RESPON MOLTING PERTUMBUHAN DAN KOMPOSISI

RESPON MOLTING, PERTUMBUHAN, DAN KOMPOSISI KIMIA TUBUH KEPITING
BAKAU PADA BERBAGAI KADAR KARBOHIDRAT-LEMAK PAKAN BUATAN
YANG DIPERKAYA DENGAN VITOMOLT
Siti Aslamyah*1 & Yushinta Fujaya 1
Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Jalan Perintis Kemerdekaan Km X, Tamalanrea, Makassar 90245 Telp./Faks. 0411-586025
*
Penulis untuk korespondensi, e-mail:Email siti_aslamyah_uh@yahoo.co.id
1

Abstrak
Pakan buatan dengan imbangan protein dan energi yang optimum sangat menentukan tingkat
produksi kepiting cangkang lunak. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi respon molting,
pertumbuhan, dan komposisi kimia tubuh kepiting bakau pada berbagai kadar karbohidratlemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt. Penelitian dilaksanakan pada bulan
April-Juli 2010, di Crabs Research Station yang terletak di Kabupaten Maros. Empat pakan
buatan dengan berbagai kadar karbohidrat-lemak diuji pada penelitian ini, yaitu pakan A (40,110,2%), B (43,26:9,1%), C (45,19:8,05%), dan D (48,89%:7,2%), masing-masing pakan dengan
kadar protein ± 30% dan diperkaya vitomol dengan dosis 700 ng/g kepiting. Selama penelitian,
kepiting dipelihara secara individu dalam crabs box yang diletakkan di tambak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pakan buatan dengan kadar karbohidrat 48,89% dan lemak 7,2%
memberikan respon persentase molting tertinggi (73,33%). Hasil yang sama ditunjukkan pada
pertumbuhan bobot mutlak (16,24 ± 8,68 g) dan relatif (27,51 ± 14,04%), pertambahan lebar

karapas mutlak (9,70 ± 3,84 mm) dan relatif (14,71 ± 5,94%) setelah molting. Hasil tersebut
juga didukung oleh hasil analisis komposisi kimia tubuh setelah 14 hari perlakuan, meliputi
kadar protein (39,14 ± 3,1%); lemak (8,36 ± 1,1%); serat kasar (11,79 ± 2,2%); BETN (12,68 ±
1,2%); abu (28,03 ± 1,8%), serta kadar glikogen hepatopankreas (8,99 ± 0,5 mg/g) dan glikogen
otot (7,44 ± 0,9 mg/g).
Kata kunci : kepiting bakau, karbohidrat, lemak, pakan buatan, vitomolt
Pengantar
Pakan merupakan sumber energi dan materi bagi pertumbuhan dan kelangsungan
hidup kepiting bakau. Pakan berkualitas adalah pakan dengan kandungan protein, lemak,
karbohidrat, mineral, dan vitaminnya seimbang. Aslamyah & Fujaya (2009) telah berhasil
menemukan pakan buatan khusus kepiting dengan tingkat water stability tinggi yang dicirikan
dengan tekstur pakan yang kompak dan tidak mudah terdispersi, tahan terendam 24 jam dalam
air, dan yang terpenting adalah disukai kepiting. Pakan buatan tersebut diformulasi untuk
mendukung aplikasi vitomolt melalui pakan.
Vitomolt merupakan stimulan molting yang diekstrak dari tanaman bayam
(Amaranthacea tircolor) untuk produksi kepiting cangkang lunak (soft shell crabs) yang
ditemukan Fujaya et al. (2007). Vitomolt mengandung fitoekdisteroid. Ekdisteroid adalah
hormon yang berperan dalam mengontrol molting pada arthropoda dan krustase (Bakrim et al.
2008). Vitomolt juga efektif diberi melalui pakan, selain melaui injeksi (Fujaya et al., 2009).
Selanjutnya Aslamyah & Fujaya (2010) melaporkan pakan buatan bervitomolt dengan kadar

protein 30,62% dan karbohidrat 41,72% efektif menstimulasi molting kepiting bakau, dengan
persentase molting 100%. Hasil yang dicapai lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
persentase molting kepiting bakau yang diberi pakan dengan kadar protein lebih tinggi dan
karbohidrat lebih rendah. Namun demikian, pakan yang digunakan pada percobaan tersebut
belum isokalori.
Satpathy et al. (2003) mengemukakan penggunaan protein maksimum untuk
pertumbuhan berhubungan dengan pemasukan protein dan ketersediaan sumber energi
nonprotein, yaitu karbohidrat dan lemak. Pemasukan energi nonprotein memperlihatkan
penghematan protein katabolisme untuk penyediaan energi dan meningkatkan pemanfaatan
protein untuk pertumbuhan, suatu proses yang dikenal dengan protein sparing effect. Menurut
Taboada et al. (1998) dan Rosas et al. (2001) pakan dengan rasio protein per energi optimum
menggambarkan titik keseimbangan antara jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme

2

basal dan pertumbuhan. Satpathy et al. (2003) mengemukakan bahwa pakan dengan rasio
protein per energi optimum akan menghasilkan pertumbuhan dan pemanfaatan pakan yang
paling optimal. Peningkatan kadar protein pakan berakibat pada peningkatan pertumbuhan
sampai batas tertentu pada kadar energi yang sama. Selanjutnya dijelaskan bahwa pakan yang
kandungan energinya kurang menyebabkan terjadinya penggunaan sebagian besar protein

sebagai sumber energi. Sebaliknya jika kandungan energi pakan terlalu tinggi dapat
menyebabkan pakan yang dimakan berkurang dan penerimaan nutrien lain termasuk protein
yang diperlukan untuk pertumbuhan juga berkurang (Satpathy et al., 2003; Jobling et al., 2001).
Pakan dengan imbangan dan energi yang optimum harus didukung oleh optimalnya
kadar karbohidrat dan lemak pakan. Pratoomchat et al. (2002) dan Satphaty et al. (2003)
mengemukakan selain untuk memenuhi kebutuhan energi dan persediaan makanan di dalam
tubuh, karbohidrat juga berfungsi untuk sintesis kitin pada kulit, polimerisasi khitin dan
pembentukan kutikula. Lemak merupakan salah satu komponen pakan yang paling penting
untuk pertumbuhan, yang berfungsi untuk pemeliharaan struktur dan integritas membran sel
dalam bentuk fosfolipid dan sebagai sumber energi.
Berdasarkan hal terbut perlu dilakukan optimasi kadar karbohidrat-lemak pakan, untuk
mendukung formulasi pakan isokalori. Tujuan penelitian ini adalah menemukan kadar
karbohidrat-lemak optimum dalam pakan buatan isokalori berbahan dasar limbah yang
diperkaya dengan vitomolt dalam menstimulasi molting dan pertumbuhan kepiting bakau
setelah molting, serta mengkaji pengaruhnya terhadap komposisi kimia tubuh, meliputi kadar
protein, lemak, BETN, serat kasar, dan abu, serta kadar glikogen pada hepatopankreas dan
otot.
Bahan dan Metode
Bahan
Hewan uji adalah kepiting bakau (Scylla spp.) dengan ukuran berat 56 ± 3,4 g dan lebar

karapas 64 ± 3,3 mm.
Kepiting bakau yang dijadikan sampel sebanyak 120 ekor, masingmasing 10 ekor per perlakuan. Kepiting diperoleh dari suplayer kepiting di Kabupaten Maros.
Pakan yang digunakan pada percobaan ini adalah empat pakan buatan isokalori dalam
bentuk pellet pada berbagai kadar karbohidrat-lemak. Keempat pakan tersebut berbahan dasar
limbah pangan dengan kadar protein ± 30% (Aslamyah & Fujaya, 2009). Komposisi nutrien
pakan uji disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi nutrien pakan uji
Komposisi
Air (%)
Abu (% bk)
Protein (% bk)
Lemak (% bk)
Serat kasar (% bk)
BETN (% bk)
DE (kkal/kg.)*)
C/P (DE/g Protein)

Pakan
A
10.55

13.52
30.2
10.2
5.98
40.1
2885.7
9.56

B
10.16
12.01
30.4
9.1
5.23
43.26
2882.6
9.48

C
10.3

11.11
30.15
8.05
5.5
45.19
2837.05
9.41

D
10.2
8.15
30.06
7.2
5.7
48.89
2857.55
9.51

Keterangan : *)Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC, 1988) :
1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE

1 g protein
= 3,5 kkal DE
1 g lemak
= 8,1 kkal DE

Masing masing pakan uji diperkaya dengan vitomolt dengan dosis 700 ng/g kepiting
(Fujaya et al., 2009). Pencampuran vitomolt dalam pakan mengikuti metode Aslamyah (2000).
Vitomolt dilarutkan dengan etanol 80% dengan perbandingan 1:1 kemudian dihomogenkan.
Larutan ditambah etanol 80% sampai 20 mL/kg pakan dan disemprotkan secara merata ke
pakan uji, kemudian pakan dikeringanginkan. Pakan selanjutnya disimpan hingga siap untuk
digunakan.

3

Wadah percobaan adalah crabs box dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi masingmasing adalah 21 cm x 15 cm x 8 cm. Crabs box diletakkan pada rakit yang terbuat dari pipa
paralon diameter 10 cm dan ditempatkan dalam tambak air payau dengan kedalaman ± 100
cm. Crabs box yang digunakan berjumlah 120 buah.
Metode
Percobaan dilaksanakan di Crabs Research Station di Kecamatan Lau, Kabupaten
Maros Propinsi Sulawesi Selatan dari bulan April sampai September 2010. Pembuatan pakan

buatan dan vitomolt dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Perikanan dan Kelautan, Pusat
Kegiatan Penelitian, Unhas. Analisis proksimat pakan dan tubuh kepiting uji, serta kadar
glikogen hepatopankreas dan otot dilakukan di Laboratorium Nutrisi, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB.
Perlakuan yang diuji adalah empat pakan buatan pada berbagai kadar karbohidratlemak, masing-masing dilakukan 3 kali pengulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 ekor
kepiting. Perlakuan tersebut adalah :
A. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 40,1:10,2 %
B. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 43,26:9,1%
C. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 45,19:8,05%
D. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 48,89:7,2%
Pemeliharaan kepiting uji dilakukan secara individu dalam crabs box. Sebelum diberi
perlakuan, kepiting uji diadaptasikan selama 4 hari dengan kondisi lingkungan penelitian.
Kemudian dilakukan penimbangan bobot awal kepiting uji dengan dan pengukuran lebar
karapas. Kepiting yang telah lolos sortir ditagging dengan menggunakan marker pada bagian
dorsal karapas untuk memudahkan dalam pengamatan dan dimasukkan dalam crabs box.
Pemberian pakan buatan sebanyak 3% dari bobot tubuh/hari dan dilakukan sekali sehari pada
sore hari. Pemberian pakan yang diperkaya dengan vitomolt dilakukan sampai hari ke 11, hari
selanjutnya diberi pakan uji tanpa vitomolt mengikuti metode Fujaya et al. (2009).
Pergantian air dilakukan setiap hari mengikuti ketinggian pasang surut. Pengukuran
kualitas air dilakukan selama pemeliharaan kepiting, meliputi : suhu, salinitas, oksigen terlarut,

