkan resiko yang lebih parah seperti
pada gambar 2.2.
PENYEBAB KELELAHAN
1. Aktivitas kerja fisik
2. Aktivitas kerja mental
3. Stasiun kerja tidak
ergonomis
4. Sikap paksa
5. Kerja statis
6. Kerja bersifat monotoni
7. Lingkungan kerja ekstrim
8. Psikologis
9. Kebutuhan kalori kurang
10. Waktu kerja-istirahat
tidak tepat
11. dan lain-lain

CARA MENGATASI
1. Sesuai kapasitas kerja fisik
2. Sesuai kapasitas kerja
mental
3. Redesain stasiun kerja
ergonomis
4. Sikap kerja alamiah
5. Kerja lebih dinamis
6. Kerja lebih bervariasi
7. Redesain lingkungan kerja
8. Reorganisasi kerja
9. Kebutuhan kalori seimbang
10. Istirahat setiap 2 jam kerja
dengan sedikit kudapan
11. dan lain-lain

RESIKO
1. Motivasi kerja turun
2. Performansi rendah
3. Kualitas kerja rendah
4. Banyak terjadi
kesalahan
6. Stress akibat kerja
7. Penyakit akibat kerja
8. Cedera
9. Terjadi kecelakaan
akibat kerja
10. dan lain-lain

MANAJEMEN
PENGENDALIAN
1. Tindakan preventif
melalui pendekatan
inovatif dan
partisipatoris
2. Tindakan kuratif
3. Tindakan rehabilitatif
4. Jaminan masa tua

Gambar 2.2. Penyebab Kelelahan, Cara Mengatasi dan Manajemen Resiko
Kelelalahan
Sumber : Tarwaka (2004: 110) Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan

Kerja dan Produktivitas. Surakarta.

Universitas Sumatera Utara

17

2.1.6

Faktor-Faktor Yang Berhubugan Dengan Kelelahan
Menurut Suma’mur (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi

kelelahan yaitu :
A. Faktor-faktor Internal yaitu :
1. Faktor somatis atau fisik, seperti : kesehatan/ gizi/ pola makan, jenis kelamin,
usia.
2. Faktor psikis, seperti : pengetahuan, sikap/ gaya hidup/ pengelolaan stress.
B. Faktor-faktor eksternal yaitu :
1. Faktor fisik, seperti : kebisingan, suhu, pencahayaan.
2. Faktor kimia, seperti : zat beracun
3. Faktor biologis, seperti : bakteri jamur
4. Faktor ergonomi
5. Faktor lingkungan kerja, seperti : kategori pekerjaan, sifat pekerjaan, disiplin
perusahaan, gaji/ uang lembur (insentif), hubungan sosial, posisi kerja.
A. Faktor Internal
1.

Umur dapat mempengaruhi kelelahan pekerja. Semakin tua umur
seseorang semakin besar

tingkat

yang dapat berubah karena

kelelahan.

faktor usia

Fungsi

faal

tubuh

mempengaruhi ketahanan

tubuh dan kapasitas kerja seseorang ( Muftia, 2005). Pekerja yang berumur
diatas 35 tahun memiliki kelemahan pada saat melakukan pekerjaan
dengan temperatur panas dibaningkan dengan pekerja yang lebih muda
(Davis 2001). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan
(Mutaqien, 2009) yang menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat

Universitas Sumatera Utara

18

kelelahan pada pekerja yang berumur > 25 tahun dan umur ≤ 25 tahun.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur seseorang
maka akan semakin besar tingkat kelelahan yang dirasakan.
2.

Jenis Kelamin
Penggolongan jenis kelamin terbagi menjadi pria dan wanita.

Menurut

Kroemer dan Grandjean (1997) dalam Tarwaka, (2004) bahwa masalah
pada pekerja wanita dapat disebabkan oleh periode hormonal fungsi tubuh
serta adanya pekerjaan rumah tangga sehingga gangguan menstruasi,
aborsi, gangguan tidur dan kelelahan sering terjadi.
3.

