Nistagmus edit@

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Nistagmus merupakan suatu osilasi ritmik involunter satu atau kedua mata. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani nystagmos yang berarti mengangguk. Meskipun nistagmus umumnya dideskripsikan oleh fase cepat (jerk) yang lebih mudah terlihat, gambaran klinis dan patologik yang utama yaitu terdapatnya fase lambat pada satu atau kedua arah. Deskripsi klinis nistagmus umumnya berdasarkan pada arah fase cepat dan diistilahkan horizontal, vertikal, berputar atau kombinasi. Nistagmus dapat konyugasi atau diskonyugasi, menunjukkan apakah mata bergerak secara sinkron. Nistagmus dapat dominan pendular yang menunjukkan kecepatan yang setara dari pergerakan bola mata pada kedua arah atau jerk yang menunjukkan pergerakan bola mata yang lebih cepat pada satu arah dan lebih lambat pada arah yang lain. Insidensi nistagmus memiliki rentang dari 1 dalam 350 anak hingga 1 dalam 6550 anak dan terdapat pada hingga 50% dari populasi strabismus infantil. 1,2

Anak dengan nistagmus sering menimbulkan tantangan diagnostik yang sulit. Klinisi berperan dalam menentukan apakah nistagmus merupakan tanda dari suatu abnormalitas sistem saraf pusat yang signifikan yang memerlukan intervensi segera. Untungnya, sebagian besar anak dengan nistagmus memiliki etiologi oftalmik berupa penyakit jalur visual anterior yang dapat didiagnosa dengan teknik pemeriksaan yang sederhana. Evaluasi sistematik dan menyeluruh akan mengungkapkan etiologi nistagmus, menunjukkan pemeriksaan penunjang yang tepat, dan memberikan informasi yang bernilai bagi orang tua anak mengenai perkembangan visual anak selanjutnya dan prognosisnya. Pilihan terapi yang terbatas untuk meningkatkan visus atau mengurangi keluhan visual memberikan tantangan lain bagi oftalmologis. Namun setiap tindakan yang mungkin harus diberikan agar anak tersebut dapat memperoleh potensi penuh untuk penglihatannya yang penting bagi perkembangan sosial dan akademiknya. 1,2,3

Pada makalah ini akan dibahas mengenai patofisiologi dan pemeriksaan klinis, klasifikasi nistagmus dan penatalaksanaannya.


(2)

BAB II

PATOFISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN KLINIS NISTAGMUS

2.1. Patofisiologi Nistagmus

Sistem motorik okular berfungsi untuk membentuk penglihatan binokular yang stabil dan jelas. Untuk memperoleh penglihatan terjelas dari suatu obyek tunggal maka bayangan obyek tersebut tidak hanya harus stabil pada retina namun juga harus diarahkan ke area sentral fovea. Terdapat 6 sistem motorik okular yang secara fungsional dibagi menjadi sistem yang menahan bayangan suatu target stabil pada retina dan sistem yang mengarahkan fovea kepada suatu objek yang diminati. Kategori pertama termasuk (1) sistem fiksasi visual, yang menahan bayangan suatu objek statis pada fovea ketika kepala diam; (2) sistem vestibular (atau refleks vestibulookular), yang menahan bayangan suatu target stabil pada retina sewaktu pergerakan kepala singkat; dan (3) sistem optokinetik, yang menahan bayangan target stabil pada retina sewaktu pergerakan kepala yang berlanjut. Sedangkan kategori kedua yaitu sistem yang mengarahkan fovea kepada suatu objek yang diminati termasuk (1) sistem sakadik, yang membawa bayangan objek yang diminati secara cepat ke fovea; (2) sistem pursuit, yang menahan bayangan target bergerak pada fovea; dan (3) sistem vergen, yang menggerakkan bola mata dalam arah yang berlawanan (konvergen atau divergen) sehingga bayangan suatu objek tunggal ditahan secara simultan pada kedua fovea. 4,5 ,6

Fiksasi bola mata merupakan suatu proses aktif, bukan hanya absennya pergerakan bola mata yang terlihat. Terdapat struktur cerebral yaitu area mata parietal, area mata supplementary, korteks prefrontal dorsolateral dan struktur batang otak yaitu pada ganglia basalis dan colliculus superior yang terlibat dalam proses fiksasi (Gambar 1). Input supranuklear mayor ke sistem okulomotor dianggap berperan dalam stabilisasi pergerakan bola mata. Terdapat tiga input supranuklear mayor yaitu sistem pursuit, sistem vestibular, dan bagian dari nuklei vestibular yang berperan dalam gaze holding yang disebut integrator neural. Area kontrol motor okular pusat baik secara primer maupun sekunder berperan pada timbulnya sinyal motor okular yang abnormal yang menyebabkan terjadinya nistagmus. Hal tersebut terjadi akibat disfungsi dari ketiga input supranuklear mayor. 1,5,7


(3)

Gambar 1. Struktur cerebral dan batang otak yang terlibat dalam sistem motorik okular. 4,8

Sistem pursuit, yang sebelumnya dianggap hanya memiliki fungsi dinamik, memberikan input penting untuk stabilitas fiksasi. Sistem pursuit melibatkan suatu jaringan neural yang luas dari area kortikal (area mata frontal) dan struktur subkortikal lain (ganglia basalis dan colliculus superior). Sistem pursuit merotasi bola mata secara lambat untuk mengimbangi berbagai gerakan dari target visual dan bertindak untuk meminimalisasi pengaburan bayangan retina dari target (Gambar 2). Peningkatan osilasi normal dari sistem pursuit ditemukan pada nistagmus kongenital. 4,8,9

Gambar 2. Sistem pursuit secara kontinu merubah garis penglihatan untuk meminimalisasi pengaburan bayangan retina dari target. 8

Sistem vestibular mempertahankan tingkat resting firing konstan yang cenderung untuk menggerakkan bola mata ke arah kontralateral. Kecenderungan ini diimbangi oleh sistem vestibular pada sisi kontralateral kecuali keseimbangan berubah akibat terjadinya rotasi kepala (Gambar 3). Mekanisme neural dasar untuk sistem vestibular terdiri dari sirkuit batang otak yang menghubungkan aferen vestibular dengan otot ekstraokular. Keseimbangan ini hilang dengan


(4)

gangguan vestibular unilateral dan mata cenderung untuk bergerak ke sisi yang terkena gangguan. Sakadik korektif lalu terjadi menuju sisi yang tidak terkena. Sebagian besar bentuk nistagmus didapat disebabkan oleh penyakit sistem vestibular (sentral atau perifer). 1,7,8

