Studi Kajian Literatur Wanita Tidak Menikah 2016
lsBN 978-979796'170-1
7
6
SEMINARASEAN
2.0 PSYCHoLoGY & HUMANITY
PROSIDING
SEMINARASEAN
2'dPSYCHOLOGY
& HUMANITY
BAGIAN I
Optimalisasi Kekuatan lnsani untuk Produktivitas dan
Kesejahteraan
p['
Direktorat Program Pascasarjana
UniversitasMuhammadiyah Malang
S EMI NAR ASEAN
2 " dP S Y C H O L O G Y& H U M A N I T Y
O P s y c h o l o gFyo r u m U M M , l 9 - 2 0 F e b r u a r i 2 0 l 6
SUSUNAN PANITIA SEMINAR ASEAN
PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN II
Penasehat
Steering Comitte
: Difektur DirektoratProgramPascasarjana
UMM
(Dr. Latipun,M.Kes)
: Dr. lswinarti,lt4.Si
Dr. Diah Karmiyati,M.Si
ZainulAnwar,S.Psi,M.Psi
:
: Eko Kristanto,S.Psi
: Ditsar Ramadhan,
5.Psi
: M. Zefry Wahyu Purnama,S.Psi
: GerdaningTyasJadmiko,S.Psi
: NatariaYulianie,S.Psi
: AmeliaChoirun Nisa',S.Psi
Organizing Comitte
KetuaI
Ketuall
SekretarisI
Sekretarisll
I
Bendahara
Bendahara
ll
Sie.Kesekretariatan
.
Titi Fatiyyah,
S.Psi
I
AnnisaNur lslami,S.Psi
.
Inu Martina
.
Indra PraptoNugraha,S.Psi
r
NovitaAI 14uthmainah,
S.Psr
r
Ayu Nur Aisyah,S.Psi
Sie.Acara
:
r
LailaFitria,S.Psi.,
S.H
.
Desi Tri Purwad,S.Psi
.
Rr. AyundaPutri E.,S.T
'
Ulfa Diah,S.Psi
.
AgniyaDarmawanti,S.Pd
t
lda KumalaSari,S.Psi
SieKonsumsi
t
Dewi Nurchaifa,S.Psi
.
AzlinaAyu N., S.Pd
.
VironicaDwi Karina,S.Psi
.
Putri Bhestari,S.Psi
.
FitraSeprian,
S.Pd
LisrinBesriniKhamaera,
S.Pd
S r eH
. umas
YedijaEfraim,S.Psi,lY.M
M. JahidunNafi,S.Psi
SiePerlengkapan
:
.
f4ustikaRizkilmanita,S.Psi
.
LaleJustinA. Elizar,S.Psi
.
Debby Afradipca,S.Psi
.
NoviaSherlyana,
S.Psi
SiePubdekdok
:
.
A.PuteraPratamaMangewa,
S.Psi
.
X. FebrianAl-Amin,S.Psi
SEMINAR ASEAN
2 . dP S Y C H O L O G Y& H U M A N I T Y
O PsychologyForum UMM, | 9 - 20 Februari20| 6
Dafrtar lsi
Susunan Panitia
i i i- x i i i
Daftar lsi
ix
Pengantar:
Optimalisasi
Potensidan Produkrifiras
untuk Kesejahteraan
Psikologi
lswinoni
0r-06
KonselingSupportGroup PadaOrang DenganLupus(Odapus)
Aon Muzayonoh
07- tl
MemahamiRegulasi
Diri: SebuahTinjauanKonseprual
Abdul Manof
t2- t7
AnalisisFaktor SkalaTotalitas Kerja ( Work Engogement)
Abdul Rohmon Sholeh
t8-22
CorporateSocialResponsibility:
Pencitraan
Dan Transparansi
DuniaIndusrri
Abdulloh
23- 27
Profil KepribadianTes Wartegg (Studi Deskriprif PadaSeleksiKaryawan)
Adhyatman Probowo, Amelio Choirun'Nisa', & Gerdoning Tyos Jodmiko
28-32
FearOf Success
Dan Pengarusutamaan
Gender
Agustin Rohmqwoti
33-36
TerapiPerilakuKognitifUntuk Mengatasi
Kecemasan
Sosial:StudiKasus
Aji Rizki Meloti Ariestirio
37-44
Pengaruh
KonsepDiri, EtikaLingkungan
Hidup Dan SikapLingkungan
TerhadapPerilakuEkologisMangroveDenganlntensi PerilakuEkolotis SebagaiVariabelMediator
Akhmod Fouzie, Puri Aquorisnowoti, &Supriyotno Widogdo
45-51
StudiLiteratur:LiterasiEmosi
Anoyonti Rohmqwoti
52-61
HubunganSenseOf SchoolBelonging
DenganMisbehavior
PadaSiswaSekolahMenengahDi
PondokPesantren
Annisa Nur lslomi
62-68
TerapiPerilakuKognitifUntuk Menangani
Gangguan
ObsesifKompulsjt: StudiKasus
Ary Aniso
69-75
CognitiveBehaviorTherapyUntuk l'4eningkatkan
PerilakuRurin14inumObaaPadaPenderita
Skizofrenia
Bilol Zovonno Suloimon
76-79
StrategiSchoolWell-BeingDi SekolahMenengah
Atas (Sl,lA)Sebagai
Alar Evaluasi
Sekolah
Cicilio Rotno T.
80-87
SelfManagement
Untuk lYeningkatkan
Kebe.fungsian
SosialPadaPasienSkizofrenia
DessyHumairoh
88-94
PostTraumaticGrowth KorbanKekerasan
SeksualPadaDewasaAwal (SrudiDi Ko!a Samarinda)
Diah Rohoyu
SEMINAR ASEAN
2 " dP S Y C H O L O G Y& H U M A N I T Y
O P s y c h o l o SFyo r u m U M M , l 9 - 2 0 F e b r u a r i 2 0 1 6
9 5- t 0 l
: Nilai-Nilai Moral Umuk Optimalisasi
Kawruh PamomongKAS (Ki AgengSuryamentaraman)
BonusDemografi
Dian Eko Wicokono
t 0 2- t 0 7
Dan Loneliness
Shyness
Diono Sdvitri Hidoyoti
t08- |4
Berjalanl'4andiriAnak Autis
KemamPuan
TerapiPerilakuTerhadapUpayaMeningkatkan
Dini Fidyonti Devi
5- t2l
DepresaDenganPsikoterapilslami(l'lembacaDan MengkajiAl-Qur'an)
Mengatasi
Romodhon
Ditsor
t72 - t27
Singlel'4other
DalamSudutPandang
MaknaKebahagiaan
FenomenaPerceraian:
Dwi Astory Anggraheni
t28- t34
PadaLaki-LakiDan Perempuan
Perbedaan
TingkatKebersyukuran
Eko Kristonto
I 3 5- t 4 0
Sayang
Sebagai
Pembuktian
BersetubuhDenganPacar:Perkosaan
(KisahCinta SeorangAnggotaPolisi)
Erik Sout Hutopean
t4t- t48
HubunganOptimismeDan PrestasiAkademik:SebuahMetaAnalisis
Foroh Auliq
t49- t59
SD
Naksir(Crushes)PadaSiswa-Siswi
Forida Harohop
t60- t64
PeranEmpaaiDalamPerilakuBullyint
Fikrie
PerilakuRutinMinum Obat PadaPasien
Untuk lYeningkarkan
RewardDan Punishment
t 6 5- 1 6 9 Penerapan
Skizofrenia
Goluh Dwintq Sori
Seksual
MaknaHidup PadaKorbanPelecehan
Untuk Meningkatkan
1 7 0- 1 7 5 KonselingEksistensial
Hono Boiso
t 1 6- t 8 7
Dan EmphatyPadaPerilakuPrososialRemaja
KontribusiAgreeableness
Hono Athid Akhzqlimi
1 8 3- t 8 9
BerobatPadaPenderitaSkizofrenia
Kesadaran
KonselingClient-CenteredUntuk Meningkatkan
Hardiyonti Rohmoh & Nido Hosonoti
t90 - t97
Of LifeStudentThat
RoleAs MediatorBetweenDepressionAnd TasteMeaningfulness
Resilience
HaveObesity
lndrc Prspto Nugroho
t97- 202
BenrukPerilakuBeresikoPadaRemaia
Experimentation
Sebagai
Loilotul Fitrio
2 0 3 - 2 r 0 DevelopingSpnituolQuotientAt lslomicElementorySchoolOfTompokersonLumoiang
2ll-2t6
Lufiono Harnony Utomi
KeluargaDan ProstirusiPadaRema]a
Kemiskinan,
Lutfi lrwonsyah
tv
SEMINAR ASEAN
2"d PSYCHOLOGY & HUMANITY
©Psychology Forum UMM, 19- 20 Februari 2016
217- 224
Pengaruh Kekuasaan Orang T ua T erhadap Perkembangan Anak Usia Dini
M.lmron Abadi
225-230
Penerapan Solution-focused Brief Group Therapy (SFBGT) Untuk Meningkatkan Self-Esteem Pada
Remaja Putri Di Panti Asuhan
Margaret Khoman, Soemiarti Patmonodewo.& Agustina
23 I-237
Gaya Bel ajar Felder-Soloman Dan Hasil Be/ajar Sains Di Sekolah Dasar
Marzoan
238- 245
Pengaruh Strategi Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Pemahaman Konsep IPS
Kelas VIII Di SMP Dalam Self Regulated Learning
Moch. Syaichudin, I Wayan Ardhana, I Nyoman Sudano Degeng, & Sulton
246 - 253
Makna Kebahagiaan Dan Romantic Love Pada Remaja Putri Penghafal Qur'an : Study
Fenomenologis Di Base Camp Qur'an An-Nisa Malang
Muhaeminah
254- 260
Dampak Perbedaan Pol a Asuh T erhadap Perilaku Agresif Remaja Di SMA 5 Paraya
Muhammad Munawir
261-264
Hubungan Antara Agresi Dan Harga Diri : Peranan Emosi Disregulasi Dalam Memediasi Agresi
Dan Harga Diri
Muhammad Amri M. Ishak
265 - 274
Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri Pada Penderita Gaga! Ginjal
M. Zefry Wahyu Purnama
275 - 281
Hubungan Antara Kekerasan Dalam Media Dengan Perilaku Agresif: Study Meta AnaJisis
Muhammad Nur Hidayah
282 - 288
Model Dinamis-Dua Jalur Pada Tingkat Partisipasi Politik Mahasiswa Di Jogjakarta
Muhammad Wahyu Kuncoro & Anwar
289- 294
Konseling Behavior Dan Ketrampilan Sosial Untuk Meningkatkan lnteraksi Sosial Pada Pasien
Skizofrenia
Mutia Pangesti
295- 301
Peran Konselor Dalam Mengembangkan Karier Siswa SMK Melaui Kewirausahaan Sebagai Model
Di Era MEA
Nanda lstiqomah
302- 309
Studi Kajian Literatur Tendensi Wanita Tidak Menikah Di Berbagai Negara
Nanik
3 I0 - 3 I4
Need For Change Dan Penampilan Wan a Paruh Waktu
Novia Sherlyana
315 - 323
Adaptasi Alat Ukur Organizational Citizenship Behavior Metode Peer Review Di Indonesia
Novika Grasiaswaty & Fahmi Ratna Juwita
324 - 33 I
Konsep Flourishing Dalam Psikologi Positif: Subjective Well-Being Atau Tidak
Nurlaifa Effendy
332- 340
Efektifitas Penggunaan Multimedia Untuk Mengembangkan Kemampuan Membaca Awal Anak Usia
Dini
Reza Oktivia Hamenda
v
SEMINAR
A,SEAN
2hdPSYCHOLOGY & HUMANITY
O P s y c h o l o g yF o r u m U M H , l 9 - 2 0 F e b r u a r i
2016
341 - 347
PengaruhKecenderunSanNeurotik YangDimediasiEfikasiDiri Tehadap Subjective
Welt-Being
PadaMahasiswa
Riq Wiyqtfi Linsiyq
34B - 352
Urtensi Psychologicol
Well-BeingBagiKonselor Sekolah
Ribut Purwoningrum
353 - 357
TekananTemanSebaya
TerhadapPerilakuBuiiying
PadaRemajaDi Sekolah
Rinq Fotorubo
358 -37 |
Prokrastinasi
Akademik,StressAkademikDan KepuasanHidup Mahasiswa
: ReviewKonseptual
Rindro Risdiontoro
372 - 376
PenerapanMetode Lovaas(ABA) Untuk MeningkatkanKontak Mata DenganAnak GangguanAuris
Rizki Resmisori
377 - 383
KonselingEksistensialUntuk MeningkatkanKebermaknaanHidup PadaPenderitaSkizofrenia
:
SrudyKasus
Rizqo Sobrino
384 - 391
HubunganHarga Diri Dan KesepianDenganDepresi PadaRemaja
Rr. Niq Poromito Yusuf
392 - 397
HubunganPsychologicol
Well-Beinglbu DenganAnak Autis DenganStres pengasuhan
Sokhiyyotus So'diyah
398 - 404
SeifReguloted
leorningSalahSatu Modal KesuksesanBelaiarMaupunMengajar
Shofiyotul Azmi
405 - 409
HubunganKomitmenBeragama
DenganPerilakuSeksPra Nikah padaRemaja
Siti Mo,munoh
410 - 417
EmotionolComepete
nceOf YoungChildernfn Malang,Indonesia
Siti Suminorti Fosikhah, luke R. Siregor, Kusdwirqtri Setyono, & Nsmiyoti E, Koesno
418 - 427
DukunganSosialDan Depresi: StudyMetaAnalisis
Siti Zuhqnq Sqri
428 - 435
AnalisaPsikometrikAlat Ukur Ryffs Psychologkol
Well Being(RPWB) Versi BahasaIndonesia:Studi
PadaLansiaGuna Mengukur KesejahteraanDan Kebahagiaan
Sofo Amalio
436 - 440
Pengembangan
OrientasiMasaDepanMelaluiBasicSkillDan VocarionalTrainingPadaAnak Didik
Lembaga
Pembinaan
KhususAnak Bandung
Sri Moslihoh, M. Ariez Musthofq & Gemols Nurrendoh
441 - 446
Moritol Flourishing,
Virtue,Don KehiduponYongBoik
Siti Rohmqn Nurhoyoti
447- 453
Posttroumotic
CrowthPadaKecelakaanLalu Lintas
Titi Fatiryoh
454- 474
RisetTerkiniIntervensiBerbasis
sekolahUntuk PromosiKesehatan
Mentalsiswa:sebuahReview
Sistematis
Usmi Koryoni, lrq Porqmqstri & Nailq Rqmdhani
SEMINAR ASEAN
2 " dP S Y C H O L O G Y& H U M A N t T y
O PsychologyForum UMM, | 9 - 20 Februari20t 6
475- 487
HubunganAntara fhe BigFivePersonolity
DenganGrotitudePadaWarga BinaanPermasyarakatan
Di
LembagaPermasyarkaran
Wanin Kelasll A Malang
Wohyu Andoyoti
488 - 494
ChildMonogement
DenganTehnikModeiling
Untuk MenurunkanPerilakuAgresiPadaAnak Dengan
Disabilitas
lntelektual
Wohyu Utomi
495- 50r
PengaruhKecenderungan
EksraversiTerhadapPsychological
Well Being
Windo Ayu Besthori
502- 508
Penerapan
StrategiPembelajaran
BerbasisScience
TechnologySocietyPadaMateripembelajaran
l4inyakBumidi SMUAdvent Purwodadi
Winny Reveline Pessik
509-5t8
Effektiviras
Modul Pembelajaran
TematikKelautandan KemaritimanUnruk l"lenumbuhkan
lyinat
Kebaharian
padaAnak UsiaDini di TamanKanak-Kanak
Wiwik Sulistioni & Dewi Mustomi'oh
5l9 - 525
AssertiveTraininguntuk Mengurangi
PerilakuSubmissive
padaRemaiaGanggugan
Disabilitas
lntelektualRingan:
