EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS TEORI KECERDASAN MAJEMUK DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP KELAS VIII.
1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pembelajaran matematika memiliki peranan penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan tersebut diperlukan siswa untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana disebutkan dalam Kompetensi Dasar Kurikulum 2013 yaitu menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah. Sehingga kemampuan berpikir kritis matematis merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai melalui pembelajaran.
Dalam Learning for the 21st Century (Partnership for 21st Century Skills [P21], 2005: 9) disebutkan bahwa:
To cope with the demands of the 21st century, people need to know more than core subjects. They need to know how to use their knowledge and skills- by thinking critically, applying knowledge to new situation, analyzing information, comprehending new ideas, communicating, collaborating, solving problem, making decisions.
Untuk memenuhi tuntutan abad ke-21, orang-orang harus mengetahui lebih dari sekedar mata pelajaran inti. Mereka perlu mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan dan keterampilannya dengan berpikir secara kritis, menerapkan pengetahuan pada situasi baru, menganalisis informasi, memahami ide baru, mengomunikasikan, mengkolaborasikan, menyelesaikan masalah, membuat keputusan.
Kemampuan berpikir kritis matematis tidak hanya menekankan siswa pada kemampuan menyelesaikan masalah, namun juga kemampuan siswa
(2)
2 dalam mengevaluasi penyelesaian masalah. Sehingga ketika terdapat masalah dan penyelesaian masalah, siswa mampu mengevaluasi kebenaran penyelesaian masalah tersebut.
Halpern (2003: 15) mengemukakan bahwa:
An essential component of critical thinking is developing the attitude or disposition of a critical thinker. Good thinkers are motivated and willing to exert the conscious effort needed to work in a planful manner, to check for accuracy, to gather information, and to persist when the solution isn't obvious or requires several steps.
Sebuah komponen penting dalam berpikir kritis adalah mengembangkan sikap atau kecenderungan dari seorang pemikir kritis. Pemikir yang baik adalah pemikir yang termotivasi dan mau berusaha untuk mengerjakan dengan penuh perencanaan, memeriksa ketepatan, mengumpulkan informasi dan tetap berusaha untuk menyelesaiakan permasalahan ketika solusi tidak jelas atau memerlukan beberapa langkah. Sehingga pada pembelajaran matematika, kemampuan berpikir kritis dapat dilatih melalui pembelajaran menggunakan persoalan yang lebih dari sekedar mencari penyelesaian masalah. Contohnya mengevaluasi penyelesaian masalah dan menganalisis masalah.
Melalui kegiatan pembelajaran matematika sebaiknya bukan hanya kemampuan akademik siswa saja yang perlu dikembangkan, tetapi pengembangan sikap siswa juga perlu dikembangkan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional (UUSPN), yaitu “Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dengan tujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik agar menjadi manusia yang berkualitas dengan ciri-ciri beriman dan bertakwa
(3)
3 kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”. Sikap mandiri merupakan salah satu ciri manusia yang berkualitas. Karakter mandiri memiliki cakupan yang cukup luas. Salah satu sikap mandiri yaitu mandiri dalam belajar. Kemandirian belajar siswa dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah.
Zimmerman (1990: 14) mengatakan bahwa:
At a time, when students often appear to lack both the will and skill to achieve academically, educators need instructional approaches that can offer direction and insight into the processes of self-regulated learning.
Pada suatu waktu ketika siswa sering memunculkan adanya kekurangan baik pada kemauan dan keterampilan untuk mencapai prestasi akademik, pendidik perlu pendekatan pembelajaran yang dapat memberikan pengarahan dan pemahaman ke dalam proses kemandirian belajar. Pengarahan dan pemahaman tersebut yang akan membantu siswa untuk mencapai prestasi akademik. Hal itu menunjukkan bahwa proses kemandirian belajar berpengaruh pada pencapaian prestasi belajar.
Dengan memperhatikan pentingnya kemandirian belajar, maka siswa perlu mengembangkan sikap tersebut. Dalam pelaksanaannya guru yang berperan sebagai pendamping belajar siswa memiliki peran penting dalam pengembangan sikap kemandirian belajar siswa. Sebelum pelaksanaan kegiatan pembelajaran, guru mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses, ada beberapa prinsip penyusunan yang harus diperhatikan. Pembelajaran yang direncanakan oleh guru sebaiknya memperhatikan
(4)
4 perbedaan individual peserta didik. Siswa yang ada di kelas memiliki berbagai perbedaan. Salah satunya adanya perbedaan kecerdasan. Siswa yang satu dengan yang lain tentu memiliki kecerdasan yang berbeda. Sebagai guru daam pembelajaran harus bisa menyikapi perbedaan tersebut. Salah satunya dengan memberdayakan berbagai kecerdasan yang mereka miliki sehingga tidak hanya bertumpu pada satu macam kecerdasan saja.
Thomas Armstrong (2002) dalam bukunya Sekolah Para juara mendeskripsikan model pembelajaran klasik yang antara lain memunculkan asumsi-asumsi: Pertama, para guru cenderung memisahkan atau memberikan identifikasi kepada para muridnya sebagai murid-murid yang pandai di satu sisi, dan murid-murid yang bodoh di sisi lain. Kedua, suasana kelas cenderung monoton dan membosankan. Hal ini dikarenakan para guru biasanya hanya bertumpu pada satu atau dua jenis kecerdasan dalam mengajar, yaitu cerdas berbahasa dan cerdas logika. Ketiga, mungkin seorang guru agak sulit dalam membangkitkan minat atau gairah murid-muridnya karena proses pembelajaran yang kurang kreatif.
Dalam pembelajaran, tidak dibenarkan adanya siswa yang bodoh, mereka hanya memiliki kecerdasan yang berbeda dengan siswa yang lain. Sehingga sebagai guru sebaiknya mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Setelah guru mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa, guru dapat mendesain pembelajaran dengan memanfaatkan keragaman kecerdasan tersebut.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar merupakan kemampuan penting yang
(5)
5 seharusnya dimiliki oleh siswa. Selain itu pemberdayaan keragaman kecerdasan siswa juga penting untuk dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Namun pada kenyataannya kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa masih belum berkembang secara optimal. Sebagai contoh hal tersebut dapat dilihat pada pembelajaran matematika di SMP Negeri 1 Wates. Penulis melakukan tes kemampuan berpikir kritis matematis. Pada tes tersebut, siswa diberi soal dan penyelesaian masalah kemudian siswa diminta untuk mengevaluasi kesalahan dan memperbaiki kesalahan dari penyelesaian soal tersebut. Rata-rata nilai tes tersebut 69,00. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis matematis belum maksimal. Di sisi lain, peneliti melakukan observasi lapangan untuk melihat aktivitas pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, sebagian besar siswa masih cenderung mengandalkan materi dari yang disampaikan guru di kelas. Inisiatif mereka untuk mempelajari materi terlebih dahulu di rumah juga masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya angket kemandirian belajar yang diberikan oleh peneliti. Dari hasil angket kemandirian belajar yang disusun oleh Lina Dwi Astuti (2014), 56% siswa mencapai kategori Cukup, 33% mencapai kategori Baik, dan 11% mencapai kategori Sangat Baik. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kemandirian belajar di lapangan masih belum maksimal.
Setiap siswa memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Dengan demikian perlu adanya pembelajaran yang memfasilitasi keragaman kecerdasan tersebut. Namun berdasarkan hasil observasi oleh peneliti, kegiatan pembelajaran matematika yang dilaksanakan di SMP Negeri 1 Wates belum
(6)
6 maksimal dalam memberdayakan kecerdasan majemuk siswa. Aktivitas pembelajaran masih didominasi oleh siswa-siswa tertentu yang pandai di kelas. Hal ini menyebabkan ada beberapa siswa yang kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran di kelas.
SMP Negeri 1 Wates merupakan salah satu sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013. Sekolah tersebut telah menggunakan pendekatan saintifik selama tiga semester. Namun pendekatan saintifik ini masih merupakan sesuatu yang baru bagi guru dan siswa. Hal ini menyebabkan guru masih memerlukan banyak referensi untuk mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik.
Dari beberapa permasalahan pembelajaran di atas, mengindikasikan bahwa aspek-aspek kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Wates belum tercapai secara optimal. Dengan demikian perlu adanya pendekatan pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa.
Salah satu pendekatan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa adalah pendekatan saintifik. Menurut Daryanto (2014, 56) salah satu kriteria proses pembelajaran saintifik adalah mendorong dan meginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
Dalam pendekatan saintifik, kemandirian belajar siswa dapat dikembangkan melalui langkah-langkah pendekatan saintifik. Sebagaimana
(7)
7 yang disebutkan oleh Hosnan (2014, 39), langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Kemandirian belajar dapat dilatihkan kepada siswa salah satunya melalui kegiatan mengumpulkan data. Mereka secara mandiri mencari informasi dari berbagai sumber belajar. Langkah-langkah pembelajaran yang ada pada pendekatan saintifik juga dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis, misalnya dengan adanya kegiatan mengasosiasi siswa belajar untuk berpikir kritis dalam mengambil kesimpulan yang diperoleh dari pembelajaran.
