T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB II
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouk Hurgronje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1893). Sebelum istilah hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah adatrecht. Dalam bukunya De Atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 Hurgronje menyatakan salah satu hukum rakyat yang tidak dikodifikasi adalah di Aceh. Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden Belanda yang mencatat istilah Adatrecht dalam bukunya yang berjudul Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (Hukum
Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933. 1
Pengertian hukum adat lebih sering diidentikan dengan kebiasaan atau kebudayaan masyarakat setempat di suatu daerah. Mungkin belum banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, sehingga pengertian hukum adat juga telah lama menjadi kajian dari para ahli hukum. Secara histori, hukum yang ada di Negara Indonesia berasal dari dua sumber, yakni hukum yang dibawa oleh orang asing (Belanda) dan hukum yang lahir dan tumbuh
1 Laksanto Utomo, Hukum Adat, Ed.1, Cet.1, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, hlm. 4.
di Indonesia itu sendiri. Mr. C. van Vollenhoven adalah seorang peneliti yang kemudian berhasil membuktikan bahwa Indonesia juga memiliki
hukum adat asli 2
Adat merupakan kepribadian suatu bangsa, merupakan satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad, tiap bangsa di dunia ini memiliki adat sendiri di mana antara satu dan lain tidaklah sama. Oleh karena itu ketidaksamaan inilah yang menyebabkan adat tersebut merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri adat yang dimiliki oleh suku-suku bangsa adalah berbeda meskipun dasar serta sifatnya adalah satu yaitu ke-Indonesiaannya.
Dalam arti sempit sehari-hari yang dinamakan hukum adat ialah hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Tidak ada satu definisi yang benar-benar dipakai untuk menjelaskan tentang hukum adat itu sendiri. Beberapa pakar mencoba untuk mendefinisikan hukum adat dari sudut pandangnya sendiri.
3 H. Hilman Hadikusuma mendefinisikan hukum adat sebagai aturan
kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan bernegara.
2 Ibid., hlm. 2.
3 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Cet ke-1. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 7.
C. van Vollenhoven, 4 menjelaskan bahwa hukum adat adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (sebab itu disebut hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi ( sebab itu disebut dengan adat).
5 Bushar Muhammad menerangkan bahwa untuk memberikan definisi atau pengertian hukum adat sangat sulit sekali karena hukum adat masih
dalam pertumbuhan. Ada beberapa sifat dan pembawaan hukum adat, yakni: tertulis atau tidak tertulis, pasti atau tidak pasti dan hukum raja atau hukum rakyat dan lain sebagainya.
6 Supomo dan Hazairin membuat kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam
hubungan satu sam lain. Hubungan yang dimaksud termasuk keseluruhan kelaziman dan kebiasaan serta tata kesusilaan yang hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh masyarakat. Termasuk juga seluruh peraturan yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat. Penguasa adat adalah mereka yang mempunyai kewibawaan dan yang memiliki kekuasaan memberi keputusan dalam suatu masyarakat adat. Keputusan oleh penguasa adat, antara lain keputusan lurah, atau penghulu atau pembantu lurah atau wali tanah atau kepala adat atau hakim dan lain sebagainya.
Menurut kesimpulan hasil “Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional di Yogyakarta, pengertian hukum adat adalah :
4 Laksanto Utomo, Op.Cit., hlm. 3.
5 Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat: (suatu pengantar), Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, hlm. 19.
6 Laksanto Utomo, Op.Cit., hlm. 3-4.
“Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung
unsur agama”. 7
2. Sumber Hukum Adat
Yang merupakan sumber hukum (rechtsbron) dari Hukum Adat adalah : 8
1. Kebiasaaan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat (Van Vollenhoven)
2. Kebudayaan tradisional rakyat (Ter Haar)
3. Uger-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya pernyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih (Djojodigoeno)
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam di dalam hati nurani rakyat (Soepomo) Yang menjadi sumber pengenal (kenbron) daripada Hukum Adat
adalah : 9
1. Pepatah-pepatah Adat
2. Yurisprudensi Adat
3. Laporan-laopran dari komisi-komisi penelitian yang khusus dibentuk misalnya Komisi W.B. Bergsma (yang meneliti Hukum Tanah di Jawa dan Madura)
7 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Cetakan ke-4, Alfabeta, Bandung, Oktober, 2015, hal. 27.
9 Ibid., hal. 65. Ibid.
4. Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan hukum yang hidup pada waktu itu baik yang berupa piagam (Papakem Tjirebon), peraturan- peraturan (Awig-awig), maupun ketentuan atau keputusan-keputusan atau rampang-rampang di Makassar.
5. Buku undang-undang yang dikeluarkan oleh Raja-raja atau Sultan- sultan seperti Buku Undang-undang Kerajaan Bone.
6. Buku-buku karangan Para sarjana.
3. Corak-corak Hukum Adat
Beberapa corak yang melekat dalam hukum adat dapat dijadikan sumber pengenal hukum adat dapat sebutkan yaitu: 10
a. Tradisional Pada umumnya hukum adat bercorak tradisonal, artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya dalam hukum kekerabatan adat batak yang menarik garis keturunannya dari laki-laki sejak dahulu hingga sekarang masih tetap berlaku atau dipertahankan. Demikian pula sebaliknya pada hukum kekerabatan masyarakat minangkabau yang menarik garis keturunan dari perempuan dan masih dipertahankan hingga dewasa ini.
