Strategi Pola Pengembangan Usaha Kecil Menengah pada Pusat Industri Kecil (PIK) Medan

BAB II
KERANGKA TEORI

2.1. Pengertian Konsep Usaha Kecil Menengah
Beberapa pihak telah berupaya untuk memberikan definisi yang tepat
untuk “usaha kecil”. Hal ini penting karena hingga saat ini kriteria yang
digunakan untuk mendefenisikan usaha kecil masih beragam karena masih sering
terjadi pengertian tumpang tindih usaha kecil. Pengertian usaha kecil secara jelas
tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995, yang menyebutkan bahwa usaha kecil
adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta (tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp1.000.000.000 (Tulus T.H. Tambunan 2002:49). Definisi yang tercantum
dalam undang-undang ini adalah definisi yang paling banyak digunakan oleh
badan/lembaga yang terkait dengan usaha kecil. Kementerian Negara Koperasi &
UKM

menggunakan

undang-undang

tersebut


sebagai

dasar

dalam

mengelompokkan jenis-jenis usaha Menurut Kementerian ini, kelompok usaha
mikro termasuk di dalam kelompok usaha kecil. Selain itu Departemen Keuangan
seperti yang tercantum dalam keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
No 40/KMK.06/2003, menitikberatkan pada besarnya hasil/pendapatan usaha
dalam mendefinisikan usaha kecil. Menurut keputusan tersebut usaha kecil adalah
usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan
memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100.000.000.- per tahun (Departemen
Keuangan dan BI).

11
Universitas Sumatera Utara

12


BPS memberikan batasan jumlah tenaga kerja dalam menentukan
skala usaha terutama di sektor industri, yaitu industri kerajinan rumah tangga
(IKRT) dengan 1-4 pekerja, dan industri kecil (IK) dengan 5-19 pekerja termasuk
pemiliknya (Suryana, 2003:87). Departemen Perindustrian dan Perdagangan juga
membagikan batasan yang sama dalam membagi skala usaha, yaitu industri
dagang mikro (1-4 pekerja), industri dagang kecil (5-19 pekerja), dan industri
dagang menengah (20-99 Pekerja). Kriteria lain untuk industri dan dagang kecil
(termasuk mikro) adalah dari jumlah penjualan per tahun sebesar < Rp. 1 milyar.
Sementara itu pengertian usaha mikro menurut lembaga-lembaga
internasional adalah usaha non pertanian dengan jumlah pekerja maksimal l0
orang (termasuk wirausaha, pekerja magang, pekerja upahan dan pekerja yang
tidak dibayar karena termasuk anggota keluarga), menggunakan teknologi
sederhana dan tradisional, memiliki keterbatasan akses terhadap kredit,
mempunyai kemampuan managerial rendah dan cenderung beroperasi di sektor
informal (ILO, ABD and USAID).
Usaha kecil juga sering diidentikkan dengan industri rumah tangga
karena sebagian besar kegiatan dilakukan di rumah, menggunakan teknologi
sederhana atau tadisional, mempekerjakan anggota keluarga dan berorientasi pada
pasar lokal (Farbman dan Lessik 105-122). Kegiatan usaha seperti ini banyak

ditemukan di negara-negara berkembang dan berperan cukup besar dalam
menciptakan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.

Di Indonesia,

usaha kecil mulai mendapat perhatian besar ketika mampu bertahan bahkan
berperan sebagai “katup pengaman” ketika terjadi krisis ekonomi. Perhatian dari

Universitas Sumatera Utara

13

berbagai pihak ini diantaranya terlihat dari meningkatnya jumlah kredit yang
disalurkan kepada usaha mikro dari tahun ke tahun. Renald Kasali (2005:15)
mengungkapkan bahwa Pemerintah Negara Kanada merupakan salah satu contoh
pemerintah yang serius dalam membangun kewirausahaan (usaha kecil), kecuali
ekonominya sudah sangat maju.
Konsep Usaha Kecil Menengah pertama kali digunakan oleh Keith
Hart dalam penelitian di suatu kota di Ghana (Justin G.L., Carlos W. Moore,
J.William Petty 2001:467). Kemudian konsep Usaha Kecil Menengah

dikembangkan oleh ILO dalam berbagai penelitian di Dunia ketiga. Konsep
tersebut digunakan sebagai penjelas kemiskinan di Dunia Ketiga dalam
hubungannya dengan pengangguran, migrasi dan urbanisasi (Effendi, 1993:17).
Menurut Wirjosardjono (1985:5), sektor informal, yaitu sebagai
kegiatan ekonomi yang bersifat margial (kecil – kecilan) yang mempunyai ciri –
ciri :
“Kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan
bersifat harian, tempat tidak tetap, berdiri sendiri, berlaku dikalangan
masyarakat berpenghasilan rendah, tidak dibutuhkan keahlian dan
keterampilan khusus, lingkungan kecil/keluarga, dan tidak mengenal
sistem perbankan, pembekuan maupun perkreditan”.
Sedangkan ciri – ciri Usaha Kecil Menengah menurut Hidayat (1978:11)
sebagai berikut :
Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya unit
usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor
formal.

Universitas Sumatera Utara

14


1. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.
2. Pola kegiatan usaha tidak beraturan, baik dalam arti lokasi maupun jam
kerja.
3. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan
ekonomi lemah tidak sampai kesehatan sektor ini.
4. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub sektor ke sub sektor lain.
5. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.
6. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga
relatif kecil.
7. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena
pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
8. Pada umumnya unit usaha termasuk dalam golongan yang mengerjakan
sendiri usahanya, dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga.
9. Sumber dana keuangan umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari
lembaga keuangan yang tidak resmi.
10. Hasil produksi atau jasa terutama dikomunikasikan oleh golongan kota
atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang – kadang juga
berpenghasilan menengah.
Sektor informal di daerah perkotaan dapat ditelaah dengan berdasarkan

data sensus yang ciri – cirinya dapat diuraikan (dalam Kasto, 1995:17) sebagai
berikut :
1. Berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain :

Universitas Sumatera Utara

15

-

Tukang becak yang membawa becak atas resiko sendiri.

-

Sopir taksi yang membawa mobil atas resiko sendiri.

-

Kuli – kuli di pasar, stasiun atau tempat lainnya yang tidak mempunyai
majikan tertentu.


2. Berusaha dengan dibantu oleh anggota keluarga/buruh tidak tetap :
-

Pengusaha warung yang dibantu oleh anggota rumah tangga atau buruh
tidak tetap.

