Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Tahun 2015

(1)

LEMBAR KUESIONER

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA FKM USU TAHUN 2015 Nama :

Umur : Jenis kelamin : Tahun angkatan :

Jadwal makan

1. Apakah setiap hari anda biasa sarapan pagi? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

2. Apakah anda sarapan pagi antara jam 06.00-09.00? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

3. Apakah jeda antara waktu makan yang anda gunakan antara ≤ 6 jam? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang


(2)

4. Apakah lama jeda waktu makan anda selalu sama di antara waktu makan setiap hari?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

5. Apakah setiap hari anda sempat makan siang? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

6. Apakah anda makan malam 2-3 jam sebelum anda tidur malam? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

Jenis makanan

1. Apakah anda setiap hari makan makanan pedas? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

2. Apakah anda menambahkan banyak cabai pada makanan anda? a. Selalu

b. Sering


(3)

d. Jarang e. Tidak pernah

3. Apakah anda mengkonsumsi makanan tinggi lemak, seperti gorengan, es krim, hamburger, keju, dll?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

4. Apakah anda suka makan makanan asam, seperti tomat, kedongdong, jeruk, nenas, mangga muda?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Jarang

e. Tidak pernah

5. Apakah anda suka meminum kopi? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. jarang

e. Tidak pernah

6. Apakah anda suka mengkonsumsi minuman bersoda seperti coca cola, sprite, fanta, pepsi,dsb?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. jarang

e. Tidak pernah


(4)

1. Dalam satu bulan terakhir apakah anda mengalami rasa penuh setelah makan makanan porsi normal/ biasa dan terjadi selama beberapa kali dalam satu minggu?

a. Ya b. Tidak

2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah Anda pernah mengalami rasa kembung pada perut bagian atas setelah makan dan terjadi selama beberapa kali dalam satu minggu?

a. Ya b. Tidak

3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah Anda pernah mengalami rasa cepat kenyang/ tidak sanggup menghabiskan makanan porsi normal/ biasa dan terjadi selama beberapa kali dalam satu minggu?

a. Ya b. Tidak

4. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda pernah mengalami rasa mual setelah makan dan terjadi selama beberapa kali dalam satu minggu?

a. Ya b. Tidak

5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda pernah mengalami keluhan sendawa berlebihan dan terjadi selama beberapa kali dalam satu minggu?

a. Ya b. Tidak

6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda pernah mengalami nyeri/ rasa terbakar di epigastrium/ulu hati selama beberapa kali dalam satu minggu? a. Ya

b. Tidak

7. dalam 1 bulan terakhir apakah anda pernah mengalami muntah setelah makan?

a. Ya b. Tidak


(5)

8. dalam 1 bulan terakhir apakah anda pernahmengalami rasa panas terbakar pada bagian dada/ perut?

a. Ya b. Tidak

9. Dalam 1 bulan terakhir apakah sakit perut yang anda alami mengganggu aktifitas anda?

a. Ya b. Tidak


(6)

Frequency Table

jenis kelamin responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 19 18.8 19.0 19.0

perempuan 81 80.2 81.0 100.0

Total 100 99.0 100.0

Missing System 1 1.0

Total 101 100.0

umur responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 18-19 tahun 48 47.5 48.0 48.0

20-21 tahun 42 41.6 42.0 90.0

22-23 tahun 10 9.9 10.0 100.0

Total 100 99.0 100.0

Missing System 1 1.0

Total 101 100.0

jenis kelamin responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 19 18.8 19.0 19.0

perempuan 81 80.2 81.0 100.0

Total 100 99.0 100.0

Missing System 1 1.0


(7)

jadwal makan responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid teratur 39 38.6 39.0 39.0

tidak teratur 61 60.4 61.0 100.0

Total 100 99.0 100.0

Missing System 1 1.0

Total 101 100.0

jenis makanan dan minuman responden Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid iritatif 59 58.4 59.0 59.0

tidak iritatif

41 40.6 41.0 100.0

Total 100 99.0 100.0

Missing System 1 1.0

Total 101 100.0

sindrom disepsia pada responden Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ada 64 63.4 64.0 64.0

tidak ada 36 35.6 36.0 100.0

Total 100 99.0 100.0

Missing System 1 1.0


(8)

Crosstabs

jadwal makan responden * sindrom disepsia pada responden Crosstabulation

Count

sindrom disepsia pada responden

Total ada tidak ada

jadwal makan responden

teratur 13 26 39

tidak teratur 51 10 61

Total 64 36 100

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 26.097a 1 .000

Continuity Correctionb 23.960 1 .000

Likelihood Ratio 26.607 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association

25.836 1 .000

N of Valid Cases 100

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,04. b. Computed only for a 2x2 table

Crosstabs

jenis makanan dan minuman responden * sindrom disepsia pada responden Crosstabulation

Count

sindrom disepsia pada


(9)

ada tidak ada jenis makanan dan

minuman responden

iritatif 44 15 59

tidak iritatif

20 21 41

Total 64 36 100

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 6.986a 1 .008

Continuity Correctionb 5.912 1 .015

Likelihood Ratio 6.971 1 .008

Fisher's Exact Test .011 .008

Linear-by-Linear Association

6.916 1 .009

N of Valid Cases 100

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,76. b. Computed only for a 2x2 table


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. & Gunawan, J, 2012. Dispepsia dalam Cermin Dunia Kedokteran. Vol. 39 no. 9. www.kalbemed.com/Portals/6/ 197_CME-Dispepsia. diakses tanggal 10 September 2015.

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

__________. 2005. Penuntun Diet. Gramedia, Jakara

Anggita.2012.Hubungan Kebiasaan Makan Dengan Frekuensi Kekambuhan Dispepsia di Poli Rawat jalan RSUD Kabupaten Kudus.digilib.unimus.ac.id. diakses 10 September 2015

Annisa, 2009. Hubungan Karakteristik Ibu dengan Kekambuhan Dyspepsia.Skripsi Universitas Sumatra Utara.

Arisman. 2008. Gizi Dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi Edisi 2.Buku kedokteran EGC.Jakarta

Baliwati FY, dkk. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya; 2004. Berdanier.2008.Handbook of Nutrition And Food.USA.CRC Press.

Brunner and Suddart. 2006. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 vol.1. Jakarta:EGC.

Brun, R., Kuo, B,. 2010. Functional Dyspepsia. Therapeutic Advances in Gastroenterology, 145-164.ncbi.nlm.nih.gov.pubmed.diakses tanggal 10 September 2015.

Carvalho, R.V.B., Lorena, S.L.S., Almeida, J.R.S., Mesquita, M.A., 2009. Food Intolerance, Diet Composition, and Eating Patterns in Functional Dyspepsia Patients. Springer: 60-65.

Corwin,E.2009.Bukusakupatofisiologi.Jakarta:EGC

Depkes RI.2010. Profil Kesehatan di Indonesia. di akses dari http//www.google.co.id pada tanggal 15 Agustus 2015

Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan di Indonesia. di akses dari http//www.google.co.id pada tanggal 15 Agustus 2015


(11)

Declan Wash. T, 2001. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta

Djojoningrat, D,. 2009. Dispepsia Fungsional. In : Sudoyo, AW., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 529-531.

____________. 2014. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. InternaPublishing. Jakarta

Ervianti.M.2008.Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Sindroma Dispepsia pada Supir Truk:Studi di PT.Varia Usaha. (http:adln.lib.unair.ac.id/go). Diakses tanggal 19 September 2015.

Friedman, M.2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset,Teori, dan Praktek.EGC.Jakarta.

Ganong WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-22. Jakarta: EGC. Ginting, A. 2008. Pengaturan proses sistem gastrointestinal. Repository.ac.id.

diakses tanggal 12 September 2015.

Ginting, N.2002. Hubungan Pengetahuan Gizi Dengan Pola Makan Pada Mahasiswa Kesehatan Dan Non Kesehatan Yang Kos Di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Repository_usu.ac.id

Guyton, A, Hall,J. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC Hadi, H. 2005. Beban Ganda Masalah dan Implikasinya Terhadap Kebijakan

Pembangunan Kesehatan Nasional. www.gizi.net. Diakses tanggal 2 September 2015.

Harahap, Y. 2009. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan Tahun 2007. (repository.usu.ac.id). diakses tanggal 19 September 2015.

