Fenomena Pilihan Hidup Tidak Menikah (Studi Deskriptif Pada Wanita Karir Etnis Batak Toba Di Kota Medan)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

FENOMENA PILIHAN HIDUP TIDAK MENIKAH

(STUDI DESKRIPTIF PADA WANITA KARIR ETNIS BATAK TOBA DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Oleh

PRIMA DAFRINA H 050901047

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNUVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAKSI

Hidup melajang adalah merupakan fenomena yang tidak disukai oleh anggota keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan bagi masyarakat. Problematika hidup melajang, dengan ungkapan yang lebih halus, keterlambatan usia nikah adalah merupakan suatu fenomena yang menarik perhatian. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tempat atau negara tertentu, tetapi hampir terjadi di seluruh masyarakat dunia. Walaupun dengan identitas yang berbeda-beda, fenomena ini telah menyebar dalam berbagai komunitas, baik yang ada di Timur maupun yang ada di Barat. Ada ribuan, bahkan jutaan perawan tua yang hidup dalam keadaan melajang, padahal mereka dulunya mendambakan hidup menikah.

Banyak alasan mengapa para wanita lajang yang dikatakan sudah mapan jadi merasa nyaman dengan kondisi belum menikah. Kesimpulan ini dapat dilihat karena wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah memiliki pendapatan yang telah memadai) alias sudah kadung (terlanjur) asyik dengan kehidupan melajang. Terjadinya perubahan yang cepat pada wanita dibandingkan pria di Indonesia. Wanita Indonesia makin cerdas, berpendidikan dan makin mudah beradaptasi dengan perubahan. Ini membuat para wanita susah untuk menentukan pilihan hidupnya untuk berkeluarga. Dan kecenderungan saat ini wanita bisa berpikir lebih rasional dan tidak lagi emosional, dan yang terpenting lagi adalah mampu untuk mengontrol diri. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik untuk memaparkan secara rinci bagaimana pandangan masyarakat etnis Batak Toba terhadap fenomena perempuan yang tidak menikah ; apakah yang menjadi latar belakang pilihan hidup tidak menikah tersebut ; bagaimana interaksi wanita yang tidak menikah di kalangan masyarakat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian dilakukan pada wanita karir etnis Batak Toba di Kota Medan, yang dilakukan dengan menggunakan snowball sampling.

Dari penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa wanita karir etnis Batak Toba, yang memilih untuk tidak menikah mendapat respon yang biasa saja dari masyarakat Batak Toba, walaupun ada pertentangan pada masyarakat karena pada umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai nilai-nilai prinsip pada kehidupan Batak Toba untuk menuju kesempurnaan yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon. Hal ini disebabkan karena wanita karir sudah mengalami perubahan untuk dapat berada pada sektor public, bukan hanya laki-laki saja yang bisa bekerja dan dihargai di lapisan masyarakat, tetapi wanita juga dapat dihargai dilingkungannya.


(3)

KATA PENGANTAR

Terima kasih yang sangat besar pada Allah Bapa Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih. Banyak bimbingan dan kekuatan serta pengalaman yang penulis rasakan dalam menjalani penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis yakin semuanya itu karena Kasih Karunia dari Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus yang memberikan kesempatan pada penulis untuk menjalani dan merasakannya. Ketika mengalami masa-masa sulit, Tuhan Yesus tetap memberikan jalan dan semangat serta kekuatan sampai saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Hormat dan puji syukur saya panjatkan kehadiratNya, Amin.

Selama pembuatan skripsi ini banyak hal yang penulis rasakan dan dapatkan seperti ketekunan, kesabaran, keberanian, motivasi, pengalaman, kerjasama dan disiplin, serta menambah wawasan penulis. Penulis menyadari bahwa proses studi sampai pada penulisan skripsi ini dukungan semua pihak baik secara moril maupun materi, doa dan fasilitas yang mendukung sampai selesainya penulisan ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, MA, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, sebagai Ketua Departemen Sosiologi dan Ibu Dra. Rosmiani, MA sebagai Sekretaris Jurusan.

3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si sebagai dosen wali sekaligus sebagai dosen pembimbing, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak terkatakan dan juga rasa hormat penulis karena telah memberikan tenaga, pemikiran, ide-ide, waktu dan semangat dalam proses bimbingan dan penulisan skripsi ini.


(4)

4. Dosen-dosen staf pengajar FISIP USU terkhusus pada dosen Departemen Sosiologi atas pengajaran dan arahan pada masa perkuliahan.

5. Yang terkasih dan tercinta kepada orangtua penulis, Ayahanda St. R. B. Hutagalung, atas dukungan doa, motivasi, materi, kesabaran yang membentuk penulis agar selalu berjuang hingga mendapatkan gelar sarjana. Terimakasih untuk segalanya, dan Ibunda tersayang P. Hutabarat (Alm).

6. Kepada Abang-abangku, abang David Yoshitomi Hutagalung, S.P, abang Ganda Roy Hutagalung, Amd, yang selalu memberikan semangat, dukungan, doa kepada penulis untuk tetap bersabar dalam mengerjakan skripsi ini hingga selesai, dan juga untuk segala materi yang telah diberikan kepada penulis, terima kasih juga buat abang sepupu penulis Faniel Hutagalung, Amd.

7. Kepada kakak penulis Nancy Suryani Hutagalung, Amd, untuk segala doa dan semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih buat segala bantuan baik secara moril dan materi yang telah diberikan.

8. Sahabat terbaik penulis Lenny Simatupang, S.sos, Ira, S.sos, dan Vero atas motivasi dan dukungan yang tak pernah habisnya untuk menyelesaikan skripsi ini, dan juga untuk Hana Tarigan.

9. Kepada bang Lex, yang selalu memberikan semangat di waktu susah dan senang dan juga menemaniku selalu. Kapada adik-adik juniorku yang terkasih Elin, Evi, Tiara dan Esther.

10.Kepada orang-orang yang mendukung saya selama kegiatan di lapangan, informan yang ada di kota Medan.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ………. i

KATA PENGANTAR ……….. ii

DAFTAR ISI ………. iv

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 10

1.3. Tujuan Penelitian ………. . 10

1.4. Manfaat Penelitian ………. 11

1.5. Defenisi Konsep ………. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 29

3.1. Jenis Penelitian ……… 29

3.2. Lokasi penelitian ……… 30

3.3. Unie analisis dan informan……… ………... 30

3.4. Teknik Pengumpulan Data ………. 31

3.5. Interpretasi Data ……… 33

3.6. Jadwal Kegiatan ………. 34

3.7. Keterbatasan Penelitian ……….. 34

BAB IV INTERPRETASI DATA ……… 36

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 36

4.2. Profil Informan………. 44

4.3. Interpretasi Data ……… 51

1. Pandangan Masyarakat Batak Toba Mengenai Perkawinan, Adat dan Kekerabatan……… …………. 51

2. Perempuan Karir dan Perkawinan……… 55

3. Latar Belakang Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah……. 58

4. Pandangan Keluarga Terhadap Status Sosial Wanita Karir……… 68

5. Peluang Pergeseran Pilihan Wanita Karir Tidak Menikah Dalam Adat dan Keluarga……….. 71

6. Pergeseran Pilihan Tidak menikah dan Perubahan Fungsi Keluarga………. 81

BAB V PENUTUP ………. 91

5.1. Kesimpulan ………. 91

5.2. Saran ……… 92 DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAKSI

Hidup melajang adalah merupakan fenomena yang tidak disukai oleh anggota keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan bagi masyarakat. Problematika hidup melajang, dengan ungkapan yang lebih halus, keterlambatan usia nikah adalah merupakan suatu fenomena yang menarik perhatian. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tempat atau negara tertentu, tetapi hampir terjadi di seluruh masyarakat dunia. Walaupun dengan identitas yang berbeda-beda, fenomena ini telah menyebar dalam berbagai komunitas, baik yang ada di Timur maupun yang ada di Barat. Ada ribuan, bahkan jutaan perawan tua yang hidup dalam keadaan melajang, padahal mereka dulunya mendambakan hidup menikah.

Banyak alasan mengapa para wanita lajang yang dikatakan sudah mapan jadi merasa nyaman dengan kondisi belum menikah. Kesimpulan ini dapat dilihat karena wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah memiliki pendapatan yang telah memadai) alias sudah kadung (terlanjur) asyik dengan kehidupan melajang. Terjadinya perubahan yang cepat pada wanita dibandingkan pria di Indonesia. Wanita Indonesia makin cerdas, berpendidikan dan makin mudah beradaptasi dengan perubahan. Ini membuat para wanita susah untuk menentukan pilihan hidupnya untuk berkeluarga. Dan kecenderungan saat ini wanita bisa berpikir lebih rasional dan tidak lagi emosional, dan yang terpenting lagi adalah mampu untuk mengontrol diri. Berdasarkan gambaran tersebut peneliti tertarik untuk memaparkan secara rinci bagaimana pandangan masyarakat etnis Batak Toba terhadap fenomena perempuan yang tidak menikah ; apakah yang menjadi latar belakang pilihan hidup tidak menikah tersebut ; bagaimana interaksi wanita yang tidak menikah di kalangan masyarakat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian dilakukan pada wanita karir etnis Batak Toba di Kota Medan, yang dilakukan dengan menggunakan snowball sampling.

Dari penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa wanita karir etnis Batak Toba, yang memilih untuk tidak menikah mendapat respon yang biasa saja dari masyarakat Batak Toba, walaupun ada pertentangan pada masyarakat karena pada umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai nilai-nilai prinsip pada kehidupan Batak Toba untuk menuju kesempurnaan yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon. Hal ini disebabkan karena wanita karir sudah mengalami perubahan untuk dapat berada pada sektor public, bukan hanya laki-laki saja yang bisa bekerja dan dihargai di lapisan masyarakat, tetapi wanita juga dapat dihargai dilingkungannya.


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang didalamnya memiliki unsur-unsur sanksi, kekuasaan, fasilitas, kedudukan dan peran serta tujuan bersama keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak, yang secara otomatis memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Yang pada akhirnya membangun perilaku pada pola interaksi di dalam suatu keluarga. Interaksi di dalam keluarga nantinya juga akan menentukan dan ikut mempengaruhi keharmonisan atau ketidakharmonisan dalam keluarga ( Clayton dalam Kamanto 2000:63-65 ).

Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak perempuan di usia cukup dengan kondisi kehidupan mapan namun masih enggan untuk menikah karena berbagai sebab. Salah satu diantaranya adalah para wanita lebih memikirkan karir atau berada pada sektor publik. Akhir-akhir ini fenomena tersebut semakin menjamur, tentunya hal ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh banyak hal. Sebagaian besar perempuan merasakan kecemasan dan ketakutan berlebih hingga kemudian melahirkan berbagai situasi psikologis tanpa arah. Di lain pihak, banyak perempuan yang justru menikmati masa lajangnya. Bagi mereka hidup melajang merupakan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Perceraian atau ditinggal pasangan bisa jadi alasan yang membuat mereka enggan untuk menikah. Trauma dengan kegagalan sebuah pernikahan bukan hal yang baru lagi yang bisa mendorong orang untuk enggan membina rumah tangga lagi.


(8)

Apalagi pernikahan yang dulu sempat menyisakan kenangan yang buruk yang tak pernah lepas dari ingatannya (www. Stelladuce.net-website Alumni SMA Stelladuce 1). Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia merupakan kota Metropolitan yang memiliki penduduk majemuk dengan berbagai suku dan agama, yang mendiami kota Medan. Ada kenyataan yang mendukung bahwa masyarakat yang tinggal di kota, di tantang oleh cara-cara berpikir dan perilaku yang tidak di bungkus oleh kesopanan, sehingga mereka mengembangkan suatu toleransi dan selera terhadap apa yang terbaru (novelty). Hidup melajang atau tidak menikah juga banyak dijumpai di Kota Medan, sehingga pilihan hidup tidak menikah masuk kedalam berbagai usia dan lapisan masyarakat (www.kompas.com/suara-Daldjoeni, 1997)..

Hidup melajang adalah merupakan fenomena yang tidak disukai oleh anggota keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan bagi masyarakat. Problematika hidup melajang, dengan ungkapan yang lebih halus, keterlambatan usia nikah adalah merupakan suatu fenomena yang menarik perhatian. Fenomena ini tidak hanya terjadi di tempat atau negara tertentu, tetapi hampir terjadi di seluruh masyarakat dunia. Walaupun dengan identitas yang berbeda-beda, fenomena ini telah menyebar dalam berbagai komunitas, baik yang ada di Timur maupun yang ada di Barat. Ada ribuan, bahkan jutaan perawan tua yang hidup dalam keadaan melajang, padahal mereka dulunya mendambakan hidup menikah (Muhyidin Abdul Hamid,2003:2-3).

Banyak alasan mengapa para wanita lajang yang dikatakan sudah mapan jadi merasa nyaman dengan kondisi belum menikah. Kesimpulan ini dapat dilihat karena wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah memiliki pendapatan yang telah memadai) alias sudah kadung (terlanjur) asyik dengan


(9)

kehidupan melajang. Terjadinya perubahan yang cepat pada wanita dibandingkan pria di Indonesia. Wanita Indonesia makin cerdas, berpendidikan dan makin mudah beradaptasi dengan perubahan. Ini membuat para wanita susah untuk menentukan pilihan hidupnya untuk berkeluarga. Dan kecenderungan saat ini wanita bisa berpikir lebih rasional dan tidak lagi emosional, dan yang terpenting lagi adalah mampu untuk mengontrol diri.

Seringkali perempuan dihadapkan pada berbagai keputusan yang susah diukur tingkat kesulitannya, mereka memiliki banyak keinginan untuk menerima dan menolak berbagai hal diluar kesanggupan yang ada. Sebenarnya, apabila dibuat suatu perbandingan, lelaki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam menyikapi suatu permasalahan, apakah nantinya resiko yang mereka tanggung berat atau tidak, semuanya pastilah sesuai dengan tingkat permasalahan yang ada. Dalam hal ini tiap perempuan memiliki kesempatan yang sama di dunia ini dalam berbagai hal termasuk pernikahan.

Sampai saat ini, pernikahan tetap dianggap sebagai momen terpenting yang masih senantiasa ditunggu sepanjang perjalanan hidup seseorang. Masyarakat kita masih melekatkan pernikahan sebagai bagian identitas seseorang. Hidup baru dianggap lengkap jika orang itu sudah menikah, namun mampu membuat orang yang ditanya mengambil waktu panjang untuk berpikir masih ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.

Perempuan memang menerima tuntutan lebih besar untuk menikah, terutama dari keluarganya. Menurut teori Jeane-Paule Satre (George Ritzer, 2007 :413) simone de Beauvoir, feminis eksistensialis, “the second sex tentang perbedaan ”transcendent self


(10)

dan umanent self”, keberadaan manusia secara rohani dan jasmani. Keberadaan secara jasmani dapat dilihat, dirasa, diraba, tetapi keberadaan secara rohani tidak tampak. Sisi keberadaan manusia secara jasmani itu menyebabkan manusia selalu berelasi dengan yang lain. Hubungan ini disosialisasikan sebagi hubungan subjek dan objek. Hubungan Aku dan Engkau selalu timbal balik. Bila aku ingin bebas dari engkau, engkau ingin bebas dari aku. Kesadaran perempuan tentang eksistensi dirinya ini, tertutup oleh mitos tentang perempuan yang sengaja diciptakan, misalnya mitos tulang rusuk, sperma bersifat agresif dan telur bersifat positif. Teori ini mengatakan banyak orangtua menganggap anak perempuannya tidak akan bahagia jika tidak bersuami. Apalagi dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki seperti Indonesia, eksistensi perempuan sudah dikonstruksi sedemikian rupa untuk dilekatkan dalam konteks hubungannya dengan suami.

Pernikahan menjadi sesuatu yang wajib dilakukan agar tidak dianggap menyimpang dari norma masyarakat dan terhindar dari stereotip negatif. Adanya tuntutan itu, baik pada perempuan maupun laki-laki, tidak heran jika banyak kaum muda tertekan ketika belum mendapatkan pasangan di usia yang sudah dianggap pantas menikah. Pada akhirnya mereka menikah dengan pasangan yang belum dikenal dengan baik hanya karena usia seolah sudah mengejar. Hal ini sesuai dengan posisi perempuan secara umum dalam masyarakat tradisional yang berada di sektor domestik. Perkembangan zaman yang semakin maju mengubah pola pikir dari masyarakat khususnya perempuan. Dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat maka posisi perempuan berubah dari sektor domestik menjadi terlibat dalam sektor publik. Dapat dilihat dalam hal pekerjaan kaum perempuan dan laki-laki tidak dibedakan, yang mana


(11)

disesuaikan dengan bidang kemampuannya. Kaum perempuan yang sudah bekerja mempunyai alasan yang berbeda-beda.

Khususnya bagi kaum perempuan di kota yang masih muda “single” dan sudah bekerja pada saat sekarang ini, keinginan untuk bekerja selain ingin mendapatkan pengalaman bekerja juga untuk memperoleh materi, dan kedudukan yang lebih bagus. Dapat dilihat pada kaum perempuan ketika sudah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri, maka apa yang diinginkan dapat terpenuhi, selain tidak ingin merepotkan orang tua.

Pada kota Medan yang memiliki penduduk majemuk dengan berbagai sub etnis yaitu etnis Jawa, etnis Batak Toba, etnis Mandailing, Karo, Pakpak, dan etnis-etnis pendatang lainnya. Etnis Batak Toba merupakan salah satu mayoritas yang mendiami kota Medan sesudah Suku Jawa. Di bawah ini menunjukkan pada tabel 1.1 jumlah proporsisi penduduk kota Medan yang berdasarkan pada etnis.

Tabel 1.1. Persentase Penduduk Kota Medan Menurut Suku Bangsa Tahun 2001

NO Suku Bangsa Penduduk Jumlah

Laki-Laki Perempuan

1 Jawa 33,02 % 33,03 % 33,03 %

2 Batak Toba, Batak Tapanuli 19,06 % 19,35 % 19,21 %

3 China 10,65 % 10,66 % 10,65 %

4 Mandailing dan Angkola 9,37 % 9,36 % 9,36 %

5 Minang 8,72 % 8,48 % 8,60 %

6 Melayu 6,57 % 6,62 % 6,59 %

7 Karo 4,01 % 4,20 % 4,20 %

8 Aceh 2,92 % 2,65 % 2,78 %

9 Simalungun 0,68 % 0,70 % 0,69 %

10 Nias 0,80 % 0,58 % 0,69 %

11 Pakpak 0,35 % 0,34 % 0,34 %

12 Lainnya 3,88 % 4,03 % 3,95 %


(12)

Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa pada sensus penduduk pada tahun 2001, penduduk Kota Medan berdasarkan komposisi etnik memperlihatkan, penduduk yang paling besar penduduknya sekaligus berada pada tingkat pertama adalah yang didiami pada suku Jawa yang mendiami Kota Medan sebesar 33,03%. Sedangkan suku Batak Toba mempunyai jumlah penduduk sekitar 19,21%, dan suku yang paling terkesil adalah suku Pakpak sebesar 0,34%.

Keluarga pada masyarakat etnis Batak Toba, memiliki sistem keluarga yang patrilineal. Dilihat dari hubungan masyarakat Batak Toba ketika menikahkan anak perempuan, akan menetap di pihak laki-laki. Masyarakat Batak Toba memiliki budaya dan adat yang dapat menyatukan kehidupan masyarakat Batak. Adat yang terjadi pada masyarakat tradisional, perempuan masih ikut berperan dalam adat yang dijalankan. Dengan adanya perkembangan industri membuat para perempuan mulai tersisihkan. Hal ini terjadi pada masyarakat kota Medan, khusunya pada perempuan etnis Batak. Saat ini banyak dijumpai perempuan yang tidak menikah, hanya untuk memenuhi kehidupan mereka dalam mengejar karir yang mereka harapkan (B.Siahaan,

Masyarakat Batak Toba yang secara tradisional bermukim di wilayah provinsi Sumatera Utara merupakan masyarakat yang patrilineal, di mana garis keturunan ditelusur lewat sistem klan yang disebut marga. Keseluruhan marga yang ada saling berhubungan, dan meyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan penyatuan dua gabungan dari unsur dalihan na tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah.


(13)

Pernikahan pada masyarakat Batak pada umumnya merupakan suatu lembaga. Dengan kata lain, pernikahan bukan hanya sekedar ikatan antara seorang laki-laki sengan seorang wanita. Tetapi pernikahan ini juga mempengaruhi pola kekerabatan dan hubungan tertentu antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Masyarakat Batak Toba pada umumnya mempunyai lembaga Dalihan Natolu. Dengan istilah tersebut dapat melihat susunan dan struktur kemasyarakatan yang ada dalam masyarakat Batak Toba.

