PERAN TOKOH TIONGHOA DI ORGANISASI SOSIA
PERAN TOKOH TIONGHOA DI ORGANISASI SOSIAL
PERKUMPULAN MASYARAKAT SURAKARTA (PMS)
DALAM MEMBINA KERUKUNAN ANTARETNIS DI KOTA
SURAKARTA
ARTIKEL JURNAL
Disajikan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengajukan Ujian Tesis
Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Oleh
LULUK WULANDARI
NIM. 0301513027
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
1
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Artikel dengan judul “Peran Tokoh Tionghoa Di Organisasi Sosial Perkumpulan
Masyarakat Surakarta (Pms) Dalam Membina Kerukunan Antaretnis Di Kota
Surakarta” karya,
Nama
: Luluk Wulandari
NIM
: 0301513027
Program studi : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Telah disetujui pembimbing untuk diajukan dalam jurnal ilmiah sebagai
persyaratan ujian Tesis
Semarang,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Wasino, M.Hum
NIP. 196408051989011001
Prof. Dr. Tri Marhaeni PA, M.Hum
NIP. 196506091989012001
2
PERAN TOKOH TIONGHOA DI ORGANISASI SOSIAL
PERKUMPULAN MASYARAKAT SURAKARTA (PMS) DALAM
MEMBINA KERUKUNAN ANTARETNIS DI KOTA SURAKARTA
Luluk Wulandari
Program Studi Pendidikan IPS Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengkaji peran tokoh Tionghoa di organisasi
sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Kota dengan julukan “sumbu
pendek” ini bangkit dari pertikaian 1998, PMS sebagai stakeholder kota kian
melebarkan sayap di berbagai bidangnya. Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan FGD. Pengolahan data
menggunakan triangulasi data. PMS dimaknai berbeda antar pengurusnya, jiwa/
panggilan sosial, membangun jaringan bisnis, dan pengalaman sebagai minoritas
adalah tujuan mereka bergabung di organisasi ini. Kegiatan PMS dalam bidang
pendidikan multikultural antara lain beasiswa tidak mampu, OSN pelajar, bidang
olahraga, kesenian, workshop di bidang pendidikan untuk para guru, sedangkan
kegiatan kemasyarakatan terwujud dalam penanggulangan bencana alam, dan
Solo Bersama Selamanya. PMS membuktikan bahwa organisasi ini bergerak
untuk kesejahteraan masyarakat. Pertikaian yang pernah terjadi adalah sebuah
pelajaran bahwa perbedaan fisik bukan alasan utama konflik, selanjutnya PMS
dan masyarakat berkontribusi membangun Surakarta menjadi kota yang damai
dan aman untuk dikunjungi.
Kata Kunci: Peran,Tionghoa, Organisasi Sosial, Kerukunan Antaretnis.
Abstract: This study aims to examine the role of Chinese figures in the social
organization Surakarta Society (PMS). City with the nickname "short axis" The
rise of the dispute in 1998, PMS as stakeholders cities increasingly expanded in
various fields. Data collection technique used observation, interview,
documentation, and FGD. Processing data using triangulation data. PMS is
interpreted differently among managers, mental / social calls, build a business
network, and experience as a minority is their goal to join in this organization.
PMS activities in the field of multicultural education among other scholarships
can not afford, OSN students, sports, arts, workshops in the field of education for
teachers, while community activities embodied in the response to natural
disasters, and Solo Together Forever. PMS prove that the organization is moving
to the welfare of society. Contention that ever happened is a lesson that the
physical difference is not the main reason of conflict, PMS and society further
contribute to building Surakarta be a peaceful and safe city to visit.
Keywords: Role, Chinese, Social Organization, inter-ethnic harmony.
3
PENDAHULUAN
Interaksi sosial antara etnis Jawa dan Tionghoa sangat menarik untuk
dicermati, karena walaupun telah hidup berdampingan dalam waktu yang lama,
warga keturunan Tionghoa (etnis Cina) belum diterima secara penuh sebagai
orang kita. Di Indonesia, orientasi multi kulturalisme sebagai konsep ideal yang
telah jelas digambarkan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ternyata belum
mampu mengakomodasikan warga etnis keturunan Tionghoa sebagai bagian
integral. Multikulturalisme yang berasal dari kata ”multi” yang berarti Plural dan
”kulturalisme” yang berarti kultur atau budaya, dengan kata lain multikulturlisme
berarti pengakuan adanya berjenis-jenis budaya (Tilaar, 2004).
Lika-liku hubungan etnis Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta menarik
untuk diteliti. Sudah banyak mahasiswa atau kalangan akademisi yang melakukan
penelitian di kota budaya ini, beberapa diantaranya dibukukan sehingga dapat
menjadi rujukan penelitian selanjutnya. Misalnya saja, buku karangan Wasino,
Wong Jawa dan Wong Cina (2005) penulis adalah guru besar sejarah Universitas
Negeri Semarang. Buku “Menjadi Jawa” oleh Rustopo (2006), buku ini
menggambarkan pasang surut relasi Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta. Dalam
buku ini digambarkan bagaimana konstruksi Kejawen disumbangkan oleh
beberapa tokoh Tionghoa. Buku ketiga adalah skripsi dari mahasiswa Universitas
Negeri Surakarta yaitu Ayu Windy Kinasih yaitu “Identitas Etnis Tionghoa Di
Kota Solo”, buku ini menggambarkan usaha etnis Tionghoa di Surakarta untuk
menjadi diri sendiri dan tidak lagi berorientasi sebagai pendatang di Indonesia.
Berangkat dari sejarah kerusuhan yang pernah ada, di Surakarta dibentuk
sebuah organisasi sosial yaitu ”Perkumpulan Masyarakat Surakarta” (PMS).
Anggotanya masyarakat dari berbagai golongan membentuk suatu organisasi
sosial yang membawahi berbagai macam kegiatan seni dan budaya termasuk
olehraga. Organisasi kemasyarakatan ini mempunyai visi menyatukan, integrasi,
dan peleburan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi dalam hal ini
Jawa. Semua golongan masyarakat bisa melibatkan diri dalam kegiatan seni
budaya dan olahraga tanpa membedakan suku, agama dan ras. Walaupun pada
awalnya, PMS adalah organisasi Tionghoa yang merupakan gabungan dari enam
organisasi Tionghoa. Waktu itu bernama Chuan Min Kung Hui, kegiatan
organisasi ini melayani dan mengurusi kebutuhan warga Tionghoa di Kota
Surakarta. Namun sejak 1 Oktober 1959, dengan tujuan integrasi, serta agar dapat
lebih membaur antara warga etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi (Jawa),
maka nama Chuan Min Kung Hui diubah menjadi ”Perkumpulan Masyarakat
Surakarta” (PMS).