SebuahLaporanKasus
Yonuorty Poresmo Wohyu Ningsih
526 - 529
PenSaruhBerbagaiPengetahuan:
PertukaranEkonomi atau PertukaranSosial
YessyElito
530 - 540
Penerapan
StrategiSosiolScierceInquirydanKemampuanBerpikirLogispadaPembelajaran
PPKN
di SMA
Hernowqty Domonik
541- 549
Pengaruh
Citra Tubuh terhadapGejalaBody DismorphicDisorderyangDimediasiHargaDiri pada
RemajaPurri
Merlino Nourmolito
5 5 0- 5 6 0
Stigmadan KeinginanMencariBantuanPsikologis
di LayananProfesional
: l,1etaAnalisis
Kqftikq Nur Fathiyoh
5 6 1- 5 6 6
KajianTentangPsychological
Well-BeingPadaAnak Tunanetradi SekolahMenengah
Atas Luar
Biasa(Slt4ALB)
Desy Sontiko Dewi
567- 570
Penintkatan
PrestasuBelajarpadaMataPelajaran
llmu Pengetahuan
Sosial(lPS)lYateriSejarah
denganmentodepermainanmenggunakan
mediakartu bagisiswasekolahdasar
Lo ksmi Pu sp itow o rd h o n i
57t - 577
Keragaman
Sumberdaya
InsaniSebagai
Potensil',leningkatkan
Kesejahteraan
Karyawan
Susotyo Yuwono
578 - 584
PengaruhAltruisticBehoviorterhadapPsychologicoll
We/i BeingpadaRelawandi SanggarHati Kita
Tulungagung
Irmo Silvi
585 - 592
Pemaafan
Padalstri YangSLrami
Berselingkuh
(StudiKualitatifPadaWanita KorbanPerselingkuhan
Di l'laumere)
Mikhoel De Fretes,Morio Nono Noncy, & Sitti Anggroini
vtl
Studi Kajian Literatur
Wanita Tidak Menikah Di Berbagai Negara
Nanik
Mahasiswa Program Pendidikan Doktor Psikologi Universitas Airlangga
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
[email protected]
Wiwin Hendriani
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
[email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini ingin melakukan studi kajian literatur tentang bagaimana tendensi
wanita tidak menikah pada rentang usia dewasa awal sampai dewasa akhir di berbagai
negara sebagai salah satu proses penelitian disertasi. Desain studi kajian literatur ini ialah
narrative review dari berbagai hasil penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
yang telah dipublikasikan dalam bentuk jurnal, proceeding dan penulisan ilmiah on line.
Studi kajian literatur tentang tendensi wanita tidak menikah ini diperoleh dari beberapa
hasil penelitian di berbagai negara, meliputi : Amerika,
Cina, India, Indonesia, Israel,
Jerman dan Malaysia. Adapun tema-tema diperoleh dari studi kajian literatur tersebut,
meliputi : 1) Peningkatan prosentase jumlah wanita tidak menikah ; 2) Latar
belakang/alasan menjadi wanita tidak pernah menikah / mempertahankan tidak menikah
hingga saat ini ; 3) Tipe dan siklus lajang ; 4) Stigma sosial; 5) Ambivalensi ; 6)
Keuntungan ; 7) Kerugian/problem-problem yang dialami; 8) Persepsi orang pada
umumnya/keluarga terhadap wanita tidak pernah menikah vs persepsi wanita tidak
menikah ; 9) Peran dukungan sosial ; 10) Coping yang dilakukan; dan 11) Pemenuhan
tahapan tugas perkembangan : intimacy
dan generativity.
Hasil ulasan tema-tema
tersebut dapat memberikan masukan yang berarti terhadap topik-topk kajian penelitian
selanjutnya tentang wanita tidak menikah, seperti stigma sosial, konsep diri, persepsi
wantia tidak menikah terhadap status tidak menikah dan status menikah dan persepsi
wanita menikah terhadap status tidak menikah dan status menikah pada generasi wanita
masa kini, well-being, coping stress, dan empowering.
Kata Kunci : ambivalensi, coping, empowering, intimacy dan generativity, tipe dan siklus
lajang, dan
stigma sosial.
I. Latar Belakang
Studi kajian literatur ini merupakan bagian dari proses penelitian disertasi penulis.
Diawali dengan penelitian pendahuluan terhadap dua responden wanita tidak pernah
menikah hingga di akhir usia dewasa madya, penulis ingin melanjutkan dengan narative
review dari hasil studi kajian literatur untuk menemukan tema-tema yang universal dialami
wanita tidak menikah di berbagai negara dan menemukan berbagai topik penelitian
tentang wanita tidak menikah. Berikut ini penulis hendak memaparkan bagaimana proses
awal perkembangan kajian wanita tidak menikah di negara maju hingga saat ini dan hasil
studi kajian literatur penelitian kuantitatif dan kualitatif tentang wanita tidak menikah.
Di negara maju / barat, khususnya Amerika, kajian tentang peran pernikahan
terhadap kesehatan mental wanita dan pria menikah sudah mulai dilakukan pada tahun
1960. Hasil penelitian Gurin, dkk (1960) tentang kesehatan mental dan kebahagiaan
memberikan fakta-fakta empiris bahwa wanita merasakan pernikahan lebih sulit daripada
pria. Wanita melaporkan problem-problem pernikahan lebih banyak daripada pria dan
wanita cenderung kurang bahagia dengan pernikahan mereka. Mengingat pada periode
tersebut wanita di negara maju mulai dihadapkan pada konflik peran ganda (disitat dari
Gove, 1972).
Berikut ini uraian sitat dari Gove, 1972 , sebelum tahun 1960, ada sebuah stigma
nyata yang melekat pada wanita yang menjadi tidak menikah. Sebuah studi tahun 1950an
menunjukkan bahwa wanita bertahan tidak menikah terutama karena alasan-alasan
negatif, seperti membenci pria atau merasa jelek (Kuhn, 1955). Pada tahun 1960-an,
Helen Gurley Brown (1962/1983), meskipun pada umumnya tidak mengakui sebagai
seorang feminis, para wanita terdorong menjadi lebih asertif, memiliki kompetensi dan
mempertahankan pendapat menikah atau tidak. Pada tahun 1970-an, ada alasan-alasan
positif untuk mempertahankan tidak menikahnya seperti lebih banyak kesempatan untuk
pengembangan pribadi dan meningkatkan kebebasan (Lowenstein, 1981 dan Stein,
1976).
Berikut ini uraian yang disitat dari Lewis dan Moon (1997). Pada awal tahun
1980an, Nadelson dan Notman (1981) menyimpulkan bahwa ada banyak alasan wanita
tidak menikah, tetapi suatu tema umumnya ialah menjadi seorang istri dilihat sebagai
suatu peran berpangkat lebih rendah. Studi Peterson (1982) tentang wanita tidak menikah
(berusia 20-78 tahun) setuju menambahkan bahwa mempertahankan tidak menikah
merupakan suatu bentuk dari penolakan diri atau memboikot. Selama waktu berikutnya
1980-an,
literatur
mempertahankan
feminis
tidak
memberikan
menikah
kesan
bahwa
(Hicks&Anderson,
banyak
1989;
wanita
Nadelson,
memilih
1989;
Nadelson&Notman, 1981; Walters dkk, 1998). Pada tahun 1990-an telah ada suatu studi
baru yang menghormati tentang kesuksesan wanita tidak menikah yang memimpin
kehidupan penuh dan berisi. Tahun 1990-an juga terbuka sebuah eksplorasi dari
kehidupan tidak menikah di masa dewasa sebagai sebuah tahapan kehidupan tersendiri.
Dari studi kajian beberapa jurnal yang diperoleh, baik dari penelitian kuantitatif dan
kualitatif dari banyak negara Barat dan Timur menunjukkan beberapa hasil kajian yang
menarik untuk diulas, meliputi : 1) Peningkatan prosentase jumlah wanita tidak menikah ;
2) Latar belakang/alasan menjadi wanita tidak pernah menikah / mempertahankan tidak
menikah hingga saat ini ; 3) Tipe dan siklus lajang ; 4) Stigma sosial; 5) Ambivalensi ; 6)
Keuntungan ; 7) Kerugian/problem-problem yang dialami; 8) Persepsi orang pada
umumnya/keluarga terhadap wanita tidak pernah menikah vs persepsi wanita tidak
menikah ; 9) Peran dukungan sosial ; 10) Coping yang dilakukan; dan 11) Pemenuhan
tahapan tugas perkembangan : intimacy dan generativity. (Gove, 1972; Lewis&Moon,
1997; Situmorang, 2005; Hertel, dkk, 2007; Ibrahim, 2009;
Wang&Abbott, 2013;
Beri&Beri, 2013; Winterstein, 2014; dan Nanik, 2015).
II. Tinjauan Pustaka
Oxford dictionary (2010) mendefinisikan single sebagai orang yang tidak menikah
atau tidak terlibat dalam suatu relasi seksual menetap. Oleh karena itu populasi single
termasuk yang tidak menikah karena janda, bercerai, terpisah, atau tidak pernah menikah
(Byrne, 2000; Ibrahim&Hassan, 2007, disitat dari Winterstein, 2014). Lamanna&Riedman
(1994) never-married singles diberi kesan secara eksklusif untuk menggambarkan orang
yang tidak pernah menikah dan tidak terlibat dalam suatu pasangan intim, membedakan
mereka dari populasi single pada umumnya (disitat dari Winterstein, 2014)
Stein (dalam Benokraitis, 2011) menggolongkan tipe wanita tidak menikah menjadi
empat, yaitu :
1. Voluntary temporary singles
Individu yang tidak pernah menikah dan memiliki keinginan untuk menikah, namun
tidak mencari pasangan secara aktif, melainkan memprioritaskan kegiatan lain, seperti
pendidikan, karir, politik. Kelompok ini juga termasuk mereka yang hidup bersama namun
tidak menikah, namun suatu saat nanti mengharapkan pernikahan.
2. Voluntary stable singles
Individu yang tidak pernah menikah, sudah bercerai ataupun janda yang memutuskan
untuk tidak menikah lagi, dan hidup bersama dengan orang lain namun tidak memiliki
keinginan untuk menikah. Kelompok ini juga termasuk individu yang memprioritaskan
agama sehingga tidak menikah, seperi pastur atau suster.
3. Involuntary temporary singles
Individu yang belum pernah menikah dan secara aktif mencari pasangan, tetapi belum
menemukan. Kelompok ini juga termasuk mereka yang bercerai atau janda dan single
parent, namun masih menginginkan untuk menikah kembali.
4. Involuntary stable single
Individu yang tidak pernah menikah dan memiliki harapan untuk menikah, namun
menerima kemungkinan akan hidup sendiri. Tipe ini terdiri atas individu yang telah
bercerai dan sudah tua. Mereka gagal dalam mencari atau mendapat pasangan karena
alasan fisik, psikologis, dan sosial, misalnya gila atau cacat.
Schwartberg (1995) mengungkapkan lima model siklus kehidupan tidak menikah
dewasa, meliputi : 1) the not yet married, 2) the thirties, entering the “twilight zone” of
singlehood, 3) midlife (usia 40-50 tahun), 4) later life (usia 50 tahun hingga kesehatan
menurun), dan 5) elderly (kesehatan menurun hingga kematian), disitat dalam
Lewis&Moon (1997).
Wanita tidak menikah pada umumnya berada pada tahapan tugas perkembangan
dewasa muda dan masa dewasa, meliputi keintiman dan generativitas. Keintiman
dipahami sebagai kemampuanmengintegrasikan identitas pribadi dengan identitas pihak
lain tanpa takut kehilangan identitasnya sendiri. Keintiman yang matang dipahami sebagai
kemampuan dan kesediaan untuk berbagi rasa percaya satu sama lain. Keintiman yang
matang membutuhkan pengorbanan, kompromi dan komitmen dalam sebuah hubungan
antara dua pihak yang setara. Generativitas dipahami sebagai pembangkitan makhlukmakhluk baru, produk-produk baru, dan ide-ide baru. Generativitas juga dipahami sebagai
pembangunan dan penuntunan generasi masa depan, mencakup prokreasi anak-anak,
produksi kerja, dan penciptaan berbagai hal dan ide baru yang memberikan kontribusi
bagi pembangunan sebuah dunia yang baik (Feist dan Feist, 2006).