Status Perkawinan
Menurut Puspita (2009) seseorang yang sudah menikah dan memiliki
keluarga maka akan mengalami kelelahan akibat kerja dikarenakan waktu
setelah bekerja digunakan untuk melayani anak dan istrinya, bukan untuk
beristirahat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Mauludi (2009) yang
dilakukan pada 100 pekerja di proses produksi kantong semen pdb (paper
bag division) PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, didapatkan P value
sebesar 0,045 yang berarti terdapat hubungan bermakna antara status
perkawinan dengan kelelahan .

4.

Masa Kerja
Sidabalok (2007) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa semakin
lama masa kerja berpengaruh kepada tingkat kelelahan diakibatkan tingkat
monotoni

kerja

yang

telah

terakumulasi

selama

bertahun-tahun.

Berdasarkan study Jansen, (2003) dalam Safitri (2008) terhadap pekerja

Universitas Sumatera Utara

19

shift pada kelompok lama kerja < 15 tahun (0-5 tahun; 6-10 tahun; 11-15
tahun) dibandingkan dengan kelompok dengan lama kerja > 15 tahun
terdapat kecenderungan bahwa pekerja dengan masa kerja < 15 tahun
menunjukkan tingkat kelelahan kerja yang paling tinggi karena proses
adaptasi.
5.

Status Gizi/ Indeks Masa Tubuh
Status gizi berhubungan erat dan berpengaruh pada produktivitas dan
efisiensi kerja. Dalam melakukan pekerjaan tubuh memerlukan energi,
apabila kekurangan baik secara kualitatif maupun kuantitatif kapasitas
kerja akan terganggu (Tarwaka, 2004). Status gizi seseorang dapat
diketahui dari perhitungan Indeks Masa Tubuh (IMT). Adapun cara
perhitungan IMT adalah sebagai berikut :

IMT =
Pada penelitian Dewi (2006) yang dilakukan di PT ” X ” kelelahan banyak
dialami oleh pekerja dengan status gizi normal yaitu sebanyak 31 orang
(59,6%), dengan P value sebesar 0,030 maka dinyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja.
Dalam penelitian lain, kelelahan banyak dialami oleh pekerja dengan
status gizi normal yaitu sebanyak 48 orang (69,6%) dengan P value 0,544
maka dinyatakan tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan
kelelahan pada pekerja (Sisinta, 2005). Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Uminah (2005) di RS. Pelni disebutkan kelelahan banyak

Universitas Sumatera Utara

20

dialami pada pekerja dengan status gizi normal yaitu sebanyak 19 orang
(35,2%) dengan P value sebesar 0,905 dinyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja.
6.

Riwayat Penyakit
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi kelelahan, antara lain :
1. Penyakit Jantung
Ketika bekerja, jantung dirangsang sehingga kecepatan denyut
jantung dan kekuatan pemompaannya menjadi meningkat. Jika ada
beban ekstra yang dialami jantung misalnya membawa beban berat,
dapat mengakibatkan meningkatnya keperluan oksigen ke otot
jantung. Kekurangan suplai oksigen ke otot jantung menyebabkan
dada sakit. Kekurangan oksigen jika terus menerus , maka terjadi
akumulasi yang selanjutnya terjadi metabolisme anaerobik diaman
akan menghasilkan asam laktat yang mempercepat kelelahan
(Santoso, 2004).
2. Tekanan Darah Rendah
Penurunan

kapasitas

karena

serangan

jantung

mungkin

menyebabkan tekanan darah menjadi amat rendah sedemikian rupa,
sehingga menyebabkan darh tidak cukup mengalir ke arteri koroner
maupun kebagian tubuh yang lain. Dengan berkurangnya jumlah
suplai darh yang dipompa dari jantung, berakibat berkurang pula
jumlah oksigen sehingga terbentuklah asam laktat. Asam laktat
merupakan indikasi adanya kelelahan (Nurmianto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

21

B. Faktor Eksternal
1.

Kebisingan
Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan. Penelitian yang
dilakukan didalam dan diluar negeri menunjukkan bahwa pada frekuensi
300- 6000 Hz, pengurangan pendengaran tersebut disebabkan oleh
kebisingan.