Gambar 3. Sistem vestibular menpertahankan garis pandangan tetap terfiksasi dengan rotasi bola mata yang berlawanan dengan pergerakan kepala. 8

Integrator neural merupakan sistem neuronal teoretik yang merubah tingkat resting firing otot ekstraokular yang bertujuan untuk mengatasi daya viskoelastik orbita dan mempertahankan posisi pandangan eksentrik. Lokasi pasti integrator neural masih belum diketahui, tapi kebanyakan fungsinya berada pada nukleus prepositus hipoglossus yang terletak tepat kaudal nukleus abdusen. Integrator neural mengintegrasi sinyal velocity-code (untuk pergerakan bola mata yang cepat (sakadik) ke posisi eksentrik) menjadi sinyal position-code (untuk menahan bola mata pada posisi baru tersebut). Ketika sinyal ini berjalan dengan tepat, bola mata akan bergerak secara cepat ke posisi barunya dan ditahan pada posisi tersebut dengan stabil. Namun jika proses ini berjalan keliru, bola mata dapat bergerak ke posisi barunya namun tidak dapat dipertahankan pada posisi tersebut dan bergerak kembali ke posisi sentral. Hal ini menyebabkan pergerakan lambat bola mata menuju posisi pandangan primer dan sakadik korektif kembali menuju posisi eksentrik yang diinginkan. 1, 4, 7

Terjadinya proses patofisiologik dari perkembangan sistem sensoris-motorik normal dapat menyebabkan terjadinya nistagmus kongenital (Gambar 4). Kalibrasi sistem motorik merupakan suatu proses aktif yang dimulai sejak in utero dan berlanjut setidaknya sewaktu masa infant awal. Perkembangan sistem sensori merupakan proses visual paralel yang berlanjut untuk berkembang sewaktu dekade pertama kehidupan. Penelitian terdahulu telah mencatat adanya hubungan antara proses visual pararel (cross-talk) yang memodifikasi, menginstruksikan, dan


(5)

mengkoordinasi sistem motorik ini, menghasilkan suatu fungsi yang berjalan mulus dan terkoordinasi. Nistagmus kongenital dapat merupakan akibat defek primer (familial) dari kalibrasi sistem motorik okular (Gambar 4, 1). Nistagmus kongenital dapat juga akibat dari cross-talk abnormal dari sistem sensoris yang defek ke sistem motorik yang berkembang pada saat periode sensitif sitem motorik. Hal ini dapat terjadi dari konsepsi sebagai akibat defek primer (distrofi retina) (Gambar 4,2), sewaktu embriogenesis sebagai akibat abnormalitas perkembangan (hipoplasia nervus optik) (Gambar 4,3), atau setelah lahir sewaktu masa infant (katarak kongenital) (Gambar 4,4). Hipotesis mengenai terjadinya nistagmus kongenital ini menyertakan peranan patofisiologik dari sistem sensoris. Meskipun kondisi patofisiologiknya dapat berbeda, jalur umum akhirnya yaitu kalibrasi abnormal dari sistem motorik okular sewaktu periode sensitifnya yang menyebabkan instabilitas motorik okular. 1,9,10

Gambar 4. Model perkembangan menyatakan interupsi patofisiologik dari sistem perkembangan sensoris-motorik normal menyebabkan terjadinya nistagmus kongenital. Panah dua arah menunjukkan bahwa perkembangan motorik abnormal juga mempengaruhi perkembangan sensoris. 9

2.2. Pemeriksaan Klinis Nistagmus

Tujuan pertama anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah untuk menentukan apakah nistagmus telah terdapat sejak lahir (beberapa bulan pertama kehidupan) atau didapat kemudian. Informasi mengenai riwayat keluarga penyakit mata neonatal, kehamilan, persalinan, dan pertumbuhan dan perkembangan anak sejak lahir harus dicari. Bentuk kongenital umumnya jinak sementara bentuk didapat memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan fundus yang


(6)

adekuat adalah bagian yang penting dari evaluasi osilasi okular involunter pada bayi dan anak dimana banyak dari pasien memiliki penyakit sistem visual prekiasma. Penentuan terdapat atau tidaknya gangguan sistem sensoris yang mendasari berperan penting karena gangguan tersebut terdapat pada setidaknya 50% pasien dengan nistagmus kongenital. 1,2

Tujuan kedua dari anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah untuk menilai tingkat penglihatan (Gambar 5 dan 6). Tipe nistagmus yang berkaitan dengan penurunan visus berbeda dari nistagmus tanpa penurunan visus, dan informasi ini jika dikombinasi dengan usia saat onset nistagmus, akan membantu dalam diagnosis. Sebagai contoh, pada anak dengan nistagmus didapat dan visus baik, dengan ditemukan nistagmus downbeat, jerk, konyugasi menunjukkan abnormalitas cerebellum dan batang otak dan mengindikasikan pemeriksaan MRI. Pada contoh lain, jika terdapat nistagmus dengan penurunan visus, pada pemeriksaan okular tidak ditemukan kelainan yang menonjol dan pemeriksaan neurologis normal, pemeriksaan ERG diindikasikan untuk mengevaluasi kemungkinan distrofi retina. 1,2

Gambar 5. Algoritma untuk evaluasi nistagmus tanpa penurunan visus. CN: congenital nystagmus, INS: infantile nystagmus syndrome, INO: internuclear ophthalmoplegia. 1


(7)

Gambar 6. Algoritma untuk evaluasi nistagmus dengan kecurigaan penurunan visus. VLCFA: very long-chain fatty acid, ERG: electroretinogram. 1

2.2.1. Pemeriksaan Visus

Prosedur pemeriksaan visus memegang peran penting dan tergantung kemampuan pasien untuk memberikan data yang akurat secara subjektif. Keakuratan tergantung pada umur pasien dan status neurologis, dan visus binokular harus diperiksa pertama kali. Sewaktu pemeriksaan visus bila terdapat anomalous head posture (AHP), pengamatan arah postur diperlukan selama 5 hingga 7 menit. Hingga 17% pasien dengan nistagmus kongenital (dengan dan tanpa defek sistem sensori) memiliki manifes secara klinis berupa perubahan postur kepala ke arah fase cepat pada periodisitas tertentu (Gambar 7). 1,2

Gambar 7. Perubahan postur kepala ke arah kiri pada pasien dengan nistagmus jerk kiri. Titik null diperoleh dengan posisi rightgaze. 1


(8)

