Sejarah perkembangan pondok pesantren Bahauddin al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo 1958-2000 M.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh

MAZIYATUL MAILILLAH NIM: A82213161

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Desa Ngelom

Sepanjang Taman Sidoarjo 1958-2000 M”. Adapun rumusan masalah sebagai

berikut: 1. Bagaimana Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo? 2. Bagaimana Perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo tahun 1958-2000? 3. Bagaimana faktor penghambat dan pendukung Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang mencakup heuristik, kritik sumber, Interpretasi dan historiografi. Penulis menggunakan pendekatan sosiologi yang mencakup teori perananan yang berperan penting dalam keagamaan di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah didirikan oleh KH. Chamzah Ismail tahun 1958, yang bertujuan untuk memperbaiki dan membangun jiwa masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan dapat menanamkan rasa keagamaan pada semua segi kehidupan dalam masyarakat. 2. Perkembangannya juga begitu pesat yaitu karena banyaknya santri yang berdatangam untuk mondok di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, sehingga mengalami peningkatan dari berbagai bidang yang diantaranya mendirikan Madrasah Diniyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, Mi Salafiyah Bahauddin dan lain-lain. 3. Adapun faktor pendukung adalah adanya peran aktif pendiri pesantren, adanya kinerja pengurus yang baik, dukungan positif tokoh masyarakat dan dukungan pemerintah desa maupun kota. Sedangkan faktor penghambat adalah pola perilaku santri dan siswa yang terkadang sulit diatur, kurangnya pendanaan, serta masyarakat kurang memahami seluk beluk pesantren.


(7)

ABSTRACT

This thesis is the result of field research entitled "History of Bahauddin Al-Ismailiyah Boarding School in Village NgelomSepanjang Taman Sidoarjo 1958-2000 MDevelopment". The formulation of the problem as follows: 1. How the history of the founding of Bahauddin Al-Ismailiyahboarding school in villageNgelomSepanjang Taman Sidoarjo? 2. How was the Development of Bahauddin Al-IsmailiyahBoarding School in VillageNgelomTamanSidoarjo in 1958-2000? 3. How are the inhibiting factors andsupportersofBahauddin Al-IsmailiyahBoarding School in VillageNgelomSepanjang Taman Sidoarjo?

This study uses historical research methods that include heuristics, source criticism, Interpretation and historiography. The author uses a sociological approach that includes the theory of roles that play an important role in religion at Bahauddin Al-Ismailiyah Boarding School.

The results of this study can be concluded that: 1. Bahauddin Al-Ismailiyah Boarding School was founded by KH. Chamzah Ismail in 1958, which aims to improve and build the soul of society in accordance with the teachings of Islam and can instill a sense of religion in all aspects of life in society. 2. Development is also so rapidly that is because many santri are craved for live inBahauddin Al-Ismailiyah Boarding School, so it has increased from various fields including the establishment of Madrasah Diniyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, MiSalafiyahBahauddin and others.3. The supporting factors are the active role of the founders of boarding schools, the performance of good management, positive support of community leaders and the support of village and city governments. While the inhibiting factors are the behavior patterns of students and students who are sometimes difficult to regulate, lack of funding, andpeople do not understand the ins and outs of boarding schools.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

TRANSLITERASI ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D.Kegunaan Penelitian ... 10

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 10

F. PenelitianTerdahulu ... 12

G.Metode Penelitian ... 13

H.Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 23

B. Biografi Pendiri dan Latar Belakang berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 25

1. Biografi Pendiri ...25

2. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 27


(9)

C. Tujuan Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah

... 29

D. Tokoh-tokoh yang berperan dalam Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 31

1. KH. Imron Chamzah ... 31

2. KH. Sholeh Qosim ... 35

BAB III : PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH A. Sistem Pembelajaran di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 37

1. Pendidikan Kepesantrenan... 38

a. Periode Perintisan KH. Chamzah Ismail ... 39

b. Periode Pengembangan KH. Imron Chamzah... 41

c. Periode Peralihan KH. Sholeh Qosim... 43

2. Pendidikan Formal ... 47

B. Data Perkembangan Santri ... 56

C. Prasarana dan Sarana Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 57

BAB IV : FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT A. Faktor Pendukung Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 63

1. Faktor Internal ... 63

2. Faktor Eksternal... 67

B. Faktor Penghambat Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 69

1. Faktor Internal ... 69

2. Faktor Eksternal ... 71

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan... 74


(10)

B. Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN- LAMPIRAN ... 79


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pondok Pesantren merupakan sistem pendidikan agama Islam yang tertua sekaligus merupakan ciri khas yang mewakili Islam tradisional di Indonesia yang eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Menurut Djamaluddin, seperti dikutip oleh Abd A’la pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama santri dapat menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seorang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.1

. Pondok pesantren pada mulanya merupakan sistem pendidikan Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Indonesia. Masyarakat ini pasti berkaitan dengan proses Islamisasi, proses ini terjadi melalui pendekatan dan penyesuaian dengan unsur-unsur kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, sehingga terjadi percampuran atau akulturasi. Islamisasi memiliki berbagai cara, antara lain melalui perdagangan, perkawinan, tasawuf, pondok pesantren dan kebudayan atau kesenian.2

Menurut Zuhairini, seperti dikutip oleh Sartono Kartodirjo kedatangan Islam di Indonesia memiliki beberapa pendapat dan sumber. Berdasarkan hasil seminar di Medan 1963, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M dari Arab. Dengan demikian, hasil seminar Medan (1963) telah mematahkan pendapat dari

1

Abd A’la, Pembaharuan Pesantren (Yogyakarta:LKiS, 2006), 15. 2


(12)

para ahli seperti G.W.Drewes yang berpendapat bahwa kedatangan Islam di Indonesia berasal dari India.3

Islam dalam penyebarannya di Nusantara banyak melibatkan orang-orang Indonesia, khususnya para tokoh masyarakat atau ulama. Agama Islam muncul bukan hanya sebagai sebuah doktrin spiritual, tetapi juga ikut memberi karakter pada bangsa Indonesia. Pada abad ke 15-16 M, proses Islamisasi dilakukan oleh para pedagang di Jawa yang terkenal dengan sebutan Walisongo. Walisongo adalah sembilan tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa. Sembilan tokoh tersebut terdiri dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. Sehingga dapat disimpulkan bahwa asal-usul pesantren tidak lepas dari peranan Walisongo. Sebagai contoh salah seorang tokoh Walisongo yaitu Maulana Malik Ibrahim di Gresik - Jawa Timur telah mengembangkan sebuah lembaga pendidikan pesantren yang berproses sejak abad XV M.4

Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kiai merupakan elemen dasar dari tradisi pesantren. Tujuan pendidikan pesantren bukan hanya untuk kepentingan kekuasaan dan keagungan duniawi saja tetapi juga mengutamakan kepada para santri, bahwa belajar adalah semata-semata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri, membina diri agar tidak menggantungkan kepada orang lain kecuali pada Tuhan.5

Kedudukan Pondok Pesantren tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam di Indonesia. Hal ini karena menurut sebagian sejarawan, para muballigh

3

Ibid, 121.

4

Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 57.

5


(13)

selain ikut andil dalam memimpin masyarakat, mereka juga membuka sentral kegiatan untuk para santri di pesantren khususnya kegiatan pengajaran dalam ilmu agama. Para santri diharapkan agar dapat mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian atau mendalami agama dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Pesantren telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren juga telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama pada zaman kolonial. Dengan demikian pesantren dapat dinilai sebagai lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam di Indonesia.6

Ungkapan di atas menunjukan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang relatif tua di Indonesia. Sampai sekarang pesantren terus tumbuh silih berganti dan terus berkembang. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman serta adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat. Secara garis besar lembaga pesantren memiliki beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Ismail SM, seperti dikutip oleh Abdurrahman Wahid bahwa pesantren memiliki 2 tipe tipologi pondok pesantren yang berkembang di Indonesia, yaitu pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). Dalam hal dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pesantren Salaf (tradisional) adalah pengajaran yang tetap mempertahankan kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren.

6


(14)

Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem Sorogan.7 Yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran-pengajaran pengetahuan umum. Masih cukup banyak juga pesantren-pesantren yang mengikuti sistem salafi ini, yaitu Pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri.

2. Pesantren Khalaf atau bisa disebut dengan Pesantren Modern ini juga telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang telah dikembangkannya atau membuka sistem sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Seperti hal nya pada Pondok Pesantren Gontor yang sudah tidak lagi mengajarkan kitab-kitab klasik Islam. Pesantren-pesantren besar, seperti Amanatul Ummah dan Nurul Ummah di Pacet yang telah membuka SMP, SMA dan Universitas dan sementara itu tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.

Kedua tipe pondok pesantren tersebut dapat memberi gambaran bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan sekolah, luar sekolah, dan masyarakat yang tumbuh dari masyarakat, milik masyarakat dan untuk masyarakat. Kehadiran pesantren di tengah–tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tetapi sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Kehadiran pesantren dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat karena berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pengembangan Islam.8

7

Sistem Sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Quran, https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren.

8

Abdurrahman Wahid, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,


(15)

Dalam perkembangan pondok pesantren mengalami perubahan yang sangat pesat, bahkan sebagian pesantren telah megembangkan kelembagaanya

dengan membuka sistem madrasah yang dihadapkanpada banyak tantangan didalam

modernisasi Islam. Kebanyakan lembaga pesantren di modernisasi dan disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman, sehingga secara otomatis akan mempengaruhi sistem pengajaran yang mengacu pada tujuan institusional pesantren tersebut. Pesantren juga harus mampu mempertahankan ciri khas pesantren dalam eksistensinya ditengah–tengah masyarakat.9

Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah terletak di tengah-tengah kota antara Surabaya dan Sidoarjo, tepatnya di Ngelom Sepanjang kecamatan Taman kabupaten Sidoarjo. Pesantren ini didirikan tahun 1958 oleh KH. Chamzah Ismail, seorang ulama dan tokoh NU di Jawa Timur.