2.

Getaran
Getaran-getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis yang sebagian
dari getaran ini sampai ketubuh dan dapat menimbulkan akibat-akibat
yang tidak diinginkan pada tubuh kita. Menambahnya tonus otot-otot oleh
karena getaran dibawah frekuensi 20 Hz menjadi sebab kelelahan,
sebaliknya frekuensi diatas 20 Hz menyebabkan pengenduran otot.
Getaran mekanis terdiri dari campuran aneka frekuensi bersifat
menegangkan dan melemaskan tonus otot secara serta merta berefek
melelahkan (Suma’mur, 2009).

3.

Iklim kerja
Efesiansi kerja sangat dipengaruhi oleh cuaca kerja dalam daerah nikmat
kerja, jadi tidak dingin dan kepanasan. Untuk ukuran suhu nikmat bagi
orang Indonesia adalah 24-

C. Suhu panas mengurangi kelincahan,

memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan,
6.

Beban Kerja
Menurut Astrand & Rodahl (1977) dan Rodahl (1989) dalam Tarwaka
2004 bahwa penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua

Universitas Sumatera Utara

22

metode secara objektif, yaitu metode penilaian langsung dan metode tidak
langsung. Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi
yang dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama
bekerja. Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energi yang
diperlukan atau dikonsumsi. Meskipun metode dengan menggunakan
asupan oksigen lebih akurat, namun hanya dapat mengukur untuk waktu
kerja yang singkat dan diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan
metode pengukuran tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi
selama kerja. Lebih lanjut Christensen (1991) dan Grandjean (1993)
menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat
ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi
oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu
ventilasi paru, denyut jantung dan suhu tubuh mempunyai hubungan yang
linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kemudian
Konz (1996) mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat
estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan
vasodilatasi.
a. Subjective Workload Assesment Tecnique (SWAT)
SWAT khusus didesain untuk mengukur work load pekerja dalam sistem
yang bervariasi untuk beberapa tuga. SWAT mengkombinasikan rating
pada tiga dimensi workload; time load, mental effort load, dan stress load
(Reid & Nygren, 1998, dalam Wickens dan Holands, 2000). Tig dimensi
tersebut adalah:

Universitas Sumatera Utara

23

1. Time load atau beban kerja waktu yang menunjukkan jumlah waktu
yang tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring
tugas.
2. Mental effort atau beban usaha mental, yang berarti banyaknya
usaha mental dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
3. Psychological stress atau beban tekanan psikologis yang
menunjukkan tingkat risiko pekerjaan, kebingungan, dan frustasi.
Metode

Subjective

Workload Assesment

Tecnique (SWAT)

dikembangkan oleh Gary B. Reid dari divisi Human Engineering pada
Amstrong Laboratory, Ohio-USA digunakan menganalisa beban kerja
yang dihadapi oleh seseorang yang harus melakukan aktivitas (baik yang
merupakan beban kerja fisik maupun mental) yang bermacam-macam.
Dalam penerapannya, SWAT akan memberikan penskalaan subjektif yang
sederhana dan mudah dilakukan untuk mengkuantifkasikan beban kerja
dari aktivitas yang bermacam-macam yang harus dilakukan oleh seorang
pekerja.
SWAT juga menggambakan sistem kerja sebagai sebuah model
multi dimensional dari beban kerja yang terdiri atas tiga dimensi atau
faktor yaitu (1) beban waktu, (2) beban usaha, (3) beban tekanan
psikologis, masing-masing terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu rendang,
sedang, dan tinggi. Dalam penerapannya setiap tingkatan untuk ketiga
faktor tersebut akan dikombinasikan sehingga akhirnya membentuk 27