-

Penjaja keliling yang dibantu anggota rumah tangga atau seseorang yang
diberi upah hanya saat membantu saja.

-

Petani yang mengusahakan tanah pertaniannya dengan dibantu oleh
anggota rumah tangga.

3. Pekerja keluarga, adalah mereka yang bekerja untuk membantu seseorang
untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan dengan tidak mendapat upah
baik berupa uang atau barang :

-

Anak yang membantu melayani di warung orang tuanya

-

Istri yang membantu suami di sawah

2.2. Konsep Manajemen Strategis
Manajemen Strategis merupakan rangkaian dua perkataan terdiri dari
kata “Manajemen” dan “Stratejik” yang masing-masing memiliki pengertian
tersendiri yang setelah dirangkaikan menjadi satu terminology berubah dengan
memiliki pengertian tersendiri pula. Perkataan “manajemen” tidak akan dibahas
lagi, karena telah diketengahkan pengertiannya pada bagian awal buku ini. Sedang
perkataan “stratejik” meskipun secara umum telah banyak dipergunakan, masih

Universitas Sumatera Utara

16


perlu diperjelas pengertiannya, agar jika dirangkaikan dengan perkataan
manajemen menjadi “Manajemen Stratejik”, akan lebih mudah memahaminya.
Strategi

adalah

sebuah

rencana

yang

komprehensif

yang

mengintegrasikan segala “resources” dan “capabilities” yang mempunyai tujuan
jangka panjang untuk memenangkan kompetisi. Jadi strategi adalah rencana yang
mengandung cara komprehensif dan integrative yang dapat dijadikan pegangan
untuk bekerja, berjuang dan berbuat guna memenangkan kompetisi. Winardi

mengemukakan

bahwa

strategi

merupakan

pola

atau

rencana,

yang

mengintegrasikan tujuan – tujuan pokok suatu organisasi, kebijakan- kebijakan
dan tahapan – tahapan kegiatan ke dalam suatu keseluruhan yang bersifat kohesif
(Prof. Dr. J. Winardi, SE, 2003:110).
Pada pembahasannya perkataan “stratejik” sulit untuk dibantah bahwa

penggunaannya diawali atau bersumber dari dan populer di lingkungan militer. Di
lingkungan tersebut penggunaannya lebih dominan dalam situasi peperangan,
sebagai tugas seorang Komandan dalam menghadapi musuh, yang bertanggung
jawab mengatur cara atau taktik untuk memenangkan peperangan. Tugas itu
sangat penting yang dalam arti sangat strategis bagi pencapaian kemenangan
sebagai tujuan peperangan. Oleh karena itu jika keliru dalam memilih dan
mengatur cara dan taktik sebagai strategi peperangan, maka nyawa prajurit akan
menjadi taruhannya. Dengan demikian yang dimaksud strategi dalam peperangan
adalah pengaturan cara untuk memenangkan peperangan. Di samping itu secara
lebih jelas perkataan “strategi sebagai teknik dan taktik dapat diartikan juga
sebagai kiat seorang Komandan untuk memenangkan peperangan yang menjadi

Universitas Sumatera Utara

17

tujuan utamanya”. Kondisi itu menunjukkan bahwa selain strategi, ternyata
terdapat unsur tujuan mengembangkan peran yang sangat penting pengaruh dan
peranannya dalam memilih dan mengarahkan strategi peperangan, sehingga
disebut sebagai “Tujuan Stratejik”.
Sejalan dengan uraian di atas, dari sudut etimologis (asal kata), berarti
penggunaan kata “stratejik” dalam manajemen sebuah organisasi, dapat diartikan
sebagai kiat, cara dan taktik utama yang dirancang secara sistematik dalam
melaksanakan fungsi – fungsi manajemen, yang terarah pada tujuan stratejik
organisasi. Rancangan yang bersifat sistematik itu, dilingkungan sebuah
organisasi disebut “Perencanaan Stratejik”. Dalam perjalanan sejarahnya
dilingkungan organisasi profil dan non profil pengertian Manajemen Stratejik
ternyata telah semakin berkembang “Sebagai ilmu tentang perumusan,
pelaksanaan

dan

evaluasi

keputusan



keputusan

lintas

fungsi

yang

memungkinkan organisasi mencapai tujuan. Tahapan Manajemen Strategis terdiri
atas perumusan strategi, pelaksanaan strategi dan evaluasi strategi” (Fred R.
David, 2004:6).
Dari pengertian tersebut terdapat beberapa aspek penting, antara lain :
1. Manajemen Stratejik merupakan proses pengambilan keputusan. Bagaimana
prosesnya berlangsung dapat dilakukan dengan mengimplementasikan teori
spektrum pengambilan keputusan yang telah diuraikan terdahulu.
2. Keputusan yang ditetapkan bersifat mendasar dan menyeluruh yang berarti
berkenan dengan aspek – aspek yang penting dalam kehidupan sebuah

Universitas Sumatera Utara

18

organisasi,

terutama

tujuannya

dan

cara

melaksanakan

atau

cara

pencapaiannya.
3. Pembuatan keputusan tersebut harus dilakukan atau sekurang – kurangnya
melibatkan pimpinan puncak, sebagai Penanggung jawab utama pada
keberhasilan atau kegagalan organisasinya.
4. Pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi untuk mencapai
tujuan stratejiknya dilakukan oleh seluruh jajaran organisasi, dalam arti
seluruhnya harus mengetahui dan menjalankan peran sesuai wewenang dan
tanggung jawab masing-masing.
5. Keputusan yang ditetapkan manajemen puncak yang harus diimplementasikan
oleh seluruh jajaran organisasi dalam bentuk kegiatan atau pelaksanaan
pekerjaan yang terarah pada tujuan stratejik organisasi.
Pengertian lain mengatakan bahwa Manajemen stratejik adalah
“Usaha

managerial

menumbuhkembangkan

kekuatan

organisasi

untuk

mengeksploitasi peluang yang muncul guna mencapai tujuannya yang telah
ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan.
Dari pengertian tersebut terdapat konsep yang secara relatif lebih luas
dari pengertian pertama yang menekankan bahwa “Manajemen Stratejik”
merupakan usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi”, yang
mengharuskan manajer puncak dengan atau tanpa bantuan manajer bawahannya,
untuk mengenali aspek – aspek kekuatan organisasi yang sesuai dengan misinya
yang harus ditumbuhkembangkan, guna mencapai tujuan stratejik yang telah

