Hubungan Pengetahuan, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Gizi Lebih
Gizi lebih merupakan keadaan gizi seseorang yang pemenuhan

kebutuhannya melampaui batas lebih dari cukup (kelebihan) dalam waktu cukup
lama dan dapat terlihat dari kelebihan berat badan yang terdiri dari timbunan
lemak, besar tulang, dan otot atau daging. Gizi lebih dapat juga diartikan sebagai
peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan fisik dan skeletal sebagai
akibat akumulasi lemak yang berlebihan dalam tubuh. Gizi lebih menunjukkan
suatu keadaan dimana terdapat berat badan berlebih.Seseorang dikatakan bergizi
lebih atau overweight bila jumlah lemak 10-20% diatas nilai normal (Almatsier,
2009).
Gizi lebih terjadi karena asupan energi yang masuk lebih besar dibanding
yang keluar sehingga terjadi kelebihan energi dalam bentuk jaringan lemak.
Kesenjangan antara masukan dan pengeluaran energi dalam pola konsumsi
sebagian besar diduga disebabkan karena modifikasi gaya hidup. Perubahan gaya
hidup yang menjurus ke westernisasi dan pola hidup kurang gerak. Perubahan

gaya hidup ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola makan yang merujuk
pada pola makan tinggi kalori, lemak dan kolesterol, terutama makanan siap saji
(fast food) yang berdampak meningkatkan obesitas (Hidayati, 2006).
Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu, terutama di
perkotaan menyebabkan perubahan dalam gaya hidup, terutama pola makan. Pola
makan berubah ke pola makan baru yang rendah karbohidat, rendah serat kasar,
dan tinggi lemak sehingga menjadikan mutu makanan ke arah tidak seimbang.

Universitas Sumatera Utara

Dampak masalah gizi lebih tampak dengan semakin meningkatnya penyakit
degeneratif, seperti jantung koroner, diabetes mellitus (DM), hipertensi, dan
penyakit hati (Supriasa, 2002).
Gizi lebih atau kegemukan ditandai dengan ketidakseimbangan antara
energi masuk dan energi keluar dan merupakan kumpulan dari simpanan energi
ditubuh yang diubah menjadi lemak (Pritasari, 2006). Jumlah lemak dalam tubuh
akan bertambah seiring dengan bertambahnya usia, karena melambatnya
metabolisme dan berkurangnya akitivitas fisik.
Kegemukan adalah kelebihan lemak tubuh. Kegemukan terjadi karena
ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi (Gibney, 2009).

Menurut Mitchel (2003), berat badan seseorang mencerminkan keseimbangan
jangka panjang antara energi intake dan energi output. Energi intake dipengaruhi
oleh banyak faktor. Pilihan makanan dapat memberikan dampak secara
keseluruhan pada energi intake.
Mahasiswa termasuk dalam usia dewasa awal umumnya berumur 18-20
tahun. Dewasa awal umumnya telah melengkapi pertumbuhan fisiknya pada umur
20 tahun. Dewasa awal umumnya lebih aktif, mengalami penyakit berat tidak
sesering kelompok usia yang lebih tua. Dewasa awal juga cenderung
mengabaikan gajala fisik dan sering menunda dalam mencari perawatan
kesehatan. Pada perkembangan di usia ini akan mencakup perubahan yang teratur
dalam karakter dan sikap. Perubahan perkembangan didasarkan pada karakter
awal yang membantu pembentukan karakter dan perilaku selanjutnya di masa
depan (Potter dan Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Kegemukan yang terjadi akan mengakibatkan timbunan lemak di beberapa
bagian tubuh, seperti; perut, lengan, dan paha. Gizi lebih atau kegemukan bisa kita
tentukan dengan menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh), gizi lebih diangka 2527 dan lebih dari 27 dikatakan obesitas.