Keragaman kecerdasan siswa menjadi perhatian peneliti dalam melakukan penelitian. Peneliti bermaksud memberdayakan kecerdasan majemuk siswa selama proses pembelajaran. Sehingga dengan pemberdayaan kecerdasan tersebut, diharapkan semua siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Salah satunya dalam kegiatan mengumpulkan informasi, siswa dengan kecerdasan visual spatial lebih tertari mengumpulkan informasi dari gambar-gambar yang disajikan, namun siswa dengan kecenderungan kecerdasan bodily kinesthetic akan lebih tertarik mengumpulkan informasi melalui kegiatan praktik.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang efektivitas pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa kelas VIII.
(8)
8 B. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada pembelajaran matematika belum maksimal.
2. Kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran matematika belum maksimal.
3. Pelaksanaan pembelajaran matematika masih kurang dalam memfasilitasi kecerdasan majemuk siswa.
4. Guru masih memerlukan banyak referensi untuk pengembangan pembelajaran dengan pendekatan saintifik.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut maka dalam penelitian ini dibatasi pada masalah yaitu efektivitas pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa dengan materi yang dibahas adalah lingkaran.
D. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif jika ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas VIII?
(9)
9 2. Apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif jika ditinjau dari kemandirian belajar siswa kelas VIII?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas VIII.
2. Untuk mengetahui apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif ditinjau dari kemandirian belajar siswa kelas VIII.
F. Manfaat Penelitian 1. Bagi guru
Memberi tambahan informasi kepada guru mengenai efektivitas pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif jika ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa kelas VIII.
2. Bagi siswa
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk, khususnya pada pembelajaran matematika.
(10)
10 3. Bagi peneliti
Sarana untuk mengimplementasikan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah dan menambah pengetahuan serta pengalaman penelitian dalam kegiatan pembelajaran matematika.
(11)
11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika
Pada dasarnya belajar merupakan sebuah perubahan. Herman Hudojo (2003: 83) mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman/ pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku. Berkaitan dengan pembelajaran, Hamzah B Uno (2007: 55) berpendapat bahwa pembelajaran dapat diartikan suatu proses interaksi antara peserta belajar dengan pengajar atau instruktur dan atau sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Sedangkan menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan (Erman Suherman, dkk, 2003: 8).
Banyak cabang ilmu pengetahuan yang disampaikan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Dari sekian banyak cabang ilmu pengetahuan, matematika menjadi salah satu ilmu yang harus disampaikan dalam pembelajaran di sekolah. James dan James sebagaimana dikutip oleh Erman Suherman, dkk (2001: 16) menyebutkan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lain. Sedangkan menurut Chambers (2008: 5), "mathematics is a study of pattern, relationship and rich interconnected ideas. It is also tool for problem solving in wide range of contexts". Chambers
(12)
12 mengartikan bahwa matematika adalah studi tentang pola, hubungan dan ide-ide yang saling berkaitan.
Prinsip belajar matematika (NCTM: 2000) yaitu siswa belajar matematika seyogyanya dengan pengertian atau pemahaman secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Sehingga belajar matematika itu merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang dengan berbekal pengalaman dan ilmu yang telah dimiliki. Pengalaman dan ilmu tersebut kemudian dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran matematika.
Menurut Erman Suherman, dkk (2003: 56-57) fungsi mata pelajaran matematika sebagai berikut:
a) Alat
Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaan-persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya. Bila seorang siswa dapat melakukanperhitungan tetapi tidak tahu alasannya, maka tentu ada yang salah dalam pembelajarannya atau ada sesuatu yang belum dipahami.
b) Pola Pikir
Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir dan pemahaman suatu pengertian maupun penalaran dalam suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu. Di dalam proses penalaran siswa, dikembangkan pola pikir induktif maupun deduktif. Namun semuanya harus
(13)
13 disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran matematika di sekolah. c) Ilmu Pengetahuan
Fungsi matematika sebagai ilmu pengetahuan, dan tentunya pengajaran matematika di sekolah harus diwarnai oleh fungsi yang ketiga ini. Guru harus mampu menunjukkan betapa matematika selalu mencari kebenaran, dan bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.
Bell (1978: 108) mendefinisikan objek pembelajaran matematika sebagai berikut.
Object of mathematics learning are those direct and indirect things which we want student to learn in mathematics. The direct object of mathematics learning are fact, skills, concepts, and principle; some of the many indirect objects are transfer of learning, inquiry ability, problem-solving ability, self-dicipline, and appreciation for the structure of mathematics.
Objek pembelajaran matematika adalah sesuatu yang langsung dan tidak langsung yang akan dipelajari oleh siswa dalam matematika. Objek langsung dari pembelajaran matematika adalah fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip. Sedangkan beberapa dari banyak objek tidak langsung adalah penyampaian pembelajaran, kemampuan penyelidikan, kemampuan pemecahan masalah, disiplin diri, dan apresiasi untuk struktur matematika.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk mata pelajaran matematika
(14)
14 untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah menyatakan bahwa tujuan mata pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa mampu:
1) Memahami konsep matematika, yaitu menjelaskan keterkaitan natarkonsep dan mengaplikasikan konsep dan algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, yaitu melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
3) Memecahkan masalah, yaitu kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
4) Mengmkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5) Memiliki skikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah interaksi antara siswa dengan guru dan atau sumber belajar dalam proses perubahan sikap dan pola berpikir tentang logika, bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan. Dalam pembelajaran matematika tidak hanya bertumpu pada penyelesaian masalah tetapi juga pemahaman konsep, penalaran pola dan sifat, dan kemampuan mengomunikasikan masalah. 2. Efektivitas Pembelajaran Matematika
Pembelajaran yang efektif merupakan salah satu tujuan yang harus diciptakan di setiap kegiatan pembelajaran. Bell (1978: 379) mengemukakan bahwa agar dapat mengajar matematika secara efektif, guru harus dapat melakukan beberapa langkah berikut ini.
(15)
15 a) evaluate and use mathematics textbooks, b) select and use teaching /learning resourses, c) assign and evaluate student homework, d) diagnose student learning difficulties, e) develope good questioning strategies, f) mantain discipline in the classroom, g) test, evaluate, and grade students, and evaluate their own teacher.
Langkah-langkah tersebut dapat diartikan sebagai berikut. a. Mengevaluasi dan menggunakan buku pelajaran matematika. b. Memilih dan menggunakan sumber pengajaran/pembelajaran. c. Memberi dan mengevaluasi pekerjaan rumah siswa.
d. Mendiagnosis kesulitan belajar siswa.
e. Mengembangkan strategi bertanya yang baik. f. Menjaga kedisiplinan di dalam kelas.
g. Mengetes, mengevaluasi dan menilai siswa dan mengevaluasi dirinya sendiri sebagai guru.
Hampir sama dengan Bell, Mujis dan Reynolds (2008: 30) menyebutkan bahwa karakteristik guru yang efektif adalah sebagai berikut:
a. Guru bertanggungjawab merencanakan kegiatan siswa selama proses pembelajaran dengan terstruktur.
b. Siswa memiliki tanggung jawab atas tugas-tugasnya dan bersikap mandiri selama mengerjakan tugas-tugas tersebut.
c. Setiap guru hanya mengampu satu bidang pelajaran saja. d. Interaksi yang tinggi dengan seluruh kelas.
e. Guru memberikan tugas yang menantang.
f. Keterlibatan siswa yang tinggi dalam berbagai tugas. g. Atmosfer positif di kelas.
h. Guru menunjukkan penghargaan dan dorongan kepada siswa.
Slavin (2006: 277) mengemukakan bahwa keefektifan pembelajaran ditentukan oleh 4 indikator, yaitu: kualitas pembelajaran, kesesuaian tingkat pembelajaran, insentif, dan waktu. Kesesuain berarti sejauh mana guru memastikan tingkat kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru. Insentif
(16)
16 berarti seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas dan mempelajari materi.
Khusus dalam pembelajaran matematika, NCTM (2000: 16) menyatakan bahwa “effective mathematics teaching requires understanding what students know and need to learn and then challenging and supporting them to learn it well”. Pembelajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman tentang apa yang diketahui dan yang dibutuhkan siswa untuk belajar serta tantangan dan dukungan mereka untuk mempelajarinya dengan baik.
Kemp, dkk (1994: 288) mengemukakan pengertian keefektifan sebagai berikut:
Effectiveness answers the question “To what degree did students accomplish the learning objectives prescribed for each unit of the course?” Measurement of effectiveness can be ascertained from test scores, ratings of projects and performance, and records of observations of learner’s behavior.
Maksud dari pernyataan di atas adalah keefektifan menjawab pertanyaan “sampai tingkat mana siswa telah menyelesaikan tujuan pembelajaran yang ditetapkan di dalam setiap unitnya?” Mengukur keefektifan dapat diketahui dari skor tes, tingkat proyek dan kinerja, serta rekaman observasi perilaku pembelajar.
Sedikit berbeda dengan Kemp, Masykur dan Abdul Halim Fathani (2007: 58) menyatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajarannya memperhatikan konteks siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa meliputi latar belakang fisik, keluarga, keadaan sosial, politik, agama, ekonomi, budaya, dan kenyataan
(17)
17 hidup lain. Pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa dengan berbagai macam latar belakang memiliki hak yang sama untuk mengikuti pembelajaran.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keefektifan pembelajaran matematika adalah tercapainya tujuan-tujuan pembelajaran yang ditetapkan dengan kualitas pembelajaran yang baik, sesuai tingkat pembelajaran yang dapat diukur berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Pada penelitian ini, pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk dikatakan efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis apabila nilai rata-rata posttest lebih dari nilai rata-rata pretest dan persentase nilai siswa yang mencapai lebih dari 75 lebih dari 75%. Sedangkan apabila ditinjau dari kemandirian belajar dikatakan efektif apabila rata-rata skor angket akhir lebih dari rata-rata skor angket awal dan persentase skor angket siswa yang mencapai kategori minimal Baik lebih dari 75%.