Universitas Sumatera Utara

19

ditetapkan. Untuk itu setiap peluang atau kesempatan yang terbuka harus
dimanfaatkan secara optimal.
Pengertian yang ketiga mengatakan bahwa “Manajemen Stratejik
adalah arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada pengembangan suatu
strategi atau strategi – strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan
organisasi”.
Pengertian ini menekankan bahwa arus keputusan dari para pemimpin
organisasi dan tindakan berupa pelaksanaan keputusan, harus menghasilkan satu
atau lebih strategi dengan memilih yang paling efektif atau yang paling handal
dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Pengertian keempat mengatakan bahwa:
“Manajemen Stratejik adalah perencanaan berskala besar (disebut
perencanaan stratejik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang
jauh (disebut VISI) dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak
(keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan
menghasilkan sesuatu secara efektif (disebut MISI) dalam usaha
menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional untuk menghasilkan
barang dan atau jasa serta pelayanan) yang berkualitas dengan diarahkan
berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi”.
Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa Manajemen Stratejik
merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen
yang paling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak
ke arah yang sama pula. Komponen pertama adalah perencanaan stratejik dengan
unsur – unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Stratejik dan Strategi Utama
(Induk) organisasi. Sedang komponen kedua adalah Perencanaan Operasional
dengan unsur – unsurnya sasaran atau tujuan operasional, pelaksanaan fungsi –
fungsi

manajemen

berupa

fungsi

pengorganisasian,

fungsi

pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

20

situasional, jaringan kerja (Network) inter dan eksternal, fungsi kontrol dan
evaluasi umpan balik.
Disamping itu dari pengertian Manajemen Stratejik yang terakhir dapat
disimpulkan beberapa karakteristik sebagai berikut :
1. Manajemen Stratejik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar
dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang
dituangkan dalam bentuk Rencana Stratejik (RENSTRA) yang dijabarkan
menjadi Perencanaan Operasional (RENOP) yang kemudian dijabarkan pula
dalam bentuk Program Kerja dan Proyek tahunan.
2. Rencana Stratejik berorientasi pada jangkauan masa depan, untuk organisasi
profit kurang lebih sampai 10 tahun mendatang, sedang untuk organisasi non
profit khususnya di bidang pemerintahan untuk satu generasi, kurang lebih
untuk 25-39 tahun. Misalnya Negara Indonesia sebagai sebuah organisasi non
profit berskala besar merumuskan Rencana Stratejiknya dalam bentuk Garis –
Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sedang Rencana Operasionalnya
ditetapkan untuk setiap tahun yang disebut Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA) sebagai rencana jangka sedang dan terakhir dijabarkan
menjadi rencana jangka pendek dalam bentuk Program dan Proyek Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai Rencana Tahunan.
3. VISI, MISI pemilihan strategi yang menghasilkan Stratejik Induk (Utama) dan
Tujuan Stratejik Organisasi untuk jangka panjang merupakan acuan dalam
merumuskan

Rencana

Stratejik

(RENSTRA),

namun

dalam

teknik

Universitas Sumatera Utara

21

penempatannya sebagai keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua
acuan tersebut terdapat didalamnya.
4. RENSTRA dijabarkan menjadi Rencana Operasional (RENOP) yang antara
lain berisi program – program termasuk proyek – proyek, dengan sasaran
jangka masing-masing juga sebagai keputusan Manajemen Puncak.
5. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak
karena sifatnya sangat mendasar atau prinsipil dalam pelaksanaan seluruh
Misi organisasi, untuk mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan
eksistensinya jangka sedang termasuk panjangnya.
6. Pengimplementasian Strategi dalam program - program termasuk proyek –
proyek untuk mencapai sasarannya masing-masing dilakukan melalui fungsi –
fungsi manajemen lainnya yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan
(actuating), penganggaran dan kontrol. Hasilnya yang diperoleh berupa
produk dapat berbentuk barang (pembangunan fisik termasuk pengadaan
peralatan dan perlengkapan kerja), jasa atau hasil yang bersifat non fisik
(pembinaan mental, spiritual atau keagamaan, pengembangan kebudayaan,
tertib hukum, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat dan
lain – lain). Dalam melaksanakan pelayanan umum dan cara memberikan
pelayanan, seperti kecepatan, kemudahan, ketertiban, kenyamanan, ketepatan
waktu dan lain – lain yang memuaskan berbagai pihak. Berdasarkan
karakteristik dan komponen Manajemen Stratejik sebagai sistem terlihat
banyak faktor yang mempengaruhinya tingkat intensitas dan formalitas
pengimplementasiannya di lingkungan suatu organisasi non profit. Beberapa

Universitas Sumatera Utara

22

faktor tersebut antara lain adalah ukuran besarnya organisasi, gaya manajemen
dari manejer puncak, sosial budaya termasuk kependudukan, peraturan
pemerintah dan lain – lain sebagai tantangan eksternal. Tingkat intensitas dan
formalitas itu dipengaruhi juga oleh tantangan internal, antara lain berupa
kemampuan menterjemahkan strategi menjadi proses atau rangkaian kegiatan
pelaksanaan pekerjaan sebagai pelayanan umum yang efektif, efisiensi dan
berkualitas (dibidang pendidikan misalnya menetapkan metode instruksional,
sumber – sumber belajar, media pembelajaran dan lain – lain). Karakteristik
organisasi ternyata berbeda – beda terutama mengenai jumlah dan kualitas
SDM, teknologi yang dimiliki, Sistem Informasi Manajemen (SIM), data
kuantitatif dan kualitatif dan lain – lain. Sehubungan dengan itu dalam
mengkongkritkan Manajemen Stratejik melalui Perencanaan Stratejik perlu
dilakukan analisis mengenai tantangan internal dan eksternal secara cermat.
Analisis terhadap tantangan internal disebut informasi kuantitatif yang akurat
dan cukup dari dalam dan luar organisasi sebagai hasil pencatatan,
penjaringan, pengumpulan, penelitian dan pengembangan data di dalam
Sistem Informasi Manajemen yang handal. Analisis dengan menggunakan
data kuantitatif hasil pencatatan masa lalu, untuk menghasilkan keputusan
berupa Rencana Stratejik dan Rencana Operasional memiliki tingkat kepastian
atau ketetapan yang tinggi, kerap kali menghadapi hambatan, karena data
tidak lengkap dan kurang cermat. Untuk itu meskipun tingkat ketepatan atau
kepastiannya lebih rendah (keputusan beresiko) sebagai analisis kualitatif
masih dapat digunakan dengan Analisis SWOT.