Nama Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ini diambil dari nama seorang putra yang bernama Bahauddin, ia adalah putra dari Mbah Raden Ali yaitu salah seorang yang disegani (babat) oleh masyarakat di kawasan Ngelom Sepanjang Sidoarjo. Bahauddin juga memiliki beberapa keturunan yang merupakan perintis utama yaitu KH. Chamzah Ismail dan nama Ismailiyah diambil dari nama belakang pendirinya Ismail yang diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan dakwah nenek moyang keluarga pengasuh pesantren. Sejak berdirinya Pondok pesantren Bahauddin Al Ismailiyah, kepemimpinan pesantren secara turun temurun telah melampai tiga kali periode.

Periode pertama adalah masa kepemimpinan KH. Chamzah Ismail pada tahun 1958-1992, periode kedua pada tahun 1992-2000 dipimpin oleh KH. Imron Chamzah yang akrab dengan panggilan Kiai Imran selanjutnya pada periode

9


(16)

ketiga dipimpin oleh KH. Sholeh Qosim yaitu dari tahun 2000 sampai saat ini. KH. Chamzah Ismail memiliki peranan penting dalam berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Ia merupakan sosok seorang kiai yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan kalimat Allah.

Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah berawal dari sebuah pengajian rutin atau dapat disebut dengan majlis taklim yang diasuh oleh KH. Imron Chamzah dan dilaksanakan dirumah ia (disamping musholla Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah). Dalam majlis taklim tersebut KH. Imron Chamzah menggunakan kitab Ihya’ Ulumuddin, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam perkembangan, jumlah jamaah perempuan semakin bertambah banyak, sedangkan KH. Imron Chamzah tidak ingin menampakkan wajah atau tubuh nya dihadapan jamaah perempuan sehingga hanya terdengar suara KH. Imron Chamzah saja, jamaah perempuan tidak dapat bahkan tidak diperbolehkan melihat KH. Imron Chamzah secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa KH. Imron Chamzah sangat menjaga norma-norma yang berlaku dalam syariat islam. Sepeninggal KH. Imron Chamzah pengajian rutin atau majlis ta’lim digantikan oleh KH. Mun’im Sholeh sampai sekarang.

Pondok pesantren Bahaudin Al-Ismailiyah mengalami fase perkembangan sangat pesat yang diawali oleh berdirinya majlis ta’lim. Karena adanya desakan dari masyarakat setempat maka KH. Chamzah Ismail mendirikan sebuah bangunan pesantren. Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah mempunyai ciri salaf umum. Seiring dengan berkembangnya yayasan pendidikan maka Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah mengkombinasikan pendidikan salaf dengan


(17)

bentuk pendidikan khalaf agar masih diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Ciri khas pendidikan di pesantren ini adalah penanaman syariat bagi santri. Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah mempunyai payung atau induk organisasi pondok pesantren yang mengacu pada RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah), sementara induk organisasi keagamaannya adalah Nahdlatul Ulama (NU).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah berdiri, kemajuan dan perkembangan yang dicapai oleh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, yang tidak hanya berkiprah dalam bidang pendidikan agama (salaf) saja, tetapi juga dalam hal pendidikan umum (khalaf).10

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo?

2. Bagaimana Perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah periode 1958-2000?

3. Bagaimana faktor penghambat dan pendukung Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;

1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo

2. Untuk mengetahui perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah periode 1958-2000

10


(18)

3. Untuk mengetahui faktor yang menghambat dan mendukung dalam Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo

D. Kegunaan Penelitian

1. Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Strata Satu (S1) di bidang Sejarah pada fakultas Adab Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.

2. Sebagai bahan kajian selanjutnya bagi para mahasiswa yang mendalami sejarah, terutama yang berkaitan dengan peran pondok pesantren.

E. Pendekatan dan Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan historis dan pendekatan sosiologis. Pendekatan historis sendiri adalah pendekatan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya, dengan berusaha menelusuri asal-usul pertumbuhan ide-ide didirikannya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dan perkembangannya. Sedangkan pendekatan sosiologi sendiri adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil. Menurut Leopold Van Wiese yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, menganggap bahwa sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris yang berdiri sendiri. Objek sosiologi adalah penelitian terhadap hubungan antarmanusia yang merupakan kenyataan sosial. Jadi menurutnya, objek khusus ilmu sosiologi adalah interaksi sosial atau proses sosial.11 Dengan menggunakan pendekatan tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor sosial yang

11


(19)

mempengaruhi perkembangan pesantren. Selain itu, pendekatan sosiologi dimaksudkan untuk menjelaskan peranan sosial dari pesantren dalam mengembangkan kehidupan masyarakat.

Sedangkan teori itu sendiri dipandang sebagai bagian pokok ilmu sejarah yaitu apabila penulisan suatu peristiwa sampai kepada upaya melakukan analisis dari proses sejarah yang akan diteliti. Teori sering juga dinamakan kerangka referensi atau skema pemikiran pengertian lebih luasnya adalah teori merupakan suatu perangkat kaidah yang memandu sejarawan dan melakukan penelitiannya, menyusun data dan juga dalam mengevaluasi penemuannya.12 Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan teori. Teori merupakan pedoman guna mempermudah jalannya penelitian dan sebagai pegangan pokok bagi peneliti disamping sebagai pedoman, teori adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam memecahkan masalah penelitian.13

Sedangkan Teori yang digunakan dalam bahasa ini adalah teori peranan. Peranan merupakan proses dinamis dari status. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, berarti ia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena antarkeduanya memiliki ketergantungan satu sama lain.14

Menurut Levinson, dalam bukunya Soerjono Soekamto peranan mencakup tiga hal antara lain:

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisiatau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian.

12

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 7.

13

Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi (Jakarta: Liberty, 1990), 11.

14


(20)

2. Peraturan- peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

3. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

4. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku inividu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Dalam hal ini pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah memiliki peranan yang sangat penting dalam keagamaan di desa Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah pernah dikaji sebelumnya oleh;

1. Siti Mufarrokhah, yang berjudul “Penerapan Strategi Pembelajaran The

Power of Two Sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V di

MI Salafiyah Bahauddin”, Jurusan lulus tahun 2001.

2. Imam Mukti, yang berjudul “Peran Raden Ali dan pengembangan Pondok Pesantren Bahauddin” lulus tahun 1995.

3. Zakiyatun Nafsiah, yang berjudul “Arsitektur Masjid Bahauddin di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo”, lulus tahun 1997.

4. Siti Muawanah, yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap

Kecenderungan Santri menggunakan Jasa di Bank Konvensional (Studi kasus Santri di Pondok Pesantren Bahauddin al-Ismailiyah Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo) lulusan tahun 2000.

5. Fokus dari penulisan saya ini menjelaskan tentang perkembangan Pondok Pesantren mulai tahun 1958-2000. Dan rumusan masalah yang penulis susun


(21)

adalah sejarah berdirinya pondok, perkembangan pondok pesantren, hambatan dan dukungan pondok pesantren.

G. Metode Penelitian

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode sejarah, yaitu suatu penulisan yang berdasarkan pada data-data kejadian masa lampau yang sudah menjadi fakta.15 Disini penulis menjelaskan dari mulai sejarah berdiri dan berkembangnya pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah hingga saat ini dengan bukti-bukti autentik seperti akta notaris Dotty Joedowati tentang berdirinya pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah pada tahun 1958 yang didirikan oleh KH. Chamzah Ismail.

Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian sejarah kali ini adalah:

1. Heuristik (Pengumpulan Data)

Peneliti menggunakan metode Heuristik, yaitu pengumpulan data dari sumbernya. Maksudnya ialah usaha pengumpulan buku-buku yang bisa dipakai bahan dalam rujukan dan yang sesuai dengan pembahasan dalam skripsi ini. Dalam penelitian ini bukan hanya pengumpulan buku-buku saja melainkan juga dengan cara wawancara. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide-ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikondtruksikan makna dalam suatu topik tertentu.16 Wawancara untuk keperluan penelitian berbeda dengan percakapan sehari-hari. Wawancara biasanya dimaksudkan untuk memperoleh keterangan, pendirian, pendapat

15

Aminuddin Kasdi, Pengantar Ilmu Sejarah (Surabaya: IKIP, 1995), 30.

16


(22)

secara lisan dari seseorang (yang lazim disebut responden) dengan berbicara langsung (face to face).17

Dari beberapa sumber-sumber yang ada, penulis pun melakukan beberapa wawancara. Adapun yang penulis wawancarai adalah:

a. Pengasuh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah b. Ketua Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah c. Masyarakat di Ngelom Sepanjang

d. Para santri Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah

2. Kritik sumber adalah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik atau tidak. Pada proses ini dalam metode sejarah biasa disebut dengan istilah kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak, sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak.

Dalam penelitian kali ini, peneliti mengkritik tentang sumber-sumber yang sudah ada atau tidaknya yang ada di pesantren serta melakukan wawancara kepada narasumber yang hidup sezaman serta peninggalan-peninggalan pesantren, misalnya karya-karya yang ditinggalkan. Misalnya yang terdapat pada sumber-sumber yang tertulis.

a. Sumber primer

17

Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2007), 69.


(23)

1) Akta Notaris pada tahun 2000 yang dibuat oleh Dotty Joedowati yang ditandai dengan berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah.

