PERKEMBANGAN MASJID BESAR KANJENG SEPUH DI TENGAH DINAMIKA PERBEDAAN ALIRAN KEISLAMAN DI SIDAYU TAHUN 1980-2016.
PERKEMBANGAN MASJID BESAR KANJENG SEPUH DI TENGAH DINAMIKA PERBEDAAN ALIRAN KEISLAMAN DI SIDAYU TAHUN
1980-2016 M. SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh:
ANWARI KHOIRUR RIJAL
NIM : A8.22.12.141
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh Ditengah Dinamika Perbedaan Aliran Keislaman Di Sidayu Tahun 1980-2016 M. Mencoba untuk mengungkapkan beberapa permasalahan diantaranya tentang Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Sidayu, Sejarah dan Perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh, dan Hubungan Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan Ormas Yang Mewadahi Aliran Islam Di Sidayu.
Dalam menjawab permasalahan diatas peneliti menggunakan pendekatan historis dengan menerapkan metode penelitian sejarah antara lain Heuristik, Kriktik Sumber, Interpretasi dan Historiografi. Untuk teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori konflik milik Lewis A. Coser dan teori Continuity And Change, yang mana kedua teori ini akan menganalisa segala bentuk konflik yang terjadi dan menguraikan masalah-masalah kesinambungan tentang perubahan-perubahan yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
Adapun hasil akhir dari penelitian ini yakni terurainya sedikit permasalahan yang dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial keagamaan masyarakat Sidayu yang dulunya kental dengan tradisi hindu budha pada akhirnya kemudian teralkulturasi oleh beberapa kebudayaan Islam yang berbeda-beda. Hasil akulturasi kebudayaan Islam tersebut salah satunya adalah adanya Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Dari perbedaan akulturasi budaya Islam yang ada di Sidayu berakibat terjadi konflik-konflik kecil ditengah-tengah masyarakat. Konflik tersebut menjadikan Masjid Besar Kanjeng mengalami perubahan-perubahan yang signifikan baik dari segi fisik maupun non fisik. Akan tetapi, sebagai poros peradaban Islam di Sidayu Masjid Besar Kanjeng Sepuh di bawah pengelolahan masyarakat Sidayu tetap menunjukkan eksistensinya dengan selalu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat Sidayu.
(7)
ABSTRACT
Thesis entitled Development of the Great Mosque Kanjeng Sepuh Amid Differences Flow Dynamics Islamic In Sidayu Year 1980-2016 M. Trying to reveal several issues including on Social Condition Sidayu Religious Society, History and Development of the Great Mosque Kanjeng Sepuh, and the Great Mosque Kanjeng Sepuh Relations with CSOs Rallying stream that Islam In Sidayu.
In answering the above problems researchers used a historical approach by applying methods of historical research, among others Heuristics, Kriktik Sources, Interpretation and Historiography. For the theory used in this thesis is the theory of conflict belongs to Lewis A. Coser and theory Continuity And Change, which both of these theories will analyze all forms of conflict and outlined issues about the sustainability of the changes that occurred in the Great Mosque Kanjeng Sepuh ,
The end result of this study the decomposition of little problems that can be concluded that the social condition of the religious community that was once thick with Sidayu Hindu Buddhist tradition in the end then aculturation by some Islamic cultures are different. Islamic culture acculturation one of them is the Great Mosque Kanjeng Sepuh. Of Islamic acculturation differences that exist in Sidayu result in minor conflicts occurred in the midst of society. The conflict makes the Great Mosque Kanjeng undergo significant changes in terms of both physical and non-physical. However, as the axis of Islamic civilization in the Great Mosque Sidayu Kanjeng Sepuh under pengelolahan Sidayu community continued to show its existence by always providing the best service to the community Sidayu.
(8)
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL………. i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN……….ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING………...iii
HALAMAN PENGESAHAN……….iv
HALAMAN TRANSLITERASI………...v
HALAMAN MOTTO……….vi
HALAMAN PERSEMBAHAN……….vii
HALAMAN ABSTRAK………...viii
KATA PENGANTAR………...x
DAFTAR ISI………..xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah………..1
B. Rumusan Masalah……….3
C. Tujuan Penelitian………...3
D. Kegunaan Penelitian………..4
E. Penelitian Terdahulu………..4
F. Pendekatan dan kerangka Teori………...5
G. Metode penelitian………..7
H. Sistematika Bahasan………..…..12
BAB II :HUBUNGAN SIDAYU DENGAN MATARAM ISLAM A. Sidayu sebagai Daerah Kekuasaan Mataram Islam ...14
B. Para Bupati Sidayu………..21
C. Peninggalan di Sidayu……….24
1. Masjid Jami’………...24
2. Komplek makam Bupati……….28
(9)
BAB III :PERUBAHAN PEMERINTAHAN SIDAYU DARI
KADIPATEN, KAWEDANAN, HINGGA MENJADI
KECAMATAN
A. Sidayu Sebagai Wilayah Kadipaten………33 B. Sidayu Sebagai Wilayah Kawedanan....………..41
C. Akhir Pemerintahan Sidayu……….50
BAB IV : SIDAYU PADA MASA KINI
A. Profil Kecamatan Sidayu………...53 B. Gambaran Umum Kecamatan Sidayu………..55 C. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Sidayu………...63
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………..69
B. Saran………70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sidayu adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, yang letaknya berada di daerah pesisir utara Pulau Jawa. Sebelum menjadi sebuah Kecamatan seperti sekarang, Kecamatan Sidayu adalah sebuah Kadipaten. Sebagai bukti bahwa Sidayu adalah bekas yakni masih adanya sisa-sisa bangunan yang berada di wilayah tersebut dan diperkirakan sudah ada sejak zaman kolonial. Bukti-bukti tersebut diantaranya adalah pintu gerbang dan pendapa keraton, selain itu ada telaga dan sumur sebagai sumber air, Masjid dan Alun-alun yang sampai saat ini masih berfungsi di Sidayu. Dalam sejarahnya, ada sekitar sepuluh orang Bupati yang pernah memerintah di Kadipaten Sidayu.1
Jauh sebelum itu, Sidayu juga telah mempunyai sejarahnya sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Meilink Roelofsz dalam bukunya tentang perdagangan di Asia dan pengaruh Eropa di kepulauan Nusantara antara tahun 1500-1630, yang memberitakan sebagai berikut:
Sidayu situated between Tuban and Grise, was also an agrarian state and feudal in structure. Its coats was a a bad one for landing on and being therefore little suited to trade is possessed no junks or cargo pangajavas. Although the rular had already beeb converted Islam, the population of the surrounding countryside was still largely Hindu. There were no commercial towns in the small agrarian Hindu kingdoms on the eastern tip Java for although these place were abundantly provided with
1Oemar, “Gubernur Belanda Pakai Jalan Kadipaten Sedayu”, Jawa Pos
(Selasa 3 Februari 2015), 32. Sebagaimana yang tertera dalam skripsi berjudul “Sejarah Sidayu Dari Bekas Kadipaten, Kawedanan, Hingga Menjadi Kecamatan Abad Xvi-Xx M” 2016.
(11)
2
foodstuffs, these seem to have been of kind which no trade worth mentioning was carried on.2
Terjemah : Sidayu terletak antara Tuban dan Grise, juga negara agraris dan feodal dalam struktur. mantel nya adalah yang buruk untuk mendarat di dan menjadi karena itu sedikit cocok untuk perdagangan yang dimiliki tidak ada kapal atau pangajavas kargo. Meskipun rular yang sudah Beeb dikonversi Islam, penduduk pedesaan sekitarnya adalah sebagian besar masih Hindu. Tidak ada kota-kota komersial di kerajaan Hindu agraria kecil di timur Jawa tip untuk meskipun tempat tersebut berlimpah disediakan dengan bahan makanan, ini tampaknya telah semacam yang ada perdagangan layak disebut dilakukan pada. (By:Google translate) Berdasarkan keterangan tersebut, diduga Sidayu telah ada sejak masa peralihan dari masa klasik ke masa Islam yang terjadi pada abad-16 M. Wilayah Sidayu berada diantara Tuban dan Gresik, daerahnya merupakan daerah agraris. Dijelaskan juga meskipun para penguasa di Sidayu beragama Islam, tetapi sebagian besar penduduk sekitarnya adalah umat Hindu.
Pada pergantian abad ke -16 atau sekitar tahun 1589, Sidayu pernah menjadi daerah jajahan Kerajaan Surabaya. Pada saat itu Surabaya telah menjadi negara kuat dan dianggap sebagai lawan utama Mataram yang waktu itu masih muda.3 Menurut Artus Gijels (Gubernur Ambon) yang mengunjungi Surabaya pada tahun 1620, raja Surabaya selain mempunyai sekutu, juga mempunyai sejumlah daerah jajahan.4 Daerah-daerah tersebut antara lain Gresik, Jortan, dan Sidayu. Selanjutnya, pada kisaran tahun 1625 wilayah Sidayu beralih status menjadi kekuasaan kerajaan Mataram Islam yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan
2
Meilink Roelofsz, M. A. P. dalamTim Penelitian, Laporan penelitian Kota Masa Pengaruh Eropa: Studi Terhadap Kota Sidayu, Gresik, Jawa Timur (BPKP Pusat Penelitian Arkeologi. 2002), 5.
3
HJ. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung (Yogyakarta:Pustaka Utama Grafiti, 2002), 14.
4
(12)
3
Agung. Hal ini dikarenakan Kerajaan Surabaya telah ditaklukan oleh pasukan Mataram Islam pada tahun 1625 Masehi.5
Saat ini Sidayu berstatus Kecamatan, yang merupakan bagian dari Kabupaten Gresik. Status Sidayu sebagai Kecamatan sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, tanggal 7 Mei 1999.6
Perkembangan Kecamatan Sidayu akhir-akhir ini sudah mulai meningkat. Dimulai dari perkembangan masyarakatnya yang melangkah menuju masyarakat yang maju, perkembangan perekonomian masyarakat, kebudayaan dan berbagai fasilitas umum yang dimiliki seperti sarana pendidikan, sarana peribadatan, dan sebagainya.