Ketika berbicara mengenai etnis Tionghoa di kota Surakarta, tentu tidak
lepas dengan beberapa nama seperti Sumartono Hadinoto, Budhioko, Candra
Tandiyo, Budhi Moeljono, Wymbo Widjaksono, Tanto Tjondromartono, dan
masih banyak lagi tokoh-tokoh Tionghoa yang mengabdikan dirinya untuk
masyarakat melalui organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).
Selain sibuk mengembangkan bisnisnya, mereka meluangkan waktu untuk
mengabdi, berbagi, dan melayani kebutuhan masyarakat Surakarta. Bidang-bidang
di organisasi sosial ini antara lain bidang olahraga, bidang pendidikan dan
kesenian, bidang Humas dan Umum, bidang pelayanan, bidang kepemudaan,
1
bidang pengembangan dana dan usaha, bidang penataan aset, bidang peranan
wanita, yang semuanya diperuntukkan bagi masyarakat Surakarta tanpa
membedakan suku, agama, ras dan budaya. Serta Perkumpulan Masyarakat
Surakarta (PMS) berkomitmen untuk turut serta membangun kota Surakarta dan
Indonesia mengingat jasa pendahulunya yang turut serta memperjuangkan
kemerdekaan di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa Orde Baru
organisasi ini merupakan satu-satunya perkumpulan Tionghoa yang tidak
dibekukan oleh pemerintah ketika itu. Berangkat dari latar belakang tersebut
peneliti berminat mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai peran tokoh-tokoh
Tionghoa dalam organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS)
dalam usahanya mewujudkan dan membina kerukunan masyarakat Surakarta.
Tokoh adalah seseorang yang terkemuka atau kenamaan di bidangnya, atau
seseorang yang memegang peranan penting dalam suatu bidang atau aspek
kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang tersebut berasal, dibesarkan, dan
hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu. Pemilihan tokoh tersebut
merupakan hasil observasi awal, dimana dari sekian banyak warga keturunan di
Surakarta tidak semua menjadi anggota PMS. Indikator sosial adalah cara peneliti
dalam menentukan tokoh yang akan menjadi subyek penelitian. Beberapa tokoh
tersebut adalah pengusaha dari berbagai macam bidang yang telah lama menjadi
pengurus PMS.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Menurut Bungin (2001: 30), metode kualitatif adalah satu-satunya cara andal dan
relevan untuk bisa memahami fenomena social (tindakan manusia). Pendekatan
ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasi individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis tetapi perlu
juga memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif fenomenologis yaitu kegiatan yang meliputi pengumpulan data
dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang
sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penelitian deskriptif fenomenologis
ini menentukan dan melaporkan keadaan sekarang yang bersifat deskriptif analitis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat fenomenologi maka data
yang terkumpul selalu berbentuk kata-kata tulisan yang mencakup catatan,
laporan dan foto-foto.
Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
meliputi hasil obervasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder adalah data
tambahan yang didapat dari dokumentasi baik foto maupun tabloid, majalah, dan
pendukung lainnya. Teknik pengumpulan data antara lain observasi, adapun yang
diamati adalah kegiatan bidang-bidang di PMS, lokasi dimana PMS berada, yaitu
di kawasan Pecinan Surakarta, wawancara mendalam dilakukan untuk menggali
lebih dalam pendapat tokoh mengenai PMS dan menelaah lebih lanjut alasan
tokoh tersebut bergabung di organisasi sosial kemasyarakatan ini. Dokumentasi
dalam penelitian ini meliputi pengumpulan gambar baik diambil langsung di
lokasi peneltian (gedung PMS) maupun lokasi lain di sekitar Surakarta yang
2
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan PMS. Penggunaan focus group discussion
(FGD) dimulai dari pertimbangan apakah teknik ini memang tepat digunakan
dalam kasus penelitan ini. Sebagaimana teknik lainnya FGD hanya dipakai untuk
tujuan menghimpun data sebanyak-banyaknya dari informan. Hanya saja kalau
metode lain, peneliti memperoleh data dari informan yang bersifat pribadi, tanpa
melalui “pengumpulan” sikap dan pendapat orang lain, sedangkan melalui FGD
informasi yang ditangkap peneliti adalah informasi kelompok, sikap kelompok,
pendapat kelompok dan keputusan kelompok.
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pemeriksaan dengan memanfaatkan penggunaan sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dengan cara: (1) Membandingkan data pengamatan
dengan hasil wawancara. Hasil pengamatan yang didapat dari observasi, dapat
langsung peneliti tanyakan dengan pengurus yang bersangkutan, misalnya ketika
mengamati latihan wushu, kebetulan ketua bidang olahraga menemani peneliti
melihat latihan dan wawancara tentang bidang itu dapat dilakukan. (2)
Membandingkan apa yang dikatakan informan tentang situasi penelitian dengan
apa yang dikatakan sepanjang waktu, beberapa informan membuktikan bahwa
tujuan mereka bergabung di PMS tidak ada tendensi apapun kecuali murni untuk
kegiatan sosial. Meskipun ada kekhawatiran akan ada siklus konflik yang
melibatkan golongan Tionghoa, tetapi rasa khawatir itu hilang ketika selama ini
masyarakat mendukung kegiatan PMS. (3) Membandingkan keadaan dan
perspektif seorang informan dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.
Dialog pendapat mengenai apa yang disampaikan informan kunci dan informan
pendukung dilakukan juga dalam penelitian ini. Misalnya tujuan tersembunyi
mengadakan kegiatan sosial. Antara informan satu dengan yang lain ditemukan
perbedaan tujuan sehingga dugaan awal penelitian berkembang seiring
ditemukannya beragam tujuan pengurus bergabung di PMS. (4) Membandingkan
hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan. Kegiatan ini dilakukan
dengan cara membandingkan hasil liputan yang ada di tabloid terbitan PMS,
berita di Solo Pos, dan Suara Merdeka yang kebetulan satu tema dengan
penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis data yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Miles, 1998) yaitu melakukan aktivitas
analisis data yang meliputi kegiatan reduksi data (data reduction), penyajian data
(data display), dan verifikasi (conclution drawing/verivication) yang dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Ketiga
tahap analisis data diperlihatkan pada gambar 3.1 interaksi antara ketiga
komponen tersebut merupakan patokan dalam kegiatan analisis data.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kelurahan Purwodiningratan, kecamatan Jebres, adalah tempat dimana
kantor sekretariat “Perkumpulan Masyarakat Surakarta” (PMS) berada. Terletak di
tengah kota, berdekatan dengan Keraton Kasunanan, Pasar Klewer dan Jalan
Slamet Riyadi. Juga terletak dekat dengan aliran sungai Bengawan Solo. Di
sebelah Utara terdapat kampus Universitas Sebelas Maret yang sekarang lebih
dikenal dengan nama UNS. Kegiatan bidang di PMS antara lain bidang olahraga,
3
kesenian, kepemudaan, peranan wanita, dana dan usaha, pelayanan, humas dan
umum. Olahraga PMS menonjol dalam wushu, bulutangkis dan catur. Setiap hari
gedung olahraga PMS tidak pernah sepi, selalu ada yang berlatih.