Pada anak nonverbal, berbagai tes dapat digunakan untuk menentukan visus monokular dan binokular, yaitu perilaku fiksasi, kartu visus Teller atau optotip HOTV. Tes visus terbaik pada anak yang lebih tua dapat menggunakan chart ETDRS atau Snellen. Pada anak yang lebih tua refraksi subyektif merupakan dasar untuk berbagai terapi refraktif. Refraksi sikloplegik memberikan data tambahan yang penting untuk terapi. 1, 11, 12

2.2.2. Pemeriksaan Motilitas Okular

Evaluasi klinis menyeluruh dari osilasi okular juga mencakup arah fase cepat, intensitas gerak, konyugasi, efek gaze, efek konvergensi dan efek penutupan monokular (Gambar 8). Evaluasi juga memperhatikan amplitudo, frekuensi, dan arah nistagmus pada semua arah pandangan. Nistagmus juga diamati ketika menggerakkan kepala pasien. Konyugasi pergerakan bola mata harus diamati. Nistagmus yang asimetrik antara kedua mata, terutama pada posisi pandangan primer, sering menunjukkan gangguan jalur visual anterior. 1, 12

Gambar 8. Skema untuk pencatatan pola nistagmus, mengilustrasikan nistagmus jerk kiri yang memburuk pada leftgaze dan membaik pada rightgaze. Jumlah panah yang bertambah menunjukkan peningkatan gerakan pada posisi pandangan tersebut. 1

2.2.3. Perekaman Motilitas Okular

Analisis elektrofisiologik menggunakan perekaman pergerakan bola mata yang tepat telah memberikan suatu dasar untuk klasifikasi abnormalitas pergerakan bola mata, etiologi dan terapi. Metode yang paling sering digunakan pada praktek klinis dengan tujuan untuk


(9)

meningkatkan keakuratan dan sensitivitas, yaitu elektrookulografi kontak, infrared reflectance oculography (Gambar 9), dan scleral contact lens magnetic search coil. 1, 12

Gambar 9. Pemeriksaan infrared reflectance oculography. 1

Metode perekaman pergerakan bola mata paling sering digunakan sebagai alat penelitian oleh ahli neurologi dan oftalmologi. Perekaman pergerakan bola mata menampilkan data selama periode waktu yang kontinu (Gambar 10). Posisi dan kecepatan ditandai sebagai arah atas merupakan pergerakan bola mata ke atas dan ke kanan dan arah bawah merupakan pergerakan bola mata ke bawah dan ke kiri. 1, 12

Gambar 10. Tipe utama bentuk gelombang nistagmus. Pergerakan bola mata ke kanan memiliki arah garis ke atas dan pergerakan bola mata ke kiri memiliki arah garis ke bawah. A. Nistagmus jerk kiri murni. B. Nistagmus pendular. C. Nistagmus jerk kiri dengan peningkatan kecepatan fase lambat. D. Nistagmus jerk kiri dengan penurunan kecepatan fase lambat. 1


(10)

BAB III

KLASIFIKASI NISTAGMUS

Nistagmus pada anak umumnya dibagi menjadi kongenital dan didapat. Bentuk kongenital nistagmus dapat disebabkan oleh deprivasi sensori dimana gangguan penglihatan merupakan defek primer maupun idiopatik dimana tidak terdapat gangguan jalur visual aferen yang mendasari. Membedakan bentuk didapat dari bentuk kongenital yang jinak merupakan hal yang penting karena implikasi dari penyakit neurologik yang mendasari pada nistagmus didapat.12, 13

3.1. Nistagmus Kongenital

Nistagmus disebut kongenital jika onsetnya terdapat dalam 6 bulan pertama kehidupan. Nistagmus umumnya uniplanar, tetap horizontal pada semua arah gaze. Nistagmus kongenital dapat berkurang dengan konvergensi, yang menyebabkan visus dekat lebih baik dibanding visus jauh dan dapat meningkat intensitasnya dengan upaya fiksasi pada suatu target. Suatu karakteristik diagnostik tapi tidak selalu terdapat yaitu adanya inversi respon optokinetik.11, 12

3.1.1. Nistagmus Motor Kongenital

Nistagmus motor kongenital merupakan nistagmus konyugasi binokular yang umumnya tetap horizontal meskipun pada upgaze dan downgaze (uniplanar). Nistagmus motor kongenital umumnya memiliki pergerakan fase cepat dan lambat, meskipun dapat juga pendular, dengan komponen torsional yang kecil dan jarang terdapat komponen vertikal. Bentuk gelombang nistagmus jerk motor kongenital memiliki ciri berupa peningkatan kecepatan fase lambat secara eksponensial (Gambar 11). 11, 13


(11)

Nistagmus motor kongenital umumnya familial dengan pola pewarisan yang tersering yaitu autosomal dominan (70%) dan X-linked (26%) dan tidak berkaitan dengan abnormalitas sistem saraf pusat. Fungsi visual dapat mendekati normal. Anak dengan nistagmus motor kongenital umumnya datang dengan posisi kepala yang cenderung menoleh ke satu sisi, yang digunakan untuk mempertahankan pandangan mata pada posisi titik null. Suatu titik null atau zona netral, merupakan suatu posisi pandangan dimana intensitas osilasi berkurang dan visus meningkat. Jika titik null tidak berada pada posisi primer, postur kepala abnormal dapat terjadi agar memperoleh titik null untuk mengurangi nistagmus dan memberikan visus terbaik. Postur kepala abnormal tersebut menjadi lebih tampak ketika anak mencapai usia sekolah. 13, 14

Sekitar dua pertiga pasien ini memperlihatkan inversi paradoksikal dari respon OKN. Normalnya, jika pasien dengan nistagmus jerk kanan melihat drum OKN yang berotasi ke sisi kiri pasien (menimbulkan respon pursuit kiri, jerk kanan), nistagmus jerk kanan akan meningkat. Namun, pasien dengan nistagmus motor kongenital memperlihatkan nistagmus jerk kanan yang terhambat atau bahkan timbulnya nistagmus jerk kiri. 13, 14