Kecamatan Sidayu memiliki berbagai macam fasilitas umum (sesuai yang tersebut diatas) yang diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat. Salah satunya adalah fasilitas peribadatan umat Islam (masjid) yang bernama Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Masjid Besar Kanjeng Sepuh dibangun oleh Bupati pertama Sidayu yaitu Raden Kromowidjojo pada kisaran tahun 1758 M. dengan nama Masjid Jami’ Sidayu.7 Masjid Jami’ Sidayu mempunyai keterikatan kuat dengan sejarah Kadipaten Sidayu. Beberapa bukti fisik maupun non fisik menjadi penanda bahwa Masjid Jami’ Sidayu adalah saksi perjalanan kota tua Sidayu. Salah satu benda fisik peninggalan pemerintahan pada masa Sidayu masih menjadi Kadipaten adalah komplek pemakaman Bupati Sidayu, tombak pusaka
5
Ibid., 118. 6
Yandono, Wawancara, Sidayu, 12 Januari 2017 7
Dukut Imam Widodo, Grissee Tempo Doeloe (Gresik : Pemerintah Kabupaten Gresik, 1994), 249.
(13)
4
Bupati kedelapan Kanjeng Sepuh, keris peninggalan Kanjeng Sepuh yang terdapat pada mimbar Masjid dan lain-lain.
Dilihat dari sejarah dan perkembangan awal Islam di Sidayu, Masjid Jami’ Sidayu tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan umat Islam mulai dari sosial, pendidikan dan lain-lain. Hal itu selaras dengan yang dikemukakan oleh Siti Badriyah bahwa masjid adalah sebutan bagi tempat peribadatan orang Islam. Sebagai tempat peribadatan, peran masjid begitu penting bagi aktivitas keagamaan kaum muslim, baik dalam pengembangan pendidikan maupun syiar keagamaan.8
Terlepas dari konteks tersebut diatas, ada beberapa hal yang belum diketahui banyak khalayak dalam perkembangan Masjid Jami’ Sidayu yang sekarang dikenal dengan sebutan Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Sesuai yang terpapar diatas bahwa Masjid Besar Kanjeng Sepuh adalah masjid tua bekas peninggalan kota tua Sidayu. Sampai saat ini Masjid Besar Kanjeng Sepuh menjadi ikon agama Islam di Sidayu, statusnya yang masih aktif sebagai masjid pusat kecamatan Sidayu menjadikan Masjid Besar Kanjeng Sepuh menjadi tujuan kaum muslimin Sidayu untuk melaksanakan ritual keagamaan baik itu jamaah
maupun i’tikaf. Menurut informasi yang penulis dapat dari sumber lisan dan beberapa sumber tertulis serta cerita tutur yang berkembang ditengah masyarakat Sidayu bahwa dahulu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Sidayu. Bahkan sampai detik ini masih banyak masyarakat Sidayu menyebut masjid tersebut
dengan nama Masjid Jami’ Sidayu.
8
(14)
5
Menurut cerita tutur yang berkembang ditengah masyarakat Sidayu, Sejak awal didirikan masjid yang sekarang bernama Masjid Besar Kanjeng Sepuh tersebut adalah tempat pusat kegiatan umat Islam di Sidayu. Akan tetapi pada perkiraan kurang lebih tahun 1986 terjadi perubahan nama masjid yang awalnya
bernama Masjid Jami’ Sidayu menjadi Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Menurut sedikit cerita tutur dari salah satu pemuda asli Sidayu bahwa ada beberapa hal yang belum diketahui sebagian besar masyarakat Sidayu khususnya tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi pergantian nama masjid tersebut, baik dari faktor internal maupun eksternal. Apabila diamati lebih mendalam ada beberapa konflik kecil yang terjadi di internal masjid sebelum akhirnya konflik tersebut
menjadi cikal bakal awal perubahan nama Masjid Jami’ Sidayu.
Konflik kecil yang terjadi di tengah-tengah perdamaian masyarakat Sidayu tersebut melibatkan dua kelompok Islam yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Lahirnya konflik antara Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah tersebut menyebabkan teruarinya kerukunan umat Islam di Sidayu. Menurut sebagian masyarakat Sidayu hal tersebutlah yang menjadi salah satu dari sekian faktor pemicu digantinya nama Masjid Jami’ Sidayu menjadi Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
Selanjutnya pada tahun 1989 berdiri Pondok Pesantren Al-Furqon di Desa Srowo Kecamatan Sidayu. Pondok Pesantren Al-Furqon tersebut menganut paham Islam Salafi. Sesuai dengan realitas yang terjadi pada zaman ini, aliran Salafi adalah golongan yang ingin mengembalikan kemurnian ajaran agama Islam dengan berpedoman pada Al-Quran dan Assunah. Sehingga aktifitas kaum
(15)
6
Salafi seringkali bertentangan dengan tradisi-tradisi yang ada di Indonesia. Demikian halnya dengan aktifitas Pondok Pesantren Al-Furqon. Pada kisaran tahun 1990an salah satu dari santri penganut aliran Wahabi yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Al-Furqon Sidayu melakukan sebuah penetrasi. Bentuk dari penetrasi tersebut adalah gerakan pemberontakan dengan merusak komplek pemakaman Bupati Sidayu yang berada di sisi belakang Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Hal tersebut sempat memancing seluruh lapisan masyarakat Sidayu khususnya warga Nahdliyin dikarenakan masjid dan kompleks pemakaman Bupati tersebut adalah cagar budaya Sidayu. Selama bertahun-tahun masyarakat Sidayu senantiasa merawat dan menjaga situs tersebut guna menghormati jasa pendahulu Sidayu.
Dari sedikit pemaparan di atas itulah, penulis termotivasi untuk melakukan
penelitian lapangan dengan mengangkat judul “Perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh Di tengah Dinamika Perbedaan Aliran Keislaman Di Sidayu” guna memperoleh pengetahuan baru tentang sejarah Masjid Besar Kanjeng Sepuh dan siklus perubahan yang dialami masyarakat Islam di wilayah Sidayu.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan Latar belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah ini hanya difokuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial keagamaan masyarakat di Sidayu?
(16)
7
3. Bagaimana hubungan antara Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan kelompok-kelompok keagamaan Islam Di Sidayu?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi masyarakat Islam di Sidayu hingga dewasa ini. 2. Mengetahui sejarah dan perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
3. Mengetahui hubungani antara Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan kelompok-kelompok keagamaan Islam yang ada di Sidayu.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu aspek teoritis dan aspek praktis, adapun penjelasan tentang kedua aspek tersebut sebagaimana berikut:
1. Manfaat Teoristis
Untuk menganalisis perubahan-perubahan sosial, tata kelakuan yang berbeda masa dan pemikiran dengan kebudayaan yang sama dari waktu kewaktu. selain itu juga diharapkan dapat dijadikan salah satu informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya perubahan kepribadian sejarah di Jawa, sekaligus sumbangan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah dan kebudayaan islam.
(17)
8
2. Manfaat praktis
Skripsi ini juga dikerjakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu progam studi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
E. Penelitian Terdahulu
Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan mencari karya-karya terdahulu guna menghindari kesamaan penulisan. Penelitian tentang Masjid Besar Kanjeng Sepuh sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, akan tetapi hanya menitikberatkan penelitiannya pada konteks arsitekturnya. Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan Masjid Besar Kanjeng Sepuh sebagai berikut:
1. Skripsi : Vivi khusniyah (2009), Prasasti Pada Situs Makam dan Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu Gresik (Studi Analisis Kronologi) membahas mengenai sejarah dan situs- situs yang terdapat pada Makam dan Masjid Besar Kanjeng Sepuh dalam studi kronologinya.9
2. Skripsi :Wahyu Dwi Susilo (2005), Peranan Kanjeng Sepuh Adipati Soeryo Diningrat Dalam Menegakkan Agama Islam Di Sidayu. Dalam kripsi ini membahas tentang peran salah satu tokoh agama pada masa sidayu masih menjadi Kadipaten, yang mencakup bidang agama, politik dan sosial kemasyarakatan.10
9
Vivi Khusniyah, Prasasti Pada Situs Makam dan Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu Gresik (Studi Analisis Kronologi) (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009).
10
Wahyu Dwi Susilo, Peranan Kanjeng Sepuh Adipati Soeryo Diningrat Dalam Menegakkan Agama Islam Di Sidayu (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005).
(18)
9
3. Skripsi : Muhammad Ulumudin (2003), Sejarah Perkembangan Bangunan Masjid Jamik Gresik Abad XV-XXI. Dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana perkembangan Masjid Jamik serta kondisi kekiniannya, yang tergolong sebagai Masjid kunci dari perkembangan religius kota Gresik sebagai kota santri.11
4. Skripsi :Maulana Yusuf (1996), Yayasan Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh (Studi Tentang Sejarah dan Aktivitasnya). Skripsi ini membahas tentang sejarah Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh (TPKS) sebagai lembaga pendidikan formal di Sidayu yang memakai nama Kanjeng Sepuh sebagai nama lembaganya. Kemudian upaya TPKS dalam mengembangkan pendidikan dan aktifitas-aktifas lembaga pendidikan TPKS.12
Berdasarkan penelitian yang sudah ada kiranya ada perbedaan yang jelas antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang saya tulis. Penelitian terdahulu mempunyai fokus yang berbeda-beda dalam aspek kajiannya. Sedangkan saya akan melakukan penelitian tentang Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan menyajikan kronologi yang berbeda dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan beberapa sejarawan sebelumnya, yaitu proses perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh dan hubungannya dengan beberapa aliran keislaman di Sidayu.
11
Muhammad Ulumudin, Sejarah Perkembangan Bangunan Masjid Jamik Gresik Abad XV-XXI (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003).
12
Maulana Yusuf , Yayasan Taman Pendidikan Kanjeng Sepuh (Studi Tentang Sejarah dan Aktivitasnya) (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1996).
(19)
10
F. Pendekatan dan Kerangka Teori
1. Pendekatan Sosiologis
Secara etimologi kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata Socius yang berarti teman dan Logos yang berarti berkata atau teman bicara. Jadi sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat13 . Sedangkan secara terminologi maka sosiologi mengandung pengertian-pengertian sebagai berikut:
a. Sosiologi adalah suatu disiplin ilmu yang luas dan mencakup berbagai hal,dan ada banyak jenis sosiologi yang mempelejari sesuatu yang berbeda dengan tujuan yang berbeda-beda.14
b. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan,yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun non formal, baik statis maupun dinamis.15
Pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang paling tepat untuk dapat memahami fenomena, pola dan gerak-gerik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Sidayu. Berawal dari penyelidikan dan pemahaman yang mendalam dari struktur-struktur yang terdapat pada masyarakat dan lingkungan Masjid Besar Kanjeng Sepuh Sidayu, diharapkan pendekatan sosiologis mempunyai kontribusi yang besar dalam menjawab fenomena-fenomena yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
13
Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat (Lampung:Pustaka Jaya, 1995), 2 14
Stepen K Sanderson, Terj, Hotman M.Siahaan, Sosiologi Makro (Jakarta:Raja Grapindo Persada 1995), 2.