2.2

Masalah Gizi Lebih
Dalam 10 tahun terakhir ini, angka prevalensi atau kejadian obesitas

diseluruh dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Saat ini, 1,6 miliar
orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan lebih (overweight), dan
sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015,
diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di
antaranya mengalami obesitas. Kejadian obesitas di negara – negara maju seperti
di negara – negara Eropa, Amerika, dan Australia telah mencapai tingkatan
epidemi. Kejadian ini tidak hanya terjadi di negara – negara maju saja, obesitas di
beberapa negara berkembang bahkan telah menjadi masalah kesehatan yang lebih
serius. Sebagai contoh, 70% dan penduduk dewasa Polynesia di Samoa masuk
kategori obesitas (WHO, 1998).
Badan kesehatan dunia atau World of Healty Organitation (WHO), bahkan
menyatakan masalah kelebihan bobot tubuh ini sudah menjadi epidemi dunia.
Laporan Newsweek edisi 11 Agustus 2003, kasus obesitas di dunia meningkat 2
50% dalam sepuluh tahun terakhir ini. Lembaga obesitas internasional di London,
Inggris, memperkirakan sebanyak 1,7 milyar orang di bumi ini mengalami

kelebihan berat badan. Sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam
American Journal of Epidemiology mengungkapkan, obesitas yang dialami
seseorang pada saat remaja berkaitan erat dengan peningkatan risiko kematian di

Universitas Sumatera Utara

usia paruh baya. Penelitian tersebut melibatkan 227 ribu pria dan wanita
Norwegia yang diukur tinggi dan berat badannya antara tahun 1963-1975 saat
mereka berusia antara 14-19 tahun. Dengan mengikuti perkembangan mereka
sampai tahun 2004, saat mereka rata-rata berusia 52 tahun, 9650 orang
diantaranya meninggal. Hasil penelitian Nita dalam Pratama (2009) diketahui
bahwa mereka yang mengalami obesitas atau overweight (kelebihan berat badan)
saat remaja diketahui 3-4 kali lebih berisiko mengalami penyakit jantung yang
berujung pada kematian. Resiko kanker kolon serta penyakit pernapasan seperti
asma dan emfisema juga meningkat 2-3 kali.
Prevalensi overweight dan obesitas juga meningkat sangat tajam di
kawasan Asia – Pasifik. Sebagai contoh, 20,5% dari penduduk Korea Selatan
tergolong overweight dan 1,5% tergolong obesitas. Di Thailand, 16%
penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obesitas. Didaerah
perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12,% pada laki-laki dan 14,4% pada

perempuan, sedang di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan
perempuan masing – masing adalah 5,3% dan 9,8% (Vichuda, 2011).
Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda. Artinya,
masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul
masalah gizi lebih. Kelebihan gizi yang menimbulkan obesitas dapat terjadi baik
pada anak-anak hingga usia dewasa. Negara kita sekarang dihadapkan pada
masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan gizi lebih pada waktu yang
bersamaan. Masalah gizi lebih semakin tinggi terjadi karena pola hidup yang
kurang tepat di masyarakat. Masalah gizi kurang telah lama ada di Indonesia,
tetapi kasusnya masih tetap ada sampai saat ini.

Universitas Sumatera Utara

Status gizi pada kelompok dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan
masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi. Angka
obesitas pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Secara
nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah:
12,6%kurus, dan 21,7% gabungan kategori berat badan lebih dan obese, yang bisa
juga disebut obesitas (Novitasary, 2013).
Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun)

32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%).
Sedangkan kecenderungan prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18
tahun) di masing-masing provinsi tahun 2007, 2010 dan 2013. Prevalensi
penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi
dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%).
Gizi lebih saat ini menjadi tren baru yang mengakibatkan banyak penyakit
degeneratif yang menyertainya. Gizi lebih dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Di Indonesia saat ini angka gizi lebih terus meningkat disertai meningkatnya
penyakit degeneratif. Perubahan gaya hidup terjadi di semua lapisan masyarakat
di Indonesia. Perubahan aktivitas dan pola makan menjadi faktor yang
mengakibatkan gizi lebih.
Menurut Azrul dalam Riska (2012) masalah gizi lebih disebabkan oleh
kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya
pengetahuan tentang gizi. Soekirman (2000) juga menyebutkan bahwa masalah
gizi merupakan masalah di tiap-tiap negara, baik negara miskin, negara
berkembang, dan negara maju. Negara miskin cenderung dengan masalah gizi

Universitas Sumatera Utara

kurang dan berhubungan dengan penyakit infeksi dan negara maju cenderung

dengan masalah gizi lebih.

