Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB IV

BAB IV
TINJAUAN TERHADAP PENDEKATAN PENYELESAIAN
KONFLIK DI BATU GANTUNG
Konflik adalah suatu keniscayaan, Ia akan selalu mewarnai setiap dimensi
kehidupan sosial selama berlangsungnya interaksi sosial dimanapun dan kapanpun.
Konflik memungkinkannya terjadi perubahan sosial, meskipun demikian, tidak semua
konflik berakibat positif dalam seluruh interaksi sosial karena sifat destruktifnya yang
dapat meruntuhkan tatanan masyarakat. Jika tidak dipecahkan melalui identifikasi untuk
mencarikan solusi maka bukan tidak mungkin situasi akan semakin tidak terkendali, itu
berarti masyarakat akan sangat tidak berdaya.
Persoalannya bagaimana menguraikan secara kritis semua bentuk konflik demi
menemukan dan menerapkan resolusi konflik yang lebih baik. Dalam bab III telah
digambarkan kondisi sosial jemaat Rehoboth yang mencakup kondisi sosio-budaya,
pendidikan dan ekonomi yang berkaitan langsung dengan relasi-relasi sosial di sana.
Begitu juga telah dijelaskan sikap Majelis Gereja Rehoboth dalam merespons fenomena
konflik di Batu Gantung. Yang menurutnya dapat memecah persekutuan jemaat dan
menghambat ritme kerja gereja dalam mengupayakan keadilan dan kesejahteraan
bersama. Terhadap hal itu membuktikan solidaritas MJ Rehoboth atas kondisi yang
dialami umatnya. Terhadap rasa solidaritas itu, MJ Rehoboth tergerak untuk
menyelesaikan konflik. Selain rasa solidaritas yang tinggi sebagai semangat
mengupayakan perdamaian, gereja adalah lembaga agama yang memiliki tempat

istimewa dan sangat penting mengisi pembangunan bangsa termasuk ikut mendidik dan

73

membentuk generasi-generasi muda sehingga mereka bisa mengisi masa depannya
secara tertanggungjawab.
Dalam posisinya yang demikian, gereja tetap mengembangkan sikap yang kritis,
korektif dan konstruktif

terhadap tindakannya sendiri maupun elemen masyarakat

lainnya. Dengan sikap seperti itu gereja akan tetap berfungsi dan berperan secara
fundamental sebagai mitra, yang dapat memberi konstribusi pemikiran dalam menjawab
persoalan ke-umatan. Maka pada bagian ini akan dipaparkan dua tinjauan yaitu, tinjauan
berdasarkan teori konflik dan tinjauan mengenai pendekatan penyelesaian konflik.

A. Konflik Antar Pemuda Batu Gantung: Suatu Tinjauan Teori Konflik
Pada umumnya orang membayangkan bahwa konflik hanya disebabkan satu hal
saja atau bersifat tunggal. Namun sejalan dengan semakin kompleksnya masalah sosial
dewasa ini, orang lalu mulai menyadari bahwa ternyata konflik juga bersifat akumulatif.

Mengenai konflik Batu Gantung ditemukan beberapa faktor yang saling berhubungan
erat yaitu masalah hubungan pemuda-pemudi (masalah pacaran), minuman keras,
fanatisme etnis, tegur sapa, dan kondisi kemiskinan.
Menurut Pruitt konflik selalu mengalami eskalasi. Begitu konflik terjadi akan
cenderung terus tereskalasi bagaikan sebuah gelombang. Bahwa memang tidak berarti
semua konflik akan mengalami eskalasi. Suatu isu terjadinya konflik akan memunculkan
isu-isu konflik lainnya selama hal itu bisa diabaikan atau diselesaikan. Sebelum aspirasi
pihak-pihak belum tercapai atau diindahkan mensyaratkan terus terjadinya eskalasi

74

konflik. Beberapa kondisi yang sangat memungkinkan terjadinya eskalasi konflik
yaitu:74


Pihak-pihak yang terlibat beranggapan bahwa dirinya memiliki
kekuatan untuk mengubah aspirasi pihak lain secara substansial.