15
Maijor Polak, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas,Ikhtiar Baru Van Hoeve,cet-12 (Jakarta:1991), 7
(20)
11
2. Pendekatan Historis
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan pendekatan historis yang bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan mengenai sejarah perubahan-perubahan yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Melalui pendekatan historis ini diharapkan bisa mengungkap dan menjelaskan apa saja yang melatarbelakangi peristiwa perubahan tersebut, baik dalam aspek sosial, budaya maupun politik.
3. Teori Continuity and Change dan Teori Konflik
Para peneliti selalu menggunakan kerangka teori sebagai dasar karya ilmiahnya, tanpa teori karya tersebut tidak bisa menjadi bahan kajian yang layak. Teori menurut Kerlinger adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang terjadi.16
Teori adalah suatu prinsip umum yang mengaitkan aspek-aspek suatu realitas.17 Sedangkan fungsi teori adalah menerangkan, meramalkan dan menemukan fakta-fakta secara sistematis.
Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Continuity and Change. Teori tersebut digunakan oleh Zamakhsyari Dlofier dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren. Teori tersebut menguraikan secara rinci masalah-masalah kesinambungan ditengah-tengah perubahan. Perubahan dapat terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan
16
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), 41. 17
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti 2003), 244.
(21)
12
dorongan kuat yang telah ada dan baik sebelumnya. Jika tradisi baru yang datang tidak mempunyai kekuatan dan daya dorong yang kuat, maka yang tidak akan ada perubahan. Akan tetapi perubahan yang terjadi tidak akan serta merta terputus begitu saja dari keilmuan yang lama yang telah ada sebelumnya. Masih ada kesinambungan yang berkelanjutan dengan tradisi keilmuan yang lama, meskipun telah muncul paradigma baru. Dengan demikian proses kesinambungan dan perubahan masih tetap terlihat dalam ilmu-ilmu agama, pola-pola perbedaan yang ada satu priode ke priode brikutnya.18 Dari sedikit penjelasan diatas, teori tersebut bisa dan layak digunakan untuk menguraikan secara rinci masalah-masalah kesinambungan ditengah-tengah perubahan yang terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh Sidayu.
Penelitian ini juga menggunakan teori konflik yang dicetuskan oleh Lewis A. Coser. Coser menitik beratkan konsekuensi-konsekuensi terjadinya pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Menurut pandangan Coser, konflik dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti. Oleh sebab itu konflik merupakan bagian dari kehidupan sosial yang tidak dapat ditawar. Teorinya memandang konflik dapat memberi keuntungan pada masyarakat luas tempat konflik tersebut terjadi. Konflik justru membuka peluang integrasi antar kelompok.19
18
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Yogyakarta:LP3ES, 1996), 177. 19
Lewis Coser, The Function Of Social Conflict (New York: Free Prees, 1956), 151-210. Dikutip dari buku yang ditulis Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), 55.
(22)
13
Konflik adalah suatu realitas kehidupan sosial masyarakat dimana setiap perkembangan suatu wilayah atau kelompok diperlukan adanya konflik untuk menuju perubahan, karena tidak ada perubahan tanpa adanya konflik. Teori konflik adalah salah satu prespektif di dalam ilmu sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna untuk memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.20
Teori konflik tersebut akan digunakan penulis sebagai tambahan landasan guna menganalisa beberapa fenomena yang mungkin bisa dikatan sebagai konflik. Munculnya sebuah konflik diakibatkan adanya perbedaan dan keberagamaan kepentingan. Maka dapat diambil sebuah analisa bahwa yang terdapat di negara Indonesia juga tak luput dari konflik sosial. dalam sebuah ajaran atau keberagaman agama, memunculkan sebuah kelompok-kelompok yang satu sama lain saling bersinggungan. Konflik dari setiap tindakan-tindakan yang terjadi dan konflik tersebut terbagi secara horisontal dan vertikal. Konflik horisontal adalah konflik yang berkembang antara anggota kelompok, seperti konflik yang terjadi antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan juga negara atau pemerintahan. Pada umumnya konflik-konflik ini muncul akibat ketidakpuasan masyarakat dengan kinerja
20
Elly M. Setiad dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Faktadan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 364.
(23)
14
pemerintahan. Terdapat banyak konflik yang terjadi di kehidupan masyarakat, dari hal-hal yang bersifat sederhana yang mengakibatkan kerusuhan, dendam sosial, dan ketidakrukunan antar umat beragama.
Pengetahuan yang diperoleh dengan pendekatan ilmiah diperoleh melalui penelitian ilmiah dan dibangun atas teori tertentu.Teori itu berkembang atas teori tertentu.Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan data Empiris.Teori itu dapat diuji dalam hal keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya jika penelitian ulang dilakukan merurut langkah-langkah yang sama menurut kondisi yang sama akan diperoleh hasil yang konsisten, yaitu hasil yang sama atau hampir sama dengan hasil terdahulu langkah-langkah penelitian yang teratur dan terkontrol itu telah terpolahkan dan sampai batas tertentu, diakui umum. Pendekatan ilmiah akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hamper setiap orang, karena pendekatan tersebut tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias dan perasan. Cara penyimpulan bukan subyektif tapi obyektif.21
1. Metode Penelitian
Metode merupakan cara atau prosedur untuk mendapatkan objek.22 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yaitu proses menguji menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan pada masa lampau.23 Agar mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan mendalam. Untuk memperoleh informasi sejarah yang berkaitan dengan judul di atas maka
21
Sumadi Suryabrata, MetodePenelitian ( Jakarta: PT Grafindo Persada,1998), 5-6. 22
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 11. 23
(24)
15
dibutuhkan sebuah data kualitatif yang berdasarkan data dan fakta di lapangan. Untuk itu Diperlukan tahapan-tahapan penelitian seperti mencari referensi buku yang berhubungan dengan sejarah Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
Dalam melakukan penelitian sesorang dapat menggunakan berbagai metode, dan sejalan dengan rancangan penelitian yang digunakan dapat bermacam-macam. Keputusan mengenai rancangan apa yang akan dipakai akan tergantung pada tujuan penelitian, sifat masalah yang akan digarap dan berbagai alternatif yang akan digunakan. Berdasarkan atas sifat-sifat masalahnya itu penelitian ini dapat digolongkan menjadi penelitian historis. Tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta memperoleh kesimpulan yang kuat.24 Maka dari itu langkah-langkah yang saya lakukan adalah:
1. Heuristik
Heuristik Berasal dari bahasa Yunani Heuriskan yang artinya mengumpulkan atau mengumpulkan sumber. Sumber yang dimaksud dalam kajian sejarah ini adalah sejumlah materi sejarah yang tersebar dan teridentifikasi, seperti: catatan, tradisi lisan, runtuhan atau bekas-bekas bangunan prehistori dan inskripsi kuno.25
Heuristik adalah suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Sejarah tanpa sumber maka tidak bisa bicara. Maka sumber dalam penelitian sejarah
24
Ibid., 29 25
(25)
16
merupakan hal yang paling utama yang akan menentukan bagaimana aktualitas masa lalu manusia bisa dipahami oleh orang lain.26
Peneliti sejarah dan sejarawan dalam mengumpulkan sumber atau jejak sejarah itu seperti menambang emas yaitu dari biji emas yang bercampur lumpur dan pasir sehingga biji emas tidak kelihatan. Seperti itulah pekerjaan peneliti dan sejarawan seperti menambang emas yang membutuhkan ketelitian dan ketelatenan.
Sumber merupakan bahan terpenting dalam proses penelitian atau penulisan sejarah. Karena tanpa sumber seorang peneliti atau sejarawan tidak akan mampu mengungkap fakta sejarah, dengan kata lain sejarawan harus terlebih dahulu memiliki data sebagai alat bantu.27
Maka dari itu dari penjelasan diatas penulis menggunakan sumber yang akan dijelaskan sebagai brikut:
a. Sumber tertulis, yakni data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan berbagai macam buku, majalah dan cetakan-cetakan yang mempunyai kesinambungan dengan judul skripsi ini. Kemudian arsip-arsip takmir masjid, Kecamatan, atau arsip pribadi yang ada hubunganya dengan skripsi ini. Yang terakhir adalah surat-surat pernyataan kesaksian peristiwa oleh pelaku atau saksi sejarah.
b. Sumber lisan, dalam judul skripsi ini, sumberlisan dapat didapat melalui beberapa tokoh masyarakat, pengurus takmir masjid, pelaku sejarah yang
26
Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah I (Surabaya: Sunan Ampel Surabaya, 2011), 16. 27
(26)
17
masih hidup dari tiga penganut aliran (NU, Muhammadiyah dan Salafi), dan sesepuh masyarakat Sidayu.
c. Sumber Artefak, yakni dengan mengamati peninggalan-peninggalan, seperti bangunan-bangunan, ukiran, atau sebagainya yang bisa digunakan menjadi bukti sebagai pendukung penelitian seperti prasasti yang tertulis di komplek makam Bupati Sidayu.
Dari ketiga sumber diatas, pada tahapan pengumpulan sumber ini peneliti memprioritaskan sumber kepustakaan dan arsip-arsip dan lisan. Pengumpulan data ini bisa dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah kesaksian seseorang yang melihat dan merasakan langsung kejadian tersebut. Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian seseorang yang tidak melihat kejadian tersebut namun masih bisa merasakan akibat dari kejadian tersebut. Sumber primer dan sekunder ini bisa saja berupa buku-buku, dokumen maupun rekaman dimana buku dan dokumen tersebut hasil karya saksi mata yang dituangkan dalam tulisan. 2. Kritik Sumber
Sebuah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber dengan cara melakukan kritik atau kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektifitas suatu kejadian.
Bekal utama seorang peneliti sejarah adalah sifat tidak percaya terhadap semua sumber sejarah.28 Peneliti harus lebih dulu mempunyai prasangka yang jelek atau ketidak percayaan terhadap sumber sejarah yag tinggi. Bukan maksud tidak mempercayai sumber tapi kebenaran sumber harus diuji terlebih
28
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 18.
