Uji Skrining Fitokimia, Aktivitas Antioksidan Dan Antibakteri Ekstrak Metanol Dan Etil Asetat Daun Benalu Kopi (Loranthus Parasiticus (L.) Merr.)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Benalu Kopi (Loranthus parasiticus (L.) Merr.)

Klasifikasi Benalu kopi hasil identifikasi tumbuhan di laboratorium Herbarium
Medanense (MEDA) Universitas Sumatera Utara, adalah sebagai berikut :

Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae


Ordo

: Santalales

Famili

: Loranthaceae

Genus

: Loranthus

Spesies

: Loranthus parasiticus (L.) Merr.

Nama Lokal

: Benalu Kopi


(Herbarium Medanense (MEDA))

Benalu (Loranthus) merupakan jenis tumbuhan yang hidupnya tidak
memerlukan media tanah. Ia hidup sebagai parasit, melekat pada sel inang, dan
menghisap nutrisi yang dimilikinya sehingga menyebabkan kematian pada sel
inang tersebut. Adanya klorofil menyebabkan tanaman benalu memiliki
kemampuan melakukan proses fotosintesis. Akan tetapi, tanaman ini tidak mampu
mengambil air dan unsur hara secara langsung dari tanah yang menjadikannya
sebagai tanaman parasit. Berdasarkan pengalaman, benalu yang menempel pada
tumbuhan tertentu telah digunakan dalam pengobatan tradisional. Benalu pada
umumnya digunakan sebagai obat campak, sedangkan benalu pada jeruk nipis
dimanfaatkan sebagai ramuan obat penyakit amandel. Benalu kopi sendiri
digunakan untuk mengobati sakit pinggang, diabetes, rematik, batuk, diare dan
antikanker. Kandungan kimia yang terdapat dalam benalu adalah flavonoid, tanin,
asam amino, karbohidrat, alkaloid, dan saponin (Anonim, 1996; Ritcher, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Bentuk daun benalu kopi yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada
gambar 2.1.


Gambar 2.1 Daun Benalu Kopi (Penelitian)

Benalu kopi adalah salah satu tanaman parasit yang biasa digunakan dalam
pengobatan

tradisional.

Sebagai

tanaman

parasit

benalu

tidak

banyak


dimanfaatkan,hal ini berkaitan dengan sifat parasit benalu yang dapat merusak
tanaman inangnya,sementara sebagai salah satu tanaman obat,benalu mempunyai
peranan yang penting. Secara tradisional benalu digunakan antara lain sebagai
obat batuk,amandel,campak,diabetes dan kanker (Pitojo,1996).

2.2 Senyawa Metabolit Sekunder
Senyawa metabolit sekunder merupakan biomolekul yang dapat digunakan
sebagai lead compounds dalam penemuan dan pengembangan obat-obat baru
(Atun, S, 2003). Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme
sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam
beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid,
saponin dan tanin (Lenny, S, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Dalam perkembangannya senyawa metabolit sekunder tersebut dipelajari
dalam disiplin ilmu tersendiri yaitu kimia bahan alam (natural product chemistry).
Contoh metabolit sekunder adalah antibiotik, pigmen, toksik, efektor kompetisi
ekologi dan simbiosis, feromon, inhibitor enzim, agen immunemodulasi, reseptor
antagonis dan agonis, pestisida, agen antitumor, dan promotor pertumbuhan

binatang dan tumbuhan. Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan
langkah awal yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari
bahan alam yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau prototipe
obat beraktivitas tertentu (Rasyid, 2012). Identifikasi ini merupakan uji fitokimia.
Metode yang dilakukan merupakan metode uji berdasarkan yang telah
dimodifikasi. Uji yang dilakukan antara lain uji flavonoid, senyawa fenolik,
alkaloid, saponin, tanin dan terpenoid (Harbone, 1987).

2.2.1 Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol, senyawa fenol
mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri, dan jamur.
Khunaifi (2010) menambahkan bahwa senyawa-senyawa flavonoid umumnya
bersifat antioksidan dan banyak telah digunakan sebagai salah satu komponen
bahan baku obat-obatan. Senyawa flavonoid dan turunannya memiliki dua fungsi
fisiologi tertentu, yaitu sebagai bahan kimia untuk mengatasi serangan penyakit
(sebagai antibakteri) dan anti virus bagi tanaman. Para peneliti lain juga
menyatakan pendapat sehubungan dengan mekanisme kerja dari flavonoid dalam
menghambat pertumbuhan bakteri, antara lain bahwa flavanoid

terjadinya


kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri (Sabir, 2008). Didukung juga dengan
penelitian Mirzoeva et al, (1997) mendapatkan bahwa flavanoid mampu
menghambat motilitas bakteri.
Flavonoida pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja
antimikroba dan antivirus dan kerja terhadap serangga (Robinson, 1995). Adapun
fungsi flavonoida dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,
hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi bekerja
sebagi diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Tanin
Tanin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan tumbuhan
untuk melindungi dari serangan bakteri dari cendawan (Salisbury, 1995).
Secara kimiawi tanin merupakan kompleks, biasanya merupakan campuran
polifenol yang sulit dipisahkan karena tidak mengkristal. Apabila tanin
direaksikan dengan air membentuk larutan koloid yang memberikan reaksi asam
dan reaksi yang tajam (Harborne, 1996). Tanin memiliki peranan fisiologis yang
kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga

dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).
Secara kimia terdapat dua jenis tanin yang tersebar tidak merata dalam
dunia tumbuhan yaitu tanin terkondensasi (Proantosianidin) dan tanin terhidrolisis
(Hydrolyzable tannin) (Harbone, 1987). Kedua golongan tanin menunjukkan
reaksi yang berbeda dalam larutan garam Fe (III). Tanin terkondensasi
menghasilkan warna hijau kehitaman sedangkan tanin terhidrolisis memberikan
biru kehitamanan.
1. Tanin terhidrolisis
Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higrokopis, berwarna coklat
kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk larutan koloid bukan
larutan sebenarnya. Makin murni tanin, makin kurang kelarutannya dalam air dan
makin mudah diperoleh dalam bentuk kristal. Tanin ini larut dalam pelarut
organik yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut organik nonpolar seperti
benzene atau kloroform (Robinson, 1995).
2. Tanin terkondensasi
Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara
kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan
kemudian oligimer yang lebih tinggi. Proantosianidin merupakan nama lain dari
tanin terkondensasi karena jika direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan
karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin

(Harborne, 1987).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Biosintesa Senyawa Flavonoida dan Tanin
Biosintesis dari flavonoida, stilbene, hidroksisinamat dan asam fenolik meliputi
jaringan yang kompleks berdasarkan prinsip jalur sikimat, phenilpropanoid dan
flavonoid (Gambar 2.3).
Struktur flavonoid (C6- C3- C6) adalah produk dari 2 jalur biosintesis yang
terpisah (Gambar 2.2). Jembatan dan cincin-B aromatik merupakan sintesis unit
phenilpropanoid dari p-kumaril-CoA. Enam karbon dari cincin-A berasal dari
hasil kondensasi dari 3 unit asetat melalui jalur asam malonat. Fusi dari dua
bagian ini merupakan tahap reaksi kondensasi dari p-kumaril-CoA dengan residu
3 malonil CoA yang masing-masing mendonorkan dua atom karbon, didalam
reaksi ini dikatalis oleh chalcone synthase (CHS). Produk dari reaksi ini adalah
naringenin-chalcone. Sedikit modifikasi dalam jalur ini merupakan dalam
produksi isoflavon, seperti daidzein, yang berasal dari isoliquiritigenin tidak
sepertti naringenin-chalcone, kelompok 2’-hidroksil (Dixon, 2004). Bentuk dari
isoliquiritigenin dikatalis oleh chalcone reduktase, sepertienzim NADPH yang
mungkin berinteraksi dengan CHS (Welle and Grisebach,1998). Langkah

selanjutnya dalam jalur biosintesis flavonoid adalah konversi stereospesifik pada
naringenin-chalcone menjadi naringenin oleh chalcone isomerase (CHI). Pada
kacangan, CHI juga mengkatalis konversi dari isoliquritingenin menjadi
liquiritigenin (Forkmann and Heller, 1999). Isomerasi dari naringenin-chalcone
menjadi naringenin adalah sangat cepat daripada isomerasi dari isoliquiritigenin
menjadi liquiritigenin. Sebagi konsekuensi, CHI telah dikelompokkan menjadi 2
kelompok, tipe pertama CHI, yang ditemukan pada legumes dan tidak legumes,
termasuk 2’-deoksi dan 2’-hidrokalkon sebagai substrat (Shimada et al, 2003).
Naringenin adalah perantara utama dari jalur utama biosintesis flavonoid
yang menyimpang menjadi beberapa cabang samping yang menghasilkan kelas
yang berbeda dari flavonoid termasuk isoflavon, flavanon, flavon, flavonol, dan
antosiadin (Gambar 2.2).

Universitas Sumatera Utara

Gambaran sistematik untuk menghasilkan stilbene dan flavonoid dapat dilihat
pada gambar 2.2 dibawah.

Gambar 2.2 Sistematik dari jalur utama dan enzim dalam menghasilkan stilbene
dan flavonoid (Crozier, A, 2006).


Universitas Sumatera Utara

Asam galat dibentuk terutama melalui jalur asam sikimat dari asam 3dehidroksinamat (Gambar 2.3) meskipun ada jalur alternatif dari asam hidroksi
benzoat. Alternatif dari produk fotosintesis yang disalurkan melalui jalur sikimat
adalah untuk asam 3-dehidroksinamat diubah menjadi L-fenilalanin dan dilajutkan
jalur fenilpropanoid (Gambar 2.3). Katalis fenilalanin amonia- liase adalah
langkah awal dari jalur ini, konversi dari L-fenilalanin menjadi asam sinamat,
yang mana reaksi ini dikatalis oleh sinamat 4-hidroksi dikonversi menjadi asam pcoumric yang akan dimetabolime menjadi p-coumaroyl-CoA dengan pcoumaric:CoA ligase. Asam sinamat juga dimetabolisme menjadi asam benzoat
dan asam salisilat dengan katalis asam 2-hidroksi benzoat, muncul hanya untuk
menjadi signifikan dalam tanaman tahan penyakit dimana infeksi menyebabkan
akumulasi dari asam salisilat (Crozier et al, 2000). asam p-coumaric juga di
metabolime melalui jalur dari reaksi hidroksilasi dan metilasi menjadi caffeic,
ferulic, 5- hidroxyferulic dan sinapic acids. Asam sinapic dan ferulic adalah
prekursor dari lignin. Awalnya diperkirakan caffeic acids prekursor dari 5-Ocaffeoylquinic

acids,

komponen


dasar

dari

sayuran

dan

buahbuahan.