Universitas Sumatera Utara

23

Lingkungan institusi atau organisasi publik pada dekade terakhir ini
dipertahankan dengan berbagai perubahan, gejolak dan kemajuan yang kerap kali
sulit diprediksi, karena penolakan maupun ketidakpastian yang dialami. Kondisi
yang demikian ini membutuhkan antisipasi dini, yang sebelumnya belum pernah
terjadi, sehingga institusi atau organisasi mau tidak mau (inevitable) harus
melakukan tiga hal berikut ini (Bryson, 1999:1).
1. Institusi atau organisasi harus berpikir strategis, yang tidak pernah dilakukan
sebelumnya.
2. Institusi atau organisasi harus menerjemahkan inputnya untuk strategi yang
efektif guna menanggulangi lingkungannya yang telah berubah.
3. Institusi atau organisasi harus mengembangkan alasan yang diperlukan untuk
meletakkan landasan bagi pemakai dan pelaksanaan strateginya.
Konsep atau kerangka berpikir manajemen strategis berupaya mencari
jalan keluar bagi institusi atau organisasi untuk beradaptasi kembali terhadap
perubahan dan tantangan lingkungan melalui pencaharian isu atau faktor strategis
dengan menggunakan teknik – teknik manajemen, agar kemajuan dapat
dipertahankan dengan kinerja yang semakin optimal.
Kegunaan praktis yang diperoleh dari aplikasi teknik – teknik yang
dikembangkan oleh manajemen strategis (Bryson, 1999:12-23) adalah :
1. Pengembangan strategi – strategi yang efektif
2. Memperjelas arah masa depan
3. Menciptakan prioritas

Universitas Sumatera Utara

24

4. Membuat keputusan saat ini dengan mempertimbangkan Konsekuensi masa
yang akan datang
5. Mengembangkan landasan yang kokoh bagi pembuatan keputusan
6. Membuat keputusan yang melampaui fungsi dan struktur yang ada
7. Memecahkan masalah pokok yang dihadapi
8. Memperbaiki kinerja institusi
9. Menangani kondisi lingkungan yang cepat berubah
Jadi manajemen strategis memberikan gambaran kepada pengambil
keputusan mengenai bagaimana suatu dapat digerakkan untuk mencapai tujuan
sesuai dengan visi dan misi yang diembannya, dengan mengolah secara efektif
faktor – faktor strategis yang ada.
Untuk menerapkan teknik manajemen strategis secara baik dan
berhasil, maka harus mempertimbangkan delapan langkah pokok berikut ini
(Bryson, 1999:55-71).
1. Memprakarsai dan meminta persetujuan terhadap suatu proses manajemen
atau perencanaan strategis. Untuk itu perlu dilakukan negosiasi dengan para
pengambil atau pembuat keputusan untuk memperoleh dukungan dan
komitmen dalam pelaksanaannya nanti.
2. Mengidentifikasi mandate institusi atau organisasi. Suatu mandate di
dalamnya terkandung hal – hal yang harus atau dapat dilakukan dan hal yang
tidak boleh dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

25

3. Memperjelas misi dan nilai-nilai institusi atau organisasi. Penting untuk
diidentifikasi kebutuhan – kebutuhan sebagai tujuan termasuk didalamnya
kebutuhan sosial atau politik yang ingin dicapai.
4. Menilai lingkungan eksternal yang mengangkut peluang maupun ancaman
yang ada. Faktor – faktor yang terkait dengan lingkungan eksternal ini
meliputi politik, ekonomi, sosial dan teknologi.
5. Menilai lingkungan internal yang berhubungan dengan kekuatan yang dimiliki
institusi maupun kelemahan yang ada. Dalam hal ini institusi dapat memantau
sumber daya sebagai input, strategi saat ini sebagai proses, dan kinerja yang
diperoleh sebagai output.
6. Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi, yang antara lain
mengangkut tujuan, cara, filsafah, keakuratan waktu, kelompok – kelompok
yang memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian jika strategi baru
dijalankan.
7. Merumuskan strategi untuk mengolah atau menangani isu – isu yang ada.
8. Menciptakan suatu visi institusi atau organisasi yang efektif bagi masa depan.
Langkah – langkah tersebut di atas oleh Bryson disebut sebagai proses
perencanaan strategis, yang pada dasarnya adalah identik dengan teknik
manajemen strategis. Demikian juga konteks yang digambarkan Bryson
diperlakukan dalam menganalisis prospek pengembangan usaha kecil Pemerintah
Kota Medan. Dengan menggunakan elemen – elemen analisis yang dimiliki oleh
manajemen strategis maka akan ditemukan visi yang efektif bagi Pemerintah Kota
Medan dalam mengembangkan usaha kecil yang berada di wilayah kerjanya. Visi

Universitas Sumatera Utara

26

tersebut diganti dari mandate, misi yang diemban, dan tujuan yang ingin dicapai
oleh pengambilan keputusan (baik dari birokrasi pemerintah, elite sosial politik,
atau para pakar ekonomi) Pemerintah Kota Medan. Strategi ini diperoleh melalui
analisis faktor – faktor eksternal maupun internal, yang pada akhirnya ditemukan
identifikasi isu atau faktor strategis sebagai temuan yang dapat dipergunakan
dalam menentukan masa depan pengembangan usaha kecil di Kota Medan.
2.3. Pengertian Visi dan Misi
Tiga hal yang selalu menjadi perhatian dalam setiap merumuskan
suatu strategi secara efektif yaitu :
A. Visi
Visi adalah gambaran kondisi masa depan yang masih abstrak, tetapi
merupakan konsepsi yang dapat dibaca oleh setiap orang (Salusu, 1996:130).
Berarti visi merupakan suatu pikiran yang melampaui realitas sekarang, sesuatu
atau keadaan yang diciptakan yang belum pernah ada sebelumnya dan akan
diwujudkan oleh seluruh anggota organisasi. Visi memberi gambaran kondisi
yang akan dicapai oleh organisasi dimasa yang akan datang. Selanjutnya Sutrisno
Iwantono (2002:126) mengemukakan bahwa merupakan formulasi tujuan yang
sangat luas, umum dan inklusif. Sebuah cita – cita masa depan yang mengandung
unsur filosofis.
B. Misi
Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh suatu institusi atau
organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau ditetapkan. Misi
menyatakan pernyataan tentang tujuan organisasi yang diungkapkan dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara

27

output dan diungkapkan dalam bentuk output dan pelayanan yang optimal untuk
memenuhi tuntutan, kebutuhan dan keinginan masyarakat yang ada.
Handoko (1995:108) mengemukakan secara organisasi bahwa misi
organisasi menunjukkan fungsi yang hendak dijalankan dalam suatu sistem sosial
dan ekonomi tertentu.
Misi organisasi menjelaskan juga alasan keberadaan dari institusi atau
organisasi tersebut, mengapa ia ada dan apa tujuan pendiriannya. Dengan
demikian organisasi harus selalu dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Etzioni dalam Hani Handoko (1995:109) mengemukakan bahwa tujuan organisasi
merupakan suatu pelayanan tentang keadaan yang diinginkan, dimana organisasi
tersebut bermaksud untuk merealisasikan, dan sebagai pernyataan tentang keadaan
di waktu yang akan datang dimana organisasi sebagai kolektivitas mencoba untuk
menimbulkannya. Dalam merumuskan misi, ada dua kepentingan yang menjadi
bahan pertimbangan, yaitu kepentingan internal maupun kepentingan eksternal
(Sutrisno Iwantono, 2002:126).

2.4. Analisa Lingkungan Strategis
Tujuan dari analisis lingkungan strategis (strategis analysis) adalah
untuk mengetahui pengaruh – pengaruh kunci, serta pemilihan strategi apa yang
sesuai dengan tantangan yang datangnya dari lingkungan.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa institusi atau organisasi tidak
terlepas dari lingkungan sekitarnya, dan dengan kondisi lingkungan sekitarnya,
dan dengan kondisi lingkungan yang selalu beraneka ragam.

Universitas Sumatera Utara

28

Pengertian lingkungan menurut Salusu (1996:319) adalah hal – hal
yang meliputi kondisi, situasi keadaan, peristiwa dan pengaruh – pengaruh yang
mengelilingi dan mempengaruhi perkembangan organisasi. Sedangkan Wahyudi
(1996:47-48) mengemukakan bahwa lingkungan adalah salah satu faktor penting
untuk menunjang keberhasilan organisasi dalam persaingan. Selanjutnya Wahyudi
membagikan lingkungan menjadi dua, yaitu lingkungan internal dan lingkungan
eksternal. Pembagian ini didasarkan atas kontrol/pengaruh organisasi terhadap
lingkungan tersebut.
Menurut Rangkuti (1988:19) lingkungan yang mempengaruhi
perusahaan ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua
faktor tersebut patut menjadi pertimbangan dalam analisa lingkungan strategis,
khususnya dalam analisis model SWOT. Analisis lingkungan internal dan
eksternal akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang isu – isu strategis
dalam pengembangan Usaha Kecil Menengah di Kota Medan, maka analisis ini
akan diarahkan pada penilaian lingkungan internal dan eksternal di sekitar
masalah Usaha Kecil Menengah. Penjelasan terhadap kedua lingkungan strategis
tersebut adalah sebagai berikut :
A. Lingkungan Internal
Lingkungan Internal adalah analisa secara internal organisasi dalam
rangka menilai atau mengidentifikasikan kekuatan (strength) dan kelemahan
(weakness) dari satuan organisasi yang ada. Dengan demikian proses analisa
lingkungan dan tidak dapat disepelekan, karena dengan analisis lingkungan
internal maka akan diketahui kekuatan dan kelemahan yang ada dan selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

29

berguna untuk mengetahui isu – isu strategis (Rangkuti, 1997:19). Adapun yang
tercakup dalam lingkungan internal adalah faktor sumber daya, faktor strategi
yang saat ini digunakan, dan faktor kinerja.
B. Lingkungan Eksternal
Lingkungan Eksternal adalah faktor – faktor yang merupakan
kekuatan yang berada diluar organisasi, dimana organisasi tidak mempunyai
pengaruh sama sekali terhadapnya, sehingga perubahan – perubahan yang terjadi
pada lingkungan ini akan mempengaruhi kinerja institusi atau organisasi dalam
suatu hubungan yang timbal balik.
Lingkungan eksternal mengandung dua faktor yaitu peluang
(opportunities) dam ancaman (threats). Lingkungan eksternal suatu institusi atau
organisasi memiliki pengaruh

yang kuat terhadap pencapaian misi yang

disepakati. Pengaruhnya yang cukup kuat ini menyabankan perlunya perhatian
yang serius terhadap dimensi atau aspek yang terkandung di dalamnya, meskipun
berada diluar organisasi. Adapun faktor – faktor yang ada dalam faktor eksternal
tersebut adalah : aspek politik, ekonomi, sosial, dan teknologi.

2.5. Identifikasi Isue Strategis
Isu strategis berdasarkan pengertiannya adalah konflik satu jenis atau
lainnya. Konflik bisa terjadi pada aras tujuan, cara, prinsip, lokasi, waktu dan
kelompok - kelompok yang memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian
akibat dampak atau hasil dari pemecahan isu tersebut untuk memunculkan dan
memecahkan isu secara efektif, institusi atau organisasi harus dipersiapkan untuk