pH, dan amoniak. Suhu diukur menggunakan termometer, salinitas dengan handrefractometer,
oksigen terlarut dengan DO meter, pH dengan pH meter, dan amoniak dengan
spektrofotometer.
Pengamatan secara visual dilakukan setiap hari untuk mengontrol perkembangan
kepiting uji setelah pemberian pakan sampai kepiting uji tersebut mengalami molting. Satu jam
setelah terjadi molting, dilakukan pengambilan data akhir dengan menimbang dan mengukur
lebar karapas kepiting uji. Peubah yang diamati adalah persentase molting, mortalitas,
pertumbuhan mutlak setelah molting, laju pertumbuhan relatif, komposisi kimia tubuh, serta
kadar glikogen hepatopankreas dan otot kepiting uji.
Persentase molting dihitung berdasarkan pada perbandingan jumlah kepiting yang
molting dengan jumlah awal kepiting. Mortalitas dihitung berdasarkan pada perbandingan
jumlah kepiting yang mati dengan jumlah awal kepiting. Pertumbuhan mutlak setelah molting
dihitung berdasarkan selisih berat/lebar karapas setelah molting dengan berat/lebar karapas
awal kepiting.
Laju pertumbuhan relatif dihitung berdasarkan rumus (Takeuchi, 1988).
Wt-Wo
Di mana: LPR = laju pertumbuhan relatif (%)
LPR = ------------- x 100
Wt = rata-rata berat/lebar karapas akhir
Wo

kepiting (g)
Wo = rata-rata berat/ lebar karapas awal
kepiting (g)
Pengukuran komposisi kimia tubuh kepiting dengan analisis proksimat dilakukan pada
awal dan setelah 15 hari masa percobaan. Bersamaan dengan pengukuran komposisi kimia
tubuh dilakukan juga pengukuran kadar glikogen tubuh kepiting uji. Otot diambil dari bagian
dorsal. Prosedur analisis kadar glikogen mengikuti metode Wedemeyer & Yasutake (1977).
Semua data pengamatan yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriptif,
yaitu dengan membandingkan hasil yang diperoleh antar perlakuan, serta membandingkan
dengan literatur pendukung.

4

Hasil dan Pembahasan
Hasil
Pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt dengan berbagai kadar karbohidratlemak memberikan respon persentase molting dan pertumbuhan yang berbeda pada kepiting
bakau. Data persentase molting dan mortalitas kepiting bakau setelah perlakuan berbagai
kadar karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt disajikan pada Tabel 2,
rata-rata pertumbuhan bobot mutlak (g) dan laju pertumbuhan relatif (%), serta pertambahan
lebar karapas mutlak (mm) dan laju pertambahan lebar karapas relatif (%) setelah molting

disajikan pada Tabel 3, sedangkan komposisi kimia tubuh (% bk), serta kadar glikogen
hepatopankreas dan otot kepiting (mg/g) setelah 15 hari perlakuan disajikan pada Tabel 4.
Kisaran data pengukuran kualitas air lingkungan pemeliharaan selama percobaan disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 2. Persentase molting dan mortalitas kepiting bakau setelah perlakuan berbagai kadar
karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt
Perlakuan Pakan
Parameter
A
B
C
D
Molting (%)
10 - 20 hari

13,33

3,33

10,00

21 - 30 hari

3,33

13,33

13,33

26,67

31 - 40 hari

13,33

3,33

10,00

6,67

41 - 50 hari

-

3,33

16,67

20,00

51 - 60 hari
Total

23,33

13,33

10,00

10,00

40,00

46,67

53,33

73,33

Tidak molting (%)

53,33

43,33

36,67

23,33

6,67

10,00

10,00

3,33

100,00

100,00

100,00

100,00

Mortalitas (%)
Total

Keterangan : Pakan A = karbohidrat-lemak 40,1:10,2%
Pakan B = karbohidrat-lemak 43,26:9,1%
Pakan C = karbohidrat-lemak 45,19:8,05%
Pakan D = karbohidrat-lemak 48,89:7,2%

Tabel 3. Pertumbuhan bobot mutlak (g) dan relatif (%), serta pertambahan lebar karapas
mutlak (mm) dan relatif (%) setelah molting pada kepiting bakau dengan perlakuan
berbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt
Rata-rata pertumbuhan bobot
Rata-rata pertambahan lebar
setelah molting
karapas setelah molting
Perlakuan
Mutlak (g)

Relatif %

Mutlak (mm)