2.3

Penentuan Status Gizi
Menurut Depkes (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan

seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang
berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori
dan indikator yang digunakan. Dalam menentukan status gizi untuk ukuran baku
antropometri sering digunakan World Health Organization – National Centre for
Health Statistic (WHO-NHCS). Klasifikasi status gizi berdasarkan buku WHONHCS terbagi empat: (1) gizi lebih termasuk kegemukan dan obesitas (2)gizi baik
(3)gizi kurang, dan (4)gizi buruk. Status gizi adalah posisi atau peringkat yang
didefinisikan secara sosial yang diberikan kepada kelompok oleh orang lain.
Status gizi juga merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan atas status gizi buruk, status gizi
kurang, status gizi baik, dan status gizi lebih (Almatsier, 2009).
Penilaian status gizi diartikan sebagai intrepretasi data tentang asupan dan
penggunaan zat gizi perorangan untuk menentukan status kesehatannya (Arisman,
2012). Dalam penelitian ini digunakan penilaian dengan menggunakan cara

Antropometri, yaitu penilaian status gizi dengan mengukur tinggi dan berat badan.
Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dan berat menggunakan
bathroom scale.
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Secara umum antropometri

Universitas Sumatera Utara

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein.
Ketidakseimbangan bisa dilihat pada pola pertumbuhan fisik, proporsi jaringan
tubuh seperti lemak, otot dan air dalam tubuh.
Batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasar nilai Body
Mass Index (BMI) atau istilah bahasa Indonesianya Indeks Massa Tubuh (IMT).
IMT adalah alat sederhana untuk melakukan pemantauan gizi orang dewasa diatas
18 tahun khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan. Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk WHO Antropometri 2005
batas ambang berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal
untuk laki-laki 20,1-25 dan untuk perempuan 18,7-23,8.
Untuk mengukur IMT dapat digunakan rumus:

IMT=
Klasifikasi nilai ambang batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia adalah:

Tabel 2.1 Kategori Nilai Ambang Batas Indeks Massa
Tubuh untuk Indonesia
Kategori
IMT
Kurus
< 17,0
Normal
> 18,5 – 25,0
Gemuk
> 25,0 – 27,0
Obesitas
> 27,0
Sumber : Departemen Kehatan RI Tahun 2014

2.4

Penyebab Gizi Lebih

Faktor utama penyebab overweight dan obesitas adalah aktivitas fisik yang

Universitas Sumatera Utara

kurang, perubahan gaya hidup, serta pola makan yang salah diantaranya pola
makan tinggi lemak dan rendah serat (Makaryani, 2013).
Obesitas merupakan penyakit yang disebabkan oleh multifaktorial, antara
lain disebabkan oleh faktor genetik, faktor-faktor individu (usia dan jenis kelamin,
pekerjaan), sedentary life style (peningkatan asupan makanan tinggi lemak dan
tinggi karbohidrat, pengurangan aktivitas fisik dikarnakan pekerjaan), konsumsi
alkohol dan rokok, pengetahuan dan sikap mengenai hidup sehat. Dari semua
faktor risiko, sedentary life style merupakan faktor yang paling berpotensi
terjadinya obesitas (Istiqamah, 2013). Menurut Purwati (2007) beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang memiliki berat badan lebih antara lain; faktor
genetik, pola makan, pengetahuan, dan aktivitas fisik
1.

Pola Makan
Kebiasaan yang kurang baik yang sering dilakukan seperti; mengonsumsi
makanan cepat saji, makan berlebihan, makan tidak teratur, menghindari

makan pagi,dan kebiasaan ngemil. Menurut Sismoyo dalam Pratama (2009)
Makan saat ingin makan tidak saat merasa lapar akan menyebabkan
kegemukan. Pola makan jika tidak dikonsumsi secara rasional mudah
menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan menimbulkan berat badan
berlebih.
Dalam penelitian Meiningtias (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pola makan karbohidrat dengan kegemukan, pola makan lemak dengan
kegemukan, dan ada hubungan aktivitas fisik dengan kegemukan. Hal ini
disebabkan karena ketidakseimbangan antara konsumsi dan pengeluaran
energi, serta aktivitas fisik yang kurang sehingga terjadi penumpukan lemak