Hartaty, 2012, Hubungan Pengetahuan Dan Pola Makan terhadap Kejadian Dispepsia di Kelas XI SMAN 11 Makassar.http://Stikes Nani Hasanuddin.Makassar

Hartono, 2007. Pengaruh Perbedaan Intensitas Kebisingan Terhadap Sindrom Dispepsia Pada Tenaga Kerja PT. Kusumahadi Santosa Karanganyar. Cermin Dunia Kedokteran No.154


(12)

Herman, B. R. (2004). Fisiologi Pencernaan Untuk Kedokteran. Padang : Andalas University Press

Hidayah A. 2011, Kesalahan-Kesalahan Pola Makan Pemicu Seabrek Penyakit Mematikan. Buku Biru. Jogjakarta

Hudha, L. 2006.Hubungan antara Pola Makan Danaktivitas Fisik Terhadap Obesitas pada Remaja Kelas II SMP Theresiana I Yayasan Bernadus Semarang. Lib.unnes.ac.id

Iping, S, 2004. Metode makan kualitatif cara mutakhir untuk langsing dan sehat.Jakarta. Puspa Swara

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).Defenisi Kata.kbbi.web.id. diakses tanggal 12 September 2015

Khasanah, Nur. 2012. Waspadai Beragam Penyakit Degeneratif Akibat Pola Makan. Jogjakarta : Laksana.

Khotimah, N. 2012.Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sindroma Dispepsia Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.http://library.usu.ac.id. diakses tanggal 14 agustus 2015.

Loyd, R. A., McClellan, D. A., 2011. Update on the Evaluation and Management of Functional Dyspepsia. American Family Physician, 548-552.Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta.

Mahadeva, S. & Goh, K., 2006. Epidemiology of Functional Dyspepsia: A Global Perspective. In: Chua, A.S.B. 2006. World Journal of Gastroenterology. 2661-2666.

Mansjoer, Arif,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid 1. Jakarta Minggu, K. 2014. Gambaran Pola Makan Dalam Terjadinya Gastritis Pada

Biarawati Di Yayasan Santa Maria. Skripsi Universita Sumatera Utara Misnadiarly. 2009. Mengenal Penyakit Organ Cerna. Pustaka Populer Obor.

Jakarta

Monks FJ.2000.Psikologi Perkembangan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muya,Y, dkk. 2011.Karakteristik Penderita Dispepsia Fungsional Yang Mengalami Kekambuhan Di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Djamil Padang.Jurnal.fk.unand.ac.id


(13)

Nasution, Mahdia. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan pola konsumsi dengan gastritis pada mahasiswa universitas negeri jakarta Tahun 2002. skripsi FKM UI.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineke Cipta. Jakarta. Oktaviani, W.2011.Hubungan Pola Makan Dengan Gastritis Pada Mahasiswa S1

Keperawatan Program A Fikes UPN.Veteran.Jakarta.Skripsi.FKIK UPN Veteran.

Perangin-angin, E.2014. 2013, Penderita Dyspepsia dan Diabetes Terbanyak di Pirngadi.Harian Jurnal Asia

Profil Kesehatan Indonesia 2006.http://www.depkes.go.id/. diakses 18 September 2015.

Pratiwi. W. 2013. Hubungan Pola Makan Dengan Gastritis Pada Remaja Di Pondok Pesantren Daar El Qolam Tangerang. Skripsi Uin Syarif Hidayatullah: Jakarta. Diakses Tanggal 19 September 2015.

Rani AA.2011 Jacobus A. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta Pusat: Interna Publishing.

Redaksi,2009.Mengatasi Gangguan Penyakit Maag.Yogyakarta.Banyu Media. Reshetnikov O. V. Etc. 2007, Prevalence Of Dyspepsia And Irritable Bowel

Syndrome Among Adolescent Of Novosibirsk, Institute of internal medicine

Russia. Int. 3 circumpolar health 60 (2):

253.(www.nebi.nlm.nih.gov/pubmed.) Diakses tangggal 05 September 2015 Robert,W.B.William S.R.2000.nutrition throught the cycle.4th.ed Singapore:Mc

Graw Hill

Saragih, S.2015. Tahun 2014 RS Adam Malik Medan Tangani 181.329 Pasien.Sinar Indonesia Baru

Sayogo,S.2007.Gizi remaja putri. Yayasan Pengembangan Medik Indonesia. Jakarta:FKUI.

Sediaotama, AD. 2004. Ilmu Gizi Jilid I. Dian Rakyat. Jakarta.

Sherwood, Lauralee, 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC Soehardi, S. (2004). Memelihara Kesehatan Jasmani Melalui Makanan. Bandung


(14)

Sofro, M., Anurogo, D., 2013, 5 Menit Memahami 55 Problematika Kesehatan, jogjakarta:D-MEDIKA.

Sudoyo, AW.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 529-531.

Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Supariasa, dkk, 2001. Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran, ECG, Jakarta Suratun dan Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem

Gastrointestinal. Jakarta : CV. Trans Info Media

Susanti, A., Briawan, A., Uripi, V., 2011. Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam Jurnal Kedokteran Indonesia. VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011.

Sutanto,H,M.2007.Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Kronis.EDSA Mahkota.jakarta

Syam. F, 2005. Uninvestigated Dyspepsia Versus Investigated Dyspepsia. The Journal of Internal Medicine, Jakarta

Tepes, B, 2011. Subgroups of Dyspepsia. In: Duvnjak, M., ed. Dyspepsia in Clinical Practice. The Journal of Internal Medicine, Jakarta.

Tilong,Adi T, 2014, Rahasia Pola Makan Sehat, Jogjakarta. FlashBook.

Yunita R.2010.Hubungan Antara Karakteristik Responden, Kebiasaan Makan Dan Minum Serta Pemakaian Nsaid Dengan Terjadinya Gastritis Pada Mahasiswa Kedokteran. [skripsi]. Surabaya (Indonesia): Universitas Airlangga.

Warianto, C. 2011. Solusi Penyakit Maag Tanpa Mengobati. (unair.ac.id/repository). Diakses tanggal 19 September 2015.

WHO, 2007. Scaling up prevention and control of non-communicable disease. THE SEANET_NSD Meeting. 22-26 Oktober 2007. Phuket Thailand. http://www.searo.WHO.int/. Diakses 11 September 2015

WHO. 2010. Growth Refrence Data for 5-19 Years. http://www.who.int/growthref/. Diakses 11 September 2015.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional dengan desain cross sectional (potong lintang) yaitu metode penelitian yang mengamati subjek dengan pendekatan suatusaat atau subjek diobservasi sekali saja pada saat, penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Wilayah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang terletak di Jalan Universitas No.21 Kampus USU Medan. 3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2015. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa yang kuliah di FKM Universitas Sumatera Utarayaitu berjumlah 2735 orang, data tersebut diperoleh dari data mahasiswa FKM USU.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yaitu dari angkatan tahun 2011-2015.


(16)

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara proportionate stratified sampling.

Untuk menentukan besarnya jumlah sampel minimal yang terdapat dalam populasi yaitu dengan rumus :

n =

Dimana :

N = ukuran populasi n = ukuran sampel

d = tingkat kepercayaan yaitu 0,1 atau 10% ( Notoatmodjo, 2010).

Sehingga didapatkan jumlah sampel sebagai berikut :

n =

n = 99,96 =100

berdasarkan rumus diatas maka besarsampel adalah 100 orang. Selanjutnya sampel diambil proporsional menurut besarnya unit yang ada di dalam

masing-masing starata, yaitu dimana :

N = Besar populasi (2735 orang)

Nh= Besar Populasi Stratum


(17)

nh= Besar Sampel Stratum

Besar sampel di dalam stratum dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Besar Sampel di Dalam Stratum

Tahun Angkatan Jumlah Sampel

2011 190 7

2012 509 19

2013 764 28

2014 717 26

2015 555 20

Jumlah 2735 100

Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel secara acak pada masing-masing kelompok populasi (berdasarkan tahun angkatan) dengan cara tehnik undian.

Sampel yang diambil berdasarkan dengan criteria sebagai berikut :

1. Mahasiswa yang kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara terdaftar sebagai mahasiswa tahun angkatan 2011-2015.. 2. Bersedia untuk menjadi sampel penelitian dan menjawab pertanyaan yang

ada pada kuesioner.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang meliputi:


(18)

1. Pola makan responden:

a. Jadwal makan responden diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner berisi pertanyaan dengan menggunakan skala Likert.

b. Jenis makanan dan minuman diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner berisi pernyataan dengan menggunakan skala Likert.

2. Kejadian sindrom dispepsia diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner berisi pertanyaan dengan skala Guttman.

3.4.2 Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data dari FKM USU meliputi jumlah mahasiswa dan gambaran umum Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional 3.5.1 Variabel Penelitian

Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah pola makan yang dilihat dari jadwal makan dan jenis makanan dan minuman, variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah kejadian sindrom dispepsia.

