Analisis Pemberdayaan Masyarakat Dan Transfer Intergenerasi Terhadap Kualitas Penduduk Lanjut Usia (Lansia) Sebagai Sumber Daya Manusia Di Kota Medan

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Perencanaan menurut Friedman dalam Tarigan (2008) mengartikan
perencanaan cara pikir dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi
sehingga akan menghasilkan sesuatu di masa yang akan datang yang melibatkan
banyak pihak sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Undang-Undang RI
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
mendefinisikan perencanaan sebagai “suatu proses untuk menentukan tindakan
masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumberdaya yang tersedia”.
Perencanaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu perencanaan yang
membutuhkan suatu teknik dan profesi tertentu sedangkan yang kedua
perencanaan adalah kegiatan yang melibatkan masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung (Tarigan, 2008). Perencanaan mengandung dua unsur
penting, yaitu hal yang ingin dicapai dan cara untuk mencapainya (Rustiadi et al.,
2009).
Perencanaan wilayah menyangkut ke dalam dua aspek utama yaitu
perencanaan ruang dan aktivitas di atas ruang tersebut. Kaitan dengan ruang
berkembang menjadi perencanaan tata ruang; dan yang bekenaan dengan aktivitas

berhubungan dengan perencanaan pembangunan dalam aspek ekonomi, sosial,
kelembagaan, dan ekologi (Tarigan, 2008; Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).

129

Perencanaan wilayah berkaitan dengan kajian yang sistematis atas aspek fisik,
sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk mengarahkan pemanfaatannya
dengan cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Sasaran perencanaan wilayah
adalah efisiensi dan produktivitas, pemerataan dan akseptabilitas masyarakat,
serta keberlanjutan (Sirojuzilam, 2011).
Tujuan

perencanaan

wilayah

adalah

terwujudnya


kesejahteraan

masyarakat. Pencapaian tujuan tersebut diperlukan berbagai infrastruktur wilayah:
fisik, sosial budaya, ekonomi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal,
dan teknologi. Miraza (2005) menyatakan bahwa perencanaan wilayah
menyangkut pada bagaimana wilayah dibangun dan dikembangkan, yang tujuan
akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah. Sebuah wilayah
terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan
kesejahteraan seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur,
teknologi, dan budaya. Indikator pembangunan wilayah dibagi berdasarkan tujuan
pembangunan, kapasitas sumberdaya, dan proses pembangunan (Rustiadi, 2009)
dapat dilihat pada Tabel 2.1.

130

Tabel 2.1
Indikator Pembangunan Wilayah Berdasarkan Pendekatan Pengelompokan
Basis
Tujuan

pembangunan

Sumberdaya

Kelompok
Indikator-indikator operasional
1.
Produktivitas, a. Pendapatan wilayah (PDRB,
efisiensi, dan
PDRB
per
kapita,
pertumbuhan (growth) pertumbuhan
PDRB)
b. Kelayakan finansial/ekonomi
c. Spesialisasi, Keunggulan
komparatif/kompetitif
(Location
Quotient,
ShiftShare

Analysis)
d. Produk utama (produktivitas)
2.
a. Distribusi pendapatan (Gini
Pemerataan,keberimbang
ratio, struktural)
an,
b.Ketenagakerjaan/penganggur
dan keadilan (equity)
an (terbuka, terselubung,
setengah)
c. Kemiskinan (Good-service
ratio,
garis
kemiskinan,
persen
konsumsi makanan)
d.
Keseimbangan
wilayah(spatial,

central, capital, dan sector
balance)
3. Keberlanjutan
a. Dimensi lingkungan
(sustainability)
b. Dimensi ekonomi
c. Dimensi sosial
1. Sumberdaya manusia
a. Pengetahuan
b. Keterampilan
c. Kompetensi
d. Etos kerja/sosial
e. Pendapatan/produktivitas
f. Kesehatan
g.
Indeks
Pembangunan
Manusia
2. Sumberdaya alam
a. Tekanan

b. Dampak
c. Degradasi
3.
Sumberdaya a.
Skalogram
fasilitas
buatan/sarana
pelayanan
dan prasarana
b.
Aksesibilitas
terhadap
fasilitas

131

4. Sumberdaya
(social
capital)


sosial a. Regulasi/aturan adat/budaya
(norm)
b. Organisasi sosial (network)
c. Rasa percaya (trust)
Proses
a. Input dasar (SDA, SDM,
1. Input
pembangunan
2. Proses/implementasi
infrastruktur, SDS)
b. Input antara, transparansi,
3. Output
efisiensi
4. Outcome
manajemen,
tingkat
5. Benefit
partisipasi
6. Impact
masyarakat/stakeholders

c. Total volume produksi
Sumber : Rustiadi, 2009

Dari Tabel 2.1 dapat diketahui bahwa salah satu dasar melihat
pembangunan wilayah adalah sumber daya manusia yang mempunyai indikator
terdiri

dari

pengetahuan,

keterampilan,

kompetensi,

etos

kerja/sosial,

pendapatan/produktivitas, kesehatan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Sumber daya manusia memegang peranan strategis dalam pengembangan
wilayah. Budiharsono dalam Sirojuzilam mengemukakan bahwa ada enam pilar
dalam pengembangan wilayah sebagaimana Gambar 2.1.

KELEMBAGAAN
E

BIOGEOFISIKA

EKONOMI

Pengembangan
Wilayah
GEOGRAFI

SOSIAL
LOKASI

Gambar 2.1
Aspek Pengembangan Wilayah


132

Pengembangan wilayah dapat menganalisis dari aspek biogeofisika,
geografi, lokasi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Aspek biogeofisik meliputi
kandungan sumber daya hayati, sumber daya non hayati, jasa-jasa maupun sarana
dan prasarana yang ada pada wilayah tersebut; aspek ekonomi meliputi kegiatan
ekonomi yang terjadi disekitar wilayah; aspek sosial meliputi budaya, pembinaan
kualitas sumber daya manusia; aspek kelembagaan

meliputi kelembagaan

masyarakat yang ada dalam pengelolaan suatu wilayah apakah kondusif atau tidak
serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku baik dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga sosial ekonomi yang ada di
wilayah tersebut; aspek lokasi menunjukkan keterkaitan antara wilayah yang satu
dengan wilayah lainnya yang berhubungan dengan sarana produksi, pengelolaan
maupun pemasaran dan aspek lingkungan meliputi kajian mengenai bagaimana
proses produksi mengambil input apakah merusak atau tidak.