PMS dimaknai berbeda antar pengurus, sebagian pengurus memang
berlatar-belakang pengusaha yang sukses, senior, dan beberapa periode
menduduki jabatan sebagai pengurus di PMS. Namun semakin berkembangnya
zaman, regenerasi dilakukan dengan merekrut generasi muda. Penelitian ini
menemukan ada tiga hal utama yang menarik pengurus untuk bergabung, antara
lain panggilan jiwa (altruistik), membangun jaringan bisnis, dan sebagai tempat
untuk berlindung karena pengalaman pertikaian yang pernah mereka alami
sebagai minoritas.
Pengurus PMS
Periode 2014-2019
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19
Nama
Wymbo Widjaksono
Sumartono Hadinoto
Idayanti Santoso
Pono Budi Sutrisno
Darmawan Saputra
Hannanto
Dani
The Sing Hong
Iwan Santoso Djasmoro
Tan Miauw Han
Susanto
Tanu Kismanto
Liliek Setiawan
Indrawati Parengkuan
Linda Kurniawati
Kristanto
Elia Agustina
Budi Laksana
Jabatan
Ketua Umum
Wakil Ketua Umum
Sekretaris Umum
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
Ketua Bidang I
Wakil Ketua Bidang I
Anggota
Ketua Bidang II
Wakil Ketua Bidang II
Anggota
Ketua Bidang III
Wakil Ketua bidang III
Anggota
Ketua bidang IV
Wakil Ketua bidang IV
Anggota
Pekerjaan
BPR Insani
Candi Aluminium
King Bengkel
Notaris
Pimpinan Bank
Konsultan
Kontraktor
Distributor Ban
Toko Kertas
Agen Properti
Distributor
Tekstil
Dosen
Dosen
Philip Distributor
Garmen
Kontraktor
PMS juga berkiprah dalam bidang pendidikan multikultural. Kegiatan
bidang pendidikan dalam penelitian ini yang dimaksud bukan kegiatan belajar
mengajar di dalam kelas-kelas formal pada jenjang pendidikan tertentu.
Pendidikan di sini adalah pendidikan di masyarakat seperti memberikan
informasi, pola penanaman nilai dan norma, dari generasi ke generasi berikutnya.
PMS dengan bidang tugasnya turut bekerjasama dengan dinas terkait misalnya
dinas Pendidikan dan Olahraga untuk menyelenggarakan seminar, olimpiade
pelajar, workshop untuk guru dan siswa, serta mengirimkan atletnya mewakili
Surakarta untuk kejuaraan tingkat propinsi dan nasional.
Horton (1999) mengungkapkan peran seseorang dapat tidak sesuai
sebagaimana yang diharapkan dari statusnya sebagai perilaku peran atau perilaku
4
sesungguhnya. Hal ini terjadi diantaranya karena kepribadian, persepsi, dan
konflik peran. Semua faktor tersebut mempengaruhi sehingga tidak ada dua
individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara-cara yang sama.
Karyawan PMS memiliki pandangan masing-masing mengenai pengurus PMS,
pengalaman mereka (karyawan) berkomunikasi dengan beberapa pengurus
membawa pada pemahaman ternyata stereotipe dapat dipatahkan ketika individu
telah dewasa dan berkomunikasi dengan kelompok lain.
Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa PMS, sebagai stakeholder kota,
diharapkan lebih baik lagi, dan terus berkomitmen untuk memajukan Surakarta.
Mengingat PMS adalah satu-satunya organisasi Tionghoa yang tidak dibekukan
pada masa orde baru berkuasa, hal ini membuktikan bahwa sebenarnya hubungan
antara etnis ini berjalan dengan baik.
Teori interaksionisme simbolik dimunculkan oleh George Herbert Mead,
Charles Horton Cooley, teori ini memiliki substansi yaitu kehidupan
bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu
dan antar kelompok dengan menggunakan symbol-simbol yang dipahami
maknanya melalui proses belajar dan memberikan tanggapan terhadap stimulus
yang datang dari lingkungannya dan dari luar dirinya (Ritzer, 2003).