Relatif %

Formula A

9,89 ± 6,67

17,31 ± 11,02

6,23 ± 3,45

9,52 ± 5,29

Formula B

12,85 ± 7,04

22,50 ± 13,95

7,52 ± 2,58

11,32 ± 3,87

Formula C

13,98 ± 7,48

24,76 ± 17,23

8,47 ± 2,24

13,07 ± 3,93

Formula D

16,24 ± 8,68

27,51 ± 14,04

9,70 ± 3,84

14,71 ± 5,94

Keterangan : Pakan A = karbohidrat-lemak 40,1:10,2%
Pakan B = karbohidrat-lemak 43,26:9,1%
Pakan C = karbohidrat-lemak 45,19:8,05%
Pakan D = karbohidrat-lemak 48,89:7,2%

5

Tabel 4. Hasil analisis proksimat (% bk), serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot kepiting
(mg/g) setelah 15 hari perlakuan berbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatan
yang diperkaya dengan vitomolt
Karbohidrat

Kepiting
dengan
perlakuan

Abu (%)

Protein (%)

Lemak (%)

Awal
Pakan A
Pakan B
Pakan C
Pakan D

36,35 ± 2,3
31,73 ± 1.2
29,27 ± 1,7
28,73 ± 0.6
28,03 ± 1.8

34,56 ± 1,8
38,35 ± 1,4
38,76 ± 3,4
38,84 ± 2,4
39,14 ± 3.1

6,54 ± 0,5
7,87 ± 1,8
7,85 ± 1,3
8,14 ± 0,6
8,36 ± 1.1

Serat Kasar
(%)
12,43 ± 1,4
11,69 ± 1,6
11,87 ± 1,9
11,66 ± 0.7
11,79 ± 2.2

BETN (%)
10,12 ± 2.0
10,36 ± 1.5
12,25 ± 0.6
12,63 ± 0.8
12,68 ± 1.2

Glikogen
Glikogen
hepatopankreas
otot (mg/g)
(mg/g)
7,56 ± 0.4
8,25 ± 0.8
8,36 ± 1.2
8,96 ± 1.6
8,69 ± 0.5

6,36 ± 1.1
6,45 ± 1.3
6,85 ± 0.7
6,86 ± 1.5
7,44 ± 0.9

Keterangan : Pakan A = karbohidrat-lemak 40,1:10,2%
Pakan B = karbohidrat-lemak 43,26:9,1%
Pakan C = karbohidrat-lemak 45,19:8,05%
Pakan D = karbohidrat-lemak 48,89:7,2%

Tabel 5. Kisaran data pengukuran kualitas air lingkungan pemeliharaan selama percobaan
Parameter
Kisaran
o
Suhu ( C)
24,4 – 35,0
Salinitas (ppt)
25 - 37
DO (ppm)
0,96 – 8,01
pH
7-8
Amonia (ppm)
0.001 - 0.002
Pada Tabel 2 terlihat persentase molting tertinggi diperlihatkan kepiting bakau pada
perlakuan pakan D (karbohidrat-lemak 48,89:7,2%), diikuti perlakuan pakan C (karbohidratlemak 45,19:8,05%), perlakuan pakan B (karbohidrat-lemak 43,26:9,1%), dan perlakuan pakan
A (karbohidrat-lemak 40,1:10,2%) dengan persentase molting terendah. Fenomena yang sama
diperlihatkan pada peubah lainnya, seperti pertumbuhan bobot mutlak (g) dan relatif (%), serta
pertambahan lebar karapas mutlak (mm) dan relatif (%) setelah molting (Tabel 3), serta
komposisi kimia tubuh, kadar glikogen hepatopankreas dan otot (Tabel 4).
Pembahasan
Respon molting kepiting bakau yang berbeda pada keempat pakan buatan bervitomolt
terjadi karena perbedaan komposisi bahan baku yang digunakan dalam formulasi pakan. Hal
ini berakibat pada perbedaan dalam kadar nutrien pakan terutama kadar kabohidrat dan lemak
pakan (Tabel 1). Kepiting membutuhkan pakan untuk mempertahankan eksistensi hidup serta
pertumbuhannya, dan akan bertumbuh dengan baik jika pakan yang tersedia mengandung
semua unsur-unsur nutrien yang dibutuhkan dalam kadar yang optimal. Menurut GutierrezYurrita & Montes (2001) komposisi nutrien pakan essensial akan menentukan pertumbuhan
dan efisiensi pakan organisme.
Persentase molting tertinggi dan tercepat yang diperlihatkan kepiting uji pada perlakuan
pakan D (karbohidrat-lemak 48,89:7,2%) dengan kadar karbohidrat tertinggi dan kadar lemak
terendah dibandingkan perlakuan pakan lainnya. Molting menurun dengan menurun kadar
karbohidrat pakan dibandingkan lemak pakan. Fenomena yang sama diperlihatkan pada
peubah lainnya, seperti pertumbuhan setelah molting, komposisi kimia tubuh, kadar glikogen
hepatopankreas dan otot. Hal ini merupakan respons pemanfaatan karbohidrat dan lemak
pakan sebagai sumber energi, hal ini memperlihatkan apa yang disebut protein sparing action
untuk pertumbuhan. Protein dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak,
tidak sebagai sumber energi. Menurut Zonneveld et al. (1991) meskipun karbohidrat bukan
merupakan sumber energi yang superior bagi ikan melebihi protein dan lemak, karbohidrat yang
dicerna dari pakan dapat memperlihatkan apa yang disebut protein sparing action untuk
pertumbuhan.
Church & pond (1988) mengemukakan bahwa karbohidrat dan lemak
merupakan dua sumber energi terbesar untuk tubuh makhluk hidup. Namun demikian, sumber
energi utama adalah glukosa.
Meningkatnya molting dan pertumbuhan kepiting bakau seiring dengan meningkatnya
karbohidrat dan menurunnya kadar lemak pakan. Hal ini menunjukkan kemampuan kepiting
bakau yang tinggi dalam memanfaatkan karbohidrat pakan. Watanabe (1988) menyatakan