Universitas Sumatera Utara

24

kombinasi tingkat beban kerja mental. Prosedur penerapan merode SWAT
terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penskalaan (Scale Development) dan
tahap penilaian (Event Scoring).
Pada langkah pertama, 27 kombinasi tingkat beban kerja mental
diurutkan dengan berdasarkan persepsi yang dipahami oleh responden.
Data hasil pengurutan kemudian ditranformasikan kedalam sebuah skala
interval dari beban kerja dengan range 0-100. Pada tahap penilaian, sebuah
aktivitas atau kejadian akan dinilai dengan menggunakan rating 1 sampai 3
(rendah, sedang, tinggi) untuk setiap dimensi atau faktor yang ada. Nilai
skala yang berkaitan dengan kombinasi tersebut (yang didapat dari tahap
penskalaan) kemudian dipakai sebagai nilai beban kerja untuk aktivitas
yang bersangkutan. Semaksimal mungkin diusahakan agar selama proses
pengumpulan data dalam penerapan metode SWAT tidak mengganggu
pekerjaan dari subyek (pekerja) yang diteliti.
Dalam penelitian ini Peneliti akan menggunakan Teori dari
Pengukuran Beban kerja dengan metode SWAT karena dimensi dari
metode ini dianggap relevan untuk dikaitkan dengan pekerjaan dari
Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat. Berikut ini tabel dimensi dari
metode SWAT:

Universitas Sumatera Utara

25

Tabel 2.1 Dimensi dari Metode SWAT
1.

1. Often have spare time, interuptions or
overlap among activities occur infreuently
or not at all
2. Occasonally have spare time, Interuptions
or overlap amng activities occur
infrequently
3. Almost never have spare time, interuptions
or overlap among activities are very
frequntly, or occur all the time
2. Mental Effort
1. Very little conscious mental effor or
Load
concentration requied. Activity is almost
automatic, requiring little or no attention
2. Moderate conscious mental effor or
concenstration required. Complexity or
activity is moderately high due to
uncertainly,
inpredictability,
or
unfamiliarity.
Considerable
attention
required
unfamliarity.
Considerable
attention required.
3. Extensive mental effort and concentration
are necessary. Very complex activity
requiring total attention
3. Psychological
1. Little confusion, risk, frustation, or anxiety
Stress Load
exists and can be easily accommodated
2. Moderate stress due to confusion,
frustration or anxiety noticeably adds to
workload. Significant compensation is
required to maintain adequate performance
3. High to very intense stress due to confusion
frustration or anxiety. High ectreme
determination and self-control required.
Sumber: Reid, G. B. And Nygren, T. E. 1998. The subjective
workloadassessment technique: a scaling procedure for
measuring mental workload
5.

Time Load

Jarak Tempuh ke Tempat Kerja
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Isti Fadah dan Istatuk Budi
Yuswanto (2004), Jarak tempat tinggal responden ke tempat bekerja
merupakan jarak yang harus ditempuh responden menuju tempat bekerja.

Universitas Sumatera Utara

26

Semakin jauh jaraknya maka waktu yang terbuang semakin banyak,
tingkat efisiensi waktu menurun. Akibatnya curahan jam kerja akan
semakin berkurang. Menurut pendapat Hang Kueng dalam Fuad Mustofa
(2006: 22) jarak dikatakan dekat apabila jarak tempuh penduduk dengan
berjalan kaki kurang atau sama dengan 1 km dan jarak dikatakan jauh
apabila jarak tempuh penduduk lebih dari 1 km. Waktu tempuh penduduk
dengan jalan kaki dikatakan sebentar apabila kurang dari atau sama dengan
15 menit, dan dikatakan lama bila waktu tempuh lebih dari 15 menit.
Sedangkan menggunakan kendaraan jarak tempuh penduduk dikatakan
dekat apabila kurang dari atau sama dengan 2 km dan dikatakan jauh
apabila lebih dari 2 km, dan waktu tempuh penduduk dikatakan sebentar
apabila kurang dari atau sama dengan 15 menit dan dikatakan lama apabila
lebih dari 15menit.
2.1.7

Pengukuran Kelelahan
Menurut Grandjean (dalam Tarwaka, 2004: 110), mengelompokkan

metode pengukuran kelelahan dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja
(waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit
waktu. Namun demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti; target
produksi; faktor sosial; dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas
output (kerusakan produk, penolakan produk) atau frekuensi kecelakaan dapat