3.5.2 Defenisi Operasional

1. Pola makan adalah gambaran kebiasaan makan mahasiswa yang terdiri dari jadwal makan, jenis makanan dan minuman.

2. Jadwal makan adalah gambaran keteraturan waktu makan yang digunakan oleh mahasiswa.


(19)

3. Jenis makanan dan minuman adalah berbagai macam makanan dan minuman bersifat iritatif yang dikonsumsi oleh mahasiswa yang dapat menyebabkan dispepsia (nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa).

4. Makanan iritatif adalah bebagai macam makanan yang dapat menganggu saluran pencernaan sehingga menyebabkan sindrom dispepsia (nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa).

5. Minuman iritatif berbagai macam minuman yang dapat menganggu saluran pencernaan sehingga menyebabkan sindrom dispepsia (nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa).

6. Sindrom dispepsia adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa yang dirasakan mahasiswa dalam kurun waktu satu bulan terakhir.

3.6 Metode Pengukuran

Aspek pengukuran dalam penelitian ini adalah untuk mengukur pola makan berdasarkan jadwal makan, jenis makanan dan minuman, dan juga kejadian dispepsia pada mahasiswa.

3.6.1 Pola makan

Pola makan terdiri dari: a. Jadwal makan

Jadwal makan diukur dengan menghitung skor dari pernyataan dengan menggunakan skala likert, yaitu:


(20)

(5) Selalu (4) Sering

(3) Kadang-kadang (2) Jarang

(1) Tidak pernah

Menurut Sugiyono (2009) adapun panduan penentuan penilaian dan skoringnya adalah sebagai berikut

- Jumlah pilihan = 5 - Jumlah pertanyaan = 6

- Skoring terendah = 1 (pilihan jawaban yang salah) - Skoring tertinggi = 5 (pilihan jawaban yang benar)

- Jumlah skor terendah = skoring terendah x jumlah pertanyaan = 1 x 6 = 6 (6/30 x 100% = 20%)

- Jumlah skor tertinggi = skoring tertinggi x jumlah pertanyaan = 5 x 6 = 30 (100%)

Selanjutnya dilakukan penentuan skoring pada kriteria objektif dengan Rumus:

- Interval (I) = Range (R) / Kategori (K)

- Range (R) = skor tertinggi - skor terendah = 100 - 20 = 80%

- Kategori (K) adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif suatu variabel= 2, yaitu teratur dan tidak teratur

Maka didapatkan:


(21)

- Kriteria penilaian = skor tertinggi - interval = 100 - 40 = 60%, sehingga 1. Teratur= jika skor ≥ 60%

2. Tidak teratur = jika skor < 60% b. Jenis makanan dan minuman

Penilaian terhadap jenis makanan dan minuman yaitu dengan menghitung skor dari pernyataan dengan menggunakan skala likert, yaitu:

(5) Selalu (4) Sering

(3) Kadang-kadang (2) Jarang

(1) Tidak pernah

Menurut Sugiyono (2009) adapun panduan penentuan penilaian dan skoringnya adalah sebagai berikut

- Jumlah pilihan = 5 - Jumlah pertanyaan = 6

- Skoring terendah = 1 (pilihan jawaban yang salah) - Skoring tertinggi = 5 (pilihan jawaban yang benar)

- Jumlah skor terendah = skoring terendah x jumlah pertanyaan = 1 x 6 = 6 (6/30 x 100% = 20%)

- Jumlah skor tertinggi = skoring tertinggi x jumlah pertanyaan = 5 x 6 = 30 (100%)

Selanjutnya dilakukan penentuan skoring pada kriteria objektif dengan Rumus:


(22)

- Interval (I) = Range (R) / Kategori (K)

- Range (R) = skor tertinggi - skor terendah = 100 - 20 = 80%

- Kategori (K) adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif suatu variabel = 2, yaitu iritatif dan tidak iritatif

Maka didapatkan:

- Interval (I) = 80 / 2 = 40%

- Kriteria penilian = skor tertinggi - interval = 100 - 40 = 60%, sehingga 1. Iritatif= jika skor ≥ 60%

2. Tidak iritatif= jika skor < 60% 3.6.2 Kejadian sindrom dispepsia

Penilaian terhadapkejadian sindrom dispepsia yaitu menggunakan kuesioner penelitian dengan skala Guttman, jika jawaban Ya mendapat nilai 1 dan jika jawaban Tidak mendapat nilai 0.

Adapun panduan penentuan penilaian dan skoringnya adalah sebagai berikut - Jumlah pilihan = 2

- Jumlah pertanyaan = 9

- Skoring terendah = 0 (pilihan jawaban yang salah) - Skoring tertinggi = 1 (pilihan jawaban yang benar)

- Jumlah skor terendah = skoring terendah x jumlah pertanyaan = 0 x 9=0 (0%) - Jumlah skor tertinggi = skoring tertinggi x jumlah pertanyaan =1 x 9 = 9 (100%) Selanjutnya dilakukan penentuan skoring pada kriteria objektif dengan Rumus: - Interval (I) = Range (R) / Kategori (K)


(23)

- Kategori (K) adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif suatu variabel=2 yaitu ada dan tidak ada

Maka didapatkan:

- Interval (I) = 100 / 2 = 50%

- Kriteria penilian = skor tertinggi - interval = 100 - 50 = 50%, sehingga 1. Ada Dispepsia = jika nilai ≥50%

2. Tidak ada Dispepsia = jika nilai < 50% 3.7. Metode Analisis Data

Data yang telah didapat dari hasil kuesioner diolah secara spss, menurut Notoadmojo (2010) langkah-langkahnya sebagai berikut :

1. Editing

Sebelum data diolah, data tersebut perlu di edit. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas data serta menghilangkan keragu-raguan data melalui wawancara.

2. Mengkode data

Mengkode data dengan memberikan kode pada masing-masing jawaban untuk mempermudah pengolahan data.

3. Tabulasi

Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data, membuat tabulasi tidak lain dari memasukkan data ke dalam tabel. Tabel yang digunakan yaitu tabel distribusi frekuensi.


(24)

Data yang ada setelah dilakukan pengolahan kemudian dilakukan teknik analisa data, analisa yang digunakan adalah uji statistik dengan menggunakan dua tahap, yaitu :

1. Analisis univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal variabel-variabel independen dan dependen dalam bentuk distribusi frekuensi.

2. Analisis bivariat, yaitu analisis lanjutan untuk melihat hubungan variabel independen dengan dependen menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95% (p < 0,05), sehingga bila hasil analisis statistik < 0,05 maka variabel dinyatakan berpengaruh secara signifikan.


(25)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara beralamat di Jalan Universitas No 21 Kampus Universitas Sumatera Utara, Padang bulan Medan, Sumatera Utara. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara memiliki misi yaitu menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan ilmu kesehatan masyarakat dalam bidang administrasi dan kebijakan kesehatan, kependudukan dan kesehatan reproduksi, biostatistika dan informasi kesehatan, epidemiologi, gizi kesehatn masyarakat, keselamatan dan kesehatan kerja, kesehatan lingkungan serta pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku; menyelanggarkan dan mengembangkan penelitian ilmiah untuk pengembangan ilmu, teknologi dan pemecahan masalah kesehatan masyarakat secara konseptual maupun secara langsung dalam pembangunan kesehatan masyarakat.

Kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tidak mempunyai kantin, sehingga mahasiswa kesulitan dalam mencari makanan di saat istirahat perkuliahan, Selain itu kegiatan akademik Fakultas Kesehatan Masyarakat termasuk memiliki jadwal yang padat yaitu berupa kuliah, praktikum, ujian tengah semester, ujian akhir semester, selain itu sebagian mahasiswa juga aktif mengikuti kegiatan diluar jadwal kuliah, seperti bergabung dalam organisasi, baik organisasi intra kampus seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) maupun organisasi ekstrakampus, seperti Himpunan


(26)

Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen (GMK), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI), dll.

4.2.Karakteristik Mahasiswa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada mahasiswa yang berjumlah 100 mahasiswa, adapun karakteristik mahasiswa meliputi umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Umur dan Jenis Kelamin Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

No Umur n %

1 18-19 tahun 48 48

2 20-21 tahun 42 42

3 22-23 tahun 10 10

Jumlah 100 100

No Jenis kelamin n %

1 Laki-laki 19 19

2 Perempuan 81 81

Jumlah 100 100

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 100 mahasiswa FKM USU mayoritas mahasiswa berada pada kelompok umur 18-19 tahun yaitu sebanyak 48 mahasiswa (48%), dan dari tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa dari 100 mahasiswa FKM USU mayoritas mahasiswa memiliki jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 81 mahasiswa (81%) dan yang berjenis kelamin laki-laki hanya sebanyak 19 mahasiswa (19%).