6

bahwa pengaruh karbohidrat terhadap pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kadar karbohidrat dalam pakan, kecernaan karbohidrat itu sendiri, tingkat makanan yang
masuk, kondisi lingkungan dan spesies. Anderson et al. (2004) melaporkan bahwa kemampuan
kepiting untuk mencerna pakan dengan kadar BETN 31,3–42,5% berkisar 91,6–95,8%.
Karbohidrat digunakan sebagai sumber energi, meskipun penggunaannya lebih rendah
dibandingkan hewan teristerial (Watanabe, 1988). Selain itu, karbohidrat juga berfungsi
sebagai sumber ribosa untuk sintesa DNA dan RNA, serta bisa diubah menjadi asam amino
non essensial (Lehninger, 1971). Kandungan energi, karbohidrat dan lemak yang seimbang
juga membantu dalam proses pembentukan kitin. Kitin adalah polisakarida yang terdiri atas
rantai panjang polimer dari N-asetilglukosamin (GicNac), sebuah turunan dari glukosa yang
merupakan komponen utama dari exoskeleton dari arthopoda, seperti krustasea. Selain untuk
memenuhi kebutuhan energi dan persediaan makanan di dalam tubuh, karbohidrat juga
berfungsi untuk sintesis kitin pada kulit, polimerisasi kitin dan pembentukan kutikula (Catacutan,
2001; Pratoomchat et al., 2002; Satphaty et al., 2003).
Kadar lemak yang lebih rendah pada perlakuan pakan D (karbohidrat-lemak
48,89:7,2%) ternyata lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pakan lainnya dengan kadar
lemak lebih tinggi. Anderson et al. (2004) mengemukakan pakan buatan yang mengandung
lemak tinggi, terutama asam lemak tidak jenuh, akan mengalami masalah dalam penyerapan.
Lemak sangat mudah teroksidasi menjadi peroksida dan senyawa toksik lainnya. Lanjut bahwa,
penggunaan pakan buatan yang telah mengalami proses oksidasi akan menurunkan nafsu
makan, menghambat pertumbuhan, menyebabkan pigmentasi, serta menurunkan kadar
hemoglobin dan hematokrik. Namun demikian, lemak berfungsi sebagai senyawa organik
penghantar sinyal, seperti pada prostaglandin dan hormon steroid dan kelenjar
Pengukuran materi pertumbuhan, meliputi komposisi kimia tubuh, serta kadar glikogen
hepatopankreas dan otot memperlihatkan pola yang seiring dengan persentase molting dan
pertumbuhan kepiting bakau. Pakan D dengan perbandingan kadar karbohidrat-lemak
48,89:7,2% lebih baik dibandingkan dengan pakan lainnya. Komposisi kimia tubuh, serta kadar
glikogen hepatopankreas dan otot meningkat dengan peningkatan kadar karbohidrat pakan.
Peningkatan kemampuan ikan uji memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi, dapat
meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dan pergantian sel yang
rusak, yang pada akhirnya terjadi peningkatan deposisi kimia tubuh.
Terjadinya proses protein sparing effect oleh ketersedian energi nonprotein pada pakan D
menyebabkan peningkatan efisien pemanfaatan pakan. Hal ini tergambar pada kadar protein
yang terkandung dalam pakan. Kadar protein pada semua pakan uji (30,06–30,4%) dibawah
rata-rata kebutuhan protein untuk kepiting menurut Anderson et al. (2004) dan Karim (2005),
yaitu 35%. Hal ini merupakan respon positif pada vitomolt. Disamping berperan sebagai
stimulan molting karena mengandung hormon molting (fitoekdisteroid), seperti dilaporkan
Wahyuningsih (2008) yang mendapatkan persentasi molting sebesar 54% pada kepiting yang
mendapatkan suplementasi vitomolt sebanyak 250 ng/g kepiting dibanding kontrol hanya 15%
dan hasil penelitian Susanti (2009) sebesar 90% setelah perlakuan vitomolt dalam pakan
buatan (933 ng/g pakan) dibanding kontrol hanya 20%. Fitoekdisteroid juga memiliki pengaruh
anabolik dengan meningkatkan sintesa protein. Selanjutnya menurut Donalson et al. (1978)
mengemukakan aksi metabolik steroid yang paling menonjol adalah digiatkannya metabolisme
protein.
Preston dan Dinan (2002) mengemukakan bahwa ekdisteroid juga berperan
meningkatkan pembentukan protein melalui peningkatan sintesis mRNA. Menurut Lafont &
Dinan (2003) eksdisteroid juga menstimulasi metabolisme karbohidrat, biosintesis lipid, dan
berperan sebagai imunostimulan dan antioksidan.
Thompton (2005), serta Kuballa & Elizur (2007) mengemukakan secara fisiologis,
molting dikontrol oleh hormon molting. Dengan demikian, induksi molting menggunakan
vitomolt ditunjang tingkat metabolisme yang prima dan ketersediaan energi yang cukup dapat
mempercepat molting, seperti yang terjadi pada kepiting uji dengan perlakuan pakan dengan
kadar karbohidrat yang lebih tinggi (pakan D). Menurut Jobling et al. (2001) sintesa protein,
merupakan proses pertumbuhan yang paling mendasar, tanpa adanya produksi protein secara
besar-besaran, maka pertumbuhan tidak akan terjadi. Namun demikian, sel tubuh memiliki
batas tertentu dalam menimbun protein, kalau batas tersebut telah dicapai, setiap penambahan
asam amino dalam tubuh akan dideaminasi dan digunakan sebagai energi atau disimpan dalam
sel-sel adipose sebagai lemak.