Tujuan

pengembangan wilayah adalah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup
masyarakat atau kualitas hidup di suatu wilayah, atau memajukan dan
memperbaiki serta meningkatkan sesuatu yang sudah ada (Jayadinata ,1992; Zen,
2001; Soetomo, 2008).
Nachrowi dan Suhandojo (2001) menyatakan bahwa sumber daya manusia
dengan kemampuan yang cukup akan mampu menggerakkan seluruh sumber daya
wilayah yang ada. Sumber daya manusia mempunyai peran ganda dalam sebuah
proses pembangunan yaitu sebagai obyek dan sekaligus sebagai subyek
pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, sumber daya manusia merupakan
sasaran pembangunan untuk disejahterakan, dan sebagai subyek pembangunan
sumber daya manusia berperan sebagai pelaku pembangunan.

133

Pembangunan dan sumber daya manusia mempunyai kaitan dimana
pembangunan adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka
lakukan dengan apa yang mereka miliki untuk meningkatkan kualitas manusia.
Sumber daya mengacu kepada suatu fungsi atau substansi yang dapat berbuat
dalam suatu kegiatan atau suatu operasi dan muncul dari interaksi antara manusia
dan alam. Manusia mencari alat atau cara-cara untuk memenuhi kebutuhannya
sehingga mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan untuk keluar
dari kesukaran-kesukaran yang dihadapinya. Fokus utama pengembangan wilayah
adalah manusia. Pengembangan wilayah wilayah harus disertai pembangunan
masyarakat selain memanfaatkan sumber daya alam melalui teknologi,
manusianya pun harus dikembangkan (Zen, 2001).
Tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat dilihat
sebagai kesuksesan pembangunan daerah yaitu produktivitas yang dapat diukur
dari perkembangan kinerja suatu institusi beserta aparatnya, efisiensi, yang terkait
dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas sumber daya
manusia dalam pelaksanaan pembangunan dan partisipasi masyarakat, yang dapat
menjamin kesinambungan pelaksanaan suatu program di suatu wilayah serta
Ketiga indikator keberhasilan tersebut terkait erat dengan faktor-faktor yang
menjadi ciri suatu wilayah dan membedakannya dengan wilayah lainnya seperti
kondisi politik dan sosial, struktur kelembagaan, komitmen aparat dan
masyarakat, dan tingkat kemampuan/pendidikan aparat dan masyarakat.
Beberapa kajian di atas dapat disimpulkan bahwa perencanaan wilayah
dapat dikaji dari aktivitas di dalam ruang melalui aspek sosial, dimana di
dalamnya mengenai sumber daya manusia. Sumber daya manusia diartikan adalah

134

penduduk yang ada di wilayah tersebut. Penduduk yang ada di wilayah termasuk
penduduk yang sudah tua atau yang disebut dengan lansia. Lansia juga termasuk
subjek dan objek pembangunan pada suatu wilayah. Oleh sebab itu dengan jumlah
lansia yang semakin banyak diharapkan lansia menjadi sumber daya manusia
mempunyai kualitas yang baik sehingga tidak menjadi beban pembangunan.

2.2 Penduduk Lanjut Usia Sebagai Sumber Daya Manusia
2.2.1 Pengertian Lanjut Usia
Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang (Azizah,
2011). Laslett (Caselli dan Lopez, 1996) mengutarakan bahwa menjadi tua
(aging) yaitu proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami
manusia pada semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age)
merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Suardiman,
2011).
Birren dan Schroots membedakan tiga proses sentral, yaitu penuaan
sebagai proses biologis (senescing), menjadi senior dalam masyarakat (elderling)
atau penuaan sosial (elderling) dan penuaan psikologis subjektif (geronting)
(Monks, 2002). Terdapat berbagai macam sudut pandang yang dapat
mendefinisikan secara khusus mengenai arti lanjut usia. Azizah (2011)
menuliskan bahwa Stanley dan Beare (2007) menganalisis kriteria lanjut usia dari
57 negara didunia dan menemukan bahwa kriteria lanjut usia yang paling umum
adalah gabungan antara usia kronologis, dengan perubahan peran dalam peran
sosial, dan diikuti status fungsional seseorang.
Teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah individu

135

yang dapat dilihat perubahannya dalam tiga proses yaitu biologis, sosial dan
psikologis, mengalami perubahan peran dalam status sosial dan fungsionalnya.

2.2.2 Pendekatan-Pendekatan Sebagai Batasan Lanjut usia
a. Pendekatan Kronologis
Masa tua atau masa dewasa akhir, merupakan masa yang usianya dimulai
dari 60 tahun. Para ilmuan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan
merujuk kepada tiga kelompok lanjut usia, yaitu:
1) Lanjut usia muda (young old), yang memiliki usia 65 sampai 74 tahun, yang
biasanya masih aktif, vital, dan bugar.
2) Lanjut usia tua (old old), yang memiliki usia 75 sampai 84 tahun.
3) Lanjut usia tertua (oldest old), dengan rentang usia 85 tahun keatas, cendrung
lebih lemah dan tidak bugar serta memiliki kesulitan dalam aktifitas sehari-hari
(Papalia, 2008).
Standar permulaan umur seseorang lanjut usia di Indonesia adalah 60
tahun. Hal ini sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa
lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas.
b. Pendekatan Peran dan Fungsi Sosial
Perubahan peran sosial dan status fungsional individu dapat dijelaskan
dalam salah satu teori penuaan, yaitu teori aktifitas. Teori ini menjelaskan bahwa
lanjut usia akan merasakan kepuasan dalam melakukan aktifitas lebih penting

136

daripada kuantitas dan aktifitas yang dilakukan. Penjabaran lebih lanjut bahwa
dari satu sisi, aktifitas lanjut usia dapat menurun, namun dari sisi lain dapat
dikembangkan seperti peran baru lanjut usia sebagai relawan, ketua RT atau RW,
kakek atau nenek serta janda atau duda (Maryam, et.al., 2008).
Teori ini memberikan kesempatan pada lanjut usia untuk terus terlibat
dalam berbagai kegiatan, terus bekerja memberikan kontribusi bagi kepuasan dan
kebahagiaan hidup secara berarti bagi usia lanjut (Suardiman, 2011).
c. Tugas Perkembangan Lanjut Usia
Sebagaimana individu yang memiliki tugas perkembangan yang berbedabeda pada setiap tahapan perkembangannya, lanjut usia memiliki tugas
perkembangan yang berbeda dengan tahapan perkembangan sebelumnya. Tugas
perkembangan di lanjut usia adalah tercapainya integritas seseorang, yang
bermakna bahwa individu tersebut berhasil memenuhi komitmen dalam
hubungannya sendiri dengan orang lain (Prawitasari, 1994). Menurut Hurlock
(2004), tugas perkembangan usia lanjut adalah menyesuaikan diri dengan
menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri dengan masa
pensiun dan berkurangnya penghasilan (income) keluarga, menyesuaikan diri
dengan kematian pasangan hidup, membentuk hubungan dengan orang-orang
seusia,

membentuk

pengaturan

kehidupan

fisik

yang

memuaskan

dan

menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

2.3 Kualitas Sumber Daya Manusia Penduduk Lanjut Usia
Kualitas hidup adalah merupakan faktor-faktor yang memengaruhi apa
yang dihargai dalam hidup sehingga pengertiannya lebih luas jika dibandingkan