3. Pendekatan Saintifik
Kurikulum 2013 menekankan penerapan pendekatan saintifik pada pelaksanaan pembelajaran. Pendekatan saintifik memiliki beberapa tahapan-tahan yang bertujuan untuk membentuk pengalaman belajar siswa. Dengan adanya tahapan-tahapan dalam kegiatan pembelajaran tersebut diharapkan dapat terwujud peningkatan dan keseimbangan kemampuan antara soft skill dan hard skill yang terakumulasi dalam aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
(18)
18 Menurut Yunus Abidin (2014, 141), ada empat tahapan dalam saintifik proses. Keempat tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi masalah
Pembelajaran hendaknya diawali dengan sejumlah masalah baik masalah yang disajikan guru dan yang lebih baik lagi adalah masalah yang dirumuskan oleh siswa sendiri. Pertanyaan (rumusan masalah) yang dibuat siswa merupakan pertanyaan pemandu pembelajaran yang harus siswa dapatkan jawabannya setelah selesai melaksanakan seluruh rangkaian pembelajaran.
b. Membuat hipotesis
Berdasarkan langkah kerja penelitian ini, dalam konteks model pembelajaran siswa harus menggunakan penalarannya baik secara induktif maupun deduktif untuk mampu merumuskan jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
c. Mengumpulkan dan menganalisis data
Kegiatan pengumpulan data dapat dilakukan baik secara eksperimen maupun studi lainnya. Hasil pengumpulan data tersebut selanjutnya diolah guna dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ataupun untuk membuktikan hipotesis.
d. Menginterpretasi data dan membuat kesimpulan
Kegiatan interpretasi merupakan aktivitas yang dilakukan siswa untuk memaknai hasil penelitian sederhana yang telah dilakukannya. Hasil interpretasi adalah simpulan yang dibuat oleh siswa dan selanjutnya menjadi pengetahuan yang benar-benar dikonstruksi oleh siswa sendiri sehingga
(19)
19 diyakini akan meningkatkan tingkat retensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diperoleh siswa melalui kegiatan menyimak penjelasan guru.
Disisi lain M. Hosnan (2014, 39) mengemukakan bahwa bentuk kegiatan pembelajaran melalui pendekatan scientific dapat dilihat seperti tabel berikut.
Tabel 2. 1 Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan Aktivitas Belajar
Mengamati (observing)
Melihat, mengamati, membaca, mendengar, menyimak (tanpa atau dengan alat).
Menanya (questioning)
Mengajukan pertanyaan dari yang faktual sampai ke yang bersifat hipotesis; diawali dengan bimbingan guru sampai dengan mandiri (menjadi suatu kebiasaan).
Pengumpulan data (experimenting)
Menentukan data yang diperlukan dari pertanyaan yang diajukan, menentukan sumber data (benda, dokumen, buku, eksperimen), mengumpulkan data. Mengasosiasi
(associating)
Menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, menentukan hubungan data/ kategori, menyimpulkan dari hasil analisis data: dimulai dari unstructured-uni structure-multistructure-compilated structure.
Mengomunikasikan Menyampaikan hasil konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan, diagram, bagan, gambar atau media lainnya.
Menurut Daryanto (2014, 59) langkah-langkah pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam proses pembeajaran meliputi menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan dan mencipta.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pendekatan saintifik meliputi beberapa kegiatan, yaitu:
(20)
20 mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi/menalar, dan mengomunikasikan. Kelima langkah tersebut dijabarkan dalam kegiatan pembelajaran sebagai berikut.
a. Mengamati
Kegiatan pertama dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah mengamati. Melalui pengamatan siswa mampu menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi yang akan disampaikan oleh guru. Menurut Hosnan (2014, 40) dalam kegiatan pembelajaran siswa mengamati objek yang akan dipelajari dengan cara membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat). Kompetensi yang dikembangkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari informasi.
Kegiatan mengamati dilakukan untuk memenuhi rasa ingin tahu siswa sehingga tercipta kebermaknaan yang tinggi selama kegiatan pembelajaran. Kegiatan mengamati dalam pembelajaran matematika dapat menggunakan berbagai objek. Objek yang diamati oleh siswa dapat berupa fenomena lingkungan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan topik matematika tertentu. Sehingga dapat membantu siswa untuk menuangkan suatu fenomena ke dalam bahasa matematika. Hal ini merupakan suatu pengantar untuk menyampaikan matematika yang abstrak.
Selain mengamati fenomena, objek matematika yang diamati siswa dapat berupa objek matematika yang abstrak. Kegiatan ini lebih mengarah pada kegiatan mengumpulkan dan memahami kebenaran objek matematika yang
(21)
21 abstrak. Hasil dari pengamatan ini berupa definisi, aksioma, postulat, teorema, sifat, grafik, dan sebagainya.
b. Menanya
Kegiatan menanya (questioning) dilakukan siswa setelah melakukan pengamatan untuk mengetahui informasi yang tidak dipahami atau untuk mendapatkan informasi tambahan. Menurut Daryanto (2014, 65), istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam pernyataan asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Melalui kegiatan ini siswa dapat terlatih untuk kreatif, berpikir kritis, dan terampil dalam berbicara. Pertanyaan yang diajukan oleh siswa dapat digunakan oleh guru untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa dan juga tingkat kesulitan siswa dalam memahami permasalahan.
Dalam kegiatan menanya, pertanyaan yang diajukan tidak harus dari siswa melainkan dapat juga berasal dari guru. Hosnan (2014: 52) menyebutkan bahwa dalam kegiatan menanya guru dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir ulang. Untuk menjawab pertanyaan dari guru, siswa akan membutuhkan waktu beberapa saat untuk memikirkan kemungkinan jawabannya dan memverbalkan menggunakan bahasanya sendiri. Pertanyaan guru yang baik akan meningkatkan kemampuan kognitif siswa sehingga siswa dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai. Tingkat pertanyaan yang diajukan oleh guru dimulai dengan tingat pertanyaan yang rendah ke tingkat pertanyaan yang lebih tinggi.
(22)
22 c. Mengumpulkan informasi
Tidak lanjut dari kegiatan menanya adalah kegiatan mengumpulkan informasi. Melalui kegiatan ini siswa menggali dan mengumpulkan informasi melalui berbagai sumber. Sehingga peserta didik dapat membaca buku atau melakukan eksperimen agar terkumpul sejumlah informasi. Adapun kompetensi yang diharapkan dari siswa adalah mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, dan mengembangkan kebiasaan belajar.
Melalui kegiatan ini siswa dapat belajar aktif untuk menemukan segala sesuatu yang berhubungan dengan permaalahan yang dihadapi. Dengan demikian mereka dapat menemukan adanya hubungan dari berbagai informasi yang diperoleh dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
d. Menalar (mengasosiasi)
Penalaran dapat dikatakan sebagai suatu proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta yang dapat diobservasi untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Hasil dari proses penalaran dapat berupa hipotesis atau dugaan sementara. Ada dua cara menalar, yaitu secara induktif dan deduktif. Proses penalaran ini dipengaruhi oleh tingkat berpikir siswa.
Menurut Daryanto (2014: 75) penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik kesimpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus.
(23)
23 e. Mengomunikasikan
Pada kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk mengomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Siswa dapat menuliskan atau menceritakan apa yang mereka dapatkan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Kegiatan ini disampikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar siswa baik dalam bentuk kelompok maupun individu. Kegiatan “mengomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya.
Dengan adanya kegiatan mengomunikasikan, siswa dilatih untuk mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Sehingga ketika ada teman yang sedang presentasi di depan kelas, teman-teman yang lain dapat mengomentari hasil presentasinya.
4. Teori Kecerdasan Majemuk
Setiap individu memiliki bermacam-macam kemampuan. Bahkan satu individu dengan yang lainnya juga memiliki kemampuan yang berbeda. Kumpulan kemampuan tersebut dapat dinamakan sebagai kecerdasan. Schmidt (2003: 32) berpendapat bahwa kecerdasan merupakan kumpulan kepingan kemampuan yang ada di beragam bagian otak. Menurutnya, semua kepingan ini saling berhubungan tetapi tidak bekerja secara sendiri-sendiri. Selain itu,
(24)
24 kepingan ini tidak statis atau ditentukan sejak seseorang lahir. Kecerdasan ini dapat berkembang sepanjang hidup apabila dilakukan pembinaan.
Di dalam lingkungan sekolah, pembinaan kecerdasan siswa dapat dilakukan melalui kegiatan pembelajaran. Dengan adanya keragaman kecerdasan siswa mengakibatkan gaya belajar mereka juga beragam. Sehingga penyampaian informasi dalam proses pembelajaran juga harus memperhatikan keragaman kecerdasan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Munif Chatib (2013: 33) bahwa setiap siswa mempunyai gaya belajar masing-masing yang juga selalu berubah. Informasi akan masuk ke dalam otak siswa dan tak terlupakan seumur hidup apabila informasi tersebut ditangkap berdasarkan gaya belajar siswa tersebut.