3.1.2. Nistagmus Sensoris Kongenital

Nistagmus sensoris kongenital, bentuk lain dari nistagmus kongenital, merupakan akibat sekunder dari abnormalitas jalur visual aferen pregenikulatum bilateral. Pembentukan bayangan yang tidak adekuat menyebabkan kegagalan perkembangan refleks fiksasi normal. Jika hal ini terdapat saat lahir, nistagmus yang terjadi muncul dalam 3 bulan pertama kehidupan. Nistagmus umumnya horizontal dan uniplanar dan memiliki bentuk gelombang identik dengan nistagmus motor kongenital. Abnormalitas aferen pregenikulatum bilateral dapat pada segmen anterior seperti anak dengan katarak bilateral atau opasitas kornea bilateral atau pada segmen posterior seperti anak dengan hipoplasia nervus optik atau hipoplasia fovea. Nistagmus yang terjadi dapat disebabkan oleh sinyal abnormal dari sistem sensoris yang terganggu ke sistem motorik pada saat periode sensitif dari perkembangan sistem motorik Anak dengan nistagmus sensoris kongenital dengan distrofi retina dapat memiliki tampilan retina normal sehingga memerlukan elektroretinografi untuk menegakkan diagnosis. 12, 13, 14


(12)

3.1.3. Nistagmus Laten

Nistagmus laten merupakan nistagmus jerk horizontal konyugasi kongenital akibat dari gangguan perkembangan fusi. Nistagmus laten terjadi pada anak dengan penurunan fusi, yang menyebabkan terjadinya strabismus onset dini atau penurunan visus pada satu atau kedua mata. Ketika 1 mata dioklusi, nistagmus jerk terjadi pada kedua mata, dengan arah fase cepat menuju mata yang tidak dioklusi. Sehingga nistagmus jerk kiri pada kedua mata terjadi ketika mata kanan dioklusi dan sebaliknya. Titik null berada dengan mata yang fiksasi dalam posisi adduksi. Oleh karena itu, oklusi mata kanan menyebabkan nistagmus jerk kiri dengan titik null pada right gaze (kepala menoleh ke kiri) dan sebaliknya (Gambar 12). 13, 15

Nistagmus laten dihambat oleh fusi dan meningkat dengan disrupsi fusi (seperti dengan oklusi okular). Nistagmus laten dapat menjadi manifes ketika hanya 1 mata yang digunakan untuk penglihatan (ketika mata yang lain mengalami supresi atau ambliopik). Pemeriksaan elektronistagmografik dari nistagmus laten dan laten manifes memperlihatkan bentuk gelombang yang sama berupa penurunan kecepatan fase lambat secara eksponensial. 13, 15

Gambar 12. Kiri: Kepala anak menoleh ke kanan sewaktu berfiksasi dengan mata kanan. Titik null diperoleh dengan mata kanan dalam posisi adduksi. Hal serupa terjadi pada fiksasi mata kiri. Kanan: pola gelombang nistagmus laten. 13

3.1.4. Spasmus nutans

Spasmus nutans merupakan nistagmus yang terjadi pada anak-anak dalam periode 1 tahun pertama kehidupan yang muncul dengan trias nistagmus, kepala yang mengangguk dan tortikolis (kepala miring ke satu sisi). Nistagmus umumnya diskonyugasi bilateral dan memiliki amplitudo kecil dan frekuensi yang tinggi. Nistagmus dapat horizontal, vertikal, atau torsional dan kadangkala intermiten. Kepala yang mengangguk dan tortikolis merupakan pergerakan kompensasi yang mengurangi frekuensi dan asimetri nistagmus sehingga meningkatkan visus.13,15


(13)

Spasmus nutans merupakan penyakit idiopatik jinak yang umumnya menghilang saat usia 3 tahun. Spasmus nutans yang terjadi setelah usia 3 tahun dengan disertai tanda-tanda disfungsi nervus optik seperti atrofi papil nervus optik dan relative afferent pupillary defect memerlukan dilakukannya pemeriksaan neuroimaging karena dapat berkaitan dengan tumor kiasma atau suprakiasma. 13, 15

3.2. Nistagmus Didapat

Nistagmus didapat merupakan nistagmus yang timbul setelah adanya fiksasi okular yang stabil dan normal. Penyakit intrakranial (Gambar 13), gangguan metabolik dan penggunaan obat-obatan tertentu merupakan penyebab tersering nistagmus didapat. Gambaran atipikal seperti komponen vertikal, sirkular, atau eliptikal, disosiasi nistagmus antara kedua mata, terdapatnya opsilopsia dan adanya gangguan tumbuh kembang anak memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan etiologi nistagmus didapat. 1, 12

Gambar 13. Area pada otak yang terlibat dalam terjadinya nistagmus didapat. 1

3.2.1. Nistagmus Seesaw

Nistagmus seesaw memiliki komponen vertikal dan torsional serta pola gerakan menyerupai papan jungkat-jungkit dan melibatkan satu mata elevasi dan intorsi sementara mata sebelahnya depresi dan ekstorsi dalam pola yang ritmik (Gambar 14). Nistagmus seesaw berkaitan dengan lesi suprasellar terutama craniopharyngioma atau lesi diensefalon.


(14)

Pemeriksaan lapang pandang dapat memperlihatkan defek hemianopsia bitemporal dan memerlukan pemeriksaan neuroimaging. 5, 13, 16

Gambar 14. Pola pergerakan bola mata pada nistagmus seesaw. 5

3.2.2. Nistagmus Retraksi Konvergensi

Nistagmus retraksi konvergensi memiliki pola gerakan konvergensi yang berkaitan dengan retraksi bola mata sewaktu pandangan upgaze. Retraksi bola mata disebabkan kontraksi bersamaan otot-otot ekstraokular horizontal dan kontraksi otot rektus medial yang lebih kuat dibanding otot rektus lateral menyebabkan bola mata berkonvergen. Pola gerakan tersebut dapat ditimbulkan pada pemeriksaan drum OKN dengan rotasi drum ke arah bawah. Nistagmus retraksi konvergensi umumnya disebabkan oleh lesi dorsal midbrain terutama pada area komisura posterior. Pinealoma merupakan etiologi tersering. 13, 15, 16

3.2.3. Nistagmus Downbeat

Nistagmus downbeat merupakan nistagmus jerk dengan komponen fase cepat ke arah bawah. Nistagmus downbeat sering memiliki zona null pada posisi upgaze (Gambar15). Jika bersifat kongenital, kondisi ini memiliki visus yang baik dan status neurologik yang normal. Nistagmus downbeat lebih sering merupakan kelainan didapat yang disebabkan oleh kelainan struktural seperti malformasi Arnold-Chiari. Pada kondisi ini, tonsil cerebellum berherniasi melalui foramen magnum, mengkompresi batang otak dan menyebabkan nistagmus downbeat. Dekompresi area ini sering menyebabkan terjadinya resolusi komplit. Agen farmakologik seperti kodein, litium, tranquilizer, dan antikonvulsan juga dapat menyebabkan kondisi ini. Tidak didapatkannya riwayat penggunaan obat-obatan tersebut memerlukan dilakukannya pemeriksaan MRI batang otak dan korda spinal servikal pada semua pasien dengan nistagmus downbeat. 11, 16