III. Metodologi Penelitian
Narrative Review umumnya dipakai untuk mengulas review literatur secara umum,
dan biasanya kurang sistematis atau kurang transparan tentang bagaimana peneliti
melakukan proses sintesis dari berbagai hasil penelitian. Narrative review biasanya
berupa ulasan dari berbagai hasil penelitian terkait (Popay, 2006).
Narrative review dari penelitian-penelitian tentang wanita tidak menikah meliputi
beberapa tahap. Pertama, penulis mencari dan memilih penelitian-penelitian yang relevan
dengan topik, berdasarkan pada analisis secara garis besar terhadap hasil penelitian,
mengingat jumlah jurnal yang didapatkan dari database cukup banyak, namun tidak
semuanya memuat hasil penelitian yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian
tentang tendensi wanita tidak menikah di berbagai negara. Kedua, penulis memisahmisahkan dan mengklasifikasikan jurnal-jurnal tersebut menjadi beberapa kategori
mengikuti tahapan usia perkembangan dan siklus lajang (dewasa awal di atas 30 tahun
hingga dewasa akhir di atas 65 tahun) untuk melihat tendensi wanita tidak menikah dari
beberapa generasi. Mengingat pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah
narrative review, penulis tidak melakukan penilaian metodologi primary studies, misalnya
analisis terhadap metode pengumpulan data, metode analisis data maupun pada faktorfaktor metodologi lain yang dapat mempengaruhi kualitas hasil primary studies tersebut.
Penulis juga tidak melakukan pengelompokan (clustering) secara sistematis (misalnya
melalui olah statistik) berdasarkan kategori-kategori temuan sebagaimana yang
dipersyaratkan jika hendak melakukan narrative synthesis.
Seleksi primary studies (jurnal-jurnal yang direview dalam tulisan ini) didapatkan
melalui database e-journal: ScienceDirect, SpringerLink, Sage Jurnal Online, dan
Proquest.
Kata kunci yang digunakan untuk menelusur jurnal-jurnal tersebut adalah:
“single women”. Penulis tidak membatasi tahun terbitan jurnal penelitian.
IV. Hasil Narrative Review
A. Peningkatan prosentase jumlah wanita tidak menikah
Seiring dengan perubahan jaman, tidak hanya di negara-negara barat, seperti
Eropa dan Amerika, namun juga di negara-negara Asia, pilihan menjadi wanita tidak
menikah
berkembang menjadi suatu gaya hidup. Penghindaran menikah di Asia
merupakan sesuatu yang baru dan pelanggaran. Tiga puluh tahun lalu, hanya 2% wanita
tidak menikah di hampir semua negara Asia. Wanita tidak menikah di usia 30-an di
Jepang, Taiwan, Singapura, dan Hongkong meningkat 20 poin atau lebih. Di Thailand,
jumlah wanita tidak menikah yang memasuki usia 40-an meningkat dari 7% pada tahun
1980 menjadi 12% pada tahun 2000. Di beberapa negara, rata-rata tidak menikah lebih
tinggi, 20% di antara wanita berusia 40-44 tahun di Bangkok, 27% di antara wanita berusia
30-34 tahun di Hongkong ( Beri dan Beri, 2013).
Uraian berikut ini merupakan hasil sitat dari Situmorang, 2005. Di beberapa negara
Asia Selatan-Timur seperti Manila, Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur dan Yangon, ratarata wanita tidak pernah menikah di usia 30-an dan 40-an begitu tinggi. Pada tahun 1990,
proporsi wanita berusia 45-49 tahun mempertahankan tidak pernah menikah mencapai
9% di Manila, 11% di Bangkok, 8% di Singapura dan Cina, 7% di Kuala Lumpur-Cina dan
11% di Yangon. Memasuki tahun 2000, proporsi wanita tidak menikah pada usia 45-49
tahun di Bangkok melompat menjadi 17%, 13% Singapura-Cina, 10% Kuala Lumpur-Cina,
dan 15% di Yangon (Jones, 2004: lampiran tabel 2). Sesuai dengan laporan sensus pada
tahun 1971 dan 2000, proporsi wanita tidak menikah berusai 30-34 tahun di Indonesia
telah meningkat dari 2.2% menjadi 6.9% dalam tiga dekade (30 tahun), sementara itu
peningkatan pada pria dari 6.1% menjadi 11.8% (Jones 2004). Proporsi para dewasa tidak
menikah di kota-kota besar seperti Jakarta, lebih tinggi. Pada tahun 2000, 14.3% wanita
berusia 30-34 tahun di Jakarta tidak pernah menikah, sementara pada pria 21.1% (Hull,
2002).
B. Latar belakang/alasan menjadi wanita tidak pernah menikah / mempertahankan
tidak menikah hingga saat ini
Ada beberapa faktor yang menyebabkan wanita tidak menikah mulai dari usia
dewasa awal (30 – 40 tahun) hingga usia dewasa akhir di atas 65 tahun di Amerika, Cina,
Indonesia, Malaysia, dan Israel. Faktor-faktor tersebut, meliputi : usia yang dianggap
sudah terlalu tua, fisik yang dianggap kurang menarik, adanya ketidaktepatan waktu ketika
bertemu dengan seorang pria, atau merasa bahwa menemukan pria yang tidak tepat,
adanya kelemahan karakter pada diri sendiri maupun orang lain, kehilangan kepercayaan
dalam pernikahan, memprioritas karir dan kemandirian, tidak mampu menemukan pria
yang cocok untuk menikah, menunda terlalu lama untuk menikah karena prioritas lain dan
menjadi wanita bekerja, keunikan karakteristik diri dibandingkan wanita pada umumnya di
jamannya (dominan dan mandiri), perbedaan prinsip gender pada jamannya (peran wanita
tidak dihargai setara dengan pria dalam keluarga), aspirasi berprestasi dan ingin
mengaktualisasikan diri untuk dihargai karena diri sendiri bukan karena status suami, dan
mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi pernikahan yang harus dijalani nanti (Lewis
dan Moon, 1997; Situmorang, 2005; Gaetano, 2009; Ibrahim, 2009; Winterstein, 2014; dan
Nanik, 2015).
Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi wanita tidak menikah berusia di atas
28 tahun di India karena mereka percaya bahwa menikah tidak perlu dan tidak baik untuk
wanita. Mereka juga setuju bahwa wanita dapat merawat lebih baik orangtua mereka.
Mereka berpendapat bahwa wanita tidak menikah mampu merawat diri sendiri tanpa
pernikahan. Semua wanita tidak menikah percaya bahwa tidak menikah membuat hidup
mereka fleksibel dan mandiri dalam konteks tempat tinggal, pekerjaan, keuangan, dan
waktu pribadi, menghasilkan nilai dan kebahagiaan. Mempertahankan tidak menikah
karena pilihan sendiri, menginginkan identitas diri dan kemandirian, ambisi tinggi dan
dedikasi kehidupan untuk alasan seorang bangsawan. (Beri&Beri, 2013).
C. Tipe dan siklus lajang
Awalnya kebanyakan wanita tidak menikah tidak pernah memutuskan untuk tidak
pernah menikah sampai akhirnya dengan berjalannya waktu mereka menjalani kehidupan
dengan sikap ambivalensi : siap menikah jika bertemu dengan laki-laki yang tepat dan
siap tidak menikah jika tidak bertemu dengan laki-laki yang tepat (stable involuntary).
Sebagian di antara wanita tidak menikah berusaha aktif mencari karena ingin menikah
(temporary involuntary), namun juga ada yang ingin menikah, tidak berusaha aktif mencari
dengan kesibukan rutinitas bekerja (temporary voluntary). Selanjutnya ada pula yang
sudah menetapkan untuk menjadi wanita tidak pernah menikah di usia 40-an (stable
voluntary), (Situmorang, 2005; Ibrahim, 2009, Wang&Abbott, 2013; Winterstein, 2014; dan
Nanik, 2015).
Siklus lajang yang terasa berat dialami pada wanita tidak menikah ialah pada saat
usia 30-40 tahun (the thirties, entering the “twilight zone” of singlehood). Ada juga yang
merasa berat pada siklus lajang, saat usia akhir 20 tahun dan awal 30 tahun (the late
twenties to early thirties, the not yet married), Situmorang, 2005; Winterstein, 2014; dan
Nanik, 2015.
D. Stigma sosial
Dalam masyarakat Malaysia, wanita tidak menikah dilabel “andartu” atau perawan
tua. Kenyataan bahwa mereka tua tetapi masih seorang perawan seringkali dipanggil
dengan ucapan kata-kata sinis, seperti “kasihan/sayang, dia perempuan belum mengalami
seks juga, dan dia perempuan tidak laku (Ibrahim, 2009). Seorang wanita tidak menikah
di Indonesia seringkali dipersepsikan sebagai seorang perawan tua yang tidak
mendapatkan seorang laki-laki karena tidak menarik, cacat atau tidak kompeten; seorang
lajang kota (city single) yang tidak menginginkan seorang pria karena berpendidikan
tinggi, ambisius, berpikiran dan menetapkan tidak menikah, pribadi aktif dan berkarir
(Situmorang, 2005). Selanjutnya di Amerika stereotype atau stigma sosial pada wanita
tidak menikah ialah spinsters (gadis/perawan tua) atau old maids (gadis/perawan
tua/orang yang terlalu cermat), mulai ditinggalkan. Anderson dan Stewart,1994 (disitat
dari Lewis and Moon, 1997) mencatat bahwa media menggambarkan wanita tidak
menikah secara bercabang dalam dua bagian seperti pathetic leftovers from the marriage
market (kelebihan/sisa yang menyedihkan dari pasar pernikahan) , unhappy and
desperate (tidak bahagia dan putus asa), atau power-obsessed barracudas bent only on
greedily acquiring the empty rewards of money and fame(bara kuda yang terobsesi
kekuasaan-yang dengan tamaknya hanya tunduk pada penghargaan kosong dari uang
dan ketenaran).
Beberapa stigma sosial di atas tersebut tidak dipungkiri bahwa sebagian besar
dialami oleh para wanita tidak menikah di berbagai negara, namun dengan perkembangan
tidak menikah menjadi suatu pilihan dan gaya hidup telah membawa suatu perubahan
terhadap stigma wanita tidak menikah. Di lingkungan komunitas masyarakat yang memiliki
pandangan yang moderat terhadap pilihan dan gaya hidup tidak menikah dan mengakui
kesetaraan gender, wanita tidak menikah masih mendapatkan pengakuan secara positif
sebagai wanita yang mandiri, wanita sukses dengan mengambil jalan lain melalui
pengembangan karir dan peningkatan diri, dan tidak berorientasi untuk menikah, seperti
yang dialami beberapa responden dalam penelitian Situmorang, 2005 dan Ibrahim, 2009.
E. Ambivalensi
Wanita belum juga menikah di Cina dengan usia 30-an, tidak bisa menyatakan
bahwa mereka tidak ingin menikah dan memutuskan untuk tidak menikah selamanya.
Mereka akan menikah apabila menemukan laki-laki yang tepat. Hal ini berkaitan dengan
harapan keluarga, tuntutan budaya dan stigma sosial yang tidak diinginkan. Semua
partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa mereka akan menikah suatu saat nanti
di masa depan. Mereka mengakui tidak menikah hanya karena mereka sedang mencoba
untuk menemukan orang yang tepat. Mereka juga merasa bahwa mereka akan menyerah
beberapa kriteria seleksi penting dan memilih sedikit kriteria daripada pasangan yang
disukai jika mereka menikah. (Wang & Abbot, 2013).
Wanita tidak pernah menikah hingga berusia tua (62-87 tahun) di Israel
mengekspresikan perasaan yang ambivalen. Mereka merasa kehilangan kesempatan
dalam proses pengalaman kepuasan kehidupan umum dan ketidaklengkapan sebagai
wanita tidak pernah menikah tanpa anak, meskipun mereka memiliki keberhasilan dalam
mengisi kehidupan mereka dengan berisi dan bermakna. Mereka juga mampu untuk
mempertemukan
kekosongan di antara tahapan-tahapan normatif kehidupan, seperti
memelihara sebuah keluarga dan cucu-cucu, di mana mereka tidak berpengalaman dan
berada pada tahapan kehidupan tidak diharapkan, serta menggantikan dalam sebuah
lingkaran hubungan pribadi, terutama melalui keterlibatan mereka dalam keluarga besar
atau dalam teman-teman mereka. Perasaan ambivalen wanita tidak pernah menikah
tanpa anak ini didukung dengan budaya Yahudi yang memandang bahwa menjadi tua dan
tidak pernah menikah tanpa anak adalah tidak bermoral (Winterstein, 2014).
Ada wanita tidak pernah menikah di Indonesia hingga mendekati akhir usia
dewasa madya berlatar belakang muslim yang menganut nilai bahwa menikah itu ibadah,
sehingga apabila dia dipertemukan dengan laki-laki yang sesuai dengan yang
diinginkannya, ia mau menikah. Meskipun demikian, ia juga sudah siap apabila tidak akan
menikah selamanya. (Nanik, 2015).
Dengan demikian sikap ambivalensi ini didukung dengan value yang dianut dari
agama, harapan diri yang sebenarnya, harapan keluarga, dan tuntutan normatif sosial
budaya di lingkungan tempat tinggal.
F. Keuntungan
Berikut ini adalah keuntungan-keuntungan yang pada umumnya dialami oleh
wanita tidak menikah di berbagai negara (Lewis dan Moon, 1997; Situmorang, 2005;
Winterstein, 2014; dan Nanik, 2015) :
1. Bebas merawat seorang pria, bebas untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, saat
menginginkan dan bagaimana menginginkan, bebas memberikan jawaban kepada
yang lain dalam konteks waktu, pengambilan keputusan, dan perilaku.
2. Bangga dalam pencapaian dan investasi yang dikumpulkan selama satu tahun dari
kesendirian, memiliki teman-teman yang dapat memperhatikan sebagai seorang pribadi
dan tidak menjadi bagian dari pasangan.
3. Kebebasan dan kemandirian.
4. Memiliki kebebasan berpikir dan bekerja dan memperoleh pendapatan diri sendiri yang
cukup.