137

dengan standard hidup. Pendekatan yang dilakukan dalam mengukur kualitas
hidup adalah :
a. Pendekatan kesejahteraan subjektif. Pendekatan ini berkaitan dengan
tradisi utilitarian.
b. Pendekatan kapabilitas yaitu dengan melihat hidup seseorang sebagai
kombinasi antara berbagai kegiatan dan kemandirian (functionings) dan
kebebasan untuk memilih antara fungsi-fungsi tersebut (capabilities).
c. Pendekatan alokasi yang adil yaitu menimbang berbagai dimensi non
moneter kualitas hidup (melampaui barang dan jasa yang diperdagangkan
di pasar) dengan suatu cara yang menghargai preferensi seseorang
(Stiglitz,et.al, 2011).
Pendekatan kapabilitas dan alokasi menekankan pada kondisi objektif
masyarakat dan kesempatan yang tersedia bagi masyarakat. Ciri-ciri yang
berkaitan dengan objektif pada kualitas hidup adalah kesehatan, pendidikan,
aktivitas personal, hubungan dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup dan
ketidakamanan (bersifat ekonomi dan fisik).
Salah

satu

upaya

yang

dilakukan

oleh

dinas

sosial

dengan

memperkenalkan Pelembagaan Lanjut Usia dalam kehidupan bangsa yang
dilakukan oleh keluarga, masyarakat, organisasi sosial, lembaga swadaya
masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah pusat dan daerah pada tahun 1996.
Program-program pokok yang dilaksanakan adalah :
1. Kesejahteraan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia, penduduk lansia di bagi atas dua yaitu lanjut usia potensial

138

yaitu yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang
dapat menghasilkan uang, serta lanjut usia yang tidak potensial yaitu lanjut
usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain.
Kualitas lansia dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu kesehatan, ekonomi ,
sosial. Dalam hal kesehatan WHO menyatakan dalam penanganan kesehatan
lansia adalah Add life to years as well as years to life. Konsep kesehatan
penduduk lansia berbeda dengan penduduk lainnya, ada tiga hal yang menyangkut
kesehatan lansia yaitu status fungsional, masalah kesehatan utama dan penyakit.
Status fungsional merupakan interaksi dari gangguan fisik, psikis dan sosial
ekonomi (Darmojo, 2009). Perbedaan status fungsional lansia dan populasi lain
dapat terlihat pada Gambar 2.2.
Status fungsional pada lansia :

Fisik
Sosek

Psikis

Pada populasi lain :
Fisik
Psikis

Sosek

Gambar 2.2
Perbedaan Status Fungsional Pada Lansia dan Populasi Lain

Aspek ekonomi yang menyangkut penduduk lansia dilakukan rekomendasi

139

yang diberikan Word Assembly on Ageing (WAA) pada tahun 1982 untuk lanjut
usia yaitu bahwa masalah lanjut usia merupakan suatu bagian yang tidak
terpisahkan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu para lansia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kependudukan dan merupakan
unsur penting dalam proses pembangunan ekonomi.
Jones dan Rose (2005) dalam bukunya mengenai “Physical Activity
Instruction For Older Adults” menyatakan bahwa successful aging menurut teori
psikologi dapat dijelaskan melalui tiga teori besar, yaitu :
a. Teori Maslow, dengan hierarki kebutuhannya (hierarchy of needs). Maslow
menjelaskan bahwa hierarki kebutuhan dengan mewajibkan kepuasan bagi
kebutuhan level terendah sebelum mencapai kebutuhan selanjutnya yang lebih
tinggi. Berdasarkan teori tersebut, seseorang akan menjadi semakin bijak
apabila menjadi lebih beraktualisasi diri dan transenden. Aktualisasi diri
merupakan jika menemukan pemenuhan diri dan memahami potensi seseorang.
Sedangkan transenden adalah membantu orang lain menemukan pemenuhan
dirinya dan memahami potensi yang mereka miliki (Friedman & Schustack,
2012).
b. Teori perkembangan psikososial dari Erikson (psychosocial stages of
development). Teori tersebut mengungkapkan bahwa proses perkembangan
kepribadian melewati delapan tingkatan, yang setiap tingkatannya memiliki ciri
beberapa tipe dari krisis-krisis psikososial yang harus diselesaikan agar
successful aging dapat terjadi.
Pengembangan kepribadian positif yang mengarah kepada successful
aging sebagai kemampuan untuk (1) membentuk hubungan dekat dengan teman

140

(2) menjadi produktif dengan membangun keluarga atau melalui beberapa bentuk
pekerjaan dan (3) melihat kembali kepada kehidupan seseorang dengan
kebanggaan dan kepuasan. Ditambahkan lagi, salah satunya yaitu dengan
pendekatan kematian dengan martabat dan penerimaan.
c. Teori Baltes dan Baltes mengenai strategi optimisasi secara selektif dengan
kompensasi (theory of selective optimization with compensation). Dijelaskan
berfokus kepada tiga strategi yaitu manajemen perilaku hidup untuk
mempertahankan kemerdekaan fungsional di kemudian hari (1) memfokuskan
kepada bidang prioritas hidup yang tinggi, bidang yang menghasilkan perasaan
kepuasan dan kontrol pribadi, (2) mengoptimalkan keterampilan pribadi yang
tersisa dan bakat yang memperkaya dan meningkatkan kehidupan serta (3)
kompensasi kehilangan fungsi fisik dan mental dengan menggunakan berbagai
macam strategi pribadi dan sumber daya teknologi, baik milik salah seorang
atau orang lain, untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan ketiga teori di atas, dapat disimpulkan bahwa successful
aging dapat diartikan sebagai seorang lanjut usia yang berada di puncak dan telah
mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangan psikososial, serta mampu
memenuhi beberapa tahapan dalam hierarki Maslow, dan menghadapi tantangan
dalam usianya dengan strategi optimisasi secara selektif dengan kompensasi.
Jones dan Rose (2005), menyebutkan lansia yang sukses atau berkualitas
dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu kemandirian, keuangan dan status
sosial, kebermaknaan hidup dan aktualisasi diri.
a. Kemandirian
Menurut Suardiman (2011) yang membahas tentang kemandirian para