Universitas Sumatera Utara

30

menghadapi kemungkinan akan terjadinya konflik yang biasanya tidak dapat
dihindari (Bryson, 1995:65).
Ada empat pendekatan dasar yang dapat dipergunakan untuk
mengenali isu strategis (Barry dalam Bryson, 1988:65)
a. Pendekatan langsung (direct aproach), yaitu pendekatan yang akan bekerja
sangat baik bagi sebagian besar lembaga pemerintah dan lembaga publik.
Pendekatan langsung meliputi jalan lurus dari ulasan terhadap mandar, misi
dan SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan) sehingga
identifikasi isu – isu strategis. Pendekatan langsung merupakan yang terbaik
ketika tidak ada kesepakatan tentang sasaran (goals), atau jika ada
kesepakatan tentang sasaran maka sasaran itu sendiri terlalu abstrak untuk
digunakan. Dengan kata lain pendekatan akan bekerja sangat baik ketika tidak
adanya kesesuaian nilai. Pendekatan langsung akan sangat baik apabila tidak
adanya visi keberhasilan sebelumnya dan mengembangkan visi berdasarkan
konsensus akan terlalu sulit. Pendekatan ini juga bekerja sangat baik ketika
tidak adanya otoritas hirarkhis yang dapat memaksakan sasaran kepada actor
lainnya. Akhirnya pendekatan ini bekerja sangat baik ketika lingkungan
demikian bergolak sehingga tindakan terbatas sebagai jawaban kepada isu –
isu tampaknya lebih baik daripada pengembangan sasaran dan tujuan
(objectives) atau visi yang dapat berubah usang dengan cepat. Dengan kata
lain, terpolitasi, dan relatif terfragmentasi di sebagian besar organisasi publik
(komunitas), sepanjang ada koalisi domain yang cukup kuat dan cukup
menarik untuk membuatnya bekerja.
b. Pendekatan tidak langsung (indirect approach) yaitu pendekatan sebagaimana
nama yang disandangkan, maka digunakan cara tidak langsung dalam
mengidentifikasi isu strategis dibandingkan dengan cara pendekatan (direct
approach). Namun sebenarnya cara kerja pendekatan tak langsung secara
umum berada pada situasi yang sama. Namun pendekatan tak langsung secara
khusus digunakan ketika isu utama harus diarahkan kembali, tetapi semua
anggota perencana manapun organisasi belum mampu memegang isu utama
itu dan tidak peka terhadap isu mana yang mungkin memegang peranan.
Metode kerjanya dimulai dari ide dari para peserta yang akan menolong
mereka untuk melakukan elaborasi dari implikasi ide – ide yang dimunculkan
itu, kemudian ide – ide tersebut dikombinasikan dalam suatu cara baru yang
dapat disosialisasikan, dan ketika berada dalam kondisi yang baru, kemudian
para anggota perencanaan mekaninkan kepada organisasi kebutuhan akan
perubahan. Dengan lain perkataan bahwa semua peserta pada awalnya
memiliki seperangkat ide embrio yang kemudian direkombinasikan kembali
dengan cara baru, dan diharapkan ide baru (cara baru) itu mampu menolong
mereka untuk memandang secara berbeda dan sesegera mungkin menemukan
isu strategis yang ada.

Universitas Sumatera Utara

31

c. Pendekatan sasaran (goals approach), yaitu pendekatan yang lebih sejalan
dengan teori perencanaan konvensional, yang menetapkan bahwa institusi atau
organisasi harus menciptakan sasaran dan tujuan bagi dirinya sendiri dan
kemudian mengembangkan strategi untuk pencapaiannya. Pendekatan ini
dapat bekerja jika kesepakatan yang agar luas dan mendalam tentang tujuan
dan sasaran organisasi, serta jika tujuan dan sasaran itu cukup terperinci dan
spesifik untuk memandu pengembangan strategi. Pendekatan ini juga dapat
diharapkan bekerja ketika ada struktur otoritas hierarkhis dengan cara
pimpinan di puncak dapat memaksakan sasaran itu pada keseluruhan sistem.
Kemudian isu – isu strategis akan mengangkut bagaimana yang terbaik untuk
menerjemahkan sasaran dan tujuan itu menjadi tindakan. Tindakan ini lebih
mungkin bekerja dalam organisasi publik atau non profit.
d. Pendekatan visi keberhasilan (vision of success), yaitu pendekatan yang
mengembangkan suatu gambaran yang “terbaik: atau “ideal” mengenai situasi
atau organisasi di waktu yang akan datang sebagai organisasi yang sangat
berhasil memenuhi misinya. Karena itu isu adalah tentang bagaimana
organisasi harus beralih dari jalannya sekarang menuju bagaimana organisasi
akan memandang dan berjalan sesuai dengan visinya. Pendekatan visi
keberhasilan menjadi sangat berguna; jika organisasi kesulitan
mengidentifikasi isu – isu strategis secara langsung; jika tidak ada kesepakatan
sasaran dan tujuan yang terperinci dan spesifik serta akan kesulitan
mengembangkan strategi; dan jika perubahan drastis mungkin diperlukan.

2.6. Profil Kota Medan
Tanggal 1 Juli 2004 Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya yang
ke 414. Hal ini merupakan keberadaan Kota Medan telah memiliki tradisi yang
panjang, sehingga saat ini mencatatkan dirinya sebagai kota terbesar ke 3 (tiga)
setelah Jakarta, dan Surabaya. Sebagai sebuah kota besar tentunya Kota Medan
memiliki berbagai kekhususan baik secara historis, sosial budaya, demografis,
geografis dan ekonomis.
2.6.1. Historis Kota Medan
Cikal bakal Kota Medan adalah Medan Putri, sebuah kampung kecil
yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, tidak jauh dari
jalan Putri Hijau sekarang. Kampung Medan Putri sendiri dibangun pada tahun

Universitas Sumatera Utara

32

1590 oleh Guru Patimupus, cucu Singa manaja yang memerintah negeri Berkerah
di daratan tinggi Karo dan termasuk dalam wilayah Raja Ujung asal Karo, di Deli
Perkembangan Kota Medan juga tidak terlepas dari keberadaan Kesultanan Deli
yang diproklamirkan oleh Tuanku Panglima Perungit, yang memisahkan dari
kekuasaan Kesultanan Aceh pada tahun 1669. Berdasarkan isi “politik contract)
atau perjanjian dengan Pemerintahan Hindia Belanda pada Tahun 1907, daerah
kekuasaan Kesultanan Deli meliputi :
1. Wilayah Deli Asli, yaitu wilayah perisir pantai mulai dari sekitar kiri dan
kanan Sungai Deli, yang didiami suku bangsa melayu, termasuk Kampung
Medan Puteri.
2. Wilayah – wilayah urung (Negeri), yaitu : Wilayah Hamparan Perak, Sunggal,
Kampung Baru, Senambah Patumbak, yang didiami suku Melayu di hilir dan
suku Karo di hulu.
Adapun dua faktor yang mendorong Kampung Medan Puteri
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pertama, posisinya yang sangat
strategis karena di dekat pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura yang
merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Karenanya Kampung
Medan Putri sejak awal telah berkembang menjadi pusat perdagangan dan
pelabuhan transit yang cukup penting. Kedua, adanya kebijakan Sultan Deli pada
Tahun 1863 untuk memberikan tanah di Tanjung Sepassi dekat Labuhan seluas
4000 bahu, (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun kepada Mienhuys Van der
falk dan Elliot dari firma Van Keeuwenen Mainz and Co, untuk dijadikan lahan
perkebunan tembakau.