Memperhatikan keragaman kecerdasan siswa tersebut, diperlukan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan keragaman kecerdasan siswa tersebut. Banyak inovasi pendidikan yang digunakan untuk mengembangkan keragaman kecerdasan siswa. Salah satu inovasi pendidikan yang dapat digunakan adalah pembelajaran berbasis Teori Multiple Intelligence (kecerdasan majemuk).
Pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk memperhatikan adanya kecerdasan yang dimiliki siswa. Dalam penerapannya, kecerdasan majemuk menganggap bahwa setiap siswa memiliki kecerdasan (Hoer, 2007:14). Sehingga tidak ada siswa yang tidak memiliki kecerdasan, tetapi setiap siswa memiliki kecerdasan yang berbeda. Sehingga ketika ada siswa yang tidak dapat melakukan sesuatu hal di suatu bidang, hal itu tidak dikarenakan siswa tersebut bodoh. Namun siswa tersebut memilki kecerdasan
(25)
25 berbeda di bidang lain. Hal senada juga dikemukakan oleh Munif Chatib (2009: 92) bahwa melalui Multiple Intelligences tidak ada siswa yang tidak bisa, karena setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan.
Menurut Howard Gardner dalam buku “Frame of Mind” setidaknya ada sembilan jenis kecerdasan majemuk. Kesembilan kecerdasan ini terangkum dalam Djamilah Bondan W. (2012: 3-5), yaitu:
a. Kecerdasan Linguistic
Kecerdasan linguistik berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan kata-kata secara efektif, baik lisan maupun tertulis. Seseorang dengan tingkat kecerdasan linguistic yang tinggi pada umumnya pandai membaca, menulis, mendengarkan, bercerita dan menghafal kata-kata. Mereka cenderung belajar paling baik dengan membaca, mencatat, mendengarkan ceramah, dan dengan mendiskusikan serta tentang apa yang telah mereka pelajari.
b. Kecerdasan Musical
Kecerdasan musical berkaitan dengan kepekaan seseorang terhadap suara, ritme, nada, dan musik. Seseorang dengan tingkat kecerdasan musical yang tinggi biasanya mampu bernyanyi, memainkan alat musik, mengingat melodi atau menulis musik. Karena ada komponen pendengaran yang kuat untuk kecerdasan ini, maka mereka pada umumnya dapat belajar dengan baik melalui ceramah, atau menggunakan lagu.
c. Kecerdasan Logical-mathematical
Kecerdasan logical-mathematical berkaitan dengan kemahiran seseorang dalam menggunakan logika atau penalaran, melakukan abstraksi,
(26)
26 menggunakan bilangan, dan dalam berpikir kritis. Mereka yang memiliki kecerdasan logical-mathematical yang tinggi pada umumnya tertarik pada kegiatan eksplorasi matematis, seperti menggolongka-golongkan (mengklarifikasi), menghitung, membuktikan, atau menggeneralisasi. Metode penemuan akan disukai siswa-siswa dengan kecerdasan logical-mathematical yang tinggi.
d. Kecerdasan Visual-Spatial
Kecerdasan visual-spatial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memvisualkan gambar di dalam benak mereka. Mereka yang memiliki kecerdasan visual-spatial yang tinggi pada umumnya terampil mengenali dan menggambar dalam dua dan tiga dimensi, imajinatif, kreatif, dan peka terhadap warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antar unsur tersebut. Mereka cenderung mengingat sesuatu menggunakan coretan, sketsa, atau gambar-gambar.
e. Kecerdasan Bodily-Kinesthetic
Kecerdasan bodily-kinesthetic berkaitan dengan keahlian seseorang dalam menggunakan atau menggerakkan seluruh tubuhnya untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Mereka yang memiliki kecerdasan kinestetis yang tinggi pada umumnya mampu bergerak dengan ketetapan yang tinggi, terampil menggunakan tangannya untuk mencipakan atau mengubah sesuatu, dan memiliki beberapa keterampilan fisik yang spesifik, seperti melakukan koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan dalam bergerak. Mereka pada umumnya juga memiliki kepekaan dalam menerima rangsangan atau sentuhan.
(27)
27 f. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan Intrapersonal berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam hubungannya dengan kapasitas introspective dan self-reflective. Mereka yang memiliki kecerdasan intrapersonal yang tinggi cenderung memiliki pemahaman yang mendalam tentang diri mereka sendiri, apa kekuatan atau kelemahan dirinya, dan apa yang membuat dirinya unik. Mereka juga mampu memprediksi reaksi diri atau emosi mereka sendiri dalam menghadapi sesuatu. Berpikir kritis dan filosofis termasuk diantara ciri orang dengan kecerdasan ini. Siswa dengan kecerdasan intrapersonal yang tinggi perlu diberi kesempatan untuk berpikir atau belajar secara individual bberapa saat sebelum mereka belajar dalam kelompok.
g. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami, berinteraksi, dan bekerja sama dengan orang lain. Secara teori, orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal yang tinggi memiliki kepekaan terhadap suasana hati, perasaan, dan temperamen orang lain. Mereka yang cerdas secara interpersonal biasanya belajar paling baik dengan bekerja dengan orang lain dan sering menikmati diskusi dan perdebatan.
h. Kecerdasan Naturalist
Kecerdasan naturalist berkaitan dengan kepekaan seseorang dalam menghadapi fenomena alam. Mereka yang memiliki kecerdasan naturalist yang tinggi pada umumnya memiliki kemampuan untuk mengenali bentuk dan menggolongkan spesies flora dan fauna di alam sekitar mereka. Mereka
(28)
28 pada umumnya juga senang belajar sesuatu dengan cara mengelompokkan apa yang dipelajari menurut ciri-ciri tertentu, dan menyukai aktivitas outdoor. Sesekali melakukan kegiatan pembelajaran matematika di luar ruangan kelas tidak hanya membantu siswa dengan kecerdasan naturalist yang tinggi, tetapi juga akan menyenangkan siswa dengan beragam kecerdasan yang dimilikinya.
i. Kecerdasan Existentialist
Kecerdasan existentialist berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mempertanyakan segala sesuatu. Mereka yang memiliki kecerdasan existentialist cenderung mempertanyakan segala sesuatu seperti keberadaan manusia, arti kehidupan, arti kematian, dan berbagai realita yang dihadapi manusia dalam kehidupan. Mereka cenderung bertanya “mengapa”. Memberi tugas untuk mencari asal-usul suatu rumus matematika, atau untuk mempelajari sejarah matematika, dapat dilakukan guru untuk mengembangkan dan memanfaatkan existentialist siswa.
Memperhatikan tentang pengertian kecerdasan majemuk di atas, peneliti melakukan penelitian keragaman kecerdasan siswa sebelum pelaksanaan pembelajaran. Peneliti membanggikan angket kecerdasan majemuk kepada siswa untuk melihat kecenderungan kecerdasan siswa dari kesembilan kecerdasan tersebut. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Selain itu, hasil penelitian kecerdasan majemuka juga digunakan untuk membentuk kelompok yang heterogen agar kemampuan siswa di dalam
(29)
29 satu kelompok beragam sehingga pencapaian hasil pembelajaran dapat maksimal.
5. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Pembelajaran matematika memiliki banyak tujuan yang harus dicapai. Banyak kemampuan siswa yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Salah satu kemampuan yang perlu dikembangkan yaitu kemampuan berpikir kritis matematis. Halpern (2003: 6) mengemukakan mendefinisikan kemampuan berpikir kritis sebagai berikut.
Critical thinking is the use of those cognitive skills or strategies that increase the probability of a desirable outcome. It is used to describe thinking that is purposeful, reasoned, and goal directed—the kind of thinking involved in solving problems, formulating inferences, calculating likelihoods, and making decisions, when the thinker is using skills that are thoughtful and effective for the particular context and type of thinking task.
Maksud dari berpikir kritis di atas adalah penggunaan keterampilan kognitif atau strategi yang meningkatkan kemungkinan hasil yang diinginkan. Hal ini digunakan untuk menggambarkan pemikiran yang tujuan, beralasan, dan tujuan diarahkan-jenis pemikiran yang terlibat dalam memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, menghitung kemungkinan, dan membuat keputusan, ketika pemikir menggunakan keterampilan yang bijaksana dan efektif untuk konteks tertentu dan jenis tugas berpikir.
Di dalam kegiatan pembelajaran terdapat beberapa langkah yang menunjukkan adanya kemampuan berpikir kritis siswa. Sumadi dalam Riyanto (2009: 49) menyebutkan beberapa langkah dalam berpikir sebagai berikut : 1) pembentukan pengertian, 2) pembentukan pendapat, 3) penarikan kesimpulan. Sehingga dapat dikatakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan berpikir
(30)
30 kritis dapat menunjukkan ketiga langkah tersebut dalam menyelesaikan suatu permasalahan matematika. Sejalan dengan pendapat Riyanto, Alec Fisher (2009: 8) membagi keterampilan berpikir kritis menjadi delapan indikator berikut.