Universitas Sumatera Utara

27

menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan
causal factor.
2. Uji psiko-motor (Psychomotor test)
Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motor.
Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuranwaktu reaksi.
Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada
suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat
digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan.
Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya pelambatan
pada proses faal syaraf dan otot.
Menurut Sanders dan McCormick (dalam Tarwaka, 2004: 111)
mengatakan bahwa waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon yang
spesifik saat satu stimuli terjadi. Waktu reaksi terpendek biasanya berkisar antara
150 s/d 200 millidetik. Waktu reaksi tergantung dari stimuli yang dibuat;
intensitas dan lamanya perangsangan; umur subjek; dan perbedaan-perbedaan
individu lainnya.
Menurut Setyawati (dalam Tarwaka,2004: 111) melaporkan bahwa dalam
uji waktu reaksi, ternyata stimuli terhadap cahaya lebih signifikan daripada
stimuli suara. Hal tersebut disebabkan karena stimuli suara lebih cepat diterima
oleh reseptor daripada stimuli cahaya. Alat ukur waktu reaksi yang telah
dikembang di Indonesia biasanya menggunakan nyala lampu dan denting suara
sebagai stimuli.

Universitas Sumatera Utara

28

3. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusion test)
Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan
akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan
untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, di samping untuk mengukur kelelahan
juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja.
4. Perasaan kelelahan secara subjektif (Subjective feelings of fatigue)
Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research Committee
(IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk mengukur
tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar pertanyaan yang
terdiri dari:
a. 10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan:
1) perasaan berat di kepala
2) lelah seluruh badan
3) berat di kaki
4) menguap
5) pikiran kacau
6) mengantuk
7) ada beban pada mata
8) gerakan canggung dan kaku

Universitas Sumatera Utara

29

9) berdiri tidak stabil
10) ingin berbaring
b. 10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi:
11) susah berpikir
12) lelah untuk bicara
13) gugup
14) tidak berkonsentrasi
15) sulit memusatkan perhatian
16) mudah lupa
17) kepercayaan diri berkurang
18) merasa cemas
19) sulit mengontrol sikap
20) tidak tekun dalam pekerjaan
c. 10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan fisik:
21) sakit di kepala
22) kaku di bahu
23) nyeri di punggung

Universitas Sumatera Utara

30

24) sesak nafas
25) haus
26) suara serak
27) merasa pening
28) spasme di kelopak mata
29) tremor pada anggota badan
30) merasa kurang sehat
5. Uji mental
Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan.
Bourdon Wiersma test, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
menguji kecepatan, ketelitian dan konstansi. Hasil tes akan menunjukkan bahwa
semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konstansi akan
semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma test lebih
tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat
mental.

Universitas Sumatera Utara

31

2.2

Pegawai Negeri Sipil

2.2.1

Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Dalam suatu organisasi, kualitas sumber daya manusia sangat menentukan

berjalan tidaknya suatu organisasi. Pencapaian tujuan yang ditentukan oleh
organisasi tersebut tergantung kepada kemampuan manusia untuk menggerakkan
organisasi tersebut ke arah yang telah ditetapkan. Manusia yang terlibat dalam
organisasi ini disebut juga pegawai.
A.W.

Widjaja

(2006:113)

berpendapat

bahwa,

“Pegawai

adalah

merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah maupun rohaniah (mental dan pikiran)
yang senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok
dalam usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi). Selanjutnya
A.W. Widjaja mengatakan bahwa, “Pegawai adalah orang orang yang dikerjakan
dalam suatu badan tertentu, baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun dalam
badan-badan usaha.
Musanef(2006:5) yang mengatakan bahwa, Pegawai adalah orang-orang
yang melakukan pekerjaan dengan mendapat imbalan jasa berupa gaji dan
tunjangan dari pemerintah atau badan swasta. Selanjutnya Musanef memberikan
definisi pegawai sebagai pekerja atau worker adalah, “Mereka yang secara
langsung digerakkan oleh seorang manajer untuk bertindak sebagai pelaksana
yang akan menyelenggarakan pekerjaan sehingga menghasilkan karya-karya yang
diharapkan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara

32

Dari definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pegawai sebagai
tenaga kerja atau yang menyelenggarakan pekerjaan perlu digerakkan sehingga
mereka mempunyai keterampilan dan kemampuan dalam bekerja yang pada
akhirnya akan dapat menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk
tercapainya tujuan organisasi. Karena tanpa kemampuan dan keterampilan
pegawai sebagai pelaksana pekerjaan maka alat-alat dalam organisasi tersebut
akan merupakan benda mati dan waktu yang dipergunakan akan terbuang dengan
percuma sehingga pekerjaan tidak efektif.
Dari beberapa defenisi pegawai yang telah dikemukakan para ahli tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah pegawai mengandung pengertian sebagai
berikut:
1. Menjadi anggota suatu usaha kerja sama (organisasi) dengan maksud
memperoleh balas jasa atau imbalan kompensasi atas jasa yang telah diberikan.
2. Pegawai di dalam sistem kerja sama yang sifatnya pamrih.
3. Berkedudukan sebagai penerima kerja dan berhadapan dengan pemberi kerja
(majikan).
4. Kedudukan sebagai penerima kerja itu diperoleh setelah melakukan proses
penerimaan.
5. Akan mendapat saat pemberhentian (pemutusan hubungan kerja antara pemberi
kerja dengan penerima kerja)

Universitas Sumatera Utara

33

2.2.2

Jenis Pegawai Negeri Sipil
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang PokokPokok Kepegawaian, yang menjelaskan Pegawai Negeri terdiri dari:
1. Pegawai Negeri Sipil
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pegawai Negeri Sipil terdiri dari:
1. Pegawai negeri sipil pusat
2. Pegawai negeri sipil daerah
3. Pegawai negeri sipil lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat
a. Yang bekerja sama pada departemen, lembaga pemerintah non departemen,
kesekretariatan, lembaga tertinggi/tinggi negara, instansi vertikal di daerahdaerah dan kepaniteraan pengadilan
b. Yang bekerja pada perusahaan jawatan misalnya perusahaan jawatan kereta
api, pegadaian dan lain-lain.
c. Yang diperbantukan atau dipekerjakan pada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota.
d. Yang berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan diperbantukan atau
dipekerjakan pada badan lain seperti perusahaan umum, yayasan dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

34

e. Yang menyelenggarakan tugas negara lainnya, misalnya hakim pada pengadilan
negeri/pengadilan tinggi dan lain-lain.
2. Pegawai Negei Sipil Daerah
Pegawai Negeri Sipil Daerah diangkat dan bekerja pada Pemerintahan
Daerah Otonom baik pada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
3. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Masih dimungkinkan adanya pegawai negeri sipil lainnya yang akan
ditetapkan dengan peraturan pemerintah, misalnya kepala-kepala kelurahan dan
pegawai negeri di kantor sesuai dengan UU No.43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang
menyelenggarakan tugas-tugas negara atau pemerintahan adalah pegawai negeri,
karena kedudukan pegawai negeri adalah sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat, juga pegawai negeri merupakan tulang punggung pemerintah dalam
proses

penyelenggaraan

pemerintahan

maupun

dalam

melaksanakan

pembangunan nasional.
2.2.3

Sistem Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri
Dalam Suma’mur (2009:491) terdapat tiga sistem pemeliharaa kesehatan

pegawai Negeri yang berlaku da berjalan di Indonesia, yaitu sistem restitusi,
sistem resep pegawai Negeri dan sistem asuransi. Pengalaman menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