Pihak-pihak yang terlibat tidak melihat adanya kapasitas integratif di
dalam situasi tersebut. Artinya sebagaimana dimaksud Pruitt mereka
tidak melihat adanya kemungkinan untuk menemukan solusi yang
mendatangkan keuntungan bersama dari kontroversi yang terjadi.



Lanjut Pruitt pihak-pihak yang terlibat memiliki dan menganggap
bahwa masing-masing pihak memiliki aspirasi yang relatif tinggi.
Aspirasi yang tinggi akan mengurangi kemungkinan diperolehnya
solusi yang dapat diterima semua pihak, sehingga akan mendorong
dilakukannya tindakan contentious (menang-kalah).

Jika dilihat dari model konflik, konflik batu gantung digolongkan ke dalam
model konflik perubahan struktural. Bahwa kemudian terjadi permasalahan diantara
hubungan pemuda-pemudi yang berasal dari batu gantung dalam dan batu gantung
ganemo pada awal terjadinya, menunjukan perubahan psikologis yang kemudian
berkembang ke perubahan kolektif. Perubahan kolektif ini merupakan refleksi dari
tindakan masyarakat di lokasi konflik. Perubahan konflik dari yang bersifat psikologis
ke sifatnya yang kolektif terjadi karena semakin tingginya eskalasi konflik. Tinginya

eskalasi konflik karena muncul pandangan berbeda dari masing-masing pihak yang
dianggap merugikan dan mediskreditkan kedua kelompok bertikai. Kondisi ini
74

Pruitt dkk., Op. Cit., 149

75

berlangsung secara

perorongan maupun kolektif.

Dari

kondisi seperti itu

memungkinkan terjadinya juga perubahan struktural dalam masyarakat berkonflik.
Perubahan dari psikologis ke kolektif terjadi dengan asumsi adanya
kecenderungan esklasi kontroversi menjadi norma kolektif. Kohesivitas yang semakin
meningkat, yang timbul karena adanya ancaman dari kelompok luar, memberikan

sumbangan

terhadap

kekuatan

norma

ini

maupun

terhadap

cara

untuk

mengimplementasikannya. Sehingga bukan lagi berlangsung secara indivual
melainkan telah mengalami peningkatan kolektif. Orang-orang merasa sudah menjadi

bagian dari residu yang direpresentasikan oleh subyek tertentu.
Dilihat dari tingkat eskalasinya dan beragam faktor pemicu terjadinya konflik,
cukup sulit mengatakan bahwa satu model konflik merepresentasikan konflik.
Melokalisir model konflik hanya pada satu model konflik merupakan langkah yang
kurang bijak. Artinya model konflik harus bisa menjawab kebutuhan identifikasi data.
Maka adalah hal yang lumrah mengkategorikan data ke dalam berbagai model
sekaligus.
Dengan itu maka model spiral konflik dapat melengkapi pengkategorian
konflik di batu gantung selain model perubahan struktural diatas. Model spiral konflik
dapat dijelaskan seperti ini. Ketika isu konflik yang sebelumnya hanya masalah
berpacaran, tetapi dalam kondisi yang sama menggugah sifat kolektifisme masyarakat
yang ditunjukan melalui hegemoni kelompok. Maka kondisi ini memungkinkan
terjadinya eskalasi konflik yang telah mengalami pergesaran isu tergantung pada

76

siatuasi masyarakat setempat, misalnya kondisi kemiskinan, minuman keras, tegur
sapa, dan sentiment etnis dari sebelumnya hanya masalah berpacaran.
Perlu dicatat, walaupun kategori model konflik telah ditentukan tetapi tidak
berarti sudah merepresantasikan sepenuhnya konflik. Namun hal itu dapat diatasi