(27)

4.3. Pola Makan Mahasiswa

Penelitian dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sebanyak 100 mahasiswa. Adapun pola makan mahasiswa meliputi jadwal makan, jenis makanan dan minuman mahasiswa dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jadwal Makan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

No Jadwal makan n %

1 Teratur 39 39

2 Tidak teratur 61 61

Jumlah 100 100

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 100 mahasiswa FKM USU sebagian besar mahasiswa memiliki jadwal makan yang tidak teratur yaitu sebanyak 61 mahasiswa (61%), sementara untuk jadwal makan yang teratur hanya sebanyak 39 mahasiswa (39%).


(28)

Tabel 4.3.Distribusi Frekuensi Jenis Makanan dan Minuman Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

No Jenis makanan dan minuman n %

1 Iritatif 59 59

2 Tidak iritatif 41 41

Jumlah 100 100

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 100 mahasiswa FKM USU sebagian besar mahasiswa mengkonsumsi jenis makanan dan minuman iritatif yaitu sebanyak 59 mahasiswa (59%).

4.4. Sindrom Dispepsia

Penelitian dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sebanyak 100 mahasiswa. Adapun kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

No Sindrom dispepsia n %

1 Ada 64 64

2 Tidak ada 36 36

Jumlah 100 100

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 100 mahasiswa FKM USU sebagian besar mahasiswa mengalami kejadian sindrom dispepsia yaitu sebanyak 64 mahasiswa (64%), sementara hanya sebanyak 36 mahasiswa (36%) yang tidak mengalami kejadian sindrom dispepsia.


(29)

4.5. Hubungan Jadwal Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia

Untuk mengetahui hubungan jadwal makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, digunakan uji chi-square hasil analisis tersebut disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4.5. Tabulasi Silang Hubungan Jadwal Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

No

Jadwal makan Kejadian sindrom

dispepsia Jumlah

Ada Tidak ada

n %

P Value

n % n %

1 Teratur 13 33 26 67 39 100

2 Tidak teratur 51 84 10 16 61 100 0,001

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 61 mahasiswa yang memiliki jadwal makan yang tidak teratur terdapat 51 mahasiswa (84%) yang mengalami sindrom dispepsia, dan dari 39 mahasiswa yang memiliki jadwal makan yang teratur terdapat 26 mahasiswa (67%) yang tidak mengalami sindrom dispepsia. Dapat diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara jadwal makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa FKM USU berdasarkan hasil uji chi-square dengan nilai P=0,001

4.6. Hubungan Jenis Makanan dan Minuman dengan Kejadian Sindrom Dispepsia

Untuk mengetahui hubungan jenis makanan dan minuman dengan kejadian sindrom dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat


(30)

Universitas Sumatera Utara, digunakan uji chi-square hasil analisis tersebut disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4.6. Tabulasi Silang Hubungan Jenis Makanan dan Minuman dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015 No

Jenis makanan dan minuman

Kejadian sindrom

dispepsia Jumlah

Ada Tidak ada

n %

P Value

n % n %

1 Iritatif 44 75 15 25 59 100

2 Tidak iritatif 20 49 21 51 41 100 0,008

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 59 mahasiswa yang mengkonsumsi jenis makanan dan minuman iritatif terdapat 44 mahasiswa (75%) yang mengalami sindrom dispepsia dan dari 41 mahasiswa yang mengkonsumsi jenis makanan yang tidak iritatif terdapat 21 mahasiswa (51%) yang tidak mengalami sindrom dispepsia. Dapat diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara jenis makanan dan minuman dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa FKM USU berdasarkan uji chi-square dengan nilai P=0,008.


(31)

BAB V PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap hubungan pola makan (jadwal makan, jenis makanan dan minuman) dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :

5.1. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, adapun hubungan pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara adalah :

5.1.1 Hubungan Jadwal Makan Dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Jadwal makan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sebagian besar memiliki jadwal makan yang tidak teratur yaitu sebanyak 61%, dari jadwal makan yang tidak teratur terdapat 84% mahasiswa yang mengalami sindrom dispepsia, dan dari jadwal makan yang teratur terdapat 67% mahasiswa yang tidak mengalami sindrom dispepsia, sehingga dari penelitian ini dapat disimpulkan mahasiswa yang memiliki pola makan tidak teratur cenderung mengalami sindrom dispepsia lebih besar dibandingkan pola makan yang teratur. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan


(32)

bermakna antara jadwal makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa FKM USU berdasarkan hasil uji chi-square dengan nilai P=0,001.

Perubahan lingkungan dan kebiasan sehari-hari dari yang semula tinggal di rumah bersama keluarga menjadi tinggal sendirian, kondisi lingkungan dan padatnya jadwal kegiatan mahasiswa dapat menyebabkan pola makan tidak teratur dan gaya hidup yang berubah karena berbagai faktor di sekitar mahasiswa, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa tinggal di kos dan tidak bersama orang tua yaitu sebesar 81%, daqn berdasarkan penelitian Ginting (2002) mahasiswa yang Kos cenderung memiliki waktu makan yang tidak baik. Faktor diet dan sekresi cairan asam lambung merupakan penyebab timbulnya dispepsia, Jeda antara waktu makan merupakan penentu pengisian dan pengosongan lambung. Jeda waktu makan yang baik yaitu berkisar antara 4-5 jam (Iping, 2004). Pola makan sehari-hari terlihat pada kebiasaan jadwal makan yang sering tidak teratur, seperti sering terlambat makan atau menunda waktu makan bahkan kadang tidak sarapan pagi atau tidak makan siang atau tidak makan malam sehingga membuat perut mengalami kekosongan dalam waktu yang lama. Jadwal makan yang tidak teratur tentunya akan dapat menyerang lambung yang dapat menimbulkan dispepsia (Minggu, 2014). Aktivitas yang tinggi baik kegiatan di sekolah/kampus maupun di luar sekolah/kampus menyebabkan makan menjadi tidak teratur (Sayogo, 2007).

Salah satu faktor yang berperan dalam kejadian dispepsia diantaranya adalah pola makan dan sekresi asam lambung (Djojoningrat, 2009). selain jenis-jenis makanan yang dikonsumsi, ketidak teraturan makan seperti kebiasaan makan


(33)

yang buruk, makan tergesa-gesa, dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia (Eschleman, 1984) dalam (Annisa, 2009). Setiap fungsi tubuh mempunyai irama biologis (circadian rhythm) yang jam kerjanya tetap dan sistematis dalam siklus 24 jam per hari. Meskipun sistem pencernaan sendiri memiliki 3 siklus yang secara simultan aktif, namun pada waktu-waktu tertentu masing-masing siklus akan lebih intensif dibandingkan siklus-siklus lainnya. Jika aktivitas salah satu siklus terhambat, aktivitas siklus berikutnya juga ikut terhambat. Hambatan ini besar pengaruhnya terhadap proses metabolisme. Dalam kondisi normal, konsentrasi asam dan aktivitas enzim pada lambung akan meningkat dan mencapai puncaknya maksimal setiap 4 jam setelah makan dan kemudian menurun pada jam berikutnya (Soehardi, 2004).

Menurut Bruner dan Suddarth (2001) secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam jumlah kecil setelah 4-6 jam sesudah makan, biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi akan semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung, serta menimbulkan rasa perih di daerah epigastrium. Kebiasaan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung.

Menurut Iping (2004) jeda waktu makan yang baik berkisar antara 4-5 jam. Jeda waktu makan yang lama dapat mengakibatkan sindroma dispepsia, kerja lambung meningkat pada waktu pagi, yaitu jam 07.00-09.00. Ketika siang hari berada dalam kondisi normal dan melemah pada waktu malam hari jam


(34)

07.00-09.00 malam. Dalam kondisi normal, konsentrasi asam dan aktivitas enzim pada lambung akan meningkat dan mencapai puncaknya maksimal setiap 4 jam setelah makan dan kemudian menurun pada jam berikutnya. Makanan yang tertahan lebih dari 4 jam di lambung akan menurunkan fungsi asam lambung, sehingga sebagian makanan ada yang tidak tersentuh asam lambung. Lamanya lambung menahan setiap jenis makanan berbeda-beda. Makanan tinggi zat pati umumnya sekitar 3 jam, tinggi protein sekitar 4 jam dan tinggi lemak sekitar 6 jam (Soehardi, 2004).

Asam lambung berfungsi untuk mencerna makanan yang masuk ke dalam lambung dengan jadwal yang teratur, produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol. Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi.Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul, 2005) dalam (Susanti, 2011).