(15)

Gambar 15. Postur kepala chin-down pada nistagmus downbeat untuk memperoleh zona null. 11

3.2.4. Nistagmus Vestibular

Gangguan jalur vestibular, yang dimulai pada labirin dan termasuk nervus vestibular, nuklei vestibular, dan jalur batang otak yang menuju ke nuklei motorik okular, dapat menimbulkan nistagmus jerk yang konyugasi. Lesi vestibular perifer (yang mengenai kanal semisirkular atau nervus vestibular) umumnya jinak, meskipun adanya vertigo dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien. Nistagmus vestibular sentral, menunjukkan adanya kerusakan pada batang otak atau cerebellum, sering merupakan penanda penyakit neoplastik, demielinasi, atau vaskular yang serius. 15, 16

Nistagmus vestibular perifer dapat memiliki pergerakan mata multidireksional baik vertikal-torsional atau horizontal-torsional atau nistagmus jerk horizontal konyugasi dengan fase lambat bergerak ke arah sisi dengan disfungsi aparatus vestibular. Gangguan input periferal dapat disebabkan oleh tumor, labirintis, atau vestibulopati toksik. Nistagmus vestibular perifer sering disertai vertigo atau tinnitus dan dihambat dengan fiksasi visual. 15, 16

Nistagmus vestibular sentral merupakan nistagmus jerk konyugasi yang memiliki pergerakan murni vertikal, horizontal atau torsional. Nistagmus dapat terjadi sebagai gambaran klinis tersendiri pada pemakaian antiepileptik atau benzodiazepine. Namun, bila disertai tanda neurologik seperti ataxia, dismetria, atau disatria menunjukkan terdapatnya lesi pada cerebellum dan memerlukan pemeriksaan neurologik dan neuroimaging. Nistagmus vestibular sentral tidak dihambat oleh fiksasi visual dan jarang disertai vertigo. 15, 16


(16)

PENATALAKSANAAN NISTAGMUS

Terdapat beberapa tanda dan gejala klinis yang disebabkan nistagmus yang memerlukan suatu terapi. Hal yang paling utama yaitu terdapatnya penurunan visus baik yang disebabkan gangguan refraksi yang signifikan ataupun defek pada sistem sensoris. Hal kedua yaitu terdapatnya anomalous head posture (AHP). Etiologi AHP yaitu gaze-null pada nistagmus motor kongenital atau nistagmus didapat (posisi chin-down pada nistagmus downbeat), dan adduction-null pada nistagmus laten. Hal ketiga yaitu adanya keluhan osilopsia, suatu ilusi pergerakan dari objek dan lingkungan sekitar yang statis, yang umumnya terdapat pada pasien dengan nistagmus didapat. Penatalaksanaan yang dilakukan dapat berupa terapi refraktif maupun bedah. 1, 2, 15

4.1. Penatalaksanaan Penurunan Visus

Refraksi yang akurat merupakan cara terbaik untuk meningkatkan visus. Koreksi sikloplegik dan anisometropik penuh umumnya diberikan pada anak dengan usia hingga 10 tahun. Terdapatnya AHP membatasi penggunaan kacamata untuk koreksi gangguan refraksi karena posisi kepala tersebut menghalangi anak untuk dapat melihat melalui pusat optik kacamata. Beberapa ahli menganjurkan pemakaian lensa kontak pada anak dengan nistagmus kongenital. Penggunaan lensa kontak dapat menimbulkan perbaikan visus yang signifikan, setidaknya satu baris Snellen chart, pada pasien tersebut yang disebabkan aksis visual pasien melalui pusat optik dari lensa kontaknya karena lensa kontak mengikuti pergerakan bola mata. Hal ini berlaku terutama pada pasien dengan gangguan refraksi berat. 3,17

Kacamata prisma juga dapat meningkatkan visus dengan menstimulasi konvergensi fusional yang menghambat nistagmus. Pada situasi ini, prisma base out ditempatkan didepan kedua mata dan kekuatannya ditentukan dengan trial and error. Lensa sferis minus ditambahkan pada kacamata prisma untuk mengatasi akomodasi yang ditimbulkan. 3,13, 17

Anak dengan nistagmus sering memiliki penurunan visus yang permanen meskipun telah diberikan terapi. Anak tersebut memerlukan pemeriksaan dan rehabilitasi low vision. Penggunaan teleskop, magnifier, dan alat bantu low vision lainnya merupakan penunjang refraktif yang bernilai pada pasien dengan nistagmus kongenital yang disertai defisit sistem sensoris. 13, 17

4.2. Penatalaksanaan Anomalous Head Posture (AHP) 4.2.1. Terapi Optikal Prisma


(17)

Prisma secara optik dapat memperbaiki AHP dengan merubah posisi bayangan objek ke zona null atau memperbaiki visus dengan menginduksi konvergensi. Prisma dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau sebagai trial untul memprediksi keberhasilan operasi. Prisma yang dipakai yaitu prisma Fresnel Press-On atau prisma ground-in. Prisma Fresnel Press-On memiliki kekuatan yang lebih besar (10-20 PD) dibanding prisma ground-in (<12 PD) namun prisma Fresnel tidak transparan dan dapat mengurangi visus sedangkan prisma ground-in bersifat transparan dan meningkatkan visus. 13, 17, 18

Untuk mengoreksi posisi kepala, tiap prisma dipasang dengan apeks menuju ke arah zona null. Sebagai contoh, dengan posisi kepala menoleh ke kiri dan zona null pada right gaze, prisma di depan mata kanan harus diorientasikan in dan prisma di depan mata kiri diorientasi base-out. Hal ini menyebabkan bayangan bergeser ke kanan dan mengurangi pergeseran kepala yang diperlukan pasien untuk memperoleh ketajaman visual yang sama. Jika dengan pemakaian prisma memperbaiki posisi kepala, pembedahan memiliki kemungkinan untuk efektif. Keterbatasan terapi prisma yaitu tidak menyebabkan kedua mata keluar dari posisi gaze yang diperlukan untuk mencapai zona null. 13, 17, 18

4.2.2. Terapi Bedah Nistagmus

Bedah otot ekstraokular pada nistagmus diindikasikan untuk mengoreksi posisi kepala abnormal dengan memindahkan titik null mendekati posisi primer. Pembedahan dapat juga meningkatkan visus dengan menurunkan intensitas nistagmus dan dengan demikian meningkatkan waktu foveasi. Tipe operasi yang umumnya direkomendasikan yaitu prosedur resesi-reseksi yang dilakukan pada kedua mata (prosedur Kestenbaum-Anderson (Tabel 1)) atau resesi 4 otot horizontal. 13, 18, 19

Tabel 1. Prosedur Kestenbaum-Anderson dan modifikasinya.

