PENGARUH HERBISIDA THDP STRUKTUR INSANG
TUGAS EKOFISIOLOGI
PENGARUH HERBISIDA TERHADAP
STRUKTUR INSANG IKAN AIR TAWAR
Disusun oleh:
Dwi Wahyuni
S901308003
Program Studi Biosain
Fakultas Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta
2013
PENGARUH HERBISIDA
TERHADAP STRUKTUR INSANG IKAN AIR TAWAR
I.
PENDAHULUAN
Dalam upaya perlindungan tanaman pangan, praktek penanggulangan gulma secara
kimiawi dengan herbisida termasuk dalam paket teknologi budidaya pertanian. Tanpa upaya
pemberantasan gulma, produksi padi sawah dapat menurun 15% sampai 42% (Bangun 1986
dalam Koesoemadinata, 1997).
Penggunaan herbisida di sektor budidaya padi akan terus
meningkat sehubungan dengan diterapkannya teknologi agronomi baru seperti TOT (tanpa
Olah Tanah) dan TABELA (Tabur Benih Langsung).
Sejak tahun 1950 an hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa kimia yang
digunakan
sebagai herbisida banyak yang berdampak negatif bagi kehidupan akuatik dan
merugikan sektor perikanan (Mullison, 1970 dalam Koesoemadinata, 1997). Daya racun
herbisida terhadap ikan terutama ditentukan oleh bahan aktif (gugus senyawa kimia), kondisi
lingkungan dan jenis serta ukuran ikan. Pada umumnya daya racun herbisida terhadap
ikanlebih rendah dibandingkan dengan insektisida atau fungisida (Jones, 1962 dalam
Koesoemadinata, 1997) akan tetapi dapat bersifat tidak
terpulihkan (irreversibel) dan
menyebabkan kematian setelah jangka waktu relatif lama. Masalah utama dalam penggunaan
herbisida dibidang pertanian ialah dampak residualnya terhadap lingkungan akuatik. Herbisida
dapat bersifat persisten dan meninggalkan residu dalam air, tanah dan jaringan tubuh ikan,
yang dapat berpengaruh negatif pada perkembangan hidup ikan maupun bagi konsumen ikan.
Selain hal tersebut diatas, pengaruh herbisida juga dapat terjadi karena Penggunaan
lahan sawah yang sudah tidak produktif sebagai salah satu alternatif tempat untuk
membudidayakan ikan. Penggunaan lahan bekas sawah sebagai tempat budidaya ikan perlu
dicermati lebih lanjut, karena aktivitas di sawah banyak menggunakan bahan-bahan berbahaya
seperti herbisida. Jenis herbisida yang sering digunakan petani salah satunya adalah metil
metsulfuron. Metil metsulfuron bekerja dengan menghambat enzim sintase acetolactase yang
dapat mencegah terjadinya pembelahan sel pada akar dan daun sehingga mematikan jaringan
(US EPA, 1986 dalam Novalia, 2013).
II.
INSANG SEBAGAI OSMOREGULATOR
Menurut Tridjoko (2009) dalam Aisya (2012), pertukaran antara oksigen yang masuk ke
dalam darah dengan CO2 yang keluar dari darah terjadi dengan cara diffusi pada pembuluh
darah dalam insang. Peredaran darah dalam fillamen insang merupakan pertemuan antara
pembuluh darah yang berasal dari jantung yang masih banyak mengandung CO 2 dengan
pembuluh darah yang akan meninggalkan filamen insang yang kaya akan oksigen. Difusi
oksigen pada filamen insang dibantu oleh tekanan air yang terdapat pada rongga mulut dan air
dipaksa keluar melalui insang.
Gambar 02. Morfologi insang (Artawan, 2009)
Pada insang, sel-sel yang berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel chloride yang
terletak pada dasar lembaran-lembaran insang. Studi mengenai fungsi dari biokimiawi insang
teleostei mengindikasikan bahwa insang teleostei merupakan pompa ion untuk Chloride (Cl -),
sodium (Na+), dan potassium (K+). Perubahan ion-ion pada ikan air laut berbeda dengan ikanikan air tawar. Perbedaan utama yaitu bahwa Na +, NH4+, Cl-, dan HCO3- semuanya bergerak
kelluar pada ikan air laut, sedangkan pada ikan air tawar Na + dan Cl-, keduanya masuk dan
keluar yang disebabkan oleh suaatu perubahan difusi. Pada ikan diadromus, selama migrasi
antara air tawar dan air laut, membran dan mitokondria sel mengalami perubahan besar dalam
struktur, menyebabkan beberapa aktivitas transpor ion berubah, yakni seperti pada ikan air laut
dan ikan air tawar bila di air tawar.