2) Wawancara para pengasuh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah b. Sumber sekunder

1) Buku-buku terbitan dari Kementrian Agama yang salah satunya membahas tentang Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah

2) Koran terbitan dari Jawa Pos yang diterbitkan pada tahun 2010 yang salah satunya membahas tentang Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah

3) Piagam Pendirian Pondok yang disahkan oleh Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo

1. Interpretasi atau Penafsiran

Suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali apakah sumber-sumber yang didapatkan dan yang telah diuji autentitasnya terdapat saling berhubungan dengan satu dan lainnya. Demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang telah didapatkan. Penulis juga bukan sekedar menafsirkan akan tetapi penulis juga mengajak santri-santri senior dan juga anak-anak pendiri pondok bahkan tokoh-tokoh yang berpengaruh alam pendirian pondok untuk menafsirkan, guna mencari kebenaran datayang sudah penulis tulis.

2. Historiografi

Menyusun atau merekonstruksi fakta-fakta yang telah tersusun dan didapatkan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber sejarah dalam


(24)

bentuk tertulis.18 Dalam langkah ini penulis dituntut untuk menyajikan dengan bahasa yang baik, yang dapat dipahami oleh orang lain dan dituntut untuk menguasai teknik penulisan karya ilmiah. Oleh karena itu harus dibarengi oleh latihan-latihan yang intensif.dalam penyusunan sejarah yang bersifat ilmiah, penulis menyusun laporan penelitian ini dengan memperhatikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah, yang mengacu pada pedoman penulisan Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Uin Sunan Ampel Surabaya. Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang peneliti gunakan. Adapun pola penyajian adalah dengan dua cara:

a. Informal Deskriptif, yaitu menggambarkan fakta-fakta yang diperoleh apa adanya dari hasil penelitian.

b. Diskriptif Interpretasi, yaitu pola penyajian dengan menyimpulkan keterangan-keterangan melalui beberapa analisa.19

3. Sistematika Pembahasan

Bab I Pendahuluan, merupakan landasan awal penelitian, meliputi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekata dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian, sistematika pembahasan, daftar pustaka.

Bab II Sejarah berdirinya pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo, disini penulis menyajikan latar belakang

18

Usman Hasan, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Depag RI, 1986), 219-226.

19


(25)

berdirinya pondok, pendiri pondok, tujuan berdirinya pondok, dan tokoh-tokoh yang berperan dalam pondok pesantren sehingga mempermudah pembaca untuk mengetahui awal berdirinya pondok dan siapa saja yang memprakarsai.

Bab III Pada bab ini penulis menjelaskan perkembangan pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo, disini penulis menjelaskan perkembangan yang ada diruang lingkup pondok yang meliputi perkembangan metode pembelajaran, prasarana dan sarana dan perkembangan guru dan santri dari tahun ke tahun.

Bab IV Pada bab ini penulis memaparkan faktor penghambat dan pendukung pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo, disini penulis membahas meliputi faktor pendukungt dan penghambat pada pondok pesantren dan bukan hanya dalam pondok saja melainkan pada warga setempat juga.

Bab V Penutup, sebagai upaya terakhir dalam pembahasan ini, maka didalam bab V ini akan beberapa kesimpulan dari pembahasan untuk menjelaskan dan menjawab permasalahan yang ada, serta memberikan kesimpulan yang bertitik tolak dari pembahasan, baik ditujukan kepada para santri pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dan terhadap jalannya pendidikan.


(26)

BAB II

PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH

Istilah pondok berasal dari bahasa Arab “funduq” yang artinya

hotel, kata “pesantren” sendiri merupakan kata benda bentukan dari kata santri yang mendapat awalan ‘’pe’’ dan akhiran “an” berarti tempat

tinggal para santri. Menurut Professor Johns, seperti dikutip oleh

Zamakhsyari Dhofier istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedangkan menurut C.C. Berg, seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier juga berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata shastri yang dalam bahasa india berarti orang yang tahu buku-buku suci atau seorang sarjana ahli kitab suci dalam agama Hindu. Kata

Shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci.1

Dari ungkapan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pondok pesantren adalah tempat para santri belajar agama Islam, sekaligus tempat menginap yang sistem pengajarannya menggunakan cara non klasikal, dimana seorang kiai mengajarkan agama Islam kepada santrinya berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh para ulama

terdahulu.2 Secara fisik, wujud awal dalam pondok pesantren adalah

sebuah Musholla yang biasa disebut orang jawa menyebutnya langgar,

ada pula yang menyebutnya surau.3 Masjid merupakan salah satu unsur

1

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3S, 1983), 18.

2

Zuhairini, et al, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2000), 86.

3


(27)

dasar dari sebuah pondok pesantren, sehingga dapat dikatakan bahwa masjid di pondok pesantren merupakan jantungnya. Dahulu saat kelas-kelas dalam pondok pesantren belum ada, maka semua kegiatan ditempatkan di dalam masjid, seperti praktek salat lima waktu, khutbah serta pengajaran kitab-kitab klasik.

Lambat laun komunitas santri mengalami peningkatan yang awalnya status mereka semuanya adalah santri kalong (tanpa menginap), kini hampir seluruh santri adalah santri mukim (yang menetap). Seiring dengan semakin meningkatnya santri dari luar daerah, maka dibutuhkan konsekuensi penginapan sementara (yang mulanya mereka ditempatkan dimasjid dan kediaman kiai). Kemudian para santri bergotong-royong mendirikan sebuah bangunan berupa sebuah kamar-kamar seadanya untuk menampung para santri yang disebut mondok.

Pondok pesantren tidak akan tumbuh besar begitu saja, melainkan bertahap sedikit demi sedikit dalam kurun waktu yang sangat lama. Sebuah pondok pesantren yang berkembang pesat tidak terlepas dari kemampuan pribadi kiai yang memimpin pondok pesantren tersebut. Jika penerus atau ahli warisnya menguasai dengan baik ilmu pengetahuan agama, kewibawaan, keterampilan mengajar dan menguasai manajemen pondok pesantren yang diperlukan maka unsur pondok pesantren itu akan bertahan lama. Sebaliknya, pondok pesantren akan mengalami kemunduran bahkan bisa hilang begitu saja, jika pewaris yang biasanya masih memiliki hubungan darah dengan pengasuh itu tidak memenuhi


(28)

karakter dan persyaratan tersebut. Jadi berkembang atau tidaknya suatu pondok pesantren tergantung pada figur kiai yang memimpin pondok

pesantren tersebut.4

Sebagai seorang pemimpin, kiai diharapkan mampu membawa pesantren untuk mencapai tujuannya dalam mentransformasikan nilai-nilai keagamaan terhadap umat. Sehingga nilai-nilai-nilai-nilai tersebut dapat mengilhami setiap kiprah santri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kiai dalam dunia pesantren sebagai penggerak dalam mengemban dan mengembangkan pesantren sesuai pola yang dikehendaki. Kiai dan pesantren merupakan dua sisi yang selalu berjalan bersama. Kemajuan dan kemunduran pondok pesantren terletak pada kemampuan kiai dalam mengatur organisasi dan pelaksanaan pendidikan

di dalam pesantren.5 Sedangkan kiai dalam masyarakat memiliki

kedudukan sangat tinggi karena selain kiai menjadi seorang pemimpin agama, kiai juga merupakan pemimpin masyarakat. Masyarakat memandang kiai sebagai pusat spiritual maupun sebagai anggota pendukung kegiatan kemasyarakatan yang sangat tinggi.

Kehadiran sebuah pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Ciri khas pesantren yang lentur (flexibel) ternyata mampu mengadaptasi diri dengan masyarakat serta

4

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1995), 138.

5


(29)

memenuhi tuntutan masyarakat.6 Oleh karena itu, keberadaan pondok

pesantren sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat luas.

A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah termasuk salah satu pondok tertua di Jawa Timur. Awalnya Pondok Pesantren ini menggunakan nama Bahauddin pada tahun 1939 yang diambil dari nama anak dari Raden Ali. Nama Bahauddin kemudian digunakan oleh tiga pesantren di Ngelom-Sepanjang. Karena terdapat tiga pesantren yang menggunakan nama Bahauddin, maka tiap-tiap pesantren tersebut berkumpul atau mengaji dalam satu majlis, tepatnya di Mushola (berada di depan rumah KH. Chamzah Ismail). Akan tetapi, terjadi perdebatan antar tiga pengurus pesantren tersebut, dimana masing-masing dari mereka berkehendak untuk mengadakan pengajian sendiri, sehingga tiap pesantren memisahkan diri dan mendirikan pesantren dengan nama Bahauddin Ali Rafi’i, Bahauddin An-Nidhamiyyah, dan Bahauddin Al-Ismailiyah.

Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah didirikan pada tahun 1958. Nama Al-Ismailiyah sendiri diambil dari nama pendiri yaitu KH. Chamzah Ismail. Pondok pesantren ini terletak di desa Ngelom kelurahan Taman kecamatan Sepanjang, tepatnya berada di wilayah perbatasan kabupaten Sidoarjo dan Kotamadya Surabaya. Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah biasa dikenal oleh masyarakat dengan sebutan

6


(30)

“ngelom pesantren” dikarenakan terdapat banyak pondok pesantren yang ada di daerah terebut.

Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah berawal dari sebuah pengajian rutin atau dapat disebut dengan majlis taklim yang dibawah kepengasuhan oleh KH. Imron Chamzah dan dilaksanakan di rumah ia (disamping musholla Pondok Pesantren Bahauddin

Al-Ismailiyah). Seiring berkembangnya zaman, jama’ah pengajian tersebut

berpendapat untuk mengembangkan majlis agar dijadikan sebuah pondok pesantren yang layak untuk para santri.