Universitas Sumatera Utara

dan akhirnya mengakibatkan kegemukan. Penelitian di Amerika dan
Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak
mempunyai resiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok
dengan asupan rendah lemak (Meini, 2012).
Hasil penelitian Suryaputra menunjukkan bahwa seluruh remaja pada
kelompok obesitas memiliki tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein
dan lemak yang lebih tinggi daripada kelompok non obesitas. Bahkan pada
tingkat konsumsi lemak, hampir semua responden kelompok obesitas
memiliki tingkat konsumsi lebih. Kelebihan energi setiap hari secara rutin
pada remaja dapat menimbulkan timbunan lemak (adiposit) tubuh menjadi
bertambah. Tingginya konsumsi protein hewani pada remaja dengan obesitas
berkorelasi dengan rendahnya zat gizi hewan pada umumnya yang
mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi. Bila kondisi ini terjadi
dalam jangka waktu yang lama, maka risiko untuk terjadinya obesitas makin
meningkat.
2.

Pengetahuan
Tingkat

pengetahuan

seseorang

akan

memengaruhi

status

gizinya.

Pengetahuan hasil dari tahu dan bagaimana seseorang akan mengaplikasikan
ilmunya. Pengetahuan akan berhubungan erat dengan sikap dan tindakan.
Pengetahuan yang baik dapat menghasilkan tindakan yang baik. Pengetahuan
gizi seseorang akan memengaruhi status gizinya (Allo, 2013).
Pengetahuan gizi remaja sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan.
Seorang remaja akan mempunyai gizi yang cukup jika makanan yang mereka
makan mampu menyediakan zat gizi yang cukup diperlukan tubuh. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Suharjo dalam penelitian Wulandari (2009) pengetahuan gizi memegang
peranan yang sangat penting di dalam penggunaan dan pemilihan bahan
makanan dengan baik, sehingga dapat mencapai keadaan gizi seimbang.
Pengetahuan gizi akan mempengaruhi kebiasaan makan atau perilaku makan
suatu masyarakat (Emilia, 2009). Apabila penerimaan perilaku baru didasari
oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut
dapat berlangsung lama. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak disadari oleh
pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Seperti halnya juga
pada remaja apabila mempunyai pengetahuan yang baik tentang gizi
diharapkan mempunyai status gizi yang baik pula (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Suhardjo dalam Wulandari (2009), pengetahuan gizi adalah
pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat
gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Rahmiwati (2007), remaja yang memiliki pengetahuan gizi baik hanya 6%,
pengetahuan gizi sedang 43% dan yang mempunyai pengetahuan gizi kurang
50%.
Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali
kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh.
Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur
pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan
(Emilia, 2009).
Konsumsi makan dipengaruhi oleh kebiasaan makan yang didukung oleh
pengetahuan gizi. Remaja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan

Universitas Sumatera Utara

lebih mampu memilih makanan sesuai kebutuhannya. Tingkat pengetahuan
gizi seorang remaja akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam
memilih makanan, yang menentukan mudah tidaknya seseorang memahami
manfaat kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Perilaku yang
didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru
(Dewi, 2013).
Pengetahuan gizi yang kurang pada sebagian besar remaja kelompok obesitas
memungkinkan mereka kurang dapat memilih menu makanan yang bergizi.
Sebagian besar kejadian masalah gizi lebih atau kurang dapat dihindari
apabila remaja mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup tentang memelihara
gizi dan mengatur makan.

3.

Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan mahasiswa sebagai salah
satu

bentuk

pengeluaran

energi.