III.
INSANG SEBAGAI INDIKATOR PENCEMARAN AIR
Sebagian besar residu herbisida yang digunakan dalam kegiatan pertanian akan masuk
ke dalam perairan kemudian mengendap dalam sedime atau terakumulasi dalam tubuh
organisme hidup di perairan (Rudiyanti dkk., 2009 dalam Novalia, 2013). Efek pencemaran
perairan banyak dilakukan dengan mengamati kerusakan pada insang karena insang sebagai
organ pertama yang mengalami kontak langsung dengan lingkungan yang terkontaminasi
(Salami dkk., 2006 dalam novalia, 2013).
Insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan mekanisme difusi
permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen
yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh
hemoglobin untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida
dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Brown, 1962;
Rastogi, 2007). Oleh sebab itu, apapun perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan
perairan akan secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada struktur dan fungsi
insang serta hemoglobinnya.
Penelitian-penelitian tentang struktur dan fungsi insang serta kadar hemoglobin pada
ikan sehubungan dengan analisis kualitas perairan sudah banyak dilakukan. Suparjo (2010)
melaporkan adanya kerusakan insang ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) yang disebabkan
oleh limbah deterjen. Camargo and Claudia (2007) juga menemukan adanya kerusakan
struktur histologi insang Prochilodus lineatus akibat pencemaran air. Laporan Erlangga (2007)
menyatakan bahwa pencemaran logam berat di sungai Kampar Riau telah meyebabkan
perubahan struktur histologi insang ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Tilak et al. (2007)
melaporkan adanya perubahan kadar hemoglobin pada Common carp, Silver carp dan Gross
carp akibat adanya paparan terhadap amoniak, nitrit dan nitrat di dalam perairan. Misaila et al.
(2007) juga menemukan bahwa kadar hemoglobin ikan dari famili Cyprinidae mengalami
perubahan secara signifikan pada pergantian musim karena adanya perubahan faktor fisika
kimia air. (Saputra, 2013).
Kerusakan mikroanatomi dan patohistologi pada insang merupakan indikator terjadinya
pencemaran air. Pada hasil pengamatan preparat insang, akibat pengaruh Metil metsulfuron
yang merupakan salah satu bahan aktif dari herbisida menunjukkan bahwa struktur lamella
insang mengalami perubahan atau kerusakan bila dibandingkan dengan jaringan insang
normal. Perubahan atau kerusakan itu adalah hiperplasia. Tingkat kerusakan insang semakin
meningkat pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Hiperplasia adalah peningkatan ukuran dari suatu organ oleh karena meningkatnya
jumlah dari sel di dalam organ tersebut (Kurniasih, 1999 dalam Novalia, 2013). Hiperplasia
disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel kloride yang merupakan bentuk adaptasi terhadap
reaksi metil metsulfuron untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Metil
metsulfuron (salah satu bahan aktif herbisida) akan menyebabkan ikan memproduksi mukus
(lendir) untuk melindungi bagian yang tereduksi partikel racun agar tidak mengalami kerusakan
(Suparjo, 2009). Metil metsulfuron yang masuk ke dalam insang akan memicu terjadinya
kegagalan fungsi sel kloride sehingga menyebabkan peningkatan jumlah sel akibat
terganggunya proses difusi oksigen akibat lamella insang tertutup mukus. Peningkatan jumlah
sel kloride menyebabkan lamella sekunder mengalami penebalan, sehingga mengakibatkan
berkurangnya area respirasi (Widayanti dkk., 2010 dalam Novalia, 2013).
Hiperplasia pada lamella insang yang semakin meningkat, serta kondisi sel yang tidak
mampu memperbaiki kerusakan sel dapat menyebabkan terjadinya kematian sel sehingga sel
akan lepas dari jaringan penyokongnya. Terlepasnya sel epitel pada lamella primer dan lamella
sekunder biasa disebut dengan deskuamasi. Deskuamasi yang terjadi pada insang merupakan
bentuk pertahanan diri insang terhadap bahan-bahan kimia (Pazra, 2008 dalam Novalia, 2013).