Bagaimanapun, studi biologi molekuler terbaru menunjukkan bahwa jalur utama
untuk 5-O- caffeoylquinic acids dan mungkin terkait dengan caffeoylquinic acids,
adalah dari p-coumaroyl-CoA melalui 5-O- caffeoylquinic acids (Gambar 2.3)
(Hoffman et al, 2004). p-coumaroyl-CoA juga penting untuk sintesis dari senyawa
flavonoid dan stilbene (Gambar 2.2).

Universitas Sumatera Utara

Skematis dari jalur utama dalam biosintesa tanin terhidrolisa, asam salisilat,
hidroksinamat, dan asam 5-caffeoylquinic dapat dilihat pada gambar 2.3 dibawah.

Gambar 2.3 Skematis biosintesa dari tanin terhirolisa, asam salisilat,
hidroksinamat, dan asam 5-caffeoylquinic (Crozier, A, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.2.4 Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, umumnya tidak berwarna, dan berwarna jika mempunyai
struktur kompleks dan bercincin aromatik. Alkaloid pada umumnya juga
mempunyai kereaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloida
sering dimanfaatkan sebagai pengobatan. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu
golongan heterogen. Secara fisik, alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan
lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau
pikrat (Harbone, 1987).
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga
adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel
bakteri, sehingga lapisan dinding sel terbentuk secara utuh dan menyebabkan
kematian sel tersebut (Robinson, 1995).
Alkaloid tanaman diturunkan saat ini digunakan secara klinis termasuk
analgesik, agen anti-neoplastik, relaksan otot, antivirus, sitotoksik, antinosiseptik,
antiinflamasi (Seifu et al, 2002)
Menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai berikut :
a. Alkaloid sesungguhnya
Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tesebut menunjukkan aktivitas
phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa ; lazim menggunakan
nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat
dalam tanaman sebagai garam basa organik. Beberapa perkecualian terhadap
aturan tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa
dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloid kuartener yang bersifat agak
asam.
b. Protoalkaloid
Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen asam
amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloid diperoleh
berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Contoh meskalin,
ephedin dan N,N-dimetiltriptamin.

Universitas Sumatera Utara

c. Pseudoalkaloida
Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya
bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloid
stereoidal (contoh konnesin, purin dan kafein ) (Sastrohamidjojo, 1996).
Biosintesa benzilisoquinonlin alkaloid dimulai dengan dekarboksilasi orto
hiroksilasi dan penjumlahan dengan mengubah tirosin dan keduanya antara
dopamin dan 4 hidroksipenilasetaldehid (4-HPAA) (gambat 2.4). molekul klon
untuk aromatik asam L amino dekarboksilase (TYDC) yang diubah oleh tirosin
dan dopa ke masing masing bagian yang akan diisolasi. Norcocluasin mengalami
pendinginan oleh dopamine dan 4-HPAA menjadi (S) –horcocluadin. Pusat
prekursor ke semua benzylisoquinolin alkaloid dalam tanaman (S)-horcoclaudin
diubah menjadi (S) retikulin oleh 6-O metiltransferase (60MT). N-metil
transferase (CNMT) hidroksilase puso (CYP80B) dan 4’-O metiltransferase
(4’OMT). Molekul klon yang telah diisolasi pada setiap enzim yang terlibat
didalamnya mengalami perubahan menjadi (S) norcoclausin ke (S) reikulisin yang
bercabang dalam biosintesa dengan perbedaan oleh benzylisoquinon alkaloid
(Facchini, 2001). Intermediate (S) retikulin juga digunakan sebagai prekursor
lebih dari 270 dimerik bisbenzylisoquinon alkaloid sebagai (+) tubocuranin.
Molekul klon untuk puso tergantung oxida (CYPPOA) yang merupakan pasangan
(R) N metil kockairin menjadi R atau S N metilcoclamin menjadi
bisbenzilisoquinolin alkaloid masing masing diisolasi dari jaringan.Banyak
difokuskan pada cabang bagian benzophenuntridine alkaloid seperti sanguinasin,
protobarbier alkaloid, atau barberin dengan morphinan alkaloid seperti morfin.
Enzim yang sangat berpengaruh dalam kelima molekul klon yang telah diisolasi
(gambar 2.4).Tahap pertama benzopenantridin dan protoberberin biosintesa
alkaloid yang mengubah (S)-retikulin menjadi (S)-scoulerin oleh enzim berberin
(BBE). (S)-Scoulerin dapat diubah menjadi (S)-stylopin oleh dua P450- oxida.

Universitas Sumatera Utara

Biosintesa dari benzylisoquionoline alkaloid dapat ditunjukkan pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Biosintesia dari benzylisoquinoline alkaloid (Crozier, A, 2006).