1) Identify the elements in a resoned case, espestally reason and conclusions; 2) Identify and evaluate assumptions, 3) clarify and interpret expressions and ideas; 3) Judge the acceptability, espestally the credibility of claims; 4) evaluate arguments of different kinds; 4) analyse, evaluate and produce explanations; 5) analyse, evaluate and make decisions; 6) draw inferences; and 7) produce argguments. Indikator-indikator tersebut dapat diartikan bahwa siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan memiliki kemampuan sebagai berikut:
Tabel 2.2 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Menurut Alec Fisher No Kemampuan berpikir kritis
1. Mengidentifikasi alasan dan kesimpulan 2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi
3. Mengklarifikasi dan menginterpretasi ekspresi dan ide 4. Menilai kemampuan khususnya kebenaran suatu pernyataan 5. Menganalisis, mengevaluasi, dan menyampaikan penjelasan 6. Menganalisis, mengevaluasi, dan membuat keputusan 7. Membuat kesimpulan
8. Menyatakan argumen
Siswa yang berpikir kritis tidak hanya mampu mendefinisikan suatu pernyataan, tetapi juga mampu menganalisis kebenaran pernyataan yang diketahui dari suatu permasalahan. Setelah itu siswa akan mampu menyatakan sebuah argumen dari permasalahan tersebut.
Thomas W. Zane (2013, 2) mengemukakan bahwa kerangka kategori berpikir kritis meliputi interpretation, analysis, evaluation, inference, explanation, dan metacognition for self regulation. Interpretation dapat dikatakan sebagai penafsiran, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Interpretasi dapat berupa argumen, pernyataan, gagasan, konsep, atau
(31)
31 pertanyaan. Analysis merupakan kemampuan yang mencakup hal-hal seperti pertimbangan, investigasi, melihat secara mendalam terhadap suatu masalah, atau membandingkan sesuatu. Evaluation meliputi keterampilan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu. Dengan adanya kemampuan mengevaluasi tersebut, dapat dikatakan bahwa seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis. Inference mencakup kemampuan penalaran yang ditambah dengan penggunaan bukti untuk membuat kesimpulan, membuat keputusan, merencanakan, dan kemampuan memprediksi. Explanation berarti mengomunikasikan hasil pemikirannya menggunakan informasi yang dibutuhkan. Metacognition for self regulation dapat dikatakan sebagai kegiatan mengoreksi diri. Keterampilan metakognisi ini bukan langkah linear dalam berpikir kritis, tetapi berkaitan dengan pemikiran kritis karena keterampilan yang sering muncul pada metakognisi adalah kemampuan merefleksi siswa.
Glazer (2001: 13) mendefinisikan berpikir kritis dalam matematika sebagai berikut:
Critical thinking in mathematics is the ability and disposition to incorporate prior knowledge, mathematical reasoning, and cognitive strategies to generalize, prove, or evaluate unfamiliar mathematical situation in a reflective manner.
Berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan dan sifat untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran matematika, dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, atau mengevaluasi situasi matematis yang tidak biasa dengan cara reflektif. Sehingga dengan adanya pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam matematika, siswa tidak hanya mampu menyelesaikan masalah tetapi juga mampu mengevaluasi masalah matematis.
(32)
32 Dari beberapa pendapat tentang berpikir kritis di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis meliputi beberapa aspek yang kemudian dijabarkan dalam beberapa indikator. Berikut ini aspek dan indikator kemampuan berpikir kritis matematis.
Tabel 2.3 Aspek dan Indikator Berpikir Kritis Matematis
No Aspek Indikator
a. Kemampuan memahami masalah.
a. Menuliskan informasi yang kurang dari suatu masalah.
b. Menuliskan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah. b. Kemampuan
menganalisis masalah.
Menuliskan hubungan dari beberapa informasi.
c. Kemampuan mengevaluasi penyelesaian masalah.
a. Menuliskan kesalahan dari penyelesaian suatu masalah .
b. Memperbaiki penyelesaian masalah yang disajikan.
d. Kemampuan mengambil keputusan.
a. Menuliskan prediksi jawaban dari suatu masalah disertai alasan.
b. Menuliskan kesimpulan dari penyelesaian masalah.
e. Kemampuan menjelaskan penyelesaian masalah.
a. Menuliskan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
b. Menyelesaikan masalah dengan
menggunakan informasi yang diperlukan. 6. Kemandirian Belajar
Proses pembelajaran tidak hanya melatih siswa untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya saja. Siswa dapat mengembangkan karakter positif melalui kegiatan pembelajaran. Sebagai contoh ketika siswa mendapatkan tugas mandiri untuk dikerjakan di rumah. Dengan adanya tugas tersebut siwa dituntut untuk mampu mengerjakan tanpa bantuan guru. Hal ini tentu melatih salah satu sikap siswa untuk belajar mandiri. Tanpa kemauan dan kemampuan dirinya untuk menyelesaikan tugas, tugas tersebut tidak dapat terselesaikan. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Umar Tirtarahardja & La Solo
(33)
33 (2000: 50) bahwa kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemampuan sendiri, pilihan sendiri dan bertanggung jawab sendiri dari pelajar. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa rasa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri merupakan salah satu pendorong kemandirian siswa dalam belajar.
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Yusuf Hadi Miarso (2004: 267) mengemukakan bahwa belajar mandiri prinsipnya sangat erat hubungannya dengan belajar menyelidiki, yaitu berupa pengarahan dan pengontrolan diri dalam memperoleh dan mengggunakan pengetahuan. Membagi waktu untuk belajar di rumah merupakan salah satu contoh sikap pengontrolan diri siswa. Dengan berbagai kegiatan siswa di luar sekolah tentu perlu adanya pembagian waktu belajar dengan baik. Sedangkan guru tidak dapat mengontrol secara langsung kegiatan belajar siswa di rumah. Sehingga dengan adanya sikap pengontrolan diri oleh siswa, siswa dengan kemandirian belajarnya tetap dapat belajar dengan baik.
Hal senada juga disampaikan oleh Paulinna Panen (2000: 5-10) bahwa siswa yang mampu belajar mandiri adalah siswa yang dapat mengontrol dirinya sendiri, dan mempunyai motivasi belajar yang tinggi, serta yakin akan dirinya mempunyai orientasi atau wawasan yang luas dan luwes. Di samping adanya kemampuan siswa untuk mengontrol diri, siswa yang memiliki kemandirian belajar adalah siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi. Ketika siswa mendapat tugas yang cukup sulit, siswa yang tidak memiliki motivasi belajar cenderung memilih untuk mencontek pekerjaan temannya. Namun siswa
(34)
34 dengan motivasi belajar yang tinggi dan kepercayaan tinggi akan mencari cara agar tetap dapat menyelesaikan tugas tersebut.
Zimmerman (1990: 6-7) menjelaskan tentang karakteristik kemandirian belajar (self regulated learning) siswa sebagai berikut:
Definition of students ‘self-regulated learning involve three features: their use self-regulated strategies, their responsiveness to self-oriented feedback about learning effectiveness, and their interdependent motivational processes. Self-regulated students select and use self-regulated learning strategies to achieve desired academic outcomes on the basis of feedback about learning effectiveness and skill.
Kemandirian belajar siswa melibatkan tiga karakteristik, yaitu penggunaan strategi mandiri, respon mereka untuk mengorientasikan diri terhadap umpan balik tentang efektivitas pembelajaran, dan saling ketergantungan proses motivasi mereka. Siswa mandiri memilih dan menggunakan strategi pembelajaran mandiri untuk mencapai hasil akademik yang diinginkan berdasarkan umpan balik tentang efektivitas dan keterampilan belajar.
Dalam pengembangan sikap kemandirian belajar, siswa tidak bergerak sendiri. Guru memiliki keterlibatan dalam pengembangan kemandirian belajar siswa. Menurut Arends (2007: 384), dalam kemandirian belajar guru berperan sebagai pembimbing yang selalu mendorong dan memberikan penghargaan kepada siswanya untuk bertanya dan mencari solusi dalam masalah nyata dengan jalan mereka masing-masing. Siswa diharapkan dapat belajar untuk menerapkan apa yang telah dipelajari secara mandiri dalam kehidupan. Sehingga dalam kegiatan pembelajaran siswa aktif mengembangkan kemandirian belajar dan guru aktif sebagai pembimbing dan motivator bagi
(35)
35 siswa. Dengan adanya motivasi dari guru siswa akan lebih termotivasi untuk mengembangkan kemandirian belajarnya.
Menurut Haris Mudjiman (2009: 20-21) kegiatan-kegiatan yang perlu diakomodasikan dalam pelatihan belajar mandiri adalah sebagai berikut:
a. Adanya kompetensi-kompetensi yang ditetapkan sendiri oleh siswa untuk menuju pencapaian tujuan-tujuan akhir yang ditetapkan oleh program pelatihan untuk setiap mata pelajaran.
b. Adanya proses pembelajaran yang ditetapkan sendiri oleh siswa. c. Adanya input belajar yang ditetapkan dan dicari sendiri. Kegiatan-
kegiatan itu dijalankan oleh siswa, dengan ataupun tanpa bimbingan guru.
d. Adanya kegiatan evaluasi diri (self evaluation) yang dilakukan oleh siswa sendiri.
e. Adanya kegiatan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dijalani siswa.
f. Adanya past experience review atau review terhadap pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki siswa.
g. Adanya upaya untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa. h. Adanya kegiatan belajar aktif.
Untuk melatih kemandirian belajar siswa diperlukan upaya dari siswa sendiri untuk mencari sendiri input pembelajaran baik dengan bimbingan guru maupun tanpa bimbingan guru. Sehingga dapat tercipta kegiatan belajar yang aktif karena siswa termotivasi untuk belajar. Selain itu untuk melatih kemandirian belajar siswa, siswa juga harus mampu mengevaluasi diri kegiatan yang telah dilakukan.