Prosedur Kestenbaum-Anderson bertujuan merotasi bola mata secara konyugasi ke arah posisi kepala abnormal. Hal tersebut akan memindahkan dan memperluas zona null pada posisi primer, menyebabkan foveasi yang lebih baik pada rentang gaze horizontal yang lebih luas 17


(18)

(Gambar 16). Prosedur ini, dengan demikian, meningkatkan fungsi visual meskipun ketika peningkatan visus tidak ditemukan. 11, 18, 19

Gambar 16. A. Nistagmus motor kongenital dengan zona null pada right gaze. B. Zona null dipindah dengan prosedur Kestenbaum-Anderson, menghilangkan adanya posisi kepala

abnormal. Efek perluasan zona null dari sebelum (C) dan sesudah (D) prosedur. 11, 13

Meskipun tortikolis vertikal jarang pada nistagmus kongenital, terdapatnya postur chin-up atau chin-down dapat dikoreksi pada beberapa kasus dengan menggunakan prisma vertikal atau dengan bedah pada otot rektus vertikal atau otot oblik dengan bola mata dirotasi menjauhi titik null. Dengan demikian, pada postur chin-down, prosedur yang dilakukan yaitu resesi otot rektus superior dan reseksi otot rektus inferior dengan total resesi dan reseksi otot rektus vertikal tiap-tiap bola mata sebesar 5-7 mm. 11, 13, 18

Resesi keempat otot rektus horizontal ke posisi posterior dari ekuator merupakan suatu alternatif dari prosedur Kestenbaum-Anderson. Prosedur tersebut umumnya memerlukan resesi kedua otot rektus medial sebesar 8-10 mm dan resesi kedua otot rektus lateral sebesar 10-12 mm. Prosedur ini bermanfaat terutama untuk meningkatkan fungsi visual dengan secara simetris memperlemah otot rektus horizontal dan mengurangi amplitudo nistagmus. 11, 13, 19.

Pada pasien nistagmus dengan strabismus, bedah harus dilakukan pada mata yang berfiksasi dominan dan bedah pada mata nondominan disesuaikan untuk memperbaiki strabismus. Sebagai contoh, pasien dengan mata kanan yang dominan, posisi kepala menoleh ke kanan dan zona null pada left gaze akan menjalani resesi rektus medial kanan dan reseksi rektus lateral kanan. Prosedur ini akan mengurangi esotropia yang terdapat dan akan meningkatkan eksotropia. Bedah pada mata nondominan disesuaikan terhadap kemungkinan tersebut. 13, 18, 19

4.3. Penatalaksanaan Osilopsia B


(19)

Osilopsia yang berkaitan dengan bentuk didapat dari nistagmus dapat sangat mengganggu dan membuat anak tidak dapat melakukan aktivitas sehingga menurunkan kualitas hidupnya. Terapi bedah untuk osilopsia umumnya kurang memberikan hasil yang memuaskan dan memerlukan pembedahan pada otot rektus multipel. Terapi terhadap etiologi yang mendasari nistagmus seperti tumor intrakranial atau malformasi Arnold-Chiari, dapat memberikan perbaikan spontan baik berupa peningkatan visus maupun penurunan osilopsia. 19, 20

Terapi optikal dapat diberikan untuk mengurangi osilopsia. Terapi prisma digunakan untuk memindahkan bayangan objek ke arah gaze dengan osilopsia (osilasi) minimal, sehingga pada anak dengan nistagmus downbeat dapat diberikan prisma base-in. Terapi optikal lainnya bertujuan untuk stabilisasi bayangan retina dengan pemakaian lensa kontak minus tinggi dan kacamata lensa sferis plus tinggi (Gambar 17). Terapi ini dapat bermanfaat pada kondisi visual statik, seperti membaca atau menonton televisi. Prosedur ini dimulai dengan lensa kontak minus tinggi trial (≥ 20 D) dan dilakukan overrefraksi menggunakan lensa sferis plus hingga pasien melaporkan adanya penurunan osilopsia atau peningkatan visus. 17, 20

Gambar 17. Metode optikal untuk stabilisasi bayangan pada retina. A. Ketika suatu objek dilihat, objek difokuskan pada retina. B. Lensa plus (konvergen) tinggi akan memfokuskan bayangan objek pada pusat rotasi bola mata ©. sehingga bila bola mata berotasi, titik fokus objek akan tetap di c. C. Lensa kontak minus (divergen) tinggi akan menggeser titik fokus objek dari pusat rotasi ke retina. 17

Penggunaan botulinum toxin A (BTA) merupakan terapi alternatif yang aman untuk mengatasi osilopsia dimana terapi konvensional lainnya tidak adekuat. Injeksi BTA dapat diberikan secara intramuskular ke otot-otot rektus horizontal (2.5 U per otot) atau injeksi retrobulbar (15-20 U). Pengulangan injeksi diperlukan setiap 3 hingga 4 bulan. Ptosis dan diplopia merupakan komplikasi tersering yang bersifat sementara.18, 20


(20)

KESIMPULAN

1. Disfungsi dari ketiga input supranuklear mayor yaitu sistem pursuit, sistem vestibular, dan integrator neural berperan pada timbulnya sinyal motor okular yang abnormal yang menyebabkan terjadinya nistagmus.

2. Kalibrasi sistem motorik dapat terganggu akibat interupsi patofisiologik dari perkembangan sistem sensoris-motorik normal yang menyebabkan terjadinya nistagmus kongenital.

3. Nistagmus pada anak dibagi menjadi kongenital dengan atau tidak disertai gangguan jalur visual aferen yang mendasari dan didapat yang merupakan akibat lesi pada sistem saraf pusat.

4. Pemeriksaan klinis yang sistematik dan menyeluruh penting untuk membedakan bentuk didapat dari bentuk kongenital yang jinak karena implikasi dari penyakit neurologik yang mendasari pada nistagmus didapat.

5. Beberapa tanda dan gejala klinis yang disebabkan nistagmus berupa terdapatnya penurunan visus, anomalous head posture (AHP) dan keluhan osilopsia memerlukan suatu penatalaksanaan yang dapat berupa terapi refraktif maupun bedah.