Universitas Sumatera Utara

33

Kualitas yang sangat baik dari tembakau yang dihasilkan kemudian
mendorong berkembangnya perkebunan – perkebunan tembakau hingga mencapai
22 perusahaan. Berkembangnya perkebunan tembakau ini juga mendorong
berkembangnya Kota Medan sebagai perdagangan dan eksport.
Tahun 1879, ibu Kota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan
ke Medan, dan 1 Maret 1887, Ibu Kota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula
dari Bengkalis ke Medan. Istana Kesultanan Deli dengan selesainya pembangunan
Istana Maimun pada tanggal 18 Mei 1891, yang menjadikan Kota Medan menjadi
pusat perdagangan juga telah mendorong menjadi Pusat Pemerintahan.
2.6.2. Medan Dalam Pandangan Sosial Budaya
Pembangunan

Kota

Medan

secara

Historis

tidak

terlepas

dari

perkembangan perkebunan yang ada. Perkebunan tembakau tersebut ternyata
memperkerjakan orang – orang cina dari Swatow (Tiongkok), Singapura, Malaya
Tamil dari Penang dan orang – orang pribumi yaitu Minangkabau dan Jawa.
Kebijaksanaan

Ketenagakerjaan

inilah

yang

kemudian

berdampak

beranekaragamnya etnis yang berdomisili di Kota Medan saat ini.
Oleh karenanya, masyarakat Kota Medan saat ini adalah campuran dari
suku bangsa yang ada di Indonesia seperti suku Melayu, Batak, Cina, Minang,
Karo dan sebagainya. Adanya heterogenitas suku yang berdiam di Kota Medan
juga menimbulkan banyaknya corak budaya yang ada sehingga berdampak
beragamnya nilai – nilai budaya yang dikenal.
Keanekaragaman nilai – nilai budaya ini tentunya sangat menguntungkan.
Sangat diyakini satu pun kebudayaan yang ada dapat menghambat kemajuan dan

Universitas Sumatera Utara

34

sangat diyakini pula, hidupnya nilai – nilai budaya dapat menjadi potensi besar
dalam mencapai kemajuan. Potensi tersebut misalnya dapat dilihat dalam
kaitannya dengan mengembangkan Industri Kecil dan Menengah di Kota Medan
saat ini. Adanya keragaman suku, tarian daerah, alat musik, lagu, makanan dan
sebagaimana tentunya merupakan potensi, kekuatan sekaligus kesempatan bagi
Kota Medan untuk menjadi kota yang memiliki wajah sendiri, yang berbeda
dengan kota – kota lainnya di Indonesia. Adanya pluralism ini juga merupakan
benteng untuk tidak munculnya isu – isu primordialisme yang dapat meretakan
sendi – sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, arah perkembangan dan tujuan
pembangunan Kota Medan tentunya dalam bingkai visi kekayaan budaya sebagai
rahmat Tuhan.
2.6.3. Demografi Kota Medan
Penduduk Kota Medan saat ini diproyeksikan telah mencapai 2.068.400
jiwa, yang terdiri dari 958.977 jika laki – laki dan 939.036 jiwa perempuan.
Dalam sela kurun waktu 40 tahun penduduk Kota Medan telah bertambah
sebanyak 1.589.302 jiwa atau 431,72% (BPS Medan, 2004:13). Adanya jumlah
penduduk yang relatif besar ini tentunya akan meningkatkan kepadatan penduduk
di Kota Medan. Saat ini kepadatan penduduk rata – rata adalah 7.805 jiwa/km2.
Dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi ini salah satu masalah
yang harus diantisipasi adalah menyempitnya luas lahan yang ada sehingga
berpeluang menjadi tidak seimbang dengan daya Dukung dan daya tamping
lingkungan yang ada.

Universitas Sumatera Utara

35

Dilihat dari struktur penduduk menurut umur, penduduk Kota Medan yang
berusia antara 0 – 14 tahun mencapai 551.752 jiwa, sedang yang berusia antara 15
- 59 tahun mencapai 1.263.887 jiwa dan 60 tahun ke atas 82.374 jiwa. Hal ini
menunjukkan adanya beban ketergantungan yang relative tinggi yaitu 2,36%.
Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikannya sebagian besar penduduk hanya
mengenyam pendidikan sampai SLTA, SLTP dan SD yaitu 91,88%, sedang yang
memiliki jenjang pendidikan sampai Perguruan Tinggi hanyalah 8,11% (BPS
Medan, 2004:14). Hal ini tentunya akan berdampak kepada produktivitas kerja
yang dapat dicapai sekaligus tingkat pendapatan dan kesejahteraan mereka. Oleh
karenanya salah satu masalah penting seharusnya dapat diatasi adalah bagaimana
meningkatkan derajat pendidikan penduduk sehingga berdampak kepada
peningkatan mutu sumber daya manusia penduduk yang ada.
Lebih

dari

itu

masalah

kependudukan

yang

seyogyanya

dapat

ditanggulangi adalah yang berkaitan dengan penyebaran penduduk yang tidak
merata. Hal ini kelihatan dengan membandingkan antara jumlah penduduk yang
berada di wilayah Medan Bagian Utara yang relatif yang lebih jarang.
2.6.4. Geografis Kota Medan
Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar atau sama dengan 265,10 km2
atau 3,6% dari total luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu selain
memiliki kekuatan pembangunan dengan jumlah penduduk yang relatif besar,
Kota Medan juga memiliki keterbatasan ruang sebagai bagian daya Dukung
lingkungan (BPS Medan, 2004:27).
Disamping itu secara administrative Kota Medan berbatasan dengan :

Universitas Sumatera Utara

36

-

Kota Deli Serdang di Sebelah Barat, Timur dan Selatan

-

Selat Malaka di Sebelah Utara
Secara relatif, Kabupaten Deli Serdang memiliki daya Dukung

Sumber Daya alam yang relatif besar, karenanya Kota Medan sesungguhnya perlu
mengembangkan kerja sama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan,
saling memperkuat dengan daerah – daerah sekitarnya. Disamping itu adanya
Selat Malaka tentunya juga menjadikan Kota Medan memiliki potensi perikanan
yang dapat dikembangkan lebih baik.
Kota Medan secara fisik kenyataanya juga mengalami perkembangan
yang dapat dikelompokkan. Sejak tahun 1862, terlihat adanya dua kutub
pertumbuhan fisik Kota Medan, yaitu Pelabuhan Laut Belawan, dan Pusat Kota
Medan sekarang, yang menjadi pusat perkantoran dan perdagangan kota. Jika
Pusat Kota berkembang ke arah Kelurahan Kesawan, Silalas dan Petisah, maka
Belawan sampai tahun 1972, berkembang ke arah Selatan,. Perkembangan
tersebut masih bersifat konsentris dan terbatas pada area yang tidak terkena banjir.
Pengamatan tahun 1980 memperlihatkan adanya perkembangan yang pesat.
Daerah terbangun di Belawan berkembang lebih dari dua kali lipat, sedangkan
Pusat Kota meluas dengan cepat ke arah Barat, Selatan dan Timur meliputi : area
± 3.375 Ha. Kebijakan tata ruang yang ditetapkan dalam kebijakan jangka panjang
pada dasarnya merupakan arahan dalam garis besar dari rencana tata ruang
wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK), Kota Medan 1993-2005 merupakan bagian dari Pola dasar
Pembangunan Kota Medan dalam aspek fisik.