Pada masa PKI 1965, KH. Chamzah Ismail mengungsi di Jombang Tebuireng. Sekembalinya ia dari pengungsian ia menyusun program pesantrennya yang meliputi pesantren putri dan majlis taklim. Sepeninggal KH. Chamzah Ismail pada tahun 1970, kepengasuhan pondok pesantren diteruskan oleh Ibu Nyai Chuzaimah yang merupakan putri dari KH. Chamzah Ismail, sedangkan dalam kepengasuhan Majlis Taklim diambil alih oleh KH. Imron Chamzah yang merupakan anak dari KH. Chamzah Ismail. Sepeninggal Ibu Nyai Chuzaimah pada tahun 1995 selanjuntnya pada tahun 1996 dibuatkanlah pondok putra dibawah kepengasuhan KH. Sholeh Qosim yang merupakan adik ipar KH. Imron Chamzah dan menantu KH. Chamzah Ismail, kemudian pada tahun 2000 KH. Imron Chamzah meninggal. Sedangkan pondok putri diserahkan kepada Ibu Nyai Nur Abidah, yang merupakan adik Ibu Nyai Chuzaimah dan putri dari KH. Chamzah Ismail.


(31)

Pada tahap pembangunan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, kegiatan belajar mengajar diikuti santri yang berasal dari desa setempat bahkan dari luar desa Ngelom. Secara rutin, setiap hari setelah solat magrib dilaksankan pengajian rutin bagi santri yang kebanyakan dari kelompok anak-anak remaja. Sedangkan setiap hari kecuali hari Jumat malam Sabtu dilaksanakan pengajian rutin bagi warga setempat. Seluruh pelaksanaan kegiatan mengaji dipusatkan di pesantren. Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah terdiri dari tiga lokal bangunan sederhana yaitu ruang asrama santri, ruang belajar dan aula. Sebagai pesantren kecil dan sederhana, maka sarana fisik dan sarana pendukung kegiatan belajar masih

terbatas.7

B. Biografi Pendiri dan Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah

1. Biografi Pendiri Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah

KH. Chamzah Ismail adalah pendiri Yayasan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang didirikan pada tanggal 21 November 1958. Sebagai permulaan untuk merintis sebuah pesantren, Ia diberi amanah oleh Mbah Abdi Syakur Dhalan, selaku modin di daerah Ngelom pada waktu itu, untuk mengajar anak-anak mengaji yang ditempatkan di Musholah (berada di depan rumah KH. Chamzah Ismail). KH. Chamzah Ismail mengajarkan pendidikan

7


(32)

agama tradisional yang menggunakan kitab-kitab klasik diantaranya

Awamil Jurumiyah, Imriti, Qowa’idul Iqra’ dan Hidayatus Shibyan.

KH. Chamzah Ismail lahir sekitar tahun 1875. Ia adalah teman satu pondok dengan KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Syaikhona Kholil, Bangkalan. Jika dilihat dari silsilah KH. Chamzah Ismail adalah termasuk keturunan dari Raden Joko Tingkir. KH. Chamzah Ismail adalah putra dari Marhani Binti Halima Binti Raden Sairoh Binti Jailani Bin Mbah Albiyah dengan keturunan Mbah Qodik Binti Mbah Ahmad Mutamakkin (Kajen) Bin Sungo Haji Negoro Bin Pangeran Benowo Bin Sultan Demak (Syahid Abdurrahman) atau

Kang Mas Karebet Joko Tingkir.8

Pengalaman pendidikan KH. Chamzah Ismail bermula ketika ia menempuh pendidikan di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Awalnya KH. Chamzah Ismail belajar agama di Pondok Pesantren Pager Wojo Sidoarjo Jawa Timur, yang diasuh oleh KH. Syahid, yaitu ayah dari KH. Ali Mashud yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Ud. Selanjutnya KH. Chamzah Ismail bersama KH. Hasyim Asy’ari mondok di Demangan, Bangkalan, Madura, Jawa Timur yang diasuh oleh Syaikhonah Kholil bin Abd Latif.

KH. Chamzah Ismail terlibat langsung dalam pergerakan Partai Masyumi. Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November

8


(33)

1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah kongres umat Islam pada tanggal 7 sampai 8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai

partai penyatu umat Islam dalam bidang politik.9 Dalam Partai

Masyumi, KH. Chamzah Ismail duduk salah seorang mustasyar Majelis Syura bersama KH. Hasyim Asy’ari.

2. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin

Al-Ismailiyah

Berdirinya pondok pesantren dilatar belakangi adanya kondisi masyarakat yang awam ilmu agama. Dahulu masyarakat tidak bisa mengaji dan sangat sedikit yang mengetahui tata cara membaca Alquran dengan baik dan benar, bahkan mereka dianggap sebagai masyarakat abangan yang tidak perduli ajaran agama. Sehingga datang seorang bernama Raden Ali yang merupakan putra pendiri Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Raden Ali adalah seorang Waliyullah ahli Thariqah Syaththariyah, penyebar dan peletak dasar ajaran Islam yang menganut faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah di

daerah Ngelom Sepanjang dan sekitarnya. Ia juga disebut sebagai the

founding father Pondok Pesantren Salafiyah Bahauddin Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo pada sekitar tahun 1261 Hijriah.

Dengan latar belakang masyarakat “abangan” tersebut, maka Raden Ali ingin menciptakan atau menanamkan ajaran Islam di

9

Bustami, Resolusi Jihad “Perjuangan Ulama: Dari Menegakkan Agama Hingga Negara” (Jakarta: PT Prasindo, 1998), 160.


(34)

daerah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo. Sedikit demi sedikit banyak santri yang mulai menimba ilmu mulai dari berbagai daerah diantaranya Banten, Cirebon dan tentu masyarakat Sidoarjo bahkan ada yang dari Madura.

Raden Ali wafat pada tanggal 17 bulan Syakban tahun 1298 M. Raden Ali memiliki seorang anak bernama Bahauddin yang merupakan keturunan pertama dari tujuh keturunan. Pada 1888 M Bahauddin merantau dalam rangka mencari ilmu di kota Makkah al-Mukarromah dan dikabarkan meninggal di sana, Bahauddin meninggal dunia pada tahun 1908 M dan dimakamkan di sana. Maka untuk mengenang nama putra Raden Ali yang wafat di kota Makkah al-Mukarromah, maka masjid dan Yayasan Pondok Pesantren yang dulunya dibangun Raden Ali diberi nama Bahauddin. Sedangkan nama Al-Ismailiyah merupakan nama yang diambil dari anak Bahauddin yaitu cucu dari Raden Ali yang bernama KH. Chamzah Ismail yang diambil dari nama belakangnya, sehingga pada tahun 1958 telah diresmikan menjadi Pondok Pesantren Bahauddin

Al-Ismailiyah.10

C. Dasar Tujuan Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Tujuan berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah adalah untuk mewujudkan generasi Islam yang berdedikasi tinggi, unggul dalam prestasi dan berakhlakul karimah serta untuk membina masyarakat sekitar

10


(35)

pesantren menjadi masyarakat yang Islami dan untuk mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu yang menyangkut permasalahan duniawi, karena hidup umat manusia di muka bumi ini adalah untuk mengharapkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, kemudian memunculkan ide tentang visi dan misi. Visi dan Misi merupakan pandangan ke depan, arahan sekaligus motivasi serta kekuatan gerak bagi seluruh jajaran yang terlibat dalam pengembangan pesantren ini. Lebih dari itu, visi dan misi juga dipandang sangat penting untuk menyatukan persepsi, pandangan cita-cita, serta harapan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keberhasilan dan reputasi sebuah lembaga pendidikan bergantung pada sejauh mana visi dan misi yang dimilikinya dapat dipenuhi. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan diperlukan rumusan visi dan misi untuk mencapai tujuan dan cita-citanya, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek.

Tujuan pendidikan pesantren adalah untuk mendidik para pemuda agar menjadi muslim yang bertakwa, berpengetahuan dan terampil untuk mengembangkan diri, keluarga dan masyarakat dalam rangka membina masyarakat yang berbahagia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sangat dibutuhkan suatu wadah pendidikan bagi umat muslim agar mendapatkan kader-kader penyebar ajaran agama Islam di masa mendatang. Maka para


(36)

ulama terdahulu sampai sekarang mendirikan pondok pesantren tersebut

sebagai wadah pembinaan umat Islam.11

Begitupun juga dengan KH. Chamzah Ismail yang memiliki tujuan mendirikan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah adalah untuk memajukan umat muslim di seantero dunia agar dapat mengetahui agama

lebih dalam dan “menciptakan” para ulama dari kalangan muda baik

laki-laki maupun perempuan yang dimulai dari daerah sekitar Ngelom Sepanjang Sidoarjo. Selain itu juga ia menggunakan pembelajaran, dengan kitab-kitab yang dikaji pada masa awal adalah menekankan pada pengajaran Alquran dan kitab-kitab yang mengandung ilmu tauhid. Sedangkan yang dimaksud ilmu tauhid adalah ilmu tentang keesaan Allah karena pada saat itu masyarakat masih sangat awam dengan ilmu ketauhidan. Kitab-kitab tauhid yang digunakan dalam Pondok Pesantren

Bahauddin Al-Ismailiyah antara lain Nurudholam, Fathul Madjid dan

Al-Jawahirul Kalamiyah.