Menurut Tanjung (1982) dalam Saputra (2013) tingkat kerusakan pada insang yang
berhubungan dengan toksisitas karena pencemaran, yaitu sebagai berikut :
1.
tingkat I, terjadi edema pada lamela dan terlepasnya sel-sel epitelium dari jaringan
dibawahnya;
2.
tingkat II, terjadi hiperplasia pada basal proximal lamela sekunder;
3.
tingkat III, hiperplasia menyebabkan bersatunya dua lamela sekunder;
4.
tingkat IV, hampir seluruh lamela sekunder mengalami hiperplasia;
5.
tingkat V, hilangnya struktur lamela sekunder dan rusaknya filamen
Dengan mengamati tingkat kerusakan insang, kita dapat mengetahui tingkat pencemaran yang
terjadi pada perairan tersebut.
IV.
PENUTUP
Pencemaran dari residu herbisida sangat membahayakan bagi lingkungan perairan
terutama organisme yang hidup didalamnya, sehingga pelu adanya pengendalian dan
pembatasan dari penggunaan herbisida tersebut serta mengurangi pencemaran yang
diakibatkan oleh residu herbisida. Kebijakan global pembatasan penggunaan herbisida kimiawi
yang mengarah pada pemasyarakatan teknologi bersih (clean technology) yaitu pembatasan
penggunaan herbisida kimiawi untuk penanganan produk-produk pertanian. Dalam hal ini
berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi dampak negatif herbisida dan mencegah
pencemaran lebih berlanjut lagi.
SUMBER PUSTAKA
Aisya. 2012. Review Osmoregulasi Hewan Air (Ikan). Diakses melalui
http://blog.ub.ac.id/aisyaquaculture/2012/12/15/review-osmoregulasi-hewan-air-ikan-2/
pada tanggal 12 Desember 2013
Koesoemadinata, Santosa. 1997. Penentuan Toksisitas Letal dan Ambang Konsentrasi
Aman Herbisida 2,4-D Dimetil Amina, Isopropil Glifosat dan Butaklor, Pada Benih
Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol III (2).
Novalia, Lisa, dkk. 2013. Pengaruh metil metsulfuron terhadap Jaringan insang patin siam
(Pangasius hypopthalmus). e-Jurnal Rekayasa & Teknologi Budidaya Perairan Vol II (1)
Saputra, Hari Marta,dkk. 2013. Struktur Histologis Insang dan Kadar Hemoglobin Ikan
Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera
Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.). Vol: 2 (2)
PENGARUH HERBISIDA TERHADAP
STRUKTUR INSANG IKAN AIR TAWAR
Disusun oleh:
Dwi Wahyuni
S901308003
Program Studi Biosain
Fakultas Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta
2013
PENGARUH HERBISIDA
TERHADAP STRUKTUR INSANG IKAN AIR TAWAR
I.
PENDAHULUAN
Dalam upaya perlindungan tanaman pangan, praktek penanggulangan gulma secara
kimiawi dengan herbisida termasuk dalam paket teknologi budidaya pertanian. Tanpa upaya
pemberantasan gulma, produksi padi sawah dapat menurun 15% sampai 42% (Bangun 1986
dalam Koesoemadinata, 1997).
Penggunaan herbisida di sektor budidaya padi akan terus
meningkat sehubungan dengan diterapkannya teknologi agronomi baru seperti TOT (tanpa
Olah Tanah) dan TABELA (Tabur Benih Langsung).
Sejak tahun 1950 an hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa kimia yang
digunakan
sebagai herbisida banyak yang berdampak negatif bagi kehidupan akuatik dan
merugikan sektor perikanan (Mullison, 1970 dalam Koesoemadinata, 1997). Daya racun
herbisida terhadap ikan terutama ditentukan oleh bahan aktif (gugus senyawa kimia), kondisi
lingkungan dan jenis serta ukuran ikan. Pada umumnya daya racun herbisida terhadap
ikanlebih rendah dibandingkan dengan insektisida atau fungisida (Jones, 1962 dalam
Koesoemadinata, 1997) akan tetapi dapat bersifat tidak
terpulihkan (irreversibel) dan
menyebabkan kematian setelah jangka waktu relatif lama. Masalah utama dalam penggunaan
herbisida dibidang pertanian ialah dampak residualnya terhadap lingkungan akuatik. Herbisida
dapat bersifat persisten dan meninggalkan residu dalam air, tanah dan jaringan tubuh ikan,
yang dapat berpengaruh negatif pada perkembangan hidup ikan maupun bagi konsumen ikan.