Pada masyarakat Batak Toba ada beberapa istilah yang dikenal dengan hamoraon, hagabeon, dan hasangapon yang istilah ini sering disebut dengan nilai Raja pada masyarakat etnis Batak Toba. Nilai Raja itulah yang menjadi kebanggaan masyarakat Batak khususnya pada masyarakat etnis Batak Toba. Hamoraon, yang berarti kakayaan. Kekayaan ini nerupa materi seperti uang, tanah, rumah, dan lain-lain. Hagabeon, artinya keturunan. Pada masyarakat batak toba, kesempurnaan diukur dari jumlah suatu keturunan. Suatu kebanggaan bila anak yang dimiliki adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Keturunan adalah dasar seseorang dapat lebih di hormati sebagai seorang raja batak. Dan yang terakhir adalah hasangapon yang artinya adalah kemuliaan. Penilaian ini diberikan kepada individu, karena memiliki sejumlah keturunan baik laki-laki dan perempuan sampai kepada generasi ketiga dan keempat yang memiliki kualitas, karena mereka telah bekerja dan berkeluarga yang mempunyai keturunan baik itu laki-laki maupun perempuan. Semakin tinggi kualitas hamoraon, hagabeon, dan hasangapon dari setiap keturunan maka akan semakin sangap di pandang dalam masyarakat Batak Toba.


(14)

Pilihan hidup tidak menikah pada perempuan masyarakat etnis Batak Toba telah memunculkan suatu streotipe pada masyarakat lainnya, karena pada masyarakat Batak Toba diikat oleh budaya yang mengatur kehidupan masyarakat Batak Toba. Dimana dalam masyarakat Batak Toba, hamoraon, hagabeon, dan hasangapon merupakan suatu hal yang sangat penting bagi masyarakat Batak Toba untuk menjalani kehidupan mereka. Jadi seseorang yang belum menikah atau berkeluarga belum dapat dikatakan memiliki nilai Raja pada mereka yang belum berkeluarga. Dalam konteks penelitian ini kebudayaan ditekankan pada aspek keluarga dan norma-norma kemasyarakatan dan agama yang dikhususkan pada adat istiadat acara kematian/ meninggal. Dalam hal ini adat-istiadat diperkecil lingkupnya hanya pada adat-istiadat kematian/ meninggal yang dihubungkan dengan pernikahan, yaitu anak yang belum menikah pada usia yang sudah matang.

Pada masyarakat Batak Toba ada suatu adat yang dikenal dengan istilah “sari matua dan saur matua”. Hal ini berhubungan dengan adanya keturunan dari masyarakat Batak Toba itu sendiri yang belum menikah dan memperoleh keturunan. Pada masyarakat Batak Toba ada paham yang masih mengutamakan unsur-unsur budaya tradisional yang dikenal dengan adat. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini

Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan


(15)

secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (Bungaran Simanjuntak, 2001).

Sari Matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di antara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe). Sari Matua dapat dilakukan walaupun ada anak yang belum menikah. Sedangkan Saur Matua merupakan suatu kehidupan yang diidam-idamkan oleh setiap orang pada masyarakat Batak Toba. Seseorang yang saur matua dianggap sebagai orang yang diberkati oleh Yang Maha Kuasa dengan kesempurnaan hidup seseorang dilihat dari apabila dia meninggal dalam keadaan saur matua. Seseorang disebut Saur Matua, ketika meninggal dunia dalam posisi Titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru yang artinya ”mempunyai anak laki-laki dan mempunyai anak perempuan, yang nantinya mempunyai keturunan dari anak laki-laki dan anak perempuan”. Pada masyarakat Batak, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki seseorang. Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu.

Dalam masyarakat Batak Toba, apabila ada anak yang belum menikah atau hidup melajang dalam suatu keluarga, maka mereka belum dapat dikatakatan sebagai hagabeon dan hasangapon, sebelum mengakhiri masa lajang mereka atau menikah. Perempuan yang hidup melajang sering menimbulkan streotipe negatif dari masyarakat Batak Toba. Misalnya para wanita yang hidup melajang sering dikatakan karena tidak


(16)

laku, terlalu dalam memilih jodoh, sampai dengan istilah ”perawan tua”. Streotipe negatif akan ditujukan bagi mereka yang belum menikah di usia yang sudah dianggap sepantasnya. Sebutan perjaka tua tersedia bagi laki-laki, sedangkan perempuan disebut dengan istilah perawan tua. Dan sebutan itu sering dirasakan berdampak jauh lebih besar bagi perempuan dibandingkan kepada laki-laki (http:/emmaku.multiply.com, 13/03/2009).

Maraknya wanita karir yang hidup melajang salah satunya diakibatkan karena adanya perubahan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat pola pikir perempuan semakin berkembang dan dapat menyaingi laki-laki. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana perilaku wanita karir yang tidak menikah di kalangan masyarakat, khususnya pada masyarakat batak toba dalam judul fenomena pilihan hidup tidak menikah pada perempuan etnis batak toba.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di latar belakang masalah, penulis tertarik untuk melakukan penelitian. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pandangan wanita karir terhadap pilihan tidak menikah?

2. Apakah yang menjadi latar belakang pilihan hidup tidak menikah tersebut? 3. Bagaimana interaksi orangtua dalam adat ?

1.3. Tujuan Penelitian


(17)

1. Untuk melihat apa yang menyebabkan terjadinya pilihan hidup tidak menikah di kalangan masyarakat saat ini.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka tidak menikah. 3. Untuk mengetahui sejauh mana masyarakat Batak Toba, melihat perempuan

yang tidak menikah, khususnya etnis Batak Toba.

1.4. Manfaat Penelitian

Setelah mengadakan penelitian ini, diharapkan manfaat penelitian ini berupa : 1.4.1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sebuah hasil kajian ilmiah yang akurat, sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi dalam bidang pendidikan khususnya, instansi pemerintah dalam melihat perkembangan penduduknya, dan bagi masyarakat.

1.4.2. Manfaat Praktis

Yang menjadi manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk menambah referensi dari pada hasil penelitian dan dapat juga dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti berikutnya yang ingin mengetahui lebih dalam lagi terkait dengan penelitian sebelumnya.

1.4.3. Manfaat Bagi Penulis

Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai fenomena yang ada dalam masyarakat dan sebagai wadah latihan serta pembentukan pola pikir yang rasional dalam menghadapi segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat.


(18)

1.5. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide gagasan ( Iqbal Hasan 2002;17 ). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam proposal penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :

1. Menikah

Merupakan suatu pilihan bagi mereka (perempuan dan laki-laki) yang akan mengakhiri masa lajangnya. Keputusan untuk memilih menikah atau mengakhiri masa lajangnya menjadi pergumulan yang berat bagi mereka yang akan menikah.

2. Penyimpangan

Merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luat batas toleransi.

3. Keluarga

Pada dasarnya keluarga merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak.


(19)

4. Fenomena

Suatu peristiwa yang terjadi di realitas sosial dan memiliki gejala-gejala yang spesifik. Pada penelitian ini fenomena yang dimaksud adalah timbulnya suatu keadaan sekelompok maupun individu yang dicitrakan sebagai perempuan etnis batak toba yang tidak menikah.

5. Kota

Suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang konsumtif. Secara sosiologis, kota haruslah mencakup struktur sosial dan pola-pola psikologis serta perilaku sosial.

6. Wanita Karir

Wanita yang berada pada sektor publik dalam berbagai bidang, dan biasanya dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi, untuk aktualisasi diri. 7. Saurmatua

Tingkat usia serta kondisi seseorang apabila ia telah sampai kepada tingkat atau keadaan sudah mempunyai putra dan putri yang semuanya telah berkeluarga, dan juga telah mempunyai cucu.

8. Sarimatua

Tingkat usia serta kondisi seseorang apabila ia telah usia lanjut, telah mempunyai putera dan puteri serta pula telah mempunyai cucu, tetapi diantara putra ataupun puterinya masih ada yang belum menikah.


(20)

9. Adat Batak

Persatu-paduan kebudayaan kerohanian dan kemasyarakatan yang meliputi kehidupan, keagamaan, kesusilaan, hukum, kemasyarakatan, ataupun kekerabatan dan sebagainya.


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Studi tentang keluarga perkotaan (urban family) mulai menarik perhatian para sosiolog sejak pertengahan abad ke 19. Ada beberapa sebab yang mendorong perkembangan tersebut. Dorongan utama terletak pada perkembangan kehidupan social, baik di Eropa maupun di Amerika yang sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan besar dengan pertumbuhan industri modern. Namun pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, studi tentang keluarga beralaih tekanan, yaitu tidak lagi pada pengkajian tentang perkembangan pranata keluarga, tetapi menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial yang dikaitkan dengan perubahan-peerubahan keluarga, terutama dalam hal fungsi keluarga (Paulus Tangdilintin, dalam Khairuddin, 1999:2).

Diantara sekian banyak fenomena sosial yang menjadi orientasi analisis sosiologi, fenomena perubahan sosial barangkali termasuk yang paling sulit dipahami. Jadi pada hakekatnya tidak ada satu masyarakat yang tidak berubah, walaupun masyarakat sesederhana apapun. Atau dengan kata lain, tidak ada satupun masyarakat yang bersifat statis. Semua masyarakat berubah menurut kadar perubahannya masing-masing (Mustain Mashud, 2005:370-372).

Dalam setiap masyarakat, keluarga merupakan suatu pranata sosial yang sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Betapa tidak, para warga masyarakat menghabiskan paling banyak waktunya dalam keluarga dibandingkan dengan di tempat bekerja misalnya, dan keluarga adalah wadah dimana sejak dini para warga masyarakat dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan-perananya dalam


(22)

dunia orang dewasa. Dan melalui pelaksanaan peranan-peranan itu pelestarian berbagai lembaga dan nilai-nilai budaya pun akan dapat tercapai dalam masyarakat yang bersangkutan. Dapat diibaratkan bahwa keluarga adalah jembatan yang menghubungkan individu yang berkembang dengan kehidupan sosial dimana ia sebagai orang dewasa kelak harus melakukan peranannya.