141

lanjut usia, mandiri mengandung arti bahwa dalam menjalani kesehariannya
seorang lanjut usia tidak bergantung kepada orang lain.
Mandiri dapat dilihat dari berbagai macam sudut, antara lain:
1) Mandiri dalam arti ekonomi, merupakan kemandirian dari segi ekonomi,
dimana lanjut usia tidak memiliki ketergantungan keuangan pada orang lain,
sekaligus memiliki pendapatan yang dapat menjamin kehidupannya. Misalnya,
pensiun, tabungan hari tua, dan lain sebagainya.
2) Mandiri ditinjau dari kemampuannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari
(Actifities of Daily Life-ADL), meliputi; lanjut usia mandiri sepenuhnya,
mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, dengan bantuan tidak langsung,
lanjut usia dengan bantuan badan sosial, lanjut usia di panti wredha, lanjut usia
yang di rawat di rumah sakit, dan lanjut usia dengan gangguan mental.
3) Mandiri berdasarkan aspek kepribadian, yaitu kemampuan mengatasi masalah,
penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari usahanya serta berkeinginan
mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
4) Mandiri menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
pasal 1 dan 3. Kemampuan untuk mandiri hanya dilakukan oleh lanjut usia
yang potensial, yaitu lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
menghasilkan barang atau jasa.
Berdasarkan keempat kriteria tersebut, lanjut usia dapat dikatakan mandiri
atau berkualitas ketika dapat memenuhi minimal satu dari keempat macam sudut
tersebut. Sebagai penunjang kemandirian lanjut usia, Negara Indonesia memiliki
program pemberdayaan lanjut usia dalam bidang ketenagakerjaan, baik dari aspek
ekonomis, pemenuhan kebutuhan psikologi, sosial, budaya dan kesehatan (Komisi

142

Nasional Lanjut Usia, 2010).
b. Finansial dan Status Sosial
Finansial bagi lanjut usia bukanlah salah satu kewajiban di dalam
masanya. Namun, ideal dari masa usia lanjut terhadap keuangan adalah suatu
masa dimana masa tersebut tidak direpotkan oleh urusan mencari uang, tetapi
masa menikmati jerih payahnya bekerja pada waktu muda, sehingga hidup tenang,
sejahtera dan bahagia (Suardiman, 2011).
Keuangan hanya sebagai penjaga agar mereka tetap mandiri (Hurlock,
2004). Status sosial bagi lanjut usia terutama lanjut usia pada masyarakat Jawa
adalah lanjut usia yang menjadi pepundhen dan sesepuh. Pepundhen merupakan
julukan untuk lanjut usia sebagai seseorang yang dipundhipundhi, ditempatkan
pada tempat yang tinggi, dihormati. Budaya Jawa juga memberi status yang tinggi
pada orang tua atau usia lanjut yang berperan aktif dan biasa disebut dengan
sesepuh. Diharapkan lanjut usia dapat berperan sebagai penasihat yang arif
bijaksana, pemandu kegiatan keagamaan, pemelihara tradisi serta menjadi teladan
bagi generasi muda (Suardiman, 2011).
c. Kebermaknaan Hidup
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan
dalam kehidupan (the purpose in life). Bila hal itu berhasil dipenuhi akan
menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya
akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness) (Bastaman, 2007).
Lanjut usia yang hidupnya bermakna dapat dideskripsikan sebagai orangorang yang menerima dan bersikap positif terhadap ketuaannya serta

143

menjalaninya dengan tenang. Dia selalu berusaha meningkatkan iman dan
takwanya kepada Tuhan. Ia mampu hidup mandiri dan tidak terlalu tergantung
pada keluarga, apalagi membebaninya. Hubungan dengan pasangan tetap rukun,
demikan juga terhadap anak-anak dan kerabat dekatnya. Ia juga memiliki teman
dan sahabat serta lingkungan di luar keluarga tempat berkomunikasi dan bergaul.
Kondisi kesehatan terjaga dengan baik, sama halnya dengan kesejahteraannya.
Lanjut usia bermakna juga dihormati dan menjadi panutan dalam keluarga dan
lingkungannya, ia berusaha membagi pengalamannya yang bermanfaat. Lanjut
usia juga memiliki harapan dirinya akan menjadi lebih baik dan bersedia
memperbaiki diri. Hasratnya adalah menjadi orang yang berguna dan memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya pada lingkungan sekitarnya (Bastaman, 2007).
d. Aktualisasi Diri
Pencetus dari teori aktualisasi diri ini adalah Maslow. Disebutkan bahwa
aktualisasi diri hanyalah terdapat pada orang-orang dengan usia lanjut dan
cenderung dipandang sebagai suatu keadaan puncak atau keadaan akhir.
Aktualisasi diri merupakan suatu tujuan jangka panjang, bukan sebagai
suatu proses dinamis yang terus aktif sepanjang hidup, serta lebih sebagai Ada
daripada

Menjadi.

Hal

itu

dikarenakan

proses

aktualisasi

merupakan

perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau yang
terpendam (Goble, 2010). Ciri-ciri umum individu dengan manusia yang
mengaktualisasikan dirinya antara lain :
1) Kemampuan untuk melihat hidup secara jernih, yaitu melihat hidup apa adanya
bukan menurutkan keinginan mereka. Tidak bersikap emosional, lebih objektif
terhadap hasil pengamatan.