(27)
18
dahulu dan setelah hasilnya terbukti benar maka sejarawan baru percaya kebenaran sumber.29
a. Kritik Intern
Kritik intern adalah kritik sumber yang hanya dapat diterapakan apabila kita sedang menghadapi penulisan didalam dokumen-dokumen, inskripsi-inskripsi pada monumen-monumen, mata uang, medali-medali atau stempel-stempel yang berguna untuk meneliti keaslian isi dokumen, rekaman atau tulisan tersebut. Kritik intern ini lebih menekankan pada isi dari sebuah dokumen sejarah.Caranya adalah dengan membadingkan dokumen satu dengan dokumen yang lainnya.30
Kemudian penulis akan membandingkan isi dari rekaman dari saksi mata satu dengan yang lain. Hal ini dilakukan untuk menyingkronkan urutan kejadian sehingga tidak ada pembahasan yang terputus. Dan jika ada satu kejadian yang berbeda antara penjelasan saksi mata maka akan dilakukan wawancara dengan saksi mata yang lain. Sehingga penulis akan mengambil pendapat yang paling banyak.
b. Kritik ekstern
Kritik ekstern adalah penentuan asli atau tidaknya suatu sumber atau dokumen31. Idealnya seseorang menemukan sumber yang asli bukan rangkapnya apa lagi foto kopinya. Apa lagi jaman sekarang kadang-kadang sulit membedakan asli atau bukan. Oleh karena itu peneliti juga akan mengkaji
29
Ibid., 11. 30
Ibid., 115. 31
(28)
19
betul dokumen-dokumen yang didapat. hal ini dilakukan supaya mendapatkan sumber yang autentik.
Dalam hal ini penulis telah melakukan pembandingan sumber yang berupa arsip dan catatan-catatan pribadi dengan sumber-sumber lain salah satunya buku-buku yang menjadi hasil penelitian orang lain sebelumnya seperti Gresse Tempoe Doloe dan sebagainya. Kemudian penulis berusaha menggali informasi melaluli wawancara guna menguatkan sumber-sumber tetulis tersebut.
3. Interpretasi
Interpretasi adalah upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang sumber-sumber yang didapatkan, apakah sumber-sumber yang didapatkan dan yang telah diuji otentisitasnya terdapat saling hubungan atau satu dengan yang lain. Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang telah didapatkan.32 Penulis akan menginterpretasikan atau menafsirkan sumber-sumber yang telah didapat dengan membandingkan sumber satu dengan sumber yang lain. Baik sumber itu berupa artefak, wawancara maupun berupa dokumen-dokumen dan beberapa buku.
4. Historiografi
Historiografi adalah rekonstruksi imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses pengumpulan data.
32
(29)
20
Layaknya penelitian ilmiah dan akan dilihat apakah penelitian itu berlangsung sesuai dengan prosedur yang digunakan atau tidak.33
2. Sistematika Bahasan
Untuk mempermudah penulisan skripsi, maka susunan skripsi dibagi menjadi beberapa bab sekaligus ruang lingkupnya.
Bab pertama berisi pendahuluan. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitianan terdahulu, metode penelitian, sistematika pmbahasan, dan daftar pustaka.
Bab kedua berisi tentang kondisi sosial keagamaan masyarakat Sidayu. Pada bab ini diuaraikan mengenai sejarah Sidayu, kondisi keagamaan masyarakat Sidayu dan organisasi atau kelompok-kelompok keislaman di Sidayu.
Bab ketiga berisi tentang perkembangan Masjid Besar Kanjeng Sepuh, mulai dari sejarahnya, perkembangannya dan peralihan nama masjid.
Bab keempat berisikan tentang hubungan Masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan kelompok-kelompok keagamaan Islam di Sidayu, peran Masjid Besar Kanjeng Sepuh dalam upaya menjadi jembatan penghubung antar tersebut serta menguraikan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi antara masjid Besar Kanjeng Sepuh dengan aliran Islam tersebut.
33
(30)
21
Bab kelima berisi tentang penutup. Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari jawaban rumusan masalah beserta analisa dari permasalahan yang diteliti sekaligus saran.
(31)
BAB II
KONDISI SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT SIDAYU
A. Sejarah Singkat Sidayu
Sidayu sekarang adalah sebuah kecamatan kecil bagian dari Kabupaten Gresik yang menyandang sebutan kota santri, Kecamatan Sidayu dulunya adalah sebuah Kadipaten pada zaman Belanda. Nama Sidayu ada sejak masa peralihan dari masa klasik kemasa Islam abad 16 Masehi sebagai sebuah daerah feodal yang terletak antara Tuban dan Gresik. Sidayu adalah kota kecil yang memiliki perjalanan sejarah cukup panjang dan memiliki kedudukan serta berbagai fungsi, yakni berkedudukan sebagai ibu kota (kadipaten) atau tempat pusat pemerintahan. Kedudukan Sidayu sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan politik secara administratif merupakan daerah setingkat kawedanan di bawah karesidenan Gresik yang berlangsung pada masa kekuasaan VOC di Indonesia. Pada masa itu bersamaan pula dengan masa kekuasaan Kerajaan Mataram II (Islam) sekitar tahun 1700-an.
Sidayu sebagai wilayah yang berada di pantai utara Jawa menjadi menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram. Namun sebelum menjadi wilayah kekuasaan Mataram, menurut Artus Gijeels tahun 1622, Sidayu ada dibawah kekuasaan kerajaan Surabaya.33
Pada abad ke-17 hegemoni di Jawa Tengah dan Jawa Timur jatuh ketangan Raja-raja Mataram termasuk kerajaan Bandar dan kerajaan-kerajaan di sepanjang wilayah pantai utara Jawa direbut Mataram atau terpaksa mengakui
33
(32)
23
raja-raja Mataram.34 Pada tahun 1613 M. mataram mengadakan ekspansi militer ke daerah sekitar Surabaya sampai tahun 1616 M. Raja Surabaya masih belum menyerah dan pada akhirnya tahun 1625 setelah tentara Mataram II bergerak melalui Japanan (Mojokerto) Surabaya yang dibawah pimpinan Tumenggung Mangun Oneng menyerah kalah pada panglima tentara Mataram. Setelah Raja Mataram mengambil alih Surabaya secara ototmatis Sidayu beralih dibawah kekuasaan Sultan Agung (Raja Mataram II).35
Pada masa itu Sidayu sebagai tempat Kadipaten atau ibukota dipimpin oleh seorang Bupati. Periodesasi kepemimpinan Bupati Sidayu sebanyak sepuluh periode, yakni dimulai tahun 1737 dan berakhir tahun 1910. Berikut ini adalah nama-nama Bupati yang pernah memerintah di Sidayu sebagai berikut :
1. Bupati Raden Kromowidjojo atau Tumenggung Suradiningrat I (1737-1745) 2. Bupati Abdul Jamil atau Tumenggung Suradiningrat II (1745-1770)
3. Bupati Tawang Alun atau Raden Kanjeng Suwargo (1770-1780)
4. Bupati Panji Dewa Kusuma atau Tumenggung Suradiningrat IV (1780-1798) 5. Bupati Banteng atau Raden Aryo Suryadiningrat I (1798-1810)
6. Bupati Kanjeng Kudus (1810-1815)
7. Bupati Kanjeng Djoko atau Raden Aryo Suryadiningrat II (1815-1816) 8. Bupati Kanjeng Sepuh atau Raden Adipati Aryo Suryadiningrat III
(1817-1855)
9. Bupati Kanjeng Pangeran atau Raden Adipati Aryo Suryadiningrat IV (1855-1884)
34
HJ. De Graff, Puncak Kekuasaan Mataram (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2002), 22. 35
(33)
24
10.Bupati Raden Badrun (1884-1910).36
Peninggalan-peninggalan sebagai bukti adanya Kadipaten Sidayu adalah:
1. Masjid Jami’
Masjid Jami’ berada di jalan lama Daendels (Anyer Panarukan berhadapan dengan alun-alun kota.
2. Komplek Makam Bupati
Kompleks makam para Bupati Sidayu terletak di belakang Masjid Jami’ makamnya diberi cungkup dan inskripsi berhuruf Arab, Jawa dan Latin yang berbahasa Melayu, Jawa dan Belanda. Seperti inskripsi pada makam Bupati Kanjeng Sepuh tertulis:
Gambar artefak pada dinding komplek makam Bupati Sidayu.
36
Moh. Tohir, Sejarah Singkat Kanjeng Sepuh Adipati Surya Diningrat Sidayu 1784-1856 (Gresik:Catatan Kepustakaan, Arsip Masjid Besar Kanjeng Sepuh Sidayu, 2007), 25
(34)
25
- Bahwa ini Kanjeng Raden Adipati Suryadiingrat Negeri Sidayu.
- yang mendhohirkan Am tuan kalian nag ada di Kudus ketika tahun Aulanda 1784 injawa 1715.
- Adapun yang diberhentikan dengan sehat alatiat alakal hamdu wasyukru di dalamnya tahun Wulanda 1808 injawa 1739.
- Kanjeng Raden Adipati Arya Surya Diningraat ing panggeri Sidajeng. - Rikala jumeneng Bupati Sidajeng ing tahun Wulandi 1817 ing tahun jawi
1744 lumayahipun panjenengan.
- Bupati dateng kang kalian kersanipun pribadi ingsasi januari tahun 1855 utawi Rabiul Akhir tahun 1783.
- Dinten paeginipun ing malam ahad wancine jam 11 saking tanggal kaping 9 sasi Maret tahun 1856.
- Utawitinggal sasi Rejeb tahun ba’ werso jawi 1784 dan 1262 H.
- Rikala yosa nalika penghulu Muhammad Qasim Sinangkalan agniya’ panika.
- 1833 gunane aponggo wedhae rupo 1893 Terjemah inskripsi:
- Bahwa Kanjeng sepuh Adipati Surya Diningrat adalah seorang Bupati daerah Sidayu.
- Dilahirkan oleh tuanmu ”Ratu Anom“ di daerah Kudus tahun Belanda 1784 jawa 1710.
- Adapun dipindahkan ke Sidayu dalam keadaan sehat walafiat puji syukur pada tuhan ketika tahun Belanda 1808 Jawa 1734.
- Kanjeng Raden Adipati Arya Suryadiningrat di Negeri Sidayu.
- Diangkat sebagai Bupati Sidayu di tahun Belanda 1817 tahun Jawa 1744. - Bupati yang akan datang yang merupakan putranya sendiri yang
(35)
26
- Hari Wafatnya di malam minggu tepatnya jam 11 dari tanggal 9 bulan Maret tahun 1856.