Memperhatikan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki sikap kemandirian belajar adalah siswa yang tidak tergantung pada orang lain, dapat mengontrol diri, percaya diri, memiliki motivasi tinggi dan bertanggung jawab.
(36)
36 B. Tinjauan Materi
Berdasarkan Kurikulum 2013, salah satu pokok bahasan pada mata pelajaran matematika kelas VIII semester genap adalah Lingkaran. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar materi Lingkaran adalah sebagai berikut :
Tabel 2. 4 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Materi Lingkaran
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
3.6Mengidentifikasi unsur, keliling, dan luas dari lingkaran.
3.7Menentukan hubungan sudut pusat, panjang busur, dan luas juring.
4. Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori
4.4Menyelesaikan
permasalahan nyata yang terkait penerapan hubungan sudut pusat, panjang busur, dan luas juring.
Berdasarkan Kompetensi Inti dan Kompetensi dasar di atas, materi Lingkaran mencakup beberapa pembahasan sebagai berikut.
1. Lingkaran dan Unsur-unsur Lingkaran
Lingkaran adalah himpunan semua titik pada bidang datar yang berjarak sama terhadap suatu titik tertentu, yang disebut titik pusat. Ada beberapa unsur-unsur dalam sebuah lingkaran yaitu titik pusat, jari-jari, diameter, busur, tali busur, tembereng, juring, dan apotema.
(37)
37 a. Titik pusat lingkaran
Titik pusat lingkaran adalah titik yang berjarak sama terhadap semua titik pada lingkaran. Titik O adalah titik pusat.
b. Jari-jari lingkaran
Jari-jari lingkaran adalah ruas garis yang menghubungkan titik pusat dengan sebarang titik pada lingkaran. Ruas garis ̅̅̅̅ adalah jari-jari lingkaran.
c. Diameter lingkaran
Diameter lingkaran adalah ruas garis yang menghubungkan dua titik pada lingkaran dan melewati titik pusat lingkaran. ̅̅̅̅ adalah diameter lingkaran. ̅̅̅̅̅ = ̅̅̅̅ + ̅̅̅̅ dimana ̅̅̅̅ = ̅̅̅̅ = jari-jari (r) lingkaran, sehingga diameter = × jari-jari(r) atau = .
O
O P
Gambar 2. 1 Titik pusat lingkaran
Gambar 2. 2Jari-jari lingkaran
Gambar 2. 3 Diameter lingkaran
(38)
38 d. Busur lingkaran
Busur lingkaran adalah ruas garis lengkung yang berhimpit pada lingkaran dan menghubungkan dua titik sebarang pada lingkaran tersebut. Busur lingkaran ada dua macam, yaitu busur yang memiliki panjang kurang dari setengah lingkaran (busur kecil) dan busur yang memiliki panjang lebih dari setengah lingkaran (busur besar).
e. Tali busur lingkaran
̅̅̅̅ disebut tali busur, yaitu ruas garis yang menghubungkan dua titik pada lingkaran tanpa melewati titik pusat lingkaran.
f. Juring
Juring adalah daerah di dalam lingkaran yang dibatasi oleh dua buah jari-jari dan sebuah busur lingkaran yang diapit oleh kedua jari-jari lingkaran tersebut. Juring ada dua, yaitu juring kecil dan juring besar.
R P
Gambar 2. 5 Tali busur ingkaran
Gambar 2. 6 Juring lingkaran Gambar 2. 4 Busur
(39)
39 g. Tembereng
Tembereng adalah daerah di dalam lingkaran yang dibatasi oleh tali busur dan busur lingkaran. Tembereng ada dua, yaitu tembereng kecil dan tembereng besar.
h. Apotema
Apotema adalah ruas garis terpendek yang menghubungkan titik pusat lingkaran dengan tali busur lingkaran tersebut. ̅̅̅̅ adalah apotema pada lingkaran O.
2. Keliling Lingkaran
Keliling lingkaran adalah panjang lintasan yang membentuk suatu bangun lingkaran yang diawali dari suatu titik dan kembali titik semula. Pada gambar di bawah ini, apabila lingkaran dipotong pada titik P, maka akan terbentuk lintasan sepanjang PP’ yang merupakan keliling lingkaran.
Pi (π) merupakan berbandingan antara keliling dan diameter suatu lingkaran, sehingga
� = � �
Gambar 2. 7 Tembereng lingkaran
Gambar 2. 8 Apotema
(40)
40 Apabila adalah jari-jari, dan Dimana = , sehingga untuk mencari keliling lingkaran, dapat ditulis sebagai berikut
� = � × = � × 3. Luas Lingkaran
Luas lingkaran adalah banyaknya persegi satuan yang dapat menutupi seluruh area pada lingkaran. Hal ini dapat ditunjukkan melalui ilustrasi gambar berikut. Persegi-persegi yang ada pada daerah lingkaran tersebut merupakan luas lingkaran.
Apabila suatu lingkaran memiliki jari-jari r, maka luas lingkaran dapat dinyatakan dengan L=πr2. Salah satu cara untuk menemukan luas lingkaran adalah menggunakan pendekatan luas segitiga
Gambar 2. 11 Luas lingkaran dengan pendekatan luas segitiga Sebuah lingkaran dibagi menjadi 16 juring sama besar. Kemudian, juring-juring tersebut disusun dalam bentuk segitiga.
(41)
41 Luas lingkaran = Luas segitiga.
= × × ��
= × ( × � × ) × = × ( × � × ) × = � ×
Jadi, rumus luas lingkaran adalah � × , dengan r adalah jari-jari lingkaran. 4. Sudut Pusat dan Sudut Keliling
Sudut pusat adalah sudut yang titik sudutnya merupakan titik pusat lingkaran sedangkan sudut keliling adalah sudut yang titik sudutnya terletak pada keliling lingkaran. Adapun gambar dari sudut pusat dan sudut keliling adalah sebagai berikut.
Berdasarkan gambar di atas, ∠AOC disebut sudut pusat dan ∠ABC disebut sudut keliling. ∠AOC dan ∠ABC menghadap ke busur yang sama, sehingga besar ∠ABC = ½ × besar ∠AOC. Sehingga besar sudut keliling sama dengan setengah kali besar sudut pusat.
C A
O D
B
(42)
42 5. Perbandingan Besar Sudut Pusat, Panjang Busur, dan Luas Juring
= � �� = � �
Sehingga untuk mencari panjang busur AB dapat dihitung dengan cara Panjang busur AB = ∠ 0 × � �
Luas juring AOB = ∠ 0 × �
C. Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) pernah dilakukan oleh Aris Kartikasari (2013). Hasil penelitian tentang pengembangan perangkat pembelajaran matematika berbasis teori multiple intelligences yang berorientasi pada kemampuan koneksi matematika menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut efektif dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penelitian tersebut dilaksanakan pada materi Lingkaran kelas VIII semester genap. Relevansi penelitian Aris Kartikasari dengan penelitian ini adalah kesamaan penggunaan kecerdasan majemuk untuk penyusunan perangkat pembelajaran dan pembentukan kelompok heterogen dalam kegiatan diskusi. Selain itu terdapat kesamaan pada materi pembelajaran, yaitu Lingkaran.
A
O B
(43)
43 Penelitian pengembangan yang dilakukan oleh Dian Panji Wicaksono (2014) tentang perangkat pembelajaran matematika berbahasa inggris berdasarkan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran tersebut efektif digunakan dalam pembelajaran matematika. Penelitian tersebut dilaksanakan pada materi balok dan kubus untuk siswa kelas VIII. Relevansi penelitian Dian Panji Wicaksono dengan penelitian ini adalah kesamaan penggunaan teori kecerdasan majemuk pada penyusunan perangkat pembelajaran.
Penelitian Yohana Erlangga (2014) tentang penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan scientific dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas VII MTsN Batu Taba menunjukkan bahwa : 1) Hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan scientific lebih baik daripada yang tidak menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan scientific, 2) Hasil belajar siswa pada ranah afektif yang diperoleh melalui lembar observasi cenderung naik selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan scientific, 3)Hasil belajar siswa pada ranah psikomotor yang diperoleh melalui lembar observasi cenderung naik selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan scientific. Relevansi penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah penggunaan beberapa langkah pembelajaran yaitu mengamati, menanya, dan menalar.
(44)
44 Penelitian Fanny Efriana (2014) tentang pendekatan scientific yang dipadukan dengan model discovery learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII MTsN Palu Barat pada materi keliling dan luas daerah layang layang. Relevansi penelitian tersebut dengan penilitian ini adalah kesamaan beberapa langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik yaitu mengamati, menanya dan menalar.
(45)
45 D. Kerangka Berpikir
Gambar 2.14 Diagram Kerangka Berpikir Penelitian Pendahuluan
1. Mengidentifikasi kecerdasan siswa 2. Pembentukan kelompok heterogen
memperhatikan kecerdasan majemuk Kegiatan Inti
1. Mengamati 2. Menanya
3. Mengumpulkan data 4. Menalar
5. Mengomunikasikan
Pembelajaran matematika memiliki peranan penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa.
Berdasarkan tes dan observasi di SMP Negeri 1 Wates, kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar belum maksimal Solusi: Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis
teori kecerdasan majemuk.