Konsep “I” sebagai keturunan Tionghoa dirasakan pengurus PMS, tetapi
bukan di organisasi sosial PMS, dan pada kenyataannya beberapa pengurus PMS
tidak murni berdarah Tionghoa. Leluhur mereka telah melakukan perkawinan
silang antar etnis. Di Surakarta untuk melihat eksklusifitas etnis ada di
perkumpulan keluarga, marga, atau lebih tepatnya persekutuan asal daerah di
Tiongkok. Perkumpulan ini antara lain Perhakkas (Persaudaraan Hakka
Surakarta), Hoo Hap, himpunan Fujing. Masyarakat “Ampyang” begitulah
sebutan yang disematkan kepada golongan Tionghoa yang leluhurnya telah
berasimilasi lewat “kawin campur” dengan penduduk setempat. Sedangkan “me”
merujuk pada siapa diri kita yang sudah berinteraksi di masyarakat, dimana
konsep “me” terkadang harus bertentangan dengan “I”. PMS adalah sebuah
organisasi sosial yang mengedepankan “me” bukan “I”.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian Peran Tokoh Tionghoa Di Organisasi Sosial
Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Dalam Membina Kerukunan
Antaretnis Di Kota Surakarta, dapat disimpulkan bahwa: (1) Pengurus PMS
sangat senang menjadi bagian dari PMS, baik pengurus lama maupun pengurus
yang baru bergabung. Mereka merasa bahagia dapat berperan serta dalam kegiatan
sosial yang dilakukan PMS dalam bidang masing-masing. Minat dan tujuan yang
sama, menjadikan pengurus yang juga sibuk sebagai owner perusahaan besar di
Surakarta tidak merasa terbebani bergabung di PMS. Dapat membagi waktu,
keluarga mendukung, dan terbukanya masyarakat Surakarta menerima kehadiran
PMS beserta kegiatan sosialnya menjadi organisasi ini semakin solid. Tujuan
bergabung dalam organisasi ini antara lain karena panggilan hati, membangun
jaringan bisnis. (2) Untuk pendidikan multikultural di Surakarta, baik agenda yang
direncanakan maupun tidak, PMS hadir dengan kegiatannya di bidang pendidikan,
seperti workshop Matematika Gasing, pencarian bibit unggul OSN bekerjasama
dengan dinas terkait, sosialisasi Wajib Pajak yang dibantu oleh Kantor Wilayah
5
DJP Jateng II Solo, kerjasama dalam bidang kesenian Jawa dan Karawitan
bersama ISI Surakarta dan Tainan National University, turut memeriahkan
festival Gethek 2015, mengajak generasi pengusaha muda untuk peduli
lingkungan sosial dengan Solo Youth Club (SYC), kerjasama workshop dengan
UNS, UNISRI dan beberapa perguruan tinggi lainnya di Surakarta. (3) Selain
berperan dalam intern PMS, beberapa tokoh atau pengurus PMS aktif
menyumbangkan tenaga, ide dan gagasan di lingkup kota Surakarta, maupun
propinsi Jawa-Tengah. Bidang tersebut diantaranya olahraga, kesenian, dan
kesehatan. Salah satu pengurusnya menjadi pelatih Taekwondo tingkat Propinsi.
Tanggapan masyarakat pun jauh dari anggapan miring mengenai kiprah PMS di
kegiatan sosial. Sejarah konflik yang pernah terjadi tidak menyurutkan kerjasama
dengan organisasi masyarakat lainnya maupun dengan pemerintah setempat.
Sebagai stakeholder PMS dapat menempatkan dirinya mendukung untuk
kemajuan kota Surakarta.
Poin-poin penting dalam akhir penelitian ini adalah kegiatan sosial, baik
bidang kesehatan, olahraga, pendidikan, mampu meredam konflik yang ada.
Ketika tergabung dalam organisasi sosial individu mau tidak mau meletakkan latar
belakang sosial, tujuan bersama, kepentingan umum, dan kemajuan kota tercinta
mampu menyatukan berbagai macam agama, etnis, golongan di kota Surakarta. Di
usia yang ke 82 tahun ini membuktikan bahwa PMS benar-benar solid dan
memiliki jiwa membaur yang luar biasa. Kerusuhan politik, masalah ekonomi,
bencana alam menjadikan semua elemen warga bahu membahu saling merapatkan
barisan, termasuk PMS sebagai stakeholder kota.
Kesibukan individu dapat menjadi alasan untuk tidak peduli sekitar. Hal ini
berbeda dengan pengurus PMS, dan beberapa tokoh masyarakat Surakarta (di luar
PMS) yang dapat meluangkan waktu untuk mendukung program-program
pemerintah kota Surakarta. Saling bercanda dalam suasana bebas unsur SARA,
semua yang terlibat diterima dengan tangan terbuka jika memang memiliki satu
tujuan untuk menjadikan Surakarta menjadi lebih baik.
Perkumpulan seperti PMS diharapkan juga hadir di kota-kota lain di pulau
Jawa, bahkan di Indonesia. Tidak ada sentimen bernuansa SARA, yang biasanya
hanya terwujud dalam lembaga pendidikan dan kesehatan saja, dapat dihadirkan
di tengah-tengah masyarakat.
Dari hasil penelitian tersebut, hendaknya ada tidaknya organisasi
”Perkumpulan Masyarakat Surakarta” (PMS) masyarakat Surakarta tetap dapat
menjaga kerukunan antar etnis. Tidak lagi memandang atau berprasangka negatif
kepada etnis tertentu. Diharapkan dari latar belakang konflik etnis yang pernah
dan sudah terjadi, dapat membuka mata masyarakat Surakarta dari semua
golongan bahwa konflik hanya akan berakibat memecah belah, dan merusak
persatuan bangsa. Diharapkan juga untuk masyarakat Surakarta lebih memahami
nilai-nilai Pancasila, konsep Bhineka Tunggal Ika benar-benar dipraktekan dalam
kehidupan sehari-hari tidak hanya dijadikan simbol semata.
6
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta : Bumi Aksara
Barth, Frederick. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : UI Press
Berry, David. 1983. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. (disunting dan diantar
oleh Paulus Wirutama). Jakarta: CV. Rajawali
Berry, John W. (et al). 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. (alih
bahasa Edy Suhardono). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Brata, Nugroho Trisnu. 2006. Prahara Reformasi Mei 1998 (Jejak-jejak
Kesaksian). Semarang: UNNES Press
Cohen, Bruce J. 1992. Theory and Problems of Introduction to Sociology. (alih
bahasa Sahat Simamura). Jakarta: Rineka Cipta
Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Yogyakarta:
Fisipol UGM
Kleden, Ignas. 1999. “Stratifikasi Etnis dan Diskriminasi”, Dalam Moch. Sa’dun
M.,ed., Pri-Non Pri. Mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: CIDES
Lubis, M Rajab. 1995. Pribumi di Mata Orang Cina. Medan: Pustaka
Widyasarana
Mely, Giok Tan. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah
Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia
Miles, Matheuw B dan A. Michael Hubermen. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Terjemahan Tjejep Rohendi. Jakarta : UI Press
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Narwoko, Dwi J dan Suyanto Bagong. 2004. Sosiologis Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta : kencana
Nasikun. 2001. System Social di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo persada
Nazir, Mohammad. 1983. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa (Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa
1895-1998). Jakarta: Penerbit Ombak
7
Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik, Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa
dan Cina. Yogyakarta: Tiara Wacana
Scherer, Savitri. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan ”Pemikiran-pemikiran
Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan
Sugiyono. 2008. Metode Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Soekanto. Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Suryadinata, Leo. 1985. Politik Tionghoa Peranakan Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Taneko, Soleman B. 1986. Konsepsi Sistem sosial dan Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta: Fajar Agung
Vasanti, Puspa. 1996. Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta:
Djambatan
Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina : Lika-liku Hubungan Sosial antara
Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo Tahun 1911-1998. Semarang :
UNNES Press
Wibowo, I. 2001. Harga-harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis
Cina di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama kerjasama
dengan Pusat Studi Cina
Yusiu, Lim. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari. Jakarta:
Djambatan
8
PERKUMPULAN MASYARAKAT SURAKARTA (PMS)
DALAM MEMBINA KERUKUNAN ANTARETNIS DI KOTA
SURAKARTA
ARTIKEL JURNAL
Disajikan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengajukan Ujian Tesis
Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Oleh
LULUK WULANDARI
NIM. 0301513027
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
1
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Artikel dengan judul “Peran Tokoh Tionghoa Di Organisasi Sosial Perkumpulan
Masyarakat Surakarta (Pms) Dalam Membina Kerukunan Antaretnis Di Kota
Surakarta” karya,
Nama
: Luluk Wulandari
NIM
: 0301513027
Program studi : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Telah disetujui pembimbing untuk diajukan dalam jurnal ilmiah sebagai
persyaratan ujian Tesis
Semarang,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Wasino, M.Hum
NIP. 196408051989011001
Prof. Dr. Tri Marhaeni PA, M.Hum
NIP. 196506091989012001
2
PERAN TOKOH TIONGHOA DI ORGANISASI SOSIAL
PERKUMPULAN MASYARAKAT SURAKARTA (PMS) DALAM
MEMBINA KERUKUNAN ANTARETNIS DI KOTA SURAKARTA
Luluk Wulandari
Program Studi Pendidikan IPS Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengkaji peran tokoh Tionghoa di organisasi
sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Kota dengan julukan “sumbu
pendek” ini bangkit dari pertikaian 1998, PMS sebagai stakeholder kota kian
melebarkan sayap di berbagai bidangnya. Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan FGD. Pengolahan data
menggunakan triangulasi data. PMS dimaknai berbeda antar pengurusnya, jiwa/
panggilan sosial, membangun jaringan bisnis, dan pengalaman sebagai minoritas
adalah tujuan mereka bergabung di organisasi ini. Kegiatan PMS dalam bidang
pendidikan multikultural antara lain beasiswa tidak mampu, OSN pelajar, bidang
olahraga, kesenian, workshop di bidang pendidikan untuk para guru, sedangkan
kegiatan kemasyarakatan terwujud dalam penanggulangan bencana alam, dan
Solo Bersama Selamanya. PMS membuktikan bahwa organisasi ini bergerak
untuk kesejahteraan masyarakat. Pertikaian yang pernah terjadi adalah sebuah
pelajaran bahwa perbedaan fisik bukan alasan utama konflik, selanjutnya PMS
dan masyarakat berkontribusi membangun Surakarta menjadi kota yang damai
dan aman untuk dikunjungi.
Kata Kunci: Peran,Tionghoa, Organisasi Sosial, Kerukunan Antaretnis.
Abstract: This study aims to examine the role of Chinese figures in the social
organization Surakarta Society (PMS). City with the nickname "short axis" The
rise of the dispute in 1998, PMS as stakeholders cities increasingly expanded in
various fields. Data collection technique used observation, interview,
documentation, and FGD. Processing data using triangulation data. PMS is
interpreted differently among managers, mental / social calls, build a business
network, and experience as a minority is their goal to join in this organization.
PMS activities in the field of multicultural education among other scholarships
can not afford, OSN students, sports, arts, workshops in the field of education for
teachers, while community activities embodied in the response to natural
disasters, and Solo Together Forever. PMS prove that the organization is moving
to the welfare of society. Contention that ever happened is a lesson that the
physical difference is not the main reason of conflict, PMS and society further
contribute to building Surakarta be a peaceful and safe city to visit.
Keywords: Role, Chinese, Social Organization, inter-ethnic harmony.
3
PENDAHULUAN
Interaksi sosial antara etnis Jawa dan Tionghoa sangat menarik untuk
dicermati, karena walaupun telah hidup berdampingan dalam waktu yang lama,
warga keturunan Tionghoa (etnis Cina) belum diterima secara penuh sebagai
orang kita. Di Indonesia, orientasi multi kulturalisme sebagai konsep ideal yang
telah jelas digambarkan oleh semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ternyata belum
mampu mengakomodasikan warga etnis keturunan Tionghoa sebagai bagian
integral. Multikulturalisme yang berasal dari kata ”multi” yang berarti Plural dan
”kulturalisme” yang berarti kultur atau budaya, dengan kata lain multikulturlisme
berarti pengakuan adanya berjenis-jenis budaya (Tilaar, 2004).
Lika-liku hubungan etnis Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta menarik
untuk diteliti. Sudah banyak mahasiswa atau kalangan akademisi yang melakukan
penelitian di kota budaya ini, beberapa diantaranya dibukukan sehingga dapat
menjadi rujukan penelitian selanjutnya. Misalnya saja, buku karangan Wasino,
Wong Jawa dan Wong Cina (2005) penulis adalah guru besar sejarah Universitas
Negeri Semarang. Buku “Menjadi Jawa” oleh Rustopo (2006), buku ini
menggambarkan pasang surut relasi Jawa dan Tionghoa di kota Surakarta. Dalam
buku ini digambarkan bagaimana konstruksi Kejawen disumbangkan oleh
beberapa tokoh Tionghoa. Buku ketiga adalah skripsi dari mahasiswa Universitas
Negeri Surakarta yaitu Ayu Windy Kinasih yaitu “Identitas Etnis Tionghoa Di
Kota Solo”, buku ini menggambarkan usaha etnis Tionghoa di Surakarta untuk
menjadi diri sendiri dan tidak lagi berorientasi sebagai pendatang di Indonesia.
Berangkat dari sejarah kerusuhan yang pernah ada, di Surakarta dibentuk
sebuah organisasi sosial yaitu ”Perkumpulan Masyarakat Surakarta” (PMS).
Anggotanya masyarakat dari berbagai golongan membentuk suatu organisasi
sosial yang membawahi berbagai macam kegiatan seni dan budaya termasuk
olehraga. Organisasi kemasyarakatan ini mempunyai visi menyatukan, integrasi,
dan peleburan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi dalam hal ini
Jawa. Semua golongan masyarakat bisa melibatkan diri dalam kegiatan seni
budaya dan olahraga tanpa membedakan suku, agama dan ras. Walaupun pada
awalnya, PMS adalah organisasi Tionghoa yang merupakan gabungan dari enam
organisasi Tionghoa. Waktu itu bernama Chuan Min Kung Hui, kegiatan
organisasi ini melayani dan mengurusi kebutuhan warga Tionghoa di Kota
Surakarta. Namun sejak 1 Oktober 1959, dengan tujuan integrasi, serta agar dapat
lebih membaur antara warga etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi (Jawa),
maka nama Chuan Min Kung Hui diubah menjadi ”Perkumpulan Masyarakat
Surakarta” (PMS).
