Hubungan Nilai CURB-65 Dengan Mortalitas Pada Pasien Pneumonia Komunitas di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah infeksi yang terjadi pada parenkim paru yang
disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, atau
parasit yang mengakibatkan reaksi inflamasi (alveolitis) dan akumulasi eksudat
inflamasi pada jalan nafas. (Febriani, Wibisono, 2010)
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia dapat dibagi berdasarkan beberapa karakteristik
yaitu karakteristik klinis dan epidemiologi, karakteristik penyebab, serta lokasi
atau predileksi infeksi.
2.1.2.1 Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komunitas (Community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (Hospital-acquired pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2.1.2.2 Berdasarkan penyebab:
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal
c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur
2.1.2.3 Berdasarkan predileksi infeksi:
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial

Universitas Sumatera Utara

2.2 Pneumonia Komunitas
2.2.1 Definisi
Pneumonia komunitas (PK) merupakan keadaan infeksi parenkim paru
akut diikuti dengan gejala dan tanda infeksi akut serta gambaran infiltrat pada foto
toraks pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit selama 14 hari sebelumnya.
(Mbata et al., 2013)
2.2.2 Etiologi
PK dapat disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus,
jamur, dan parasit. Penyebab paling sering adalah bakteri, yaitu bakteri gram
positif, bakteri gram negatif, serta atipikal. Bakteri penyebab PK yang sering di
Indonesia antara lain Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans,
Staphylococcus

Pseudomonas

aureus,
aeruginosa,

Haemophilus

Influenza,

Streptococcus

Klebsiella

hemolyticus,

pneumoniae,

Enterobacter,

dan


Pseudomonas spp.
Bakteri atipikal merupakan bakteri yang tidak dapat terlihat melalui
pewarnaan Gram dan tidak dapat dikultur melalui sputum ataupun darah. Bakteri
jenis ini jarang diidentifikasi karena membutuhkan pemeriksaan khusus. Contoh
bakteri atipikal yang diidentifikasi sebagai penyebab PK antara lain Legionella
spp., Mycoplasma pneumonia., dan Chlamydophila pneumoniae. (Ramirez,
Anzueto, 2011)
2.2.3 Patofisiologi
Pneumonia merupakan keadaan yang timbul oleh adanya proliferasi
mikroorganisme di alveolus dan respon tubuh untuk melawan mikroorganisme
tersebut. Mikroorganisme yang bersifat patogen dapat masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui beberapa jalan, paling sering akibat aspirasi melalui
orofaring terutama saat tidur, yang sering terjadi pada usia lanjut, saat terjadi
penurunan kesadaran, dan melalui penyebaran infeksi secara hematogen
(Harrison’s, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Faktor mekanik seperti rambut-rambut halus, turbinasi udara di rongga

hidung, struktur anatomis percabangan trakhea-bronkus, mekanisme pembersihan
muko-siliaris dan adanya faktor antibakteri lokal merupakan faktor yang sangat
penting dalam pertahanan tubuh, baik untuk menangkap partikel maupun
membunuh mikroorganisme patogen yang masuk ke saluran nafas.
Saat sistem pertahanan tubuh baik atau jumlah mikroorganisme yang dapat
mencapai ke alveolus masih sedikit, makrofag dan protein lokal yang terdapat di
alveolus akan melawan patogen yang masuk melalui aktivitas antibakteri atau
antiviral. Manifestasi pneumonia dapat terjadi ketika aktivitas makrofag di
alveolus berlebihan dalam melawan mikroorganisme patogen. Pada kondisi ini,
makrofag menginisiasi respon inflamasi dari tubuh yang merupakan proses yang
lebih dominan daripada proliferasi mikroorganisme itu sendiri sehingga memicu
timbulnya gejala klinis pada pneumonia. Pelepasan mediator inflamasi interleukin
(IL) 1 dan tumor necrosis factor (TNF) menimbulkan demam, kemokin IL-8 dan
granulocyte-colony stimulating factor (GCSF) menstimulasi pelepasan neutrofil
ke alveolus dan menimbulkan leukositosis perifer serta sekret yang purulen.
Adanya mediator inflamasi dan masuknya neutrofil menimbulkan kerusakan
pembuluh kapiler alveolus sehingga menghasilkan gambaran infiltrat pada
pemeriksaan radiologi, suara ronkhi pada auskultasi, dan hipoksemia akibat
terganggunya proses pertukaran gas di alveolus.
Pneumonia dapat mengakibatkan kehilangan cairan seiring dengan

