KRITIK SANAD DAN MATAN Diajukan untuk me

KRITIK SANAD DAN MATAN
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Quranic Exegesis and Hadith
Dosen Pengampu Mata Kuliah:
Prof.Dr. Salman Harun
Prof.Dr.Munzier Suparta, MA
Dr. Hamka Hasan
Dr. Fuad Thohari, M.Ag

Oleh:
Khairani Hasibuan
NIM.21161200100061
dan
Ulul Azmi
NIM. 31161200100085

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1438 H /2017 M


1

KRITIK SANAD HADIS
Oleh : Khairani Hasibuan

Pendahuluan
Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Quran, selain sebagai sumber
hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir al-Quran. Oleh karena itu
otentitas sumber hadis sangat penting. Untuk menilai keotentikan hadis tersebut ada dua
komponen yang sangat perlu diperhatikan yaitu sanad dan matan, dimana antara sanad dan
matan memiliki hubungan fungsional yang menentukan eksistensi dan kualitas hadis tersebut.
Kritik sanad dan matan telah melalui sejarah yang panjang dimulai pada zaman Nabi
Muhammad saw. dengan metode yang sederhana, kemudian berlanjut kepada era ke
khalifahan dimana setelah terjadinya fitnah ‘Utsman bin Affan berkembang kritik sanad,
sebelumnya

kritik

hanya berorientasi kepada keorisinalitasan suatu matan.


Kemudian

berkembang lagi pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in yang melahirkan suatu keilmuwan yaitu
Ilmu Jarh wa Ta’dil. Namun kritik ini tidak hanya terjadi di kalangan umat islam, tetapi para
orientalis juga melakukan penelitian dan kritikan yang berakhir kepada kekeliruan otentitas
dan eksistensi hadis.
Dalam makalah ini penulis memaparkan teori beserta contoh dari sanad hadis dan juga
sanggahan yang dilakukan oleh MM. Azami terhadap teori orientalis.

a. Pengertian Kritik Sanad
Naqd (kritik) secara etimologi adalah : menetapkan sesuatu untuk menguji atau
memisahkan antara yang baik dan buruk. 1 Sanad secara etimologi yaitu: ‫الشيء إلى‬
(‫ )الشيء‬: menggabungkan sesuatu kepada sesuatu yang lain2 atau,
besandar kepada sesuatu)3 ,

‫انض‬

‫( كن إليه اع د ع يه‬


‫ ال ع د‬: sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan dan

pedoman.4
Adapun secara terminologi ada beberapa pendapat ulama hadis yang dikutip
oleh Ibrahim amin. Seperti Al-hakim mengatakan sanad merupakan transmisi dalam
hadis, dimana seorang perawi meriwayatkan dari gurunya dengan mendengarnya secara
1 Majma’

al-lughah al-arabiyah “al-mu’jam
Abi al husein ahmad bin paris, maqaayis
Al-Kutub (105
3 Majma’ al-lughah al-arabiyah “al-mu’jam
4 Abdul majid khon , ulumul ha dis, (amzah
2

al-wasith”, cet.4 (maktabah asy-syuruq ad-dualiyah, 2004) 944.
a-lughat, tahqiq : abdul as -salam Muhammad harun, vol.III Dar
al-wasith”, cet.4 (maktabah asy-syuruq ad-dualiyah, 2004), 453
:jakarta, 2013),107.


2

langsung begitu juga dengan guru daripada gurunya yang berakhir kepada nabi.
Kemudian,
ibn

Al-khatib mengatakan periwayatan yang bersambung sampai ke sumbernya,

‘abd al-barr mengatakan periwayatan yang bersumber dari nabi meskipun

bersambung atau terputus. Imam Ibn as-shalah : suatu jalan yang dapat menyampaikan
kepada materi hadis5 . Kritik

sanad menurut ulama hadits yaitu pemilahan hadits-hadits

shahih dari hadits dha’if dan menghukumi perawinya dari segi tsiqoh atau tidaknya.6

b. Urgensi Kritik Sanad Hadis
Sistem sanad ini merupakan spesifik umat islam, umat-umat sebelumnya tidak
memiliki sistem ini. Karenanya, otentitas kitab-kitab samawi mereka tidak dapat

dipertanggung jawabkan sekarang. Begitu pula ajaran-ajaran yang asli dari para nabi
mereka juga tidak dapat ditulis dalam kitab-kitab yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya, sebagai penggantinya, yang ada adalah ajaran-ajaran palsu dari para
pendusta dengan mengatasnamakan hal itu sebagai ajaran para nabi mereka.
Karenanya, seandainya umat islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah alqur’an
dan ajaran-ajaran nabi s.a.w sudah mengalami nasib seperti ajaran para nabi sebelumnya.
Maka di sinilah letak nilai dan urgensi sanad dalam agama islam7 .
c. Sejarah Perkembangan Kritik Sanad
-

Kritik pada masa nabi Muhammad saw

Kritik hadits sudah dimulai pada zaman rasul tetapi masih dalam bentuk yang sederhana
karena jika ada suatu perkara para sahabat langsung konfirmasi kepada rasul atau
mengklarifikasi hadis tersebut.8

5

Ibrahim amin al-Jafi asy-syahr zuri al-baghdadi, manahij al-muhadditsin fi naqd ar-riwayat at-tarikhiyat,
dubai: dar-alqolam, 2014)78-79.

6 Muhammad Mustafa Al- A’zamy, “ Ma nha j Al-Naqd ‘Inda Al -Muha dditsin ” (Riyadh: Syirkah AlTaba’aah Al-Arabiyyah Al-Su’udiyah,1982) H.5
7 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ha dis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II), 97-98.
8 Ketika Ali datang dari Yaman bersama Rasulullah seketika itu juga Fatimah memakai pakaian yang
bercorak dan bercelak, ali berkata: dia (Fatimah) segara menghampiri, saya pun meminta fatwa kepada rasul,
saya berkata: wahai rasulullah, Fatimah memakai pakaian bercorak dan bercelak, dan Fatimah berkata: saya
disuruh oleh nabi saw, kemudian rasul berkata: engkau benar… saya yang menyuruhnya, Muhammad Mustafa
Al- A’zamy, Ma nha j Al-Naqd ‘Inda Al -Muha dditsin (Riyadh: Syirkah Al-Taba’aah Al-Arabiyyah AlSu’udiyah,1982),8.