Ketika berbicara mengenai etnis Tionghoa di kota Surakarta, tentu tidak
lepas dengan beberapa nama seperti Sumartono Hadinoto, Budhioko, Candra
Tandiyo, Budhi Moeljono, Wymbo Widjaksono, Tanto Tjondromartono, dan
masih banyak lagi tokoh-tokoh Tionghoa yang mengabdikan dirinya untuk
masyarakat melalui organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).
Selain sibuk mengembangkan bisnisnya, mereka meluangkan waktu untuk
mengabdi, berbagi, dan melayani kebutuhan masyarakat Surakarta. Bidang-bidang
di organisasi sosial ini antara lain bidang olahraga, bidang pendidikan dan
kesenian, bidang Humas dan Umum, bidang pelayanan, bidang kepemudaan,
1
bidang pengembangan dana dan usaha, bidang penataan aset, bidang peranan
wanita, yang semuanya diperuntukkan bagi masyarakat Surakarta tanpa
membedakan suku, agama, ras dan budaya. Serta Perkumpulan Masyarakat
Surakarta (PMS) berkomitmen untuk turut serta membangun kota Surakarta dan
Indonesia mengingat jasa pendahulunya yang turut serta memperjuangkan
kemerdekaan di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa Orde Baru
organisasi ini merupakan satu-satunya perkumpulan Tionghoa yang tidak
dibekukan oleh pemerintah ketika itu. Berangkat dari latar belakang tersebut
peneliti berminat mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai peran tokoh-tokoh
Tionghoa dalam organisasi sosial Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS)
dalam usahanya mewujudkan dan membina kerukunan masyarakat Surakarta.
Tokoh adalah seseorang yang terkemuka atau kenamaan di bidangnya, atau
seseorang yang memegang peranan penting dalam suatu bidang atau aspek
kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang tersebut berasal, dibesarkan, dan
hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu. Pemilihan tokoh tersebut
merupakan hasil observasi awal, dimana dari sekian banyak warga keturunan di
Surakarta tidak semua menjadi anggota PMS. Indikator sosial adalah cara peneliti
dalam menentukan tokoh yang akan menjadi subyek penelitian. Beberapa tokoh
tersebut adalah pengusaha dari berbagai macam bidang yang telah lama menjadi
pengurus PMS.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Menurut Bungin (2001: 30), metode kualitatif adalah satu-satunya cara andal dan
relevan untuk bisa memahami fenomena social (tindakan manusia). Pendekatan
ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasi individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis tetapi perlu
juga memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif fenomenologis yaitu kegiatan yang meliputi pengumpulan data
dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang
sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Penelitian deskriptif fenomenologis
ini menentukan dan melaporkan keadaan sekarang yang bersifat deskriptif analitis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat fenomenologi maka data
yang terkumpul selalu berbentuk kata-kata tulisan yang mencakup catatan,
laporan dan foto-foto.
Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
meliputi hasil obervasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder adalah data
tambahan yang didapat dari dokumentasi baik foto maupun tabloid, majalah, dan
pendukung lainnya. Teknik pengumpulan data antara lain observasi, adapun yang
diamati adalah kegiatan bidang-bidang di PMS, lokasi dimana PMS berada, yaitu
di kawasan Pecinan Surakarta, wawancara mendalam dilakukan untuk menggali
lebih dalam pendapat tokoh mengenai PMS dan menelaah lebih lanjut alasan
tokoh tersebut bergabung di organisasi sosial kemasyarakatan ini. Dokumentasi
dalam penelitian ini meliputi pengumpulan gambar baik diambil langsung di
lokasi peneltian (gedung PMS) maupun lokasi lain di sekitar Surakarta yang
2
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan PMS. Penggunaan focus group discussion
(FGD) dimulai dari pertimbangan apakah teknik ini memang tepat digunakan
dalam kasus penelitan ini. Sebagaimana teknik lainnya FGD hanya dipakai untuk
tujuan menghimpun data sebanyak-banyaknya dari informan. Hanya saja kalau
metode lain, peneliti memperoleh data dari informan yang bersifat pribadi, tanpa
melalui “pengumpulan” sikap dan pendapat orang lain, sedangkan melalui FGD
informasi yang ditangkap peneliti adalah informasi kelompok, sikap kelompok,
pendapat kelompok dan keputusan kelompok.
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pemeriksaan dengan memanfaatkan penggunaan sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dengan cara: (1) Membandingkan data pengamatan
dengan hasil wawancara. Hasil pengamatan yang didapat dari observasi, dapat
langsung peneliti tanyakan dengan pengurus yang bersangkutan, misalnya ketika
mengamati latihan wushu, kebetulan ketua bidang olahraga menemani peneliti
melihat latihan dan wawancara tentang bidang itu dapat dilakukan. (2)
Membandingkan apa yang dikatakan informan tentang situasi penelitian dengan
apa yang dikatakan sepanjang waktu, beberapa informan membuktikan bahwa
tujuan mereka bergabung di PMS tidak ada tendensi apapun kecuali murni untuk
kegiatan sosial. Meskipun ada kekhawatiran akan ada siklus konflik yang
melibatkan golongan Tionghoa, tetapi rasa khawatir itu hilang ketika selama ini
masyarakat mendukung kegiatan PMS. (3) Membandingkan keadaan dan
perspektif seorang informan dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.
Dialog pendapat mengenai apa yang disampaikan informan kunci dan informan
pendukung dilakukan juga dalam penelitian ini. Misalnya tujuan tersembunyi
mengadakan kegiatan sosial. Antara informan satu dengan yang lain ditemukan
perbedaan tujuan sehingga dugaan awal penelitian berkembang seiring
ditemukannya beragam tujuan pengurus bergabung di PMS. (4) Membandingkan
hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan. Kegiatan ini dilakukan
dengan cara membandingkan hasil liputan yang ada di tabloid terbitan PMS,
berita di Solo Pos, dan Suara Merdeka yang kebetulan satu tema dengan
penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis data yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Miles, 1998) yaitu melakukan aktivitas
analisis data yang meliputi kegiatan reduksi data (data reduction), penyajian data
(data display), dan verifikasi (conclution drawing/verivication) yang dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Ketiga
tahap analisis data diperlihatkan pada gambar 3.1 interaksi antara ketiga
komponen tersebut merupakan patokan dalam kegiatan analisis data.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kelurahan Purwodiningratan, kecamatan Jebres, adalah tempat dimana
kantor sekretariat “Perkumpulan Masyarakat Surakarta” (PMS) berada. Terletak di
tengah kota, berdekatan dengan Keraton Kasunanan, Pasar Klewer dan Jalan
Slamet Riyadi. Juga terletak dekat dengan aliran sungai Bengawan Solo. Di
sebelah Utara terdapat kampus Universitas Sebelas Maret yang sekarang lebih
dikenal dengan nama UNS. Kegiatan bidang di PMS antara lain bidang olahraga,
3
kesenian, kepemudaan, peranan wanita, dana dan usaha, pelayanan, humas dan
umum. Olahraga PMS menonjol dalam wushu, bulutangkis dan catur. Setiap hari
gedung olahraga PMS tidak pernah sepi, selalu ada yang berlatih.