Kemampuan berpikir kritis matematis
Kemandirian belajar siswa
Kegiatan Akhir 1. Menyimpulkan
(46)
46 E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP Kelas VIII.
2. Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif ditinjau dari kemandirian belajar siswa SMP Kelas VIII.
(47)
47 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah One-Group Pretest Posttest Design. Faktor dalam penelitian ini adalah pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk, dengan respon yang diamati ada dua yaitu kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar siswa.
Gambar 3.1 Design Penelitian
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP N 1 Wates kelas VIII semester II tahun pelajaran 2014/2015 dengan jadwal sebagai berikut (surat izin terlampir).
Pretest
Angket Awal
Pendekatan saintifik berbasis
teori kecerdasan majemuk
Posttest
Angket Akhir
(48)
48 Tabel 3.1 Jadwal pelaksanaan penelitian
No Hari, Tanggal Jam Materi
1. Selasa,
17 Februaru 2015
07.15-07.55 07.55-08.35
Pretest 2. Jumat,
20 Februari 2015
07.55-08.35 Unsur-unsur Lingkaran 3. Senin,
23 Februari 2015
12.35-13.05 13.05-13.45
Unsur-unsur Lingkaran Keliling Lingkaran 4. Selasa,
24 Februari 2015
07.15-07.55 07.55-08.35
Luas Lingkaran 5. Jumat,
27 Februari 2015
07.55-08.35 Sudut Pusat dan Sudut Keliling 6. Senin,
2 Maret 2015
12.35-13.05 13.05-13.45
Hubungan Sudut Pusat, Juring, dan Busur Lingkaran
7. Jumat, 6 Maret 2015
07.55-08.35 Posttest C. Populasi dan Sampel penelitian
1. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Wates tahun pelajaran 2014/2015 yaitu sebanyak 7 kelas.
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII D yang dipilih secara acak dari 7 kelas.
D. Variabel penelitian
Variabel bebas penelitian ini adalah pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk. Sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir kritis matematis dan kemandirian belajar pada materi Lingkaran.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman variabel penelitian, penelitian ini memberi batasan definisi operasional sebagai berikut:
(49)
49 1. Keefektifan pembelajaran matematika adalah tingkat pencapaian tujuan pembelajaran berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk dikatakan efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis apabila: (a) nilai rata-rata posttest lebih dari nilai rata-rata pretest; dan (b) persentase nilai siswa yang mencapai lebih dari 75, lebih dari 75%. Sedangkan dikatakan efektif ditinjau dari kemandirian belajar siswa apabila: (a) rata-rata skor angket akhir lebih dari rata-rata-rata-rata skor angket awal; dan (b) persentase skor angket siswa yang mencapai kategori minimal Baik, lebih dari 75%.
2. Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Guru membuka pelajaran dengan salam dan doa.
b. Guru mempersiapkan siswa untuk memulai pelajaran dan membuat suasana kelas menjadi kondusif.
c. Siswa diberi apersepsi untuk mengingatkan materi yang diperlukan saat pembelajaran.
d. Siswa diberi motivasi terkait aplikasi materi yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang pernah mereka alami.
e. Siswa diberi informasi tentang tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
(50)
50 g. Siswa diberi kesempatan untuk memberi pertanyaan dari masalah
yang disajikan.
h. Pembentukan kelompok heterogen berdasarkan hasil kecerdasan majemuk siswa seperti dalam Lampiran B. 12.
i. Siswa mendikusikan LKS yang diberikan oleh guru secara berkelompok.
j. Siswa mengumpulkan informasi terkait materi yang sedang dipelajari. k. Siswa menalar materi yang sedang dipelajari bersama teman
sekelompoknya.
l. Satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi ke depan kelas sedangkan kelompok yang lain memperhatikan dan menyampaikan komentarnya.
m. Siswa membuat kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan
n. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya apabila masih ada materi yang belum dipahami.
o. Siswa mengerjakan kuis.
p. Siswa diberi pekerjaan rumah untuk dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.
q. Siswa diberi informasi tentang materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya.
r. Guru menutup pelajaran dengan berdoa dan salam.
3. Kemampuan berpikir kritis matematis merupakan kemampuan siswa dalam:
(51)
51 a. Mengidentifikasi permasalahan.
b. Menyeleksi informasi untuk menyelesaikan masalah. c. Menilai kebenaran suatu pertanyaan.
d. Menyatakan argumen. e. Menarik kesimpulan.
Siswa menunjukkan sikap kemanadirian belajar dengan indikator sebagai berikut sebagai berikut.
a. Tidak tergantung pada orang lain. b. Dapat mengontrol diri.
c. Percaya diri.
d. Memiliki motivasi. e. Bertanggung jawab.
F. Penyusunan Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran dalam penelitian ini terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk materi Lingkaran. RPP dan LKS disusun oleh peneliti dengan memperhatikan pendapat dosen pembimbing dan guru.Adapun RPP dan LKS yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran C dan lampiran D.
Ada beberapa tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam membuat RPP berbasis teori kecerdasan majemuk sebagai berikut.
1. Memilih Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang akan dikembangkan.
2. Merumuskan indikator dan tujuan yang hendak dicapai.
(52)
52 Dalam satu RPP peneliti memberdayakan beberapa kecerdasan dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.2 Kombinasi Kecerdasan Majemuk
No.
RPP pertemuan
ke-
Kompetensi Dasar Kombinasi Kecerdasan Majemuk 1. 1 4.5Mengidentifikasi
unsur, keliling, dan luas dari lingkaran.
Linguistic Logical-mathematical Visual-spatial Interpersonal Intrapersonal Existentialist 2. 2 3.6 Mengidentifikasi
unsur, keliling, dan luas dari lingkaran.
Linguistic Logical-mathematical Bodily-kinesthetic Interpersonal Intrapersonal Existentialist 3. 3 3.6 Mengidentifikasi
unsur, keliling, dan luas dari lingkaran.
Linguistic Logical-mathematical Visual-spatial Naturalist Bodily-kinesthetic Interpersonal Existentialist 4. 4 3.6 Mengidentifikasi
unsur, keliling, dan luas dari lingkaran.
Linguistic Interpersonal
Logical-mathematical Intrapersonal
5. 5 3.7Menentukan
hubungan sudut pusat, panjang busur, dan luas juring. 4.4Menyelesaikan
permasalahan nyata yang terkait
penerapan hubungan sudut pusat, panjang busur, dan luas juring. Linguistic Interpersonal Musical Logical-mathematical Intrapersonal Existentialist
(53)
53 5 Menyusun draf rencana pelaksanaan pembelajaran untuk lima kali
pertemuan yang sesuai dengan langkah-langkah pendekatan saintifik. 6 Mengkonsultasikan draf rencana pelaksanaan pembelajaran dengan dosen
pembimbing.
7 Merevisi RPP yang telah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) sebagai berikut.
1. Mengumpulkan berbagai bahan dan sumber belajar
2. Merancang kegiatan pembelajaran berbasis teori kecerdasan majemuk. 3. Menentukan penilaian pembelajaran
Bentuk penilaian yang digunakan adalah bentuk soal uraian. Soal uraian menuntut siswa untuk menjawab dalam bentuk uraian, penjelasan, hasil diskusi, dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan. G. Instrumen penelitian
1. Bentuk Instrumen a. Tes
Tes digunakan untuk memperoleh data mengenai kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Soal tes disusun berdasarkan kisi-kisi yang sesuai dengan materi pelajaran yang telah diajarkan serta memuat indikator-indikator kemampuan berpikir kritis matematis sebagaimana terlampir pada lampiran A.1 dan A.2. Soal tes yang digunakan berbentuk uraian, terdiri dari 3 soal yang dikerjakan dalam waktu 2 × 40 menit. Tes diberikan sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran. Soal pretest dan posttest dapat dilihat pada
(54)
54 lampiran A.3 dan lampiran A.4. Adapun penilaian tes kemampuan berpikir kritis matematis sesuai dengan pedoman penskoran pada lampiran A.5.
b. Angket
Angket digunakan untuk memperoleh data mengenai kemandirian belajar siswa. Angket berbentuk skala Likert dengan 4 alternatif jawaban sebagai berikut. Angket terdiri dari pernyataan positif dan negatif. Dalam angket kemandirian terdapat 30 pernyataan yang terdiri dari 15 pernyataan positif dan 15 pernyataan negatif. Kisi-kisi angket kemandirian belajar terlampir pada lampiran A.6. Adapun lembar angket kemandirian belajar siswa terladapat pada lampiran A.7. Angket diberikan sebelum dan sesudah pelaksanaan penelitian dengan penskoran sebagai berikut.
Tabel 3.3 Penskoran Butir Angket Pilihan
Sifat
Selalu Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah
Positif 4 3 2 1
Negatif 1 2 3 4
2. Validitas dan Reliabilitas a. Validitas
Validitas yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Untuk mendapatkan validitas isi, maka instrumen dikonsultasikan kepada para ahli untuk diperiksa dan dievaluasi apakah butir-butir tersebut telah mewakili apa yang diukur. Dalam penelitian ini, ahli yang dimaksud adalah dua orang dosen ahli pendidikan matematika Universitas Negeri Yogayakarta. Adapun evaluasi instrumen terlampir pada lampiran A.8 dan A.9.