Selain hal tersebut diatas, pengaruh herbisida juga dapat terjadi karena Penggunaan
lahan sawah yang sudah tidak produktif sebagai salah satu alternatif tempat untuk
membudidayakan ikan. Penggunaan lahan bekas sawah sebagai tempat budidaya ikan perlu
dicermati lebih lanjut, karena aktivitas di sawah banyak menggunakan bahan-bahan berbahaya
seperti herbisida. Jenis herbisida yang sering digunakan petani salah satunya adalah metil
metsulfuron. Metil metsulfuron bekerja dengan menghambat enzim sintase acetolactase yang
dapat mencegah terjadinya pembelahan sel pada akar dan daun sehingga mematikan jaringan
(US EPA, 1986 dalam Novalia, 2013).
II.
INSANG SEBAGAI OSMOREGULATOR
Menurut Tridjoko (2009) dalam Aisya (2012), pertukaran antara oksigen yang masuk ke
dalam darah dengan CO2 yang keluar dari darah terjadi dengan cara diffusi pada pembuluh
darah dalam insang. Peredaran darah dalam fillamen insang merupakan pertemuan antara
pembuluh darah yang berasal dari jantung yang masih banyak mengandung CO 2 dengan
pembuluh darah yang akan meninggalkan filamen insang yang kaya akan oksigen. Difusi
oksigen pada filamen insang dibantu oleh tekanan air yang terdapat pada rongga mulut dan air
dipaksa keluar melalui insang.
Gambar 02. Morfologi insang (Artawan, 2009)
Pada insang, sel-sel yang berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel chloride yang
terletak pada dasar lembaran-lembaran insang. Studi mengenai fungsi dari biokimiawi insang
teleostei mengindikasikan bahwa insang teleostei merupakan pompa ion untuk Chloride (Cl -),
sodium (Na+), dan potassium (K+). Perubahan ion-ion pada ikan air laut berbeda dengan ikanikan air tawar. Perbedaan utama yaitu bahwa Na +, NH4+, Cl-, dan HCO3- semuanya bergerak
kelluar pada ikan air laut, sedangkan pada ikan air tawar Na + dan Cl-, keduanya masuk dan
keluar yang disebabkan oleh suaatu perubahan difusi. Pada ikan diadromus, selama migrasi
antara air tawar dan air laut, membran dan mitokondria sel mengalami perubahan besar dalam
struktur, menyebabkan beberapa aktivitas transpor ion berubah, yakni seperti pada ikan air laut
dan ikan air tawar bila di air tawar.
III.
INSANG SEBAGAI INDIKATOR PENCEMARAN AIR
Sebagian besar residu herbisida yang digunakan dalam kegiatan pertanian akan masuk
ke dalam perairan kemudian mengendap dalam sedime atau terakumulasi dalam tubuh
organisme hidup di perairan (Rudiyanti dkk., 2009 dalam Novalia, 2013). Efek pencemaran
perairan banyak dilakukan dengan mengamati kerusakan pada insang karena insang sebagai
organ pertama yang mengalami kontak langsung dengan lingkungan yang terkontaminasi
(Salami dkk., 2006 dalam novalia, 2013).
Insang ikan merupakan organ respirasi utama yang bekerja dengan mekanisme difusi
permukaan dari gas-gas respirasi (oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen
yang terlarut dalam air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh
hemoglobin untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Sedangkan karbondioksida
dikeluarkan dari sel dan jaringan untuk dilepaskan ke air di sekitar insang (Brown, 1962;
Rastogi, 2007). Oleh sebab itu, apapun perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan
perairan akan secara langsung dan tidak langsung berdampak kepada struktur dan fungsi
insang serta hemoglobinnya.
Penelitian-penelitian tentang struktur dan fungsi insang serta kadar hemoglobin pada
ikan sehubungan dengan analisis kualitas perairan sudah banyak dilakukan. Suparjo (2010)
melaporkan adanya kerusakan insang ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) yang disebabkan
oleh limbah deterjen. Camargo and Claudia (2007) juga menemukan adanya kerusakan
struktur histologi insang Prochilodus lineatus akibat pencemaran air. Laporan Erlangga (2007)
menyatakan bahwa pencemaran logam berat di sungai Kampar Riau telah meyebabkan
perubahan struktur histologi insang ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Tilak et al. (2007)
melaporkan adanya perubahan kadar hemoglobin pada Common carp, Silver carp dan Gross
carp akibat adanya paparan terhadap amoniak, nitrit dan nitrat di dalam perairan. Misaila et al.
(2007) juga menemukan bahwa kadar hemoglobin ikan dari famili Cyprinidae mengalami
perubahan secara signifikan pada pergantian musim karena adanya perubahan faktor fisika
kimia air. (Saputra, 2013).