PMS dimaknai berbeda antar pengurus, sebagian pengurus memang
berlatar-belakang pengusaha yang sukses, senior, dan beberapa periode
menduduki jabatan sebagai pengurus di PMS. Namun semakin berkembangnya
zaman, regenerasi dilakukan dengan merekrut generasi muda. Penelitian ini
menemukan ada tiga hal utama yang menarik pengurus untuk bergabung, antara
lain panggilan jiwa (altruistik), membangun jaringan bisnis, dan sebagai tempat
untuk berlindung karena pengalaman pertikaian yang pernah mereka alami
sebagai minoritas.
Pengurus PMS
Periode 2014-2019
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19
Nama
Wymbo Widjaksono
Sumartono Hadinoto
Idayanti Santoso
Pono Budi Sutrisno
Darmawan Saputra
Hannanto
Dani
The Sing Hong
Iwan Santoso Djasmoro
Tan Miauw Han
Susanto
Tanu Kismanto
Liliek Setiawan
Indrawati Parengkuan
Linda Kurniawati
Kristanto
Elia Agustina
Budi Laksana
Jabatan
Ketua Umum
Wakil Ketua Umum
Sekretaris Umum
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
Ketua Bidang I
Wakil Ketua Bidang I
Anggota
Ketua Bidang II
Wakil Ketua Bidang II
Anggota
Ketua Bidang III
Wakil Ketua bidang III
Anggota
Ketua bidang IV
Wakil Ketua bidang IV
Anggota
Pekerjaan
BPR Insani
Candi Aluminium
King Bengkel
Notaris
Pimpinan Bank
Konsultan
Kontraktor
Distributor Ban
Toko Kertas
Agen Properti
Distributor
Tekstil
Dosen
Dosen
Philip Distributor
Garmen
Kontraktor
PMS juga berkiprah dalam bidang pendidikan multikultural. Kegiatan
bidang pendidikan dalam penelitian ini yang dimaksud bukan kegiatan belajar
mengajar di dalam kelas-kelas formal pada jenjang pendidikan tertentu.
Pendidikan di sini adalah pendidikan di masyarakat seperti memberikan
informasi, pola penanaman nilai dan norma, dari generasi ke generasi berikutnya.
PMS dengan bidang tugasnya turut bekerjasama dengan dinas terkait misalnya
dinas Pendidikan dan Olahraga untuk menyelenggarakan seminar, olimpiade
pelajar, workshop untuk guru dan siswa, serta mengirimkan atletnya mewakili
Surakarta untuk kejuaraan tingkat propinsi dan nasional.
Horton (1999) mengungkapkan peran seseorang dapat tidak sesuai
sebagaimana yang diharapkan dari statusnya sebagai perilaku peran atau perilaku
4
sesungguhnya. Hal ini terjadi diantaranya karena kepribadian, persepsi, dan
konflik peran. Semua faktor tersebut mempengaruhi sehingga tidak ada dua
individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara-cara yang sama.
Karyawan PMS memiliki pandangan masing-masing mengenai pengurus PMS,
pengalaman mereka (karyawan) berkomunikasi dengan beberapa pengurus
membawa pada pemahaman ternyata stereotipe dapat dipatahkan ketika individu
telah dewasa dan berkomunikasi dengan kelompok lain.
Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa PMS, sebagai stakeholder kota,
diharapkan lebih baik lagi, dan terus berkomitmen untuk memajukan Surakarta.
Mengingat PMS adalah satu-satunya organisasi Tionghoa yang tidak dibekukan
pada masa orde baru berkuasa, hal ini membuktikan bahwa sebenarnya hubungan
antara etnis ini berjalan dengan baik.
Teori interaksionisme simbolik dimunculkan oleh George Herbert Mead,
Charles Horton Cooley, teori ini memiliki substansi yaitu kehidupan
bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu
dan antar kelompok dengan menggunakan symbol-simbol yang dipahami
maknanya melalui proses belajar dan memberikan tanggapan terhadap stimulus
yang datang dari lingkungannya dan dari luar dirinya (Ritzer, 2003).
Konsep “I” sebagai keturunan Tionghoa dirasakan pengurus PMS, tetapi
bukan di organisasi sosial PMS, dan pada kenyataannya beberapa pengurus PMS
tidak murni berdarah Tionghoa. Leluhur mereka telah melakukan perkawinan
silang antar etnis. Di Surakarta untuk melihat eksklusifitas etnis ada di
perkumpulan keluarga, marga, atau lebih tepatnya persekutuan asal daerah di
Tiongkok. Perkumpulan ini antara lain Perhakkas (Persaudaraan Hakka
Surakarta), Hoo Hap, himpunan Fujing. Masyarakat “Ampyang” begitulah
sebutan yang disematkan kepada golongan Tionghoa yang leluhurnya telah
berasimilasi lewat “kawin campur” dengan penduduk setempat. Sedangkan “me”
merujuk pada siapa diri kita yang sudah berinteraksi di masyarakat, dimana
konsep “me” terkadang harus bertentangan dengan “I”. PMS adalah sebuah
organisasi sosial yang mengedepankan “me” bukan “I”.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian Peran Tokoh Tionghoa Di Organisasi Sosial
Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Dalam Membina Kerukunan
Antaretnis Di Kota Surakarta, dapat disimpulkan bahwa: (1) Pengurus PMS
sangat senang menjadi bagian dari PMS, baik pengurus lama maupun pengurus
yang baru bergabung. Mereka merasa bahagia dapat berperan serta dalam kegiatan
sosial yang dilakukan PMS dalam bidang masing-masing. Minat dan tujuan yang
sama, menjadikan pengurus yang juga sibuk sebagai owner perusahaan besar di
Surakarta tidak merasa terbebani bergabung di PMS. Dapat membagi waktu,
keluarga mendukung, dan terbukanya masyarakat Surakarta menerima kehadiran
PMS beserta kegiatan sosialnya menjadi organisasi ini semakin solid. Tujuan
bergabung dalam organisasi ini antara lain karena panggilan hati, membangun
jaringan bisnis. (2) Untuk pendidikan multikultural di Surakarta, baik agenda yang
direncanakan maupun tidak, PMS hadir dengan kegiatannya di bidang pendidikan,
seperti workshop Matematika Gasing, pencarian bibit unggul OSN bekerjasama
dengan dinas terkait, sosialisasi Wajib Pajak yang dibantu oleh Kantor Wilayah
5
DJP Jateng II Solo, kerjasama dalam bidang kesenian Jawa dan Karawitan
bersama ISI Surakarta dan Tainan National University, turut memeriahkan
festival Gethek 2015, mengajak generasi pengusaha muda untuk peduli
lingkungan sosial dengan Solo Youth Club (SYC), kerjasama workshop dengan
UNS, UNISRI dan beberapa perguruan tinggi lainnya di Surakarta. (3) Selain
berperan dalam intern PMS, beberapa tokoh atau pengurus PMS aktif
menyumbangkan tenaga, ide dan gagasan di lingkup kota Surakarta, maupun
propinsi Jawa-Tengah. Bidang tersebut diantaranya olahraga, kesenian, dan
kesehatan. Salah satu pengurusnya menjadi pelatih Taekwondo tingkat Propinsi.