Para individu yang baru berkembang, yang dilahirkan ke dalam suatu keluarga, harus mengalami suatu proses belajar sehingga akan mengambil alih nilai-nilai yang umum berlaku dalam kelompoknya. Dalam masyarakat umum, seseorang diharapkan akan memiliki sifat-sifat yang menurut sekitarnya dimiliki oleh seorang pria atau wanita dewasa, sehingga dapat melakukan peranan-peranan sebagai seorang istri atau suami yang baik. Selain itu, seseorang dapat secara mandiri mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan hukum, agama, dan dapat melakukan peranan ekonomi dan peranan lainnya agar menjadi seseorang yang dapat mempertahankan kehidupannya.

Keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antara suami dan istri atau anak-anak dan orang tua, tapi juga sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial dan anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu masyarakat. Oleh karena itu dalam memandang proses pemilihan jodoh dapat dilihat bahwa masyarakat luas menaruh perhatian akan hasilnya. Kedua keluarga mempunyai semacam kedudukan dalam sistem lapisan, yang keseimbangannya sebagian juga tergantung kepada siapa akan menikah. Perkawinan antara keduanya adalah petunjuk yang terbaik, bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira sama secara sosial dan ekonomis (Soekanto 1990:49).


(23)

Masyarakat mengenal berbagai aturan mengenai perkawinan. Ada aturan mengenai apakah jodoh harus berasal dari anggota kelompok sendiri ataukah harus dari kelompok lain, dan siapa diantara anggota kelompok sendiri yang boleh ataupun tidak boleh dinikahi, dan mengenai jumlah orang yang boleh dinikahi pada waktu yang sama, dan dimana akan dilakukan. Sebagaimana halnya dengan institusi lain, maka keluarga pun menjalankan fungsi. Para ilmuwan sosial ahli sosiologi mengidentifikasikan berbagai fungsi. Menurut Horton dan Hunt dalam (Su’adah, 2005:36) mengidentifikasikan beberapa diantaranya, yaitu fungsi pengaturan seks, reproduksi, sosialisasi, afeksi, defenisi status, perlindungan, dan ekonomi.

Pertama, keluarga berfungsi untuk mengatur penyaluran dorongan seks. Tidak ada masyarakat yang memperbolehkan hubungan seks sebebas-bebasnya antara siapa saja dalam masyarakat. Kedua, reproduksi berupa pengembangan keturunan pun selalu dibatasi dengan aturan yang menempatkan kegiatan ini dalam keluarga. Ketiga, keluarga berfungsi untuk menyosialisasikan anggota baru masyarakat sehingga dapat memerankan apa yang diharapkan darinya. Keempat, keluarga mempunyai fungsi afeksi, yaitu bahwa keluarga memberikan cinta kasih pada seorang anak. Berbagai studi telah memperlihatkan bahwa seorang anak yang tidak menerima cinta kasih dapat berkempang menjadi penyimpangan, yaitu menderita ganguan kesehan dan dapat meninggal.Kelima, keluarga memberikan status pada seorang anak, bukan hanya status yang diperoleh seperti status yang terkait dengan jenis kelamin, tetapi juga termasuk di dalamnya status yang diperoleh orang tua yaitu status dalam suatu kelas social tertentu. Keenam, keluarga memberikan perlindungan kepada anggota keluarganya, baik


(24)

perlindungan fisik maupun yang bersifat kejiwaan. Akhirnya keluarga pun menjalankan berbagai fungsi ekonomi tertentu seperti produksi, reproduksi, distribusi dan konsumsi.

Setiap masyarakat selama masih hidup pasti akan mengalami suatu perubahan. Perubahan yang terjadi bisa secara cepat, dan juga lambat. Perubahan yang terjadi pada masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, susunan lembaga, dan interaksi sosial. Menurut Kingsley Davis (Soerjono, 1990:341-342), perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi di dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Selo Soemardjan (dalam Soekanto, 1990:333-337), bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalam nilai-nilai sikap dan pola perilaku antara individu dan kelompok di dalam masyarakat.

Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial adalah :

a) Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara tepat.

b) Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembag-lembaga sosial lainnya.

c) Perubahan sosial yang secara cepat biasanya akan mengakibatkan diorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian.

d) Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang spiritual saja, yang disebabkan mempunyai kaitan timbale balik yang sangat kuat.


(25)

Perubahan yang terjadi di seluruh aspek kehidupan mempengaruhi perubahan setiap yang dilakukan masyarakat yang ada di kota Medan, termasuk para wanita dan pria yang hidup melajang. Diantara sekian banyak fenomena sosial yang menjadi orientasi analisis sosiologi, fenomena perubahan sosial barangkali termasuk yang paling sulit dipahami. Yang pada hakekatnya, tidak ada satu masyarakat yang tidak berubah, walaupun masyarakat sesederhana apapun. Atau dengan kata lain, tidak ada satupun masyarakat yang bersifat statis. Semua masyarakat berubah menurut kadar perubahannya masing-masing (Mustain Mashud, 2005:370-372).

Sesuai dengan perubahan yang terjadi, fungsi-fungsi prinsip dari keluarga juga mengalami perubahan pada bentuknya. Perubahan-perubahan institusional sangat mempengaruhi ikatan perkawinan dan hubungan-hubungan anggota satu dengan yang lainnya. Dalam masalah perkawinan, masyarakat tidak lagi dikontrol oleh orang tuanya dan bentuk-bentuk lainnya dari tekanan-tekanan sosial apabila mereka akan kawin. Dengan adanya perubahan sosial, masyarakat telah banyak menentukan pilihan hidupnya untuk tidak menikah. Bagi wanita, hal ini dapat disebut dengan istilah “perawan tua” karena tidak menikah. Fungsi keluarga dalam memberikan keturunan telah mengalami pergeseran, karena adanya pilihan hidup tidak menikah.

Pada masyarakat Batak Toba, banyak keturunan merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam meraih kesuksesan. Bagi masyarakat orang Batak, banyak anak akan banyak rejeki. Hal ini disebut dengan istilah “Hagabeon”, dimana banyak keturunan dan panjang umur satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar


(26)

kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putrid 16

2.1. Teori Perilaku Sosial

Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.

Dalam pendekatan behaviorisme dalam ilmu sosial sudah dikenal sejak lama, khususnya dalam bidang psikologi. Paradigma prilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dengan lingkungannya. Prinsip yang menguasai antar hubungan individu dengan objek sosial adalah sama dengan prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan objek non sosial. Singkatnya hubungan antara individu dengan obyek non sosial dikuasai oleh prinsip yang sama. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor (George Ritzer, 2007 :70-73).

Perilaku sosial dibangun dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah


(27)

laku aktor. Akibat-akibat tingkah laku diperlakukan sebagai variabel independen. Ini berarti bahwa teori berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi itu melalui akibat-akibat yang mengikutinya kemudian. Jadi nyata secara metafisik ia mencoba menerangkan tingkah laku yang terjadi di masa sekarang melalui kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa yang akan datang. Yang menarik perhatian dari teori behavior sosial adalah hubungan histories antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku yang terjadi di masa lalu mempengaruhi tingkah laku yang terjadi sekarang. Dengan mengetahui apa yang diperoleh dari suatu tingkahlaku yang nyata di masa lalu akan dapat diramalkan apakah seorang aktor akan bertingkahlaku yang sama (mengulanginya) dalam situasi sekarang.

Segala sesuatu yang mungkin mengalami suatu perubahan tentu dilalui oleh proses. Proses yang dimaksud dalam hal ini adalah proses perilaku (behavior), yang berarti proses berprilaku dan menimbang untuk dapat mengambil sikap dan tindakan terhadap alternative secara sadar dan logis untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dan diinginkan sebelumnya.

Cooley mengemukakan bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis, tidak dapat dimengerti tanpa yang yang lain. Suatu gaya hidup atau pola-pola perilaku seseorang tidak merupakan hasil dari insting-insting atau karakteristik biologis yang ditransmisikan lewat keturunan, tetapi perkembangan individu sebagai seorang manusia dengan suatu kepribadian tersendiri berbentuk perilaku tertentu merupakan hasil dari pengaruh warisan sosial yang ditransmisikan melalui komunikasi manusia. Jadi, Cooley menghadapi dilema antara warisan biologis


(28)

versus lingkungan sosial dengan berpegang pada saling ketergantungan dinamis antara kedua tingkatan itu, namun tujuan utamanya adalah untuk memperlihatkan bagaimana manusia dibentuk dalam konteks keteraturannya social yang terus berjalan (Robert Lawang, 1996:26).

Fenomena yang terjadi pada wanita sekarang ini dengan memilih untuk tidak menikah dapat dikatakan, bagaimana seseorang melekukan proses interaksi dengan lingkungan mereka dimana mereka berada. Perilaku wanita yang tidak menikah, melihat di sekitar lingkungan mereka, bahwa dengan bekerja mereka dapat menyesuaikan diri untuk dapat berinteraksi dengan baik, walaupun ada tuntutan kepada mereka untuk menikah.

Saling ketergantungan organis antara individu dan masyarakat diungkapkan dalam analisa Cooley mengenai perkembangan konsep diri (“I” seseorang). Meskipun Cooley merasakan bahwa manusia lahir dengan perasaan diri (self-feeling) yang tidak jelas dan terbentuk, ia menekankan bahwa pertumbuhan dan perkembangan perasaan diri ini merupakan hasil dari proses komunikasi interpersonal dalam suatu lingkungan sosial. Perkembangannya, seperti proses komunikasi itu sendiri, tergantung pada pemahaman simpatetis antara individu yang satu terhadap yang lainnya. Dengan imajinasinya mereka dapat masuk ke dalam dan ikut mengambil bagian dalam perasaan dan ide orang lain. Yang penting khususnya adalah bagaimana orang menangkap apa yang dipikirkan orang tentang dia. Hal ini berhubungan sangat erat dengan perasaan diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa dengan penampilan dan perilakunya, sebagian besar merupakan hasil dari apakh orang lain dilihat menyetujui atau menolak penampilan dan perilakunya itu.


(29)

Imajinasi yang ada di dalam benak orang-orang terhadap yang lainnya, menurut Cooley adalah “fakta di dalam masyarakat”. Masyarakat adalah sebuah fenomena mental, hubungan antar gagasan orang. Masyarakat ada di dalam pikiran orang lain seperti hubungan dan pengaruh timbale balik dalam gagasan tertentu yang diberi nama “I”. Masyarakat dan individu bukanlah dua realitas yang satu dan sama . Keduanya adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak mungkin terpisahkan.