KH. Chamzah Ismail selaku pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang kreatif dan inovatif, ia selalu membenah diri untuk mengembangkan pondok pesantren yang dikelolanya. Sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan santri untuk dibekali ilmu setelah keluar dari pesantren, sedangkan pesantren sebelumnya hanya menggunakan non formal saja dan mulai tahun 1971, ia mulai memasukkan unsur pendidikan formal. Tujuan KH. Chamzah Ismail

11


(37)

mendirikan lembaga pendidikan formal adalah untuk mewadahi masyarakat dan santri-santri yang berkeinginan untuk melanjutkan ke pendidikan formal yang masih mengandung unsur kepesantrenan (sekolah umum Islam). Adapun pendidikan formal yang pertama ia dirikan adalah MI Salafiyah Bahauddin, TK Muslimat NU Bahauddin, SMP Bahauddin

dan MA Tsanawiyah Bahauddin.12

D. Tokoh-Tokoh yang berperan dalam Pondok Pesantren

Orang yang berperan dalam mendirikan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah adalah orang yang memiliki pengaruh dari masyarakat di sekitarnya dan banyak memberikan kontribusi/sumbangsih baik berupa pemikiran, tenaga, moril, materil dan harapan bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Adapun tokoh-tokoh yang berperan dalam pendirian tersebut antara lain:

1. KH. Imron Chamzah

Pada tahun 1992, kepemimpinan dalam pesantren dibawah kepengasuhan KH. Imron Chamzah salah satu yang berperan dalam pendirian Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, selain itu juga ia merupakan penerus dalam memimpin Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Pengangkatan KH. Imron Chamzah menjadi pemimpin Pondok Pesantren dikarenakan beberapa alasan, karena KH. Imron Chamzah adalah putra dari KH. Chamzah Ismail yang merupakan pendiri utama Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah.

12


(38)

Pada awal kepemimpinan KH. Imron Chamzah kondisi para santri sangat menurun. Dengan ketekunan KH. Imron Chamzah dalam memimpin santripun semakin bertambah setiap tahunnya. Semua santri yang belajar di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ini dituntun agar akhlaknya selalu terjaga. Hal tersebut untuk membentuk kepribadian masyarakat melalui santrinya. Pada mulanya pesantren tidak lain sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan dan

mengembangkan serta menyebarkan ilmu agama Islam.13

Namun pada masa kepemimpinan KH. Imron Chamzah pesantren masih menggunakan sistem pendidikan salafi tradisional. Dimana para santri menunggu KH. Imron Chamzah datang dan berkumpul menjadi sebuah majlis yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan untuk santri perempuan hanya mendengarkan suara KH. Imron Chamzah melalui sound atau speaker. Adapun kitab-kitab klasik yang

digunakan antara lain Riyadhul Badi’ah, Sullam Taufiq, Fathul Qarib

dan Kifayatul Akhyar.

KH. Imron Chamzah lahir pada tanggal 17 Agustus 1938, sebagai

anak kedelapan dari sebelas bersaudara. Ayahnya adalah KH. Chamzah Ismail. Sedangkan ibunya bernama Nyai Muchsinah. Konon, ia masih keturunan Mas Karebet atau Joko Tingkir. KH. Imron Chamzah tutup usia pada tanggal 23 Juli 2000 di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya

13

M. Dawam Raharjo, Dunia Pesantren dalam peta pembaharuan pesantren dan pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1983), 2.


(39)

dan dikebumikan di Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo karena sakit stroke yang dideritanya sehingga mengalami operasi dan meninggal dunia

Latar belakang pendidikannya dimulai ketika ia dikirim ke Pondok Pesantren Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH. Tamim Irsyad bersama kakak tertuanya KH M. Rifa’i. Saat itu, ia baru berusia sembilan tahun, kemudian ia belajar ke Pesantren Buntet Cirebon selama tiga tahun yang diasuh oleh KH. Abdul Jamil. Selanjutnya, ia belajar lagi di Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang hingga tahun 1954. Ia juga berguru ke Mbah Maksum di Pesantren al-Hidayah, Lasem, Rembang. Setelah itu, ia berpindah lagi ke Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta) yang diasuh oleh KH. M.

Munawwir.14

Ketika masih menjadi santri, KH. Chamzah Ismail sudah aktif dalam berorganisasi khususnya di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama’). Pada tahun 1952, ia menjadi anggota pleno GP Ansor Cabang Jombang. Dua tahun berikutnya menjadi pengurus IPNU (Ikatan Putera Nahdlatul Ulama’) Cabang Jombang. Lima tahun setelah itu, dipercaya sebagai pengurus NU Cabang Lasem, lalu menjadi Ketua NU Lasem dalam Periode 1962-1965.

Pada tahun 1967 ia pulang ke desa Ngelom. Kemudian ia menjadi pengurus Bagian Penerangan Pertanu (Persatuan Tani Nahdlatul Ulama’) Wilayah Jawa Timur. Di tahun yang sama ia menjadi Ketua

14


(40)

Departemen Penerangan GP Ansor Jawa Timur. Selanjutnya, pada tahun 1967-1982 ia menjadi Katib Syuriyah NU Jawa Timur ketika K.H. Machrus Ali menjadi Rais Syuriyahnya.

Dalam karier politik, Kiai Imron Hamzah pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur (1971-1982). Ia juga menjabat Wakil Ketua PPP Wilayah Jawa Timur (1973-1986) mendampingi Ketua KH M. Hasyim Latif; Wakil Ketua DPRD Tingkat I Jatim (1982-1987); dan dua kali menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah Jawa Timur (1987-1992 dan (1987-1992-1997).

Pada tahun 1999-2004 dalam dua periode ia juga memegang jabatan Rais Syuriyah untuk tingkat wilayah di PWNU Jawa Timur, yaitu pada 1992-1997 dan 1997-2002. Karena menjabat Rais Syuriyah, jabatan untuk periode kedua tidak tuntas diselesaikan. Pada 1989-1994 diamanatkan sebagai Sekjen PP Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI).15

Salah satu peran penting Kiai Imron Hamzah dalam bidang pengembangan fikih adalah usahanya merintis kegiatan pengkajian khazanah keislaman salaf melalui berbagai kegiatan halaqah. Upaya itu dilakukannya bersama KH Wahid Zaini, KH Masdar F. Mas’udi, dan sejumlah kiai muda lainnya melalui Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Salah satu hasil upaya itu adalah lahirnya rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan Musyawarah Nasional NU di Lampung pada 1992.

15Anwar Muhammad, “KH. Imron Hamzah Penggagas Halaqah Fikih”, dalam


(41)

2. KH. Sholeh Qosim

Sepeninggal KH. Imron Chamzah kepemimpinan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, Pada 2000 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dimulai kepengasuhan KH. Sholeh Qosim. Pengangkatan KH. Sholeh Qosim dikarenakan beberapa alasan: pertama, karena tidak adanya penerus dari silsilah keluarga KH. Imron

Chamzah. Kedua, karena putra angkat KH. Imron Chamzah mengalami

sakit jiwa, maka kepemimpinan diserahkan kepada KH. Sholeh Qosim yang merupakan adik ipar KH. Imron Chamzah yang menikah dengan adik KH. Imron Chamzah bernama ibu Nyai Khudzaifah.

Sejak kepemimpinan KH. Sholeh Qosim dengan bantuan saudara-saudaranya sedikit demi sedikit dilakukan perbaikan dan pembangunan antara lain yang mulanya gedung dengan satu lantai menjadi dua lantai sampai tiga lantai sampai sekarang. Gedung tersebut digunakan untuk aktivitas kegiatan sekolah dan mengaji santri.

Perkembangan pondok pesantren tak luput dari peran kiai dan para masyarakat sekitar. Pada masa kepemimpinan KH. Sholeh Qosim perkembangan pondok pesantren mulai meningkat. Hal itu menjadikan masyarakat sekitar percaya terhadap pendidikan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Pada 2000 para santri meningkat dari 125 sampai 250 santri. Masyarakat pun semakin banyak yang mempercayakan pendidikan agama anak-anak mereka ke dalam pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah.


(42)

KH. Sholeh Qosim dilahir pada tanggal 28 Nopember 1930 di Bangil Pasuruan, dari pasangan Kiai Markasim dan ibu Nyai Fatichah. Ia memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Khalas Khul dari kelas 1 sampai kelas 3 dan dilanjutkan hingga kelas 6 di Sekolah Rakyat Kopkuning Kapku. Kemudian, pada tahun 1950 ia memutuskan untuk berhenti dan melanjutkan ke Pondok Pesantren Darul Ulum yang diasuh oleh KH. Tamim dalam jenjang Madrasah Tsnawiyah maupun Madrasah Aliyah. Pada tahun 1957 KH. Sholeh Qosim menikah dengan Ibu Nyai HJ. Chudzaifah yang merupakan putri dari KH. Chamzah Ismail. Selanjutnya, KH. Sholeh Qosim mengikuti kajian yang dilakukan dikediaman kakak ipar (KH. Imron Chamzah) yang mana

didalamnya mengkaji tentang kitab Hikam, Nashaih al-Ibad, Riyadhus

Shalihin dan masih banyak lagi.

Dalam karir politik, organisasi yang diikuti oleh KH. Sholeh Qosim adalah Lasykar Fi sabilillah, ia juga termasuk pelopor IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’) di Peterongan bersama Kiai Tolhah Mansyur, kemudian pada tahun 1999 ia selama 3 kali periode menjadi Rois Syuriyah di pengurus Cabang Sidoarjo dan pada tahun 2007 ia menjadi Wakil Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur, tahun 2010 KH. Sholeh Qosim menjadi anggota mukhtasyar PBNU Jawa Timur dan

masuk lagi menjadi jajaran Rois Syuriyah lagi.16

16


(43)

BAB III

PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH

A.Sistem Pembelajaran

Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah menerapkan sistem pendidikan formal dan non formal, dimana lembaga pendidikan tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjadikan manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang terstruktur dan berjenjang dan dikelola secara resmi baik oleh pemerintah maupun oleh swasta, seperti SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Sedangkan dalam pendidikan non formal adalah pendidikan yang dapat dilakukan secara berjenjang tapi tidak bersifat resmi, seperti yang ada di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yaitu Madrasah Diniyah.