7

Kadar karbohidrat yang tinggi dalam pakan dapat merangsang proses hidrolisis enzimatik
karbohidrat berlangsung maksimal pada saluran pencernaan. Glukosa yang telah masuk ke
dalam sel akan segera dimetabolisme untuk mencukupi kebutuhan energi sehingga
menghindari penggunaan sejumlah asam amino sebagai sumber energi metabolik. Keadaan ini
pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan dan deposisi materi pertumbuhan seperti
protein dan lemak.
Suarez et al. (2002) melakukan analisis aktivitas glikolisis dan
glukoneogenesis secara tidak langsung dengan mengukur aktivitas enzim hati yang berperan,
yaitu PK (pyruvate kinase), FBPase (fructose 1.6 bis-phosphatase) dan G6PDH (glukosa 6phosphate dehydrogenase). Aktivitas glikolisis meningkat dengan bertambahnya kadar
karbohidrat dibandingkan protein pakan dan aktivitas glukoneogenesis dapat dikurangi mulai
dari 20 sampai 30% untuk setiap peningkatan kadar karbohidrat dibanding protein pakan.
Produk hidrolisis karbohidrat digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh dan
kebutuhan energi, setelah terpenuhi akan merangsang terjadinya proses glikogenesis dan
lipogenesis (Stryer, 2000). Glikogenesis adalah perubahan bentuk glukosa menjadi glikogen
seperti yang terjadi dalam hepatopankreas dan otot. Peningkatan aktivitas glikogenesis inilah
yang menyebabkan meningkatnya kadar glikogen hepatopankreas dan otot pada kepiting
bakau yang diberi pakan dengan kadar karbohidrat lebih tinggi. Nilai yang didapat menurun
dengan berkurangnya karbohidrat pakan. Peningkatan komposisi kimia tubuh, serta kadar
glikogen hepatopankreas dan otot dengan meningkatnya karbohidrat pakan juga ditemukan
pada spesies ikan lain (Suarez et al., 2002; Krogdahl et al., 2004; Mokoginta et al., 2004; Hatlen
et al., 2005; dan Aslamyah, 2006).
Kondisi kualitas air yang ekstrim dan fluktuatif (Tabel 5), terutama salinitas dan suhu
pada lokasi percobaan kurang mendukung pemeliharaan kepiting bakau. Akibatnya,
dibandingkan beberapa hasil penelitian terdahulu, waktu yang dibutuhkan untuk menginduksi
molting pada penelitian ini relatif lebih lama. Menurut Kuntinyo et al. (1994) bahwa salinitas
optimal untuk budidaya kepiting bakau ditambak berkisar antara 15–30 ppt, sedangkan suhu
optimum untuk pertumbuhan adalah 26–32oC. Hasil penelitian Karim (2008a) dan (2008b)
salinitas optimum untuk pertumbuhan kepiting adalah 25oC.
Kisaran salinitas yang tinggi dibandingkan kisaran kebutuhan optimal menyebabkan
kepiting uji menjadi stres. Wedemeyer & MCleay (1981) serta Adams (1990) mengemukakan
stres menggambarkan kondisi terganggunya homeostasis hingga berda di luar batas
normalnya, serta proses-proses pemulihan untuk memperbaikinya. Dalam kondisi stres terjadi
realokasi energi metabolik dari aktivitas investasi (pertumbuhan dan reproduksi) menjadi
aktivitas untuk memperbaiki homeostasis, seperti respirasi, pergerakan, regulasi hidro-mineral
dan perbaikan jaringan (Wendelaar, 1997). Akibatnya pemanfaatan energi pakan untuk
pertumbuhan ikan termasuk sintesis materi kekebalan tubuh dapat terganggu. Pada saat ini
glukosa sangat dibutuhkan sebagai sumber energi untuk proses memperbaiki homeostasis.
Oleh karena itu, perlu tersedia sumber energi yang tinggi sebagai sumber glukosa. Kepiting uji
dengan perlakuan formulasi pakan dengan kadar karbohidrat tinggi memberikan respon
persentase molting dan pertumbuhan yang tinggi dan menurun dengan berkurangnya
karbohidrat pakan. Chung & Webster (2005) mengemukakan bahwa stres akibat pengaruh
lingkungan, seperti suhu dapat meningkatkan hormon hyperglycemic crustacea (CHH) pada
kepiting laut, Carcinus maenas. Hormon ini berperan dalam metabolisme karbohidrat.
Peningkatan level CHH menyebabkan peningkatan kadar glukosa pada hemolimph. Glukosa
darah merupakan sumber bahan bakar utama dan substrat esensial untuk metabolisme sel
(Steward, 1991).
Mortalitas yang terjadi selama pemeliharaan berkisar dari 3,33–10%. Mortalitas yang
terjadi diduga tidak disebabkan oleh perlakuan yang diberikan, tetapi disebabkan oleh
penanganan pada awal penebaran dan stress lingkungan.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Kepiting bakau (Scylla spp.) yang mendapat perlakuan berbagai kadar karbohidratlemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt memberikan tingkat persentase molting,
pertumbuhan bobot mutlak (g) dan laju pertumbuhan relatif (%), serta pertambahan lebar
karapas mutlak (mm) dan laju pertambahan lebar karapas relatif (%) setelah molting, komposisi
kimia tubuh, meliputi kadar protein, lemak, BETN, serat kasar, dan abu, serta kadar glikogen