2.2.5 Terpenoid
Terpenoid adalah merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai
bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan disebut sebagai
minyak atsiri. Minyak atsiri yang berasal dari bunga pada awalnya dikenal dari
penentuan struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom hidrogen
dan atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8 : 5 dan dengan
perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah golongan
terpenoid (Lenny, S, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Terpenoid tumbuhan mempunyai manfaat penting sebagai obat tradisional,
anti bakteri, anti jamur, dan gangguan kesehatan (Thomson, 1993). Beberapa hasil
penelitian

menunjukkan

bahwa

senyawa

terpenoid

dapat

menghambat

pertumbuhan dengan mengganggu proses terbentuknya membran dan atau dinding
sel, membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna
(Ajizah, 2004).
Biosintesis dari terpenoid pada tumbuhan mengikuti jalur asam asetat
mevalonat. Asam asetat yang diaktifkan oleh koenzim A membentuk asetilCoA
dan melakukan reaksi kondensasi dengan asetilCoA yang lain sehingga terbentuk
tiga unit gabungan dari asetilCoA yang selanjutnya diprotonasi membentuk asam
mevalonat. Dengan adanya pirofosfat pada asm mevalonat dapat terjadi pelepasan
komponen CO2 (dekarboksilasi) dan pelepasan OPP- membentuk isopentil
pirofosfat

(IPP)

dengan

isomernya

dimetilalil

pirofosfat

(DMAPP)

(Sjamsul,1986). Proses biosintesis terpenoid dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Biosintesis Isopentil Pirofosfat (IPP) dan Isomernya Dimetilalil
Pirofosfat (DMAPP) (Sjamsul, 1986).

Universitas Sumatera Utara

Langkah selanjutnya antara IPP dan DMAPP terjadi reaksi adisi
membentuk geranil pirofosfat (C10) (Gambar 2.6). Geranil pirofosfat juga
mengalami reaksi adisi dengan satu unit IPP membentuk farsenil pirofosfat (C15).
Farsenil pirofosfat juga mengalami reaksi adisi dengan satu unit IPP membentuk
geranil-geranil pirofosfat (C30) (Sjamsul, 1986).
Biosintesis terpenoid dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Biosintesis terpenoid (Sjamsul, 1986).

2.2.6 Saponin
Saponin merupakan glukosida yang larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut
dalam eter. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas
membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakterilisis, jadi mekanisme kerja
saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang mengganggu pemeabilitas
membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan
menyebabkan keluarnya berbagai kompone penting dari dalam sel bakteri yaitu
protein, asam nukleat dan nukleotida (Ganiswarna, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan awal
dengan menggunakan pelarut (Syamsuni,2006). Zat aktif yang terdapat dalam
simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan alkaloid, flavonoid dan
lain-lain(Depkes, 2000). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan
atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan
(Syamsuni, 2006).
Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat
kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa
pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang
berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut.
Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, begitu juga sebaliknya. Sifat
penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran
senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti OH, COOH, dan lain
sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga (Harbone, 1987).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa
cara :
1. Maserasi
Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil
penarikan simplisia dengan cara maserasi,sedangkan maserasi adalah cara
penarikan simplisia dengan cara merendam simplisia tersebut dalam cairan
penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature
kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes, 2000).
Keuntungan dari metode maserasi yaitu prosedur dan peralatannya sederhana
(Agoes,2007).

Universitas Sumatera Utara

2. Perkolasi
Perkolasi berasal dari kata “colore”,artinya menyerkai dan “per” = through,artinya
menembus. Dengan demikian, perkolasi adalah suatu cara penarikan simplisia
dengan menggunakan alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam
dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes
secara beraturan (Syamsuni,2006). Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan
bahan,

tahap

perendaman

antara,

tahap

perkolasi

sebenarnya

(penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes,2000).
Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari
tumbuhan lebih sempurna, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu
yang lama dan peralatan yang digunakan mahal (Agoes,2007).

3. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama
waktu tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali
ke labu (Depkes, 2000).

4. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan
terdestilasi dari labu menuju pendingin,kemudian jatuh membasahi dan merendam
sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet setelah pelarut mencapau tinggi
tertentu maka akan tirin ke labu destilasi, demikian berulang-ulang (Depkes,
2000)

5. Infudasi
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air atau bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih pada temperatur 96 o C selama 15-20
menit (Depkes, 2000).

6. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur
sampai titik didih air (Depkes, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Radikal bebas
Radikal bebas adalah atom atau senyawa yang kehilangan pasangan elektronnya
(Kumalaningsih, 2006). Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil
dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan
pada orbital terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal
bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh pasangan
elektron (Maulida, 2010). Radikal bebas dapat dihasilkan dari metabolisme tubuh
sendiri, dan bisa pula lewat eksternal seperti lingkungan sekitar kita (Iswari,
2011).
Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul dan
berlansung terus menerus. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk
hidup antara lain adalah golongan hidroksil (OH-), superoksidan (O2-), nitrogen
monooksida (NO), peroksida (RO2-), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit
(HOCl) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Silalahi, 2006). Radikal bebas dalam
jumlah berlebih didalam tubuh sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan
sel, asam nukleat, protein, dan jaringan lemak (Dalimartha dan Soedibyo, 1998).
Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis. Karena itu,
dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi penyakit itu untuk menjadi nyata. Contoh
penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan jantung,
kanker, katarak dan menurunnya fungsi ginjal. Untuk mencegah atau mengurangi
penyakit karena radikal bebas diperlukan antioksidan (Iswari, 2011).