35

bahwa kedua sistem yang disbut terdahulu tidak mungkin dilanjutkan oleh karena
menimbulkan permasalahan dalam hal pembiayaan. Oleh karena adanya
kelemahan dalam sistem restitusi dan sistem resep pegawai Negeri maka kedua
sistem tersebut tidak mungkin di teruskan untuk dipakai sebagai sistem
pemeliharaan kesehatan pegawai Negeri.
Oleh karena itu, diterapkan sistem asuransi yang memiliki segi positif dan
telah ternyata dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1. Asuransi kesehatan memungkinkan biaya rata-rata per kapita yang jauh lebih
rendah, mengingat adanya praktek yang kurang atau jarang sakit menanggung
yang sering sakit.
2. Asuransi kesehatan mengikutsertakan pegawai Negeri berserta keluarganya
dalam pembiayaan pemeliharaan kesehatan.
3. Asuransi kesehatan dapat mengikutsertakan dokter dan fasilitas kesehatan
sektor pemerintah dan swasta, sehingga semua dokter mengambil bagian aktif
dalam sistem ini.
4. Asuransi kesehatan membebaskan pegawai Negeri dari kesulitan untuk
membayar biaya dokter dan obat-obatan terahulu. Demikian pula asuransi
kesehatan membebaskan pegawai Negeri dari ketentuan peraturan yang tidak
sesuai lagi
5. Asuransi kesehatan membantuperkembangan praktek dokter ke arah sistem
yang sosialistis

Universitas Sumatera Utara

36

6. Asuransi kesehatan dapat mengumpulkan dan memupuk dana cukup besar
sehingga dimanfaatkan bagi kepentingan peserta dan bermanfaaat bagi
pembangunan
Sistem asuransi kesehatan bagi pegawai Negeri telah berjalan sejak tahun
1969 dengan terus menerus disempurnakan tata cara dan pelaksanaannya.
Pegawai Negeri dapat berobat pada pusat pelayanan kesehatan, sedangkan untuk
perawatan di Rumah Sakit telah dibuat peraturannya. Untuk pelaksanaan Dana
Kesehatan ini, 5% gaji bruto pegawai Negeri diserahkan kepada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan
Indonesia (ASKES).
2.3

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran
Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan

dengan pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2
(dua) hal yaitu indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
1. Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap
bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
2. Jaringan elektrik dan komunikasi.
3. Kualitas udara.
4. Kualitas pencahayaan.
5. Kebisingan.
6. Display unit (tata ruang dan alat).
7. Hygiene dan sanitasi.

Universitas Sumatera Utara

37

2.3.1

Permasalahan K3 Perkantoran dan Rekomendasi

a. Konstruksi Gedung :
1. Desain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
2. Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan
seperti asbes dll.
3. Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan
warna yang disesuaikan dengan kebutuhan.
4. Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting
seperti perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta
petunjuk pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya dekat
lift dll, lampu darurat menuju exit door).
b. Kualitas Udara
1. Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.
2. Kontrol terhadap polusi
3. Pemasangan “Exhaust Fan” (perlindungan terhadap kelembaban udara).
4. Pemasangan stiker, poster “dilarang merokok”.
5. Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk,
ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter
AC) minimal setahun sekali, kontrol mikrobiologi serta distribusi udara untuk
pencegahan penyakit “Legionairre Diseases “.
6. Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
7. Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan
debu, bau dll.

Universitas Sumatera Utara

38

8. Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat esehatan
dan keselamatan, dll.
9. Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
10. Pemasangan fan di dalam lift.
c. Kualitas Pencahayaan
1. Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan untuk
membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara
berkala diukur dengan Lux Meter)
2. Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
3. Mengembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan kombinasi
cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
4. Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
5. Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna yang
digunakan.
6. Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.
d. Jaringan Elektrik dan Komunikasi:
1. Internal
1. Over voltage
2.

Hubungan pendek

3. Induksi

4. Arus berlebih
5. Korosif kabel
6. Kebocoran instalasi

Universitas Sumatera Utara

39

7. Campuran gas eksplosif
2. Eksternal
1. Faktor mekanik.
2. Faktor fisik dan kimia.
3. Angin dan pencahayaan (cuaca)
4. Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi
hubungan pendek.
5. Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
6. Bencana alam atau buatan manusia.
2.3.2

Rekomendasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran

1. Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
2. Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan) hal
ini untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
2. Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai
dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
3. Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
a. Kontrol terhadap kebisingan :
1. Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
2. Di depan pintu ruang rapat diberi tanda ” harap tenang, ada rapat “.
3. Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
4. Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan tata
ruang.