Fungsi dari cairan asam lambung adalah untuk mencerna makanan yang masuk ke lambung dan merubah makanan tersebut menjadi massa kental (khimus), membantu proses pencernaan makanan yang telah di mulai dari mulut. Cairan asam lambung merupakan cairan yang bersifat iritatif dan asam. Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang


(35)

tertelan atau masuk bersama dengan makanan. Namun, bila barier lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung. Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari dan bilamana tidak adanya makanan yang masuk untuk diproses maka asam lambung tersebut merusak alat pencernaan sehingga terjadi sindrom dispepsia (Sherwood, 2011).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Susanti (2011) yang menyatakan bahwa Keteraturan dan frekuensi makan berhubungan dengan frekuensi dispepsia. Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi resiko munculnya gejala dispepsia. Penelitian Khotimah pada 74 mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi sindrom dispepsia menyatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia adalah keteraturan makan dan jeda antara waktu makan.

Hasil penilitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Reshetnikov (2007) kepada 1562 orang dewasa, jeda antara jadwal makan dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan dsipepsia. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan Ervianti (2008) pada 48 orang subyek tentang faktor yang berhubungan dengan dispepsia, didapatkan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian dispepsia adalah keteraturan makan. Makan tidak teratur dan sembarangan, merokok, minum alkohol, minum kopi diduga dapat menimbulkan masalah pencernaan. Seseorang yang telah memiliki masalah pencernaan sebelumnya, akan sangat rentan mengalami dispepsia karena kebiasaan yang tidak


(36)

sehat, bagi orang yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit pun, dimungkinkan untuk terjangkit dispepsia (Susanti, 2011).

5.1.2.Hubungan Jenis Makanan dan Minuman Dengan Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sebagian besar bersifat iritatif yaitu sebanyak 59%, dan dari jenis makanan dan minuman iritatif terdapat 75% mahasiswa yang mengalami sindrom dispepsia, dan dari jenis makanan yang tidak iritatif terdapat 51% mahasiswa yang tidak mengalami sindrom dispepsia. Sehingga penelitian ini juga menunjukkan mahasiswa yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang bersifat iritatif cenderung mengalami sindrom dispepsia lebih besar. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara jenis makanan dan minuman dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa FKM USU berdasarkan uji chi-square dengan nilai P=0,008.

Hal ini disebabkan karena tidak tersedianya kantin untuk Fakultas Kesehatan Masyarakat USU dan banyaknya penjual jenis makanan dan minuman yang bersifat iritatif tersebut di sekitar kampus dengan harga yang relatif murah sehingga mahasiswa lebih memilih untuk membeli makanan dan minuman iritatif tersebut. Selain itu hal ini dapat disebabkan karena mahasiswa kurang perhatian akan kesehatan diri atau kurang mengerti apa akibat bila tidak memperhatikan makanan yang dikonsumsi dan juga faktor kesibukan.

Suratun (2010) mengatakan bahwa jenis makanan merupakan salah satu faktor penyebab dari sindrom dispepsia, mengkonsumsi makanan pedas secara


(37)

berlebihan dapat merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Pendapat ini juga didukung oleh Misnadiarly (2009) tentang jenis makanan yang dapat mengakibatkan dispepsia yaitu makanan yang pedas, makanan yang mengandung gas dan asam.

Adapun jenis makanan yang mengiritasi seperti makanan pedas, zat-zat korosif (cuka dan lada) dapat menyebabkan kerusakan mukosa gaster dan menimbulkan edema serta pendarahan, tidak jarang pada kondisi sepertiini menimbulkan luka pada dinding lambung (Sediaotama, 2004). Salah satu penyebab terjadinya sindroma dispepsia adalah sekresi cairan asam lambung, asam lambung adalah cairan yang dihasilkan lambung dan bersifat iritatif dengan fungsi utama untuk pencernaan dan membunuh kuman yang masuk bersama makanan, beberapa bahan makanan tertentu yang bersifat iritatif dapat secara khusus sangat merusak sawar mukosa pelindung lambung yaitu terhadap kelenjar mukus dan terhadap taut epitel yang rapat (tight epithelial junctions) di antara sel pelapis lambung, hal ini akan menyebabkan terjadinya sindroma dispepsia (Sudoyo, 2009).Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang tertelan bersama makanan. Namun, bila barier lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung (Herman, 2004). Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang tertelan bersama makanan. Namun, bila barier lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung (Herman, 2004). Faktor yang memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia,


(38)

seperti alkohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka. Makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta bumbu yang merangsang, misalnya jahe, merica (Warianto, 2011).

Menurut Brunner dan Suddarth (2006) menyatakan bahwa jenis makanan yang sembarangan seperti makanan pedas dan makanan asam akan merangsang dinding lambung untuk mengeluarkan asam lambung, pada akhirnya kekuatan dinding lambung menurun, tidak jarang kondisi seperti ini menimbulkan luka pada dinding lambung sehingga menyebabkan terjadinya dispepsia. Makanan asam dan pedas seperti cabai, merica, dan bumbu-bumbu tajam merupakan makanan yang merangsang organ pencernaan dan secara langsung dapat merusak dinding lambung. Asam dan pedas merangsang sekresi asam lambung berlebihan, sehingga menimbulkan dispepsia. Disamping itu asam dan pedas juga dapat merangsang peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu timbulnya radang hingga luka pada dinding organ pencernaan (Harahap, 2009).Makanan yang sangat manis seperti kue tart dan makanan berlemak seperti keju, gorengan merupakan makanan yang lama di cerna/sulit dicerna menyebabkan hipersekresi cairan lambung yang dapat membuat nyeri pada lambung (Salma, 2011) dalam Khotimah (2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Susanti (2011) pada mahasiswa IPB, terdapat perbedaan antara kelompok kasus dan kontrol dalam mengkonsumsi makanan pedas, makanan atau minuman asam, kebiasaan minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi. Kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut dapat meningkatkan resiko munculnya gejala dispepsia pada mahasiswa


(39)

tersebut. Bila lambung sering terpapar dengan zat iritan maka inflamasi akan terjadi terus menerus. Jaringan yang meradang akan diisi oleh jaringan fibrin sehingga lapisan mukosa lambung dapat hilang dan terjadi atropi sel mukosa lambung. Faktor intrinsik yang dihasilkan oleh sel mukosa lambung akan menurun atau hilang sehingga cobalamin (vitamin B12) tidak dapat diserap diusus halus. Sementara vitamin B12 ini berperan penting dalam pertumbuhan dan maturasi sel darah merah. Selain itu dinding lambung menipis rentan terhadap perforasi lambung dan perdarahan (Suratum, 2010).

Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Nasution (2001) yang mengatakan bahwa adanya hubungan antara jenis makanan dan gastritis dengan keluhan dispepsia. Selain itu dapat diasumsikan bahwa mengkonsumsi makanan pedas atau asam dapat merangsang sistem pencernaan, terutama lambung adan usus. Asumsi tersebut sesuai dengan teori Notoatmojo (2007) dalam Pratiwi (2013) bahwa mengkonsumsi makanan pedas dan asam secara berlebihan dapat mengakibatkan rasa panasdan nyeri ulu hati yang disertai mual dan muntah, gejala tersebut membuat penderitamakin berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas dan asam >1 kali dalam seminggu selama 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian Carvalho (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara intoleransi makanan tertentu terhadap gangguan pola makan yang dialami pasien dispepsia, walaupun ditemukan jenis makanan/ minuman yang paling berpengaruh adalah kopi. Mereka mengatakan ada bukti bahwa kopi meningkatkan refluks gastroesofageal dan merangsang


(40)

sekresi asam lambung serta pelepasan gastrin. Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein yang merupakan zat sekret tagogue. Zat ini merupakan salah satu penyebab antrum mukosa lambung menyekresikan hormon gastrin. Kafein dapat menstimulasi produksi pepsin yang bersifat asam yang menyebabkan iritasi dan erosi mukosa lambung. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat asam dari fundus lambung (Ganong, 2008).Minuman yang mengandung soda atau berkarbonasi adalah salah satu penyebab utama gangguan pada lambung, Sebab minuman bersoda mengandung asam fosfat yang dapat menetralkan asam hidroklorik di lambung. Hal ini sangat merugikan karena tubuh memerlukan asam hidroklorik untuk membantu mencerna makanan. Disamping itu efek karbonasi minuman bersoda dapat membuat perut kembung sehingga membuat kondisi lambung semakin tidak nyaman (Yolan, 2012) dalam (Khotimah, 2012). Minuman bersoda merupakan minuman mengandung gas, gas yang berlebihan dalam lambung dapat memperberat kerja lambung. Minuman bersoda atau berkarbonasi akan melenturkan katup LES (Lower Esophangeal Sphincter) yaitu katup antara lambung dan tenggorokan sehingga menyebabkan reflux atau berbaliknya asam lambung ke kerongkongan. Oleh karena itu orang memiliki gangguan pencernaan dianjurkan tidak mengkonsumsinya. Disamping itu, minuman bersoda juga memiliki pH antara 3-4 yang berarti bersifat asam sehingga akan meningkatkan dampak buruk bagi lambung (Berdanier, 2008).