2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi
berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006).
Ciri utama senyawa antioksidan adalah kemampuannya dalam meredam
radikal bebas. Radikal bebas merupakan senyawa yang mengandung elektron
tidak berpasangan yang bertindak sebagai akseptor elektron. Radikal bebas ini
berbahaya karena sangat reaktif mencari pasangan elektronnya. Radikal bebas ini
memerlukan elektron yang berasal dari pasangan elektron molekul sekitarnya.

Universitas Sumatera Utara

Radikal bebas yang terbentuk dalam tubuh akan menghasilkan radikal
bebas yang baru melalui reaksi berantai yang akhirnya jumlahnya terus bertambah
dan menyerang tubuh, proses ini akan berlangsung secara berantai dan
menyebabkan kerusakan biologi (Kalt, 1999). Radikal bebas dapat terbentuk
akibat hilangnya maupun penambahan elektron dilintasannya pada saat
terputusnya

ikatan

kovalen

atom

dan

molekul

bersangkutan

sehingga

menyebabkan instabilitas dan bersifat sangat reaktif. Susunan elektron yang tidak
lengkap menyebabkan atom atau molekul sangat terpengaruh oleh medan magnet.
Energi untuk memutuskan ikatan kovalen berasal dari panas, radiasi
elektromagnetik atau reaksi redoks berlebihan. Hilang atau bertambahnya satu
elektron pada molekul lain menyebabkan terjadinya radikal bebas baru dan
mengakibatkan perubahan dramatis secara fisik dan kimiawi dalam tubuh
manusia. Mula-mula diransang (initiation) terjadinya radikal bebas, kemudian
radikal bebas cenderung bertambah banyak membentuk (propagasi) rantai reaksi
dengan molekul lain. Senyawa reaksi berantai ini mempunyai massa paruh yang
lebih panjang dan potensial menyebabkan kerusakan sel. Fase inisiasi dan
propagasi dapat dinetralisir oleh antioksidan yang berasal dari endogen dan
eksogen (Kosasih, 2004).
Menurut Kosasih (2004), antioksidan tubuh dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
1. Antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah pembentuk senyawa
radikal baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul
yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat
bereaksi.
Contoh : enzim superoksida dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai
pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh karena radikal bebas.
2. Antioksidan sekunder adalah senyawa yang berfungsi menangkap senyawa
serta mencegah terjadinya reaksi berantai.
Contoh: Vitamin E, C dan beta karoten yang diperoleh dari berbagai buah.
3.

Antioksidan tersier adalah senyawa yang memperbaiki kerusakan sel-sel dan
jaringan yang disebabkan radikal bebas.
Contoh: Enzim metionin sulfoksidan reduktase untuk memperbaiki DNA
pada inti sel.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan sumbernya antioksidan terbagi atas,yaitu :
a. Antioksidan alami
Merupakan antioksidan yang merupakan hasil dari ekstraksi bahan alami.
Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang
sudah ada dari 1 atau 2 komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk
dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa antioksidan yang diisolasi
dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan.
b. Antioksidan sintetik
Adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil reaksi kimia. Contoh antioksidan
sintetik yang diijinkan untuk makanan dan sering digunakan, yaitu butil hidroksi
anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidroksi quinon
(TBHQ), dan tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan
alami yang telah diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial.
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu:
1. Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-pikril-hydrazyl)
DPPH merupakan suatu radikal bebas yang stabil karena mekanisme delokalisasi
elektron bebas oleh molekulnya, sehingga molekul ini tidak mengalami reaksi
dimerisasi yang sering terjadi pada sebagian besar radikal bebas lainnya.
Delokalisasi juga memberikan efek warna ungu pada panjang gelombang 517 nm
dalam pelarut etanol (Hirota et al, 2000). DPPH sering digunakan sebagai salah
satu metode untuk mengukur aktivitas antioksidan. Prinsipnya adalah reaksi
penangkapan hidrogen oleh DPPH dari zat antioksidan (Apak et al, 2007). DPPH
yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan,
sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat nonradikal yang tidak berbahaya. Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine akan
ditandai dengan berubahnya warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat
(Molyneux, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Mekanisme penghambatan radikal DPPH dapat dilihat pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Mekanisme Penghambatan Radikal DPPH (Silalahi, 2006).

Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan inkubasi DPPH
dengan ekstrak selama 30 menit sehingga menghasilkan larutan ungu yang lebih
memudar kemudian dilakukan pengukuran panjang gelombang pada 517 nm
(Mosquera, 2007).
Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor
Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau
sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin
besar aktivitas antioksidan makan nilai IC50 akan semakin kecil. Suatu senyawa
antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50-nya semakin kecil (Molyneux, 2004).
2. Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power )
Pengujian aktivitas antioksidan dengan metode FRAP (Ferric Reducing
Antioxidant Power ) didasarkan atas kemampuan senyawa antioksidan dalam

mereduksi senyawa besi(III)-tripridil-triazin menjadi besi(II)-tripiridil triazin pada
pH 3,6. Pengukuran FRAP memberikan urutan respon yang sama dengan metode
CUPRAC. Namun hasilnya menunjukkan aktivitas yang lebih kecil dibandingkan
dengan data pengujian CUPRAC ataupun DPPH. Hal ini diduga karena larutan
FRAP bersifat kurang stabil sehingga harus dibuat secara in time dan harus segera
dipergunakan (Widyastuti, 2010). Reaksinya sebagai berikut :
Fe(TPTZ)23+ + ArOH