Universitas Sumatera Utara

40

b. Display unit (tata ruang dan letak)
1. Petunjuk desain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk
perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi.
2. Konsep desain dan dan letak furniture (1 orang/2 m).
3. Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
4. Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik.
5. Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
6. Tempat untuk istirahat dan shalat.
7. Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
8. Ruang tempat penampungan arsip sementara.
9. Workshop station (bengkel kerja).
c. Hygiene dan Sanitasi :
a. Ruang kerja
1. Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang kerja.
2. Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di upgrade.
b. Toilet/Kamar mandi
1. Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
2. Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan
berupa gambar dll.
3. Penyediaan bak sampah yang tertutup.
4. Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
c. Kantin

Universitas Sumatera Utara

41

1. Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala,
celemek, sarung tangan dll).
2. Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
3. Lantai tetap terpelihara.
4. Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak
menggunakan minyak goreng secara berulang.
5. Penyediaan bak sampah yang tertutup.
6. Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan
pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
d. Psikososial
1. Petugas keamanan ditiap lantai.
2. Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
3. Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
a. Budaya nrimo.
b. Sistem pelaporan macet.
c. Ketakutan melaporkan.
d. Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
4. Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual secara
berkala minimal sebulan sekali.
5. Penegakan disiplin ditempat kerja.
6. Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
7. Menggalakkan olah raga setiap jumat.

Universitas Sumatera Utara

42

2.3.3

Pemeliharaan

1. Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan
memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan dan
kemungkinan terjadinya.
2. Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
ketentuan.
3. Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
4. Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/ bencana
alam serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.
2.3.4

Aspek K3 Perkantoran (tentang Penggunaan Komputer)

1. Pergunakan komputer secara sehat, benar dan nyaman :
2. Hal-hal yang harus diperhatikan :
3. Memanfaatkan kesepuluh jari.
4. Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
5. Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
6. Lakukan peregangan.
7. Sudut lampu 45 derajat.
8. Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari belakang.
9. Sudut pandang 15 derajat, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
10. Kursi ergonomis (adjusted chair).
11. Jarak meja dengan paha 20 cm.
12. Senam waktu istirahat.

Universitas Sumatera Utara

43

2.4

Kerangka Konsep

Faktor Internal
a. Umur
b. Jenis Kelamin

c. Status Perkawinan
d. Masa Kerja
e. Status Gizi/ IMT

Kelelahan Kerja

Faktor Eksternal
a. Jarak Tempuh ke Tempat Kerja
b. Beban Kerja
c. Metode Pekerjaan
Gambar 2.4
Kerangka Konsep
Sumber : Suma’mur (2013), Faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Peran Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Terhadap Masyarakat Dikecamatan Sidamanik Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Serta Pelaksanaannya Berdasarkan Uu Pa Dan Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997

2 111 115

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Inspektorat Terhadap Disiplin Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Kota Tening Tinggi Di Tinjau Dari Hukum Administrasi Negara

8 85 78

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Kilang Padi CV. Rezeki Jaya Kecamatan Panombean Kabupaten Simalungun Tahun 2016

11 50 95

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Kilang Padi CV. Rezeki Jaya Kecamatan Panombean Kabupaten Simalungun Tahun 2016

0 0 2

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat Kabupaten Simalungun di Pematang Raya Tahun 2017

0 0 18

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat Kabupaten Simalungun di Pematang Raya Tahun 2017

0 0 2

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat Kabupaten Simalungun di Pematang Raya Tahun 2017

0 0 8

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat Kabupaten Simalungun di Pematang Raya Tahun 2017 Chapter III VI

0 0 45

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat Kabupaten Simalungun di Pematang Raya Tahun 2017

0 10 4

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja Pegawai Negeri Sipil Kantor Inspektorat Kabupaten Simalungun di Pematang Raya Tahun 2017

0 0 24