(41)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan tentang hubungan pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Keshatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015 dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dari 61% mahasiswa dengan jadwal makan yang tidak teratur terdapat 84% yang mengalami sindrom dispepsia, sementara dari 39% mahasiswa yang memiliki jadwal makan yang teratur terdapat 67% mahasiswa yang tidak mengalami sindrom dispepsia, sehingga dapat disimpulkan mahasiswa yang memiliki pola makan tidak teratur cenderung mengalami sindrom dispepsia lebih besar dibandingkan mahasiswa yang memiliki pola makan yang teratur, dan terdapat hubungan bermakna antara jadwal makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara berdasarkan hasil uji chi-square dengan nilai P=0,001.

2. Dari 59% mahasiswa yang mengonsumsi makanan dan minuman bersifat iritatif terdapat 75% mahasiswa yang mengalami sindrom dispepsia, sementara dari 41% mahasiswa yang mengonsumsi jenis makanan dan minuman yang tidak iritatif terdapat 51% yang tidak mengalami sindrom dispepsia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang


(42)

mengonsumsi makanan dan minuman yang bersifat iritatif cenderung mengalami sindrom dispepsia lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak mengonsumsi jenis makanan dan minuman iritatif, dan terdapat hubungan bermakna antara jenis makanan dan minuman dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara berdasarkan hasil uji chi-square dengan nilai P = 0,008.

6.2 Saran

1. Bagi pihak Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara agar menyediakan kantin sehat kepada mahasiswa agar mahasiswa dapat mendapatkan makanan dengan mudah saat istirahat perkuliahan, sehingga mahasiswa tidak mengonsumsi makanan dan minuman iritatif yang banyak terdapat di sekitar kampus FKM USU. 2. Bagi mahasiswa untuk dapat mengatur jadwal makan dan mengurangi

mengonsumsi jenis makanan dan minuman bersifat iritatif agar terhindar dari sindrom dispepsia.


(43)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispepsia

Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom (kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh. Keluhan ini tidak selalu ada pada setiap penderita. Bahkan pada seorang penderita, keluhan tersebut dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan merupakan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari penyebabnya (Sofro dan Anurogo, 2013).

Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari bahasaYunani, “dys” yang berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang berarti pencernaan, jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau distensi.

Kasus dyspepsia didunia mencapai 13 – 40 % dari total populasi setiap tahun. Hasil study menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oseania, prevalensi dyspepsia bervariasi antara 5% hingga 43 % (WHO, 2010). Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke praktik umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia. Pasien yang datang


(44)

berobat ke praktik gastroenterologist terdapat 60% dengan keluhan dispepsia (Djojoningrat, 2009).

Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan bebagai keluhan yang dirasakan di abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di daerah epigastrum (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian atas, sering sendawa, mual, ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia sering juga dipakai sebagai sinonim dari gangguan pencernaan (Herman, 2004).

Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat organik, maupun yang fungsional. Berdasarkan konsensus terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang diduga karena penyakit refluks gastroesofageal, tidak dimasukkan dalam sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2014).

2.1.1 Sindrom Dispepsia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sindrom adalah himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu. Sindrom merupakan kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, atau karakter yang sering muncul bersamaan.

Adapun gejala-gejala (sindrom) dispepsia, yaitu: -Nyeri perut (abdominal discomfort)

-Rasa perih di ulu hati -Nafsu makan berkurang


(45)

-Rasa lekas kenyang -Perut kembung

-Rasa panas didada dan perut (Djojoningrat, 2014). 2.1.2 Klasifikasi Dispepsia

Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:

1. Dispepsia Organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux disease, hiperacidity.

Jenis-jenis dispepsia organik yaitu: a. Tukak pada saluran cerna atas

Keluhan yang sering terjadi nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, bersendawa, dan kurang nafsu makan (Hadi, 2005).

b. Gastritis

Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri


(46)

epigastrum, nafsu makan menurun, dan kadang terjadi perdarahan (Sutanto, 2007).

c. Gastro esophageal reflux disease (GRD)

GRD adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di dada (heart burn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum adates standart mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-gejala penyakit lain atau ditemukannya radang pada esofagus seperti esofagitis (Berdanier, 2008).

d. Karsinoma

Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri diperut, bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun (Hadi, 2005).

e. Pankreatitis

Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusukdan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di perut


(47)

bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai tanda-tanda diabetes melitus atau keluhan steatorrhoe (Hadi, 2005). f. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi

Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya diare berlendir (Sudoyo, 2009). g. Gangguan Metabolisme

Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus (Hadi, 2005). h. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori

Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam mengobati penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pyloripada lambung dapat menyebabkan peradangan


(48)

mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi kanker (Rani, 2011). 2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus

(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (Mansjoer, 2000). Menurut Friedman (2010) Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia fungsional antara lain :

a. Sekresi Asam Lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal atau hiposekresi.

b. Dismotilitas Gastrointestinal

Dismotilitas Gastrointestinal yaitu perlambatan dari masa pengosongan lambung dan gangguan motilitas lain. Pada berbagai studi dilaporkan dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum hingga 50% kasus. c. Diet dan Faktor Lingkungan

Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional. Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena


(49)

faktor nervus vagus, dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung tetapi efek dari antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal.

d. Psikologik

Stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral.

2.1.3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Dispepsia

Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Abdullah dan Gunawan, 2012).

Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah :

1. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).

2. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah (mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).

3. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat lambung terasa penuh atau bersendawa terus.


(50)

4. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya dispepsia, seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi. Minuman jenis ini dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.

5. Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs(NSAID) misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven (Rani, 2011).

6. Pola makan

Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak sehingga bila tidak sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi asam. Tuntutan pekerjaan yang tinggi, padatnya lalu lintas, jarak tempuh rumah dan kantor yang jauh dan persaingan yang tinggi sering menjadi alasan para profesional untuk menunda makan (Rani, 2011).

Faktor diet dan sekresi cairan asam lambung merupakan penyebab timbulnya dispepsia (Djojoningrat, 2009). Penelitian Khotimah pada 74 mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi sindrom dispepsia menyatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia adalah keteraturan makan dan jeda antara waktu makan (Khotimah, 2012). Jeda antara waktu makan merupakan penentu pengisian dan pengosongan lambung. Jeda waktu makan yang baik yaitu berkisar antara 4-5 jam (Iping, 2004) Fungsi dari cairan asam lambung adalah untuk mencerna makanan yang masuk ke lambung dan merubah makanan tersebut menjadi massa kental (khimus), membantu proses pencernaan makanan yang telah di mulai dari mulut. Cairan asam lambung merupakan cairan yang bersifat iritatif dan asam (Sherwood, 2011). Suasana yang


(51)

sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang tertelan atau masuk bersama dengan makanan. Namun, bila barier lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung (Herman, 2004). Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari dan bilamana tidak adanya makanan yang masuk untuk diproses maka asam lambung tersebut merusak alat pencernaan sehingga terjadi sindrom dispepsia (Ganong, 2008).

Menurut Haapalahti (2004) dalam Susanti (2011) ditemukan ada pengaruh pola makan terhadap dispepsia. Pola makan yang tidak teratur mungkin menjadi predisposisi untuk gejala gastrointestinal yang menghasilkan hormon-hormon gastrointestinal yang tidak teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya motilitas gastrointestinal.

2.1.4 Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut: 1. Pencegahan Primordial

Merupakan pencegahan pada orang-orang yang belum memilik faktor resiko dispepsia, dengan cara mengenali dan menghindari keadaan/kebiasaan yang dapat mencetuskan serangan dispepsia, dan untuk menghindari infeksi helicobacter pylori dilakukan dengan cara menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih,

perbaikan gizi, dan dan penyediaan air bersih (Rani, 2011). 2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Berperan dalam mengolah dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia pada orang yang sudah memiliki faktor resiko dengan cara membatasi


(52)

atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sehat seperti, makan tidak teratur, merokok, mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda, makanan berlemak, pedas, asam, dan menimbulkan gas di lambung. Berat badan perlu dikontrol agar tetap ideal, karena gangguan pada saluran pencernaan, seperti rasa nyeri di lambung, kembung, dan konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang mengalami obesitas. Rajin olahraga dan manajemen stres juga dapat menurunkan resiko terjadinya dispepsia (Redaksi, 2009).