10 Dewi C Wulansari, Op.Cit., hlm. 15.
b. Keagamaan Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis-religius), artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukum berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan berdasrkan pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan Bangsa Indonesia bahwa di alam semesta ini benda-benda itu berjiwa (animism), benda- benda itu bergerak (dinamisme); di sekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi manusia (jin, malaikat, iblis, dan sebagainya) dan alam sejagad ini ada karena ada yang mengadakan yaitu Sang Maha Pencipta.
c. Kebersamaan (Bercorak Komunal) Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksudkan bahwa dalam hukum adat lebih diutamakan kepentingan bersama, di mana kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa kebersamaan , kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong.
d. Konkret dan Visual Corak hukum adat adalah konkret, artinya hukum adat ini juga jelas, nyata, berwujud sedangkan corak visual dimaksudkan hukum adat itu dapat dilihat, terbuka, tidak tersembunyi. Sehingga sifat hubungan hukum yang berlaku di dalam hukum adat “terang dan tunai”, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain, dan Nampak terjadi “ijab-kabul” (serah terima)-nya. Misalnya d. Konkret dan Visual Corak hukum adat adalah konkret, artinya hukum adat ini juga jelas, nyata, berwujud sedangkan corak visual dimaksudkan hukum adat itu dapat dilihat, terbuka, tidak tersembunyi. Sehingga sifat hubungan hukum yang berlaku di dalam hukum adat “terang dan tunai”, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain, dan Nampak terjadi “ijab-kabul” (serah terima)-nya. Misalnya
e. Terbuka dan Sederhana Corak hukum adat itu terbuka artinya hukum adat itu dapat menerima unsur-unsur yang datangnya dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Sedangkan corak hukum adat itu sederhana artinya hukum adat itu bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai. Keterbukaan ini misalnya, dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum Hindu dan hukum perkawinan adat yang disebut “kawin anggau”. Jika suami wafat maka istri kawin lagi dengan saudara suami.
f. Dapat Berubah dan Menyesuaikan Kalau ditilik dari batasan hukum adat itu, maka dapatlah dimengerti bahwa hukum adat itu merupakan hukum yang hidup dan berlaku di dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang yang dalam pertumbuhannya atau perkembangannya secara terus-menerus mengalami proses perubahan atau menebal dan menipis. Oleh karena itu, dalam proses perkembangannya terdapat isi atau materi hukum adat yang sudah tidak berlaku lagi (mati), yang sedang hidup dan berlaku dalam masyarakat serta materi yang akan tumbuh.
g. Tidak Dikodifikasikan Kebanyakan hukum adat tidak dikodifikasikan atau tidak tertulis, oleh karena itu hukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, seperti yang diuraikan di atas. Walaupun demikian adanya, juga dikenal hukum adat yang dicatat dalam aksara daerah yang bentuknya tertulis seperti di Tapanuli “Ruhut Parsaoron di Hobatohan” dan “Patik Dohot Uhum ni Halak Batak”. Di Bali dan Lombok “Awig-awig”, di Jawa “Pranata Desa”, di Surakarta dan Yogyakarkta “Anger-anger”, di Aceh “Sarakata”. Selain itu masih ada peraturan-peraturan hukum adat pada abad XV sampai XVII yang tertulis dalam buku (manuskrip) orang-orang di Sulawesi Selatan yang disebut “Lontara” yang masih berlaku hingga sekarang. Jadi berbeda dengan
hukum
Barat (Eropa)
yang corak hukumnya
dikodifikasikandisusun secara teratur dalam kitab yang disebut kitab perundang.
h. Musyawarah dan Mufakat Hukum adat adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, baik dalam keluarga, hubungan kekerabatan, ketetanggaan, memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat “peradilan” dalam menyelesaikan perselisihan antara yang satu dengan yang lainnya, diutamakan jalan penyelesaiannya secara rukun dan damai dengan musyawarah mufakat, dengan saling memaafkan tidak begitu saja terburu-buru pertikaian itu langsung dibawa atau disampaikan ke pengadilan negara.
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari- hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
Corak dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan cara sungguh- sungguh bilamana tentang ajaran-ajaran hukum adat yang menjadi jiwanya. Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, kata-kata kias yang mendalam serta hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup dan diceritakan dari mulut ke mulut sepanjang generasi yang terus berganti- ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktik ajaran itu yang dituangkan kedalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga adat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
4. Unsur-unsur Pembentukan Hukum Adat
Dengan berpedoman pada pengertian atau batasan hukum adat dari soepomo, ditambah dengan formulasi hukum adat dari para pakar yang berkumpul di Yogyakarta dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional tersebut di muka, maka dapatlah dinyatakan bahwa
”terwujudnya hukum adat itu dipengaruhi agama”. 11
11 Tolib Setiady, Loc. Cit., hlm. 29.
Seminar sendiri menyatakan “hukum adat merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama” 12
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh agama terhadap proses terwujudnya hukum adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para pakar hukum adat pada umumnya.