2

-

Pada masa khalifah
Setelah wafatnya rasul kekhalifahan digantikan oleh Abu Bakr As-Shiddiq,

dimana perkembangan kritik hadis masih secara umum tetapi sedikit meluas dibandingkan
masa rasul dengan cara komparatif yaitu dengan membandingkan dua riwayat atau lebih.
Ibnu hiban berkata yang dikutip oleh MM Azami : bahwa khalifah Umar dan Ali
adalah orang pertama dalam meneliti rawi hadis dan menyelidiki transmisi dalam
menerima informasi9 Dalam artian bahwa kritik sanad hadis sudah dimulai pada masa

Khalifah Umar ibn Khattab.
Dalam versi lain munculnya kritik sanad (eksternal) adalah setelah fitnah yaitu
terbunuhnya Utsman bin Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein bin
Ali pada tahun 61 H yang diiringi munculnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh
umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu Kritik Hadis, karena untuk
mendapatkan legitimasi masing-masing kelompok mencari dukungannya dari hadis nabi
saw.10

dalam

hal ini Ibnu

Sirrin

berkata: “Sebelumnya

mereka

tidak


pernah

mempertanyakan tentang sanad, tetapi setelah terjadinya fitnah mereka berkata: katakana
siapa yang meriwayatkannya, jika hadis tersebut dari ahlus-sunnah maka diterima, jika
dari ahli penyebar bid’ah maka tertolak”11 jika para ulama di samping tetap melakukan
kritik matan hadis, juga mulai memberlakukan kritik rawi hadis dimana seorang rawi
sebagai pembawa atau periwayat hadis perlu diketahui identitasnya, apakah ia orang yang
taat beragama dan jujur yang kemudian dikenal dengan istilah ‘adil, apakah dia kuat
ingatannya dan tidak

pelupa,

yang kemudian dikenal dengan istilah dhabit dan

sebagainya.12
Hal ini didukung oleh pendapat Mm.Azami bahwa Khalifah Umar hanya
mengembangkan metode yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakr dan pada masa ini
para sahabat bertambah dalam mengkritik hadis, seperti sayyidah ‘Aisyah, 13 dimana
dalam mengkritik hadis beliau membandingkan dengan ayat Al-qur’an, hal ini terjadi
ketika umar bin khattab wafat terbunuh, kemudian Ibnu Abbas mengatakan kepada

Aisyah bahwa menjelang menghembuskan nafas terakhir Umar berpesan agar tidak
Muhammad Mustafa Al- A’zamy, Ma nha j Al-Naqd ‘Inda Al -Muha dditsin (Riyadh: Syirkah Al-Taba’aah
Al-Arabiyyah Al-Su’udiyah,1982), 10-11
10 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ha dis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II), 3.
11 Nur ad-din ‘itr, ma nha j a n-na qd fi ulum a l-ha dis (dimasq: dar al- fikr, 1979), 52
12 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ha dis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II), 13.
13 Muhammad Mustafa Al- A’zamy, “ Ma nha j Al-Naqd ‘Inda Al -Muha dditsin ” (Riyadh: Syirkah AlTaba’aah Al-Arabiyyah Al-Su’udiyah,1982), 11
9

3

seorangpun dari keluarganya yang menangisinya. Alasannya, karena Umar pernah
mendengar Nabi Saw bersabda “mayat itu akan disiksa karena ia ditangisi keluarganya”.
Mendengar berita itu Aisyah langsung berkmentar, “semoga Umar dirahmati
Allah. Rasulullah saw. Tidak pernah bersabda bahwa mayat orang mukmin itu akan
disiksa karena ia ditangisi keluarganya. Beliau hanya bersabda, “sesungguhnya Allah akan
menambah siksa mayat orang kafir yang ditangisi keluarganya. “sesungguhnya Allah akan
menambah siksa mayat orang kafir yang ditangisi keluarganya”. Kata Aisyah selanjutnya,
“cukuplah bagi kalian sebuah ayat yang mengatakan bahwa seseorang tidak akan
menanggung dosa orang lain. (Al-An’am :164).14 Hal ini memberikan kesan bahwa pada

masa Abu Bakar dan Umar masih terfokus dalam kritik matan (Internal) hadis.
-

Masa tabi’in

Dengan meluasnya ajaran islam yang diiringi menyebarnya hadis rasul maka
terbentuklah madrasah kritik hadis di Irak dan Madinah. Menurut Ibnu Rajab yang dikutip
oleh Mm Azami bahwa Ibnu Sirrin merupakan orang pertama yang mengkritik perawi
hadis dengan membandingkan ketsiqahan mereka.
Mulainya masa tabi’in

terbentuklah kritik hadis dalam versi baru. Rihlatul ‘ilm

sudah mulai pada zaman rasul dan perjalanan para sahabat15 untuk mengumpulkan hadis
nabi terjadi setelah wafatnya beliau. Begitu juga perjalanan tabi’in16 , Asy-Sya’biy
jika ada seseorang berjalan dari ujung syam sampai ke ujung yaman kemudian menghafal
(menjaga) kalimat yang bermanfaat bagi agamanya di masa depan saya pastikan
perjalanannya tidak akan sia-sia.
Ibn hibban berkata: mereka membuat metode hadits dan
menjaganya


mengkritik sanad dan

sunnah dan mencela para imam muslim dan ahli fiqh yang lemah, mereka

adalah: 1) Sufyan Ibn Sa’id Ats-Tsauri, 2) Malik bin Anas (Madinah), Syu’bah bin Al
Hujjaj, 3) Hammad bin Salmah. Dsb.
Ibn Hibban berkata:
dari Iraq

Sya’bah merupakan orang yang pertama menyelidki hadis

dari segi ke dh’ifannya dan matruknya sehingga ia terkenal dengan

14

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II), 2-3
Perjalanan Jabir Ibn Abdullah Al Anshori r.a. ke Syam selama berbulan -bulan hanya untuk
mencocokkan satu hadis, begitu juga dengan perjalannya ke Mesir.
16 Perjalanan Jar Ibn Hubaisy pada masa kekhalifaan ‘Utsman untuk mendengarkan hadits nab i yang
disampaikan para sahabat
15

4

memperkenalkan ilmu Jarh wa Ta’dil17 .Perbedaan daerah para kritik hadis ada yang dari
Iraq, Syam, Hijaz dan Mesir tidak menutup kemungkinan kritik hanya terbatas pada
Madinah, Kufah dan Bashroh saja seperti yang telah lalu.
Kemudian muncul Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qattan, Waki’ bin
al-Jarh dan Abdur rahman bin Mahdi dan Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dalam hal ini
mereka

menyusun biografi perawi dan menyelidiki kelemahannya.

Kemudian tiba

setelahnya Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Mu’ayyan, Ali bin al-Madiniy, Abu Bakar bin
Abi Syaibah, Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhaliy, Abdullah bin Umar al-Qawariri dan Zuhair
bin Harb, mereka menetapkan dasar metode empiris dalam hadis dan menyeleksi perawi
hadis.
Kemudian kelompok yang terakhir adalah Muhammad bin Yahya an-Nisabur,
Abdullah bin Abdur Rahman ad-Darimi, Abu zar’ah Ubaidillah bin Abdul Karim ar-Razi,
Muhammad bin Isma’il al-Ja’fiy al-Bukhori, Muslim bin al-Hujjaj an-Nisabur dan Abu
Dawud Sulaiman As- Sijastani yang mana ke dua kelompok terakhir merupakan puncak
dari sejarah kritik hadis, karena disamping karya-karya mereka masih ada sampai
sekarang mereka juga membangun hadis dari berbagai aspek. Adapun dua kelompok
sebelumnya mereka sebatas membahas jarh wa ta’dil dan belum menjadi ilmu yang
independen.18

d. Kritik Sanad di kalangan Muhadditsin
Kriteria-kriteria Otentitas hadis kemudian dirumuskan oleh para ulama, bahwa
hadis dinyatakan sebagai shahih (otentik) apabila memenuhi empat syarat. Yaitu, ia
diriwayatkan

dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai pada nabi

s.a.w. sanad itu terdiri dari orang-orang yang bertakwa dan kuat ingatanyya, sementara
materi hadis itu tidak berlawanan dengan al-qur’an atau Hadis lain yang diriwayatkan
dengan sanad yang lebih unggul kualitasnya, dan tidak mengandung unsur-unsur
kecacatan.
1.

19

‫( اتص ل السند‬sanadnya bersambung)

17 Ilmu yang membahas tentang cacatnya perawi dan ke ‘adilan mereka dengan lafaz tertentu yang mana
lafaz tersebut memiliki derajat ilmu ini merupakan cabang dari ilmu “Rijal al-Hadis”, Abi Hatim Muhammad bin
idris bin al-mundzir al-hanzhali ar-razi, al-jarh wa ta’dil, (Beirut: dar-al kutub al ‘ilmiyah, 1952). (‫ )مقدمة‬.
18 Muhammad Mustafa Al- A’zamy, Ma nha j Al-Naqd ‘Inda Al -Muha dditsin (Riyadh: Syirkah Al-Taba’aah
Al-Arabiyyah Al-Su’udiyah,1982) 14-17.
19 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ha dis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II), 13-14

5

Bersambungnya sanad dari awal hingga akhir yang dinisbatkan kepada
rasulullah. Ibnu shalah berkata : seorang dari periwayat hadis harus bertemu
dengan guru yang diatasnya dengan cara yang masuk akal atau melalui talaqqi,
tidak termasuk didalamnya mursal dan munqati’, mu’allaq, mu’dhal, mudallas dan
mursal khofiy bukan termasuk kategori hadis shohih karena tidak bersambungnya
sanad disebabkan gugurnya satu perantara atau lebih. 20

2.

‫( عدالة الراو‬rawinya adil)
Memahami kualifikasi rawi dari sudut keadilannya, berarti menilai rawi dari
aspek moralitasnya. ‘adil adalah: sifat yang tertanam kuat dalam diri yang
membawa pelakunya pada ketetapan taqwa dan muru’ah. 21 Ke ‘adilan rawi
Merupakan unsur yang paling penting diterimanya suatu riwayat, karena rawi
harus

seorang

muslim,

baligh,

ber’akal,

tidak

fasiq,

hafizh,

meninggalkan ma’siat dan dusta juga menjaga muru’ah.

22

yang taqwa,
Ibnu Mubarak

menyatakan bahwa yang dimaksud ‘adil adalah orang yang mendapati dirinya
dalam lima hal: a) disaksikan oleh jama’ah, b)tidak minum khamar c) tidak hina
dalam agamanya, d) tidak berdusta, e)tidak ada gangguan dalam akalnya. 23
3.

‫( ض بط الراو‬kemampuan rawi memelihara hadis)
Seorang rawi menjaga hadis dalam hafalan ataupun catatannya. 24

4.

‫( عد الش‬tidak syadzdz)
Apabila rawi yang tsiqat (terpercaya) dalam suatu hadis menyalahi hadis lain
yang rawinya lebih tsiqat dibandingkan rawi pada hadis pertama. 25

5. ‫( عد الع ة‬tidak ada ‘illat)26
20 Abu ‘Umar Dan ‘Utsman Ibn abd Ar-Rahman asy-Syahrazawiy, ‘Ulumul al Hadis Li Ibn a s Sa la h ,
tahqiq : Nur ad Din ‘Itr, (Beirut,: Dar al-Fikr al-Ma’ashir), 12.
21 Abdur Rahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Ha dis (Bandung: Remaja Rosdakarya,2013), 28.
22 Abu ‘Umar Dan ‘Utsman Ibn abd Ar-Rahman asy-Syahrazawiy, ‘Ulumul al Hadis Li Ibn a s Sa la h , tahqiq
: Nur ad Din ‘Itr, (Beirut,: Dar al-Fikr al-Ma’ashir)12.
23 Abdur Rahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Ha dis (Bandung: Remaja Rosdakarya,2013), 31.
24 Abu ‘Umar dan ‘Utsman Ibn abd ar-Rahman asy-Syahrazawiy, ‘Ulumul al Hadis Li Ibn a s Sa la h , tahqiq :
Nur ad Din ‘Itr, (Beirut,: Dar al-Fikr al-Ma’ashir). 104
25 Abdur Rahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Ha dis (Bandung: Remaja Rosdakarya,2013),15.
26 Mahmud Tahhan, Ta ysir Musta la h Al-Ha dits (Jakarta: Dar al-Hikmah,1985) 34.