(55)
55 b. Uji Reliabilitas
Untuk memperoleh reliabilitas instrumen tes pada penelitian ini digunakan rumus Alpha Cronbach karena instrumen berbentuk uraian yaitu (Suharsimi Arikunto, 2010: 239):
= − −∑ ��2
��2
Keterangan:
= koefisien reliabilitas
∑ � = jumlah varians skor tiap-tiap item
� = varians total
= banyaknya butir penyataan/banyak soal
Tinggi rendahnya reliabilitas instrumen dapat ditentukan dengan menggunakan kategori pada tabel berikut.
Tabel 3. 4 Kategori Reliabilitas Instrumen
Interval Kategori
, ≤ < , reliabilitas sangat tinggi
, ≤ < , reliabilitas tinggi
, ≤ < , reliabilitas sedang
, ≤ < , reliabilitas rendah
, ≤ < , reliabilitas sangat rendah
Untuk mempermudah dalam perhitungan, uji reliabel juga dapat diperoleh dari bantuan program komputer SPSS Statistics menggunakan reliability analysis. Hasil uji reliabilitas instrumen tes berpikir kritis menggunakan SPSS yaitu = , yang berarti reliabilitas instrumen tergolong sangat tinggi, sedangkan reliabilitas instrumen kemandirian belajar menggunakan SPP yaitu = , yang berarti reliabilitas instrumen tergolong sangat tinggi.
(56)
56 H. Teknik Pengumpulan Data
1. Metode Observasi
Metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai keterlaksanaan pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk serta informasi yang berkaitan tentang kemandirian belajar siswa. Observasi yang dilakukan adalah pengamatan langsung pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Observer yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 2 orang. Hasil observasi dari kedua observer dapat dilihat pada lampiran E.
2. Metode Angket
Angket yang digunakan pada penelitian ini ada dua yaitu angket kecerdasan majemuk dan angket kemandirian belajar. Angket kecerdasan majemuk diberikan sebelum dilaksanakan penelitian, angket ini digunakan untuk mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa. Adapun contoh angket kecerdasan majemuk pada lampiran B. 11. Angket kemandirian belajar siswa yang diberikan sebelum dan sesudah dilaksanakannya pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk.
3. Tes
Tes kemampuan berpikir kritis matematis diberikan kepada siswa sebelum dan sesudah dilaksanakannya pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk.
(1)
59 = 75%
= 1 - = 25%
Kriteria keputusan H0 ditolak jika �ℎ � > �∝ yaitu �ℎ � > , . b. Kemandirian Belajar
Rumusan masalah yang kedua adalah apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik berbasis teori kecerdasan majemuk efektif jika ditinjau dari kemandirian belajar siswa kelas VIII. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut dilakukan 2 uji hipotesis yaitu:
1) menguji apakah rata-rata skor angket akhir lebih dari rata-rata skor angket awal,
2) menguji apakah persentase skor angket akhir yang mencapai kategori minimal Baik lebih dari 75%,
yang secara statistik diuji dengan menggunakan hipotesis berikut: 1) � : � ≤ � � (rata-rata skor angket akhir tidak lebih dari rata-rata
skor angket awal).
� : � > � � (rata-rata skor angket akhir lebih dari rata-rata skor angket awal).
Taraf nyata = 0,05.
Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
= ̅
√
⁄ , = −
Keterangan:
̅ = rata-rata , dimana = selisih skor (akhir – awal) pada masing-masing responden
(2)
60 = standar deviasi
= jumlah responden
Kriteria keputusan H0 ditolak jika ℎ � > ∝, yaitu ℎ � > , . 2) � : ≤ (banyak siswa yang mencapai kategori minimal Baik
tidak lebih dari 75%).
� : > (banyak siswa yang mencapai kategori minimal Baik lebih dari 75%).
Taraf nyata = , .
Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut: � = � −
√ Keterangan :
� = banyaknya siswa yang mencapai kategori minimal Baik. = ukuran sampel
= 75%
= 1 - = 25%
Kriteria keputusan H0 ditolak jika �ℎ � > �∝ yaitu �ℎ � > , . Untuk melihat klasifikasi kemandirian setiap siswa, dilakukan perhitungan jumlah skor yang diperoleh setiap siswa pada angket akhir. Rentang jumlah skor yang diperoleh siswa 30 sampai 120. Eko Putra Widyoko (2009: 238) membandingkan rata-rata jumlah skor dengan kriteria sebagai berikut:
(3)
61 Tabel 4. 1 Klasifikasi Jumlah Skor Kemandirian Belajar
Rumus Rata-rata
Skor Klasifikasi � > �̅ + , × � > , Sangat baik �̅ + , × < � ≤ �̅ + , × , < � ≤ , Baik
�̅ − , × < � ≤ �̅ + , × , < � ≤ , Cukup �̅ − , × < � ≤ �̅ − , × , < � ≤ , Kurang
� < �̅ − , × � ≤ , Sangat Kurang
Keterangan:
�̅(rerata ideal) = (skor maksimal ideal-skor minimum ideal) (simpangan baku ideal) = (skor maksimal ideal-skor minimum ideal)
(4)
88 DAFTAR PUSTAKA
Alec Fisher. 2009. Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Arends, Richard I. 2007. Learning to Teach Seventh Edition. New York: The Mc Graw hill Companies.
Aris Kartikasari. (2013). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berbasis Teori Multiple Intelligences Howard Gardner Berorientasi pada Kemampuan Koneksi Matematika Siswa Kelas VIII. Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta.
Bell, F. H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). Des Moines, IA: Wm. C. Brown Company.
Chambers, Paul. 2008. Teaching Mathematics Developing as Reflective Secondary Teacher. London: SAGE.
Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogyakarta: Gava Media.
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Dian Panji Wicaksono. (2014). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berbahasa Inggris Berdasarkan Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Pada Materi Balok dan Kubus untuk Kelas VIII SMP. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika. Vol.2, No.5, hal 534-549. Diakses dari http://jurnal.fkip.uns.ac.id. Diakses pada tanggal 11 Januari 2015.
Djamilah Bondan W. (2012). Teori Kecerdasan Majemuk: Apa dan Bagaimana Mengaplikasikannya dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Penelitian. Yogyakart: Pendidikan dan Penerapan, FMIPA UNY. Erman Suherman. dkk. 2003. Stategi Belajar Mengajar Matematika Kontemporer.
Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.
Erman Suherman. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Fanny Efriana. (2014). Penerapan Pendekatan Scientific untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Kelas VII MTsN Palu Barat pada Materi Keliling dan Luas Daerah Layang-layang. Diakses dari
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php pada tanggal 2 Februari 2015 Gagne, Robert M., & Briggs L. J. 1978. Principles of Instructional Design. 2nd ed.
(5)
89 Glazer, E. 2001. Using Internet Primary Sources to Teach Critical Thinking Skills
in Mathematics. London: Greenwood Press.
Halpern, Diane F. 2003. Thought and Knowledge: An Introduvtion to Critical Thingking. USA: Lawrence Erlbaurn Associates.
Hamzah B. Uno. 2007. Model Pembelajaran: Menetapkan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Haris Mudjiman. 2009. Managemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Herman Hudojo. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kemp, E. J., Morrison G. R., & Ross, S. M. 1994. Designing Effective Instruction. New York, NY: Macmillan College.
Laurel Schmidt. 2003. Jalan Pintas Menjadi 7 Kali Lebih Cerdas. Bandung: Mizan Media Utama.
Lina Dwi Astuti. (2014). Upaya Meningkatkan Kemandirian Belajar dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII B SMP Negeri 2 Yogyakarta Melalui Problem Based Learning. Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta.
Mujis, D. Dan Reynolds, D. 2005. Effective teaching evidence and practice. London: SAGE Publication.
Munif Chotib. 2009. Sekolah Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia. Bandung: Khaifa.
M. Masykur dan Abdul halim Fathani. 2007. Mathematical Intelligence Cara Cerdas Melatih otak dan Menanggulangi Kesulitan Belajar. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.
Partnership for 21st Century Skills [P21]. (2005). Learning for The 21st Century.
Washington, DC.
Paullina Panen. 2000. Belajar Mandiri (Mengajar di perguruan Tinggi). Jakarta: PAU-PPAI Dirjen Dikti, Depdikbud.
(6)
90 Permendikbud. (2013). Jurnal Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Permendikbud No. 65 Tahun 2003 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Slavin. R. E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. Boston, MA: Pearson Educational. Inc.
Suharsimi Arikunto. 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
S. Eko Putro Widyoko. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thomas Armstrong. 2002. 7 Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Thomas Armstrong. 2004. Sekolah Para Juara; Menerapkan Multi intelegensi (kecerdasan majemuk) di Dunia Pendidikan. Penerjemah: Yudhi Murtanto.
Bandung:Kaifa.
Umar Tirtarahardja & La Solo. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yatim Riyanto. 2009. Paradigma Baru pembelajaran: Sebagai referensi bagi pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan berkualitas. Jakarta: kencana Prenada Media.
Yohana Erlangga. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran Matematika Pada Siswa Kelas VII MTsN Batu Taba. Diakses dari http://jurnal.umsb.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/YOHANA-ERLANGGA.pdf pada tanggal 5 Januari 2015.
Yunus Abidin. 2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama
Yusuf Hadi Miarso. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Zane, Thomas. W. 2013. Implementing Critical Thinking with Signature Assignments. Salt Lake Community College.
Zimmerman, Barry J. 1990. Self-regulated Learning and Academic Achievement: An Overview. Journal of Educational Psychologist, 25(1), 3-17.