Beberapa

penelitian

epidemiologi

menyebutkan bahwa obesitas pada remaja terjadi karena interaksi antara
makan yang banyak dan sedikit aktivitas. Aktivitas fisik menyebabkan
terjadinya proses pembakaran energi sehingga semakin remaja beraktivitas
semakin banyak energi yang terpakai. Hasil penelitian ini senada dengan studi
yang dilakukan Sherwood (2000), yang menunjukkan bahwa olahraga
berkonstribusi pada pencegahan kenaikan berat badan. Demikian juga studi
yang dilakukan Jakicic (2003), menunjukkan bahwa perempuan yang
memiliki berat badan lebih dan obesitas dapat menurunkan berat badannya

Universitas Sumatera Utara

dalam

jangka

panjang

dengan

tambahan

aktivitas

fisik

200-300

menit/minggu.
Dalam hasil penelitian Mahardikawati (2008) aktivitas fisik menentukan
kondisi kesehatan seseorang. Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas
fisik dapat meningkatkan resiko kegemukan dan obesitas. Aktivitas fisik
terbagi tiga macam yaitu; aktivitas fisik ringan (berjalan kaki, menyapu
lantai, mencuci baju, mencuci kendaraan, berdandan, duduk, dan nonton
TV), aktivitas sedang (berjalan cepat, berlari kecil, dan bermain tenis meja),
aktivitas berat (bermain sepak bola, berenang, dan senam) dilakukan
sedikitnya 60 menit setiap hari untuk mencegah berat badan berlebih
(Nurmalina, 2011).
Asupan energi bagi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang non
obesitas. Yang menarik adalah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering
mengkonsumsi fast food. Seseorang yang asupan energinya tinggi (≥ 2200
kkal/hari) dan mempunyai waktu menonton TV ≥ 3 jam/hari mempunyai
risiko menderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang
asupan energi < 2200 kkal/hari dan waktu menonton TV < 3 jam/hari. Studi
ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian (perilaku
hidup kurang gerak) dan diet tinggi kalori.
Wanita Usia Subur (WUS) merupakan wanita usia produktif merupakan
wanita yang berusia 15-49 tahun dan wanita pada usia ini masih berpotensi
untuk mempunyai keturunan. Pada wanita, kurangnya aktivitas fisik sangat
mempengaruhi kesehatannya. Apalagi jika aktivitasnya kurang namun asupan

Universitas Sumatera Utara

makanan lebih banyak masuk, maka akan menyebabkan penimbunan lemak
yang akan mengakibatkan obesitas terjadi (Novitasary, 2013).
Aktivitas yang dilakukan oleh tubuh membutuhkan energi yang
dikeluarkan, begitupun sebaliknya apabila aktivitas fisik berkurang maka lebih
banyak energi yang tersimpan didalam tubuh (WHO, 2011). Hasil penelitian
Sartika (2011) anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki
asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga.
Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya obesitas baik secara
bersama maupun masing-masing.
Faktor lainnya seperti tingkat ekonomi, akan memengaruhi daya beli.
Seseorang juga mengonsumsi makanan terlihat dari kebudayaannya. Kerusakan
pada hipotalamus akan membuat seseorang mengalami kegemukan jika terjadi di
bagian HVM (hipotalamus ventromerdial) mengalami kerusakan dan orang akan
menjadi kurus atau kehilangan nafsu makan bila kerusakan terjadi pada HL
(hipotalamus lateral). Metabolisme basal yang terjadi dalam tubuh akan
meningkat seiring bnertambahnya usia. Secara alamiah penurunan metabolisme
akan terjadi ketika usia semakin menurun. Efek penggunaan obat dapat menjadi
salah satu penyebab kegemukan. Beberapa obat akan merengsang rasa lapar
dalam tubuh. Makan mengonsumsi obat akan membuat nafsu makan meningkat.
Jenis obatnya seperti OAD (Obat Oral Antidiabetes), penggunaan dalam jangka
lama akan menyebabkan kegemukan.
2.5

Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini akan menjelaskan gambaran kejadian yang

menyebabkan terjadinya gizi lebih pada mahasiswa Fakultas Kesehatan

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan landasan teori diatas maka
kerangka konsep yang dapat dibuat:
Pola Makan
Pengetahuan

 Jenis Makanan
 Jumlah Makan
 Frekuensi Makan
Kejadian
Gizi Lebih
Aktivitas Fisik

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Hubungan Pengetahuan, Pola Makan, dan
Aktivitas Fisik.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa gizi lebih menjadi variabel
dependen, sedangkan pengetahuan, pola makan, dan aktivitas fisik menjadi
variabel independen. Pengetahuan, pola makan, dan aktivitas fisik dapat
memengaruhi terjadinya gizi lebih.

Universitas Sumatera Utara