5. Eksistensi Hukum Adat
Hukum Adat adalah hukum asli yang hidup di dalam masyarakat dan di jadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya berpedoman pada rasa keadilan dan kepatutan dari tempat di mana hukum itu lahir, tumbuh dan surut, yang timbul secara langsung dari landasan pokoknya, ialah kesadaran hukum masyarakat, menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta proses pembentukan norma- norma yang tidak bergantung kepada penguasa rakyat. Hukum adat tersebut senantiasa tumbuh dari kebutuhan hidup yang rill, dari sikap dan pandangan
hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat. 13
Pada dasarnya hukum dapat dikemlompokan menjadi dua yaitu, Ius Constituendum atau hukum yang dicita-citakan, yang berisi rumusan- rumusan yang belum berlaku. Ius Constitutum atau hukum positif yang berlaku dalam suatu negara. Berdasarkan penggolongan tersebut, maka muncul permasalahan yaitu bagaimanakah peranan hukum adat dalam
12 Ibid., hlm. 29.
13 Herowati Poesko, Dkk.-Ed. Agus Mulyawan, Ekssitensi Pengadilan Adat dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Cet. 1- Surabaya; Laksbang Justitia, Februari 2015, hlm. 90.
hukum positif itu sendiri maupun dalam perkembangannya di kemudian hari.
Hukum Adat biasa dimasukan dalam kerangka hukum positif yang memiliki sanksi tertentu, namun hukum adat juga merupakan hukum yang tidak tertulis dan juga tidak dikodifikasikan. Maka permasalahannya adalah implementasi hukum adat itu sendiri tidak mempunyai asas legalitas, namun hanya ditaati oleh masyarakat hukum adat secara suka rela.
Hukum Adat juga diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang termuat dalam pasal 18B ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang. 14
Kemudian ayat tersebut dapat diambil intisarinya bahwa keberadaan hukum adat masih diakui dalam tertib hukum nasional, namun apabila sepanjang masih ada, dengan kata lain tidak diperkenankan menggali suatu pranata hukum yang telah mati atau sudah tidak berlaku sejak dahulu, selain itu, hukum adat dalam pelaksanaannya sebagia sumber hukum yang diakui secara nasional juga harus sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.
Saat ini, penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum yang tertulis, ia harus dapat menemukan hukum dalam aturan yang
14 Undang-Undang Dasar 1945 14 Undang-Undang Dasar 1945
Dapat dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang masih dipertahankan sampai sekarang dan sangat dibutuhkan dalam menjawab problematika hukum dalam hukum nasional saat ini yang mana ketika suatu persoalan yang terjadi dalam suatu masyarakat, walaupun persoalan tersebut sudah diselesaikan dalam ranah hukum positif saat ini yaitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi apakah akan memulihkan hubungan hukum antar warga dalam masyarakat bisa kembali pulih seperti semula, oleh sebab itu, hukum adat masih sangat dibutuhkan, dikarenakan satu hal yang sangat penting dalam hukum adat adalah di dalam tubuh hukum adat itulah terkandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang diharapkan dalam penegakan hukum di Indonesia
6. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional
Pembentukan hukum nasional kita tidak secara tegas mengacu pada atau menjadikan Hukum Adat sebagai sumber atau bahan pembentukannya. Keberadaan hukum adat hanya diakui dalam praktek peradilan, yakni dijadikan sebagai salah satu sumber hukum oleh hakim dalam mengadili suatu perkara. Itupun hanya dilakukan manakala terdapat kekosongan hukum, dalam arti hukum positif tidak mengatur permasalahan yang sedang diperiksa oleh hakim.
Dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) disebutkan : “Hakim dan hakim Dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) disebutkan : “Hakim dan hakim
Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional, yang menuju kepada unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan timbul atau tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum. Pengambilan bahan-bahan dari
hukum adat dalam penyusunan hukum nasional pada dasarnya berarti : 16
a. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar.
b. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodifisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesia
c. Memasukan konsep-konsep dan asas-asas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan hukum nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan terbentuknya hukum nasionla yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.
15 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
16 Lihat,http:wisnu.blog.uns.ac.id20090728kedudukan-hukum-adat-dalam-hukum- nasional, dikunjungi pada tanggal 24 November 2016, pada pukul 05:10 Wib.
7. Kedudukan Hukum Pidana dalam Hukum Adat
Hukum Pidana dalam penerapannya sebenarnya merupakan senjata pamungkas (ultimum remidium) dalam menegakan hukum. Hal ini mengandung makna bahwa penentuan pidana dalam undang-undang untuk suatu tindakan tertentu harus sedemikian rupa perlunya, karena alat penegak hukum (sanksi) lainnya sudah tidak efektif lagi.
Dalam hukum pidana asas legalitas dijumpai pada pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan:
1. Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasrkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan
Tujuan hukum pidana secara umum adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan atau tindakan penguasa sewenang-wenang di lain
pihak. 17
Hukum Adat di Indonesia pada umumnya tidak tertulis dan tidak dibedakan, serta tidak dipisahkan antara hukum pidana, perdata, dan hukum tata negara secara tegas seperti yang dikenal di hukum Barat. Bagi penduduk Indonesia, hukum pidana adat dan kebiasaan-kebiasaan walaupun hanya berlaku di masayarakat setempat, tidak kurang nilainya untuk
17 Laksanto Utomo, Op.Cit., hlm. 11.
dipertimbangkan sebagai hal-hal atau fakta yang turut mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.
Tegasnya hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat digolongkan dalam hukum pidana atau ada hubungannya, tidak sama derajatnya dengan undang-undang hukum pidana, walaupun harus diakui bahwa hukum adat turut memengarui pertimbangan hakim. Jika terdapat perbedaan di antara kedua macam hukum pidana tersebut maka yang akan lebih diutamakan atau yang lebih menentukan adalah undang-undang hukum pidana yang terdapat dalam KUHP.