dengan suatu asumsi bahwa setiap model konflik merupakan hal yang ideal. Dalam
kaitan itu kita lalu bertanya apa karakteristik konflik batu gantung? Terkait hal ini
secara gamblang sudah dipaparkan bahwa konfik batu gantung merupakan konflik
ber-eskalasi.
Persoalan pacaran dua pasang muda-mudi kurang begitu memberikan
penjelasan berarti. Hanya dijelaskan telah terjadi masalah dalam hubungan mereka
yang menyebabkan pihak-pihak tertentu yang kebetulan merasa memiliki hubungan
emosional masing-masing dengan dua muda-mudi itu melakukan aksi lalu berujung
bentrok. Karena tidak tertangani dengan baik lantas konflik itu berlanjut. Menurut
istilah Pruitt telah terjadi transformasi konflik antar subjek dari isu yang satu ke isu
yang lain.
Sebagai pusat administratif pemerintahan dan pusat perdagangan, Kota Ambon
menjadi sasaran utama arus manusia dari berbagai penjuru daerah. Masyarakat
berdatangan untuk memenuhi keinginannya di berbagai instansi pemerintah dan
swasta, dan diberbagai sektor kehidupan lainnya terutama di sektor ekonomi. Kondisi
ini menimbulkan perbedan masyarakat secara kultural terutama secara etnis. 75 Hal
tersebut harus dilihat sebagai suatu keniscayaan. Ketika perbedaan tersebut terjadi
75

Dalam kamus besar bahasa indoneisa elektronik istilah etnis didefenisikan bertalian dengan kelompok

sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena
keturunan, adat, agama, bahasa.---kbbi.web.id/etnik

77

maka dengan segera timbul persoalan laten menyangkut hak-hak kolektif-etnis.76
Istilah hak, berarti tidak saling campur tangan, pembebasan dari syarat-syarat normal,
klaim-klaim atas sumber daya masyarakat dan lain sebagainya.
Parekh77 menyebutkan dua cara untuk memperoleh hak-hak kolektif. Hak-hak
kolektif derivative seperti, hak-hak serikat dagang, klub-klub dan sebagainya. Dimana
individu-individu mengumpulkan hak-hak mereka atau menyatukan mereka dalam
kolektivitas. Hak-hak kolektif primer seperti pengusiran para orang asing, hak
kepemilikan tanah, hak hidup dan berkembang hingga seterusnya. Hak-hak tersebut
menjadi milik kolektivitas dengan asumsi bahwa orang lain tidak memiliki hak -hak
semacam itu. Perbedaan antara kedua hak tersebut berhubungan dengan sifat atau
bentuk perolehan, bukan karena pemikiran atau pembenaran. Semua hak memperoleh
pembenaran dari kontribusi untuk memperoleh kesejahteraan manusia, dan dalam hal
ini tidak ada perbedaan di antara kedua jenis hak kolektif tersebut. Untuk mengatakan
bahwa hak-hak kolektif primer tidak diperoleh dari—atau direduksi pada hak
individual, adalah tidak dengan mengatakan bahwa kolektivitas terlibat dalam

kepentingan independen dari kepentingan para anggotanya.
Jika dicermati, hak kolektif-etnis dapat digolongkan ke dalam hak kolektif
primer karena menyangkut persoalan identitas diri yang dipahami secara kolektivitas.
Kolektivitas adalah manusia-manusia yang berhubungan satu dengan lainnya melalui
cara tertentu, dan meskipun terbentuk dari beberapa individu, mereka kadang-kadang
membentuk kesatuan baru dan independen yang membuat klaim-klaim otonom.
76

Mengingat hak-hak kolektif meliputi spetrum yang luas, maka dengan sengaja dalam tulisan ini
digunakan istilah hak kolektif-etnis—sekedar untuk membedakannya dari hak kolektif secara umum.
77
Bhikhu Parekh, Op., Cit. 285.

78

Klaim-klaim otonom meupakan penegasan yang secara simbolik menyulut
terjadinya konflik. Faturochamn menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa
melatarbelakangi terjadinya konflik etnis disebuah tempat. 78 Enam hal tersebut yaitu:
1] kepentingan yang sama diantara beberapa pihak 2] perebutan sumber daya 3]
sumber daya yang terbatas 4] kategori identitas yang berbeda 5] prasangka atau