Dalam setiap lembaga pendidikan baik itu lembaga pendidikan formal dan non formal, tentunya memiliki sistem pendidikan dan pengajaran tersendiri. Sistem pendidikan formal secara nasional biasanya sama karena ada aturan dari pemerintah pusat. Sedangkan sistem pendidikan pondok pesantren (non formal) beserta aturan-aturan yang berlaku didalamnya walaupun ada yang sama tapi biasanya banyak pula yang berbeda dikarenakan pengaturannya yang tidak terpusat seperti pendidikan formal tetapi dikelola sendiri oleh masing-masing pondok pesantren atau suatu yayasan.


(44)

Menurut Zamakhsyari Dhofier metode pembelajaran di pesantren merupakan hal yang setiap kali mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengajarkan masing-masing ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, dalam rentang waktu yang panjang pesantren secara seragam mempergunakan

metode pengajaran yang telah lazim.1

Tujuan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dirumuskan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak generasi penerus yang baik dalam bidang pendidikan agama maupun pendidikan umum. Tujuan inilah yang membuat para orang tua memondokkan putra putri mereka di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Adapun perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang bisa di klasifikasikan dalam:

1. Pendidikan Kepesantrenan

Pesantren merupakan sarana untuk mengembangkan agama Islam dan berfungsi sebagai pusat penyebaran Islam dan mencetak kader-kader pemimpin Islam pada masa yang akan datang sehingga pengetahuan tentang Islam sangat diperhatikan dan disiapkan pada lembaga pendidikan Islam yakni pondok pesantren. Dengan melihat perubahan-perubahan itu maka penulis dapat mengetahui perkembangan dari Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang didalamnya ada tiga periode yang diantaranya;

1

M. Habib Chirzin, “Ilmu dan Agama dalam Pesantren, dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta, LP3ES, 1988), 41.


(45)

a. Periode Perintisan KH. Chamzah Ismail

Pada tahun 1958 pondok pesantren didirikan oleh KH. Chamzah Ismail di Desa Ngelom Sepanjang Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo sebagai permulaan untuk merintis sebuah pesantren. KH. Chamzah Ismail hanya menyediakan rumah sederhana yang digunakan untuk anak-anak remaja yang ingin belajar mengaji di rumah KH. Chamzah Ismail. Lambat laun KH. Chamzah Ismail dianggap oleh masyarakat sebagai ulama yang mampu dan mengusai agama. Dari situlah masyarakat mempercayakan anak anak mereka untuk menimba ilmu di rumah KH. Chamzah Ismail. Pada tahun 1960 KH. Chamzah Ismail ingin mendirikan pesantren yang hanya berupa 3 kamar yang ditempati oleh santri putra saja. Pada periode awal ada, berjumlah 30 santri yang mondok, diantaranya berasal dari Semarang, Cepu, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Tuban, Pekalongan dan Yogyakarta. KH. Chamzah Ismail mengajarkan kitab, diantaranya Awamil Jurumiyah, Imriti, Qowa’idul I’rab, Hidayatus Shibyan, Tuhfatul Athfal, Sullam Taufiq, Taqrib dan belajar ilmu Alquran.2

Pada tahap awal pendidikan di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah bertujuan semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama saja lewat kitab-kitab klasik, sistem pendidikan yang digunakan merupakan sistem pendidikan tradisional dengan sistem yang sangat sederhana. Misalnya santri hanya belajar bagaimana mengucapkan

2


(46)

lafadz Quran secara hafalan yang diajarkan oleh sang guru. Sistem

pendidikan ini biasanya dikenal dengan istilah wetonan. Istilah

tersebut berasal dari bahasa Jawa yaitu wektu. Dinamakan demikian

karena pelajaran ini diberikan pada waktu tertentu. Biasanya waktu yang dipilih untuk belajar ini adalah ketika habis salat ashar.

Pada tahun 1960 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah saat

itu menggunakan metode tradisional yang disebut dengan “Sorogan”.

Metode Sorogan adalah model pengajian dimana salah seorang santri ditunjuk untuk membaca kitab pelajaran sedangkan sang kiai mendengarkan sambil membenarkan jika terdapat kesalahan. Metode ini dianggap metode pengajaran yang sulit karena dibutuhkan kesabaran dan ketelitian pada setiap santri. Biasanya waktu yang dipilih untuk belajar ini adalah ketika habis salat maghrib hingga isya’. Pembelajaran tersebut dilakukan tiga kali dalam seminggu.

Perkembangan pesantren tahun 1970 masih mengedepankan sistem tradisional yang pada saat itu masih menggunakan “Sorogan”. Misalnya pada Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang masih

menggunakan kitab-kitab klasik yaitu Qami’u Al-Thugyan, Safinah

Najah, Tafsir Al-Jalalain, Hidayah Al-Mustafid dan Al-Jawahr al-Kalamiyah. Adapun kitab-kitab kuning yang digunakan disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri yang dipelajari hingga santri khatam dan dapat naik ke kitab lain yang lebih tinggi kesukarannya. Kitab kuning yang biasa digunakan dalam referensi pondok pesantren


(47)

adalah kitab Fiqih, Nahwu, dan Sorof sebagai cabang ilmu yang

utama.3

b. Periode Pengembangan KH. Imron Chamzah

Pada tahun 1992 saat Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah mulai berkembang, KH. Chamzah Ismail meninggal. Setelah itu pondok pesantren dibawa kepengasuhan oleh KH. Imron Chamzah yang merupakan anak dari KH. Chamzah Ismail. Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah sudah mengalami perubahan sedikit demi sedikit baik secara fisik maupun secara non fisik, seperti keadaan santri yang semakin banyak dan jumlah pengajar yang ada. Dengan berjalannya waktu, mulailah berdatangan para santri yang ingin mondok di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Dari situlah KH. Imron Chamzah mulai berfikir dan berniat untuk menambah bangunan kamar untuk bermukim. Pada tahun 1993 KH. Imron Chamzah membangun beberapa kamar untuk para santri yang ingin bermukim, kamar tersebut berdekatan dengan rumah KH. Chamzah

Ismail.4

Pada tahun 1995 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah merupakan lembaga pendidikan yang masih mengedepankan sistem pendidikan tradisional. Saat itu pesantren menggunakan metode

“bandongan”, yaitu merupakan metode pengajaran dimana kiai atau

ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab. Dalam sistem ini para

3

Muhammad Sholeh Qosim, Wawancara, Sidoarjo, 27 April 2017.

4


(48)

santri mendengarkan, memaknai dan mencatat keterangan pada kitab maupun buku catatan lain, serta mengulas isi buku-buku Islam dalam

bahasa Arab.5 Sembari para santri menunggu kedatangan KH. Imron

Chamzah, mereka masih membaca atau mempelajari kitab yang akan diulas oleh KH. Imron Chamzah.

Dalam kegiatan tersebut santri putra berada di dekat rumah KH. Chamzah Ismail, sedangkan santri putri berada di belakang ruang yang sebelumnya ditempati oleh santri putra, karena KH. Imron Chamzah tidak ingin menampakkan wajah atau tubuhnya di hadapan santri putri, bahkan KH. Imron Chamzah juga melarang santri putri melihat KH. Imron Chamzah sehingga hanya terdengar suara KH. Imron Chamzah yang pada waktu itu KH. Imron Chamzah menggunakan speaker atau sound. Hal ini menunjukkan bahwa KH. Imron Chamzah sangat menjaga norma-norma yang berlaku dalam

syariat Islam. Kitab-kitab kuning yang digunakan antara lain Riyadhul

Badi’ah, Riyadhus Sholihin, Sullam Taufiq, Fathul Qarib dan Kifayatul Akhyar.

Pada tahun 1997 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah mulai meningkatkan sistem pembelajaran dengan membagi tingkatan para santri yang berminat belajar kitab klasik dengan membagi menjadi dua sistem yaitu tradisional dan diniyah berjenjang. Pendidikan pondok pesantren secara tradisional dalam prakteknya masih

5


(49)

menggunakan metode Sorogan dan Bandongan seperti yang telah

dijelaskan.6

c. Periode Peralihan KH. Sholeh Qosim

Pada tahun 2000 sepeninggal KH. Imron Chamzah kepengasuhan pesantren diambil alih oleh KH. Sholeh Qosim yang merupakan menantu dari KH. Chamzah Ismail dan suami dari adik KH. Imron Chamzah. Pada awal kepemimpinan santri berjumlah 250, berbagai peristiwa terjadi di Indonesia menjadikan orang tua percaya terhadap pendidikan pesantren. Demikian pula yang terjadi di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, banyak orang tua beranggapan bahwa agama sebagai landasan dan pegangannya sehingga masyarakat pun semakin percaya dengan santri yang telah berhasil dalam ilmunya. Dari dukungan masyarakat pesantren dapat berkembang pesat karena bagaimanapun keberhasilan pesantren berhubungan erat dengan peran kiai dan masyarakat luas.

Pada tahun 2003 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah berdiri disesuaikan dengan pesantren salafiyah, sehingga pesantren terkenal dengan pengkajian kitab salaf (kitab kuning). Kitab-kitab yang diajarkan juga beragam sehingga disesuaikan dengan tingkatan pendidikan santri. Tingkat pendidikan di Pondok Pesantren Bahauddin Al-ismailiyah yaitu Madrasah Diniyah yang terbagi menjadi tiga tingkatan yang diantaranya adalah Madrasah Diniyah Awaliyah,

6


(50)

Madrasah Diniyah Wustho dan Madrasah Diniyah Ulya.7 Sehingga

KH. Sholeh Qosim berusaha untuk mempertahankan dan

mengembangkan pondok pesantren, dimana pada pendidikan yang sudah dimulai sejak berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah saat itu menggunakan sistem pendidikan tradisional yang sebelumnya. Adapun literatur wajib yang harus dipakai seperti kitab Tafsir Jalalain, Riyadhus Shalihin, Jawahirul Bukhari dan Shahih Bukhari, Riyadhul Badi’ah, Sullam Taufiq, Fathul Qarib dan Kifayatul Akhyar, Nurudholam, Fathul Majid, Al-Jawahirul Kalamiyah, Risalatul Muawanah, Hidayatul Adzkiyaa, Ihya’ Ulumuddin, Jurumiyah, Imrithi, Nadzan Maqsud dan Al-Amtsilatut Tashrifiyah.