3. Pencegahan Sekunder

a. Diet mempunyai peran yang sangat penting, dasar diet tersebut adalah makan sedikit berulang kali, makanan harus mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan asam lambung, dan bisa menetralisir asam HCL.

b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida, antagonis reseptor H2, penghambat pompa asam (proton pump inhibitor= PPI), sitoprotektif, prokinetik, dan kadang dibutuhkan psikoterapi, atau psikofarma (obat anti depresi atau cemas) untuk penderita yang berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas, dan depresi (Redaksi, 2009).

c. Bagi yang berpuasa untuk mencegah kambuhnya sindrom disepsia, sebaiknya menggunakan obat anti asam lambung yang bisa diberikan saat sahur dan berbuka untuk mengontrol asam lambung selama berpuasa. Berbeda dengan dispepsia organik, bila si penderita berpuasa kondisi


(53)

asam lambungnya akan semakin parah. Penderita boleh berpuasa setelah penyebab sakit lambungnya diobati terlebih dahulu (Mansjoer, 2000). 4. Pencegahan Tersier

a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.

b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat (Declan, 2001).

2.2 Pola Makan

Pola Makan adalah gambaran mengenai macam, jumlah, dan komposisi bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang yang merupakan ciri khas dari suatu kelompok masyarakat tertentu (Hartono, 2007). Menurut Depkes RI (2009) Pola Makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit.

Kebiasaan hidup yang dianjurkan pada dispepsia adalah pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengonsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol dan pantang rokok, bila minum obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung (Hartaty, 2012).


(54)

2.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan

Pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan kebiasaan makan seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan menurut Sediaotama (2004) adalah sebagai berikut :

1. Faktor ekonomi

Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi kosumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya akan pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kulaitas maupun kuantitas.

2. Faktor sosio budaya

Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang akan dikosumsi. Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku dan memenuhi kebutuhan dasar biologinya, termasuk kebutuhan terhadap pangan.

3. Agama

Pantangan yang didasari agama, khususnya Islam disebut haram dan individu yang melanggar hukumnya berdosa. Konsep halal dan haram sangat mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang akan dikosumsi.


(55)

4. Pendidikan

Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan, akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi.

5. Lingkungan

Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak. 2.2.2 Pola Makan terdiri dari:

a. Jenis Makanan

Pada umumnya pasien yang menderita dispepsia adalah pengkonsumsi rokok, minuman alkohol yang berlebihan, minum kopi dalam jumlah banyak dan makan makanan yang mengandung asam. Pengosongan lambung tergantung pada jenis makanan. Biasanya berlangsung sekitar 1-4 jam. Makanan yang mengandung protein, lemak, makanan yang kental (hipertonis), banyaknya udara dan usus halus yang penuh memerlukan waktu yang lebih lama untuk dicerna dalam lambung. Lemak tetap berada di dalam lambung selama 3-6 jam. Cairan lambung yang asam memicu terjadinya pencernaan protein dan lemak (Suratun dan Lusianah, 2010).

Jenis makanan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu makanan utama dan makanan selingan. Makanan utama merupakan makanan yang biasa dikonsumsi seseorang berupa makan pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan minuman. Sementara Makanan


(56)

selingan adalah makanan ringan atau snack yang biasa dikonsumsi di sela-sela makan utama.

b. Jadwal makan

Makan tepat waktu dan teratur sangat penting untuk dilakukan dan bahkan harus dibiasakan, sebab makan tepat waktu dan teratur memberikan manfaat yang luar biasa bagi tubuh. Sebaliknya makan yang tidak tepat waktu dan tidak teratur dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan (Tilong, 2014)

Frekuensi makan merupakan seringnya seseorang melakukan kegiatan makan dalam sehari baik makanan utama maupun makanan selingan, frekuensi makan dikatakan baik jika frekuensi makan dalam sehari tiga kali makanan utama atau dua kali makanan utama dengan satu kali makanan selingan. Frekuensi makan dinilai kurang jika frekuensi makan setiap harinya dua kali makan utama atau kurang (Hudha, 2006).

c. Jumlah Makanan

Jumlah atau porsi makanan merupakan suatu ukuran atau takaran yang dikonsumsi pada tiap kali makan. Menurut Sedioetama (2004) jumlah atau porsi standar bagi remaja antara lain: makanan pokok berupa nasi, roti, dan mie instan. Jumlah atau porsi makanan pokok antara lain: nasi 100 gram, roti tawar 50 gram, mie instan untuk ukuran besar 100 gram dan ukuran kecil 60 gram. Lauk pauk mempunyai dua golongan, golongan lauk hewani dan nabati. Jumlah atau porsi makanan antara lain: daging 50 gram, telur 50 gram, ikan 50 gram, tempe 50 gram (2 potong), tahu 100 gram(2 potong). Sayur merupakan bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan jumlah atau porsi sayuran dari berbagai jenis


(57)

makanan sayuran, anatara lain 100 gram. Jumlah porsi buah ukuran 100 gram, potongan 75 gram.

2.2.3 Pola makan yang mempengaruhi dispepsia a. Makan makanan berisiko

Makanan yang berisiko yang dimaksud adalah makanan yang terbukti ada pengaruhnya terhadap dispepsia yaitu makanan pedas, makanan asam, makanan bergaram tinggi. Frekuensi makan makanan berisiko berhubungan signifikan dengan kejadian dispepsia. Semakin sering mengkonsumsi makanan tersebut semakin berisiko terken adispepsia (Anggita, 2012).

Konsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus yang berkontraksi. Keadaan ini menimbulkan rasa panas dan nyeri ulu hati yang disertai mual dan muntah (Oktaviani, 2011). Bila kebiasaan mengkonsumsi lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal enam bulan dibiarkan berlangsung lama dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut gastritis. Selain itu, bubuk cabai atau chilli powder dapat menyebabkan kehilangan sel epitel pada lapisan mukosa (Berdanier, 2008).

Makanan dengan rasa asin yang berlebihan baik dalam segi rasa maupun frekuensi terbukti signinifikan dalam kasus pra kanker lambung. Peningkatan makanan asin dan makanan yang diasap secara berkaitan terbukti signifikan dalam perkembangan kanker lambung. Mengkonsumsi makanan asin dapat meningkatkan risiko terinfeksi bakteri H. Pylori yaitu bakteri penyebab gastritis (Corwin, 2009).


(58)

Makanan yang berminyak dan berlemak juga dapat menimbulkan gejala dispepsia. Makanan ini berada di lambung lebih lama dari jenis makanan lainnya. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan tekanan di lambung. Proses pencernaan ini membuat katup antara lambung dan kerongkongan (Lower Esophageal Sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan (Berdanier, 2008).

Makanan asam termasuk makanan yang berisiko penyebab dispepsia. Makanan asam dapat memperlambat pengosongan lambung. Sebelum masuk duodenum, kimus yang bersifat asam akan dinetralisir oleh Natrium Bikarbonat (NaHCO3). Bila proses belum selesai, kimus asam akan berada di dalam lambung, sehingga akan mengiritasi lapisan mukosa lambung dan menimbulkan serangan gastritis. Diet rendah serat dianjurkan untuk mengurangi keluhan perut kembung, tetapi serat yang tidak larut dalam air dapat menyebabkan kembung tanpa adanya peningkatan jumlah gas. Kembung ini disebabkan oleh melambatnya aliran gas ke usus kecil akibat serat (Mansjoer, 2000). Diit tinggi serat dan gas tidak dianjurkan dalam gangguan lambung. Makanan yang mengandung serat tinggi dan gas seperti daun singkong, kacang panjang, kol, lobak, sawi, asparagus, jambu biji, nanas, kedondong, durian, nangka (Almatsier, 2004).

b. Minum minuman berisiko

Menurut Yunita (2010), frekuensi minum minuman iritatif seperti kopi, bersoda (soft drink) dan alkohol berpengaruh signifikan terhadap kejadian dispepsia. Beberapa jenis minuman atau zat tertentu yang terkandung pada


(59)

minuman ternyata memiliki hubungan terhadap kejadian dispepsia. Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein yang merupakan zat sekret tagogue. Zat ini merupakan salah satu penyebab antrum mukosa lambung menyekresikan hormon gastrin. Kafein dapat menstimulasi produksi pepsin yang bersifat asam yang menyebabkan iritasi dan erosi mukosa lambung. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat asam dari fundus lambung (Ganong, 2008). Minuman bersoda merupakan minuman mengandung gas. Gas yang berlebihan dalam lambung dapat memperberat kerja lambung. Minuman bersoda atau berkarbonasi akan melenturkan katup LES (Lower Esophangeal Sphincter) yaitu katup antara lambung dan tenggorokan sehingga menyebabkan reflux atau berbaliknya asam lambung ke kerongkongan. Oleh karena itu orang memiliki gangguan pencernaan dianjurkan tidak mengkonsumsinya. Disamping itu,minuman bersoda juga memiliki pH antara 3-4 yang berarti bersifat asam sehingga akan meningkatkan dampak buruk bagi lambung (Berdanier, 2008).

Minum susu terlalu banyak tidak dianjurkan bila ada gejala intoleransi laktosa. Lactose intolerance disebabkan oleh kurangnya enzim lactase yang dibutuhkan tubuh untuk mencerna laktosa (gula susu). Laktosa yang tidak tercerna akan bertahan di usus dan mengalami fermentasi sehingga dapat menimbulkan rasa kembung (Berdanier,2008).

c. Jadwal makan

Menurut Susanti (2011) kejadian dispepsia dipengaruhi oleh keteraturan dan frekuensi makan. Orang yang memiliki pola makan yang tidak teratur mudah


(60)

terserang dispepsia. Frekuensi makan merupakan faktor yang berhubungan dengan pengisian dan pengosongan lambung. Kasus gastritis (dispepsia) diawali dengan pola makan yang tidak teratur sehingga asam lambung meningkat, produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul nyeri epigastrum. Keadaan ini secara perlahan menimbulkan perdarahan. Perut yang kosong atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung, berakibat rasa nyeri (Oktaviani, 2011).

Makan teratur dapat membuat alat pencernaan bekerja secara teratur. Agar proses pencernaan efisien ia harus bekerja secara wajar dan alamiah, artinya pola makan harus sesuai dengan siklus pencernaan dan kemampuan fungsi pencernaan. Adapun siklus pencernaan, yaitu:

a. Siklus pencernaan (12 Siang-8 Malam) merupakan saat yang tepat untuk mengkonsumsi makanan padat karena siklus pencernaan bekerja lebih aktif. Setelah pukul 8–9 malam sebaiknya tidak makan makanan padat karena lambung tidak boleh sesak dengan makanan pada saat tidur. b. Siklus penyerapan (8 Malam-4 Pagi) pada saat tubuh dan pikiran kita

sedang istirahat total atau tidur, tubuh mulai menyerap atau mengasimilasi, dan mengedarkan zat makanan. Kurang tidur atau makan larut malam akan memboroskan energi dan mengganggu aktivitas siklus ini.

c. Siklus pembuangan (4 Pagi-12 Siang) secara intensif tubuh mulai melakukan pembuangan sisa-sisa makanan dan sisa-sisa metabolisme.


(61)

Siklus ini paling banyak memakai energi. Selagi siklus ini berjalan sebaiknya tidak mengkonsumsi makanan berat atau padat karena menurunkan intensitas proses pembuangan, memperlambat proses pencernaan, dan memboroskan energi (Andang, 2001) dalam (Ginting, 2008).

Hasil penelitian oleh Annisa (2009) jeda antara jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan sindroma dispepsia. Pada penelitian ini juga ditemukan perbedaan antara pola makan dan pengaruhnya terhadap gejala gastrointestinal pada remaja putri. Penyebab asam lambung tinggi diantaranya adalah aktivitas padat sehingga terlambat makan. Secara alami lambung akan memproduksi asam lambung setiap saat dalam jumlah kecil. Setelah 4-6 jam sesudah makan kadar glukosa dalam darah telah banyak diserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan saat itu jumlah asam akan meningkat (Ganong, 2008).

Pembagian waktu makan yang baik dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Pembagian Waktu Makan

Waktu Jam Makan

Makan pagi 07.00

Snack pagi 10.00

Makan siang 13.00

Snack siang 16.00

Makan malam 19.00


(62)

Makan tepat waktu merujuk pada konsep tiga kali makan dalam sehari ialah sarapan, makan siang, dan makan malam. Dalam memulai makan, janganlah makan setelah benar-benar lapar. Atur waktu makan seperti sarapan sekitar jam 06.00-08.00, makan siang sekitar jam 12.00-13.00, dan makan malam antara jam 18.00-20.00 (Tilong, 2014).

2.3 Manajemen Diet Penderita Dispepsia

Diit pada penyakit dispepsia diberikan untuk penyakit yang berhubungan dengan saluran cerna. Gangguan pada saluran cerna umumnya berupa sindrom dispepsia yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari mual, muntah, nyeri epigastrum, kembung, nafsu makan berkurang dan rasa cepat kenyang.

Tujuan diet adalah untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung serta mencegah dan menetralkan sekresi asam lambung yang berlebihan.

Syarat diet penyakit dispepsia (diet lambung) adalah : a. Mudah cerna, porsi kecil dan sering diberikan

b. Energi dan protein cukup, sesuai kemampuan pasien untuk menerimanya c. Lemak rendah, yaitu 10-15 % dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan

secara bertahap hingga sesuai kebutuhan

d. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap


(63)

f. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara termis, mekanis, maupun kimia (disesuaikan dengan daya terima perorangan)

g. Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa, umumnya tidak dianjurkan minum susu terlalu banyak.

h. Makan secara perlahan di lingkungan yang tenang.

i. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja 24-48 jam untuk memberi istirahat pada lambung (Almatsier, 2004).


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 PerumusanMasalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 TujuanUmum ... 7

1.3.2 TujuanKhusus ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Dispepsia ... 9

2.1.1 Klasifikasi Dispepsia ... 10

2.1.2 Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia ... 15

2.1.3 Sindrom dispesia ... 17

2.1.5 Pencegahan ... 17

2.2 Pola makan ... 19

2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan ... 20

2.2.2 Pola makan Terdiri dari ... 21

2.2.3 Pola makan yang mempengaruhi dispepsia ... 23

2.3 Manajemen diet penderita dispepsia ... 28

2.4 kerangka teori ... 30


(2)

3.2.1 waktu penelitian ... 32

3.3 Populasi dan Sampel ... 32

3.3.1 Populasi ... 32

3.3.2 Sampel ... ….32

3.4 Metode Pengumpulan data ... ….34

3.4.1 Data Primer ... ….34

3.4.2 Data Sekunder ... ….34

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional ... ….35

3.5.1 Variabel ... ….35

3.5.2 Defenisi Operasional ... ….35

3.6 Metode Pengukuran ... ….36

3.7 Metode Analisa Data ... ….40

BAB IV HASIL PENELITIAN ... ….42

4.1 Gambaran LokasiPenelitian ... ….42

4.2 Karakteristik Mahasiswa ... ….43

4.3Pola Makan Mahasiswa ... ….44

4.4 Sindrom Dispepsia ... ….46

4.5. Hubungan Jadwal Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia ... ….46

4.6. Hubungan Jenis Makanan dan Minuman dengan Kejadian Sindrom Dispepsia ... ….47

BAB V PEMBAHASAN ... ….49

5.1 Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa FKM USU ... ….49

5.2 Hubungan Jenis Makanan dan Minuman dengan Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa FKM USU ... ….54

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... ….59

6.1 Kesimpulan ... ….59

6.2 Saran ... ….60 DAFTAR PUSTAKA


(3)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat permohonan survey pendahuluan Lampiran 2. Surat izin penelitian

Lampiran 3. Master tabel Lampiran 4. Output spss


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Pembagian waktu makan ... 27

Tabel 3.1 Besar sampel di dalam stratum ... 33

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi umur dan jenis kelamin mahasiswa ... 39

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi jadwal makan mahasiswa ... 40

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi jenis makanan dan minuman mahasiswa... 41

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa ... 42

Tabel 4.5 Tabulasi silang hubungan jadwal makan dengan kejadian sindrom dispepsia ... 47

Tabel 4.6 Tabulasi silang hubungan jenis makanan dan minuman dengan kejadian sindrom dispepsia ... 48


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka teori ... .30 Gambar 2.2 Kerangka Konsep ... .31


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Novita Kurniati Nasution

TempatLahir : Aek Buaton

Tanggal Lahir : 19 Agustus 1991

Suku Bangsa : Mandailing

Agama : Islam

Nama Ayah : Lumban Nasution, SPd Suku Bangsa Ayah : Mandailing

Nama Ibu : Erlinawaty Harahap,SPd Suku Bangsa Ibu : Mandailing

Pendidikan Formal

1. SD Negeri Aek Buaton : 1997–2003 2. MTsS Darul Mursyid : 2003– 2006 3. MAS Darul Mursyid : 2006 – 2009 4. AKBID Sehat Medan : 2009 – 2012

5.

Lama Studi di FKM USU : 2013 – 2015