diskriminasi 6] ketidakjelasan aturan (ketidakadilan)
Persaiangan antar kelompok tak lagi terhindarkan oleh karena masing-masing
pihak tetap mempertahankan eksistensinya tanpa tahu perduli terhadap yang lain.
Sehingga terjadi perasaan dikalahkan atau merasa identitas sosial-budayanya telah
dirusak. Dalam kondisi seperti ini hanya ada dua sikap yang bisa diambil:
menyesuaikan diri secara pasif, atau memberontak dan menidaki. Faktanya kedua
belah pihak cenderung berada pada pilihan kedua yaitu, memberontak dan menidaki.
Menghadapi kenyataan yang ada, aparat kepolisisan sebagai representasi
negara berkewenangan memberikan perlindungan terhadap setiap masyarakat dengan
aksi turun lapangan. Hal itu berarti adanya kehadiran negara pada saat terjadinya
konflik di Batu Gantung. Hanya saja kehadiran mereka terkesan lamban. Dalam
beberapa kejadian, memperlihatkan kurang sigapnya aparat sehingga sudah
menimbulkan korban barulah ada pengamanan.
Dalam masyarakat heterogen seperti di Batu Gantung, negara merupakan
sumber persatuan, memberikan fokus bagi kehidupan bersama-sama yang dimiliki
warga dan diharapkan dapat memberi contoh untuk mengatasi prasangka-prasangka

78

Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas (Yogjakarta: PPSK UGM, 2003), 56


79

dan pandangan-pandangan komunitas yang sempit. Lembaga negara seharusnya
bersikap adil dalam memperlakukan anggota komunitas yang berbeda. Keutaman ini
dapat dilihat dalam peranan lembaga kepolisian. Namun faktanya, beberapa aparat
kepolisian telah mengingkari tugas dan panggilan mereka sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat. Mereka kerap kali memihak pada salah satu kelompok bahkan
berada dibalik provokasi massa 79. Polisi seharunya menjadi perwakilan masyarakat
yang konsisten dengan tuntutan kompetensi profesionalisme dan integritas. Ketika hal
ini dilakukan akan memberi kesempatan pada masyarakat untuk bekerja sama,
mengatasi prasangka buruk satu sama lain, dan belajar untuk melihat diri dengan
pandangan yang lebih luas.
Tingginya eskalasi konflik juga dipicu oleh pemaknaan sempit kebijakan
otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia—tetapi dipahami secara
sempit sehingga menimbulkan euphoria kedaerahan dan sentiment etinis yang sangat
luar biasa. Seakan-akan yang berhak mengelola kehidupan publik hanya orang
pribumi. Terhadap hal ini, semua warga negara harus menikmati kesempatan setara
untuk mendapatkan kapasitas dan kecakapan yang dibutuhkan agar bermanfaat dalam
masyarakat dan untuk mengejar tujuan-tujuan pribadi dengan efektif dan setara.
Selain dua hal mengemuka diatas, kebiasaan konsumsi minuman keras
dikalangan pemuda-pemuda menjadi faktor krusial keretakan pertalian sosial. Hal itu
juga sangat berkaitan dengan gaya hidup modern di kalangan anak-anak muda.
Mereka pada dasarnya suka menghabiskan waktu di luar rumah untuk mencari

79

Wawancara dengan J. L, (bukan nama sebenarnya), pemuda Batu Gantung Ganemo dan B.M, pemuda
batu gantung dalam. Pad 10 Oktober 2014.

80

kesenangan. Dalam hal yang sama, mereka kurang memiliki ketahanan dan
pengendalian

diri.