5. Kesempatan
luas
untuk
mengembangkan
diri,
pencapaian
karir
yang
baik,
mengekspresikan aktualisasi diri/ menyalurkan kebutuhan berprestasi, memiliki waktu
pribadi jauh lebih bebas untuk bisa mengurus diri sendiri, menyalurkan hobby,
beraktivitas keluar rumah/berpergian tanpa beban, bebas mengelola keuangan pribadi,
dapat membantu orangtua dan saudara lebih leluasa.
G. Kerugian/problem-problem yang dialami
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar wanita tidak menikah masih
menghadapi harapan keluarga, tekanan sosial terkait dengan stigma sosial, penanaman
nilai-nilai agama dan budaya memungkinkan sebagaian besar wanita tidak menikah
berada dalam sikap ambivalen dan mengalami stres yang dapat mengganggu
kesejahteraan psikologis, terutama pada wanita tidak menikah yang berada pada sikus
lajang mendekati usia 30 tahun dan antara usia 30-40 tahun: the not yet married dan the
thirties, entering the “twilight zone” of singlehood. (Situmorang, 2005; Ibrahim, 2009,
Winterstein, 2014; dan Nanik, 2015).
Stigma sosial memiliki peranan yang kuat dalam mengancam harga diri dan
konsep diri wanita tidak menikah sehingga dibutuhkan ketrampilan coping stress pada
wanita tidak menikah terutama yang menghadapi tuntutan keluarga, budaya, dan agama
harus menikah.
Kesepian dapat dialami semua orang, tidak hanya wanita tidak menikah. Kesepian
yang dihadapi wanita tidak menikah bisa mengandung dua pengertian berbeda: perasaan
sepi karena sendiri(secara fisik) dan atau perasaan sepi karena tidak memiliki teman
untuk sharing-mengungkapkan curahan hati (secara psikis). Wanita tidak menikah tanpa
anak hingga berusia lanjut terbiasa dengan mengalami perasaan sepi karena sendiri,
namun mereka bisa mengatasi perasaan sepi karena fisik tersebut dengan membangun
relasi yang dekat dengan anggota-anggota keluarga (saudara kandung keponakan, cucu
keponakan) dan jejaring sosial /komunitas organisasi-organisasi untuk mendapatkan
dukungan dan perhatian (Hackler, 2001, Winterstein, 2005, dan Nanik, 2015).
Usia tua membawa perubahan ekonomi, kognitif, fisik, dan fungsional dalam
kehidupan seseorang. Kebutuhan akan keamanan ekonomi merupakan salah satu
perhatian yang dihadapi oleh wanita tidak pernah menikah tanpa anak. Mereka berharap
bisa tetap bekerja sepanjang memungkinkan bagi mereka. Mereka mempersiapkan
penolong hidup mereka dan penyimpanan uang untuk orang yang merawat mereka nanti
(Winterstein, 2015).
H. Persepsi orang pada umumnya / keluarga terhadap wanita tidak pernah menikah
vs persepsi wanita tidak menikah
Kebanyakan orang, terutama yang menikah, mempertimbangkan kehidupan tidak
menikah sebagai suatu problem sosial. Mereka tidak dapat menerima suatu ide bahwa
seorang wanita normal tidak pernah menikah dapat menjadi bahagia dan puas dengan
hidupnya. Di sisi yang lain, banyak wanita tidak menikah di samping sikap positif mereka
terhadap pernikahan, yakin bahwa menjadi tidak menikah tidak identik dengan
ketidakbahagiaan atau hidup yang membosankan. Beberapa wanita menunjukkan bahwa
wanita tidak menikah dapat juga hidup dengan bahagia selamanya, terutama ketika
mereka dapat menyesuaikan diri pada jalan banyak orang, termasuk keluarga-keluarga
dan teman-teman, sesuatu yang menyenangkan tidak menikah (Situmorang, 2005).
Studi Hertel, dkk (2007) menunjukkan bahwa kebanyakan orang menikah secara
umum dilihat lebih positif daripada tidak menikah. Tidak menikah dilihat lebih sepi, kurang
hangat, dan kurang peduli dibandingkan orang-orang menikah. Bagaimanapun beberapa
keistimewaan positif dianggap berasal pada tidak menikah juga. Pentingnya, karakteristikkarakteristik dari pemersepsi moderat persepsi dia laki-laki atau dia perempuan. Beberapa
kelompok menilai orang-orang tidak menikah
seperti lebih pintar dan berpengalaman
dalam hal-hal duniawi dan suka bergaul.
I. Peran dukungan sosial
Dukungan sosial dari keluarga, sahabat dan teman-teman dapat memberikan
perasaan berarti dan mengatasi perasaan kesepian. ( Situmorang, 2005; Ibrahim, 2009;
Winterstein, 2014; & Nanik, 2015). Mempertahankan ikatan keluarga dan sebuah jejaring
sosial membantu mencegah perasaan kesepian di antara wanita tidak pernah menikah
tanpa anak hingga berusia lanjut. Jejaring keluarga memberikan kepercayaan diri dan hak
istimewa untuk memilih tinggal dalam kesendiriannya, di mana mereka merasa sangat
dicintai (ungkapan salah satu responden penelitian Winterstein, 2014).
J. Coping yang dilakukan
Penelitian Wang&Abbott (2013) pada wanita tidak menikah berusia di atas 30
tahun di Cina, menemukan strategi coping untuk penyesuaian kehidupan tidak menikah
yang dilakukan mereka dengan menghadapi penggalian status pernikahan dengan
ketrampilan penuh. Partisipan-partisipan penelitian ini
mengabaikan perasan negatif
yang diangkat dari penggalian status pernikahan, dan menekan diri mereka untuk
memberikan jawaban yang baik dan peduli. (Meskipun saya mengetahui sebagian dari
mereka mungkin tidak memiliki tujuan-tujuan positif, saya akan suka berpikir bahwa
mereka sesungguhnya peduli terhadap saya, meskipun membuat saya tidak bahagia).
Coping selanjutnya ialah secara aktif memisahkan diri mereka dari teman-teman yang
telah menikah, memiliki teman-teman baru, dan terbiasa menjadi sendiri.
Penelitian Situmorang (2005) pada wanita Batak tidak menikah berusia di atas 30
tahun, menemukan strategi coping yang dilakukan terhadap tekanan untuk menikah ialah
bersabar dan menunjukkan kepada orang lain bahwa menjadi tidak menikah bukanlah
berarti tidak bahagia. Selanjutnya strategi coping yang dilakukan terhadap stigma sosial
ialah membawa komentar-komentar dengan bergurau, meskipun mereka merasa
terganggu/jengkel.
Wanita tidak menikah bisa hidup bahagia dan bermakna dengan menentukan
prioritas pilihan hidup yang ingin dicapai, menerima konsekuensi-konsekuensi atas
prioritas yang telah ditetapkan, tetap beraktivitas produktif/berkarya, bersikap positif
terhadap lingkungan, berbagi, melakukan hal-hal positif untuk sesama, bersyukur dan
ikhlas dalam menjalani hidup dan membangun dasar-dasar kehidupan kerohanian yang
kuat (Nanik, 2015).
K. Pemenuhan tahapan tugas perkembangan : intimacy dan generativity.
Sitat dari Cox (2005), kerangka perkembangan masa dewasa Erikson (1963)
memperkenalkan keintiman (intimacy) dan penggenarasian (generativity)-(investasi dalam
generasi berikutnya melalui kelahiran anak) sebagai suatu tahapan yang penting sekali
dari perkembangan di masa dewasa. Erikson mengakui bahwa keintiman dan
penggenerasian dapat dicapai melalui hubungan non seksual dan pencapaian-pencapaian
yang bukan memiliki daya cipta (non procreative accomplishments). Sayangnya ideologi
lingkungan pergaulan, orang yang tidak menikah ditetapkan sebagai orang yang
bermasalah atau orang yang menyimpang. Seseorang mempertahankan tidak menikah
dianjurkan bahwa kondisi tersebut tidak cocok atau dianjurkan memilih untuk suatu status
menikah atau bahwa status tidak menikah sendiri diterjemahkan orang tidak lengkap dan
tidak berkembang secara penuh.
Mengacu pada konsep Erikson bahwa keintiman dan penggenerasian dapat
dicapai melalui hubungan non seksual dan pencapaian-pencapaian yang bukan memiliki
daya cipta (non procreative accomplishments), maka penulis berpendapat : 1) wanita tidak
menikah tetap bisa menjalin relasi sosial yang saling mendukung, memberikan perhatian,
mengasihi, care/peduli dalam kehidupan berelasi dengan keluarga, sahabat dan teman
sehingga keintiman dapat terpenuhi; dan 2) wanita tidak menikah bisa mencapai
kepuasan menjalankan peran sebagai kaderisasi generasi dengan terlibat dalam kegiatankegiatan organisasi, kepemimpinan, pengasuhan anggota keluarga (keponakan/cucu),
menjadi orangtua adopsi/asuh, dll, sehingga generativitasnyapun dapat terpenuhi. (Sesuai
dengan hasil penelitian Winterstein, 2014; Nanik, 2015).
V. Kesimpulan
1. Tendensi wanita tidak menikah di berbagai negara semakin meningkat didasari oleh
faktor utama ialah : perubahan persepsi tentang pernikahan, berbagai pertimbangan
terhadap konsekuensi-konsekuensi pernikahan yang memungkinkan sebagai salah
satu batasan untuk memperoleh : kebebasan menjadi diri sendiri, mengaktualisasikan
potensi-potensi diri secara optimal, dan
mencapai kesuksesan karir. Selanjutnya
beberapa faktor lain yang mendasari ialah : belum menemukan pasangan sesuai
dengan kriteria yang diharapkan (misal :setara dalam pendidikan dan status pekerjaan)
karena pola patriarki,
karakteristik kepribadian,
terlibat dalam tanggung jawab
memelihara orangtua dan saudara kandung.
2. Adanya harapan keluarga, stigma sosial, penanaman nilai-nilai agama dan budaya
memungkinkan sebagaian besar wanita tidak menikah berada dalam sikap ambivalen
dan mengalami stres yang dapat mengganggu kesejahteraan psikologis, terutama pada
wanita tidak menikah yang berada pada sikus lajang: the thirties, entering the “twilight
zone” of singlehood (berusia 30-40 tahun).
3. Stigma sosial memiliki peranan yang kuat dalam mengancam harga diri dan konsep diri
wanita tidak menikah sehingga dibutuhkan ketrampilan coping stress pada wanita tidak
menikah, terutama yang menghadapi tuntutan keluarga, budaya, dan agama harus
menikah.
4. Kesepian dapat dialami semua orang, tidak hanya wanita tidak menikah. Kesepian
yang dihadapi wanita tidak menikah lebih mengarah pada tidak memiliki teman untuk
sharing-mengungkapkan curahan hati.
5. Dukungan sosial memiliki peran yang sangat berarti untuk mengatasi kesepian dan
pemenuhan tugas-tugas perkembangan intimacy dan generativity dan kesulitan dalam
perjuangan menjalani kehidupan sebagai wanita tidak menikah sampai dengan usia
dewasa madya dan dewasa akhir.
6. Ada beberapa topik penelitian yang dapat disarankan untuk kajian wanita tidak
menikah, antara lain :
stigma sosial, konsep diri, persepsi wantia tidak menikah
terhadap status tidak menikah dan status menikah dan persepsi wanita menikah
terhadap status tidak menikah dan status menikah pada generasi wanita masa kini,
well-being, coping stress, dan empowering.
Daftar Pustaka
Benokraitis, N.V. (2011). Marriages & Families: Changes, Choices and Constraints. (6th
ed.). Bostom: Prentice Hall
Beri, N., & Beri, A. (2013). Perception of single women towards marriage, career and
education. European Academic Research, Vol. 1, 855-869.
Cox, T.K. (2005) Singles, society, and sciences : Sociological perspectives. Psychology
Inquiry, 16 (2/3), 91-97.
Feist, J. & Feist, G. (2006). Theories of personality. New York : Mc. Graw Hill.
Gaetano, A. (2009). Single women in urban China and the “unmarried crisis”: Gender
resilience and gender transformation. Postdoctoral research fellow at the Centre for
East and Southeast Asian Studies Lund University, Sweden
Gove, W. R. (1972). The Relationship between sex roles, marital status, and mental
illnesss. Social Force, 51(1), 34-44.
Hackler, D. (2001). Single and married women in the law of Israel a feminist perspective.
Feminist Legal Studies, 9, 29-56.
Hertel, J., Schutz, A., DePaulo, B. M., Morris, W. L., & Stucke, T. S. (2007). She’s single,
so what? How are singles perceived compared with people who are married?.
Zeitschrift fur Familienforschung, 19, 140-158.
Ibrahim (2009). Understanding singlehood from the experience of never married Malay
Muslim Women in Malaysia: Some preliminary findings. European Journal of Social
Sciences, 8(3)
Lewis, K. G., & Moon, S. (1997). Always single and single again women: A qualitative
study. Journal of Marital and Family Therapy, 23(2), 115-134.
Nanik. (20015). Aku perempuan yang berbeda dengan perempuan lain di jamanku : Aku
bisa bahagia meski aku tidak menikah. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Positive Psychology 2015 : “Embracing a new way of life promoting positive
psychology for better a mental health”, Surabaya : Fakultas Psikologi Unika Widya
Mandala.
Papalia, D., Old, S., & Feldman, R. (2001). Human development: international edition.
New York: McGraw-Hill Companies.
Popay, J, dkk (2006) Guidance on the Conduct of Narrative Synthesis in Systematic
Reviews, diunduh dari
http://www.researchgate.net/publication/233866356_Guidance_on_the_conduct
_of_narrative_synthesis_in_systematic_reviews_A_product_from_the_ESRC_Meth
ods_Programme/file/72e7e5231e8f3a6183.pdf.
Wang, H., & Abbot, D. A. (2013). Waiting for Mr. Right: The meaning of being a single
educated Chinese female over 30 in Beijing and Guangzhou. Women’s Studies
International Forum 40, 222-229
Winterstein, T. B., & Rimon, C. M. (2014). The experience of being an old never-married
single: A life course perspective. The International Journal of Aging and Human
Development, Vol. 78(4), 379-401
7
6
SEMINARASEAN
2.0 PSYCHoLoGY & HUMANITY
PROSIDING
SEMINARASEAN
2'dPSYCHOLOGY
& HUMANITY
BAGIAN I
Optimalisasi Kekuatan lnsani untuk Produktivitas dan
Kesejahteraan
p['
Direktorat Program Pascasarjana
UniversitasMuhammadiyah Malang
S EMI NAR ASEAN
2 " dP S Y C H O L O G Y& H U M A N I T Y
O P s y c h o l o gFyo r u m U M M , l 9 - 2 0 F e b r u a r i 2 0 l 6
SUSUNAN PANITIA SEMINAR ASEAN
PSIKOLOGI & KEMANUSIAAN II
Penasehat
Steering Comitte
: Difektur DirektoratProgramPascasarjana
UMM
(Dr. Latipun,M.Kes)
: Dr. lswinarti,lt4.Si
Dr. Diah Karmiyati,M.Si
ZainulAnwar,S.Psi,M.Psi
:
: Eko Kristanto,S.Psi
: Ditsar Ramadhan,
5.Psi
: M. Zefry Wahyu Purnama,S.Psi
: GerdaningTyasJadmiko,S.Psi
: NatariaYulianie,S.Psi
: AmeliaChoirun Nisa',S.Psi
Organizing Comitte
KetuaI
Ketuall
SekretarisI
Sekretarisll
I
Bendahara
Bendahara
ll
Sie.Kesekretariatan
.
Titi Fatiyyah,
S.Psi
I
AnnisaNur lslami,S.Psi
.
Inu Martina
.
Indra PraptoNugraha,S.Psi
r
NovitaAI 14uthmainah,
S.Psr
r
Ayu Nur Aisyah,S.Psi
Sie.Acara
:
r
LailaFitria,S.Psi.,
S.H
.
Desi Tri Purwad,S.Psi
.
Rr. AyundaPutri E.,S.T
'
Ulfa Diah,S.Psi
.
AgniyaDarmawanti,S.Pd
t
lda KumalaSari,S.Psi
SieKonsumsi
t
Dewi Nurchaifa,S.Psi
.
AzlinaAyu N., S.Pd
.
VironicaDwi Karina,S.Psi
.
Putri Bhestari,S.Psi
.
FitraSeprian,
S.Pd
LisrinBesriniKhamaera,
S.Pd
S r eH
. umas
YedijaEfraim,S.Psi,lY.M
M. JahidunNafi,S.Psi
SiePerlengkapan
:
.
f4ustikaRizkilmanita,S.Psi
.
LaleJustinA. Elizar,S.Psi
.
Debby Afradipca,S.Psi
.
NoviaSherlyana,
S.Psi
SiePubdekdok
:
.
A.PuteraPratamaMangewa,
S.Psi
.
X. FebrianAl-Amin,S.Psi
SEMINAR ASEAN
2 . dP S Y C H O L O G Y& H U M A N I T Y
O PsychologyForum UMM, | 9 - 20 Februari20| 6
Dafrtar lsi
Susunan Panitia
i i i- x i i i
Daftar lsi
ix
Pengantar:
Optimalisasi
Potensidan Produkrifiras
untuk Kesejahteraan
Psikologi
lswinoni
0r-06
KonselingSupportGroup PadaOrang DenganLupus(Odapus)
Aon Muzayonoh
07- tl
MemahamiRegulasi
Diri: SebuahTinjauanKonseprual
Abdul Manof
t2- t7
AnalisisFaktor SkalaTotalitas Kerja ( Work Engogement)
Abdul Rohmon Sholeh
t8-22
CorporateSocialResponsibility:
Pencitraan
Dan Transparansi
DuniaIndusrri
Abdulloh
23- 27
Profil KepribadianTes Wartegg (Studi Deskriprif PadaSeleksiKaryawan)
Adhyatman Probowo, Amelio Choirun'Nisa', & Gerdoning Tyos Jodmiko
28-32
FearOf Success
Dan Pengarusutamaan
Gender
Agustin Rohmqwoti
33-36
TerapiPerilakuKognitifUntuk Mengatasi
Kecemasan
Sosial:StudiKasus
Aji Rizki Meloti Ariestirio
37-44
Pengaruh
KonsepDiri, EtikaLingkungan
Hidup Dan SikapLingkungan
TerhadapPerilakuEkologisMangroveDenganlntensi PerilakuEkolotis SebagaiVariabelMediator
Akhmod Fouzie, Puri Aquorisnowoti, &Supriyotno Widogdo
45-51
StudiLiteratur:LiterasiEmosi
Anoyonti Rohmqwoti
52-61
HubunganSenseOf SchoolBelonging
DenganMisbehavior
PadaSiswaSekolahMenengahDi
PondokPesantren
Annisa Nur lslomi
62-68
TerapiPerilakuKognitifUntuk Menangani
Gangguan
ObsesifKompulsjt: StudiKasus
Ary Aniso
69-75
CognitiveBehaviorTherapyUntuk l'4eningkatkan
PerilakuRurin14inumObaaPadaPenderita
Skizofrenia
Bilol Zovonno Suloimon
76-79
StrategiSchoolWell-BeingDi SekolahMenengah
Atas (Sl,lA)Sebagai
Alar Evaluasi
Sekolah
Cicilio Rotno T.
80-87
SelfManagement
Untuk lYeningkatkan
Kebe.fungsian
SosialPadaPasienSkizofrenia
DessyHumairoh
88-94
PostTraumaticGrowth KorbanKekerasan
SeksualPadaDewasaAwal (SrudiDi Ko!a Samarinda)
Diah Rohoyu
SEMINAR ASEAN
2 " dP S Y C H O L O G Y& H U M A N I T Y
O P s y c h o l o SFyo r u m U M M , l 9 - 2 0 F e b r u a r i 2 0 1 6
9 5- t 0 l
: Nilai-Nilai Moral Umuk Optimalisasi
Kawruh PamomongKAS (Ki AgengSuryamentaraman)
BonusDemografi
Dian Eko Wicokono
t 0 2- t 0 7
Dan Loneliness
Shyness
Diono Sdvitri Hidoyoti
t08- |4
Berjalanl'4andiriAnak Autis
KemamPuan
TerapiPerilakuTerhadapUpayaMeningkatkan
Dini Fidyonti Devi
5- t2l
DepresaDenganPsikoterapilslami(l'lembacaDan MengkajiAl-Qur'an)
Mengatasi
Romodhon
Ditsor
t72 - t27
Singlel'4other
DalamSudutPandang
MaknaKebahagiaan
FenomenaPerceraian:
Dwi Astory Anggraheni
t28- t34
PadaLaki-LakiDan Perempuan
Perbedaan
TingkatKebersyukuran
Eko Kristonto
I 3 5- t 4 0
Sayang
Sebagai
Pembuktian
BersetubuhDenganPacar:Perkosaan
(KisahCinta SeorangAnggotaPolisi)
Erik Sout Hutopean
t4t- t48
HubunganOptimismeDan PrestasiAkademik:SebuahMetaAnalisis
Foroh Auliq
t49- t59
SD
Naksir(Crushes)PadaSiswa-Siswi
Forida Harohop
t60- t64
PeranEmpaaiDalamPerilakuBullyint
Fikrie
PerilakuRutinMinum Obat PadaPasien
Untuk lYeningkarkan
RewardDan Punishment
t 6 5- 1 6 9 Penerapan
Skizofrenia
Goluh Dwintq Sori
Seksual
MaknaHidup PadaKorbanPelecehan
Untuk Meningkatkan
1 7 0- 1 7 5 KonselingEksistensial
Hono Boiso
t 1 6- t 8 7
Dan EmphatyPadaPerilakuPrososialRemaja
KontribusiAgreeableness
Hono Athid Akhzqlimi
1 8 3- t 8 9
BerobatPadaPenderitaSkizofrenia
Kesadaran
KonselingClient-CenteredUntuk Meningkatkan
Hardiyonti Rohmoh & Nido Hosonoti
t90 - t97
Of LifeStudentThat
RoleAs MediatorBetweenDepressionAnd TasteMeaningfulness
Resilience
HaveObesity
lndrc Prspto Nugroho
t97- 202
BenrukPerilakuBeresikoPadaRemaia
Experimentation
Sebagai
Loilotul Fitrio
2 0 3 - 2 r 0 DevelopingSpnituolQuotientAt lslomicElementorySchoolOfTompokersonLumoiang
2ll-2t6
Lufiono Harnony Utomi
KeluargaDan ProstirusiPadaRema]a
Kemiskinan,
Lutfi lrwonsyah
tv
SEMINAR ASEAN
2"d PSYCHOLOGY & HUMANITY
©Psychology Forum UMM, 19- 20 Februari 2016
217- 224
Pengaruh Kekuasaan Orang T ua T erhadap Perkembangan Anak Usia Dini
M.lmron Abadi
225-230
Penerapan Solution-focused Brief Group Therapy (SFBGT) Untuk Meningkatkan Self-Esteem Pada
Remaja Putri Di Panti Asuhan
Margaret Khoman, Soemiarti Patmonodewo.& Agustina
23 I-237
Gaya Bel ajar Felder-Soloman Dan Hasil Be/ajar Sains Di Sekolah Dasar
Marzoan
238- 245
Pengaruh Strategi Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Pemahaman Konsep IPS
Kelas VIII Di SMP Dalam Self Regulated Learning
Moch. Syaichudin, I Wayan Ardhana, I Nyoman Sudano Degeng, & Sulton
246 - 253
Makna Kebahagiaan Dan Romantic Love Pada Remaja Putri Penghafal Qur'an : Study
Fenomenologis Di Base Camp Qur'an An-Nisa Malang
Muhaeminah
254- 260
Dampak Perbedaan Pol a Asuh T erhadap Perilaku Agresif Remaja Di SMA 5 Paraya
Muhammad Munawir
261-264
Hubungan Antara Agresi Dan Harga Diri : Peranan Emosi Disregulasi Dalam Memediasi Agresi
Dan Harga Diri
Muhammad Amri M. Ishak
265 - 274
Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri Pada Penderita Gaga! Ginjal
M. Zefry Wahyu Purnama
275 - 281
Hubungan Antara Kekerasan Dalam Media Dengan Perilaku Agresif: Study Meta AnaJisis
Muhammad Nur Hidayah
282 - 288
Model Dinamis-Dua Jalur Pada Tingkat Partisipasi Politik Mahasiswa Di Jogjakarta
Muhammad Wahyu Kuncoro & Anwar
289- 294
Konseling Behavior Dan Ketrampilan Sosial Untuk Meningkatkan lnteraksi Sosial Pada Pasien
Skizofrenia
Mutia Pangesti
295- 301
Peran Konselor Dalam Mengembangkan Karier Siswa SMK Melaui Kewirausahaan Sebagai Model
Di Era MEA
Nanda lstiqomah
302- 309
Studi Kajian Literatur Tendensi Wanita Tidak Menikah Di Berbagai Negara
Nanik
3 I0 - 3 I4
Need For Change Dan Penampilan Wan a Paruh Waktu
Novia Sherlyana
315 - 323
Adaptasi Alat Ukur Organizational Citizenship Behavior Metode Peer Review Di Indonesia
Novika Grasiaswaty & Fahmi Ratna Juwita
324 - 33 I
Konsep Flourishing Dalam Psikologi Positif: Subjective Well-Being Atau Tidak
Nurlaifa Effendy
332- 340
Efektifitas Penggunaan Multimedia Untuk Mengembangkan Kemampuan Membaca Awal Anak Usia
Dini
Reza Oktivia Hamenda
v
SEMINAR
A,SEAN
2hdPSYCHOLOGY & HUMANITY
O P s y c h o l o g yF o r u m U M H , l 9 - 2 0 F e b r u a r i
2016
341 - 347
PengaruhKecenderunSanNeurotik YangDimediasiEfikasiDiri Tehadap Subjective
Welt-Being
PadaMahasiswa
Riq Wiyqtfi Linsiyq
34B - 352
Urtensi Psychologicol
Well-BeingBagiKonselor Sekolah
Ribut Purwoningrum
353 - 357
TekananTemanSebaya
TerhadapPerilakuBuiiying
PadaRemajaDi Sekolah
Rinq Fotorubo
358 -37 |
Prokrastinasi
Akademik,StressAkademikDan KepuasanHidup Mahasiswa
: ReviewKonseptual
Rindro Risdiontoro
372 - 376
PenerapanMetode Lovaas(ABA) Untuk MeningkatkanKontak Mata DenganAnak GangguanAuris
Rizki Resmisori
377 - 383
KonselingEksistensialUntuk MeningkatkanKebermaknaanHidup PadaPenderitaSkizofrenia
:
SrudyKasus
Rizqo Sobrino
384 - 391
HubunganHarga Diri Dan KesepianDenganDepresi PadaRemaja
Rr. Niq Poromito Yusuf
392 - 397
HubunganPsychologicol
Well-Beinglbu DenganAnak Autis DenganStres pengasuhan
Sokhiyyotus So'diyah
398 - 404
SeifReguloted
leorningSalahSatu Modal KesuksesanBelaiarMaupunMengajar
Shofiyotul Azmi
405 - 409
HubunganKomitmenBeragama
DenganPerilakuSeksPra Nikah padaRemaja
Siti Mo,munoh
410 - 417
EmotionolComepete
nceOf YoungChildernfn Malang,Indonesia
Siti Suminorti Fosikhah, luke R. Siregor, Kusdwirqtri Setyono, & Nsmiyoti E, Koesno
418 - 427
DukunganSosialDan Depresi: StudyMetaAnalisis
Siti Zuhqnq Sqri
428 - 435
AnalisaPsikometrikAlat Ukur Ryffs Psychologkol
Well Being(RPWB) Versi BahasaIndonesia:Studi
PadaLansiaGuna Mengukur KesejahteraanDan Kebahagiaan
Sofo Amalio
436 - 440
Pengembangan
OrientasiMasaDepanMelaluiBasicSkillDan VocarionalTrainingPadaAnak Didik
Lembaga
Pembinaan
KhususAnak Bandung
Sri Moslihoh, M. Ariez Musthofq & Gemols Nurrendoh
441 - 446
Moritol Flourishing,
Virtue,Don KehiduponYongBoik
Siti Rohmqn Nurhoyoti
447- 453
Posttroumotic
CrowthPadaKecelakaanLalu Lintas
Titi Fatiryoh
454- 474
RisetTerkiniIntervensiBerbasis
sekolahUntuk PromosiKesehatan
Mentalsiswa:sebuahReview
Sistematis
Usmi Koryoni, lrq Porqmqstri & Nailq Rqmdhani
SEMINAR ASEAN
2 " dP S Y C H O L O G Y& H U M A N t T y
O PsychologyForum UMM, | 9 - 20 Februari20t 6
475- 487
HubunganAntara fhe BigFivePersonolity
DenganGrotitudePadaWarga BinaanPermasyarakatan
Di
LembagaPermasyarkaran
Wanin Kelasll A Malang
Wohyu Andoyoti
488 - 494
ChildMonogement
DenganTehnikModeiling
Untuk MenurunkanPerilakuAgresiPadaAnak Dengan
Disabilitas
lntelektual
Wohyu Utomi
495- 50r
PengaruhKecenderungan
EksraversiTerhadapPsychological
Well Being
Windo Ayu Besthori
502- 508
Penerapan
StrategiPembelajaran
BerbasisScience
TechnologySocietyPadaMateripembelajaran
l4inyakBumidi SMUAdvent Purwodadi
Winny Reveline Pessik
509-5t8
Effektiviras
Modul Pembelajaran
TematikKelautandan KemaritimanUnruk l"lenumbuhkan
lyinat
Kebaharian
padaAnak UsiaDini di TamanKanak-Kanak
Wiwik Sulistioni & Dewi Mustomi'oh
5l9 - 525
AssertiveTraininguntuk Mengurangi
PerilakuSubmissive
padaRemaiaGanggugan
Disabilitas
lntelektualRingan:
SebuahLaporanKasus
Yonuorty Poresmo Wohyu Ningsih
526 - 529
PenSaruhBerbagaiPengetahuan:
PertukaranEkonomi atau PertukaranSosial
YessyElito
530 - 540
Penerapan
StrategiSosiolScierceInquirydanKemampuanBerpikirLogispadaPembelajaran
PPKN
di SMA
Hernowqty Domonik
541- 549
Pengaruh
Citra Tubuh terhadapGejalaBody DismorphicDisorderyangDimediasiHargaDiri pada
RemajaPurri
Merlino Nourmolito
5 5 0- 5 6 0
Stigmadan KeinginanMencariBantuanPsikologis
di LayananProfesional
: l,1etaAnalisis
Kqftikq Nur Fathiyoh
5 6 1- 5 6 6
KajianTentangPsychological
Well-BeingPadaAnak Tunanetradi SekolahMenengah
Atas Luar
Biasa(Slt4ALB)
Desy Sontiko Dewi
567- 570
Penintkatan
PrestasuBelajarpadaMataPelajaran
llmu Pengetahuan
Sosial(lPS)lYateriSejarah
denganmentodepermainanmenggunakan
mediakartu bagisiswasekolahdasar
Lo ksmi Pu sp itow o rd h o n i
57t - 577
Keragaman
Sumberdaya
InsaniSebagai
Potensil',leningkatkan
Kesejahteraan
Karyawan
Susotyo Yuwono
578 - 584
PengaruhAltruisticBehoviorterhadapPsychologicoll
We/i BeingpadaRelawandi SanggarHati Kita
Tulungagung
Irmo Silvi
585 - 592
Pemaafan
Padalstri YangSLrami
Berselingkuh
(StudiKualitatifPadaWanita KorbanPerselingkuhan
Di l'laumere)
Mikhoel De Fretes,Morio Nono Noncy, & Sitti Anggroini
vtl
Studi Kajian Literatur
Wanita Tidak Menikah Di Berbagai Negara
Nanik
Mahasiswa Program Pendidikan Doktor Psikologi Universitas Airlangga
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
[email protected]
Wiwin Hendriani
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
[email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini ingin melakukan studi kajian literatur tentang bagaimana tendensi
wanita tidak menikah pada rentang usia dewasa awal sampai dewasa akhir di berbagai
negara sebagai salah satu proses penelitian disertasi. Desain studi kajian literatur ini ialah
narrative review dari berbagai hasil penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
yang telah dipublikasikan dalam bentuk jurnal, proceeding dan penulisan ilmiah on line.
Studi kajian literatur tentang tendensi wanita tidak menikah ini diperoleh dari beberapa
hasil penelitian di berbagai negara, meliputi : Amerika,
Cina, India, Indonesia, Israel,
Jerman dan Malaysia. Adapun tema-tema diperoleh dari studi kajian literatur tersebut,
meliputi : 1) Peningkatan prosentase jumlah wanita tidak menikah ; 2) Latar
belakang/alasan menjadi wanita tidak pernah menikah / mempertahankan tidak menikah
hingga saat ini ; 3) Tipe dan siklus lajang ; 4) Stigma sosial; 5) Ambivalensi ; 6)
Keuntungan ; 7) Kerugian/problem-problem yang dialami; 8) Persepsi orang pada
umumnya/keluarga terhadap wanita tidak pernah menikah vs persepsi wanita tidak
menikah ; 9) Peran dukungan sosial ; 10) Coping yang dilakukan; dan 11) Pemenuhan
tahapan tugas perkembangan : intimacy
dan generativity.
Hasil ulasan tema-tema
tersebut dapat memberikan masukan yang berarti terhadap topik-topk kajian penelitian
selanjutnya tentang wanita tidak menikah, seperti stigma sosial, konsep diri, persepsi
wantia tidak menikah terhadap status tidak menikah dan status menikah dan persepsi
wanita menikah terhadap status tidak menikah dan status menikah pada generasi wanita
masa kini, well-being, coping stress, dan empowering.
Kata Kunci : ambivalensi, coping, empowering, intimacy dan generativity, tipe dan siklus
lajang, dan
stigma sosial.
I. Latar Belakang
Studi kajian literatur ini merupakan bagian dari proses penelitian disertasi penulis.
Diawali dengan penelitian pendahuluan terhadap dua responden wanita tidak pernah
menikah hingga di akhir usia dewasa madya, penulis ingin melanjutkan dengan narative
review dari hasil studi kajian literatur untuk menemukan tema-tema yang universal dialami
wanita tidak menikah di berbagai negara dan menemukan berbagai topik penelitian
tentang wanita tidak menikah. Berikut ini penulis hendak memaparkan bagaimana proses
awal perkembangan kajian wanita tidak menikah di negara maju hingga saat ini dan hasil
studi kajian literatur penelitian kuantitatif dan kualitatif tentang wanita tidak menikah.
Di negara maju / barat, khususnya Amerika, kajian tentang peran pernikahan
terhadap kesehatan mental wanita dan pria menikah sudah mulai dilakukan pada tahun
1960. Hasil penelitian Gurin, dkk (1960) tentang kesehatan mental dan kebahagiaan
memberikan fakta-fakta empiris bahwa wanita merasakan pernikahan lebih sulit daripada
pria. Wanita melaporkan problem-problem pernikahan lebih banyak daripada pria dan
wanita cenderung kurang bahagia dengan pernikahan mereka. Mengingat pada periode
tersebut wanita di negara maju mulai dihadapkan pada konflik peran ganda (disitat dari
Gove, 1972).
Berikut ini uraian sitat dari Gove, 1972 , sebelum tahun 1960, ada sebuah stigma
nyata yang melekat pada wanita yang menjadi tidak menikah. Sebuah studi tahun 1950an
menunjukkan bahwa wanita bertahan tidak menikah terutama karena alasan-alasan
negatif, seperti membenci pria atau merasa jelek (Kuhn, 1955). Pada tahun 1960-an,
Helen Gurley Brown (1962/1983), meskipun pada umumnya tidak mengakui sebagai
seorang feminis, para wanita terdorong menjadi lebih asertif, memiliki kompetensi dan
mempertahankan pendapat menikah atau tidak. Pada tahun 1970-an, ada alasan-alasan
positif untuk mempertahankan tidak menikahnya seperti lebih banyak kesempatan untuk
pengembangan pribadi dan meningkatkan kebebasan (Lowenstein, 1981 dan Stein,
1976).
Berikut ini uraian yang disitat dari Lewis dan Moon (1997). Pada awal tahun
1980an, Nadelson dan Notman (1981) menyimpulkan bahwa ada banyak alasan wanita
tidak menikah, tetapi suatu tema umumnya ialah menjadi seorang istri dilihat sebagai
suatu peran berpangkat lebih rendah. Studi Peterson (1982) tentang wanita tidak menikah
(berusia 20-78 tahun) setuju menambahkan bahwa mempertahankan tidak menikah
merupakan suatu bentuk dari penolakan diri atau memboikot. Selama waktu berikutnya
1980-an,
literatur
mempertahankan
feminis
tidak
memberikan
menikah
kesan
bahwa
(Hicks&Anderson,
banyak
1989;
wanita
Nadelson,
memilih
1989;
Nadelson&Notman, 1981; Walters dkk, 1998). Pada tahun 1990-an telah ada suatu studi
baru yang menghormati tentang kesuksesan wanita tidak menikah yang memimpin
kehidupan penuh dan berisi. Tahun 1990-an juga terbuka sebuah eksplorasi dari
kehidupan tidak menikah di masa dewasa sebagai sebuah tahapan kehidupan tersendiri.
Dari studi kajian beberapa jurnal yang diperoleh, baik dari penelitian kuantitatif dan
kualitatif dari banyak negara Barat dan Timur menunjukkan beberapa hasil kajian yang
menarik untuk diulas, meliputi : 1) Peningkatan prosentase jumlah wanita tidak menikah ;
2) Latar belakang/alasan menjadi wanita tidak pernah menikah / mempertahankan tidak
menikah hingga saat ini ; 3) Tipe dan siklus lajang ; 4) Stigma sosial; 5) Ambivalensi ; 6)
Keuntungan ; 7) Kerugian/problem-problem yang dialami; 8) Persepsi orang pada
umumnya/keluarga terhadap wanita tidak pernah menikah vs persepsi wanita tidak
menikah ; 9) Peran dukungan sosial ; 10) Coping yang dilakukan; dan 11) Pemenuhan
tahapan tugas perkembangan : intimacy dan generativity. (Gove, 1972; Lewis&Moon,
1997; Situmorang, 2005; Hertel, dkk, 2007; Ibrahim, 2009;
Wang&Abbott, 2013;
Beri&Beri, 2013; Winterstein, 2014; dan Nanik, 2015).
II. Tinjauan Pustaka
Oxford dictionary (2010) mendefinisikan single sebagai orang yang tidak menikah
atau tidak terlibat dalam suatu relasi seksual menetap. Oleh karena itu populasi single
termasuk yang tidak menikah karena janda, bercerai, terpisah, atau tidak pernah menikah
(Byrne, 2000; Ibrahim&Hassan, 2007, disitat dari Winterstein, 2014). Lamanna&Riedman
(1994) never-married singles diberi kesan secara eksklusif untuk menggambarkan orang
yang tidak pernah menikah dan tidak terlibat dalam suatu pasangan intim, membedakan
mereka dari populasi single pada umumnya (disitat dari Winterstein, 2014)
Stein (dalam Benokraitis, 2011) menggolongkan tipe wanita tidak menikah menjadi
empat, yaitu :
1. Voluntary temporary singles
Individu yang tidak pernah menikah dan memiliki keinginan untuk menikah, namun
tidak mencari pasangan secara aktif, melainkan memprioritaskan kegiatan lain, seperti
pendidikan, karir, politik. Kelompok ini juga termasuk mereka yang hidup bersama namun
tidak menikah, namun suatu saat nanti mengharapkan pernikahan.
2. Voluntary stable singles
Individu yang tidak pernah menikah, sudah bercerai ataupun janda yang memutuskan
untuk tidak menikah lagi, dan hidup bersama dengan orang lain namun tidak memiliki
keinginan untuk menikah. Kelompok ini juga termasuk individu yang memprioritaskan
agama sehingga tidak menikah, seperi pastur atau suster.
3. Involuntary temporary singles
Individu yang belum pernah menikah dan secara aktif mencari pasangan, tetapi belum
menemukan. Kelompok ini juga termasuk mereka yang bercerai atau janda dan single
parent, namun masih menginginkan untuk menikah kembali.
4. Involuntary stable single
Individu yang tidak pernah menikah dan memiliki harapan untuk menikah, namun
menerima kemungkinan akan hidup sendiri. Tipe ini terdiri atas individu yang telah
bercerai dan sudah tua. Mereka gagal dalam mencari atau mendapat pasangan karena
alasan fisik, psikologis, dan sosial, misalnya gila atau cacat.
Schwartberg (1995) mengungkapkan lima model siklus kehidupan tidak menikah
dewasa, meliputi : 1) the not yet married, 2) the thirties, entering the “twilight zone” of
singlehood, 3) midlife (usia 40-50 tahun), 4) later life (usia 50 tahun hingga kesehatan
menurun), dan 5) elderly (kesehatan menurun hingga kematian), disitat dalam
Lewis&Moon (1997).
Wanita tidak menikah pada umumnya berada pada tahapan tugas perkembangan
dewasa muda dan masa dewasa, meliputi keintiman dan generativitas. Keintiman
dipahami sebagai kemampuanmengintegrasikan identitas pribadi dengan identitas pihak
lain tanpa takut kehilangan identitasnya sendiri. Keintiman yang matang dipahami sebagai
kemampuan dan kesediaan untuk berbagi rasa percaya satu sama lain. Keintiman yang
matang membutuhkan pengorbanan, kompromi dan komitmen dalam sebuah hubungan
antara dua pihak yang setara. Generativitas dipahami sebagai pembangkitan makhlukmakhluk baru, produk-produk baru, dan ide-ide baru. Generativitas juga dipahami sebagai
pembangunan dan penuntunan generasi masa depan, mencakup prokreasi anak-anak,
produksi kerja, dan penciptaan berbagai hal dan ide baru yang memberikan kontribusi
bagi pembangunan sebuah dunia yang baik (Feist dan Feist, 2006).
III. Metodologi Penelitian
Narrative Review umumnya dipakai untuk mengulas review literatur secara umum,
dan biasanya kurang sistematis atau kurang transparan tentang bagaimana peneliti
melakukan proses sintesis dari berbagai hasil penelitian. Narrative review biasanya
berupa ulasan dari berbagai hasil penelitian terkait (Popay, 2006).
Narrative review dari penelitian-penelitian tentang wanita tidak menikah meliputi
beberapa tahap. Pertama, penulis mencari dan memilih penelitian-penelitian yang relevan
dengan topik, berdasarkan pada analisis secara garis besar terhadap hasil penelitian,
mengingat jumlah jurnal yang didapatkan dari database cukup banyak, namun tidak
semuanya memuat hasil penelitian yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian
tentang tendensi wanita tidak menikah di berbagai negara. Kedua, penulis memisahmisahkan dan mengklasifikasikan jurnal-jurnal tersebut menjadi beberapa kategori
mengikuti tahapan usia perkembangan dan siklus lajang (dewasa awal di atas 30 tahun
hingga dewasa akhir di atas 65 tahun) untuk melihat tendensi wanita tidak menikah dari
beberapa generasi. Mengingat pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah
narrative review, penulis tidak melakukan penilaian metodologi primary studies, misalnya
analisis terhadap metode pengumpulan data, metode analisis data maupun pada faktorfaktor metodologi lain yang dapat mempengaruhi kualitas hasil primary studies tersebut.
Penulis juga tidak melakukan pengelompokan (clustering) secara sistematis (misalnya
melalui olah statistik) berdasarkan kategori-kategori temuan sebagaimana yang
dipersyaratkan jika hendak melakukan narrative synthesis.
Seleksi primary studies (jurnal-jurnal yang direview dalam tulisan ini) didapatkan
melalui database e-journal: ScienceDirect, SpringerLink, Sage Jurnal Online, dan
Proquest.
Kata kunci yang digunakan untuk menelusur jurnal-jurnal tersebut adalah:
“single women”. Penulis tidak membatasi tahun terbitan jurnal penelitian.
IV. Hasil Narrative Review
A. Peningkatan prosentase jumlah wanita tidak menikah
Seiring dengan perubahan jaman, tidak hanya di negara-negara barat, seperti
Eropa dan Amerika, namun juga di negara-negara Asia, pilihan menjadi wanita tidak
menikah
berkembang menjadi suatu gaya hidup. Penghindaran menikah di Asia
merupakan sesuatu yang baru dan pelanggaran. Tiga puluh tahun lalu, hanya 2% wanita
tidak menikah di hampir semua negara Asia. Wanita tidak menikah di usia 30-an di
Jepang, Taiwan, Singapura, dan Hongkong meningkat 20 poin atau lebih. Di Thailand,
jumlah wanita tidak menikah yang memasuki usia 40-an meningkat dari 7% pada tahun
1980 menjadi 12% pada tahun 2000. Di beberapa negara, rata-rata tidak menikah lebih
tinggi, 20% di antara wanita berusia 40-44 tahun di Bangkok, 27% di antara wanita berusia
30-34 tahun di Hongkong ( Beri dan Beri, 2013).
Uraian berikut ini merupakan hasil sitat dari Situmorang, 2005. Di beberapa negara
Asia Selatan-Timur seperti Manila, Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur dan Yangon, ratarata wanita tidak pernah menikah di usia 30-an dan 40-an begitu tinggi. Pada tahun 1990,
proporsi wanita berusia 45-49 tahun mempertahankan tidak pernah menikah mencapai
9% di Manila, 11% di Bangkok, 8% di Singapura dan Cina, 7% di Kuala Lumpur-Cina dan
11% di Yangon. Memasuki tahun 2000, proporsi wanita tidak menikah pada usia 45-49
tahun di Bangkok melompat menjadi 17%, 13% Singapura-Cina, 10% Kuala Lumpur-Cina,
dan 15% di Yangon (Jones, 2004: lampiran tabel 2). Sesuai dengan laporan sensus pada
tahun 1971 dan 2000, proporsi wanita tidak menikah berusai 30-34 tahun di Indonesia
telah meningkat dari 2.2% menjadi 6.9% dalam tiga dekade (30 tahun), sementara itu
peningkatan pada pria dari 6.1% menjadi 11.8% (Jones 2004). Proporsi para dewasa tidak
menikah di kota-kota besar seperti Jakarta, lebih tinggi. Pada tahun 2000, 14.3% wanita
berusia 30-34 tahun di Jakarta tidak pernah menikah, sementara pada pria 21.1% (Hull,
2002).
B. Latar belakang/alasan menjadi wanita tidak pernah menikah / mempertahankan
tidak menikah hingga saat ini
Ada beberapa faktor yang menyebabkan wanita tidak menikah mulai dari usia
dewasa awal (30 – 40 tahun) hingga usia dewasa akhir di atas 65 tahun di Amerika, Cina,
Indonesia, Malaysia, dan Israel. Faktor-faktor tersebut, meliputi : usia yang dianggap
sudah terlalu tua, fisik yang dianggap kurang menarik, adanya ketidaktepatan waktu ketika
bertemu dengan seorang pria, atau merasa bahwa menemukan pria yang tidak tepat,
adanya kelemahan karakter pada diri sendiri maupun orang lain, kehilangan kepercayaan
dalam pernikahan, memprioritas karir dan kemandirian, tidak mampu menemukan pria
yang cocok untuk menikah, menunda terlalu lama untuk menikah karena prioritas lain dan
menjadi wanita bekerja, keunikan karakteristik diri dibandingkan wanita pada umumnya di
jamannya (dominan dan mandiri), perbedaan prinsip gender pada jamannya (peran wanita
tidak dihargai setara dengan pria dalam keluarga), aspirasi berprestasi dan ingin
mengaktualisasikan diri untuk dihargai karena diri sendiri bukan karena status suami, dan
mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi pernikahan yang harus dijalani nanti (Lewis
dan Moon, 1997; Situmorang, 2005; Gaetano, 2009; Ibrahim, 2009; Winterstein, 2014; dan
Nanik, 2015).
Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi wanita tidak menikah berusia di atas
28 tahun di India karena mereka percaya bahwa menikah tidak perlu dan tidak baik untuk
wanita. Mereka juga setuju bahwa wanita dapat merawat lebih baik orangtua mereka.
Mereka berpendapat bahwa wanita tidak menikah mampu merawat diri sendiri tanpa
pernikahan. Semua wanita tidak menikah percaya bahwa tidak menikah membuat hidup
mereka fleksibel dan mandiri dalam konteks tempat tinggal, pekerjaan, keuangan, dan
waktu pribadi, menghasilkan nilai dan kebahagiaan. Mempertahankan tidak menikah
karena pilihan sendiri, menginginkan identitas diri dan kemandirian, ambisi tinggi dan
dedikasi kehidupan untuk alasan seorang bangsawan. (Beri&Beri, 2013).
C. Tipe dan siklus lajang
Awalnya kebanyakan wanita tidak menikah tidak pernah memutuskan untuk tidak
pernah menikah sampai akhirnya dengan berjalannya waktu mereka menjalani kehidupan
dengan sikap ambivalensi : siap menikah jika bertemu dengan laki-laki yang tepat dan
siap tidak menikah jika tidak bertemu dengan laki-laki yang tepat (stable involuntary).
Sebagian di antara wanita tidak menikah berusaha aktif mencari karena ingin menikah
(temporary involuntary), namun juga ada yang ingin menikah, tidak berusaha aktif mencari
dengan kesibukan rutinitas bekerja (temporary voluntary). Selanjutnya ada pula yang
sudah menetapkan untuk menjadi wanita tidak pernah menikah di usia 40-an (stable
voluntary), (Situmorang, 2005; Ibrahim, 2009, Wang&Abbott, 2013; Winterstein, 2014; dan
Nanik, 2015).
Siklus lajang yang terasa berat dialami pada wanita tidak menikah ialah pada saat
usia 30-40 tahun (the thirties, entering the “twilight zone” of singlehood). Ada juga yang
merasa berat pada siklus lajang, saat usia akhir 20 tahun dan awal 30 tahun (the late
twenties to early thirties, the not yet married), Situmorang, 2005; Winterstein, 2014; dan
Nanik, 2015.
D. Stigma sosial
Dalam masyarakat Malaysia, wanita tidak menikah dilabel “andartu” atau perawan
tua. Kenyataan bahwa mereka tua tetapi masih seorang perawan seringkali dipanggil
dengan ucapan kata-kata sinis, seperti “kasihan/sayang, dia perempuan belum mengalami
seks juga, dan dia perempuan tidak laku (Ibrahim, 2009). Seorang wanita tidak menikah
di Indonesia seringkali dipersepsikan sebagai seorang perawan tua yang tidak
mendapatkan seorang laki-laki karena tidak menarik, cacat atau tidak kompeten; seorang
lajang kota (city single) yang tidak menginginkan seorang pria karena berpendidikan
tinggi, ambisius, berpikiran dan menetapkan tidak menikah, pribadi aktif dan berkarir
(Situmorang, 2005). Selanjutnya di Amerika stereotype atau stigma sosial pada wanita
tidak menikah ialah spinsters (gadis/perawan tua) atau old maids (gadis/perawan
tua/orang yang terlalu cermat), mulai ditinggalkan. Anderson dan Stewart,1994 (disitat
dari Lewis and Moon, 1997) mencatat bahwa media menggambarkan wanita tidak
menikah secara bercabang dalam dua bagian seperti pathetic leftovers from the marriage
market (kelebihan/sisa yang menyedihkan dari pasar pernikahan) , unhappy and
desperate (tidak bahagia dan putus asa), atau power-obsessed barracudas bent only on
greedily acquiring the empty rewards of money and fame(bara kuda yang terobsesi
kekuasaan-yang dengan tamaknya hanya tunduk pada penghargaan kosong dari uang
dan ketenaran).
Beberapa stigma sosial di atas tersebut tidak dipungkiri bahwa sebagian besar
dialami oleh para wanita tidak menikah di berbagai negara, namun dengan perkembangan
tidak menikah menjadi suatu pilihan dan gaya hidup telah membawa suatu perubahan
terhadap stigma wanita tidak menikah. Di lingkungan komunitas masyarakat yang memiliki
pandangan yang moderat terhadap pilihan dan gaya hidup tidak menikah dan mengakui
kesetaraan gender, wanita tidak menikah masih mendapatkan pengakuan secara positif
sebagai wanita yang mandiri, wanita sukses dengan mengambil jalan lain melalui
pengembangan karir dan peningkatan diri, dan tidak berorientasi untuk menikah, seperti
yang dialami beberapa responden dalam penelitian Situmorang, 2005 dan Ibrahim, 2009.
E. Ambivalensi
Wanita belum juga menikah di Cina dengan usia 30-an, tidak bisa menyatakan
bahwa mereka tidak ingin menikah dan memutuskan untuk tidak menikah selamanya.
Mereka akan menikah apabila menemukan laki-laki yang tepat. Hal ini berkaitan dengan
harapan keluarga, tuntutan budaya dan stigma sosial yang tidak diinginkan. Semua
partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa mereka akan menikah suatu saat nanti
di masa depan. Mereka mengakui tidak menikah hanya karena mereka sedang mencoba
untuk menemukan orang yang tepat. Mereka juga merasa bahwa mereka akan menyerah
beberapa kriteria seleksi penting dan memilih sedikit kriteria daripada pasangan yang
disukai jika mereka menikah. (Wang & Abbot, 2013).
Wanita tidak pernah menikah hingga berusia tua (62-87 tahun) di Israel
mengekspresikan perasaan yang ambivalen. Mereka merasa kehilangan kesempatan
dalam proses pengalaman kepuasan kehidupan umum dan ketidaklengkapan sebagai
wanita tidak pernah menikah tanpa anak, meskipun mereka memiliki keberhasilan dalam
mengisi kehidupan mereka dengan berisi dan bermakna. Mereka juga mampu untuk
mempertemukan
kekosongan di antara tahapan-tahapan normatif kehidupan, seperti
memelihara sebuah keluarga dan cucu-cucu, di mana mereka tidak berpengalaman dan
berada pada tahapan kehidupan tidak diharapkan, serta menggantikan dalam sebuah
lingkaran hubungan pribadi, terutama melalui keterlibatan mereka dalam keluarga besar
atau dalam teman-teman mereka. Perasaan ambivalen wanita tidak pernah menikah
tanpa anak ini didukung dengan budaya Yahudi yang memandang bahwa menjadi tua dan
tidak pernah menikah tanpa anak adalah tidak bermoral (Winterstein, 2014).
Ada wanita tidak pernah menikah di Indonesia hingga mendekati akhir usia
dewasa madya berlatar belakang muslim yang menganut nilai bahwa menikah itu ibadah,
sehingga apabila dia dipertemukan dengan laki-laki yang sesuai dengan yang
diinginkannya, ia mau menikah. Meskipun demikian, ia juga sudah siap apabila tidak akan
menikah selamanya. (Nanik, 2015).
Dengan demikian sikap ambivalensi ini didukung dengan value yang dianut dari
agama, harapan diri yang sebenarnya, harapan keluarga, dan tuntutan normatif sosial
budaya di lingkungan tempat tinggal.
F. Keuntungan
Berikut ini adalah keuntungan-keuntungan yang pada umumnya dialami oleh
wanita tidak menikah di berbagai negara (Lewis dan Moon, 1997; Situmorang, 2005;
Winterstein, 2014; dan Nanik, 2015) :
1. Bebas merawat seorang pria, bebas untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, saat
menginginkan dan bagaimana menginginkan, bebas memberikan jawaban kepada
yang lain dalam konteks waktu, pengambilan keputusan, dan perilaku.
2. Bangga dalam pencapaian dan investasi yang dikumpulkan selama satu tahun dari
kesendirian, memiliki teman-teman yang dapat memperhatikan sebagai seorang pribadi
dan tidak menjadi bagian dari pasangan.
3. Kebebasan dan kemandirian.
4. Memiliki kebebasan berpikir dan bekerja dan memperoleh pendapatan diri sendiri yang
cukup.