Fe(TPTZ)22+ + H+ + Ar=O
(Benzie et al, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Ou et al. (2002), pengukuran antioksidan dengan metode FRAP
dapat berjalan akurat apabila dilakukan pada senyawaan antioksidan yang bisa
mereduksi Fe(III)TPTZ pada kodisi reaksi secara termodinamika dan memiliki
laju reaksi yang cukup cepat (Widyastuti, 2010).
3. Metode CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capacity)
Prinsip dari uji CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capasity) adalah
pembentukan kelat oleh bis (neokropin) tembaga (II) menggunakan pereaksi
redoks kromogenik pada pH 7. Absorbansi dari pembentukan kelat Cu(I)
merupakan hasil reaksi redoks dengan mereduksi polifenol yang diukur pada
panjang gelombang 450 nm. Reaksinya sebagai berikut :
nCu(Nc)22+ + Ar(OH)n

nCu(Nc)2+ + Ar(=O)n + nH+
(Apak et al, 2007)

Kelebihan dari metode CUPRAC adalah pereaksi yang digunakan cukup
cepat bekerja, selektif, lebih stabil, mudah didapatkan dan mudah untuk
diaplikasikan (Erawati, 2002)
Beberapa

nilai

IC50

untuk

Asam askorbat

:1,96+/-0,013

Alpa-tokoferol

:7,3+/-0,308

Sayur-sayuran

:4,7

Gamma oryzanol

:50+/-0,0408

Pohon pinus OPC

:4,0–13,5

Quercetin

:2,457+/-0,192

senyawa

antioksidan

(mg/mL):

:

Asam ferulat (FRAC) :31,3 +/-0,327
Hesperidin

:>500 (Ronald,2004)

2.6 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektometer dan fotometer.
Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan
atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi
secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan
sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan
elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UVVis biasanya digunakan untuk molekul atau ion anorganik atau kompleks di
dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit
informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi
spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari
analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang
gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Berr. Sinar ultraviolet
berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada
panjang gelombang 400-800 nm (Rohman, 2007).
Prinsip dari alat ini radiasi pada rentang panjang gelombang 400-800 nm
dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektron-elektron pada ikatan didalam
molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih
tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi yang melewati larutan
tersebut. Semakin longgar elektron tersebut ditahan di dalam ikatan molekul,
semakin panjang gelombang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap
(Dachriyanus, 2004).

2.7 Bakteri
Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata,tetapi
dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Ukuran bakteri berkisar antara panjang
0,5 sampai 10µ dan lebar 0,5 sampai 2,5µ (µ = 1 mikron = 0,001mm) tergantung
dari jenisnya. Bakteri terdapat secara luas dilingkungan alam yang berhubungan
dangan hewan, udara, air dan tanah (Buckle, 2007).
Mikroorganisme memang peranan penting dalam menganalisis sistem
enzim dan dalam mengalisis komposisi suatu makanan. Bakteri merupakan
organisme yang sangat kecil (berukuran mikroskopis). Bakteri rata-rata berukuran
lebar 0,5 – 1 mikron dan panjang hingga 10 mikron (1 mikron - ͳͲଷ mm). Untuk
melihat bakteri dengan jelas, tubuhnya perlu diisi dengan zat warna, pewarna ini
disebut pengecatan bakteri.

Universitas Sumatera Utara

Cat yang umum dipakai adalah cat Gram. Diantara bermacam-macam
bakteri yang dicat, ada yang dapat menahan zat warna ungu dalam tubuhnya
meskipun telah didekolorisasi dengan alkohol dan aseton. Dengan demikian tubuh
bakteri itu tetap berwarna ungu meskipun disertai dengan pengecatan oleh zat
warna kontras, warna ungu itu tetap dipertahankan. Bakteri yang memberikan
reaksi semacam ini dinamakn bakteri Gram positif. Sebaliknya,

bakteri

yang

tidak dapat menahan zat warna setelah didekolorisasi dengan alkohol akan
kembali menjadi tidak berwarna dan bila diberikan pengecatan dengan zat warna
kontras,akan berwarna sesuai dengan zat warna kontras. Bakteri yang
memperlihatkan reaksi semacam ini dinamakan bakteri Gram negatif (Irianto,
2006).
Kelompok mikroorganisme yang paling penting dan beraneka ragam, yang
berhubungan dengan makanan dan manusia adalah bakteri. Adanya bakteri dalam
bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan yang tidak diinginkan atau
menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Bakteri adalah
mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata (Buckle, 2007).
Berdasarkan perbedaan respons terhadap prosedur pewarnaan gram dan
strktur dinding bakteri, bakteri diklasifikasikan menjadi bakteri gram negatif dan
bakteri gram positif.