144

2) Memiliki ketegasan mengenai yang benar dan yang salah di dalam berbagai
macam aspek kehidupan, sehingga mampu menembus dan melihat realitas
yang tersembunyi.
3) Memiliki sifat rendah hati, mampu mendengarkan orang lain dengan sabar,
mau mengakui bahwa mereka tidak tahu segalanya dan bahwa orang lain akan
mengajari mereka sesuatu.
4) Memiliki persepsi yang jauh dari hasrat-hasrat, kecemasan, ketakutan, harapan,
optimisme palsu atau pesimisme yang diiringi dengan penuh keyakinan.
5) Membaktikan diri pada tugas atau kewajiban tertentu.
6) Memiliki kreatifitas yaitu fleksibilitas, spontanitas, keberanian, berani berbuat
kesalahan, keterbukaan dan kerendahan hati (terbuka terhadap gagasan baru).
7) Kadar konflik dalam diri yang rendah, tidak berperang melawan dirinya
sendiri, pribadi menyatu. Artinya memiliki lebih banyak energi untuk hal-hal
yang lebih produktif. Jika melakukan kesalahan, maka kesalahan itu
diterimanya dengan lapang hati.
8) Mandiri yaitu tidak terlalu merisaukan kehormatan, prestise, maupun hadiah
penghargaan (kemerdekaan psikologis), tegas dalam menegakkan prinsip dasar
(Goble, 2010).
Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL), 1997
membagi kualitas hidup dalam enam domain yaitu fisik, psikologis, tingkat
kebebasan, hubungan sosial, lingkungan dan spritual/agama.
a. Domain fisik yang terdiri dari 3 bagian yaitu ketidaknyamanan, kelelahan serta
istirahat.
b. Domain psikologis, yang terdiri dari 5 bagian yaitu perasan positif, berpikir,

145

harga diri, penampilan serta perasaan negatif.
c. Domain tingkat kebebasan, yang terdiri dari 4 bagian yaitu pergerakan, aktivitas
kehidupan sehari-hari, ketergantungan pada pengobatan atau perlakuan,
kapasitas pekerjaan.
d. Domain hubungan sosial, terbagi atas 3 bagian yaitu hubungan perorangan,
dukungan sosial, serta aktivitas sosial.
e. Domain lingkungan yang terdiri dari 8 bagian yaitu keamanan fisik, lingkungan
rumah, sumber penghasilan, kesehatan dan perhatian sosial, kesempatan untuk
mendapatkan informasi baru dan ketrampilan, berekreasi dan waktu luang,
lingkungan fisik serta transportasi.

f. Domain spritual/agama

Berdasarkan teori-teori tentang kualitas di atas untuk penelitian ini diambil
berkaitan dengan kualitas lansia sebagai sumber daya manusia yang menyangkut
berdaya guna, status kesehatan, aktivitas pekerjaan, hubungan sosial, kemampuan
pemenuhan ekonomi dan ketrampilan.
Penelitian Suhartini di Jawa Timur (2004) menemukan bahwa
kemandirian lansia diukur dari pemenuhan kebutuhan, pekerjaan dan faktor
kesehatan berpengaruh secara signifikan terhadap kemandirian lansia. Penelitian
Risdianto (2009) untuk melihat pengaruh dukungan sosial dengan kualitas hidup
lansia mengukur kualitas lansia dengan indikator status kesehatan, umur harapan
hidup, pendidikan dan kesempatan kerja dari lansia tersebut. Penelitian yang

146

dilakukan oleh Setiti (2005) juga menemukan bahwa lansia yang potensial ingin
berkunjung ke teman/kerabat.
Kaitan dengan produktifitas lansia dari penelitian Jaziroh pada tahun 2008
menyatakan bahwa pekerja lansia dapat juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
tertentu sama baiknya dengan mereka yang masih muda, karena pekerja lansia
memiliki pengalaman dan keterampilan. Penelitian Suttipong dan Pintipa (2011)
menemukan bahwa orang tua masih perlu bekerja untuk mendapatkan penghasilan
sendiri dan pada umumnya mereka tidak ingin membebani keluarga mereka.
Amol dan Pradeep di India pada tahun 2012 mengukur kualitas lansia
menemukan bahwa faktor penentu untuk dukungan psikologis (asuransi
kesehatan, dan status kerja lansia), faktor penentu untuk hubungan sosial
(keanggotaan dalam kelompok sosial dan status kerja), faktor penentu untuk
lingkungan (keanggotaan dalam kelompok sosial dan hubungan dengan anggota
keluarga seperti hidup aktif, kegiatan sosial, spiritualitas, kesehatan, keterlibatan
dalam pengambilan keputusan), dan kesejahteraan yang dilakukan pemerintah
untuk mendukung kualitas hidup yang lebih baik lansia. Masalah atau konflik di
lingkungan keluarga, kurangnya tempat tinggal dan keamanan finansial, sumber
daya overtapped, dan bias gender menambah perasaan negatif dalam kehidupan
usia tua. Ada kebutuhan untuk intervensi di tingkat sosial dan keluarga untuk
ramah lingkungan lansia untuk lokasi di rumah dan tingkat masyarakat.

2.4 Pemberdayaan Masyarakat Untuk Penduduk Lansia
2.4.1 Teori Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi

147

yang merangkum

nilai-nilai sosial yang

mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yakni yang bersifat people centred, participatory, empowering,
and sustainable. Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah
proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini
banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep
pertumbuhan di masa yang lalu (Ginanjar, 1997).
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, dalam arti juga
untuk

memandirikan

masyarakat.

Friedman

(1992)

menyatakan

“The

empowerment approach, which is fundamental to an altenative development,
places the emphasis an autonomy in the decesion marking of territorially
organized

communities,

local

self-reliance

(but

not

autachy),

direct

(participatory) democracy, and experiential social learning”.
Pandangan tentang pemberdayaan masyarakat terdiri atas struktural,
pluralis, elitis dan post strukturalis. Strukturalis yaitu pemberdayaan merupakan
upaya pembebasan, transformasi struktural secara fundamental, dan eliminasi
struktural atau sistem yang operesif. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya
meningkatkan daya seseorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing
dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu. Elitis,
pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elitelit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan
struktur yang elitis, Post-Strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah

148

diskursus serta menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial (Ife
dan Tesoreiro, 2008). Menurut Subejo dan Supriyanto (2004) bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memfasilitasi masyarakat
lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumber daya lokal yang
dimiliki melalui aktivitas kolektif dan jejaring sehingga memiliki kemampuan dan
kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan objek, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunan.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang pertama yaitu terarah ditujukan
langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk
mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya,

Kedua, program ini harus

langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang
menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai
beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan
kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu,
sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam
merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya
peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok,
karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalahmasalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika
penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif
dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.
Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat
merupakan

suatu

proses

perubahan

dari

ketergantungan

menuju

pada

149

kemandirian. Berbagai pandangan yang berkembang dalam teori pembangunan,
baik dibidang ekonomi maupun administrasi, menempatkan masyarakat sebagai
pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan, atau dengan
kata lain masyarakat tidak hanya merupakan obyek, tetapi sebagai subyek
pembangunan. Pandangan ini muncul sebagai tanggapan atas terjadinya
kesenjangan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Lima
ciri khas dalam penerapan pemberdayaan masyarakat adalah stimulus modal,
pendampingan, bantuan sarana dan prasarana, pengembangan kelembagaan serta
pemantauan dan pelaporan.
Pemberdayaan masyarakat ditujukan kepada kemampuan orang khususnya
kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuasaan atau
kemampuan dalam a) memenuhi kebutuhan dasar sehingga memiliki kebebasan
dalam mengemukakan pendapat, kebebasan memilih, bebas dari kelaparan,
kebodohan dan penyakit, b) menjangkau sumber sumber produksi dan pelayanan
jasa yang memungkinkan dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh
barang-barang dan jasa yangdiperlukan dan c) berpartisipasi dalam pembangunan
dan pengambilan keputusan.