Sebagaimana diketahui asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolah dari ide atau nilai dasar “kepastian hukum”. Namun dalam kenyataannya, asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan, penghalusan, pergeseran, atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan antara lain dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam UUDS 1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt.1951; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Konsep RUU KUHP). Asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi jua sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materil, yaitu dengan mengakui hukum pidana dan hukum tidak tertulis
sebagai sumber hukum. 18
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, kiranya pandangan masih tetap diterapkannya
18 Ibid., hlm. 12.
hukum adat (pidana) walaupun dalam arti yang terbatas lebih mendapat dukungan lagi. Dalam pasal 5 ayat (1) dari undang-undang tesebut antara lain ditentukan ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan ini mengingatkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat yang wajib diikuti oleh hakim.
Keberadaan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia akan tetap eksis. Dalam hal ini Prof. Soepomo memberikan pandangannya
sebagai berikut: 19
1. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia
2. Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan KUH baru untuk negara kita.
3. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belumtidak ditetapkan oleh undang-undang.
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat adat suatu daerah akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun
19 Ibid., hlm. 14.
hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.
8. Masyarakat Hukum Adat
Mengenai masyarakat Hukum Adat, secara teoritis pembentukannya disebabkan karena adanya faktor ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah faktor genealogis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah).
Berdasarkan kedua faktor ikatan diatas, kemudian terbentuklah masyarakat hukum adat, yang dalam studi hukum adat disebut tiga tipe
utama persekutuan hukum adat 20
1. Persekutuan hukum genealogis.
2. Persekutuan hukum territorial
3. Persekutuan hukum genealogis-teritorial, yang merupakan penggabungan dua persekutuan hukum diatas.
Kejelasan dari masing-masing bentuk masyarakat hukum diatas sebagai berikut :
1. Persekutuan Hukum Genealogis Pada persekutuan hukum (masyarakat hukum) genealogis dasar pengikat utama anggota kelompok adalah persamaan dalam keturunan, artinya anggota-anggota kelompok itu terikat karena merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Menurut para
20 C. Dewi Wulansari., Op. Cit., hlm. 25.
ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat hukum genealogis ini dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu bersifat
patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau parental. 21
2. Persekutuan Hukum Teritorial Mengenai persekutuan hukum territorial yang dimaksudkan di atas, dasar pengikat utama anggota kelompoknya adalah daerah kelahiran dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang
sama. 22
3. Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial Berikutnya mengenai persekutuan hukum genealogis-teritorial dalam pengikat utama anggota kelompoknya adalah dasar persekutuan hukum genealogis dan territorial. Jadi pada persekutuan hukum ini, para anggotanya bukan saja terkait pada tempat kediaman daerah tertentu tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau
kekerabatan. 23
9. Wilayah Hukum Adat
Menurut Hukum Adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat
(Adatrechtkrinngen). 24
21 ibid., hlm. 26. 22 ibid., hlm. 27. 23 ibid., hlm. 28.
24 A. Suriyaman Mustari P, 2009. Hukum Adat-dulu, kini dan Akan datang, Pelita
Pustaka. Makassar, hlm. 11.
Cornelis van Vollenhoven dalam Bukunya, Adat-Recht, membagi seluruh wilayah Indonesia ke dalam Sembilan belas lingkaran wilayah
hukum adat sebagai berikut: 25
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue)
2. Daerah-daerah Gayo, Alas, dan Batak
a. Daerah Gayo (Gayo Lueus)
b. Daerah Alas
c. Daerah-daerah Batak (Tapanuli) Tapanuli Utara:
1. Batak Pakpak (Barus)
2. Batak Karo
3. Batak Simelungun
4. Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Sumban Julu) Tapanuli Selatan:
1. Pada Lawas (Tano Sapanjang)
2. Angkola
3. Mandailing (sayumatinggi)
3. Nias dan Batu Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah datar, Lima Puluh koto, Wilayah Kampar, Kurinci)
4. Mentawai (orang-orang Pagai)
5. Sumatera Selatan
a. Bengkulu (Rejang)
25 Soleman B. Taneko, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang, Bandung, 1987, hlm. 44.
b. Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang, Gendongtataan, Tulang bawang)
c. Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
d. Jambi (Penduduk Batin dan Penduduk Penghulu)
6. Enggano
7. Daerah Melayu (Lingga Riauw, Indragiri, Sumatera Timur, Orang-orang Banjar)
8. Bangka dan Belitung
9. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahkam Hulu, Pasir (Daya Kenya, Daya Klemanten, Daya Landak dan Daya Tayan, Daya Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Daya Maanyan Siung, Daya Ngaju, Daya Ot Danum, Daya Panyabung Punan)
10. Minahasa (Manado)
11. Gorontalo (Bolaang Mongondouw, Boalemo, dan Minahasa)
12. Daerah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai)
13. Sulawesi Selatan (orang0orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Poure, Mandar, Selaiar, Muna)
14. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Pulau- pulau Sula)
15. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Pulau-pulau uliaser, Saparua, Buru, Seram, pulau-pulau Kei, pulau-pulau Aru dan Kaisar
16. Irian Barat
17. Kepulauan Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Rote, Sawu Bima)
18. Bali dan Lombok (Bali, Tenganan Pagringsingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
19. Jawa Tengah dan Jawa Timur seta Madura (Jawa Tengah, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
10. Konsep Restorative Justice
“Restorative Justice” atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada
Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban utama atas tejadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha tersebut. 26
26 Jonlar Purba, Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan dengan Restorative Justice, Jala Pemata Aksara, Jakarta, Cetakan Pertama, 2017, hal. 54-55.