Tanggapan masyarakat pun jauh dari anggapan miring mengenai kiprah PMS di
kegiatan sosial. Sejarah konflik yang pernah terjadi tidak menyurutkan kerjasama
dengan organisasi masyarakat lainnya maupun dengan pemerintah setempat.
Sebagai stakeholder PMS dapat menempatkan dirinya mendukung untuk
kemajuan kota Surakarta.
Poin-poin penting dalam akhir penelitian ini adalah kegiatan sosial, baik
bidang kesehatan, olahraga, pendidikan, mampu meredam konflik yang ada.
Ketika tergabung dalam organisasi sosial individu mau tidak mau meletakkan latar
belakang sosial, tujuan bersama, kepentingan umum, dan kemajuan kota tercinta
mampu menyatukan berbagai macam agama, etnis, golongan di kota Surakarta. Di
usia yang ke 82 tahun ini membuktikan bahwa PMS benar-benar solid dan
memiliki jiwa membaur yang luar biasa. Kerusuhan politik, masalah ekonomi,
bencana alam menjadikan semua elemen warga bahu membahu saling merapatkan
barisan, termasuk PMS sebagai stakeholder kota.
Kesibukan individu dapat menjadi alasan untuk tidak peduli sekitar. Hal ini
berbeda dengan pengurus PMS, dan beberapa tokoh masyarakat Surakarta (di luar
PMS) yang dapat meluangkan waktu untuk mendukung program-program
pemerintah kota Surakarta. Saling bercanda dalam suasana bebas unsur SARA,
semua yang terlibat diterima dengan tangan terbuka jika memang memiliki satu
tujuan untuk menjadikan Surakarta menjadi lebih baik.
Perkumpulan seperti PMS diharapkan juga hadir di kota-kota lain di pulau
Jawa, bahkan di Indonesia. Tidak ada sentimen bernuansa SARA, yang biasanya
hanya terwujud dalam lembaga pendidikan dan kesehatan saja, dapat dihadirkan
di tengah-tengah masyarakat.
Dari hasil penelitian tersebut, hendaknya ada tidaknya organisasi
”Perkumpulan Masyarakat Surakarta” (PMS) masyarakat Surakarta tetap dapat
menjaga kerukunan antar etnis. Tidak lagi memandang atau berprasangka negatif
kepada etnis tertentu. Diharapkan dari latar belakang konflik etnis yang pernah
dan sudah terjadi, dapat membuka mata masyarakat Surakarta dari semua
golongan bahwa konflik hanya akan berakibat memecah belah, dan merusak
persatuan bangsa. Diharapkan juga untuk masyarakat Surakarta lebih memahami
nilai-nilai Pancasila, konsep Bhineka Tunggal Ika benar-benar dipraktekan dalam
kehidupan sehari-hari tidak hanya dijadikan simbol semata.
6
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta : Bumi Aksara
Barth, Frederick. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : UI Press
Berry, David. 1983. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. (disunting dan diantar
oleh Paulus Wirutama). Jakarta: CV. Rajawali
Berry, John W. (et al). 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. (alih
bahasa Edy Suhardono). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Brata, Nugroho Trisnu. 2006. Prahara Reformasi Mei 1998 (Jejak-jejak
Kesaksian). Semarang: UNNES Press
Cohen, Bruce J. 1992. Theory and Problems of Introduction to Sociology. (alih
bahasa Sahat Simamura). Jakarta: Rineka Cipta
Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Yogyakarta:
Fisipol UGM
Kleden, Ignas. 1999. “Stratifikasi Etnis dan Diskriminasi”, Dalam Moch. Sa’dun
M.,ed., Pri-Non Pri. Mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: CIDES
Lubis, M Rajab. 1995. Pribumi di Mata Orang Cina. Medan: Pustaka
Widyasarana
Mely, Giok Tan. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah
Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia
Miles, Matheuw B dan A. Michael Hubermen. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Terjemahan Tjejep Rohendi. Jakarta : UI Press
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Narwoko, Dwi J dan Suyanto Bagong. 2004. Sosiologis Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta : kencana
Nasikun. 2001. System Social di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo persada
Nazir, Mohammad. 1983. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa (Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa
1895-1998). Jakarta: Penerbit Ombak
7
Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik, Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa
dan Cina. Yogyakarta: Tiara Wacana
Scherer, Savitri. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan ”Pemikiran-pemikiran
Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan
Sugiyono. 2008. Metode Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Soekanto. Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Suryadinata, Leo. 1985. Politik Tionghoa Peranakan Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Taneko, Soleman B. 1986. Konsepsi Sistem sosial dan Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta: Fajar Agung
Vasanti, Puspa. 1996. Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta:
Djambatan
Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina : Lika-liku Hubungan Sosial antara
Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo Tahun 1911-1998. Semarang :
UNNES Press
Wibowo, I. 2001. Harga-harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis
Cina di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama kerjasama
dengan Pusat Studi Cina
Yusiu, Lim. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari. Jakarta:
Djambatan
8