Memiliki

sifat

temperamen

menjadikan

mereka

mudah

tersinggung. Kondisi ini rawan diprovokasi. Ketika terjadi senggolan atau ucapan
kata-kata yang dilontarkan salah satu kelompok kepada kelompok atau individu
berupa sindiran maka dengan segera terjadi bentrok.
Hampir setiap sudut Kota Ambon, perederan minuman keras (bac:sopi) sudah
tidak dapat lagi terbendung. Kondisi ini memudahkan setiap orang untuk
mendapatkannya termasuk dari kalangan pemuda. Kebiasaan mengkonsumsi
minuman keras tidak juga hanya dipengarahui pola bergaul (sudah menjadi rahasia
umum di dalam masyarakat Ambon bahwa salah satu syarat yang paling cepat
diterima dalam pergaulan yaitu melalui sopi) rata-rata pemuda Ambon tetapi juga
faktor kesulitan ekonomi di keluarga mereka. Tentunya kondisi tersebut menimbulkan
perasaan frustrasi. Kurangnya kontrol keluarga melalui pembinaan menjadikan
pemuda sangat bebas menentukan kehendaknya.
Selain itu regulasi peraturan daerah atau perda terhadap peredaran minuman
keras (terutama jenis sopi) perlu menjadi upaya untuk mencari solusi yang baik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sopi merupakan komponen dalam ritual adat hampir
setiap masyarakat adat di kota Ambon. Olehnya bisa menjadi pertimbangan
dirmuskannya regulasi perda. Sehingga masyarakat lebih bertanggung jawab
memperlakukan simbol-simbol adat dan simbol persautan.
Fakta lain menunjukan bahwah terdapat anggota gereja beraliran karismatik
dan pentakosta di wilayah pelayanan Majelis Jemaat Rehoboth. Mereka dulunya

81

anggota GPM kemudian beralih, sehingga muncul persoalan terutama soal
pemahaman

teologi.

Masing-masing

pihak

saling

beradu

pengaruh

untuk

mengembalikan kembali ke asal gereja semula atau bisa mendapatkan pengikut yang
lebih banyak lagi. Konflik kepentingan semacam itu menimbulkan persaingan tidak
sehat, sehingga terjadi konfrontasi fisik. Konflik kepentingan semacam itu hanya bisa
terselesaikan jika semua pihak duduk bersama/ berdialog.
Dilihat dari karakteristiknya, konflik batu gantung dapat digolongkan dalam
konflik karakteristik struktural. Hubungan antagonis antar pemuda batu gantung
menghasilkan akibat konflik secara destruktif bukan sebaliknya bersifat konstruktif.
Tidak seperti seperti yang diharapkan Lewis Coser yang menilai secara positif
fenomena konflik.
B. Penyelesaian Konflik: Tinjauan Menurut Pendekatan Penyelesaian Konflik
Mediasi merupakan salah satu pendekatan penyelesiaan konflik dari sekian
pendekatan yang ada. Mediasi mensyaratkan mediator sebagai individu, kelompok
atau lembaga untuk memfasilitasi tercapainya kesepakatan damai antara pihak yang
bertikai. Kesepakatan yang dibuat “selalu” memuaskan semua pihak sehingga dalam
mediasi dikenal prinsip win-win solution. Berbeda dengan win-lose solution, dimana
kesepakatan hanya menguntungkan salah satu pihak, sedangkan pihak lain merasa
dirinya dirugikan. Pruitt menyebutnya dengan istilah contending yaitu strategi yang
penerepan solusinya lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain. Sehingga ada
kemungkinan MJ menggunakan strategi mediasi untuk menghindari keputusan-

82

keputusan yang kurang disukai oleh semua pihak dan menghindari perlakuan
istimewa atas pihak lain.
Menganalisa suatu konflik memang sangat sulit dan rumit termasuk
memahami dampaknya, sisi positif dan negatifnya. Walaupun demikian harus ada
upaya mencari solusinya, mencari apa yang terbaik dari aspek-aspek perseteruan. MJ
Rehoboth sudah melakukan berbagai cara termasuk menempuh strategi mediasi.
Mediasi didefinisikan suatu forum dalam mana seorang mediator yang imparsial
secara aktif membantu pihak-pihak bertikai dalam mengidentifikasi dan memperjelas
masalah yang menjadi keprihatinan, dan membantu dalam hal merancang
penyelesaian dari masalah-masalah tersebut. Berdasarkan cirinya, tugas mediator
terutama adalah menjaga agar proses negosiasi berjalan dan tetap jalan, membantu
memperjelas apa sesungguhnya menjadi masalah dan kepentingan dari pihak yang
bertikai. Dengan kata lain, peran mediator adalah mengontrol proses, sedangkan peran
pihak yang bertikai adalah mengontrol isi dari kesepakatan 80.Tugas khusus mediator
ialah, Pertama, membangun, mempertahankan dan meningkatkan komunikasi. Kedua,
menyediakan informasi untuk dan antara pihak-pihak yang bertikai. Ketiga, menjadi
“sahabat” bagi pihak-pihak yang bertikai. Keempat, medorong apa yang disebut
mediasi aktif, yaitu memperkuat keinginan untuk terlibat dalam negosiasi kerja sama.
Berdasarkan definisi mediasi dari Covach diatas, ada persoalan konseptual
yang harus diselesaikan terlebih dahulu mengenai siapa dimaksudkan sebagai
mediator. Secara implisit Kovach melihat mediator hanyalah seorang individu dan
bukan suatu lembaga atau kelompok. Sehingga ada semacam batas yang dengan
80