Dalam pengertian yang mendasar dalam formulasi ini, Cooley memandang masyarakat seperti pendekatan yang digunakan untuk memahami kedirian. Ini tidaklah aneh, karena konsep Cooley tentang “ the self “ cocok dan sangat berdekatan dengan perilaku yang ada pada masyarakat sekarang ini. Cooley menunjuk aspek konsep diri ini dengan istilah looking glass self. Setiap hubungan social di mana sesorang itu terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Karena banyak orang terlibat dalam keseberagaman hubungan social, yang masing-masingnya memberikan suatu cerminan tertentu, orang dapat dibayangkan sebagai hidup dalam suatu dunia cermin, yang masing-masing memberikan perspektif atau seginya sendiri yang khusus. Tetapi individu tidak dapat luput dari defenisi-defenisi tentang identitas mereka ini yang mereka lihat tercermin dalam diri orang lain (Robert Lawang, 1996:28-29). Berikut ini gambaran Cooley tentang Looking glass self :

Each to each a looking-glass Reflects the other that doth pass

“ Ketika kita melihat wajah, bentuk, dan pakaian kita di depan cermin, dan merasa tertarik karena semuanya itu milik kita, begitu pula dengan imajinasi, kita menerima dalam pikiran orang lain suatu pikiran tentang penempilan, cara, tujuan, perbuatan, karakter, dan seterusnya, dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya.”


(30)

Ada sejumlah variasi dalam hubungan antara perasaan diri seseorang dan hubungan-hubungannya dengan orang lain. Misalnya, orang berbeda dalam kepekaan terhadap pandangan orang lain, mereka berbeda dalam tingkat stabilitas dalam mempertahankan suatu jenis perasaan diri tertentu pun dalam menghadapi reaksi-reaksi orang lain yang bertentangan atau yang bersifat konflik, mereka berbeda dalam intensitas dan seringnya dukungan sosial yang dibutuhkan untuk mempertahankan perasaan diri mereka, berbeda dalam campuran perasaan tertentu yang bersifat positif dan negative yang dihubungkan dengan konsep diri mereka, yang juga berbeda dalam hal dimana aspek kehidupan mereka sangat erat hubungannya dengan perasaan diri.

Seseorang akan menemukan perasaan diri yang tidak selaras dengan reaksi dan perasaan yang ada pada orang lain sehingga mereka mundur secara fisik atau psikologis untuk membentuk suatu kehidupan diri yang bersifat batiniah yang tidak akan begitu saja mendapat ejekan dari orang lain yang memberikan reaksi yang tidak sesuai. Biasanya perasaan diri seseorang ini sering di perpanjang ke berbagai kelompok di mana mereka merupakan salah satu bagian kelompoknya. Hal ini sering tampak pada keluarga, dimana keluarga merupakan kelompok yang paling umum.

Perasaan diri yang tampak pada keluarga bisa diakibatkan, adanya salah satu anggota keluarga yang melakukan penyimpangan dari fungsi keluarga yang sudah ada. Hal ini dilihat pada wanita yang memilih untuk tidak manikah. Perasaan kecewa pada diri orang tua dalam melihat anak mereka tidak menikah akan menjadi bebani pikiran mereka, karena pada masyarakat Batak Toba, menikah dan mempunyai keturunan merupakan suatu kebanggaan bagi keluarga itu sendiri.


(31)

Pendidikan merupakan faktor penting dalam memperoleh dan meningkatkan status sosial yang lebih tinggi, misalnya pangkat, kehormatan, kekayaan, kedudukan, dan kekuasaan. Bagi masyarakat Batak Toba, pendidikan adalah jalur mencapai kemajuan (hamajuon). Dengan kesadaran ini, masyarakat Batak Toba memacu anak-anaknya untuk menjadi agen perubah kehidupan keluarga yang lebih baik. Dengan adanya pendidikan yang tinggi, wanita etnis Batak Toba lebih bebas untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka di dunia sektor publik hingga menjadi wanita karir.

Dari pemahaman itu, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun kondisinya, penerapan sarana dalam mencapai tujuan merupakan hal penting dan mengalahkan segalanya dalam setiap tindakan sosial. Demikian pula ketika memandang suatu perilaku sosial di dalam suatu lingkungan sebagai tindakan sosial yang pastinya dilakukan manusia, baik di perkotaan maupun pedesaan, dalam interaksi sosialnya di kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini peneliti melihat bahwa fenomena pilihan hidup tidak menikah yang terjadi di masyarakat, khususnya pada masyarakat Batak Toba, sebagai tindakan yang ingin menyesuaikan pilihan mereka dengan kehidupan masyarakat lain yang ada pada umumnya.

Masyarakat Batak Toba pada umumnya mempunyai peranan yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan mereka untuk dapat berkeluarga. Nilai Raja Hagabeon, Hasangapon, dan Hamoraon akan dimiliki masyarakat batak Toba, apabila seseorang telah mempunyai anak, dan mempunyai keturunan dari anaknya tersebut. Begitu juga sebaliknya, dengan anak-anaknya akan sama seperti orang tuanya apabila telah mampunyai keturunan dan sudah menikah semua. Yang terjadi sekarang ini adalah,


(32)

banyak dijumpai fenomena wanita tidak menikah (perawan tua) pada masyarakat Batak Toba. Wanita tersebut lebih mengutamakan karir yang mereka peroleh.

Dilihat dari teori Cooley mangenai looking glass self , bahwa perasaan yang ada pada diri wanita yang memilih untuk tidak menikah dilatarbelakangi oleh keinginan mereka untuk mencapai sauatu prestasi yang dapat membanggakan diri mereka sendiri dan juga terhadap keluarga mereka. Kehidupan yang terjadi pada wanita etnis Batak Toba dipengaruhi oleh lingkungan dimana tempat mereka bekerja. Perilaku wanita yang memilih untuk tidak menikah diakibatkan lingkungan tempat dimana mereka bekerja. Karena lingkungan pekerjaan juga menuntut mereka untuk tetap eksis agar mencapai prestasi yang bagus.

2.2. Teori Feminis

Perilaku sosial dapat juga dilihat pada teori feminis. Dimana teori feminis merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok teori yang mengeskplorasi makna konsep-konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa apak kehidupan terlepas dari kehidupan sex biologis yang dipahami dalam pengertian kualitas gender, termasuk bahasa, kerja, peran keluarga, pendidikan, sosialisasi, dan sebagainya. Kritik feminis bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan, dan kebanyakan teori ini menekankan sifat opresif dan relasi gender.

Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada wanita. Para teoritis menggunakan proses analisis yang sama dalam menempatkan perbedaan jenis kelamin dalam analisis teoritis umum mereka terhadap fenomena sosial berskala luas.


(33)

Teori feminis beranjak dari asumsi bahwa gender adalah “ a pervasive category for understanding human experience “. Gender adalah konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan cenderung apresif terhadap wanita. Teori feminis berupaya menentang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang lebih membebaskan wanita dan pria untuk dapat hidup damai. Dengan cara ini teori feminis bagi definition adalah “radikal”, ia menukik ke akar pengalaman manusia dan menuntut perubahan struktur sosial-budaya dan linguistic yang menentukan relasi antara pria dan wanita.

Dari pemaparan diatas, yang menyinggung teori perilaku sosial Cooley yang berhubungan dengan tindakan sosial, yang juga berhubungan dengan tindakan yang dilakukan dengan sadar dan penuh pertimbangan, sehingga mendorong seseorang tersebut untuk memilih jalan dan pertimbangan yang berguna dan bermanfaat bagi perkembangan hidupnya. Keadaan diatas lebih tampak pada pengaruh dari perilaku sosial yang merupakan tindakan yang dinilai rasional nerdasarkan petunjuk dan kebiasaan masa lalu yang diberikan nenek moyang secara turun-temurun, perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar tanpa perencanaan.

Pemikiran feminis yang juga memahami kualitas gender yang berusaha memberikan keadilan terhadap laki-laki dan perempuan dalam hampir semua aspek kehidupan seperti bahasa, kerja, peran keluarga, pendidikan dan sebagainya, feminis baerusaha apresif terhadap relasi gender untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan. Dengan pemaparan tersebut wanita diberikan hak dalam memilih jalan yang baik bagi kehidupannya, termasuk pilihan hidup tidak menikah. Dalam asumsi masyarakat yang sebagian besar menganggap pilihan tersebut sebagai


(34)

penyimpangan. Disini akan dikaji dan dilihat bagaimana sebenarnya permasalahan ini ditelusuri dengan penelitian pada masyarakat etnis Batak Toba di Kota Medan.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian bisa dibedakan ke dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Dalam hal ini akan diteliti adalah bagaimana Fenomena Pilihan hidup tidak menikah pada wanita karier etnis Batak Toba.


(36)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena di daerah ini merupakan daerah perkotaan yang banyak penduduknya, dan sebagian masih ada yang belum menikah, pada umur yang selayaknya sudah bisa untuk menikah. Selain itu lokasi ini juga mudah dijangkau oleh peneliti dan nantinya dapat mendukung peneliti dalam mengumpulkan data penelitian. Alasan lainnya adalah karena tersedianya transportasi yang dapat mendukung dalam melakukan penelitian. 3.3 Unit Analisis dan Informan

3.3.1 Unit Analisis

Salah satu cara atau karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut “units of analysis”. Hal ini dimungkinkan, karena setiap objek penelitian memiliki ciri dalam jumlah yang cukup luas seperti karakteristik individu tentunya yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial dan tingkat penghasilan. Ada sejumlah unit analisis yang lajim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu : individu, kelompok, organisasi, sosial artifak (Danandjaja, 2005:31). Unit analisis data adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah wanita karir etnis Batak Toba yang diatas usia 35 tahun ke atas yang batas usia tersebut sudah dapat untuk menikah dan orang tua yang masih memiliki anak yang belum menikah.


(37)

3.3.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Adapun informan yang menjadi subjek penelitian ini dibedakan atas dua jenis yakni, informan kunci dan informan biasa yang dapat mendukung penelitian. Dalam hal ini informan terbagi dua, yaitu informan kunci dan informan biasa.

1. Informan Kunci

Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci dalam pengumpulan data adalah

a) Wanita karir etnis Batak Toba yang tidak menikah usia di atas 35 tahun keatas.

b) Keluarga atau orangtua yang masih memiliki anak perempuan yang belum menikah.