progresivitas penyakit. Kondisi dehidrasi dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal,
sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi urea oleh ginjal yang ditandai dengan
meningkatnya kadar urea dalam darah. (Ugajin et al., 2012)
Pada usia lanjut, terjadi perubahan fisiologis pada sistem pernafasan
seperti penurunan kemampuan pengembangan/recoil paru, kekuatan otot-otot
respirasi, perubahan struktural dinding dada yang menyebabkan penurunan
compliance paru, serta terjadi peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena
terganggunya mekanisme pertahanan muko-siliaris. (Janssens, Krause., 2004)

Universitas Sumatera Utara

Penurunan compliance paru akibat kerusakan kapiler, adanya hipoksemia,
jumlah sekret yang meningkat, serta spasme bronkus akan menimbulkan gejala
sesak nafas (dyspnea) dan tachypnea sebagai usaha kompensasi. Pada tahap lebih
lanjut, peningkatan frekuensi pernafasan dapat timbul akibat sepsis. Pada kondisi
ini, mikroorganisme patogen mengganggu mekanisme vasokonstriksi yang normal
terjadi sebagai kompensasi saat terjadi hipoksia sehingga timbul keadaan
hipoksemia yang berat. Tekanan darah dapat menurun akibat shock. Perubahan
fungsi paru akibat penurunan volume dan compliance paru serta perpindahan
darah intra pulmonal dapat memberikan prognosis yang buruk hingga kematian.

2.2.4 Diagnosis
Berdasarkan Panduan Tatalaksana PK Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI), diagnosis PK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, foto toraks dan pemeriksaan laboratorium.
2.2.4.1 Gambaran klinis
- Anamnesis : Gambaran klinis ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 40 C, batuk dengan sekret mukoid atau purulen,
dapat disertai dengan darah (hemoptisis), sesak nafas, dan nyeri dada.
- Pemeriksaan fisik : Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi
di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas,
pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi suara redup, pada auskultasi
terdengar suara nafas bronkovesikuler sampai bronkial yang dapat disertai ronkhi
basah halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.
2.2.4.2 Pemeriksaan penunjang
- Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebab bronkogenik dan interstisial

Universitas Sumatera Utara


serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah etiologi, misalnya
gambaran

pneumonia

lobaris

tersering

disebabkan

oleh

Streptococcus

pneumoniae, gambaran infiltrat bilateral atau bronkopneumonia tersering oleh
Pseudomonas auruginosa sedangkan Klebsiella pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai

beberapa lobus.
- Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan lab, terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih
dari 10.000/ul dapat mencapai 30.000/ul. Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan sputum, kultur darah dan serologi. Kultur darah
dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, serta pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat PK yaitu efusi pleura, empiyema,
abses paru, pneumotoraks, infeksi metastatik, gagal nafas, dan sepsis.
2.2.6 Prognosis
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis PK seperti faktor
penderita (usia, status gizi, komorbiditas), mikroorganisme penyebab serta
penggunaan antibiotik yang tepat dan adekuat.
Berdasarkan Infectious Diseases Society of America/ American Thoracic
Society (IDSA/ATS), angka kematian penderita PK < 5% pada penderita rawat
jalan dan mencapai 20% pada penderita rawat inap. Angka mortalitas PK
dilaporkan meningkat sesuai dengan penilaian keparahan derajat penyakit pada

saat pasien masuk dengan diagnosis PK.