Daniel Nuhamara, Op. Cit., 84

83

sengaja dibangun untuk membatasi kreatifitas sosial lembaga atau kelompok untuk
berpartisipasi dalam aktifitas sosial.
Dalam tulisan ini mediasi lebih dilihat pada fungsinya bukan pada siapa subjek
atau siapa yang melakuan mediasi (mediator). Entah dia sebagai seorang individu,
entah sebagai lembaga, entah sebagai kelompok tidak penting. Yang penting disini
ialah ada keprihatinan sosial untuk terlibat dalam penyelesaian konflik.
Menurut Lacey ada fase-fase mediasi yang bisa dijadikan referensi oleh
mediator yakni, fase persiapan, fase interaksi dan fase penutupan. Terakhir adalah
fase tindak lanjut. Fase-fase tersebut saling keterkaitan dengan yang lain. Artinya
semua fase akan menentukan berhasil tidaknya mediasi. Tetapi tidak berarti bahwa
setiap fase tersebut dilakukan sepenuhnya. Ada kondisi dimana salah satu fase tidak
terlalu berpengaruh atau tidak perlu dilalui. Misalnya, dalam fase persiapan; menurut
Lacey mediator memperkenalkan diri terlebih dahulu. Berdasarkan otoritas yang
melekat pada gereja sebagai institusi agama nampaknya tidak ada halangan berarti
untuk mendorong kedua belah pihak duduk bersama-sama. Itu berarti subyek yang
berkonflik tidak perlu lagi mendapatkan informasi soal kehadiran pihak ketiga dalam
penyelesaian konflik. Apalagi pihak-pihak terlibat konflik merupakan anggota jemaat
Rehoboth.
Dalam fase persiapan itu, ada hal penting yang tidak bisa dilewatkan begitu
saja. yakni peran gereja dalam hal ini sebagai mediator untuk berusaha menggali
sedalam-dalamnya informasi tentang masalah yang terjadi di kedua belah pihak.

84

Dikatakan penting karena mediator akan mendapat penggambaran masalah yang jelas
dari sudut pandang kedua pihak yang berkonflik.
Sejauh ini gereja telah berupaya memperlihatkan keseriusannya sebagai
“mediator”. Beberapa kali dilakukan pertemuan untuk memediasi agar tercapainya
solusi untuk masalah kedua belah pihak. Gereja bersama pemerintah dan aparat
berupaya sedemikian rupa menekan eskalasi konflik dengan harapan tidak menyebar
kemana-mana. Minimal di lokasi terjadinya konflik. Pertama-tama gereja melakukan
pendekatan kepada dua belah pihak untuk bisa duduk bersama membahas masalah.
Gereja bersedia menyediakan rumah ibadah sebagai lokasi diadakannya pertemuan.
Pertemuan selalu diawali dengan doa bersama. Setelah itu, barulah pembicaraan
dilaksanakan.
Walaupun gereja sudah memediasi dua belah pihak, tetap saja belum ada
tanda-tanda berakhirnya konflik. Hal itu bisa disebabkan kenangan buruk yang sulit
dilupakan oleh kedua belah pihak. Tetapi bisa juga disebabkan karna fungsi mediasi
yang kurang dilaksanakan secara baik—tidak ada evaluasi terhadap kesepakatan yang
telah dicapai. Tetapi juga karna kegagalan mediator yang terlihat kurang serius
menepati kesepakatan damai yaitu terlibat aktif menggiring pihak-pihak berkonflik ke
pengadilan sebagai syarat kesepakatan mediasi.
Mungkin berat rasanya, hal tersebut dilakukan oleh karna pertimbangan bahwa
mereka adalah warga jemaatnya sendiri. Tetapi suka ataupun tidak suka kesepakat an
tersebut harus dilaksanakan. Selain karna pertimbangan moral, tetapi juga didasarkan
alasan bahwa gereja tidak berkewenangan mengintervensi sampai ke tahap