2.4.2 Determinan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu usaha yang memungkinkan
suatu masyarakat mampu bertahan (survive) dan dalam pengertian yang dinamis
mengembangkan diri dalam rangka mencapai tujuan bersama. dalam kerangka
pemikiran ini, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilakukan melalui 3 (tiga)
dimensi, yakni (Soedjono, 2002) :

150

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang. Titik tolak dari pemikiran ini adalah pemahaman bahwa
setiap

manusia

dan

masyarakat

memiliki

potensi

yang

dapat

dikembangkan. Pemberdayaan dalam konteks ini diartikan sebagai upaya
untuk membangun potensi itu dengan mendorong, memberikan motivasi
dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki oleh masyarakat
serta berupaya untuk mengembangkannya.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering),
sehingga diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata,
penyesuaian berbagai masukkan serta pembukaan berbagai akses kepada
berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya
dalam memanfaatkan peluang.
3. Melindungi, yakni dalam proses pemberdayaan harus dapat dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah.

Friedman (1992) mengemukakan bahwa masyarakat menempatkan (3) tiga
kekuatan sebagai sumber utama pemberdayaan, yakni sosial, politik dan
psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi
tertentu suatu masyarakat, misalnya informasi, pengetahuan dan keterampilan,
partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumber-sumber keuangan. Apabila
ekonomi masyarakat tersebut meningkat aksesnya pada dasar-dasar produksi
diatas, maka kemampuannya dalam menentukan dan mencapai tujuannya juga
meningkat. Peningkatan kekuatan sosial dapat dimengerti sebagai suatu
peningkatan akses masyarakat terhadap dasar-dasar kekayaan produktif mereka.
Kekuatan politik meliputi akses setiap anggota keluarga terhadap proses

151

pembuatan keputusan, terutama keputusan yang mempengaruhi masa depan
mereka sendiri. Kekuatan politik bukan hanya kekuatan untuk memberikan suara,
tetapi juga kekuatan untuk menjadi vokal dan bertindak secara kolektif. Pengaruh
politik pada yang efektif akan tampak tidak hanya pada waktu suara-suara
individu “meninggi” sebagai pengaruh dari partisipasi individu terhadap basis
lokal maupun personal, melainkan juga pada saat suara tersebut didengungkan
bersama-sama dengan suara-suara asosiasi-asosiasi politik yang lebih luas,
misalnya partai, gerakan sosial, atau kelompok yang berkepentingan.
Kekuatan

psikologis

digambarkan

sebagai

rasa

potensi

individu

(individual sense of potency) yang menunjukkan perilaku percaya diri.
Pemberdayaan psikologis seringkali tampak sebagai suatu keberhasilan dalam
komponen sosial politik. Rasa potensi pribadi yang semakin tinggi akan
memberikan pengaruh positif dan kursif terhadap perjuangan masyarakat yang
secara terus menerus berusaha untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya.
Suhendra (2006) menyatakan unsur-unsur pemberdayaan masyarakat
adalah

kemauan

politik

yang

mendukung,

suasana

kondusif

untuk

mengembangkan potensi secara menyeluruh, motivasi, potensi masyarakat,
peluang yang tersedia, kerelaan mengalihkan wewenang, perlindungan dan
kesadaran. Homan dalam Adiyoso (2009) memformulasikan 10 unsur
pemberdayaan masyarakat yaitu pengembangan aset masyarakat, peningkatan
ketrampilan individu, komunikasi antar warga, menghubungkan sumber daya
yang ada, menciptakan sumberdaya masyarakat, kepemilikan, meningkatkan
harapan, hubungan dengan dunia luar, mendorong kepercayaan diri dan ketahanan
masyarakat, membangun keberlangsungan organisasi dan meningkatkan kualitas

152

hidup masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat adalah menjadi kewajiban pada masyarakat
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia (Lansia) dijelaskan bahwa pemberdayaan adalah setiap upaya
meningkatkan kemampuan fisik, mental spiritual, sosial, pengetahuan, dan
keterampilan agar para lansia siap didayagunakan sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Sesuai dengan kondisi dan kemampuan baik secara fisik maupun
non fisik. Maka dalam hal ini perlu dilakukan pengkajian sehingga mendapatkan
model yang tepat mengenai pemberdayaan masyarakat untuk penduduk lansia
agar masyarakat menjadi peduli kepada orang tua yang berada di lingkungannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Boonphadung dan Seubsang (2011)
pemberdayaan masyarakat dengan kualitas hidup lansia di Bangkok bahwa
sebagian besar lansia mendapatkan penerimaan dan rasa hormat dari orang –
orang di dalam masyarakat dan mengembangkan sistem Sufficiency EconomyBased Schooling. Selain itu, masyarakat setempat, seperti pimpinan dunia
pendidikan dan masyarakat, dapat menganalisis masalah lansia dan menetapkan
pedoman yang efektif untuk mengembangkan kualitas hidup usia lanjut.
Penelitian yang dilakukan Demartoto di Jawa Tengah pada tahun 2003
tentang pelayanan berbasiskan keluarga dan relevansinya dengan kesejahteraan
sosial lansia di pedesaan di Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah
menyatakan bahwa dukungan keluarga meliputi bentuk penyediaan fasilitas fisik
berupa penyediaan tempat tidur/istirahat yang nyaman disesuaikan dengan lansia,
menyiapkan fasilitas untuk beribadah, pemenuhan sandang pangan dan bentuk
pelayanan kesehatan dengan cara menjaga kesehatan rumah dan lingkungan dan