- Atau tanggal 2 bulan Rejeb tahun ba’ “tahun Jawa” 1784 dan 1272 H. - (diskripsi) ini dibuat oleh pada masa pengulu Muhammad Qasim yang
kaya itu
- 1833 Kegunaan aponggo wedane Rupa 1893.37
Di sebelah barat makam kanjeng sepuh terdapat juga makam Kanjeng Pangeran beseta istri. Dapat dilihat bahwa Candrasengkala yang terdapat di makam Bupati Kanjeng Sepuh yang berbunyi “1833 Gunane Aponggo Wedahe Rupo 1893” yang bermakna Gunane =3 Aponggo=3 Wedahe=8 dan Rupo=1 ini berarti bahwa pembuatan tulisan tersebut dimulai tahun 1833-1893, Jadi pembuatanya seabad dengan Kanjeng Sepuh. Di belakang mihrab masjid terdapat rubuk kuno atau jam batu untuk menunjukan waktu sholat dari bantuan cahaya matahari dan sekarang sudah dirobohkan. Di sebelah paling barat terdapat sumur tua yang disertai dengan saluran air pengisi kolam wudlu.38
3. Alun-Alun Sidayu, Pasar dan Bekas Kantor Pemerintahan
Alun-alun merupakan tempat yang datar dan luas, Alun-alun Sidayu merupakan bekas peninggalan kota Kadipaten. Dalam buku yang ditulis Dukut Imam Widodo dikatakan bahwa pada masa Pemerintahan Belanda alun-alun dipakai oleh para prajurit untuk latihan, selain itu Alun-alun
37
Libra Hari Inagurasi,Laporan Penelitian: Kota Masa Pengaruh Eropa : Studi Terhadap Kota Sidayu, Gresik, Jawa Timur (Jakarta: Badan Pengembembangan Kebudayaan Dan Pariwisata Pusat Arkeologi, 2002),14
38
(36)
27
digunakan tempat para Bupati Sidayu untuk menerima penghargaan dan penghormatan. Di alun- alun itu pula banyak saudagar Kompeni Belanda berjalan-jalan di sekitarnya. Di sekitar alun-alun terdapat rumah-rumah Belanda, yang dikelilingi pohon-pohon dan didepanya terdapat kantor Kabupaten serta pasar masyarakat Sidayu. Pada masa itu pula belum ada mobil, terdapat kereta-kereta beroda empat yang ditarik oleh empat ekor kuda dan para bangsawan Sidayu atau para serdadu kompeni bergaya naik kuda. Kemudian di sudut alun-alun ditempatkan gardu-gardu penjagaan, maka para prajurit Sidayu dengan bersenjatakan tombak atau pedang terhunus akan mengamati setiap pejalan kaki yang lewat. Itulah gambaran Sidayu semasa abad 19 adalah sebuah ibu kota kabupaten dan setelah bupati memerintah selama 4 abad maka Sidayu diubah kedudukannya menjadi sebuah Kawedanan.39
Kantor Kawedanan didirikan setelah Sidayu menjadi Kadipaten yang dibangun di sebelah timur alun-alun dan bangunan menghadap ke barat atau ke arah alun-alun, bangunan tersebut antara alun-alun Sidayu. Bangunan tersebut dirancang untuk perkantoran dan tetap dipergunakan meskipun istilah kawedanan berubah menjadi pembantu Bupati. Setelah tidak ada lagi jabatan pembantu Bupati, bangunan kantor untuk beberapa tahun kosong tidak dipergunakan lagi.40
39
Dukut Imam Widodo, Grisse Tempo Doloe (Gresik:Pemerintah Kabupaten Gresik, 2004). 349. 40
(37)
28
Dari sekilas sejarah Sidayu diatas dapat diketahui salah satu bukti peninggalan pemerintahan Sidayu adalah tempat peribadatan umat Islam berupa Masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid Besar Kanjeng Sepuh.
Setelah masa pemerintahan Raden Badrun berakhirlah kota Sidayu sebagai ibukota Kadipaten dan pemerintahan Belanda menjadikan Sidayu hanya sebagai
“Countelir” (pemerintahan perwakilan) dengan alasan untuk mengatasi kekacauan masa Raden Badrun yang dipindah ke Jombang. Sementara itu dalam perkembangan waktu dari status countelir wilayah Sidayu dirubah namanya menjadi kota Kawedanan atau istilah sebagai pembantu bupati. Kemudian status ini berakhir ketika kebijaksanaan otonomi daerah diberlakukan tahun 2001 dan kini sidayu hanya sebagai kota Kecamatan.41
Sidayu berada di wilayah pantai Utara Pulau Jawa yang masih termasuk kedalam wilayah Kabupaten Gresik, seperti yang diketahui banyak terdapat peninggalan-peninggalan bernuansa Agama Islam yang berada di wilayah Kabupaten Gresik, seperti Makam Sunan Giri, Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, dan juga Makam Siti Fatimah Binti Maimun, yang merupakan makam Islam pertama yang ditemukan. Dengan banyaknya peninggalan-peninggalan bernuansa Islam di Kabupaten Gresik, menyebabkan wilayah Kabupaten Gresik merupakan wilayah yang banyak mendapatkan pengaruh Agama Islam.
Adanya pengaruh Agama Islam di Kabupaten Gresik, juga sampai ke wilayah Sidayu. Hal tersebut dapat diketahui dengan adanya Makam dari Kanjeng Sepuh, seorang Ulama’ yang juga merupakan Bupati ke-8 Kadipaten Sidayu. Kanjeng
41
Subali, Misteri Kabupaten Sidayu, Warta Giri, 42, (Februari, 2003), 3. Sebagaimana yang tertera dalam skripsi berjudul “Peranan Adipati Suryadingrat Dalam Menegakkan Islam Di Sidayu” 2005.
(38)
29
Sepuh merupakan bupati dan juga Ulama’ yang disegani pada masanya, bahkan sampai sekarang makam dari Kanjeng Sepuh masih ramai dikunjungi oleh para peziarah.
Sebagai daerah yang mendapat pengaruh Agama Islam, masyarakat Sidayu mayoritas suku Jawa.42 Tentunya di wilayah Sidayu terdapat banyak budaya-budaya yang bernuansa Islam yang telah berakulturasi dengan budaya-budaya Jawa, seperti Ziarah Kubur, Tahlilan, Yasinan, Slametan, Sedekah Bumi, dan lain-lain. Dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, tentunya aktivitas budaya keagamaan tersebut terus berjalan bahkan sampai sekarang. Banyaknya masjid dan musholla yang tersebar di berbagai desa, dan juga adanya beberapa pondok pesantren yang tersebar di berbagai tempat adalah beberapa faktor pendukungnya antara lain Pondok Pesantren Al-Munawwar, Pondok Pesantren Qiyamul Manar, dan Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan. Berikut ini adalah data yang menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Sidayu beragama Islam dan banyaknya masjid dan musholla di Sidayu.
Tabel Jumlah pemeluk agama dan tempat ibadah tahun 2015 Sumber: Kecamatan Sidayu dalam angka
42
Arifianto, Statistik Daerah Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik 2015 (BPS Kabupaten Gresik: 2015), 10.
(39)
30
Sebagai daerah dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, tentunya para penduduknya juga dikategorikan menurut organisasi keagamaan Islam yang mereka ikuti, seperti Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, ataupun Wahabi. Nahdhotul Ulama’ dan Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang banyak diikuti oleh sebagian besar penduduk di Sidayu, penyebaran keduanya juga berimbang, sedangkan untuk penganut faham Salafi, merupakan kelompok keagamaan minoritas yang ada di Sidayu, yang penyebarannya hanya terkonsentrasi di wilayah Desa Sedagaran, Serowo dan sekitarnya di daerah utara Kecamatan Sidayu.
B. Kehidupan Masyarakat Sidayu
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.43 Agama adalah simbol yang melambangkan nilai-nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama juga sangat memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama
43
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung : Mizan, 2001), 196.
(40)
31
pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama hanya sebagai kolektivitas semata tidak akan mendapat tempat.44
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya yang ada di Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu „anil hawa, in hua illa wahyu yuha), Artinya : “yang diucapkan itu bukan berasal dari hawa nafsu melainkan wahyu yang diwahyukan”, dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru „alaaina dan seterusnya.45
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam). Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna atau corak budaya lokal. Tidak seperti agama yang lain, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau
44
Ibid., 198. 45
(41)
32
bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.46
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dahulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus dengan budaya Jawa tetapi berisikan ajaran-ajaran Islam.
1. Kondisi Sosial dan Keagamaan
Kehidupan agama pada masyarakat Sidayu masih dipenuhi agama Hindu Budha. Hal ini karena pada abad 13 kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesarannya dengan menguasai jaringan perdagangan di Nusantara sehingga dapat dirasakan pula adanya pengaruh kerajaan terhadap kepercayaan masyarakat yakni Hindu-Budha. Di mana wilayah Sidayu yang merupakan sebelah timur Tuban salah satu pelabuhan pantai pada masa Majapahit masyarakatnya pun banyak menganut agama Hindu-Budha.47
Perlu diketahui bahwa masyarakat dalam agama Hindu dibagi dalam beberapa kasta, yakni terkenal dengan Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan
46
Prof. Dr. Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Toraja, 2003), 127. 47
Mohammad Habib Mustafa, Kebudayaan Islam di Jawa Timur (Yogyakarta: Jendela Grafika, 2001), 133.
(42)
33
Sudra. Kasta Brahmana adalah kastanya para pendeta dan para pendidik, Kasta Ksatria adalah kastanya para raja dan panglima, sedang kasta Waisya adalah kastanya para sadudagar dan tukang-tukang kemudian Sudra adalah kastanya kuli-kuli serta para hamba sahaya, di samping itu ada pula golongan yang terendah yang disebut paria. Paria adalah golongan tukang tandur yakni golongan paling bawah dalam kasta Hindu.48
Pada taraf permulaan masuknya Islam di pesisir pantai utara Jawa, terutama di daerah kekuasaan Majapahit merupakan proses islamisasi yang telah mencapai bentuk kekuasaan politik seperti munculnya Demak. Dalam penyiaran agama Islam di Jawa oleh para muballigh atau dikenal dengan sebutan wali telah menetralisir aktivitasnya dengan menjadikan kota Demak sebagai pusat kegiatannya, setelah masuknya agama Islam yang dibawa para muballigh untuk disebarluaskan dengan cara damai, maka rakyat di tanah Jawa yang tidak kurang 700 tahun lamanya hidup sebagai orang sudra yang dianggap hina telah beralih atau pindah ke agama Islam.49
Masa peralihan yang dimaksudkan dari zaman Hindu ke Islam secara resmi adalah bermula dari para penguasa formal (Raja, Pejabat, Kerajaan) akibatnya sebagian besar rakyat mengikutinya dan Islamnya para penguasa itu pun dapat pula mempengaruhi penguasa-penguasa lainnya untuk memeluk Islam, sehingga Islam dapat berkembang dengan cepat.50
48
Solihin Salam, Sekitar Wali Songo (Yogyakarta: Menara Kudus, 1960), 9-10 49
Ibid., 11. 50
Moh. Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur (Yogyakarta: Jendela Grafika, 2001), 4-5.