B. Hasil Penelitian
Dalam penjelasan ini, penulis memaparkan beberapa hal yang antara lain mengenai Gambaran umum wilayah penelitian (keadaan iklim, keadaan demografi), pemerintahan adat dan sistem religi masyarakat Buru Selatan, sanksi adat “Epkeret” dan hasil analisis. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang keadaan dan situasi wilayah penelitian, serta untuk mengetahui fakta-fakta Hukum Adat yang hidup dan berkembang terkait dengan Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan.
1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kabupaten Buru Selatan terletak antara 2 o 30’ Lintang Selatan dan
5 o 50’ Lintang Selatan dan antara 125 00’ Bujur Timur dan 127 00’ Bujur Timur. Kabupaten Buru Selatan dibatasi oleh Laut Seram di sebelah Utara,
o
o
Laut Banda di sebelah Selatan dan Barat, serta Selat Manipa dan Kabupaten Buru di sebelah Timur. Keberadaannya di antara tiga kota penting di Indonesia Timur (Makasar, ManadoBitung, dan Ambon) dan dilalui Sea Line III, telah menempatkan Kabupaten Buru Selatan pada Posisi yang strategis. Kabupaten Buru Selatan secara administratif terbagi atas 6 kecamatan yakni Kecamatan Leksula, Kecamatan Kepala Madan, Kecamatan Waisama, Kecamatan Namrole, Kecamatan Ambalau dan
Kecamatan Fena Fafan 27 .
27 BPS Kabupaten Buru Selatan, Buru Selatan dalam Angka 2015, CV.Aman Jaya, 2015, halaman. 3-4.
Lokasi Penelitian yang menjadi tempat untuk penulis melakukan observasi yakni di Kecamatan Leksula, tepatnya di desa Leksula dan Kecamatan Fena Fafan tepatnya di desa Siwatlahin, Kabupaten Buru Selatan.
Lebih spesifik lagi menyangkut kecamatan yang menjadi sampel wilayah penelitian yakni kecamatan Fena Fafan, keadaan reliefnya didominasi oleh pegunungan dengan kemiringan lereng landai dan curam, sedangkan Kecamatan Leksula berada di sepanjang garis pantai merupakan daerah dengan jenis elevasi rendah dan berlereng landai.
Kabupaten Buru Selatan mengenal dua musim yakni musim penghujan dan musim kemarau. Suhu udara disuatu tempat ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari
pantai. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Januari 2014 (33.3 0 C), sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan September 2014 (18,6
o C). Stasiun Meteorologi dan Geofisika Namlea mencatat bahwa sepanjang tahun 2014 curah hujan tertinggi sebesar 244 mm terjadi pada bulan
Februari. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Oktober sebesar 1 mm. 28
Penduduk Kabupaten Buru Selatan Pada tahun 2014 berjumlah 58.197, jiwa, dimana 29.908 berjenis kelamin laki-laki dan 28.289 jiwa
perempuan. Dengan luas wilayah sebesar 5.060.00 Km 2 . Kabupaten Buru
2 Selatan memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 11,50 jiwakm 29 .
29 Ibid., hal. 23. Ibid., hal. 53.
Sementara itu bila dilihat dari segi kepadatan penduduk, yaitu dengan memperhatikan luas wilayah suatu wilayah, Kabupaten Buru Selatan dengan jumlah penduduk tahun 2014 sebanyak 58.197 jiwa, dan dengan luas
wilayah sebesar 5.060.00 Km 2 , memiliki kepadatan penduduk sebesar 11,50 jiwakm 2 , kecamatan terpadat antara lain Kecamatan Namrole dengan
kepadatan sebesar 35,98km 2 , Kecamatan Ambalau sebesar 24,24 jiwakm , Kecamatan Waesama sebesar 17,24 jiwakm2, sedangkan kecamatan yang
kurang padat antara lain Kecamatan Kepala Madan sebesar 8,16 jiwakm2, Kecamatan Leksula sebesar 6,76 jiwakm 2 dan Kecamatan Fena Fafan
2 sebesar 6,25 jiwakm 30 .
2. Pemerintahan Adat dan Sistem Religi Masyarakat Buru Selatan
Sistem Pemerintahan Adat di Pegunungan Buru Selatan di pimpin oleh Seorang Matgugul berasal dari kata mate = Raja dan gugul = Tanah atau teritorial (Raja Tanah atau penguasa teritorial) berkedudukan di Desa Mangeswaen, Kecamatan Fena Fafan, Kabupaten Buru Selatan. Wilayah pemerintahan ini yang dalam bahasa setempat disebut Matgugul Mehetlale. Matgugul bertanggungjawab atas wilayah atau teritorial yang telah ditentukan. Di bawahnya ada yang disebut Matlea atau Gebha (Kepala Soa atau Kepala Marga) yang memiliki jabatan tinggi di dalam marga. Di bawahnya ada Kawasan, yang bertugas mengakomodir dan memimpin suatu pemukiman masyarakat adat dari beberapa marga atau soa. Di bawah Kawasan adalah Emrimu atau Marinyu yang bertugas untuk menyampaikan