6

Illat artinya penyakit atau sesuatu yang menyebabkan keshahihan suatu hadis

ternodai. Illat yang ada pada suatu hadis tidak tampak secara jelas melainkan
samar-samar, sehingga sulit ditemukan, kecuali oleh ahlinya. Oleh karena itu,
hadis semacam ini akan banyak ditemukan pada tiap rawi yang tsiqat sekalipun.
Tiga syarat pertama lebih ditekankan kepada sanad berikut rawinya, sementara dua
terakhir untuk sanad, rawi dan matan (redaksi). 27

e. Kritik orientalis terhadap sanad
Persyaratan otentitasvhadis telah diterapkan oleh para ulama khususnya ahli-ahli
hadis, dalam menyeleksi atau mengkritik hadis. Sejak abad pertama hijriah sampai kirakira abad ketigabelas hijrah, tanpa ada seorangpun yang mempersoalkan. Dan baru pada
tahun 1890 M dunia penelitian hadis dikejutkan dengan munculnya metode “baru” dalam
kritik hadis, yaitu setelah terbitnya buku Muhammadenische Studien (muslim study) yang
ditulis oleh Ignaz Goldziher28 , dimana ia menolak persyaratan-persyaratan atau kriteriakriteria otentitas hadis yang telah ditetapkan. 29

27

Abdur Rahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Ha dis (Bandung: Remaja Rosdakarya,2013), 15.
28
Orientalis pertama yang melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher dengan karyanya yang
berjudul Muha mmeda nische Studien ( muslim studies) pada tahun 1980. Buku ini merupakan buku induk
yang digunakan orientalis dalam mengkaji hadis. Kemudian setelah tiga perempat abad (±70 tahun) muncul
juga profesor Schahct untuk meneliti keabsahan hadits adapun karyanya The Orig ins of Muha mma da n
Jurisprudence. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ha dis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II), 8. Goldzhiher
mengatakan bahwa mustahil pada masa awal islam adanya alquran yang jelas tertulis disamping itu ada
hadis yang pengajarannya melalui lisan hidup bersama, walaupun hadits tersebut juga ditulis maka dia akan
terkecoh dengan tulisan tersebut.(Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Muha mma da nische Studien , terj. C.r.
Barber dan s.m. Stem, vol.2, (State University of New York). 181 Kekeliruan Goldziher dalam meneliti
hadis: Kesalahannya dalam mendefenisikan hadits, hadis dipahaminya menurut etimologi saja, sehingga
memberikan pengertian yang luas (Ignaz Goldzhiher, 17) Pandangannya tentang masyarakat islam pada
abad ke-2 dan ke-3 h yang menurutnya disitulah munculnya hadits. Gugatan goldziher kepada az zuhri
sebagai pemalsu hadis. Gugatan goldziher terhadap metode kritik Imam Bukhori ( Ali Mustafa Yaub, Kritik
Ha dis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 20014, cet.II)
29

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ha dis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II), 13-14

7

Dibandingkan

dengan

I.Goldzhiher,

J.Schacht

memiliki “keunggulan” karena

Schaht sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun hadis yang
otentik dari nabi S.A.W khususnya hadis–hadis yang berkaitan dengan hukum islam.
Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentitas
hadis.30
Orientalis berbeda pendapat tentang pemakaian sanad dalam hadis nabi itu
dimulai. Menurut Caetani, urwah (94 H) adalah orang yang pertama yang menghimpun
Hadis Nabi, tetapi ia tidak menggunakan Isnad, dan tidak pula menyebutkan sumbersumber selain Al-qur’an. Caetani menyimpulkan bahwa pemakaian sanad baru di mulai
pada masa antara Urwah dan Ibnu Ishaq (w 151 H). Oleh karena itu, sebagian besar dari
sanad-sanad yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis adalah buatan ahli-ahli hadis abad
kedua bahkan abad ketiga.31 Perkataan Caetani ini di dukung oleh Springer.
Horovitz : orang-orang yang mengatakan bahwa urwah tidak memakai sanad
itu sebeenarnya belum mempelajari kitab-kitab urwah berikut sanad-sanadnya secara
lengkap. Pemakaian sanad dalam meriwayatkan hadis sudah dimulai sejak sepertig yang
ketiga dari abad pertama Hijriyah. Horovitz membantah keras pendapat Caetani dan
Sprenger.32
Josep

Schacht mengatakan bahwa tradisi hukum selalu dinisbatkan kepada masa

setelah Syafi’i sekitar pertengahan abad ke-2 H kemudian yang lebih awal yaitu para
sahabat untuk mendapatkan legitimasi hukum dengan otoritas yang lebih tinggi, maka
dinisbatkan kepada nabi Muhammad. Berikut merupakan bentuk sederhana dari sanad
yang difahami oleh Schaht yang menunjukkan adanya kecenderungan “Projecting
Back”.33 Dengan begitu ia menyimpulkan bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah
palsu. Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam
bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh
abad ketiga H dimana apabila kelompok ingin mengaitkan(menisbatkan) pendapatnya

31 MM.Azami, Studies in Ea rly Ha dith Litera ture , (Indianapolis :american trust publications, 1978) h,213214
32 MM. Azami, hadis nabawi dan sejarah kodifikasinya, terj. Ali Mustafa yakub (studies in early hadith
literature), (Jakarta :pustaka firdaus,2000) 532-534
33 Joseph Schacht, The Origins of Muha mma d Jurisprudence , (Oxford at The Clarendon Press, 1950).15-16

8

dengan orang-orang dahulu, maka kelompok trsebut memilih orang dahulu itu dan
menaruhnya dalam sanad.34
Schacht telah mempelajari kitab al-Muwatta’ karya imam malik, kitab al-muwatta’
karya imam Muhammad al-syaibani dan kitab al-umm karya imam al-syafi’i. kitab-kitab
ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai

kitab fikih daripada kitab hadis. Namun

demikian, Schacht telah menggeneralisasikan “hasil kajiannya” terhadap kitab tersebut
sekaligus menerapkannya untuk seluruh kitab-kitab hadis tersebut. Seolah-olah tidak ada
kitab yang khusus mengenai hadis, dan seolah-olah tidak ada perbedaan antara watak
kitab fikh dan kitab hadis35

Sanggahan terhadap orientalis
-

Sanad telah dipakai sejak Nabi SAW. Masih hidup, dan para sahabat telah
menggunakannya untuk meriwayatkan hadis tersebut

-

Secara umum, pemalsuan hadis trjadi pada decade ke empat dari hijrah Nabi, yaitu
dalam masalah politik saja. Karena kelompok-kelompok politik saling bermusuha,
sedang diantara mereka ada yang lemah imannya, sedikit pengetahuan agamanya
sehingga membuat hadis palsu untuk kelompoknya. Maka sejak saat itu, ahli-ahli
hadis lebih hati-hati dalam memilih guru, lebih selektiv dalam mendengarkan
hadis dan lebih teliti dalam menerima rawi. Disbanding masa sebelumnya
penggunaan sanad mass itu lebih terasa penting

-

Sampai sekarang para orientalis belum mendapatkan pilihan yang tepat untuk
mempelajari sanad. Sebab tulisan-tulisan Imam Syafi’I dan Abu Yusuf secara jelas
membuktikan bahwa karya tulis ahli fikih tidak tepat dijadikan objek sanad hadis.
Begitu pula kitab-kitab tarikh dan biografi, sebab kitab-kitab itu tidak hanya
sekedar merupakan koleksi dan penyusunan dokumen dengan meniadakan sanadsanadnya agar peristiwa yang dituturkan dapat beruntun. Jadi penelitian sanad
yang dimaksud tidak dapat terpenuhi dalam kitab-kitab tersebut.

34

MM. Azami, hadis nabawi dan sejarah kodifikasinya, terj. Ali Mustafa yakub (studies in early hadith
literature), (Jakarta :pustaka firdaus,2000) 564

9

Oleh karena itu, sanad, hadis dan hal-hal yang berkaitan dengan itu hanya
dapat dikaji melalui kitab-kitab hadis saja. Bukan melalui kitab-kitab tarikh,
biografi, fikh dan bukan pula melalui kitab-kitab yang berisi hadis-hadis
tentang fikh seperti kitab al-muwatta’, karangan imam malik
-

Contoh yang dituturkan oleh schahct tentang gejala sanad justru membantah
teorinya sendiri. Sebab banyaknya rawi yang tinggal di puluhan negeri yang
berjauhan, denngan sendirinya telah menbantah teori “Projecting Back” dan
pemalsuan sanad sebab hal itu jarang terjadi.36

f. Contoh Kritik Sanad

Hadis ke-16

‫حاو اإي‬

‫عن أبي قابة عن أنس عن ال ي ص ى‬
‫ أ‬، ‫س له أحب إليه م س اه‬
37 (

‫) ا ال‬

‫ه‬

‫ حدث أي‬: ‫الثقفي ق‬
‫أ ي‬:

‫ب‬

‫ حدث ع د ال ه‬: ‫حدث مح د بن ال ث ى ق‬

‫ ثا من كن فيه جد حا اإي‬: ‫ه ع يه س م ق‬

‫ أ ي ر أ يع في ال فر ك ي ر أ يق ف في ال‬،‫يحب ال رء ا يح ه إا ه‬

Muhammad b. Mutsanna telah memberitahukan kepada kami, Abdul Wahhab atsTsakofi telah memberitahukan kepada kami dari Abu ilabah dari Anas berkata, Rasululluh
SAW. Bersabda: Tiga hal, barang siapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman,
yaitu menjadikan allah dan rasulnya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang sematamata karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika
dilempar ke dalam api neraka. (H.R. Bukhori)
36

MM Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yakub (Studies In Early Hadith
Literature) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 538 dan 581-583.
37 Muhammad bin Ismail al-Bukhrori, Sha hih a l-Bukhori, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002) 14.

10

a. BIOGRAFI PERAWI
1. Al-Bukhori
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Badzdizabah. Ibnu
Athraf al- Ju’fi maulahum, abu Abdullah al Bukhori. Wafat tahun 285 H.
Guru: Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Musa al-Anshari, ‘Affan, Ahmad bin
Khalid al-Wahabiy dsb. Murid: Turmudzi, muslim, an-Nasa’i, Hafsah bin ‘Umar
bin al-Harits, Ibnu Nuhas, Hamzah, dsb.
Pendapat ulama:
Ibnu Abi Hatim

: la ba’sa bih

Ad Daruqutni

: tsiqoh

Al- Baghandi

: shaduq

Ibnu Hibban

: tsiqoh.

38

2. Muhammad Al-Mutsanna
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Al-Mutsanna bin Ubaid bin Qais bin
Dinar Al-‘Anazy. Beliau dikenal juga dengan panggilan Abu Musa Al-Bashri AlMa’ruf bi Az-zamani. Wafat 252 H.
Guru :Abdullah bin Idris, abi Muawiyah, khalid bin al-harits, yazid bin zural,
Abdul Wahhab Ats-tsaqofi. Murid:Al-jama’ah, Nasai, Abu Zar’ah, Abu Hatim,
Baqi bin Makhlad, Dzakaria Assajiy.

Pendapat ulama:
Abdullah bin Ahmad

: tsiqoh

Abu sa’ad al-harawiy dari az-zuhli : hujjah

38

Abu hatim

: hadits shlalih, suduq

An-nasai

: la ba’sa bih

Ibn ‘uqdah

: kana in itsbat

Ibnu Hajar al-‘Atskolani asy Syafi’I, Ta hdzibu Ta hdzib ( muassasat Ar-risalah), vol.III, 508

11

Khatib

: tsiqoh

Maslamah

: tsiqoh , mashur39

3. Abdul Wahhab ats-Tsaqofi
Nama lengkapnya adalah Abdul Majid bin ash-Shalt bin ‘Ubaidillah bin alHakam bin abi Al’asi ats—Tsaqofi. Dikenal juga dengan Abu Musa Al-Bashri.
W. 194 H.

Guru:Humaid

at-tawil,

ayyub

as-syakhtiyaniy,

Ibn

‘Aun,

Khalid

al-

Khadzadzai, Dawud bin Abi Hind, Auf al-‘Arabiy, Ubaidillah bin Umar, Yunus
bin ‘Ubaid, Yahya bin Sa’id dsb. Murid :Asy-Syafi’i, Ahmad, Ali, Yahya, Ishaq,
ibna Abi Syaibah, Abu Khaitsamah, Yundar, Abu Musa, Musdad, Ibrahim bin
Muhammad bin ‘Ar’arah.

Pendapat ulama:
Ayyub

: tsiqoh

Ahmad

: tsiqoh

Utsman

: tsiqoh

Al’ijliy

: tsiqoh

Muhammad bin sa’ad

: tsiqoh40

4. Ayyub
Nama lengkapnya Ayyub bin Abi Tamimah Kaisani Assakhtayaniyy Abu Bakr
al-Bashri. Maula Juhainah. Lahir pada tahun 66 H dan Wafat tahun 131 H.

39
40

Ibnu Hajar al-‘Atskolani asy Syafi’I, Ta hdzibu Ta hdzib ( muassasat Ar-risalah), vol.III, 687.
Ibnu Hajar al-‘Atskolani asy Syafi’I, Ta hdzibu Ta hdzib ( muassasat Ar-risalah),vol.II, 637.

12

Guru: Amr bin Salmah al Ajrami, Humaid bin Hilal, Abu Qilabah, Qasyim
bin Muhammad, abd ar-Rahman bin al-Qasim, Nafi’ Maula bin Umar.
Murid:Al-‘Amsasa, Hammadan, Sufyanan, Syu’bah, Abdul Warits, Malik, Ibn
Ishaq, Sa’id bin Abi Arubah.

Pendapat Ulama:
Ibnu Abi Khaitsamah : tsioh
Ibnu Sa’ad

: hujjah ‘adlan

Abu Hatim

: tsiqoh

An-Nasai

: tsiqoh tsabat41

5. Abu Qilabah
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Zaid bin ‘Amr. Dikenal dengan
panggilan Abu Qilabah al-Jaramiy al-Bashriyy. Wafat tahun 107 H.
Guru:
Tsabit bin ad-Dhahak al-Anshari, Samroh bin Jundub, abi Zayd bin ‘Amr bin
Akhtab, Zainab bintu Ummu Salamah, Anas bin Malik al-Anshori, Anas bin
Malik al- Ka’biy, Ibnu Abbas. Murid: Ayyub, Kholid al-Khadzdzai, Abu Raja
Salman Maula bin Qilabah, Yahya bin Abi Katsir, ‘Ashim al-Ahwal, Asy’ats bin
Abd ar-Rahman al-Jarmiyy

Pendapat ulama:
Ibnu sa’ad : tsiqoh
Ibnu sirrin : terpercaya (haqqan)
Ibnu ‘aun : tsiqoh, rajul shalih
Al-‘ijiliyy : tsiqoh
Abu hatim : la yu’rafu lahu tadlis
41

Ibnu Hajar al-‘Atskolani asy Syafi’I, Ta hdzibu Ta hdzib ( muassasat Ar-risalah), vol.I. 201.

13

Ibnu kharash : tsiqoh
Wafat di syam, 104/107 h.42

6. Anas bin malik
Anas bin malik bin Nadhar bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundala bin
Amir bin Ghammi bin ‘Adi bin Nujjan al-Anshori. Kunyah : Abu Jamzah alMadani, Khodim Rasulullah saw. Wafat tahun 93 H.
Guru:
Nabi Muhammad saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdullah bin Rawahah,
Fatimah Azzahra, Tsabit bin Quwais bin Syammas, Abd Ar Rahman bin Auf,
Ibnu Mas’ud, Malik bin Sha’sha’a, Abi Dzar, Ubai bin Ka’ab, Abi Thalhah,
Mu’adz bin Jbal, Ubadah Bin Ash Shomit, Ummu Sulalim, Ummu Haram, Ummu
Fadhl, Jama’ah. Murid : Hasan Sulaiman at-Taimiy, Abu Qilabah, Abu Mijlaz,
Abdul ‘Aziz bin Suhaib.43 Shahabat semuanya ‘adil.44
b. Lambang Periwayatan
Penyandaran berita yang dilakukan oleh setiap pembawa berita dalam mata
rantai sanad menggunakan ungkapan kata-kata yang melambangkan pertemuan
langsung (muttashil) atau tidaknya. Pada hadis di atas menggunakan ungkapan
( ‫)حدثن‬ungkapan penyampaian periwayatan tersebut pada umumnya digunakan dalam
keadaan jika seorang periwayat mendapat hadis secara langsung dan bertemu langsung
dari seorang gurunya dan penerimaan secara berjama’ah.45

Ibnu Hajar al-‘Atskolani asy Syafi’I, Ta hdzibu Ta hdzib ( muassasat Ar-risalah), vol. I, 190.
Ibnu Hajar al-‘Atskolani asy Syafi’I, Ta hdzibu Ta hdzib ( muassasat Ar-risalah),
44 Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum Al-Hadis (Dimasq: Dar al- Fikr, 1979), 52.
45 Abdul Majid Khon , Ulumul Ha dis , (Amzah :Jaka
rta, 2013),110.
42
43

14

c. Skema Sanad

‫الن ي ص ه ع يه‬
‫وس م‬

w. 63 H

‫أنس بن م لك‬
‫اأنص‬

W. 93 H

‫أب قابة‬

W.107 H

‫ق‬

‫عن‬
‫عن‬
‫أي‬
‫حدثن‬
‫الثقف‬

‫ع د ال ه‬

W. 131
H
W.194 H

‫حدثن‬
‫مح د ابن ال ثن‬

‫ال خ‬

W.252 H

W. 285
H

Dari peneletian diatas dapat disimpulkan bahwa hadis ke-16 yang diriwayatkan oleh Bukhori
adalah shahih menurut sanadnya.

Kesimpulan




Kritik

sanad menurut ulama hadits yaitu pemilahan hadits-hadits shahih dari hadits

dha’if dan menghukumi perawinya dari segi tsiqoh atau tidaknya.
Keshahihan sanad

suatu hadis dilihat dari : bersambungnya sanad kemudian

perawinya ‘adil dan dhabit.
Para orientalis menyimpulkan bahwa sanad hadis itu buatan ulama pada abad ke dua
atau ketiga hijriyah, dalam menyanggah hal ini MM.Azami menyatakan bahwa sanad
itu sudah digunakan pada zaman Rasulullah.
15

Daftar pustaka
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’jam al-Wasith, cet.4 (Maktabah asy-Syuruq addualiyah, 2004).
Muhammad Mustafa Al- A’zamy, “Manhaj Al-Naqd ‘Inda Al-Muhadditsin” (Riyadh: Syirkah
Al-Taba’aah Al-Arabiyyah Al-Su’udiyah,1982)
Abi al Husein Ahmad bin Paris, Maqayis al-Lughat , Tahqiq : Abdul as-Salam Muhammad
Harun, vol.III Dar Al-Kutub

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Amzah :Jakarta, 2013)

Ibrahim Amin al-Jafi asy-Syahr zuri al-Baghdadi, Manahij al-Muhadditsin fi Naqd arRiwayat at-Tarikhiyat , Dubai: dar al-Qolam, 2014).

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, cet II)
Mustafa Al- A’zamy, Manhaj Al-Naqd ‘Inda Al-Muhadditsin (Riyadh: Syirkah Al-Taba’aah
Al-Arabiyyah Al-Su’udiyah,1982)
Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis (Dimasq: dar al- Fikr, 1979)
Abi Hatim Muhammad bin Idris bin al-Mundzir al-Hanzhali ar-Razi, al-Jarh wa Ta’dil,
(Beirut: dar-al kutub al ‘ilmiyah, 1952)
Abu ‘Umar dan ‘Utsman Ibn abd Ar-Rahman asy-Syahrazawiy, ‘Ulumul al Hadis Li Ibn as
Salah, tahqiq : Nur ad Din ‘Itr, (Beirut,: Dar al-Fikr al-Ma’ashir)

Abdur Rahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya,2013)

16

Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah Al-Hadits (Jakarta: Dar al-Hikmah,1985) 34.

MM.Azami, Studies in Early Hadith Literature , (Indianapolis :American Trust Publications,
1978)

MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yakub (Studies In
Early Hadith Literature), (Jakarta :Pustaka Firdaus,2000)

Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence , (Oxford at The Clarendon Press,
1950)

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Muhammadanische Studien , terj. C.r. Barber dan s.m. Stem,
vol.2, (State University of New York)

Muhammad bin Ismail al-Bukhrori, Shahih al-Bukhori, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002)
Ibnu Hajar al-‘Atskolani asy Syafi’I, Tahdzibu Tahdzib (muassasat Ar-risalah), vol.III

17

KRITIK MATAN HADITS

a. Pendahuluan
Aktivitias ilmu kritik matan hadits sudah dimulai pada masa Nabi Saw. akibat
bermunculannya (matan-matan) hadits palsu.

Aktivitas ini masih intensif sampai

tahun ke-7 H. Seiring dengan berjalannya waktu, studi hadits mengalami pergeseran
saat

mana

para

ulama

lebih

memberikan

perhatian

pada orang-orang yang

meriwayatkan hadits. Saat itu, setelah masa sahabat, perhatian diberikan pada aspek
sanadnya.
Memasuki abad ke-20 hingga sekarang,

atas kesadaran dan hasrat untuk

merumuskan dan mengembangkan studi matan hadis dari segi metodologisnya
maupun

interpretasinya semakin menguat dengan melihat terbitnya sejumlah buku

seperti: (1) tahun 1983, dar al-Afaq di Beirut menerbitkan buku karya Salah ad-Din alAdlabi yang berjudul Manhaj Naqd al-Matn ‘inda al- ‘Ulama’ al-Hadis an-Nabawi, (2)
tahun 1984 di Riyad terbit buku karya Musfir ‘Azm Allah ad-Dumaini yang berjudul
Maqayis Naqd al-Mutun as-Sunnah, (3) tahun 1986 di Tunis, Muassasat Abdul Karim
bin ‘Abd Allah menerbitkan buku karya Muhamad Tahir al-Jawabi yang berjudul
Juhud al-Muhaddisin fi Naqd al-Mutun al-Hadis an-Nabawi asy-Syarif, dan (4) tahun
1989 al-Ma’had al-Islami li al-Fikr al-Islami, yang berkedudukan di Amerika
18

menerbitkan buku karya Yusuf al-Qardawi yang berjudul Kaifa Nata’amalu ma’a asSunnah an-Nabawiyyah.46

b. Pengertian
Naqd secara etimologi adalah : menetapkan sesuatu untuk menguji atau
memisahkan antara yang baik dan buruk 47 .

Matan secara bahasa berarti apa yang

terangkat dari permukaan bumi (tanah yang tinggi). Secara istilah, matan berarti suatu
kalimat yang menjadi tempat berakhirnya sanad. 48

c. Urgensi dan Faktor-faktor Perlunya Kritik Matan
Dr. Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi melihat urgensi obyek studi kritik matan
ini tampak dari beberapa segi, antara lain:







Menghindari sikap dan berlebihan dalam meriwayatkan suatu hadis karena
adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan ini.
Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri para periwayat.
Menghadapi musuh-musuh Islam yang memealsukan hadits dengan
menggunakan sanad sahih tetapi tidak shahih.
Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa riwayat. 49

Sementara untuk faktor-faktor perlunya kritik matan, Al-Adlabi membaginya
dalam 2 kategori yaitu, 1) merebaknya pemalsuan pada masa periwayatan dan 2)
merebaknya kekeliruan pada masa periwayatan. 50
i.

Pemalsuan pada Masa Periwayatan

Pemalsuan pada masa periwayatan dapat diklasifikasikan lagi kepada dua
perioda, yakni pada masa Nabi Saw dan sesudan Nabi Saw51 . Pada masa nabi orangorang munafik memanfaatkan posisi Nabi Saw. untuk keuntungan-keuntungan mereka
dengan membuat pernyataan yang menisbatkan Nabi Saw.
Sedangkan masa setelah Nabi Saw, pemalsuan mulai terjadi pada masa “fitnah
kubra”, yakni pertentangan yang terjadi antara Sahabat Ali dan Muawwiyah. Di
tengah ketegangan itu,

ada di antara pengikut masing-masing yang berusaha

menjatuhkan lawan dengan cara membuat hadits palsu, agar golongan mereka menjadi

46

https://alkautsarkalebbi.wordpress.com/2013/12/03/kritik-matan-hadits/
Majma’ al-lughah al-ara iyah al-mu’jam al-wasith , et.4 (makta ah asy-syuruq ad-dualiyah, 2004) 944.
48 Muhammad Toha, Taisir, Musthalah Hadits, hal. 15
49 Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 7-10.
50 Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 26-46.
51 Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 26-28.
47

19

semakin mantap dan musuh menjadi semakin lemah. Pernyataan ini dinukil oleh AlAdlabi dari buku al-Hadis an-Nabawiy, Musthalahuhu Balaghatuhu Kutubuhu karya
al-ustadz Muhammad ash-Shabagh.
ii.

Merebaknya Kekeliruan pada Masa Periwayatan

Kekeliruan dikategorikan sebab-sebab pemalsuan yang tidak disengaja. Namun
demikian hadis yang dipalsukan karena tidak disengaja, tetap dimasukkan sebagai
hadits palsu. Kekeliruan ini harus dieliminasi semaksimalnya dan kritik matan adalah
salah satu metodologi yang diperlukan untuk eliminasi tersebut.
Kategorisasi kekeliruan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan era yang terbagi
menjadi 3 bagian, yaitu: 1) kekeliruan pada masa sahabat, 2) kekeliruan pada
pascasahabat dan, 3) kekeliruan pada para periwayat. 52

d. Sejarah dan Perkembangan Kritik Matan Hadits
i. Kritik Matan Hadits di Masa Nabi Saw.

Pada buku Kritik Hadits karangan Prof. K.H. Ali Mustafa Yacub M.A
53 dibahas

tentang kejadian kesalahan periwayatan hadits yang salah yang diterima

Umar bin Khattab. Secara naluriah, Umar bin Khattab merasakan kesalahan yang
terjadi pada hadits tersebut. Umar Khattab datang pada kesempatan pertama menemui
Nabi Saw untuk mengkonfirmasi hadits tersebut. Demikianlah praktek kritik matan
sudah terjadi pada saat itu. Pola-pola yang demikian juga dilakukan oleh sahabatsahabat lain pada masa Nabi Saw.
ii. Kritik Matan di Masa Sahabat

Di kalangan sahabat sendiri, sahabat tidak luput dari kekeliruan dalam
periwayatan hadits, karena itulah diperlukan kritik, terlepas dari kritik ini lahir secara
alamiah sebagai sifat yang diajarkan nabi. Di bawah ini disebutkan kesalahankesalahan yang dapat terjadi terkait dengan periwayatan hadits di kalangan sahabat:




54

Sahabat itu meriwayatkan hadits yang didengarnya langsung dari Nabi Saw.,
tetapi ia tidak tahu kalau hadis itu tidak di-nasakh.
Dalam meriwayatkan hadits, ia menyertakan komentarnya bersama dengan
redaksi haditsnya itu, sehingga diduga oleh para pendengarnya sebagai
bagian dari hadits. Dan inilah yang dikenal dengan hadits mudraj.

52

Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 46-60
Kritik Hadits, Prof. K.H. Ali Mustafa Yacub, MA, Pustaka Firdaus, Jakarta, hal 1-2.
54 Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 84
53

20







Ia mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadits, atau antara
satu hadits dengan hadits lain. Dan inilah yang dikenal dengan hadits maqlub.
Ia meriwayatkan hadits dengan redaksinya sendiri yang memiliki cakupan
lebih luas dari makna yang sebenarnya bersumber (dari) Nabi Saw.
Tidak sadar dengan pemakaian suatu kata (yang bukan kata asli dari Rasul),
yang sebenarnya memiliki perbedaan konotasi.
Ia meriwayatakan hadits bukan pada jalur yang semestinya, karena telah lupa
dengan latar belakang timbulnya hadits itu (sabab alur al-wurud-nya).
Dia meriwayatkan suatu hadits, secara keliru, yakni yang sebenarnya tidak
bersumber dari Nabi Saw., dikatakannya berasal dari beliau.

Sementara di kalangan diluar shabat, kaum munafik hadir untuk membuat
kacau kaum muslimin. Mereka hadir dalam bentuk perorangan ataupun kolektif.
Sahabat dan tabi’in sebenarnya tidak lalai dengan pemalsuan hadits. Mereka
bahkan telah berusaha memperkenalkan mereka yang memalsukan hadits kepada
masyarakat agar tindakan mereka tidak dicontoh.
Keterpeliharaan hadits pada masa sahabat ini oleh Al-Adlabi 55 bersandar pada
kecermatan khulafa’urrasyidin. Kritik matan dilakukan oleh sahabat yang berdasarkan
intensitasnya Al-Adlabi membaginya dalam dua kelompok besar: 1) Kritik Matan
menurut Aisyah r.a dan 2) Kritik matan menurut sahabat lain.

56

iii. Kritik Matan di Kalangan Ulama Hadits

Kritik Matan di Kalangan ulama hadits mencakup 1) kritik matan di dalam
studi

Rijal al-Hadits dan 2) kritik matan di dalam studi kaidah-kaidah musthala

hadits57 . Kritik matan di dalam studi Rijal al-Hadits menyangkut metoda para imam
dalam mentajrih dan menta’dil. Ulama hadits membahas rijal dari sisi penilaian
positifnya (ta’dil) maupun negatifnya (tajrih). Aktivitas lain dari studi rijal al-hadits
ini adalah menilai periwayat dari sela-sela kritik riwayat.
Studi kaidah-kaidah musthala hadits pada umumnya membahas kaidah sanad.
Kaidah-kaidah sanad ini sudah dibahas pada bab I terdahulu. Bab mushthalah yang
membahas kritik matan yang meliputi: hadits syudz, hadits munkar, hadits mu’all,
55

Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 31
Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 85
57 Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 113
56

21

hadits mudltharib, hadits mudraj, hadits maqluh, hadits maudlu dan tanda-tandanya,
perkataan sahabat mengenai masalah yang tidak menjadi wilayah akal58
Kriteria dalam kritik matan hadits adalah:

59

1. Tidak bertentangan dengan Alquran
2. Tidak menyerupai perkataan Nabi Saw.
3. Tidak bertentangan dengan fakta sejarah atau sirah nabawiyah yang shahih,
tidak bertentangan dengan akal, kebenaran

e.

Kritik Matan di Tangan Orientalis
i. Orientalis Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher, seorang Yahudi, menuduh bahwa penelitian hadits yang
dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena
menggunakan metode kritik sanad, oleh sebab itu Ignaz menawarkan metodologi
kritik matan.
ii. Orientalis Joseph Schacht

Joseph Schacht, dinukil oleh Prof. K.H. Ali Mustafa Yacub, MA, menilai
sanad hadis dengan mengkontruksi sebuah hadits atau pendapat kepada tokoh-tokoh
dibelakang

yang

disebutnya

sebgai “projecting back”.

60 .

Dari sini Schacht

berpendapat bahwa hadits Nabi Saw tidak dapat dipertanggungjawabkan otentitasnya
dengan kata lain palsu.
iii. Orientalis Lain yang Terlibat dalam Kritik Matan

f.

Contoh-contoh Kritik Matan

Di bawah ini ditampilkan contoh-contoh hadits yang tidak lulus kriteria kritik
matan yang disampaikan pada butier 1.4.3 di atas. 61

1. Bertentangan dengan akal dan kebenaran:

‫ثف ء من كل اء‬

‫ال ن ج‬

Buah terong itu adalah penawar segala penyakit
2. Tidak menyerupai perkataan Nabi Saw.

‫تعرفه ظ ةً كظ ة ال يل ت ر‬
58

َ ‫ا َ ل حديث ض ًءا كض ءا ل‬

Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal. 132
Dr. Salahudin ibn Ahmad al -Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004, hal 197-289
60 Prof. K.H. Ali Mustafa Yacub, MA, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, hal 22.
61 Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal 366 370.
59

22

Sesungguhnya hadits itu mempunyai cahaya (sinar), sebagai sinar matahari,
engkau mengenalnya dan ia mempunyai kegelapan sebagai kegelapan malam, engkau
tidak mengenalnya.
Hadits ini dinukil Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dari Al-Baitsul Hatsits.
3. Bertentangan dengan Al-Quran

‫مقدا الدني ان س عة ااف س ة‬
Umur dunia adalah 7.000 tahun.
Hadits ini bertentangan dengan Al-quran Surat 7 ayat 187.

Daftar Pustaka
23

al-mu’jam al-wasith, Majma’ al-lughah al-arabiyah , cet.4 (maktabah asy-syuruq ad-dualiyah,
2004)
Taisir Musthalah Hadits Mahmud Tahhan, , (Jakarta: Dar al-Hikmah,1985) 34
Dr. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, GMP, Jakarta, 2004
Kritik Hadits, Prof. K.H. Ali Mustafa Yacub, MA, Pustaka Firdaus, Jakarta,
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta,
1981
https://alkautsarkalebbi.wordpress.com/2013/12/03/kritik-matan-hadits/

24