(43)
34
Berkembangnya agama Islam tersebut sampai ke pelosok daerah di wilayah Sidayu. Sidayu yang masyarakatnya mayoritas Islam tentunya aktivitas keagamaan di desa-desa diwarnai oleh ajaran Islam atau dapat dikatakan bahwa kondisi wilayah Sidayu merupakan wilayah yang masyarakatnya agamis, hal itu dapat dilihat dari adanya masjid atau musholla sebagai kegiatan keagamaannya, namun pengaruh dari agama Hindu-Budha masih juga mengakar pada mereka.51
Bukti nyata bahwa Sidayu beragama Hindu adalah adanya Patung Dwarapala yang terletak di Desa Mojopuro Wetan yang sekarang sudah dipindahkan ke Trowulan, dimana masa itu Sidayu merupakan sebuah kerajaan yang beribu kota kerajaannya di Lasem52 dan adanya prasasti di Karang Bogem sekitar abad 18-an, sesuai apa yang disampaikan oleh Van Stein Callefels sebagaimana yang termuat dalam Oudheidkundig Versleg 1982. Berikut terjemahan dari prasasti tersebut:
1) Itu hendaknya diketahui (oleh) para menteri di Tirah Arya Songga (dari) Pabeeman, Arya Carita (dari) Purut, Patil, Lajer; hendaknya mengetahui bahwa saya menetap.
2) Kan tanaha pekarangan (milik) Patih Tambak Karang Bogem, yang berlokasi: sebelah selatan berbatas tanah padang (daratan) kering), batas timur memanjang hingga mencapai laut.
51
Husnul Karimi, Wawancara, Sidayu, 28 Desember 2016. 52
Mochammad Hudan, Gressee Tempoe Doloe (Gresik : Pemerintah Kabupaten Gresik, 1994), 129.
(44)
35
3) Batas sebelah barat tebangan hutan pohon demung (bambu?) terus berlanjut (kurang lebih 28.860 m2). Dan tegalannya satu kikil (setengah jung). Itulah luasnya. Hendaknya jangan diganggu-ganggu.
4) Adalah seorang hambakau dari Gresik (seorang) nelayan, berhutang satu kati dua lekas (12.000) bermaksud mengembalikan (menyaur) sedapat-dapatnya, dengan meminta bantuan sesama kawan nelayan; hendaknya (dia ini) dibebaskan (oleh) kesediaan (pemerintahan) Si-
5) Dhayu, hendaknya diusahakan (diberi pengarahan) hal itu dari dalam daerah Galangan wolu agar menyerahkan terasi seberat seribu (apa?) tiap sebidang tambak (dan) semua isi (hasil)-
6) Tambak itu diserahkan kepada saya. Adapaun pedagang, hendaknya dibebaskan (dari) keharusan pajak. Tetapi hendaknya dikenakan pajak. (sebagai tanda) kesetiaan (tanda bukti/bulu bekti).
Halaman atau belakang: Separuh (nya) menurut rata-rata warga di wilayah itu, tertanggal ke-17, bulan delapan. Lembu Jantan Katatang.53
Maka dari itu pengaruh tersebut, sebagian besar dari mereka, ada yang masih memeluk agama Hindu dan Islam, namun Islam dari mereka ada yang disebut dengan Islam kejawen (abangan) yakni letaknya tepat di Sidayu wetan.54
Menurut Koentjoroningrat Islam santri adalah penganut agama Islam di Jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari
53
Ibid., 122-123. 54Bapak H. Rif’an,
(45)
36
agamanya. Sedangkan Islam kajawen adalah percaya pada ajaran keimanan agama Islam tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam misalnya: sholat, puasa, haji, dan sebagainya.55
Perlu diketahui orang yang pertama kali mengislamkan masyarakat Sidayu adalah Raden Yugo, kemudian sekitar tahun 1600-an dari kesultanan Solo telah mengirim Raden Kromowijoyo untuk menjadi Bupati di Sidayu, sekaligus membuat tempat peribadatan (masjid).56
Kehidupan masyarakat Sidayu masih dijumpai pula adanya alam pikiran monoisme yakni mereka percaya antara manusia yang masih hidup dan manusia yang telah mati atau roh-roh halus maupun percaya pada benda-benda yang memiliki kekuatan.57
Menurut Kuntjoroningrat kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit mereka bersikap nerima yakni menyerahkan diri pada takdir. Bersamaan dengan pandangan alam pikiran partisipasi tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu yang melebihi segala kekuatan dimana saja yang dikenal dengan kesaktian (kekuatan sakti).58
Kesaktian adalah kepercayaan pada benda-benda pusaka, keris dan alat-alat suara Jawa (gamelan), kendaraan istana dan lain-lain. Kemudian percaya pada arwah atau ruh leluhur dan makhluk-makhluk halus seperti: memedi, lelembut, tuyul, dedemit, dan lain-lain. Dalam pandangannya
55
Kuntjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Jambatan, 1979), 337. 56
Moh. Tohir, Sejarah Singkat Kanjeng Sepuh Adipati Surya Diningrat Sidayu 1784-1856, (Gresik:Catatan kepustakaan, arsip Masjid Besar Kanjeng Sepuh Sidayu, 2007), 12 57
Husnul Karimi, Wawancara, Sidayu, 28 Desember 2016. 58
(46)
37
masing-masing makhluk-makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, tapi sebaliknya dapat pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan bahkan kematian dan apabila seorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, mereka harus mengadakan selametan atau membuat sesajen.
Selametan adalah suatu upacara makan bersama, makanan itu telah diberi do’a sebelum dibagi-bagikan dan upacara ini biasanya dipimpin oleh moden, yakni salah seorang pegawai masjid. Sedangkan sesajen adalah penyerahan sajian pada saat tertentu di dalam rangka kepercayaan terhadap makhluk halus di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah tiang rumah, di persimpangan jalan, di pohon-pohon besar dan lain-lain.59
Menyangkut upacara selamatan bagi masyarakat Sidayu yang sering kali dilakukan adalah:
a. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seorang seperti hamil tujuh bulan kelahiran, upacara potong rambut pertama, sunatan dan selamatan setelah kematian.
b. Selamatan berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.
c. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen padi atau masyarakat Sidayu menyebutnya dengan
59
(47)
38
sedekah bumi (Nyadran). Sedekah bumi ini dilakukan setiap habis panen sebagai perwujudan rasa syukur atas rezeki yang telah mereka dapatkan.60 2. Kondisi Sosial Perekonomian
Mata pencaharian penduduk Sidayu cukup komplek seperti perdagangan, penguasa, petani, pegawai negri, pegawai swasta , namun mata pencaharian yang paling menonjol adalah petani, perikanan (tambak)dan peternak burung wallet.
Usaha pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat Sidayu adalah padi, jagung, ketela, kacang Cina, kacang tunggak, tembakau, kapuk dan jarak.61 Kondisi ekonomi masyarakat Sidayu yang bersumber dari lahan pertanian sudah dapat dikatakan mencapai tingkatan yang cukup baik hal ini karena lahan atau tanah di kawasan wilayah Sidayu umumnya sesuai untuk pertanian. Berdasarkan fakta bahwa frekuensi panen yang mereka capai rata-rata dua sampai tiga kali panen dalam setahun.
Sedangkan usaha pertanian dalam hal ini adalah burung wallet, sarang burung wallet merupakan komoditi eksport yang di dalam perdagangan internasional di kenal dengan nama “Bird’s nest”. Komoditi ini terdaftar dengan nomor SITC (Standart Internasional Trade Classification). Di Indonesia sarang burung wallet di kenal sejak tahun 1720 dan pertama kali ditemukan oleh seorang lurah bernama Sadrana yang secara tidak sengaja menemukan sarang burung wallet di Gua Karang Bolong Kebuman Jawa Tengah. Melihat banyaknya minat untuk membuat sarang burung wallet,
60
Husnul Karimi, Wawancara, Sidayu, 28 Desember 2016. 61
Tim Peneliti, Kota Masa Pengaruh Eropa: Studi Terhadap Kota Sidayu (Gresik: Pusat Penelitian Arkeologi, 2002),10.
(48)
39
maka usaha ini menjadi trend sebab mengingat banyaknya harga jual produknya yang mencapai belasan juta per-kilogram, selain itu banyak memiliki manfaat.
Selain peternakan burung walet, masyarakat Sidayu juga usaha peternakan lembu yang tidak digunakan untuk mencari keuntungan melainkan dipakai untuk kepentingan petani yakni sebagai hewan tarik, sedangkan peternakan kambing dikarenakan sukar mencari rumput di musim kemarau dan untuk angkutan (dokar) kuda biasanya didatangkan dari luar, misalnya kuda-kuda Nusa Tenggara yang dibeli dari Surabaya.62
Usaha perikanan yang dilakukan masyarakat Sidayu adalah tambak. Usaha ini masyarakatnya banyak menghasilkan ikan bandeng yang segar dan dikirim ke Surabaya, pada masa pemerintahan Belanda usaha pertambakan telah berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Di Jawa usaha tambak berada di sepanjang pantai utara Jawa juga di pantai Madura.
Berita dari Bupati Sidayu bahwa tambak ikan Gresik mengalami perkembangan pada tahun 1860-an. Terutama berada di dekat Ujung Pangkah. Pesatnya tambak ikan dimungkinkan karena untuk mengeksploitasi ekonomi perkebunan di sekitar pantai utara Gresik yang tak cukup memberikan harapan bagi Belanda. Usaha tambak dirasakan sangat menjanjikan kenikmatan, sehingga wilayah Gresik cukup potensial
62
(49)
40
mengembangkan sektor ini.63 Perikanan laut ini yang besar juga terdapat di Sidayu Lawas, setelah menghasilkan pindang yang dikirim ke Surakarta.