2. Informan biasa

Informan biasa adalah informan yang dapat memberi informasi tambahan yang sifatnya lebih umum dan netral dan menjawab pertanyaan dalam wawancara. Yang menjadi informan tambahan adalah tokoh adat / tokoh marga

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 3.4.1 Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu :


(38)

A. Metode Wawancara

Metode wawancara biasa disebut juga metode interview. Metode wawancara proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka, antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indept interview).

Wawancara mendalam (indept interview) adalah merupakan proses tanya jawab secara langsung yang ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan panduan atau wawancara.

B. Metode Observasi

Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian. Data penelitian tersebut dapat diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan daya yang mendukung hasil wawancara.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet, yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.


(39)

3.5. Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan informasi yang dibutuhkan dan diharapkan telah terkumpul. Data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan diinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam tinjauan pustaka yang telah ditetapkan sampai akhirnya akan disusun sebagai laporan akhir penelitian.

Bogdan dan Biklen dalam (Moleong, 2007:248) menjelaskan analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, mamilah-milahnya menjadi satuan data yang dapat dikelola, mensistensiskan, membuat ikhtisarnya, mencarikan dan menemukan pola dalam menemukan apa yang penting untuk dipelajari.

Data-data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan dalam kategori pola atau uraian tertentu. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan sebagainya yang selanjutnya akan dipelajari dan dikelola dengan seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik. Setelah data terkumpul maka langkah berikutnya menginterpretasikan data. Teknik yang digunakan untuk menginterpretasikan data adalah secara kualitatif. Semua data-data yang terkumpul dari hasil wawancara disatukan kemudian data tersebut akan diedit. Tujuannya adalah untuk melihat apakah dari semua hasil observasi wawancara, internet, kajian pustaka dan teori dipergunakan untuk menginterpretasikannya.


(40)

3.6. Jadwal Kegiatan

NO Kegiatan Bulan

8 9 10 11 12 1 2 3 4 1 Pra Observasi

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penyerahan Hasil Seminar √

7 Operasional Penelitian √

8 Bimbingan √ √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √

10 Sidang √

3.7. Keterbatasan Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini penulis menemukan beberapa kendala dan keterbatasan yaitu :

1) Dalam memilih informan, peneliti mengalami kesulitan dalam menjumpai para informan yang akan diwawancarai. Susahnya dalam menemukan informan, membuat waktu peneliti habis dengan begitu saja tanpa mendapatkan hasil. 2) Untuk mewawancarai para informan peneliti harus mencari waktu yang tepat

sesuai dengan keinginan para informan. Hal ini dilatarbelakangi karena sibuknya mereka dalam bekerja, sehingga sangat sedikit untuk meluangkan waktu mereka untuk dapat diwawancarai.


(41)

3) Kebanyakan para informan mudah tersinggung jika ditanya mengenai pilihan untuk tidak menikah, sehingga peneliti mendapat teguran dari informan.


(42)

BAB IV

INTERPRETASI DATA 4.1. Setting Lokasi

Menurut catatan sejarah kota Medan, merupakan sebuah kampung kecil bernama “Medan Putri”, yang letaknya tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Selama kurang lebih 80 tahun, Medan telah berkembang menjadi kota Medan seperti saat ini. Menurut Tengku Lukman Sinar, SH, dalam bukunya yang berjudul “Riwayat Hamparan Perak” tahun 1971, Medan didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590 an. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermarga sembiring Pelawi dan berirtrikan seorang Encik Pulo Brayan.

Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli kampung Medan adalah sebuah tempat di mana sungai Deli bertemu dengan sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal usul kota “Medan” itu sendiri. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa kota Medan berasal dari nama “Medina”, dan sebagian lagi mengatakan bahwa disebutkan kata “Medan” karena kota ini merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai medan pertemuan.

Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang suku Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, menirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil karajaan Aceh di Tanah Deli, barulah kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut memdorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari 1669-1698), terjadi


(43)

sebuah perang kavaleri di Medan. Sejak saat itu, Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli.

Di luar Pulau Jawa, Medan merupakan contoh perkembangan kota yang pesat. Medan semula hanya bernama kampung Medan, yang terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura. Guru Patimpus mulai merintis pemukiman Medan menjadi pusat perdagangan pada tahun 1642. john Anderson, seorang pegawai kerajaan Inggris dari Penang, dalam kunjungannya ke Medan pada tahun 1823 menentukan bahwa Medan saat itu masih merupakan sebuah kampung kecil berpenduduk sekitar 200 orang. Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1858, setelah Sultan Ismail, penguasa Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa berkas tanah kekuasaannya, Deli, Langkat dan Serdang.

Medan mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau.daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik. Hal ini menarik investor asing dan menyebabkan banyak orang-orang dari daerah lain yang pindak ke daerah Deli untuk mencari nafkah.

Tahun 1918, Medan dijadikan kota Praja, tetapi tidak termasuk di dalamnya daerah kota Maksum dan daerah sungai Kera yang tetap berada di bawah kesultanan Deli. Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa dan terdiri dari 409 orang bangsa eropa, 25.000 orang bangsa Indonesia, 8.269 orang bangsa Cina, dan 130 orang bangsa Asia lainnya.


(44)

Berdasarkan keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara No. 66/III/PSU, terhitung mulai tanggal 21 September 1951, daerah kota Medan diperluas tiga kali lipat. Keputusan tersebut disusul oleh maklumat Walikota No. 21 tanggal 29 September 1951 yang merupakan luas kota medan menjadi 5.130 Ha dan meliputi 4 Kecamatan, yaitu :

1) Kecamatan Medan Kota 2) Kecamatan Medan Timur 3) Kecamatan Medan Barat

4) Kecamatan Medan baru dengan keseluruhan 59 kepenghuluan.

Melalui UU darurat No. 7 dan 8 tahun 1956 dibentuk di Propinsi Sumatera Utara daerah Tingkat II, antara lain, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan khususnya memerlukan perluasan daerah untuk mampu menampung laju perkembangan penduduk. Oleh karena itu dikeluarkan perintah No. 22 tahun 1973, dengan masuknya beberapa Kabupaten deli Serdang ke dalam Kota Medan, sehingga belakangan ini wilayah kota Medan menjadi 116 kelurahan. Kemudian dengan surat persetujuan Mendagri No. 140/2271/PVOP tanggal 30 Mei 1986, jumlah kelurahan di Kota Medan menjadi 144 kelurahan yang kemudian pada tahun 1997 menjadi 151 kelurahan.

Kemudian melalui peraturan pemerintah RI No. 35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan termasuk Kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di kota Daerah Tingkat II medan, sehingga sebelumnya tersiri dari 19 kecamatan di mekarkan menjadi 21 kecamatan (BPS Kota Medan, Kota Medan Dalam Angka, 2006:26).


(45)

Kota Medan merupakan salah satu dari 17 daerah tingkat II di daerah Sumatera Utara, yang terletak di bagian Timur Propinsi Sumatera Utara dan berada diantara 2° 27'-2° 47'LU dan 98° 35'-98° 44' BT. Permukaan tanahnya cenderung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas Kota medan saat ini adalah 265.10 km². Sebelumnya hingga tahun 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 51.32 km², namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 1973 yang memperluas wilayah Kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang.

Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat II Propinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sekitar 2.083.156 jiwa. Secara geografis Kota Medan berbatasan dengan sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan percut Sei Tuan dan Tj. Morawa Kabupaten deli Serdang (BPS Kota Medan, Karakteristik Kota Medan 2001:11).

Laju pertumbuhan penduduk adalah perubahan penduduk yang terjadi jika dibandingkan dengan sebelumnya dan dinyatakan dengan persentase. Komponen kependudukan umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurut hasil sensus penduduk tahun 2001 diperoleh laju pertumbuhan penduduk Kota Medan tahun 1991-2001 (9 tahun 8 bulan) sebesar 1,17% pertahun.


(46)

Berdasarkan data yang ada pada kantor BPS kota Medan ada kecenderungan peningkatan jumlah penduduk kota Medan dari 2.067.288 jiwa pada tahun 2006 menjadi 2.083.156 jiwa pada tahun 2007. Walaupun meningkat namun tidak terlalu mencolok, bahkan laju pertumbuhan penduduk cenderung lebih rendah tahun 2007 dibandingkan tahun 2006. seiring bertambahnya jumlah penduduk maka pada tahun 2007 menjadi 7.858 jiwa/KM².

Komposisi penduduk Kota Medan berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan kota, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan. Keterkaitan komposisi penduduk dengan upaya-upaya pembangunan kota yang dilaksanakan, didasarkan kepada kebutuhan pelayanan yang harus disediakan kepada masing-masing kelompok usia penduduk. Proporsisi penduduk berdasarkan usia, dapat dilihat bahwa penduduk paling banyak adalah yang berada pada usia 20-24 dengan perincian penduduk laki-laki 116.164 jiwa, 11,23% sedangkan perempuan 121.385 jiwa, 11,58%. Dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2007 yang paling banyak adalah perempuan dengan total keseluruhan 1.048.460 jiwa sedangkan laki-laki hanya 1.034.696 jiwa.

Mengenai jumlah penduduk yang paling besar berdasarkan usia yang paling besar berada pada posisi perempuan. Hal ini juga terlihat pada jumlah penduduk kota Medan berdasarkan jenis kelamin. Perempuan jauh lebuh besar dibangdingkan dengan laki-laki. Pada tahun 2007 perempuan sebesar 1.048.460, sedangkan laki-laki sebesar 1.034.696.


(47)

Masyarakat kota Medan pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Dengan potensi utama daerah dibidang agribisnis dan sektor pariwisata. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi daerah. Karena penduduk mengalami peningkatan dan berarti pula kebutuhan ekonomi juga akan bertambah. Hal ini hanya bisa diperoleh melalui peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau sering disebut PDRB atas dasar harga konstan setiap tahun. Jadi dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDRB atas dasar harga konstan. Sejalan dengan peningkatan PDRB ADH konstan tahun 2000 kota Medan selama periode 2005-2007, pertumbuhan ekonomi kota Medan selama periode yang sama, meningkat rata-rata di atas 7,77 persen (http://www.pemkomedan.go.id/perekonnomian -pertumbuhan.php).

Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dalam perkembangannya kota Medan tidak lepas dari peran suku bangsa pendatang misalnya etnis Cina, Batak, Jawa, Minang yang membaur dengan suku asli yaitu suku melayu. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang sering dijadikan tempat dimana masyarakat lain datang untuk memulai hidup barunya untuk memulai bekerja 13-10-2009).