30 Ibid., hal. 61.
titah Matgugul kepada bawahannya dan kepada masyarakat, mengundang para tua-tua adat ke suatu sidang adat dan memberitahukan kegiatan dalam
masyarakat kepada seluruh warga masyarakat adat. 31
Tabel 2.1. Struktur Pemerintahan Adat
Mat Gugul - Penguasa Teritorial
Matlea atau Gebha (Kepala Soa) - Pemegang
kekuasaan tertinggi dalam marga
Kawasan – Pemimpin Pemukiman Marga
Emrimu (Marinyu) – Pembawa Pesan Raja pada Tua-tua Adat dan Staf
Dalam sistem pemerintahan adat, marga-marga yang sama membentuk persekutuan marga yang disebut Soa. Setiap Soa mempunyai sistem sendiri untuk mengatur urusan internal Soa nya. Secara spesifik penduduk yang tinggal di Buru Selatan dapat dibedakan antara penduduk
asli (Geba Bipolo) dan penduduk pendatang (Geba Misnit). 32
31 Hasil wawancara dengan Bapak Anton Solisa, Jabatan Matgugul, tanggal 28 Desember 2016, pukul 10.24 WIT, di Desa Leksula, Kecamatan Leksula.
32 Patinama, Jika Yesus Lahir di Bipolo, artikel dalam majalah Ilmiah Pikom GPM ASSAU, 2005, ISSN.: 1412-788, Hlm. 9-12.
Sedangkan secara kedalam Geba Bipolo atau penduduk asli terbagi menurut wilayah hunian. Geba Fuka adalah Geba Bipolo yang mendiami daerah pegunungan. Geba Fuka Unen adalah mereka yang menduduki pusat pulau disekitar Danau Rana dan Gunung Date, yang tinggal di lereng gunung menamakan diri Geba Fuka Fafan, sedangkan Geba Masin adalah
Geba Bipolo yang tinggal di pesisir pantai. 33
Jauh sebelum masuknya agama, masyarakat adat Buru Selatan sudah menganut kepecayaan kepada Roh-roh nenek moyang atau Roh Leluhur (animisme). Kepercayaan mereka didasarkan pada prinsip bahwa di lingkungan mereka tinggal di huni berbagai macam roh. Bertolak dari penjelasan diatas maka sumber kepercayaan mereka dibagi atas tiga bagian yakni : pertama : mereka percaya kepada gunung (kaku date) dan Danau (Rana Wakol) dan tempat keramat di dalam Hutan (koit lale). Kedua: mereka percaya kepada kawasan hutan yang diusahakan meliputi pemukiman (huma lolin dan fena lalen) atau negeri lama hunian leluhur, kebun (hawa) yang dijaga oleh leluhur, hutan berburu atau meramu (neten embalit) harus meminta kepada leluhur, hutan (mua lalen) tempat memacing (waelalen). Ketiga : adalah kawasan yang diusahakan turun temurun (wasi lalen) dan padang rumput (mehet lalen).
Aktivitas masyarakat adat di sekitarnya erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional bahwa asal usul mereka berhubungan dengan alam
33 wawancara dengan Bapak Samgar Seleki , 71 tahun, pada tanggal 30 Desember 2016 jam 13:42 WIT, di Desa Waelo, Kecamatan Fenafafan.
semesta yaitu tanah, air, dan gunung. Mereka juga percaya bahwa setiap kampung, sungai dan tanah ada nama aslinya (na liet) yang diberikan oleh leluhurnya yang tidak boleh mereka ucapkan dengan sembarangan. Nama itu sangat dirahasiakan dan tidak boleh di ucapkan. Nama itu disebut apabila kampung, sungai, dan tanah mereka terancam atau dilanda bencana barulah
tua-tua adat menyebutnya. 34
3. Bentuk Penyelesaian Sengketa Adat
Tingkatan Penyelesaian Pertikaian atau permasalahan dalam masyarakat adat Buru Selatan untuk menyelesaikan permasalahan antar sesama marga atau soa ataupun antar marga atau soa yaitu dengan cara Matgugul (Raja Tanah), memberitahukan lewat marinyu (pembawa pesan raja pada Kepala Soa, Kawasan, dan Tua-tua adat) kepada kepala soa (pemimpin dalam marga) dan kepada kawasan (pemimpin pemukiman marga), untuk menghadiri sidang adat atau saniri. Penyelesaian masalah ditempuh dalam beberapa cara antara lain :
1. Penyelesaian secara Kai-Wait (kakak-adik atau kekeluargaan) Penyelesaian secara Kai-Wait (kakak-adik atau kekeluargaan) untuk menyelesaikan masalah-masalah batas tanah antar marga atau antar anggota masyarakat adat, atau penyerobotan lahan usaha
34 Hasil Wawancara dengan Bapak Petrus Nacikit, 69 tahun, tanggal 23 desember
2016, pukul 11.45 Wit, di desa Waekatin, Kecamatan Fenafafan.
(hutan kayu putih dan hutan meranti) dan lahan berburu biasanya masyarakat adat melaporkan ke Kepala Soa (kepala marga) selanjutnya dikumpulan Kepala Soa yang anggotanya bermasalah untuk di musyawarahkan dan diputuskan sesuai dengan kenyataan yang ada. Biasanya penyelesaiannya atas dasar kekeluargaan dianggap baik sebab semua marga di Buru Selatan menjujung tinggi nilai filosofi hidup Kai-Wait atau kakak-adik sebagai orang Bersaudara.