(1)

Gambar 15. Postur kepala chin-down pada nistagmus downbeat untuk memperoleh zona null. 11

3.2.4. Nistagmus Vestibular

Gangguan jalur vestibular, yang dimulai pada labirin dan termasuk nervus vestibular, nuklei vestibular, dan jalur batang otak yang menuju ke nuklei motorik okular, dapat menimbulkan nistagmus jerk yang konyugasi. Lesi vestibular perifer (yang mengenai kanal semisirkular atau nervus vestibular) umumnya jinak, meskipun adanya vertigo dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien. Nistagmus vestibular sentral, menunjukkan adanya kerusakan pada batang otak atau cerebellum, sering merupakan penanda penyakit neoplastik, demielinasi, atau vaskular yang serius. 15, 16

Nistagmus vestibular perifer dapat memiliki pergerakan mata multidireksional baik vertikal-torsional atau horizontal-torsional atau nistagmus jerk horizontal konyugasi dengan fase lambat bergerak ke arah sisi dengan disfungsi aparatus vestibular. Gangguan input periferal dapat disebabkan oleh tumor, labirintis, atau vestibulopati toksik. Nistagmus vestibular perifer sering disertai vertigo atau tinnitus dan dihambat dengan fiksasi visual. 15, 16

Nistagmus vestibular sentral merupakan nistagmus jerk konyugasi yang memiliki pergerakan murni vertikal, horizontal atau torsional. Nistagmus dapat terjadi sebagai gambaran klinis tersendiri pada pemakaian antiepileptik atau benzodiazepine. Namun, bila disertai tanda neurologik seperti ataxia, dismetria, atau disatria menunjukkan terdapatnya lesi pada cerebellum dan memerlukan pemeriksaan neurologik dan neuroimaging. Nistagmus vestibular sentral tidak dihambat oleh fiksasi visual dan jarang disertai vertigo. 15, 16

BAB IV


(2)

PENATALAKSANAAN NISTAGMUS

Terdapat beberapa tanda dan gejala klinis yang disebabkan nistagmus yang memerlukan suatu terapi. Hal yang paling utama yaitu terdapatnya penurunan visus baik yang disebabkan gangguan refraksi yang signifikan ataupun defek pada sistem sensoris. Hal kedua yaitu terdapatnya anomalous head posture (AHP). Etiologi AHP yaitu gaze-null pada nistagmus motor kongenital atau nistagmus didapat (posisi chin-down pada nistagmus downbeat), dan adduction-null pada nistagmus laten. Hal ketiga yaitu adanya keluhan osilopsia, suatu ilusi pergerakan dari objek dan lingkungan sekitar yang statis, yang umumnya terdapat pada pasien dengan nistagmus didapat. Penatalaksanaan yang dilakukan dapat berupa terapi refraktif maupun bedah. 1, 2, 15

4.1. Penatalaksanaan Penurunan Visus

Refraksi yang akurat merupakan cara terbaik untuk meningkatkan visus. Koreksi sikloplegik dan anisometropik penuh umumnya diberikan pada anak dengan usia hingga 10 tahun. Terdapatnya AHP membatasi penggunaan kacamata untuk koreksi gangguan refraksi karena posisi kepala tersebut menghalangi anak untuk dapat melihat melalui pusat optik kacamata. Beberapa ahli menganjurkan pemakaian lensa kontak pada anak dengan nistagmus kongenital. Penggunaan lensa kontak dapat menimbulkan perbaikan visus yang signifikan, setidaknya satu baris Snellen chart, pada pasien tersebut yang disebabkan aksis visual pasien melalui pusat optik dari lensa kontaknya karena lensa kontak mengikuti pergerakan bola mata. Hal ini berlaku terutama pada pasien dengan gangguan refraksi berat. 3,17

Kacamata prisma juga dapat meningkatkan visus dengan menstimulasi konvergensi fusional yang menghambat nistagmus. Pada situasi ini, prisma base out ditempatkan didepan kedua mata dan kekuatannya ditentukan dengan trial and error. Lensa sferis minus ditambahkan pada kacamata prisma untuk mengatasi akomodasi yang ditimbulkan. 3,13, 17

Anak dengan nistagmus sering memiliki penurunan visus yang permanen meskipun telah diberikan terapi. Anak tersebut memerlukan pemeriksaan dan rehabilitasi low vision. Penggunaan teleskop, magnifier, dan alat bantu low vision lainnya merupakan penunjang refraktif yang bernilai pada pasien dengan nistagmus kongenital yang disertai defisit sistem sensoris. 13, 17

4.2. Penatalaksanaan Anomalous Head Posture (AHP)

4.2.1. Terapi Optikal Prisma


(3)

Prisma secara optik dapat memperbaiki AHP dengan merubah posisi bayangan objek ke zona null atau memperbaiki visus dengan menginduksi konvergensi. Prisma dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau sebagai trial untul memprediksi keberhasilan operasi. Prisma yang dipakai yaitu prisma Fresnel Press-On atau prisma ground-in. Prisma Fresnel Press-On memiliki kekuatan yang lebih besar (10-20 PD) dibanding prisma ground-in (<12 PD) namun prisma Fresnel tidak transparan dan dapat mengurangi visus sedangkan prisma ground-in bersifat transparan dan meningkatkan visus. 13, 17, 18

Untuk mengoreksi posisi kepala, tiap prisma dipasang dengan apeks menuju ke arah zona null. Sebagai contoh, dengan posisi kepala menoleh ke kiri dan zona null pada right gaze, prisma di depan mata kanan harus diorientasikan in dan prisma di depan mata kiri diorientasi base-out. Hal ini menyebabkan bayangan bergeser ke kanan dan mengurangi pergeseran kepala yang diperlukan pasien untuk memperoleh ketajaman visual yang sama. Jika dengan pemakaian prisma memperbaiki posisi kepala, pembedahan memiliki kemungkinan untuk efektif. Keterbatasan terapi prisma yaitu tidak menyebabkan kedua mata keluar dari posisi gaze yang diperlukan untuk mencapai zona null. 13, 17, 18

4.2.2. Terapi Bedah Nistagmus

Bedah otot ekstraokular pada nistagmus diindikasikan untuk mengoreksi posisi kepala abnormal dengan memindahkan titik null mendekati posisi primer. Pembedahan dapat juga meningkatkan visus dengan menurunkan intensitas nistagmus dan dengan demikian meningkatkan waktu foveasi. Tipe operasi yang umumnya direkomendasikan yaitu prosedur resesi-reseksi yang dilakukan pada kedua mata (prosedur Kestenbaum-Anderson (Tabel 1)) atau resesi 4 otot horizontal. 13, 18, 19

Tabel 1. Prosedur Kestenbaum-Anderson dan modifikasinya.

Prosedur Kestenbaum-Anderson bertujuan merotasi bola mata secara konyugasi ke arah posisi kepala abnormal. Hal tersebut akan memindahkan dan memperluas zona null pada posisi primer, menyebabkan foveasi yang lebih baik pada rentang gaze horizontal yang lebih luas 17


(4)

(Gambar 16). Prosedur ini, dengan demikian, meningkatkan fungsi visual meskipun ketika peningkatan visus tidak ditemukan. 11, 18, 19

Gambar 16. A. Nistagmus motor kongenital dengan zona null pada right gaze. B. Zona null dipindah dengan prosedur Kestenbaum-Anderson, menghilangkan adanya posisi kepala

abnormal. Efek perluasan zona null dari sebelum (C) dan sesudah (D) prosedur. 11, 13 Meskipun tortikolis vertikal jarang pada nistagmus kongenital, terdapatnya postur chin-up atau chin-down dapat dikoreksi pada beberapa kasus dengan menggunakan prisma vertikal atau dengan bedah pada otot rektus vertikal atau otot oblik dengan bola mata dirotasi menjauhi titik null. Dengan demikian, pada postur chin-down, prosedur yang dilakukan yaitu resesi otot rektus superior dan reseksi otot rektus inferior dengan total resesi dan reseksi otot rektus vertikal tiap-tiap bola mata sebesar 5-7 mm. 11, 13, 18

Resesi keempat otot rektus horizontal ke posisi posterior dari ekuator merupakan suatu alternatif dari prosedur Kestenbaum-Anderson. Prosedur tersebut umumnya memerlukan resesi kedua otot rektus medial sebesar 8-10 mm dan resesi kedua otot rektus lateral sebesar 10-12 mm. Prosedur ini bermanfaat terutama untuk meningkatkan fungsi visual dengan secara simetris memperlemah otot rektus horizontal dan mengurangi amplitudo nistagmus. 11, 13, 19.

Pada pasien nistagmus dengan strabismus, bedah harus dilakukan pada mata yang berfiksasi dominan dan bedah pada mata nondominan disesuaikan untuk memperbaiki strabismus. Sebagai contoh, pasien dengan mata kanan yang dominan, posisi kepala menoleh ke kanan dan zona null pada left gaze akan menjalani resesi rektus medial kanan dan reseksi rektus lateral kanan. Prosedur ini akan mengurangi esotropia yang terdapat dan akan meningkatkan eksotropia. Bedah pada mata nondominan disesuaikan terhadap kemungkinan tersebut. 13, 18, 19

4.3. Penatalaksanaan Osilopsia

18 B


(5)

Osilopsia yang berkaitan dengan bentuk didapat dari nistagmus dapat sangat mengganggu dan membuat anak tidak dapat melakukan aktivitas sehingga menurunkan kualitas hidupnya. Terapi bedah untuk osilopsia umumnya kurang memberikan hasil yang memuaskan dan memerlukan pembedahan pada otot rektus multipel. Terapi terhadap etiologi yang mendasari nistagmus seperti tumor intrakranial atau malformasi Arnold-Chiari, dapat memberikan perbaikan spontan baik berupa peningkatan visus maupun penurunan osilopsia. 19, 20

Terapi optikal dapat diberikan untuk mengurangi osilopsia. Terapi prisma digunakan untuk memindahkan bayangan objek ke arah gaze dengan osilopsia (osilasi) minimal, sehingga pada anak dengan nistagmus downbeat dapat diberikan prisma base-in. Terapi optikal lainnya bertujuan untuk stabilisasi bayangan retina dengan pemakaian lensa kontak minus tinggi dan kacamata lensa sferis plus tinggi (Gambar 17). Terapi ini dapat bermanfaat pada kondisi visual statik, seperti membaca atau menonton televisi. Prosedur ini dimulai dengan lensa kontak minus tinggi trial (≥ 20 D) dan dilakukan overrefraksi menggunakan lensa sferis plus hingga pasien melaporkan adanya penurunan osilopsia atau peningkatan visus. 17, 20

Gambar 17. Metode optikal untuk stabilisasi bayangan pada retina. A. Ketika suatu objek dilihat, objek difokuskan pada retina. B. Lensa plus (konvergen) tinggi akan memfokuskan bayangan objek pada pusat rotasi bola mata ©. sehingga bila bola mata berotasi, titik fokus objek akan tetap di c. C. Lensa kontak minus (divergen) tinggi akan menggeser titik fokus objek dari pusat rotasi ke retina. 17

Penggunaan botulinum toxin A (BTA) merupakan terapi alternatif yang aman untuk mengatasi osilopsia dimana terapi konvensional lainnya tidak adekuat. Injeksi BTA dapat diberikan secara intramuskular ke otot-otot rektus horizontal (2.5 U per otot) atau injeksi retrobulbar (15-20 U). Pengulangan injeksi diperlukan setiap 3 hingga 4 bulan. Ptosis dan diplopia merupakan komplikasi tersering yang bersifat sementara.18, 20

BAB V


(6)

KESIMPULAN

1. Disfungsi dari ketiga input supranuklear mayor yaitu sistem pursuit, sistem vestibular, dan integrator neural berperan pada timbulnya sinyal motor okular yang abnormal yang menyebabkan terjadinya nistagmus.

2. Kalibrasi sistem motorik dapat terganggu akibat interupsi patofisiologik dari perkembangan sistem sensoris-motorik normal yang menyebabkan terjadinya nistagmus kongenital.

3. Nistagmus pada anak dibagi menjadi kongenital dengan atau tidak disertai gangguan jalur visual aferen yang mendasari dan didapat yang merupakan akibat lesi pada sistem saraf pusat.

4. Pemeriksaan klinis yang sistematik dan menyeluruh penting untuk membedakan bentuk didapat dari bentuk kongenital yang jinak karena implikasi dari penyakit neurologik yang mendasari pada nistagmus didapat.

5. Beberapa tanda dan gejala klinis yang disebabkan nistagmus berupa terdapatnya penurunan visus, anomalous head posture (AHP) dan keluhan osilopsia memerlukan suatu penatalaksanaan yang dapat berupa terapi refraktif maupun bedah.