Kerusakan mikroanatomi dan patohistologi pada insang merupakan indikator terjadinya
pencemaran air. Pada hasil pengamatan preparat insang, akibat pengaruh Metil metsulfuron
yang merupakan salah satu bahan aktif dari herbisida menunjukkan bahwa struktur lamella
insang mengalami perubahan atau kerusakan bila dibandingkan dengan jaringan insang
normal. Perubahan atau kerusakan itu adalah hiperplasia. Tingkat kerusakan insang semakin
meningkat pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Hiperplasia adalah peningkatan ukuran dari suatu organ oleh karena meningkatnya
jumlah dari sel di dalam organ tersebut (Kurniasih, 1999 dalam Novalia, 2013). Hiperplasia
disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel kloride yang merupakan bentuk adaptasi terhadap
reaksi metil metsulfuron untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Metil
metsulfuron (salah satu bahan aktif herbisida) akan menyebabkan ikan memproduksi mukus
(lendir) untuk melindungi bagian yang tereduksi partikel racun agar tidak mengalami kerusakan
(Suparjo, 2009). Metil metsulfuron yang masuk ke dalam insang akan memicu terjadinya
kegagalan fungsi sel kloride sehingga menyebabkan peningkatan jumlah sel akibat
terganggunya proses difusi oksigen akibat lamella insang tertutup mukus. Peningkatan jumlah
sel kloride menyebabkan lamella sekunder mengalami penebalan, sehingga mengakibatkan
berkurangnya area respirasi (Widayanti dkk., 2010 dalam Novalia, 2013).
Hiperplasia pada lamella insang yang semakin meningkat, serta kondisi sel yang tidak
mampu memperbaiki kerusakan sel dapat menyebabkan terjadinya kematian sel sehingga sel
akan lepas dari jaringan penyokongnya. Terlepasnya sel epitel pada lamella primer dan lamella
sekunder biasa disebut dengan deskuamasi. Deskuamasi yang terjadi pada insang merupakan
bentuk pertahanan diri insang terhadap bahan-bahan kimia (Pazra, 2008 dalam Novalia, 2013).
Menurut Tanjung (1982) dalam Saputra (2013) tingkat kerusakan pada insang yang
berhubungan dengan toksisitas karena pencemaran, yaitu sebagai berikut :
1.
tingkat I, terjadi edema pada lamela dan terlepasnya sel-sel epitelium dari jaringan
dibawahnya;
2.
tingkat II, terjadi hiperplasia pada basal proximal lamela sekunder;
3.
tingkat III, hiperplasia menyebabkan bersatunya dua lamela sekunder;
4.
tingkat IV, hampir seluruh lamela sekunder mengalami hiperplasia;
5.
tingkat V, hilangnya struktur lamela sekunder dan rusaknya filamen
Dengan mengamati tingkat kerusakan insang, kita dapat mengetahui tingkat pencemaran yang
terjadi pada perairan tersebut.
IV.
PENUTUP
Pencemaran dari residu herbisida sangat membahayakan bagi lingkungan perairan
terutama organisme yang hidup didalamnya, sehingga pelu adanya pengendalian dan
pembatasan dari penggunaan herbisida tersebut serta mengurangi pencemaran yang
diakibatkan oleh residu herbisida. Kebijakan global pembatasan penggunaan herbisida kimiawi
yang mengarah pada pemasyarakatan teknologi bersih (clean technology) yaitu pembatasan
penggunaan herbisida kimiawi untuk penanganan produk-produk pertanian. Dalam hal ini
berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi dampak negatif herbisida dan mencegah
pencemaran lebih berlanjut lagi.
SUMBER PUSTAKA
Aisya. 2012. Review Osmoregulasi Hewan Air (Ikan). Diakses melalui
http://blog.ub.ac.id/aisyaquaculture/2012/12/15/review-osmoregulasi-hewan-air-ikan-2/
pada tanggal 12 Desember 2013
Koesoemadinata, Santosa. 1997. Penentuan Toksisitas Letal dan Ambang Konsentrasi
Aman Herbisida 2,4-D Dimetil Amina, Isopropil Glifosat dan Butaklor, Pada Benih
Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol III (2).
Novalia, Lisa, dkk. 2013. Pengaruh metil metsulfuron terhadap Jaringan insang patin siam
(Pangasius hypopthalmus). e-Jurnal Rekayasa & Teknologi Budidaya Perairan Vol II (1)
Saputra, Hari Marta,dkk. 2013. Struktur Histologis Insang dan Kadar Hemoglobin Ikan
Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera
Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.). Vol: 2 (2)