2. Penyelesaian dengan cara Faka Ua (Belah Rotan) Penyelesaian dengan cara Faka Ua atau Belah Rotan untuk menyelesaikan masalah perkawinan, denda adat, penentuan harta kawin, biasanya di selesaikan dengan pendekatan Faka Ua atau Belah Rotan. Penyelesaian Faka Ua atau Belah Rotan bertolak dari pengalaman orang tua yang membelah rotan untuk membuat tali pengikat dan perangkap binatang, dan mereka membelah rotan itu dua belahnya sama besar cara itu yang mereka pakai untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat adat. Artinya sikap Matgugul (Raja Tanah) dalam memutuskan suatu perkara tidak memihak kepada siappun tetapi berdasarkan rasa keadilan dan kebenaran sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
3. Penyelesaian dengan cara Esmake (Sumpah Adat) Penyelesaian dengan cara Esmake (Sumpah Adat) khusus untuk menyelesaikan perkara-perkara pembunuhan (Pengenaan Sanksi adat Epkeret). Dalam kasus pembunuhan ada juga sanksi adat Rahe Nefu. Rahe Nefu adalah tebusan dalam bentuk pemberian sebidang tanah dari keluarga pelaku pembunuhan kepada keluarga korban (yang di bunuh). Proses pergantian korban dengan sebidang tanah atau Rahe Nefu dilakukan apabila keluarga pelaku tidak dapat mendidirikan seorang manusia pengganti (Epkeret) dikarenakan jika yang dibunuh adalah perempuan, keluarga pelaku harus menyiapkan seorang perempuan untuk didirikan sebagai orang pengganti untuk menggantikan korban akan tetapi anak keturunan dari keluarga pelaku tidak memiliki anak perempuan, maka akan di lakukan musyawarah secara adat untuk memutuskan pengganti dengan cara menyerahkan sebidang tanah kepada keluarga korban. Tanah dapat dijadikan pengganti korban (manusia) sesuai dengan kepercayaan mereka bahwa tanah adalah asal mula manusia dan sumber kehidupan bagi manusia tanpa tanah manusia tidak bisa melakukan apa-apa, tanpa tanah manusia tidak bisa memenuhi segala kebutuhan keluarganya, tanpa tanah tidak ada tempat tinggal, tanah merupakan sesuatu yang bisa dijadikan pemenuhan akan kebutuhan keluarga mereka dengan cara berkebun dan lain sebagainya. Atas dasar itu maka pergantian korban menggunakan tanah itu sah secara adat dan dapat di terima oleh keluarga korban.
Selama ini, di kalangan masyarakat hukum adat di pegunungan Buru Selatan mengenal dua cara pergantian korban akibat pembunuhan yaitu Epkeret dan Rahe Nefu, hanya saja yang sering dilakukan apabila terjadi pembunuhan adalah pengenaan sanksi adat Epkeret, atau pihak korban di ganti dengan manusia, yang dilakukan dalam sidang adat yang dipimpin oleh Matgugul, dihadiri oleh, Kepala Soa, Kawasan, Tua-tua Adat, dan disaksikan oleh Pemerintah (camat), tokoh agama, pihak kepolisian, pihak TNI, dan warga masyarakat.
4. Sanksi Adat “Epkeret”
a. Pengertian Sanksi Adat “Epkeret”
Kata “Epkeret” sendiri berasal dari dua kata epak = mendekat keret = mendirikan, dalam bahasa setempat disebut dengan Kasi Badiri. Secara harafiahnya “Epkeret” adalah mendekati keluarga korban untuk mendirikan pengganti. Sanksi adat epkeret adalah sanksi yang dikenakan oleh seseorang yang melakukan pembunuhan atau Fah Rahat dengan mendirikan seorang Pengganti untuk menggantikan korban akibat pembunuhan kepada keluarga korban.
b. Sejarah dan Tujuan Sanksi Adat “Epkeret”
Sejarah lahirnya adat Epkeret berawal dari kesepkatan 24 (dua puluh empat) marga asli yang berdiam di Pulau Buru untuk melindungi Pulau Buru dari ancaman musuh yang datang dari luar. Atas kesepakatan 24 (dua puluh empat) marga asli tersebut, maka masing-masing marga atau soa melakukan adat Epkeret yakni Sejarah lahirnya adat Epkeret berawal dari kesepkatan 24 (dua puluh empat) marga asli yang berdiam di Pulau Buru untuk melindungi Pulau Buru dari ancaman musuh yang datang dari luar. Atas kesepakatan 24 (dua puluh empat) marga asli tersebut, maka masing-masing marga atau soa melakukan adat Epkeret yakni
Buru dari tangan mereka. 36
Mereka menerapkan prinsip mata ganti mata gigi ganti gigi, yaitu apabila salah satu dari antara 24 (dua puluh empat) marga yang mendiami Pulau Buru di bunuh oleh pihak-pihak yang ingin merebut Pulau Buru atau pembunuhan diantara marga-marga tersebut maka harus dibalas dengan cara membunuh. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga Pulau Buru dari ancaman musuh akan tetapi juga untuk melindungi hubungan kekerabatan dan persaudaraan diantara marga- marga dimaksud. Komunitas 24 (dua puluh empat) marga-marga asli yang mendiami Pulau Buru yang mematuhi pengenaan sanksi adat Epkeret adalah :
Tabel 2.2.