Universitas Sumatera Utara

37

2.6.5. Perekonomian Kota Medan
Secara regional Kota Medan adalah pusat pemerintahan daerah, pusat
pelayanan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat, pusat perkantoran swasta, pusat
perdagangan dan juga pintu gerbang internasional, eksport impor serta pusat
perindustrian. Fungsi regional tersebut menjadikan Kota Medan harus melayani
hinterlandnya, bahkan bukan hanya Provinsi Sumatera Utara tetapi juga
mencakup wilayah Provinsi tetangga lainnya. Hal ini berarti Kota Medan sangat
terkait erat dengan perkembangan wilayah belakangnya.
Pada tahun 1998 Perekonomian Indonesia sangat terpuruk. Krisis moneter
yang diikuti krisis ekonomi, politik dan krisis kepercayaan telah membuyarkan
semua prediksi yang telah dikemukakan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu
macan ekonomi Asia. Ambruknya perekonomian nasional tersebut tentunya juga
memberi dampak yang luas bagi perekonomian regional Kota Medan. Sebagai
kota yang mengandalkan sektor sekunder dan tertiernya, maka perekonomian
regional Kota Medan dipastikan turut mengalami musibah krisis tersebut.
Sebelum tahun 1998, laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan rata – rata di
atas 6,5% tahun. Namun akibat adanya krisis ekonomi menjadikan pertumbuhan
ekonomi Kota Medan anjlok menjadi minus 20,11% tahun 1998. Angka ini
bahkan jauh lebih besar dari pertumbuhan negatif yang dialami Provinsi Sumatera
Utara yang hanya 11,76% ataupun pertumbuhan ekonomi nasional yang minus
hanya 13,68% (BPS Medan, 2004:30).
Setelah sempat mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, perekonomian
Kota Medan kemudian dapat tumbuh kembali walaupun dalam tingkat yang lebih

Universitas Sumatera Utara

38

kecil. Tahun 1999 ekonomi Kota Medan mengalami pertumbuhan sebesar 3,4%
dan pada tahun 2000 sebesar 4,98% ini tentunya merupakan indikasi bahwa
betapapun beratnya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia dan Kota Medan
memiliki kemampuan untuk keluar dari krisis yang maha berat tersebut.
Saat ini produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Medan telah
mencapai Rp. 10.705.120,29 milyar dengan pendapatan perkapita Rp.
4.614.903,85. Sektor tertier merupakan sektor penunjang terbesar bagi
pembentukan PDRB Kota Medan yaitu mencapai 66,44%, kemudian diikuti
sektor sekunder sebesar 29,21%. Walaupun relatif kecil sektor primer
kenyataannya juga memberikan kontribusi tidak kurang 4,34% dari keseluruhan
total pembentukan PDRB Kota Medan.
Dari data di atas, kenyataannya Kota Medan juga merupakan wilayah
penyumbang terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi Sumatera Utara yaitu
21,29% sekaligus merupakan pusat perdagangan dan jasa terpenting di Sumatera
Bagian Utara.
Adanya potensi yang besar sebagai pusat pertumbuhan dan perdagangan
regional dan internasional ini juga diperkuat oleh letak strategis kewilayahan Kota
Medan. Bagaimanapun Kota Medan telah berfungsi sebagai pintu gerbang eksport
Sumatera Utara. Alasan ini pulalah yang memunculkan perjanjian – perjanjian
regional atau dalam bentuk kerjasama lainnya seperti :
-

Kerjasama Sijori/ IMT GT

-

Sister City dan lain – lain

Universitas Sumatera Utara

39

Di bidang prasarana dan sarana, Kota Medan juga secara relatif di fasilitasi
dengan sistem transportasi, pelabuhan laut internasional dan pelabuhan udara serta
berbagai jenis prasarana lainnya seperti air bersih, listrik, telekomunikasi yang
relatif baik. Ini tentunya memberikan peluang bagi Kota Medan untuk tumbuh dan
berkembang sebagai pusat pertumbuhan dan perdagangan baik dalam skala
regional maupun internasional.

2.7. Dasar Hukum Program Pengembangan/ Pembangunan Pusat Industri
Kecil Kerajinan Sepatu dan Konveksi Medan Tenggara Medan
a. Keputusan Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat-II Medan No.
537/1535/SK/1994 tanggal 18 Juni 1994 tentang Pembentukan Tim
Perencanaan/ Dokumentasi Pemindahan dan Penempatan Pengerajinan
serta Pengawasan Teknis Pelaksanaan Pembangunan PIK di Medan.
b. Keputusan

Walikota

Madya

No.593.5/487/SK/1996 tanggal

Kepala

Daerah

Tingkat-II

Medan

31 Januari 1996 tentang Penggunaan

Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat-II
Medan untuk Perkampungan Industri Kecil (PIK) Sepatu.
c. Memori kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat-II Medan dengan
PT. Bank Tabungan Negara dan PT. Rezeki Berkah Utama :
-

No. Pemda Tk-II Medan

-

No. PT. BTN Cab. Medan

-

No. PT. Rezeki B. Utama

: 648/2568/1996
: 02/MDN.UT/PKS/02/1996
: 19/II/RBU/1996

Tentang Pelaksanaan Pembangunan Perubahan Industri Kerajinan Sepatu.

Universitas Sumatera Utara

40

d. Keputusan Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat-II Medan No.
648/3831/SK/1997 tanggal 29 September 1997 tentang Penghunjukan
Penghunian Bangunan Rumah Pusat Industri Kecil di Kelurahan Medan
Tenggara.
e. Surat Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat-II Medan No. 648/16572
tanggal 21 Oktober 1997 tentang Penghunian Bangunan Rumah Pusat
Industri Kecil Jalan Medan Tenggara-VII di Medan.
f. Keputusan Walikota Medan No. 517/1165.K/2003 tanggal 9 September
2003 tentang Tim Perpadu Pembinaan dan Penataan Pusat Industri Kecil
(PIK) Menteng Medan.

Universitas Sumatera Utara