8

pada hepatopankreas dan otot yang berbeda. Semakin tinggi kadar karbohidrat dibandingkan
dengan kadar lemak pakan semakin tinggi persentase molting dan pertumbuhan, serta
komposisi kimia tubuh kepiting bakau. Pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt (700 ng/g
kepiting) dengan kadar karbohidrat-lemak 48,89:7,2% terbaik dalam menstimulasi molting dan
pertumbuhan, serta meningkatkan komposisi kimia tubuh kepiting bakau.
Saran
Masih diperlukan kajian lanjutan tentang manajemen pemberian pakan bervitomolt,
yaitu persentase dan frekuensi pemberian pakan untuk meningkatkan persentase molting dan
pertumbuhan kepiting bakau dalam produksi soft shell crabs.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang
telah membiayai penelitian ini melalui Proyek Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas
Nasional Tahun II Anggaran 2010.
Daftar Pustaka
Adams, S.M. 1990. Status and biological indicator for evaluating the effects of stress on fish, p.
8: 1-8. In Adams, S.M. (Ed.). Biological indicator of stress in fish. American Fisheries
Symposium.
Anderson, A, P. Mather & Richardson. 2004. Nutrition of the mud crab Scylla serrata (forskal).
In Allan & D. Fielder (ed.). Proceeding of Mud Crab Aquaculture in Australia and
Southeast Asia. pp 57-59.
Aslamyah, S. 2000. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan betutu (Oxyeleotris marmorata
Blkr) yang diberi hormon metyltestosteron pada pakan dengan kadar protein berbeda.
Jurnal Peternakan Universitas Hasanuddin 8 (2) : 56-69.
Aslamyah, S. 2006. Penggunaan Mikroflora Saluran Pencernaan sebagai Probiotik untuk
Meningkatkan Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Bandeng. (desertasi).
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Aslamyah, S. & Y. Fujaya. 2009. Formulasi Pakan Buatan Khusus Kepiting yang Berkualitas
Murah dan ramah Lingkungan. Jurnal Sains & Teknologi, Seri Imu-Ilmu Pertanian 9 (2)
133-141.
Aslamyah, S. & Y. Fujaya. 2010. Stimulasi molting dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla
sp.) melalui aplikasi pakan buatan berbahan dasar limbah pangan yang diperkaya
ekstrak bayam. Indonesian Journal of Marine Science 15(3): 170-178.
Bakrim, A, A. Maria, F. Sayah, R. Lafont & N. Takvorian. Ecdysteroids in spinach (Spinacia
oleracea L.):Biosiynthesis, transport and regulation of levels. Online Abstract. Plant
Physiology and Biochemistry, 46(10):844-854
Catacutan, M.R. 2002. Growth and body composition of juvenile mud crab, Scylla serrata, fed
different dietary protein and lipid levels and protein to energy ratio. Aquaculture 208:
113-123
Chung, J. S. & S. G. Webster. 2005. Dynamics of in vivo release of molt-inhibiting hormone
(MIH) and crustacean hyperglycemic hormone (CHH) in the shore crab, Carcinus
maenas. Endocrinology 146 : 5545–5551.
Donalson, E.M., U.H.M Fegerlund, D.A. Higgs & J.R. Mc-Brede. 1978. Hormonal enchantment
of growth. In Hoar W.S., D.J. Randall & J.R. Bret (eds). Fish Physiology. Vol VIII.
Academic Press, New York. pp 456-597.
Fujaya, Y, D. D. Trijuno, & E. Suryati. 2007. Pengembangan Teknologi Produksi Rajungan
Lunak Hasil Pembenihan dengan Memanfaatkan Ekstrak Bayam Sebagai Stimulan
Molting. Laporan Penelitian Tahun I, RISTEK-program insentif riset terapan,