C. Organisasi Masyarakat Islam Di Sidayu
Di Sidayu terdapat tiga organisasi masyarakat terbesar yang dianut oleh masyarakat Sidayu, yaitu Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah dan Salafi. Dalam aktifitas sehari-hari terdapat korelasi yang cukup signifikan antara ketiga aliran keagamaan tersebut, di mana aliran yang berhaluan Ahlusunnah Waljamaah (NU) merasa cemas karena dari tahun ke tahun jamaahnya semakin berkurang dan memilih untuk menikah dengan aliran Salafiyah, selain itu perbedaan aliran antar ketiganya yang berbeda membuat intraksi antar ketiga aliran di rasa kurang harmonis, di mana Ajaran NU dalam berdakwah masih mempertahankan ajaran-ajaran lama dan masih memegang teguh dakwa penyebaran Islam seperti manhaj suci wali sanga dalam berdakwah di tanah Jawa. Mereka lebih mengedepankan nilai-nilai santun dan penuh etika menghadapi berbagai macam karakter dan budaya yang ada bagi bangsa Indonesia.
Kearifan dan kecerdikan Wali Songo yang dalam dakwahnya bisa memposisikan budaya sebagai jembatan dakwah. Sedangkan untuk Muhammadiyah berusaha lebih maju satu langkah dari Nahdlatul Ulama dan Salafi secara tidak langsung menerapkan Fundamentalisme (kembali kepada ide-ide dan praktik-praktik dasar yang menjadi ciri Islam pada masa permulaan sejarahnya), yang berpedoman kepada teks-teks keagamaan serta ulama-ulama terdahulu.
63
(50)
41
Dalam gerakan Wahabiyah atau Salafiyah sering dijumpai adanya keinginan yang kuat untuk kembali kepada yang benar-benar di anggap murni dari zaman Rasulallah dan sahabat. Keinginan kepada kesederhanaan ini mendorong mereka untuk betul-betul mencontoh yang otentik (asli). Mereka berusaha memanjangkan jenggot dan mencungkur kumis, memakai cadar untuk wanita dan berkatok cingkrang untuk pria dan menolak cara bertamu modern.64
1. Nahdlatul Ulama’
Nahdlatul Ulama’ adalah organisasi masyarakat Islam yang paling banyak diikuti di Wilayah Sidayu. Dari data kongkrit Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama’ Sidayu 28 Juli tahun 2000, jumlah angka warga Nahdliin Sidayu mencapai 7.795 orang terbagi 26 desa atau ranting se-Kecamatan Sidayu. Adapun desa atau ranting tersebut sebagai berikut: Asemanis, Asempapak, Brak Wadeng, Bunderan, Gedangan, Golokan, Kauman, Kertosono, Kuncen, Lasem, Mojoasem, Mriyunan, Ngawen, Pengulu-Purwodadi, Petiyin, Racikulon, Raci Tengah, Randuboto, Sambi Pondok, Sedagaran-serowo, Sidomulyo, Sukorejo, Tajungsari, Telogorambit, Ujung Timur, Wadeng.
Sejak awal didirikan aliran Nahdlatul Ulama ini lebih mudah diterima masyarakat Sidayu, hal itu dikarenakan masyarakat Sidayu pada saat itu pemikiran dan konsep teologisnya masih terpengaruh budaya Hindu-Budha. Nahdlatul Ulama masuk ketengah-tengah masyarakat melalui pendekatan secara persuasif melalui budaya-budaya lokal Sidayu.
64
(51)
42
Hingga dewasa ini Nahdlatul Ulama menjadi aliran teologis mayoritas di Sidayu. Dalam perkembangannya NU di Sidayu semakin hari semakin kuat, hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga-lembaga yang dinaungi NU seperti lembaga pendidikan formal maupun nonformal, masjid-masjid yang berhaluan NU, dll. Selain itu banyaknya organisasi-organisasi yang secara sistem memang berindukan NU masih aktif di berbagai ranting desa maupun tingkat kecamatan seperti IPNU, IPPNU, FATAYAT, Muslimat, GP ANSOR, BANSER dan sebagainya.65 Disamping lembaga dan organisasi aktif binaan NU Sidayu, bukti bahwa kiprah NU di Sidayu sangat dominan adalah semakin ramainya kegiatan-kegiatan masyarakat yang berbau ritual teologis seperti tahlilan, istighosah, ziarah kubur dll.
Diera zaman yang berkemajuan ini, pengaruh kebudayaan barat sangat kuat, disamping itu banyaknya golongan-golongan agama islam garis keras yang semakin menjadi-jadi, NU di Sidayu semakin menguatkan aqidah keislamannya dalam upaya memperkokoh keyakinan masyarakat Sidayu dengan selalu mengadakan kegiatan lailatul Ijtima’ di berbagai Desa se-Kecamatan Sidayu.66
2. Muhammadiyah
Organisasi masyarakat Muhammadiyah Sidayu didirikan pada kisaran tahun 1960. Digagas oleh KH. Mukhlis, KH. Ghufron Umar (Raci Tengah), H. Badrun (Srowo), KH. Nawawi dll. Pimpinan cabang Muhammadiyah
65
Abdul Mujib, Wawancara Sidayu: 3 Januari 2017. 66
(52)
43
Sidayu resmi berdiri pada tanggal 13 Mei 1966.67 Organisasi masyarakat Muhammadiyah adalah oraganisasi kedua dengan prosentase pemeluk kira-kira 40% di Kecamatan Sidayu.
Dalam perkembangannya oraganisasi ini hampir sama dengan NU di Sidayu, baik itu memiliki lembaga dan masjid-masjid yang berkembang maupun organisasi-organisasi yang sampai saat ini masih aktif. Di Kecamatan Sidayu, pemeluk faham Muhammadiyah terbesar berada di Desa Golokan. 68
Salah satu yang menjadi ujung tombak perkembangan Muhammadiyah di Sidayu adalah bidang pendidikan. Dalam kegiatan pendidikan Muhammadiyah Sidayu pertama kali mendirikan PGAM 4 tahun pada tahun 1967, kemudian pada tahun 1973 dilengkapi dengan PGAM 6 tahun. Akan tetapi pasca terbitnya peraturan pemerintah tentang status lembaga pendidikan pada tahun 1982 PGAM 4 vtahun dirubah menjadi madrasah tsanawiyah dan PGAM 6 tahun menjadi Madrasah Aliyah. Selain itu Muhammadiyah cabang Sidayu juga mempunyai lembaga pendidikan SD yang berdiri pada tahun 1972, TK Aisyiah 1973 dan SMAM 4 1981.
Dari lembaga pendidikan tersebutlah banyak lulusannya yang menyebarkan faham Muhammadiyah melalu profesi menjadi guru diberbagai lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri di Sidayu.69
67
Arsip Muhammadiyah, Panduan Musycab Ke-11 (Sidayu:Pimpinan Cabang Muhammadiyah, 2011), 94.
68
H. Munir Kasuf, Wawancara Sidayu: 2 Januari 2017. 69
(53)
44
3. Kelompok Salafi
Ajaran Salafi dan Wahabi merupakan gerakan yang sama yaitu berusaha mengembalikan agama Islam yang bebas dari pemurnian sesudah wafatnya Rasulallah. Muhammad bin Abdul Wahab sebagai salah satu tokoh pendiri dari ajaran Wahabi, berusaha membersihkan Islam dari kerusakan yang dipercayainya telah merasuk agama. Dia menerapakan literalisme yang ketat yang menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang syah dan menampilkan permusuhan ekstrim kepada intelektualisme, mistisme, dan semua perbedaan sekte (ajaran) yang ada dalam Islam.70
Organisasi-organisasi yang di dirikan tersebut memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam terdahulu yang berada di Indonesia. Mereka ditengarai berhaluan puritan (orang yang hidup saleh serta menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa), memiliki karakter yang lebih militant (kuat), radikal (keras), dan ekslusif (tanpa ada percampuran). Ormas tersebut memang memiliki platform (cap) yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “negara Islam” (daulah Islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat Islam, baik dalam wilayah masyarakat maupun negara. Namun pada kenyataanya keberadaan aliran salafi Wahabi di Indonesia khusunya pulau Jawa menjadi fenomena tersendiri baik di suatu daerah ataupun wilayah baik positif maupun negatif, itu dikarenakan Indonesia bukanlah negara yang hanya beraliran dalam satu gerakan ataupun dokrin
70
(54)
45
tetapi juga terdapat ormas Islam yang ada lebih dulu seperti golongan pertama, golongan yang selalu menjaga tradisi lama dan berpegang kepada formalitas-formalitas yang sudah ada sebelumnya (NU), dan golongan kedua, golongan yang menerima perubahan dan perkembangan (dinamika) kehidupan, sebagai bentuk optimisme dan hajat manusia yang dinamis (Muhammadiyah).71
Salah satu pesantren yang memiliki peran yang sangat penting dalam menerapkan ajaran salafinya yaitu pesantren Al-Furqon. Pesantren Al-Furqon terletak di desa Srowo kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik yang di pimpin seorang kyai lulusan Arab Saudi. Jika di amati secara lebih lanjut terdapat fenomena yang sangat menarik untuk di teliti dimana sekitar desa tersebut memiliki wisata religious makam ulama sekaligus Bupati Sidayu penyebar ajaran Islam yang berhaluan Ahlusunnah Waljammah Kanjeng Sepuh dan mayoritas masyarakatnya yang beraliran Nahdliyyin (NU) dan Muhammadiyah.
Pondok Pesantren al-Furqon berdiri pada tahun 1989, didirikan oleh ustadz Aunur Rofiq, beliau merupakan anak dari pemuka agama di desa tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madarasah Ibtida’iyah hingga SLTA nya dan juga PGA Muhammadiyah di Sidayu Aunur Rofiq melanjutkan studinya di Arab Saudi yakni Universitas Muhammad bin Su’ud Riyadh, setelah menyelesaikan pendidikannya di Arab Saudi beliau pulang ke Indonesia dan kemudian membina pondok pesantren di Kediri.
71
M. Said Ramadhan Al-Buthi, Salafi Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab (Jakarta: Anggota IKAPI, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1425/Februari 2005 M), 17-18.
(55)
46
Setelah menyebarkan ilmunya di Kediri barulah Aunur Rofiq pulang ke kampung halamannya yakni Desa Srowo Sidayu Gresik. Aunur Rofiq mendapat sambutan baik di kampung halamannya dan memudahkan beliau untuk berdakwah di desa tersebut sehingga mendirikan sebuah pondok pesantren. Adapun visi dan misi Pondok Pesantren al-Furqon al-Islami adalah “Menjadi lembaga pendidikan yang berbarokah berdsarkan al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman salafush shalih dalam aqidah, ibadah, akhlak dalam tatanan kehidupan bermasyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia”.72
Dalam perkembangan pondok pesantren Al-Furqon di Sidayu semakin besar. Terbukti dengan didirikannya lembaga pendidikan formal dengan jenjang mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah atas atau sederajat.