2.7.1 Bakteri gram positif
Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap penisilin, tetapi lebih tahan
terhadap perlakuan fisik dibandingkan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif
sering berubah sifat pewarnaannya sehingga menunjukkan reaksi gram variabel.
Sebagai contoh, kultur gram positif yang sudah tua dapat kehilangan
kemampuannya untuk menyerap pewarna violet kristal sehingga dapat berwarna
merah seperti bakteri gram negatif. Perubahan tersebut dapat juga disebabkan oleh
perubahan kondisi lingkungan atau modifikasi teknik pewarnaan (Fardiaz, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Ciri-cirinya:






Dinding sel mengandung peptidoglikan yang tebal serta diikuti pula
dengan adanya ikatan benang-benang teichoic dan teichoronic acid
Pada umunya berbentuk bulat (coccus)
Pada perwarnaan gram, bakteri jenis ini berikatan dengan zat warna utama
yaitu gentian violet dan tidak luntur bila dicelupkan kedalam larutan



alkohol
Dibawah mikroskop tampak berwarna ungu (Nasution, 2014).

Contoh dari bakteri gram positif :
Staphylococcus Aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat

berdiameter 0,7-1,2 µm,tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur,fakultatif anaerob,tidak membentuk spora,dan tidak bergerak.
Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ̊C,tetapi membentuk pigmen paling
baik pada suhu kamar (20-25 ̊C) (Jawetz et al, 1994).
Staphylococcusaureus adalah bakteri genus kokus Gram-positif utama penyebab

penyakit. Bakteri ini bersifat positi-koagulase (memulai pembentukan bekuan
fibrin), β-hemolitik, dan toleran garam (halodurik). Staphylococcus aureus
memiliki protein A pada permukaannya, yang mengikat Fc Ig (menghambat
fagositosis),

menghasilkan

pigmen

kuning

dan

mungkin

memproduksi

eksotoksinStaphylococcus aureus berdiam di mukosa hidung manusia atau di
kulit; kuman ini menyebar melalui tangan, bersin dan lesi kulit (Hawley, 2003).
Gambar bakteri Staphylococcus aureus pada gambar 2.8 dibawah ini.

Gambar 2.8 Bakteri Staphylococcus aureus (Hawley, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus terdiri atas
empat jenis :Keracunan makanan Staphylococcus aureus dari enterotoksin stabil
terhadap panas yang terjadi akibat makanan yang kurang mendapat pendinginan
dan tercemar oleh Staphylococcus aureus (misal, ham, daging yang diasinkan atau
dikalengkan, kue custard, atau salad kentang). Ingesti toksin menyebabkan nyeri
abdomen, muntah dan diare dengan onset cepat (1-6 jam) dan Infeksi kulit atau
subkutis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus sering muncul sebagai
nyeri dan panas, kemerahan dan pembengkakan subkutis. Pembedahan atau
neutropenia merupakan faktor predisposisi. Infeksi dapat menyebabkan penyakit
kulit eksfoliativa (scalded skin syndrome) bila strainnya menghasilkan
eksofoliatin. Impetigo stafilokokus umumnya menimbulkan bula (vesikel besar)
(Hawley, 2003).

2.7.2 Bakteri gram negatif
Bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti streptomisin
dan bersifat lebih konstan terhadap reaksi pewarnaan (Fardiaz, 1992). Dinding sel
bakteri gram negatif tersusun atas satu lapisan peptidoglikan dan membran luar.
Dinding selnya tidak mengandung teichoic acid. Membran luar terususun atas
lipopolisakarida, lipoprotein dan pospolipid (Tortora, 2001).
Ciri-cirinya:


Mengandung sedikit sekali peptidoglikan dan tidak terdapat ikatan



benang-benang teichoic acid dan teichoronic acid



basillus sereus

Pada umunya berbentuk batang (basil) kecuali basillus antharias dan

Pada pewarnaan gram, bakteri jenis ini tidak mampu berikatan dengan zat
warna utama yaitu gentian violet dan luntur bila dicelupkan kedalam



larutan alkohol
Dibawah mikroskop tampak berwarna merah (Nasution, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Contoh bakteri gram negatif :
Escherichia coli

Escherichia berbatang pendek.Habitat utamanya adalah usus manusia dan hewan.
Escherichia coli dipakai sebagai organisme indikator, karena jika terdapat dalam
jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami
pencemaran (Gaman, 1992).

Beberapa perbedaan sifat yang dapat dijumpai antara bakteri gram positif dan
bakteri gram negatif dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1 Perbedaan bakteri gram positif dan gram negatif :
Perbedaan

Bakteri gram

Bakteri gram

Positif

Negatif

Lapisan peptidoglikan

Lebih tebal

Lebih tipis

Kadar Lipid

1-4%

11-12%

Resistensi terhadap alkali KOH 1%

Tidak larut

Larut

Kepekaan terhadap Iodium

Lebih peka

Kurang peka

Toksin yang dibentuk

Eksotoksin

Endotoksin

Resistensi terhadap tellurit

Lebih tahan

Lebih peka

Sifat tahan asam

Ada yang

Ada

tahan asam

tahan asam

Kepekaan terhadap penisilin

Lebih peka

Kurang peka

Kepekaan terhadap Streptomisin

Kurang peka

Peka

Dinding sel :

yang

tidak

(Syahrurachaman, dkk., 1993).