5. Kesempatan
luas
untuk
mengembangkan
diri,
pencapaian
karir
yang
baik,
mengekspresikan aktualisasi diri/ menyalurkan kebutuhan berprestasi, memiliki waktu
pribadi jauh lebih bebas untuk bisa mengurus diri sendiri, menyalurkan hobby,
beraktivitas keluar rumah/berpergian tanpa beban, bebas mengelola keuangan pribadi,
dapat membantu orangtua dan saudara lebih leluasa.
G. Kerugian/problem-problem yang dialami
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar wanita tidak menikah masih
menghadapi harapan keluarga, tekanan sosial terkait dengan stigma sosial, penanaman
nilai-nilai agama dan budaya memungkinkan sebagaian besar wanita tidak menikah
berada dalam sikap ambivalen dan mengalami stres yang dapat mengganggu
kesejahteraan psikologis, terutama pada wanita tidak menikah yang berada pada sikus
lajang mendekati usia 30 tahun dan antara usia 30-40 tahun: the not yet married dan the
thirties, entering the “twilight zone” of singlehood. (Situmorang, 2005; Ibrahim, 2009,
Winterstein, 2014; dan Nanik, 2015).
Stigma sosial memiliki peranan yang kuat dalam mengancam harga diri dan
konsep diri wanita tidak menikah sehingga dibutuhkan ketrampilan coping stress pada
wanita tidak menikah terutama yang menghadapi tuntutan keluarga, budaya, dan agama
harus menikah.
Kesepian dapat dialami semua orang, tidak hanya wanita tidak menikah. Kesepian
yang dihadapi wanita tidak menikah bisa mengandung dua pengertian berbeda: perasaan
sepi karena sendiri(secara fisik) dan atau perasaan sepi karena tidak memiliki teman
untuk sharing-mengungkapkan curahan hati (secara psikis). Wanita tidak menikah tanpa
anak hingga berusia lanjut terbiasa dengan mengalami perasaan sepi karena sendiri,
namun mereka bisa mengatasi perasaan sepi karena fisik tersebut dengan membangun
relasi yang dekat dengan anggota-anggota keluarga (saudara kandung keponakan, cucu
keponakan) dan jejaring sosial /komunitas organisasi-organisasi untuk mendapatkan
dukungan dan perhatian (Hackler, 2001, Winterstein, 2005, dan Nanik, 2015).
Usia tua membawa perubahan ekonomi, kognitif, fisik, dan fungsional dalam
kehidupan seseorang. Kebutuhan akan keamanan ekonomi merupakan salah satu
perhatian yang dihadapi oleh wanita tidak pernah menikah tanpa anak. Mereka berharap
bisa tetap bekerja sepanjang memungkinkan bagi mereka. Mereka mempersiapkan
penolong hidup mereka dan penyimpanan uang untuk orang yang merawat mereka nanti
(Winterstein, 2015).
H. Persepsi orang pada umumnya / keluarga terhadap wanita tidak pernah menikah
vs persepsi wanita tidak menikah
Kebanyakan orang, terutama yang menikah, mempertimbangkan kehidupan tidak
menikah sebagai suatu problem sosial. Mereka tidak dapat menerima suatu ide bahwa
seorang wanita normal tidak pernah menikah dapat menjadi bahagia dan puas dengan
hidupnya. Di sisi yang lain, banyak wanita tidak menikah di samping sikap positif mereka
terhadap pernikahan, yakin bahwa menjadi tidak menikah tidak identik dengan
ketidakbahagiaan atau hidup yang membosankan. Beberapa wanita menunjukkan bahwa
wanita tidak menikah dapat juga hidup dengan bahagia selamanya, terutama ketika
mereka dapat menyesuaikan diri pada jalan banyak orang, termasuk keluarga-keluarga
dan teman-teman, sesuatu yang menyenangkan tidak menikah (Situmorang, 2005).
Studi Hertel, dkk (2007) menunjukkan bahwa kebanyakan orang menikah secara
umum dilihat lebih positif daripada tidak menikah. Tidak menikah dilihat lebih sepi, kurang
hangat, dan kurang peduli dibandingkan orang-orang menikah. Bagaimanapun beberapa
keistimewaan positif dianggap berasal pada tidak menikah juga. Pentingnya, karakteristikkarakteristik dari pemersepsi moderat persepsi dia laki-laki atau dia perempuan. Beberapa
kelompok menilai orang-orang tidak menikah
seperti lebih pintar dan berpengalaman
dalam hal-hal duniawi dan suka bergaul.
I. Peran dukungan sosial
Dukungan sosial dari keluarga, sahabat dan teman-teman dapat memberikan
perasaan berarti dan mengatasi perasaan kesepian. ( Situmorang, 2005; Ibrahim, 2009;
Winterstein, 2014; & Nanik, 2015). Mempertahankan ikatan keluarga dan sebuah jejaring
sosial membantu mencegah perasaan kesepian di antara wanita tidak pernah menikah
tanpa anak hingga berusia lanjut. Jejaring keluarga memberikan kepercayaan diri dan hak
istimewa untuk memilih tinggal dalam kesendiriannya, di mana mereka merasa sangat
dicintai (ungkapan salah satu responden penelitian Winterstein, 2014).
J. Coping yang dilakukan
Penelitian Wang&Abbott (2013) pada wanita tidak menikah berusia di atas 30
tahun di Cina, menemukan strategi coping untuk penyesuaian kehidupan tidak menikah
yang dilakukan mereka dengan menghadapi penggalian status pernikahan dengan
ketrampilan penuh. Partisipan-partisipan penelitian ini
mengabaikan perasan negatif
yang diangkat dari penggalian status pernikahan, dan menekan diri mereka untuk
memberikan jawaban yang baik dan peduli. (Meskipun saya mengetahui sebagian dari
mereka mungkin tidak memiliki tujuan-tujuan positif, saya akan suka berpikir bahwa
mereka sesungguhnya peduli terhadap saya, meskipun membuat saya tidak bahagia).
Coping selanjutnya ialah secara aktif memisahkan diri mereka dari teman-teman yang
telah menikah, memiliki teman-teman baru, dan terbiasa menjadi sendiri.
Penelitian Situmorang (2005) pada wanita Batak tidak menikah berusia di atas 30
tahun, menemukan strategi coping yang dilakukan terhadap tekanan untuk menikah ialah
bersabar dan menunjukkan kepada orang lain bahwa menjadi tidak menikah bukanlah
berarti tidak bahagia. Selanjutnya strategi coping yang dilakukan terhadap stigma sosial
ialah membawa komentar-komentar dengan bergurau, meskipun mereka merasa
terganggu/jengkel.
Wanita tidak menikah bisa hidup bahagia dan bermakna dengan menentukan
prioritas pilihan hidup yang ingin dicapai, menerima konsekuensi-konsekuensi atas
prioritas yang telah ditetapkan, tetap beraktivitas produktif/berkarya, bersikap positif
terhadap lingkungan, berbagi, melakukan hal-hal positif untuk sesama, bersyukur dan
ikhlas dalam menjalani hidup dan membangun dasar-dasar kehidupan kerohanian yang
kuat (Nanik, 2015).
K. Pemenuhan tahapan tugas perkembangan : intimacy dan generativity.
Sitat dari Cox (2005), kerangka perkembangan masa dewasa Erikson (1963)
memperkenalkan keintiman (intimacy) dan penggenarasian (generativity)-(investasi dalam
generasi berikutnya melalui kelahiran anak) sebagai suatu tahapan yang penting sekali
dari perkembangan di masa dewasa. Erikson mengakui bahwa keintiman dan
penggenerasian dapat dicapai melalui hubungan non seksual dan pencapaian-pencapaian
yang bukan memiliki daya cipta (non procreative accomplishments). Sayangnya ideologi
lingkungan pergaulan, orang yang tidak menikah ditetapkan sebagai orang yang
bermasalah atau orang yang menyimpang. Seseorang mempertahankan tidak menikah
dianjurkan bahwa kondisi tersebut tidak cocok atau dianjurkan memilih untuk suatu status
menikah atau bahwa status tidak menikah sendiri diterjemahkan orang tidak lengkap dan
tidak berkembang secara penuh.
Mengacu pada konsep Erikson bahwa keintiman dan penggenerasian dapat
dicapai melalui hubungan non seksual dan pencapaian-pencapaian yang bukan memiliki
daya cipta (non procreative accomplishments), maka penulis berpendapat : 1) wanita tidak
menikah tetap bisa menjalin relasi sosial yang saling mendukung, memberikan perhatian,
mengasihi, care/peduli dalam kehidupan berelasi dengan keluarga, sahabat dan teman
sehingga keintiman dapat terpenuhi; dan 2) wanita tidak menikah bisa mencapai
kepuasan menjalankan peran sebagai kaderisasi generasi dengan terlibat dalam kegiatankegiatan organisasi, kepemimpinan, pengasuhan anggota keluarga (keponakan/cucu),
menjadi orangtua adopsi/asuh, dll, sehingga generativitasnyapun dapat terpenuhi. (Sesuai
dengan hasil penelitian Winterstein, 2014; Nanik, 2015).
V. Kesimpulan
1. Tendensi wanita tidak menikah di berbagai negara semakin meningkat didasari oleh
faktor utama ialah : perubahan persepsi tentang pernikahan, berbagai pertimbangan
terhadap konsekuensi-konsekuensi pernikahan yang memungkinkan sebagai salah
satu batasan untuk memperoleh : kebebasan menjadi diri sendiri, mengaktualisasikan
potensi-potensi diri secara optimal, dan
mencapai kesuksesan karir. Selanjutnya
beberapa faktor lain yang mendasari ialah : belum menemukan pasangan sesuai
dengan kriteria yang diharapkan (misal :setara dalam pendidikan dan status pekerjaan)
karena pola patriarki,
karakteristik kepribadian,
terlibat dalam tanggung jawab
memelihara orangtua dan saudara kandung.
2. Adanya harapan keluarga, stigma sosial, penanaman nilai-nilai agama dan budaya
memungkinkan sebagaian besar wanita tidak menikah berada dalam sikap ambivalen
dan mengalami stres yang dapat mengganggu kesejahteraan psikologis, terutama pada
wanita tidak menikah yang berada pada sikus lajang: the thirties, entering the “twilight
zone” of singlehood (berusia 30-40 tahun).
3. Stigma sosial memiliki peranan yang kuat dalam mengancam harga diri dan konsep diri
wanita tidak menikah sehingga dibutuhkan ketrampilan coping stress pada wanita tidak
menikah, terutama yang menghadapi tuntutan keluarga, budaya, dan agama harus
menikah.
4. Kesepian dapat dialami semua orang, tidak hanya wanita tidak menikah. Kesepian
yang dihadapi wanita tidak menikah lebih mengarah pada tidak memiliki teman untuk
sharing-mengungkapkan curahan hati.
5. Dukungan sosial memiliki peran yang sangat berarti untuk mengatasi kesepian dan
pemenuhan tugas-tugas perkembangan intimacy dan generativity dan kesulitan dalam
perjuangan menjalani kehidupan sebagai wanita tidak menikah sampai dengan usia
dewasa madya dan dewasa akhir.
6. Ada beberapa topik penelitian yang dapat disarankan untuk kajian wanita tidak
menikah, antara lain :
stigma sosial, konsep diri, persepsi wantia tidak menikah
terhadap status tidak menikah dan status menikah dan persepsi wanita menikah
terhadap status tidak menikah dan status menikah pada generasi wanita masa kini,
well-being, coping stress, dan empowering.
Daftar Pustaka
Benokraitis, N.V. (2011). Marriages & Families: Changes, Choices and Constraints. (6th
ed.). Bostom: Prentice Hall
Beri, N., & Beri, A. (2013). Perception of single women towards marriage, career and
education. European Academic Research, Vol. 1, 855-869.
Cox, T.K. (2005) Singles, society, and sciences : Sociological perspectives. Psychology
Inquiry, 16 (2/3), 91-97.
Feist, J. & Feist, G. (2006). Theories of personality. New York : Mc. Graw Hill.
Gaetano, A. (2009). Single women in urban China and the “unmarried crisis”: Gender
resilience and gender transformation. Postdoctoral research fellow at the Centre for
East and Southeast Asian Studies Lund University, Sweden
Gove, W. R. (1972). The Relationship between sex roles, marital status, and mental
illnesss. Social Force, 51(1), 34-44.
Hackler, D. (2001). Single and married women in the law of Israel a feminist perspective.
Feminist Legal Studies, 9, 29-56.
Hertel, J., Schutz, A., DePaulo, B. M., Morris, W. L., & Stucke, T. S. (2007). She’s single,
so what? How are singles perceived compared with people who are married?.
Zeitschrift fur Familienforschung, 19, 140-158.
Ibrahim (2009). Understanding singlehood from the experience of never married Malay
Muslim Women in Malaysia: Some preliminary findings. European Journal of Social
Sciences, 8(3)
Lewis, K. G., & Moon, S. (1997). Always single and single again women: A qualitative
study. Journal of Marital and Family Therapy, 23(2), 115-134.
Nanik. (20015). Aku perempuan yang berbeda dengan perempuan lain di jamanku : Aku
bisa bahagia meski aku tidak menikah. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Positive Psychology 2015 : “Embracing a new way of life promoting positive
psychology for better a mental health”, Surabaya : Fakultas Psikologi Unika Widya
Mandala.
Papalia, D., Old, S., & Feldman, R. (2001). Human development: international edition.
New York: McGraw-Hill Companies.
Popay, J, dkk (2006) Guidance on the Conduct of Narrative Synthesis in Systematic
Reviews, diunduh dari
http://www.researchgate.net/publication/233866356_Guidance_on_the_conduct
_of_narrative_synthesis_in_systematic_reviews_A_product_from_the_ESRC_Meth
ods_Programme/file/72e7e5231e8f3a6183.pdf.
Wang, H., & Abbot, D. A. (2013). Waiting for Mr. Right: The meaning of being a single
educated Chinese female over 30 in Beijing and Guangzhou. Women’s Studies
International Forum 40, 222-229
Winterstein, T. B., & Rimon, C. M. (2014). The experience of being an old never-married
single: A life course perspective. The International Journal of Aging and Human
Development, Vol. 78(4), 379-401