Universitas Sumatera Utara

Menurut British Thoracic Society (BTS), terdapat beberapa parameter
gambaran luaran (outcome) pada PK yaitu mortalitas, jumlah rawat inap, jumlah
rawat intensif / ICU, kegagalan terapi, efek samping obat, resistensi terapi
antibiotik, lama rawat inap, jumlah angka rawat inap kembali setelah 30 hari,
dapat melakukan aktivitas kembali, kepuasan pasien, serta biaya kesehatan yang
dikeluarkan.
2.3

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Mortalitas PK
Pasien PK yang tidak mengalami perbaikan kondisi setelah diberikan

penatalaksanaan awal mempunyai prognosis yang lebih buruk dan sering menjadi
penyebab kejadian mortalitas PK. Berbagai keadaan yang menyebabkan kondisi
ini antara lain diagnosis yang tidak tepat,

mikroorganisme penyebab yang


atipikal, gram-negatif atau mengalami resistensi terhadap terapi antibiotik, terapi
antibiotik yang tidak adekuat, adanya gangguan sistem imunitas tubuh lokal
(bronkiektasis, obstruksi endobronkhial, aspirasi) maupun sistemik (infeksi HIV,
malignansi, penyakit liver, hipogammaglobulinemia, myeloma), serta sudah
terjadinya komplikasi pulmonal (efusi parapneumoni, efusi pleura, abses paru,
respiratory distress syndrome) ataupun ekstra pulmonal (meningitis, endokarditis,
sepsis, septik arthritis, gagal fungsi organ akibat sepsis).
2.4

CURB-65 dan Mortalitas PK
Pasien PK yang datang pada dokter layanan kesehatan primer maupun

sekunder memberikan gambaran klinis yang luas mulai dari ringan/self-limiting
hingga berat/life-threatening. Hal ini menyebabkan jumlah angka mortalitas PK
yang dilaporkan bervariasi dari tempat yang berbeda. Keputusan dalam
menentukan tempat rawatan merupakan keputusan pertama dan paling penting
dalam penanganan PK, yang akan menentukan tingkat terapi dan biaya kesehatan
yang akan dikeluarkan.
Penilaian awal terhadap derajat penyakit yang hanya berdasarkan

gambaran klinis rutin dapat memberikan gambaran yang tidak tepat terhadap

Universitas Sumatera Utara

kondisi pasien yang sebenarnya. Tidak ada faktor prognostik tunggal yang
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam menentukan prognosis
sehingga timbul beberapa sistem penilaian secara skoring yang diharapkan dapat
membantu dokter dalam menangani pasien PK.
Sistem penilaian secara skoring juga memiliki keterbatasan, sehingga
sistem ini tidak ditujukan untuk menggantikan penilaian rutin melalui gambaran
klinis pasien. Idealnya, penilaian melalui skoring dan gambaran klinis dilakukan
secara bersama. Penilaian melalui skoring yang sudah divalidasi dan dikenal luas
menurut IDSA/ATS adalah PSI dan CURB-65.
Terdapat beberapa perbedaan penting diantara keduanya, PSI sudah diuji
luas pada populasi yang berbeda, namun sistem penilaian ini menggunakan 20
variabel klinis sehingga sulit untuk diterapkan di unit emergensi. Sedangkan
CURB-65,

belum

dilakukan

pengujian

prospektif

seluas

PSI

namun

penggunaannya lebih mudah oleh karena variabel yang digunakan lebih sedikit
dan mudah diingat sehingga dapat diterapkan di unit emergensi.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan
sensitivitas dan spesifitas antara PSI dan CURB-65 dalam menentukan prognosis
pasien PK. Pada penelitian ini sistem penilaian yang digunakan adalah dengan
menggunakan CURB-65, sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa sistem
penilaian ini menggunakan variabel yang lebih sedikit sehingga dapat lebih
mudah diterapkan baik di pelayanan kesehatan primer maupun sekunder.
CURB-65 dikembangkan berdasarkan penelitian prospektif terhadap 1000
pasien PK dari 3 negara: UK, New Zealand, dan Belanda. Penilaian awal derajat
penyakit dengan CURB-65 menggunakan 5 variabel klinis, yaitu : Confusion,
Blood urea nitrogen > 7 mmol/L (> 20 mg/dL), respiratory rate > 30/menit,
tekanan darah (blood pressure) sistolik ( 7mmol/L (20mg/dl),
Respiratory rate >30/menit,
Blood pressure (SBP