Disamping itu, Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah juga mengadakan pengajian umum yang diikuti oleh para santri dan masyarakat setempat yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Kegiatan ini dikhususkan untuk mengkaji berbagai kitab kuning dan biasanya khatam dalam waktu sebulan kurang. Kitab-kitab yang

digunakan dalam kegiatan Ramadhan adalah Shahih Bukhari jilid 1

sampai 4, Tanbihul Ghofilin jilid 1 dan 2, dan Hasyiya.8 Waktu

kegiatan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dimulai pukul

03.00 sahur dan Tahajjud berjama’ah, pukul 04.00 santri persiapan

salat Shubuh, pukul 04.30-07.00 santri dan masyarakat setempat

7

Muhammad Jazuli Sholeh, Wawancara, Sidoarjo, 27 April 2017.

8


(51)

mengaji kitab Minhajul Abidin, pukul 07.00-07.30 santri salat Dhuha

berjama’ah, pukul 08.00-12.00 santri mengaji kitab Shahih Bukhari

jilid 1, pukul 12.00-13.00 salat Dzhuhur berjama’ah, pukul 13.30

-15.00 santri menyempatkan untuk mengaji Alquran bersama-sama,

pukul 15.00-15.30 salat Ashar berjama’ah, pukul 16.00-17.30 santri

mengaji kitab Shahih Bukhari jilid 2, pukul 17.30-18.00 salat

Maghrib, berbuka dan istirahat, pukul 18.30-20.00 salat Tarawih,

pukul 20.00-00.00 santri mengaji kitab Shahih Bukhari jilid 3, setelah

itu pada pukul 00.00 para santri istirahat.

Kegiatan tersebut sudah menjadi kegiatan wajib bagi santri yang mondok di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah untuk mengikuti kegiatan. Sedangkan, untuk kegiatan dalam keseharian penulis memaparkan dibawah ini yang diantaranya adalah pukul

03.00-03.30 para santri mengikuti salat Tahajjud berjama’ah, pukul

04.00-06.00 salat Shubuh dan santri mengikuti pengajian kitab kuning Tanbihul Ghofilin, pukul 06.00-06.30 santri melaksanakan Jama’ah salat Dhuha dan persiapan sekolah, pukul 07.00-13.00 sekolah formal,

pukul 13.00-13.30 salat Dzuhur berjama’ah, pukul 13.30-15.00 santri

istirahat, pukul 15.00-15.30 salat Ashar berjama’ah, pukul 16.00

-17.30 santri mengikuti pengajian kitab kuning Al-Jawahirul

Kalamiyah, pukul 17.30-18.00 santri melaksanakan salat maghrib berjama’ah, pukul 18.00-19.00 santri mengikuti pengajian Alquran


(52)

dengan bersama-sama, pukul 19.00-22.00 mengikuti pengajian kitab kuning dan pada pukul 22.00-23.00 santri belajar dan Istirahat.

Dengan memberikan kegiatan positif bagi para santri maka pihak pesantren memberikan pelajaran tambahan untuk membuat para santri lebih mandiri dan mendalami akan pendidikan yang diberikan Pesantren. Kegiatan yang dilakukan para santri di luar sekolah antara lain yaitu banjari, komputer, marawis, dan sebagainya. Selain pengajian kitab kuning yang telah diajarkan demi menunjang kreatifitas para santri pesantren juga memberikan bekal para santri seperti pengembangan dalam bahasa yang bertujuan untuk mendukung kecakapan dalam komunikasi dan belajar di Pondok Pesantren serta dapat dimanfaatkan untuk bekal para santri di masa depan dan dapat berinteraksi dengan masyarakat.

Dengan kegiatan inilah yang selalu dikembangkan oleh Pesantren dengan tujuan agar dapat digunakan oleh para santri sebagai bekal ketika mereka pulang ke kampung halaman dan pondok pesantren bangga jika para santri berhasil dan dapat mencetak para generasi muda yang benar-benar berguna bagi Nusa, Bangsa dan Agama dan

juga dapat menjadi panutan masyarakat. Sehingga dapat

menyesuaikan dengan visi dan misi dan tujuan pondok pesantren yang

membuat para santri memiliki akhlak yang baik.9

9


(53)

2. Pendidikan Formal

Pendidikan yang diselenggarakan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah adalah mengacu pada kurikulum Departemen Agama (DEPAG) dan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Agar dapat mencapai sistem pendidikan yang baik, pesantren memerlukan

pembaharuan-pembaharuan pendidikan dengan mengikuti ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam memenuhi tuntutan masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak hanya memerlukan ilmu agama sebagai benteng keimanan tetapi juga ilmu umum untuk menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi di era globalisasi. Serta inovasi dalam sistem

pendidikan diperlukan agar pelayanan yang diberikan pesantren tetap up

to date. Inovasi pendidikan tersebut dapat menyangkut beberapa aspek yang diantaranya berkaitan dengan kurikulum, materi pembelajaran, metode pembelajaran sarana penunjang seperti peralatan yang memadai

baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.10

Pondok Pesnatren Bahauddin Al-Ismailiyah juga menaungi lembaga-lembaga pendidikan sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan masyarakat, dalam berbagai disiplin ilmu. Pendidikan sekolah sedikit demi sedikit juga sudah mencapai perubahan yang berarti dengan banyaknya kurikulum yang tidak hanya menggunakan kurikulum agama melainkan juga menggunakan kurikulum umum yang semakin lama semakin berkembang, sesuai tuntutan zaman. Karena itu, para santri tidak

10

Sulthon Masyhud dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), 90.


(54)

perlu takut, karena mereka sudah mendapatkan bekal pengetahuan agama. Pendidikan formal tersebut meliputi MI Salafiyah Bahauddin, TK Muslimat Bahauddin, dan Madrasah Aliyah Bahauddin dan SMP

Bahauddin. Berikut dijelaskan perkembangan dan struktur

organisasinya:11

a. MI Salafiyah Bahauddin

MI Salafiyah Bahauddin Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo merupakan salah satu sekolah yang berdiri sejak tahun 1971 dan nama MI Salafiyah Bahauddin diambil, agar lembaga MI ini mengikuti berbagai macam kegiatan dalam pesantren. MI Salafiyah Bahauddin merupakan sekolah yang menyelenggarakan pembelajaran yang integral dengan pesantren. Karena itu libur mingguannya adalah hari Jum’at. MI Salafiyah Bahauddin merupakan salah satu sekolah dibawah naungan Yayasan Pendidikan Bahaudin (YAPIB) yang

dikembangkan dan dibina dibawah lembaga Pendidikan Ma’arif NU,

Depag dan Depdiknas. MI Salafiyah Bahauddin memiliki visi unggul dalam berprestasi berdasarkan IMTAQ dan IPTEK, unggul dalam peningkatan prestasi akademik dan non akademik. Serta misi MI Salafiyah Bahauddin adalah meningkatkan wawasan pengetahuan keagamaan yang didasari keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan

11


(55)

Yang Maha Esa dan melaksanakan pembelajaran secara intensif,

terjadwal, efektif dan efisien bagi guru dan siswa.12

MI Salafiyah Bahauddin merupakan sekolah yang berstatus swasta, dengan nama sekolah MIS Salafiyah Bahauddin. Jam masuk Mi Salafiyah Bahauddin mulai pukul 07.00 WIB dan pulang pukul 12.00 WIB. No Statistik sekolah 111235150147. Tanggal S.K. Pendirian 01 Januari 1986 dengan NIS 20501976. Kepala sekolah MI Salafiyah Bahauddin bernama Nurul Huda S.Ag. dan ketua komite sekolah bernama H. M. Ichwan Thojib, S.Pd. Jumlah guru di MI Salafiyah Bahauddin sebanyak 17 orang dan 2 orang tenaga kerja TU. MI Salafiyah Bagauddin memiliki luas bangunan 834 m² dengan taman bermain 500 m², total keseluruhan 1334 m².

b. TK Muslimat NU Bahauddin

TK Muslimat NU Bahauddin berdiri pada tahun 1978 yang terletak di Desa Ngelom Sepanjang Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. TK Muslimat NU Bahauddin memiliki visi terwujudnya anak yang aktif, kreatif, sehat dan berakhlakul karimah serta sesuai dengan tumbuh kembang anak usia dini. Adapun misinya adalah menggali dan mengembangkan potensi, bakat dan minat anak, menciptakan lingkungan sehat akrab dalam nuansa iman, islan dan

12


(56)

ihsan serta memberikan pelajaran dengan kurikulum sesuai standart

nasional dan berpedoman pada Al-Quran dan Hadis.13

Jam masuk TK Muslimat NU Bahauddin mulai pukul 07.00-10.00 WIB. Nomor S.K. Pendirian TK Muslimat Bahauddin yakni 4.21.1/923/413/101/SK/1999 dengan lembaga penyelenggaranya yakni pengurus TK Muslimat NU Bahauddin. Jumlah siswanya 58 orang, laki-laki 34 dan perempuan 24 orang dengan jumlah guru 6 orang yakni ibu Aminatus, S.Pdi. selaku kepala sekolah di TK Muslimat NU Bahauddin.

c. Madrasah Aliyah Bahauddin

Berdiri sejak tahun 1989 Madrasah Aliyah Bahauddin di bangun atas inisiatif KH. Sholeh Qosim yang berperan sebagai ketua yayasan di Madrasah Aliyah Bahauddin dan berkat dukungan masyarakat Madrasah Aliyah Bahauddin terus berjalan dan berkembang sesuai zamannya. KH. Sholeh Qosim ingin mendirikan MA Bahauddin untuk mewadahi masyarakat dan santri-santri yang berada di pondok pesantren yang ingin melanjutkan ke madrasah aliyah atau ke sekolah menengah atas.