153

bentuk dukungan sosial ekonomi seperti proses interaksi dengan keluarga maupun
memberikan kesempatan sesama lanjut usia.
Penelitian yang dilakukan oleh Setiti tahun 2005 tentang pelayanan lansia
berbasiskan kekerabatan pada lima wilayah (Sumatera Utara, Kalimantan Barat,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat) menemui bahwa
Pelayanan Lansia oleh kekerabatan memiliki nilai budaya. Kebutuhan lansia
meliputi pelayanan kesehatan, kebutuhan rohani, kebutuhan makan.
Penelitian Suwaryo pada tahun 2009 tentang pemberdayaan masyarakat
sekitar bagi lansia miskin di daerah Yogyakarta bahwa sikap masyarakat positif
terhadap penduduk lansia dengan memberikan pekerjaan ringan kepada lansia dan
peluang sehingga mendapatkan penghasilan.
Penelitian ini menggunakan aspek pemberdayaan masyarakat untuk
kualitas penduduk lansia sebagai sumber daya manusia yang terdiri dari
pemberian informasi, bantuan keuangan, pelayanan kesehatan, menyediakan
lapangan pekerjaan, dukungan sarana prasarana dan dukungan kelembagaan.

2.5 Transfer Intergenerasi Untuk Penduduk Lansia
Soldo dan Hill (1993) mendefinisikan transfer intergenerasi merupakan
pendistribusian sumber daya dalam struktur keluarga, menggabungkan pertukaran
baik antar dan intrahousehold. Transfer intergenerasi dapat berupa dukungan yang
diberikan dari anak kepada orangtua.
Biasanya transfer intergenerasi adalah aliran dari anggota keluarga yang
kuat mengalir ke keluarga yang lemah (Lee, 1994). Transfer intergenerasi yang
terjadi pada penduduk lansia lebih diharapkan aliran dari anak ke orangtua. Untuk
berbagai tingkat di seluruh masyarakat dan dari waktu ke waktu, negara, pasar,
dan keluarga telah memberi kontribusi pada dukungan dan perawatan orang lanjut

154

usia (Lee, 1994; Soldo dan Freedman, 1994). Bantuan dengan aktivitas-aktivitas
lansia, sekitar satu dari setiap lima anak dewasa membantu lanjut usia dengan
tugas-tugas rumah tangga (Freedman, Soldo,& Stephen,1991).
Peningkatan jumlah lansia memiliki konsekuensi yang luas baik secara
mikro maupun makro ekonomi. Drissen dan Winden (1992) menyatakan:
... the economic effects of this type of demographic change, namely, that: (a) it
will lead to a substantial increase in expenditure on social security benefits, and
thus cause premiums to sky rocket; (b) the concomitant rise individual
tax/premium burden negatively affect (crowd out) the expenditure on public goods
and services, given the budget constraint; (c) private output will be negatively
affected as well, because of negative incentive effects; (d) the social benefit level
(replacement ratio) will decrease, leading to an impoverishment of the aged; and
(e) the intergenerational conflict will be exacerbated.
Perubahan secara ekonomi akibat perubahan demografi (bertambahnya
usia lanjut) dapat menyebabkan peningkatan yang substansial dalam pengeluaran
untuk manfaat jaminan sosial, permasalahan individu, swasta dan semakin
bertambahnya kemiskinan pada lansia serta konflik antar generasi. Jadi penduduk
lansia mempunyai kaitannya dengan generasi berikutnya.
Bantuan yang diberikan dari keluarga termasuk dalam dukungan sosial,
dan mengacu pada memberikan kenyamanan, merawatnya atau menghargainya
(Taylor, 2009; Sarafino, 2006). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Saroson
dalam Smet (1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya
transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada
individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti bagi

155

individu yang bersangkutan (Smet,1994).
Dukungan sosial menurut Pierce sebagai sumber emosional, informasi
atau pendampingan yang diberikan oleh orang- orang disekitar individu untuk
menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari- hari dalam
kehidupan (Kail dan Cavanaugh, 2007). Gottlieb dalam Smet (1994) menyatakan
dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal,
bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Dukungan
sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul
rasa percaya diri dan kompeten (Smet,1994).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa transfer intergenerasi
pada penduduk lansia adalah dukungan atau pemberian yang berasal dari keluarga
terdekat kepada lansia . Bentuk dukungan ini dapat berupa informasi, tingkah laku
tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan
merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai.

Bentuk-bentuk dukungan dapat dibagi atas 4 yaitu :
A. Dukungan Emosional
Aspek ini melibatkan kekuatan jasmani dan keinginan untuk percaya
kepada orang lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi yakin bahwa
orang lain mampu memberikan cinta dan kasih sayang. Dukungan yang termasuk
interaksi adalah mendengarkan, menawarkan simpati membagi pengalaman dan
dukungan ini mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap
individu.
B. Dukungan Instrumental

156

Aspek ini menyediakan sarana untuk mempermudah atau menolong orang
lain sebagian contoh peralatan, perlengkapan dan sarana pendukung lain dan
termasuk didalamnya memberikan peluang waktu untuk memberikan bantuan
langsung. Dukungan ini terkenal dengan pertolongan, dukungan nyata atau
dukungan materi.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk lansia berarti beban biaya yang
ditanggung oleh negara (yang menganut pandangan welfare state) bagi kehidupan
lansia menjadi makin besar. Jika semua beban biaya harus ditanggung oleh negara
maka tentu saja hal itu akan amat memberatkan beban keuangan negara. Itulah
sebabnya perlu dirintis mekanisme pembiayaan lain yang tumbuh dari masyarakat
langsung ke penduduk lansia. Salah satu mekanisme itu adalah melalui kajian
terhadap transfer ekonomi antar generasi (intergenerational transfer). Dengan
terbatasnya dukungan institusi (institutional support) terhadap keberadaan lansia
seperti melalui mekanisme panti jompo, sistem pensiun, sistem asuransi dan
sejenisnya membawa implikasi pada pentingnya peranan dukungan keluarga
(familia support) terhadap keberadaan lansia. Dukungan keluarga itu ada jika
transfer ekonomi antar generasi (dari generasi yang lebih muda ke generasi yang
tua) masih tetap berjalan.
Penelitian yang dilakukan Boaz, Hu, dan Ye (1999) pada lansia di
Amerika tentang sumber transfer dari anak kepada orang tua berkaitan dengan
pemberian waktu luang, pemberian keuangan, pengasuhan menunjukkan bahwa
ada 3 bentuk bantuan yang diperlukan orang tua lansia dari anaknya, pertama,
merawat dan mengasuh, kedua, keuangan dan ketiga, waktu untuk bersama. Peran
anak dalam membantu orangtua lansia secara fungsional adalah membantu segala