Interaksi yang terbangun diantara berbagai suku tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan bergerak dalam sektor informal terutama sektor perdagangan. Perpaduan berbagai suku bangsa yang terdapat di kota Medan mampu menciptakan keadaan yang rukun, damai dan kondusif bagi iklim usaha dan


(48)

perdagangan yang memberi citra yang positif bagi kota Medan, sebagai salah satu kota yang paling aman dan rukun. Dengan keadaan tersebut kota Medan sering dijadikan salah satu wilayah tujuan urbanisasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini dilihat dari permukiman yang ada di kota Medan yang saling berdekatan dan mempunyai tingkat solidaritas yang cukup baik. Dilihat juga dari berbagai suku / etnis dan agama yang saling berdekatan dan dapat menjalin hubungan dengan baik. Masyarakat setempat membentuk kelompok-kelompok seperti STM (serikat tolong-menolong) baik sesama

etnis dan lain etnis, kumpulan marga dan sebagainya

Interaksi sosial yang terjadi antar etnis di kota Medan menunjukkan keberadaan penduduk kota Medan mengalami perkembangan pertumbuhan perekonomian, ini dilihat dari keberadaan penduduk kota Medan yang selalu berusaha keras dalam memulai pekerjaan. Perselisihan yang ada antar etnis tidak membuat penduduk kota Medan untuk terus berpacu dalam memajukan dan mensejahterakan kota Medan untuk dapat lebih maju lagi.

Interaksi pada keluarga Batak khususnya Batak Toba dilihat dari nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat itu sendiri. Ini dilihat pada istilah yang dikenal dengan sebutan Daliha Natolu. Pada umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai lembaga kekerabatan yang didasarkan pada Dalihan Natolu. Dalihan Natolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungu Sejarangan. Karena di dalam sistem sosial tersebut terdapat tiga kelompok kekerabatan yang menjadi unit-unit fungsionalnya.


(49)

Boru dalam masyarakat Batak Toba menunjukkan secara nyata bahwa kelompok boru/ bere selalu bersikap hormat terhadap hula-hula. Dan sebaliknya, kelompok hula-hula selalu bersikap baik terhadap borunya. Dengan pengertian lain, saling hubungan diantara mereka selau berlangsung dalam sikap saling menghormati dan saling menghargai. Dan sikap-sikap terhormat dalam tingkat sopan santun yang tinggi itu nyata melalui sapaan-sapaan yang penuh penghormatan dalam tutur kata yang baik. Semua itu pada dasarnya bersumber pada harkat posisi perempuan dalam struktur Dalihan Natolu. Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang sangat patriarkat. Dalam masyarakat Batak Toba yang menganut sistem tersebut melihat perempuan yang telah melahirkan anak laki-laki akan sangat dihargai dan sebaliknya perempuan yang tidak melahirkan anak laki-laki dianggap rendah, karena sistem marga di bangun di kalangan laki-laki. saya R.N (Lk, 67 thn), yaitu :

” Pada masyarakat Batak menganut sistem patriarkat, dimana sistem marga berada pada garis keturunan laki-laki.”

Dalam adat yang ada pada masyarakat Batak, perempuan tidak terlalu mempunyai peran yang cukup besar dalam acara adat yang dilakukan, artinya dalam pembagian kerja setara dengan yang lain. Perempuan hanya digunakan sebagai ungkapan ”parhobas” (pelayan) pada setiap acara pesta. Masyarakat Batak Toba masih melekatkan budaya patriarkat, dimana segala sesuatunya dilakukan dan diatur oleh laki-laki. Hal ini yang dikatakan informan saya G.P (Lk, 52 thn) yaitu :


(50)

” Perempuan tidak terlalu mempunyai peran yang cukup besar dalam adat, mereka hanya ada untuk pelengkap suami saja.”

Hal yang serupa juga dikatakan I.S (Pr, 38 thn) yaitu:

” Pada masyarakat kota Medan, peran perempuan kurang dalam adat, lain hal dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan.”

4.2. Profi Informan

Profil informan dalam penelitian ini terdiri dari penduduk asli Kota Medan, terutama wanita karir yang bekerja atau berada pada sektor publik dan juga terhadap tokoh adat pada masyarakat etnik Batak Toba.

1) R.R (Pr, 42 tahun)

R.R adalah seorang wanita karir berusia 42 tahun dan beragama Kristen Protestan yang merupakan Suku bangsa asli Batak Toba yang lahir di Kota Medan. R.R seorang guru yang bekerja di dua tempat di SMK swasta YPK dan SMK PGRI 8, sebagai pengajar guru Akuntansi untuk kelas 1 dan Kesekretarisan untuk kelas 2 dan kelas 3. pendidikan terakhir R.R adalah Sarjana Pendidikan (SPd) dari Unimed. R.R sudah lama tinggal di Kota Medan, dan sangat menyukai dengan pekerjaan yang ditekuni saat ini. Awalnya, R.R ingin bekerja di kota lain, mengingat sangat sulitnya untuk menjadi seorang guru di Kota Medan. Namun dengan semangat, R.R berhasil menjadi Guru untuk pertama kalinya dan hingga saat ini di SMK PGRI 8. Saat ini R.R mengontrak rumah untuk tempat tinggalnya.

R.R mengatakan bahwa pilihan wanita karir untuk menilih tidak menikah merupakan hal yang tidak biasa lagi. Sudah banyak dijumpai saat ini wanita ataupun pria yang memilih untuk tidak menikah. Hal ini diakibatkan bukan karena tidak laku, tidak normal, tetapi saat ini lebih menikmati hidupnya dengan menghabiskan waktu


(51)

untuk bekerja dan bersama keluarga. Karena ketika berkeluarga, kehidupan seseorang tidak bebas lagi. R.R juga mengatakan bahwa dengan memilih untuk tidak menikah bukan berarti kita tidak bahagia. Belum tentu bagi orang yang sudah menikah memiliki kehidupan yang bahagia. Informan R.R sudah cukup bahagia dengan keadaannya. Sehubungan dengan wanita karir, informan R.R mengatakan lebih banyak menghabiskan waktunya diluar (bekerja) dari pada bersama keluarga sendiri. Kesibukan R.R membuat dirinya lupa akan fungsinya sebagai wanita untuk berkeluarga dan mempunyai keturunan. Namun hal itu tidak membuat R.R untuk malu dan minder dengan keadaan lingkungan di sekitarnya. R.R memilih tidak menikah karena merasa ingin bebas tanpa ada aturan dan ikatan dari orang lain yang dapat membatasi dirinya untuk berkarir.

2) I.S (Pr, 38 tahun)

I.S adalah seorang wanita yang bertempat tinggal di kota Medan, tepatnya di Jl. Puri. I.S beragama Kristen Protestan yang merupakan suku Batak Toba yang lahir asli di Kota Medan. Tingkat pendidikan terakhir I.S adalah Sarjana jurusan ekonomi dari perguruan tinggi negeri. Saat ini I.S bekerja sebagai pembukuan di perusahaan swasta. Di samping pekerjaannya, I.S juga membuka usaha dengan saudaranya yaitu usaha dagang baju untuk anak-anak remaja sekarang ini. Perkembangan usaha dagang itu menghasilkan keuntungan yang bisa dikatakan lumayan besar, apalagi banyak yang datang untuk membeli. I.S saat ini tinggal dengan kedua orang tuanya, dan I.S anak kelima dari 5 bersaudara.

Kegiatan atau kesibukan yang dilakukan, menurutnya sangat membantu untuk dapat berkarier lebih baik lagi. Dengan memiliki berbagai kesibukan membuatnya lebih


(52)

berarti dan lebih dipandang di kalangan keluarganya. Yang berarti orang-orang tidak dapat memandang sebelah mata atau sepele dengan dirinya yang hingga saat ini belum menikah. Dengan seperti itu, orang-orang akan berpikir bahwa dengan belum menikah diakibatkan karena kesibukan dalam meniti karirnya.

3) R.N (Pr, 41 tahun)

R.N adalah salah satu wanita yang saat ini belum menikah pada usia yang sudah cukup tua. R.N wanita berusia 41 tahun, beragama Kristen Protestan, bersuku Batak Toba. R.N warga asli kota Medan yang bertempat tinggal di Jl. Sempurna Ujung. Pendidikan terakhirnya adalah Sarjana Ekonomi dari Universitas swasta di Kota Medan. Saat Ini R.N bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Pemko Medan. Disamping itu R.N juga mempunyai bisnis MLM (Multi Level Marketing) produk kosmetik. Hal itu dilakukan sampingan dari pekerjaannya sebagi PNS. Tinggal dengan orang tua merasa cukup nyaman dan juga menyenangkan, selain dapat membahagiakan orang tua. Orang tua R.N juga maklum dengan keadaannya yang hingga saat ini belum menikah.

R.N berpendapat wanita yang memilih untuk tidak menikah dapat dikatakan itu adalah kemauan dari diri sendiri. Wanita yang belum menikah pada usia yang sudah sewajarnya dapat diakibatkan karena trauma yang dialami keluarga. Dikatakan juga, wanita yang menikah tidak lagi dapat berlaku bebas saat ia hidup melajang. R.N mengatakan bahwa dengan menikah berarti membatasi pergaulannya dengan teman-teman dan membatasi diri untuk berkarir.


(53)

J.S seorang wanita yang pada usia 49 tahun belum menikah, beragama Kristen Prostestan dan suku Batak Toba. Pendidikan terakhir J.S adalah sarjana muda dan telah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Belum menikah tidak membuat J.S khawatir akan usianya yang sudah semakin tua. Bagi J.S saat ini memilih untuk menghabiskan waktunya dengan mengurus orang tuanya yang tinggal sendiri.

Profil Informan Tokoh Adat 1. St. Drs. G.P (Lk, 52 tahun)

G. P adalah seorang sintua di Gereja GKPI Teladan, dan juga merupakan tokoh adat di punguan marga Panggabean yang ada di Kota Medan. Informan G.P bekerja di sekolah SMUN 1 Tanjung Morawa. G.P mempunyai 1 orang istri boru (marga) sitompul dan mempunyai 3 anak yang ketiganya masih kuliah. Anak informan G.P terdiri dari 2 wanita dan 1 laki-laki. Informan G.P dikenal dengan sosok bapak yang ramah terhadap siapa saja, karena tanggung jawab informan sebagai seorang sintua di sebuah gereja GKPI Teladan. Sikap melayani informan G.P sangat mencerminkan sosok seseorang yang penuh dengan wibawa. Saat ini usia informan memasuki 50 tahun, dan tinggal di Pintu Air, Sp. Limun Medan.