Universitas Sumatera Utara

Dari tabel diatas didapatkan komponen penyusun dinding sel bakteri gram negatif
dan positif yang ditunjukkan pada gambar 2.9 dibawah ini.

Gambar 2.9 Diagram perbandingan dinding sel bakteri gram positif dan gram
negatif (Talaro, K, P, 2008).

2.7.3 Pengukuran Aktivitas Antibakteri
Penentuan kerentanan patogen bakteri terhadap obat-obatan antimikroba dapat
dilakukan dengan salah satu metode utama yaitu dilusi atau difusi. Metodemetode tersebut dapat dilakukan untuk memperkirakan baik potensi antibiotik
dalam sampel maupun kerentanan mikroorganisme dengan menggunakan
organisme uji standar yang tepat dan sampel obat tertentu untuk perbandingan.
Metode-metode utama yang dapat digunakan adalah :
a.Metode Dilusi
Sejumlah antimikroba dimasukkan kedalam medium bakteriologi padat atau cair.
Biasanya digunakan pengenceran dua kali lipat zat antimikroba. Medium akhirnya
diinokulasikan dengan bakteri yang diuji dan diinokulasi. Tujuan akhirnya adalah
mengetahui seberapa banyak jumlah antimikroba yang diperlukan untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang diuji. Uji kerentanan
dilusi agar membutuhkan waktu yang lama.

Universitas Sumatera Utara

b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar dengan
menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini
adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi
zat yang bersifat antibakteri di dalam media padat melalui pencadang. Daerah
hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih disekitar cakram. Luas daerah
hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin kuat daya
aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode ini
dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya : pH, suhu, zat inhibitor,
sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas dari bahan
obat (Jawetz et al, 2001).

2.7.4 Mekanisme Kerja Antibakteri
Mekanisme antibakteri senyawa fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu
dengan mendenaturasi protein sel. Ikatan hidrogen yang terbentuk antara fenol
dan protein mengakibatkan struktur protein menjadi rusak. Ikatan hidrogen
tersebut yang mempengaruhi permebilitas dinding sel dan membran sitoplasma
sebab keduanya tersusun atas protein. Permebialitas dinding sel dan membran
sitoplasma yang terganggu dapat menyebabkan ketidakseimbangan makromolekul
dan ion dalam sel, sehingga menjadi lisis (Rijayanti, 2014).
Mekanisme kerja antibakteri dapat dibagi menjadi 5 tahap yaitu sebagai berikut :
a. Inhibitor Sintesis Dinding Sel
Kerusakan dinding sel atau penghambatan pada pembentukannya dapat
menyebabkan sel menjadi lisis. Dinding sel bakteri terdiri dari peptidoglikan yang
merupakan komples mukopeptida (glikopeptida). Zat antibakteri menghambat
sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri dengan menghambat kerja enzim
tranpeptidase dan enzim rasemase alanin atau dengan menghambat sintesa asam
muramat. Senyawa penisilin dan sefalosforin yang secara struktur mirip dan
senyawa-senyawa yang tidak mirip seperti siklorin, vankomisin, dan basitrain
merupakan zat antibakteri yan bekerja menghambat sintesis dinding sel (Setiabudi
dan Gan, 1995).

Universitas Sumatera Utara

b. Inhibitor Fungsi Membran sel
Biasanya merupakan senyawa yang bekerja langsung pada membran sel
mikroorganisme, mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan kebocoran
senyawa-senyawa intraseluler. Dalam hal ini termasuk senyawa yang bersifat
detergen seperti polimiksin dan amfoterisin B yang berikatan dengan sterl-sterol
dinding sel (Chamber, 2007). Kerusakan membran sel akan mengakibatkan
keluarnya berbagai komponen penting dalam sel bakteri yaitu protein, asam
nukleat dan lain-lain (Setiabudy dan Gan, 1995).
c. Inhibitor Sintesis Protein Sel
Unit ribosom pada bakteri adalah 30S dan 50S. Sintesis protein dihambat dengan
mempengaruhi fungsi subunit ribosom 30S dan 50S sehingga menyebabkan
penghambatan sintesis protein yang reversibel dan mengakibatkan kematian sel.
Obat bakteriostatik ini meliputi kloramfenikol, golongan tetrasiklin, eritromisin,
dan klindamisin (Setiabudy dan Gan, 1995).
d. Inhibitor Sintesis Asam nukleat
Antibakteri yang tergolong dalam kelompok ini adalah golongan kuinolon dan
rifampin. Dalam hal ini, derivat rifampin akan berikatan dengan enzim
polimerisasi-RNA (pada sub unit) sehingga menghambat sintesis RNA oleh enzim
tersebut. Sementara asam nalidiksat bekerja dnegan mengganggu sintesin DNA
(Bilbiana dan Hastowo, 1992).
e. Inhibitor Metabolisme Sel Bakteri
Dalam kelompok ini termasuk sulfonamida. Pada umumnya bakteri memerlukan
para-aminobenzoat (PABA) untuk sintesis asam folat yang diperlukan dalam
sintesis purin. Sulfonamida memiliki struktur seperti PABA, sehingga
penggunaan sulfonamida menghasilkan asam folat yang tidak berfungsi (Bilbiana
dan Hastowo, 1992).

Universitas Sumatera Utara