Nama 24 (dua puluh empat) marga atau soa asli Pulau Buru yang mematuhi pengenaan sanksi adat Epkeret
No Nama Marga
Nama Soa
1. Marga lesnusa
Soa Masbait
2. Marga Solisa
Soa Mual
35 Kapitan adalah seorang Panglima perang yang diutus oleh salah satu marga atau Soa
36 Hasil wawancara dengan Bapak Anthon Solissa pemegang jabatan Matgugul, tanggal 29 desember 2016, di desa Leksula, Kecamatan Leksula, pukul 05:07 WIT.
3. Marga Seleki
Soa Gebhain
4. Marga Leskona
Soa Maktita
5. Marga Biloro
Soa Hangwasi
6. Marga Selsili
Soa Gebfua
7. Marga Lesbasa
Soa Gebrihi
8. Marga Teslatu
Soa Waelusu
9. Marga Tasane
Soa Wagida
10. Marga Titawael
Soa Wakibo
11. Marga Lesbata
Soa Waenu
12. Marga Nurlatu
Soa Watemun
13. Marga Nacikit
Soa Migodo
14. Marga Hukunala
Soa Gewagit
15. Marga Latuwael
Soa Wanheran
16. Marga Latbual
Soa Waelua
17. Marga Waemese
Soa Wakolo
18. Marga Liligoli
Soa Nalbesi
19. Marga Tasidjawa
Soa Fanabo
20. Marga Leslesi
Soa Wadupa
21. Marga Lehalima
Soa Waili
22. Marga Talesi
Soa Fatup
23. Marga Wamnebo
Soa Seget
24. Marga Behuku
Soa Waekabo
Masyarakat adat di Pulau Buru khususnya Buru Selatan memiliki
2 (dua) nama yakni nama dalam dan nama luar, nama luar lebih dikenal dengan sebutan marga (yang dimiliki oleh orang dari bagian timur Indonesia), sedangkan nama dalam adalah nama adat. Dalam upacara adat masyarakat adat Buru Selatan tidak menggunakan nama marga akan tetapi menggunakan nama Soa sebagai identitas dari marga untuk mengikuti upacara adat.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan masyarakat, adat Epkeret berubah dari upaya mendirikan seorang Kapitan dari tiap-tiap marga asli Pulau Buru untuk membunuh dengan tujuan melindungi Pulau Buru dari ancaman pihak-pihak yang ingin merebutnya, para leluhur kemudian memutuskan adat Epkeret menjadi sanksi adat kepada siapa saja yang melakukan pembunuhan antar marga maupun kepada marga asli penghuni Pulau Buru.
Dengan alasan apabila masih diterapkan membunuh dibalas dengan membunuh, akan mengakibatkan komunitas masyarakat adat Buru Selatan akan semakin melemah akibat dari jika ada pembunuhan dibalas dengan pembunuhan juga, akan menyebabkan perseteruan dalam komunitas masyarakat adat sendiri, yang akan menimbulkan kehancuran masyarakat adat di Buru Selatan, dikarenakan Pulau Buru di juluki negeri Kai-Wait atau kakak-adik, negeri orang basudara (bersaudara), tatanan hidup yang terbina atas dasar semangat kai wait menuntun mereka berpegang teguh pada adat dan budaya hidup yang Dengan alasan apabila masih diterapkan membunuh dibalas dengan membunuh, akan mengakibatkan komunitas masyarakat adat Buru Selatan akan semakin melemah akibat dari jika ada pembunuhan dibalas dengan pembunuhan juga, akan menyebabkan perseteruan dalam komunitas masyarakat adat sendiri, yang akan menimbulkan kehancuran masyarakat adat di Buru Selatan, dikarenakan Pulau Buru di juluki negeri Kai-Wait atau kakak-adik, negeri orang basudara (bersaudara), tatanan hidup yang terbina atas dasar semangat kai wait menuntun mereka berpegang teguh pada adat dan budaya hidup yang
Epkeret kemudian dikenakan sebagai sanksi bagi pelaku pembunuhan atau fah rahat antar marga maupun antar sesama marga di Pulau Buru khususnya Buru Selatan. Sanksi adat Epkeret dilakukan dengan bertujuan untuk memulihkan hubungan kekerabatan yang renggang berdasarkan hidup Kai-Wait (hidup orang bersaudara) dalam masyarakat adat apabila ada orang yang melakukan fah rahat atau pembunuhan. Sanksi adat Epkeret yang dikenakan kepada keluarga pelaku untuk mendirikan pengganti bukan untuk dibunuh juga akan tetapi orang yang didirikan sebagai pengganti untuk keluarga korban untuk masuk dan hidup bersama dengan keluarga korban, akan masuk menjadi bagian dari keluarga korban sebagai pengganti dan masuk ke dalam marga keluarga korban, ketika orang tersebut sudah masuk dan menjadi anggota dari keluarga korban, kedudukannya dalam keluarga yang baru itu dianggap sebagai anak mereka sendiri.
Semua hak-hak dalam kehidupannya dipenuhi, walaupun dia menjadi bagian dari keluarga korban akibat dari adanya peristiwa fah rahat atau pembunuhan, karena didirikan sebagai Pengganti korban serta penyerahannya dilandasi dengan sumpah adat atau dalam bahasa daerah setempat disebut dengan esmake.
Pengenaan sanksi adat Epkeret merupakan salah satu jalan damai yang paling efektif yang digunakan oleh masyarakat adat di Pulau