Pada saat informan G.P aktif dalam kegiatan marga/boru panggabean sebagai tokoh adat. Dan informan juga sering dipanggi dalam upacara adat yang dilangsungkan, apabila ada suatu acara besar.Informan G.P juga merupakan bagian pengurus BPH dalam dalam kepengurusan gereja. Informan menjabat sebagai sekretaris yang merangkup sebagai sintua di Gereja GKPI Teladan.

Pandangan Informan G.P terhadap fenomena wanita tidak menikah biasa saja. Karena hal itu sudah tidak asing lagi. Namun menurut G.P, dalam masyarakat Batak


(54)

Toba, suatu pernikahan sangatlah berarti untuk memenuhi kehidupan mereka sebagai masyarakat Batak Toba. Karena pada umumnya masyarakat Batak Toba memiliki berbagai adat yang sangat penting, seperti pernikahan, kematian, dan sebagainya.G.P mengatakan, bahwa akar dari suatu adat adalah ketika seseorang sudah menikah.

2. St. R.H (Lk, 59 tahun)

R..H adalah seorang informan yang sudah tidak bekerja lagi, karena sudah pensiun. Informan R.H dikenal dimana saja dan termasuk dalam ikatan marga, STM, dan Gereja. Informan R.H lahir di Tarutung, yang saat ini bertempat tinggal di Teladan dengan anak-anaknya R.H mempunyai 1 orang istri boru Hutabarat dan telah meninggal dunia pada tahun 1997, namun R.H tidak ingin menikah lagi, mengingat tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga berhasil semua. Anak bapak R.H terdiri dari 4 orang, yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan. 3 anaknya telah selesai kuliah dari perguruan tinggi negeri dan telah bekerja di instansi pemerintah, 1 lagi masih kuliah. Saat ini bapak R.H tidak bekerja, karena dilarang anak-anaknya. Bapak R.H dulunya bekerja sebagai pelayaran, namun sudah tidak lagi karena sustu alasan.

Saat ini kegiatan informan R.H adalah aktif dalam kegiatan gereja, STM dan sebagainya. Informan R.H mempunyai fungsi di marga Hutagalung sebagai Ketua Sektor, di marga/boru Hutabarat sebagai pengurus rohani, dan R.H juga merupakan sintua di gereja GKPI Teladan Timur Medan. Sering setiap ada pesta, informan R.H selalu dipanggil / diundang untuk dapat menghadiri upacara yang disediakan. Peran informan R.H sangat diperlukan untuk kepentingan yang diselenggarakan. Dengan mengikuti berbagai kegiatan, informan R.H merasakan sangat senang ikut


(55)

berpartisipasi dalam acara adat yang diadakan. Menurut informan dengan adanya adat yang diselenggarakan, berarti hal tersebut memperkuat talipersaudaraan terhadap masyarakat Batak Toba.

Informan R.H mengatakan, bahwa arti pernikahan bagi masyarakat Batak Toba merupakan ikatan antara dua keluarga saling menyatu, bukan hanya dua pasang individu yang saling berhubungan. Menurut informan R.H, pernikahan sangatlah penting bagi masyarakat Batak Toba untuk dapat mempunyai keturunan yang disebut dengan hagabeon, yang mempunyai banyak keturunan dan panjang umur.

3. R.N (Lk, 68 thn)

Informan R.N adalah seorang bapak yang pendiam. Keseharian R.N adalah dirumah bersama istri menghabiskan waktu bersama cucu-cucu mereka. R.N adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil dari Pemko Medan. R.N sudah lama tinggal di Medan dengan membesarkan 5 anak, 3 putra dan 2 putri yang seluruhnya telah menikah. Kegiatan sehari-hari informan selain dirumah juga ikut berperan serta dalam adat yang diadakan. Banyak undangan yang selalu datang kepada informan supaya dapat menghadiri undangan tersebut.

Informan R.N mengatakan mengerti mengenai akan adat. Bagi orang Batak adat merupakan sesuatu yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dengan mengikuti berbagai kegiatan, R.N merasakan sangat senang ikut berpartisipasi dalam acara adat yang diadakan. Menurut R.N dengan adanya adat yang diselenggarakan, berarti hal tersebut memperkuat tali persaudaraan terhadap masyarakat Batak Toba. R.N mengatakan banhwa pernikahan adalah sesuatu hal yang sangat sakral. Hal ini berarti kedua pasangan telah disatukan dan di berkati di gereja, yang dilakukan di depan


(1)

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap wanita karier masyarakat Batak Toba di kota Medan, maka dapat dirumuskan kesimpulan yaitu :

1. Wanita yang tinggal di perkotaan ditantang oleh cara-cara berpikir dan berperilaku yang tidak ditutupi oleh norma-norma kesopanan, sehingga mereka mengembangkan suatu toleransi dan selera terhadap apa yang dianggap baru. 2. Wanita yang berpendidikan tinggi selalu diidentikkan dengan hidup berkarir,

karena wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah memiliki pendapatan yang telah memadai).

3. Dengan berkarir para wanita dapat lebih mengaktualisasikan diri mereka, untuk tetap lebih eksis dalam sektor publik.

4. Status kaum wanita di dalam masyarakat holtikutur dikaitkan dengan kondisi-kondisi material yang menentukan kontrol mereka atas sumber-sumber daya. 5. Wanita karir yang menentukan pilihan hidupnya untuk hidup melajang

dipengaruhi lingkungan yang ada di sekitar mereka yang menuntut para wanita untuk lebih mengutamakan kariernya atau pekerjaan mereka. Ini seiring dengan adanya perubahan yang menuntut para wanita karir untuk dapat bersaing dengan para laki-laki.

6. Pada masyarakat Batak Toba masih memegang nilai-nilai dan norma-norma yang dapat mengikat hubungan kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak. Ini dilihat dari adat yang dilakukan ketika melangsungkan suatu acara.


(2)

7. Bagi masyarakat Batak Toba, pernikahan merupakan hal terpenting untuk menuju kesempurnaan bagi orangtua dalam adapt agar dapat menuju kesempurnaan, yaitu pada saurmatua.

8. Posisi orang tua dalam masyarakat luas dilihat ketika seseorang telah melakukan tanggung jawabnya dengan menikahkan semua anak-anaknya. Orangtua akan semakin dihargai bila anak-anaknya semua telah berumah tangga.

9. Orangtua yang meninggal dengan menyelesaikan tugasnya dengan menikahkan semua anak-anaknya dan juga telah mempunyai keturunan disebut Saur Matua. Saur Matua adalah penghargaan tertinggi kepada orangtua yang telah meninggal, dilihat dari anak-anaknya sudah menikah semua.

10.Berbagai alasan yang membuat wanita karier hidup melajang, diantaranya adalah masih mengutamakan karir daripada berumah tangga, dan lainnya juga disebabkan masa lalu yang masih belum bisa dihilangkan “patah hati”, dan yang terakhir adalah kegagalan rumah tangga keluarga juga mempengaruhi para wanita untuk tidak menikah.

5.2. Saran

Dari hasil penelitian dianalisis dengan pengamatan yang objektif dan rasional peneliti mengemukakan beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh pihak-pihak yang dianggap sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, saran


(3)

dari banyaknya saat ini para wanita ataupun laki-laki yang hidup melajang di daerah perkotaan.

2. Sebaiknya manusia yang ada di lapisan masyarakat berupaya untuk dapat menghargai setiap keputusan yang diberikan para wanita karier dalam mengambil keputusan dengan hidup melajang.

3. Mengupayakan pendidikan yang selayaknya berupa pendidikan formal dan informal bagi perempuan Indonesia dalam mewujudkan perempuan yang berintelektual dan memiliki jiwa kepemimpinan demi mengupayakan emansipasi wanita.

4. Memberikan kesempatan kepada wanita agar dapat mengimplementasikan diri dalam pembangunan dan mendapatkan akses yang sama dengan para laki-laki.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Wardi, M.S, 2006 ; Sosiologi Klasik, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Bungin, Burhan H. M, 2007 ; Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial, Jakarta : Kencana Prenama Media Group.

Danandjaja, 2006; Metode Penelitian Sosial, Medan : USU Press.

Daulay, Harmona, 2007 ; Perempuan Dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press. Faisal, Sanifah, 1999 ; Format-format Penelitian Sosial, Jakarta : Raja Grafindo.

Goenawan, M, 2007 ; Jurnal Pilihan Rasionalitas, Revolusi dan Praksis Anarkis, Yayasan Jurnal Teori Rasionalitas.

http://www.scribd.com/doc/2910978/Goenawan-Mohammad?autodown=doc. Hasan, Iqbal M, 2002 ; Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,

Jakarta : Ghalia Indonesia.

Khairuddin, H.S.S, 1997 ; Sosiologi Keluarga, Edisi Pertama, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.

Lexy, J. Moleong, 2007 ; Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Mashud, Mustain, 2005 ; Masalah Sosial dan Keluarga, Jakarta : Grafindo Marbun, M.A, 1987 ; Kamus Budaya Batak Toba, Jakarta : Balai Pustaka.

Paul, Doyle.J, 1996 ; diterjemahkan Robert M.Z Lawang ; Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, Jakarta : Gramedia.


(5)

Rosita, Dewi, 2006 ; Jurnal Perempuan, Pilihan Tidak Menikah, Yayasan Jurnal Perempuan.

13.00

Ihromi, T. O, 1996 ; Bunga Rampai, Sosiologi Keluarga, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Samuel, M. H, 2004 ; Perempuan Dalam Bayangan, Yogyakarta : Percetakan Media AR-RUZZ.

Persada.

Soerjono, Soekanto, 1990 ; Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada ________”_______, 2000 ; Kamus Besar Sosiologi, Jakarta : Rajawali.

Kamanto, Sunarto, 2000 ; Pengantar Sosiologi, Jakarta : Universitas Indonesia.

Soetomo, 2008 ; Masalah Sosial Wanita, dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Su’adah, 2005 ; Sosiologi Keluarga, Edisi Pertama, Malang : UMM Press.

Tangdilintin, Paulus, 1992 ; Perubahan Sosial dan Masyarakat, Edisi Kedua, Yogyakarta : Grafindo Persada.

Sumber Lain :

Jurnal Perempuan, Pilihan Tidak Menikah, Yayasan Jurnal Perempuan 13.00)


(6)

http:willmwn46.wordpress.com/2007/10/18, diakses 26/11/2008