85

pengadilan. Gereja hanya bisa melakukan penguatan moral dan melakukan pembinaan
pastoral.
Pelayanan pastoral merupakan pola pelayanan yang paling umum dipraktekan
di hampir semua gereja. Oleh karenanya tidak heran apabila, di perguruan tinggi yang
berlatar belakang Kristen terdapat mata kuliah yang secara khusus mengajarkan
tentang “konseling pastoral”. Yang dimaksudkan dengan konseling adalah suatu
bentuk pertolongan psikologis yang diberikan oleh seorang konselor Kristen terhadap
klien yang sedang menghadapi masalah untuk dipecahkan bersama. 81
Munurut Clinebel, pelayanan pastoral merupakan jenis pelayanan gereja yang
ditujukan pada kebutuhan manusia secara luas yang memfokuskan pada aspek
pertumbuhan. 82 Menurut Emmanuel Lartey, pelayanan pastoral tidak hanya melayani
individu yang bermasalah bukan saja perlu ditolong untuk memberdayakan dirik
keluar dari belenggu-belenggu psikologis tetapi juga dari belenggu-belenggu
struktural kemasyarakatan yang memperdaya. 83 Bentuk-bentuk pelayanan pastoral
bisa bermacam-macam; berkunjung dari rumah ke rumah (open tu open), pengajaran
dan kegiatan-kegiatan sosial lain yang berkaitan dengan visi gereja ke depan.
Begitu vitalnya posisi pastoral dalam rangka memberikan pelayanan maksimal
kepada

jemaat.

sehingga

tidak

mengherankan

apabila

MJ

Rehoboth

mempertimbangkannya dalam kaitan penyelesaian konflik antar pemuda Batu
Gantung. Dalam penyelesaian konflik, perangkat MJ Rehoboth sering mengunjungi

81

Hadi Sahardjo, Konseling Krisis dan Terapi Singkat Pertolongan di Saat-saat Sulit, (Bandung: Pionir
Jaya, 2006), 3-4
82
Howard Clinebell, Op. Cit., 54-55
83
Emmanuel Y. Lartey, Op. Cit., 67-68

86

dua kelompok bertikai secara open to open—mendengarkan keluhan dan berupaya
menengahi persoalan. Tetapi praktek penyelesaian konflik model ini juga belum dapat
menuntaskan persoalan. Faktanya, masih terjadi konflik yang berlangsung dalam
rentang waktu yang cukup panjang.
Kemungkinan, kegagalan penanganan konflik melalui pendekatan pastoral
terletak pada fungsi konselor yang terlalu mendominasi percakapan diantara klien dan
konselor. Ketika hal itu terjadi tidak menutup kemungkinan sikap menghakimi
sepihak sehingga muncul perasaan ketidakadilan dari pihak klien. Padahal menurut
Charles V. Gerkin, konselor adalah pendengar dan penafsir kisah-kisah.84 Ia harus
mendengar, kisah-kisah yang dikisahkan oleh klien kepada konselor. Ia harus juga
mampu menarik makna dari setiap peristiwa yang di kisahkan dan mampu menarik
benang-merah kisah kehidupan klien. Dengan demikian sikap menghakimi klien tidak
muncul. itulah kelemahan pendekatan pastoral terhadap kondisi masyarakat yang
telah tersegregasi akibat konflik.

84

Charles V. Gerkin, “Konseling Pastoral Dalam Transisi”, (Jakarta: Kanisius, 1992), 30

87

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB II

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB IV

0 0 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kadar Asam Urat dan Disabilitas Komunitas di Daerah Batu Gantung Dalam, Kelurahan Mangga Dua, Kecamatan Nusaniwe, Kota Am

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kadar Asam Urat dan Disabilitas Komunitas di Daerah Batu Gantung Dalam, Kelurahan Mangga Dua, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon

0 1 38