9

MENRESTEK. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Fujaya, Y, S. Aslamyah, Mufidah & L.F. Mallombasang. 2009. Peningkatan produksi dan
efisiensi proses produksi kepiting cangkang lunak (Soft shell crab) melalui aplikasi
teknologi industri molting yang ranah lingkungan. Laporan Penelitian RAPID, DIKTI.
Furuichi, M. 1988. Carbohydrates. Di dalam: Watanabe T, Editor. Fish Nutrition and
Mariculture. Tokyo: Departement of Aquatic Biosciences, University of Fisheries. pp 4455.
Gutierrez-Yurrita P.J. & C. Montes. 2001. Bioenergetics juveniles of red swamps crayfish
(Procambarus clarckii). Comp Biochem Physiol 130A: 29-38.
Hatlen, B., B.G. Helland & S.J. Helland. 2005. Growth feed utilization and body composition in
two size groups of Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus) fed diets differing in
protein and carbohydrate content. Aquaculture 249:401-408.
Jobling, M., T. Boujard & D. Houlihan. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell Science Ltd, A
Blackwell Publishing Company. pp 297-331.
Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forskal) Pada
Berbagai Salinitas Media Dan Evaluasinya Pada Salinitas Optimum Dengan Kadar
Protein Pakan Berbeda. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Karim, M.Y. 2008a. Pengaruh Salinitas Terhadap Metabolisme Kepiting Bakau (Scylla olivacea).
Jurnal Perikanan, Journal of Fisheries Sciences, X (1): 37–44.
Karim, M.Y. 2008b. Kajian Osmoregulasi Kepiting Bakau (Scylla olivacea) pada Berbagai
Salinitas. Ichthyos, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan, 7(1): 21-26.
Kuballa, A. & A. Elizur. 2007. Novel molecular approach to study moulting in crustaceans.
Bull.Fish.Res.Agen. 20: 53 – 57.
Kuntinyo, Z. Arifin & T. Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata
Forskal) di Tambak. Direktorat Jendral Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.
Krogdahl, A., A. Sundby & J.J. Olli. 2004. Atlantic salmon (Salmo salar) and rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) digest and metabolize nutrients differently. Effects of water
salinity and dietary stach level. Aquaculture 229:335-360.
Lafont, R. & L. Dinan. 2003. Practical uses for ecdysteroids in mammals including humans
update. Journal of Insect Science 3(7) 1–30. Online: insect science. Org.
Lehninger. 1999. Dasar-Dasar Biokimia. Thenawijaya M., penerjemah. .Jakarta : Penerbit
Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. p 385.
National Research Council. 1988. Nutrient requirements of warm water fisher. Washington D.
C : National Academy of Sciences. p 96.
Mokoginta, I., T. Takeuchi, A. Hadadi & J. Dedi. 2004. Different capabilities in utilizing dietary
carbohydrate by fingerling and subadult giant gouramy Osphronemus gouramy.
Fisheries Science 70:996-1002.
Pratoomchat, B., P. Sawangwong, P. Pakkong & J. Machado. 2002. Organic and inorganik
variations in hemolymph, epidermal tissue and cuticle over the molt cycle in Scylla
serrata (Decapoda). Comp Biochem Physiol 131A: 243-255.
Preston, J.M & L, Dinan. 2002. Phytoecdysteroid Levels and Distribution during Development in
Limnanthes alba Hartw. Ex Benth. (online). www.znaturforsch. (diakses 29 Mei 2008).
Rosas, C, G. Cuzon, G. Taboada, C. Pascual, G. Gaxiola & A.V. Wormhoudt. 2001. Effect of
dietary protein and energy levels on growth, oxygen consumption, hemolymph and
digestive gland carbohydrates, nitrogen excretion and osmotic pressure of Litopenaeus
vannamei (Boone) and L. setiferus (Linne) juveniles (Crustacea, Decapoda,
Penaeidae). Aquaculture Research 32:531-547.

10

Satpathy, B., B.D. Mukherjee & A.K. Ray. 2003. Effect of dietary protein and lipid levels on
growth, feed conversion and body composition in rohu. Labeo rohita (Hamilton),
fingerlings. Aqua Nutr. 9: 17-24
Suarez, M.D., A Sanz, J. Bazoco, & M.G. Gallego. 2002. Metabolic effects of changes in the
dietary protein: carbohydrate ratio in eel (Angilla anguilla) and trout (Oncorhynchus
mykiss). Aquaculture International 10: 143–156.
Steward, M. 1991. Blood sugar regulation, pp. 291-321. Dalam Steward, M. (Editor). Animal
physiology. Thomson Litho, Ltd. London.
Stryer, L. 2000. Biokimia. Tim penerjemah bagian biokimia FKUI, penterjemah; Soebianto SZ,
Setiadi E., Editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari:
Biochemistry. p 686.
Taboada, G., G. Gaxiola, T. Garcia, R. Perdoza, A. Sanchez, L.A. Soto & C. Rosas. 1998.
Oxygen consumption and ammonia-N excretion related to protein requirement for
growth of white shrimp, Penaeus setiferus (L.), juveniles. Aqua Res. 29: 823 – 833.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory Work, Chemical Evaluation of Dietary Nutrients. Dalam:
Watanabe T, Editor. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo: Departement of Aquatic
Biosciences, University of Fisheries.pp 179-288.
Thompton. 2005. Regulation of ecdysteroid and vitellogenin levels during the molt and
reproductive cycles of female Dungeness crab Cancer magister. Thesis. University of
Alaska. Fairbanks, Alaska.
Wahyuningsih, S.A. 2008. Pengaruh Dosis Penyuntikan Vitomolt terhadap Molting Kepiting
Bakau (Scylla olivaceous). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. JICA textbook the general aquaculture
course. Tokyo: Departement of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries. pp
233.
Wedemeyer, GA., WT Yasutake. 1977. Clinical methods for the assessment of the effect on
environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S. Fish and Wildlife
Service. US depert. Of the Interior. J. Fish and Wildlife Service 89: 1-17
Wedemeyer, G.A. & D.J. Mcleay. 1981. Methods for determining the tolerance of fishes to
environmental stressors, p: 247-275. Dalam Pickering A.D. (Editor). Stress amd fish.
Academic Press, New York.
Wendelaar, B.S.E. 1997. The stress response in fish. Physiol Rev. 77: 591-625.
Zonneveld, N., A.E. Huisman & J.H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Jakarta, PT.
Gramedia. 318 hlm.