Madrasah Aliyah Bahauddin ini berada dibawah naungan Yayasan Pendidikan Bahauddin (YAPIB) yang dipimpin oleh KH. Sholeh Qosim. Dan pada tahun 2003 Madrasah Aliyah Bahauddin mendaftarkan diri ke Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Sidoarjo,

13


(57)

untuk dijadikan salah satu madrasah yang ada di bawah pengawasan dan pengelolannya. Dan pada tahun 2003 Madrasah Aliyah Bahauddin mendapat Piagam dari Departeman Agama, dan diakui sebagai lembaga pendidikan swasta yang ada di bawah pengawasannya,

dengan SK nomor : 35/YAPIB/SK/B.6/I/2003.14

Madrasah Aliyah Bahauddin terletak di desa Ngelom Sepanjang Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo No 123 dengan kode pos 61257. No Statistik Madrasah 131235150014 dengan NSN 20540040. Kepala sekolah Madrasah Aliyah Bahauddin bernama Drs. H. Muhammad Nuh Sholeh dengan luas bangunan 392 m² dan luas tanah 492 m², jadi keseluruhan 884 m². Jumlah siswa pada tahun 1989 sampai 1990 saat itu kelas 10 berjumlah 33 siswa, kelas 11 berjumlah 32 siswa dan kelas 12 berjumlah 30 siswa. Jadi total keseluruhan berjumlah 95 siswa.

Pada tahun 1990 sampai 1993 saat itu siswa kelas 10 berjumlah 32, kelas 11 berjumlah 40 siswa dan kelas 12 berjumlah 45 siswa. Jadi total keseluruhan berjumlah 117 siswa. Tahun berikutnya 1993 sampai 1996 siswa kelas 10 berjumlah 52 siswa, kelas 11 berjumlah 48 siswa, kelas 12 berjumlah 28 siswa. Jadi total keseluruhan berjumlah 128 siswa. Sedangkan tahun 1996 sampai 2000 siswa kelas 10 sedikit ada peningkatan yang berjumlah 68 siswa, kelas 11 berjumlah 42 siswa

14


(58)

dan kelas 12 berjumlah 34 siswa. Jadi total keseluruhan berjumlah 144 siswa.

Apabila dilihat dari sejarah berdirinya pendidikan formal di Bahauddin Al-Ismailiyah, Madrasah Aliyah Bahauddin dan SMP Bahauddin merupakan pendidikan yang pertama. Semua jenjang pendidikan tersebut memadukan kurikulum Depdiknas dan DEPAG ditambah lagi dengan kurikulum pesantren. Sebagai penunjang di lembaga pendidikan tersebut dalam pendidikan formal juga menyediakan beberapa laboratorium yang meliputi laboratorium komputer, laboratorium IPA serta ruang speaking class. Pendidikan formal ini tidak hanya diselenggarakan para santri Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah saja akan tetapi juga masyarakat maupun

santri yang ada di wilayah Sidoarjo dan sekitarnya.15 Adapun tujuan

dalam mendirikan Madrasah Aliyah Bahauddin, antara lain :

1) Untuk membantu masyarakat di dalam masalah pendidikan.

2) Untuk menghimpun dan membina anak-anak usia sekolah dalam

taraf usia yang sejajar.

3) Untuk memperdalam pengetahuan umum sekaligus

pengetahuan agama yang memadahi.

4) Untuk meningkatkan kwalitas pendidikan anak-anak agar menjadi

muslim yang berpengetahuan luas dan bertanggung jawab.

15


(1)

masyarakat dengan lebih jauh lagi, dapat memberikan program pendidikan agama Islam dengan baik dan unik sehingga santri merasa penasaran dan ingin mondok.

c. Kurangnya Sarana Penunjang

Sarana penunjang salah satu dari penghambat berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Isamailiyah karena adanya transportasi yang sangat sulit dijangkau dari area Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dengan letak yang di pinggiran kota. Selain itu juga, di dalam area parkir Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah sangat tidak memungkinkan karena kurangnya lahan parkir. Bukan dari segi transportasi juga, dari segi infrastuktur bangunan juga harus segera dibenahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah didirikan oleh KH. Chamzah Ismail pada tahun 1957. Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah secara pribadi KH. Chamzah Ismail merasa prihatin melihat kondisi masyarakat yang masih awam dengan ilmu agama dan sangat sedikit yang mengetahui tata cara membaca Alquran yang baik dan benar, sehingga KH. Chamzah Ismail ingin mengajarkan ajaran agama yang sesungguhnya, yang akhirnya ia bertekad dan niat yang tulus untuk mendirikan Pondok Pesantren yang bernama Bahauddin Al-Ismailiyah yang nantinya untuk memperbaiki dan membangun jiwa masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan dapat menanamkan rasa keagamaan pada semua segi kehidupan dalam masyarakat.

2. Faktor yang menyebabkan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah berkembang begitu pesat yaitu karena banyaknya santri yang berdatangam untuk mondok di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, sehingga mengalami peningkatan dari berbagai bidang


(3)

yang diantaranya sistem pembelajaran yang pada awalnya hanya mendirikan Madrasah Diniyah, namun sekarang sudah mampu mendirikan sekolah Madrasah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah, Mi Salafiyah Bahauddin dan lain-lain. Selain mengalami perubahan pada sistem pendidikan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah juga mengalami perkembangan dalam bidang pembangunan untuk menampung semua kegiatan dan tempat tinggal santri.

3. Sejalan dengan perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, terdapat pula faktor pendukung dan penghambat yang ada di pesantren. Adapun faktor pendukung yang diantaranya adalah peran aktif pendiri pesantren, adanya kinerja pengurus yang baik, dukungan positif tokoh masyarakat dan dukungan pemerintah desa maupun kota. Sedangkan faktor penghambat adalah pola perilaku santri dan siswa yang terkadang sulit diatur, kurangnya pendanaan, serta masyarakat kurang memahami seluk beluk pesantren.

B. Saran

Hal-hal yang penulis paparkan dalam skripsi ini adalah sebagian kecil dari berbagai aktivitas sosial yang pernah dilakukan oleh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Desa Ngelom Sepanjang Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. Sebagai bagian dari perkembangan dakwah islamiyah, karya tulis ilmiah yang penulis susun ini tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Secara sadar penulis mengharapkan adanya koneksi dari berbagai pihak sebagai upaya untuk


(4)

menyempurnakan karya ilmiah ini sebagai karya yang layak untuk dibaca dan dikaji bersama.

Penulis juga mempunyai harapan yang besar kepada Pondok Pesantren di Indonesia khususnya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Desa Ngelom Sepanjang Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, agar lebih giat dalam menyiarkan ajaran agama Islam melalui berbagai kegiatan sosial keagamaan, selain itu juga terhadap berbagai program yang menjadi sangat penting agar kegiatan yang pernah dijalankan dapat dirasakan secara nyata hasilnya oleh umat dan kegiatan-kegiatannya menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A’la, Abd. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta:LKiS, 2006.

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bustami. Resolusi Jihad “Perjuangan Ulama: Dari Menegakkan Agama Hingga Negara”. Jakarta: PT Prasindo.

Chirzin, Habib. Ilmu dan Agama dalam Pesantren. Jakarta, LP3ES, 1988. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai. Jakarta: LP3S, 1983.

Djarwanto. Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi. Jakarta: Liberty, 1990.

Galba, Sindu. Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi. Jakarta; PT. Renika Cipta, 1991.

Hartanto, Agung, et al. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta, 1999.

Hasan, Usman. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Depag RI, 1986. Hasbullah. Kapita Selekta Sejarah Islam. Jakarta; PT. Raja Grafindo

Persada, 1996.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1995.

Kartodirjo, Sartono. Seminar Sejarah Nasional IV. Jakarta: Grafiti Pres, 1983.

Kasdi, Aminuddin. Pengantar Ilmu Sejarah. Surabaya: IKIP, 1995.

Masyhud, Sulthon, et al. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2001.


(6)

Notosusanto, Nugroho. Musnah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta:PD Aksara, 1969.

Raharjo, Dawam. Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1983.

S. Nasution. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Sarijo, Marwan, et al. Sejarah Pondok Pesantren. Jakarta: Dalam Bhakti, 1979

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif . Bandung: Alfabeta, 2015. Suyanto, Bagong, et al. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif

Pendekatan. Jakarta: Kencana, 2007.

Wahid, Abdurrahman. Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Zuhairini, et al. Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2000.

B. Internet

Anwar Muhammad, “KH. Imron Hamzah Penggagas Halaqah Fikih”, dalam http://www.nu.or.id/post/read/40062/kiai-haji-imron-hamzah, (1 Mei 2017)

C. Wawancara

Muhammad Jazuli Sholeh, Wawancara, Sidoarjo, 16 Februari 2017. Muhammad Sholeh Qosim, Wawancara, Sidoarjo, 27 April 2017. Muhammad Nuh Sholeh, Wawancara, Sidoarjo, 22 Mei 2017. Muhammad Miftahul Haq, Wawancara, Sidoarjo, 29 Juni 2017. Muhammad Chairul Anam, Wawancara, Sidoarjo, 27 April 2017.