Foto Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Al-Furqon
Selain membangun lembaga pendidikan, untuk mengembangkan ajarannya, santri dari Al-Furqon juga melakukan pernikahan dengan penduduk lokal dan berdakwah melalui media-media seperti majalah dan sebagainya.
72 Sumiyati,”Pesantren dan Dakwah (Kajian Tentang Latar Belakang Aktivitas dan Metode Dakwah Lajnah Dakwah Pondok Pesantren AL-Furqon di Desa Srowo, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik)” (Skripsi, IAIN Sunan Ampel Fakultas Dakwah, Surabaya, 2004), 71.
(56)
BAB III
PERKEMBANGAN MASJID BESAR KANJENG SEPUH SIDAYU
Sebelum menuju pembabahasan lebih jauh, penulis akan sedikit memberi prolog terlebih dahulu tentang arti atau pengertian masjid. Masjid berasal dari bahasa arab, diambil dari kata “sajada, yasjudu, sajdan”. Kata sajada yang berarti tempat bersujud, patuh, taat dengan penuh hormat dan ta’dlim. Dalam kajian disiplin keilmuan bahasa arab untuk menunjukkan suatu tempat (isim makan) maka kata sajada dirubah bentuknya menjadi “masjidun” artinya tempat bersujud. Masjid merupakan tempat berkumpulnya umat islam untuk melaksanakan ritual peribadatan baik itu secara personal maupun berjamaah. Pengertian yang kedua adalah penyempitan dari arti yang pertama tadi. Masjid diartikan sebagai suatu bangunan tempat umat islam melaksanakan ibadah maupun kegiatan lainnya yang berhubungan dengan peradaban islam. Masjid juga merupakan salah satu wadah atau sarana untuk menyebarkan agama islam (dakwah Islamiyah) yang paling strategis dalam membina dan menggerakkan potensi umat Islam untuk mewujudkan sumberdaya yang tangguh dan berkualitas.73
Ciri khas dari masjid bila dibandingkan dengan tempat ibadah umat islam lainnya yaitu Musholla yaitu seseorang dapat melaksanakan I’tikaf, sedangkan di musholla tidak diperkenankan. Pada umumnya musholla dogunakan untuk mengerjakan sholat fardlu lima kali sehari semalam kecuali ibadah sholat jumat.
73
(1)
79
- Pada tahun 1819 M. oleh Kanjeng Sepuh (Bupati kedelapan Sidayu) - Pada tahun 1856 M. oleh Kanjeng Pangeran (Bupati kesembilan Sidayu)
- Pada tahun 1920 M. oleh H. M. Thahir Surakama (Dermawan Sidayu)
Sejak awal didirikan Masjid Besar Kanjeng Sepuh sebelumnya bernama
Masjid Jami’ Sidayu, akan tetapi kurang lebih pada tahun 1983 berganti nama
menjadi Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Dalam perkembangannya Masjid Besar Kanjeng Sepuh menaungi berbagai macam aliran keagamaan di Sidayu. Adapun beberapa aliran keagamaan Islam di Sidayu antara lain Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Salafi. Tidak dapat dipungkiri perbedaan diantara ketiganya seringkali mengundang beberapa kejadian-kejadian yang sifatnya memicu konflik. Akan tetapi sebagai poros peradaban Islam di Sidayu, Masjid Besar Kanjeng Sepuh di bawah pengelolaan ulama dan salafus sholih Sidayu senantiasa menjadi sebuah jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan yang besebrangan.
3. Beberapa konflik antar kelompok yang pernah terjadi di Masjid Besar Kanjeng Sepuh diantaranya peristiwa perusakan komplek pemakaman Bupati Sidayu tahun 1990, konflik NU dan Muhammadiyah Sidayu pada tahun 1983. Apabila dianalisis konflik tersebut tidak serta-merta terjadi tanpa adanya faktor, adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi konflik tersebut antara lain;
- Faktor Politik, dimana masing-masing organisasi masyarakat islam di Sidayu berusaha memprofokasi masyarakat umum untuk mengajak masyarakat mengikuti aqidah yang dimilikinya dan selalu melakukan
(2)
80
pertentangan apabila ada dari salah satu pihak yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Upaya ini dilakukan guna mengembangkan masing-masing aliran yang diikutinya.
- Faktor Agama, dimana salah satu aliran dengan terang-terangan menyatakan bahwa tidak menyukai keberadaan makam yang berada di halaman Masjid Besar Kanjeng Sepuh tersebut karena bid’ah dan dalam Al Quran dan Hadits tidak diajarkan hal seperti itu.
- Faktor Sosial, Penyebab konflik selanjutnya dipandang dari segi Sosial, surutnya proses interaksi sosial antar generasi muda dari berbagai aliran pasca wafatnya para alim ulama dan salafussholih di Sidayu. Para alim ulama Sidayu terdahulu dari berbagai aliran selalu melakukan interaksi sosial dengan membangun silaturrahmi yang menghasilkan sebuah perjanjian-perjanjian mulia demi kemaslahatan dan perdamaian antar umatnya.
B. Saran
Selesainya penulisan skripsi ini menjadikan penulis mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu daerah dalam bidang sosial keagamaan. Untuk itu penulis memberikan saran kepada seluruh masyarakat Sidayu yang masih menganggap Masjid Besar Kanjeng Sepuh sebagai salah satu sarana pemersatu umat.
Pertama, agar senantiasa merawat, menjaga dan mengkontrol kestabilan aktifitas Masjid Besar Kanjeng Sepuh, karena aktifitas yang stabil akan menciptakan suasana yang stabil pula. Disamping itu selalu berusaha teliti dalam memilah dan memilih seorang yang akan ditokohkan dikemudian sebagai panutan
(3)
81
dalam bidang teologis, bagaimana sekiranya yang ditokohkan benar-benar murni ingin menaungi umat tanpa ada embel-embel kedaulatan pribadi.
Kedua, kepada masyarakat sidayu pada umumnya dan khususnya pemerintah MUSPIKA agar senantiasa menjaga dan merawat situs-situs peninggalan yang ada di Sidayu, karena situs tersebut sebagai penanda jejak peradaban dimasa lampau dan menjadikan Sidayu layak menyandang sebutan kota bersejarah.
Ketiga, apabila dalam penulisan skripsi ini terdapat berbagai kekurangan itu adalah ketidakmampuan penulis baik dalam bidang intelektual maupun penulisan karya tulis ilmiah. Untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat diperlukan oleh penulis guna perbaikan dipenulisan selanjutnya.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ahmad Sarwono, Masjid Jantung Masyarakat. Yogyakarta: Izan pustaka, 2003. Arifianto. Statistik Daerah Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik 2015. BPS
Kabupaten Gresik: 2015.
Arsip Masjid, Profil Masjid Besar Kanjeng Sepuh. Sidayu: Pengurus Takmir Masjid:2016.
Arsip Muhammadiyah. Panduan Musycab Ke-11. Sidayu: Pimpinan Cabang
Muhammadiyah, 2011.
Arsip. LPJ MWC NU. Sidayu: Pengurus MWC, 2013.
Ayub, Moh. E. Manajemen Masjid. Jakarta: Gema Insani Press, 1966.
Badriyah, Siti. Masjid Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara 1971.
De Graff, HJ. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1985.
De Graff, HJ. Puncak Kekuasaan Mataram. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2002. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Yogyakarta: LP3ES, 1996.
G.J., Renier. Metode Dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Gottschalk, Loi. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Habib Mustafa, Mohammad. Kebudayaan Islam di Jawa Timur. Yogyakarta:
Jendela Grafika, 2001.
Hudan, Mochammad. Gressee Tempoe Doloe. Gresik : Pemerintah Kabupaten Gresik, 1994.
Imam Widodo, Dukut. Grisse Tempo Doloe. Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik, 2004.
(5)
Imdadun Rahma. Arus Baru Islam Radikal. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
Kartodirdjo, Sartono. Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia, 1982.
Ridlwan Ahmad, KH. Catatan Berdirinya Masjid Jami’ Sidayu. Sidayu : 25 Februari 1957.
Kuntjoroningrat. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 1979.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung : Mizan, 2001.
Kolip, Usman. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Faktadan Gejala Permasalahan
Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011.
Munzir Hitami. Revolusi Sejarah Manusia; Peran Rosul Sebagai Agen
Perubahan. Yogyakarta : Lkis, 2009.
Mustaqim. Gressee Tempoe Doloe. Gresik : Pemerintah Kabupaten Gresik, 2004. Moh. Fasikhul A. Sejarah Sidayu Dari Bekas Kadipaten, Kawedanan Hingga
Menjadi Kecamatan. Surabaya: Skripsi, UIN Sunan Ampel Fakultas
Adab dan Humaniora, 2016
Oemar. Gurbernur Belanda Pakai Jalan Kadipaten Sedayu. Surabaya: Jawa Pos Selasa 3 Februari 2015.
Onong Uchjana, Effendy. Ilmu Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Said, M Ramadhan Al-Buthi, Salafi Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab. Jakarta: Anggota IKAPI, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1425/Februari 2005.
Suahardi. Sejarah Pemikiran Rekontruksi Presepsi 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.
(6)
Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005.
Suhartono W., Pranoto. Teori Dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Sumiyati. Pesantren dan Dakwah (Kajian Tentang Latar Belakang Aktivitas dan Metode Dakwah Lajnah Dakwah Pondok Pesantren AL-Furqon di
Desa Srowo, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik. Surabaya:
Skripsi, IAIN Sunan Ampel Fakultas Dakwah, 2004.
Suryabrata, Sumadi. Metode Penelitian. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1998.
Susanto Noto, Nugroho. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI-Press,1993. Susanto Noto, Nugroho. Masalah Penelitian Kontenporer. Jakarta: Yayasan
Dayu, 1972.
Solihin Salam. Sekitar Wali Songo. Yogyakarta: Menara Kudus, 1960.
Tim Peneliti. Kota Masa Pengaruh Eropa: Studi Terhadap Kota Sidayu.Gresik: Pusat Penelitian Arkeologi, 2002.
Tohir, Muhammad. Sejarah Singkat Kanjeng Sepuh Adipati Surya Diningrat
Sidayu 1784-1856, Gresik:Catatan kepustakaan, arsip Masjid Besar
Kanjeng Sepuh Sidayu, 2007
Wahyu Dwi S. Peranan Kanjeng Sepuh Adpati Suryadiningrat Dalam
Menegakkan Agama Islam Di Sidayu 1817-1855. Surabaya: Skripsi,
IAIN Sunan Ampel Fakultas Adab, 2005.
Zein M. Perkembangan Arsitektur Masjid Di Jawa Timur. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1986.