157

hal yang berhubungan dengan keterbatasan lansia dalam aktivitasnya.
Banyak dari anak yang memiliki orang tua lansia yang membutuhkan
perhatian dan memberikan perawatan dengan membayar pengasuh lansia, karena
keterbatasan waktu anak untuk merawat orang tua lansia. Umumnya semua
bentuk perubahan fungsi dan tugas seorang anak untuk merawat orangtua
lansianya diganti dalam bentuk uang untuk memperkerjakan pengurus, yang
memberikan lansia perawatan dan waktu untuk berbagi.
Bantuan keuangan kepada orang tua lanjut usia sehingga bisa
membayar

perawat

adalah

salah

satu

bentuk

perubahan

bantuan

anak ke orang tua. Selain uang, bentuk perubahan bantuan lainnya adalah
perhatian dan motivasi yang juga didapat dari perawat. Selain itu pengasuh pun
tidak dapat memberikan motivasi dan tukar pikiran yang baik jika dibandingkan
jika lansia di rawat oleh anaknya sendiri.
C. Dukungan Informatif
Aspek ini memberikan informasi untuk mengatasi masalah yang terdiri
dari nasehat, pengarahan dan keterangan lain yang dibutuhkan individu sehingga
individu dapat mengatasi masalahnya dan mencari jalan keluar.

D. Dukungan Penilaian
Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik,
perbandingan sosial dan persetujuan. Pemberian dukungan membantu individu
untuk melihat segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan keadaan
orang lain yang berfungsi untuk penghargaan diri, membentuk kepercayaan diri
serta merasa dihargai dan berguna. Penelitian Purnama (2009) pada lansia di

158

Yogyakarta menyatakan dukungan sosial merupakan faktor yang bepengaruh
terhadap kepuasan hidup lansia.
Penelitian tentang transfer intergenerasi yang dilakukan di Indonesia
antara lain yang dilakukan Sukamdi et.al (2000) menyatakan bahwa dengan
kondisi ekonomi lansia 40 % aktif dalam pasar kerja, sepertiga pendapatan
lansia berasal dari santunan dimana pendapatan belum mencukupi kebutuhan
hidup dan menyatakan bahwa dengan peran keluarga yang besar menyebabkan
lansia tidak menyukai panti jompo namun kondisi ini tidak akan bertahan jika
keadaan masyarakat terjadi penurunan. Demikian pula penelitian yang dilakukan
oleh Risdianto (2009) yang menyatakan dukungan sosial mempunyai pengaruh
terhadap kualitas hidup maupun kepuasan hidup penduduk lansia.
Penelitian Gunhild dan Khatarina (Eropah) pada tahun 2005 tentang
perspektif

mikro

dan

makro

mengenai

hubungan

antargenerasi

dan perubahannya di Eropa. Menunjukkan kedekatan hubungan antara anak dan
lansia. Hubungan yang tidak terlalu dekat di Skandinavia dan Belanda, Negaranegara Mediterania dan Austria memiliki hubungan yang cukup dekat dan
ditandai dengan banyaknya lansia dan anak tinggal bersama. Sementara 40 % atau
lebih dari orang-orang di atas usia 65 tinggal sendirian di Denmark, Belanda dan
Swedia, hanya 17% di Spanyol, Yunani dan Italia memiliki masing-masing 22%
dan 26% yang tinggal dalam satu rumah tangga. Perbedaan budaya dan kebijakan
negara, di negara sosial demokratis, negara yang menyediakan banyak bantuan
kepada lansia, terutama melalui dana pensiun, dan beberapa fasilitas layanan.
Negara liberal adalah individualistis dan berorientasi pada kemampuan
lansia bersaing dan hidup secara independen. Negara-negara tersebut hanya

159

memberikan bantuan publik dan pelayanan kepada lansia yang sangat
membutuhkan. Negara demokrasi sosial, melakukan perawatan lansia sebagai
tanggung jawab negara, termasuk perawatan jangka panjang. Salah satu tujuan
dari kebijakan sosial dalam paham ini adalah untuk memaksimalkan kemandirian
ekonomi

dengan membebaskan mereka dari kewajiban merawat yang

membutuhkan dana besar. Sedangkan masyarakat dengan rezim konservatif,
kebijakan sosialnya, lansia menjadi tanggung jawab utama masyarakatnya, bukan
negara. Beberapa negara, seperti Italia, dukungan keuangan dalam bentuk pensiun
merupakan dukungan utama negara kepada anggota lansia. Masyarakat yang
memiliki tingkat pelayanan sosial yang lebih tinggi, fasilitas bantuan untuk lansia
telah berkembang, seperti penyediaan rumah pantai jompo untuk merawat lansia.
Fasilitas yang diberikan diantara negara dan keluarga di Uni Eropa,
Denmark dan Belanda, 60-80% mendapatkan bantuan fasilitias pelayanan dari
negara dan dibandingkan dengan 40-60% dari keluarga. Perawatan yang
dilakukan oleh keluarga banyak di Jerman dan Yunani, bantuan layanan keluarga
sangat bervariasi di seluruh negara, lansia yang berusia 75 tahun atau lebih, 42 %
yang menerima fasilitas pelayanan di Norwegia, di Inggris hanya 25%, 16% di
Jerman, 7% di Spanyol.
Tahun 2009, Katz juga melakukan penelitian yang berkaitan dengan
intergenerasi keluarga pada tiga kelompok lansia di dalam masyarakat multi
budaya Israel (anggota Kibbutz baru, imigran dari Uni Soviet dan Arab) menemui
bahwa imigran Uni Soviet menunjukkan tingkat yang jauh lebih rendah kepuasan
hidup daripada anggota Kibbutz dan Arab, membutuhkan banyak bantuan dari
keluarga. Kemampuan diri untuk aktif beraktifitas adalah variabel penting yang

160

berhubungan dengan kepuasan hidup, serta mampu memberikan saling dukungan
antara keluarga dan lansia. Selain itu, rendahnya tingkat konflik juga memberikan
kontribusi terhadap kepuasan hidup responden.
Pada tahun 2009 Lou melakukan penelitian pada lansia Hongkong
(usia 64 – 101 tahun), hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial
dari cucu baik berusia remaja maupun dewasa mempunyai peran penting dalam
memberikan kontribusi bagi kenyamanan hidup lansia. Dibandingkan lansia yang
memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah,