Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Ten

(1)

NASIONAL LORE LINDU

(Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah)

Handian Purwawangsa

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu : Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2008


(3)

ABSTRACT

HANDIAN PURWAWANGSA. Economic Benefit Of

Evironmental Service and Management Strategy of Region

Around Lore Lindu National Park (Case Study in Salua Village,

Kulawi District,Central Sulawesi Province). Under the direction

of DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI, and DODIK

RIDHO NURROCHMAT

Lore Lindu Nasional Park produces various environmental services,

such as: water regulation, flood and erosion control, prop to spreading

of disease and pest, and also conservation of biodiversity. The aim of

this study is to calculate the economic benefit of environmental

service from Lore Lindu Nasional Park, specially for unknown

environmental, flood and erosion danger) and to formulate the

management strategy of region around Lore Lindu National Park. This

Study used Contingent Valuation Method and SWOT Analyse. Base

on willingness to pay in from of money contribution, economic

benefit of environmental service to preventive unknow environmental

danger is equal to 10.917.818,18/year, in the other hand, base on

labor contribution, is equal to 10.166 days working/year (1 day

working equal to 8 hours working). The economic benefit for

preventive from flood and erosion danger is equal to 10.166 days

working/year, same with economic benefit on preventive unknow

environmental danger. If labour contribution converted into money or,

it is equal to 250.200.000 rupiah/year ( 1 day working = Rp. 25.000).

Base on SWOT analyse, effective strategy to manage the region

around Lore Lindu Nasional Park is defensif strategy, with

weaknesses and thereats minimization.

Key Words : Environmental services, Environmental Management

Strategy,Contingent Valuation Method, SWOT Analyse.


(4)

RINGKASAN

HANDIAN PURWAWANGSA. Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Desa Salua merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Desa Salua terletak di lembah Kulawi dan banyak memiliki anak sungai yang bermuara di Sungai Miu atau DAS Palu. Sudah sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan TNLL yang dapat dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan TNLL baik untuk memperoleh sumber pendapatan seperti merotan dan mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti keperluan obat-obatan dan mencari tambahan makanan, misalnya sayuran dan daging (Care 2002).

Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat Desa Salua telah mempunyai aturan adat yaitu hukum adat Taolo dan hukum adat Ombo untuk menjaga agar hutan tetap lestari. Selain itu, ada juga ketentuan tentang pengelolaan hutan yang disepakati oleh pemerintah desa dan lembaga adat dengan difasilitasi oleh LSM Care.

Seiring dengan perubahan waktu, terdapat faktor sosial, ekonomi dan kebudayaan yang mempengaruhi pengelolaan hutan di Desa Salua. Ketiga faktor tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dari masyarakat Desa Salua dalam hal pengelolaan hutan. Adanya perubahan perilaku tersebut menyebabkan terjadinya penyerobotan kawasan Taman Nasional Lore Lindu, pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif, terjadinya konversi hutan menjadi penggunaan lain serta terjadinya penebangan liar. Hal tersebut menyebabkan penurunan fungsi hutan, terutama fungsi lingkungannya. Salah satu contoh penurunan fungsi hutan yang telah terjadi adalah penurunan fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Pada tahun 2002 di Desa Salua pernah terjadi banjir besar, yang menyebabkan kerusakan pada ladang dan rumah milik masyarakat.

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua dan mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan, baik bahaya lingkungan yang sudah


(5)

diketahui maupun bahaya lingkungan yang belum diketahui, dengan cara mengukur kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan lingkungan beserta peubah-peubah yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi pengelolaan wilayah di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua. Metode yang digunakan adalah Continget Valuation Method dan analisis SWOT.

Bahaya lingkungan yang sudah diketahui adalah bahaya lingkungan yang sudah terjadi seperti banjir dan erosi sedangkan Bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah bahaya lingkungan yang belum terjadi saat ini, akan tetapi diprediksi berpotensi dapat terjadi dimasa yang akan datang berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang ada. Contoh dari bahaya lingkungan yang tidak diketahui bisa berupa bencana alam seperti gempa bumi atau kebakaran hutan, penyakit baru bagi manusia atau hama penyakit bagi tumbuhan.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa masyarakat Desa Salua beranggapan bahwa banjir, erosi dan bahaya lingkungan yang tidak diketahui merupakan ancaman bagi masyarakat Salua. Selain itu, ancaman dari ketiga bahaya lingkungan tersebut, akan terus meningkat dimasa yang akan datang, tanpa adanya program pencegahan bahaya lingkungan. Masyarakat Salua juga berpendapat bahwa program pembangunan yang selama ini dilaksanakan belum mampu untuk mengurangi ancaman bahaya lingkungan yang mungkin terjadi, baik bahaya lingkungan yang diketahui maupun bahaya lingkungan yang tidak diketahui.

Nilai ekonomi jasa lingkungan dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dihitung berdasarkan kemauan membayar masyarakat (WTP) dalam bentuk sumbangan uang dan sumbangan tenaga kerja. Berdasarkan WTP dalam bentuk uang, nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui adalah Rp. 10.917.818.18 pertahun. Nilai tersebut hampir sama dengan realisasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta realisasi penerimaan rutin dan pembangunan di Desa Salua yang berjumlah ±Rp.10.000.000.

Sedangkan berdasarkan sumbangan tenaga kerja, nilai ekonominya setara dengan 10.116 HOK per tahun. Jika hari kerja tersebut dikonversi ke dalam bentuk uang, dengan asumsi 1 hari orang kerja (HOK) di Desa Salua adalah Rp.


(6)

25.000, maka nilainya mencapai 250.200.000/tahun. Nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL untuk pencegahan bahaya banjir dan erosi mempunyai nilai yang sama dengan nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui, dengan WTP dalam bentuk sumbangan tenaga kerja, yaitu 10.116 HOK.

Variabel atau peubah yang berpengaruh nyata terhadap WTP masyarakat berdasarkan korelasi sederhana adalah pendapatan rata-rata masyarakat, tingkat pendidikan, pengetahuan masyarakat terhadap banjir di daerah “Dongi-dongi” serta besarnya pendapatan tambahan yang digunakan untuk program perbaikan lingkungan. Sedangkan ajaran “Katuwua” tidak berpengaruh nyata terhadap WTP masyarakat. Berdasarkan analisis regresi secara agregat variabel yang berpengaruh nyata hanyalah pendapatan rata-rata masyarakat. Model regresi yang dihasilkan adalah WTP = 1.992 +0.376 X1+0.0000255 X2 + 0.376 X3 + 0.870 X4 + 0.32 X5, dimana X1 adalah pendapatan rata-rata, X2 penggunaan pendapatan tambahan untuk program perbaikan lingkungan, X3 pengetahuan tentang “Katuwua”, X4 tingkat pendidikan dan X5 pengetahuan tentang banjir di daerah “Dongi-dongi”.

Nilai R2 dari model diatas adalah 46,5%, yang berarti bahwa 46,5% keragaman WTP masyarakat desa salua untuk program pencegahan bahaya lingkungan yang tidak diketahui dapat diterangkan oleh variabel-variabel penjelas yang terdapat di dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat di dalam model. Analisis dengan menggunakan perhitungan linear logaritma juga memberikan nilai R2 yang hampir sama, yaitu 45.7% dan memberikan pengaruh nyata dengan tingkat kepercayaan 95%.

Berdasarkan analisis SWOT, strategi pengelolaan lingkungan yang paling efektif dilakukan adalah strategi defensif, karena kekuatan yang dimiliki lebih kecil dibandingkan dengan kelemahan, dan ancaman yang ada lebih besar dibandingkan dengan peluang yang dimiliki.


(7)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

MANFAAT EKONOMI JASA LINGKUNGAN DAN

STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH SEKITAR TAMAN

NASIONAL LORE LINDU

(Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah)

Handian Purwawangsa

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(9)

Judul Tesis : Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) (Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah)

Nama : Handian Purwawangsa

NRP : E.051040191

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Ketua

Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc Dr.Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pasca Sarjana Pengetahuan Kehutanan

Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi,MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1979 di Cianjur dari ayah yang bernama R.Sholihin SP dan Nenih Umaemah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan dari SMU (plus) Muthahari, kemudian melanjutkan studi S1 di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, dan berhasil lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai staff pengajar di Departemen Manajemen Hutan Fakultas kehutanan IPB. Pada tahun 2006 penulis mendapat tugas sebagai komisi kemahasiswaan Departemen Manajemen hutan dan Pembinan Forest Management Study Club (FMSC). Pada tahun 2007 penulis mendapat tugas menjadi koordinator kemahasiswaan Fakultas Kehutanan IPB dan pada tahun 2008 penulis mendapat tugas sebagai staf di Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni Institut Pertanian Bogor.


(11)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia yang diberikan-Nya penulis bisa menyelesaikan tesis yang berjudul “Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Studi Kasus di Desa Salua, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyempaikan ucapapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman,MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc serta Dr.Ir. Dodik Ridho Nurrochmat selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ahyar Ismail,M.Agr yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada STORMA yang telah mendanai penulisan tesis ini, staf pengajar di Fakultas kehutanan IPB khususnya di Bagian Kebijakan Kehutanan yang telah memberikan dorongan kepada penulis, rekan-rekan yang telah membantu pengumpulan data Bang Sumarno, Ade, Pipin,Masnun dan Rifai. Kepala Desa Salua beserma seluruh masyarakat yang telah menerima dan membantu penulis dengan tulus dalam proses pengumpulan data.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Lina Mayliana,S.Pt atas semua doa, dorongan dan pengertiannya selama proses penyelesaian tesis ini, serta pada buah hati tersayang Khaira Hashifa Purwawangsa yang senantiasa menjadi sumber inspirasi dalam menyelesaikan karya ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Ayah tercinta R.Sholihin SP dan dan ibu tercinta Nenih Umaemah, serta papa Suharjo Warkidi dan mama Tri Nartuti yang senantiasa mendoakan dan membantu penulis dalam berbagai hal.

Terakhir penulis menyampaikan terimakasih kepada adik tercinta Isti Aditya Purwasena dan Rizky Ali Akbar, “Sintesa” Gank, Adi Hadianto dan keluarga, M.Isbayu dan keluarga, Jumaidi Indra, Hendra Laso, Aldicka, Pringgadi Kridiarto, Dian Panjang, Khairul dan serta semua pihak yang telah membatu penulis dengan tulus ikhlas, semoga Allah SWT membalasnya dengan ganjaran yang setimpal.

Bogor, April 2008


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan ... 10

Manfaat Penelitian ... 10

Alur Pikir Penelitian ... 11

TINJAUAN PUSTAKA ... 12

Valuasi Ekonomi Penggunaan Sumberdaya Alam Terpulihkan ... 12

Teknik Pengukuran Tidak Langsung ... 17

Teknik Pengukuran Langsung ... 19

Konsep Pengelolaan MilikBersama ... 26

Teori Adaptasi ... 28

Analisis SWOT ... 29

METODE PENELITIAN ... 32

Pendekatan Penelitian ... 32

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

Metode Pengambilan Sampel ... 34

Data dan Pengukurannya ... 36

Langkah Kerja ... 38

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 43

Sejarah Singkat Taman Nasional Lore Lindu ... 43

Kondisi Fisik dan Geografis TNLL ... 44

Status Kawasan dan Status Pengelolaan ... 44

Batas Kawasan ... 44

Kondisi Iklim ... 45

Potensi Flora dan Fauna ... 45

Letak Geografis Kecamatan Kulawi ... 52

Topografi ... 52

Penduduk ... 53

Pendidikan ... 55


(13)

Keuangan Daerah ... 57

Kondisi Umum Desa Salua ... 59

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Salua ... 63

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa Salua ... 64

Perburuan Satwa Liar ... 65

Sumber Air Desa Salua ... 66

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) .. 74

Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Banjir ... 76

Persepsi Masyarakat Desa Salua terhadap Ancaman Erosi ... 78

Persepsi Masyarakat terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ... 79

Willingness to Pay Masyarakat Desa Salua terhadap Jasa Lingkungan TNLL ... 81

Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP Masyarakat Desa Salua ... 88

Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Pendapatan Masyarakat ... 88

Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Tingkat Pendidikan ... 90

Korelasi antara WTP Masyarakat Desa Salua dengan Pengetahuan “Katuwua” ... 91

Model Agregat WTP Masyarakat Salua ... 93

Strategi Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ... 94

SIMPULAN DAN SARAN ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jarak Antara Ibu Kota Kecamatan dengan Desa-desa di Kecamatan

Kulawi Tahun 2005 ... 52 2. Keadaan Tanah Menurut Persentase Bentuk Permukaan Tanah menurut

Desa di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ... 53 3. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ... 54 4. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Rata-rata Penduduk per

Rumah Tangga di Kecamatan Kulawi Tahun 2005 ... 54 5. Banyaknya Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan

Kulawi Tahun 2005 ... 55 6. Jumlah Pelajar berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Kulawi

Tahun 2005 ... 56 7. Luas Tanaman Bahan Makanan di Kecamatan Kulawi

Tahun 2005 (Ha) ... 57 8. Realisasi Penerimaan Rutin dan Pembangunan di Kecamatan Kulawi

Tahun 2005 (000 Rp) ... 58 9. Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan

Kulawi Tahun 2003-2005 ... 58 10.Tingkat Pendidikan Masyarakat (Responden) di Desa Salua

Tahun 2005 ... 61 11.Persentase Mata Pencaharian Utama Masyarakat (Responden)

di Desa Salua ... 62 12.Rata-rata Pendapatan / Income Masyarakat Desa Salua (Responden)

Tahun 2005 ... 62 13.Dampak Banjir Terhadap Masyarakat Desa Salua ... 76 14.Dampak Banjir terhadap Lingkungan Desa Salua Tanpa Adanya

Tindakan Pencegahan Banjir ... 77 15.Dampak Erosi terhadap Masyarakat Desa Salua ... 78 16.Dampak Erosi Terhadap Lingkungan Desa Salua tanpa Ada Upaya

Pencegahan Erosi ... 79 17.Ancamanan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui terhadap

Masyarakat Desa Salua ... 80 18.Pendapat Masyarakat terhadap Ancaman Bahaya Lingkungan yang

Tidak Diketahui Tanpa Adanya Program Pencegahan ... 81 19.Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya


(15)

20.Kemauan Membayar Masyarakat Desa Salua terhadap Bahaya

Lingkungan yang Tidak diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga 85 21.Kemauan Membayar Masyarakat untuk Pencegahan Bahaya Banjir

dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga ... 86 22.Penggunaan Pendapatan Tambahan oleh Masyarakat Desa Salua ... 90 23.Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Ajaran Katuwua ... 91 24.Pengetahuan Masyarakat Desa Salua tentang Banjir di

Daerah Dongi-dongi ... 92 25.Hasil Analisis Nilai WTP Masyarakat Desa Salua ... 93 26.Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Pengelolaan Lingkungan

di Desa Salua ... 93 27.Faktor Strategis Internal Kekuatan dalam Pengelolaan Lingkungan

di Desa Salua ... 95 28.Faktor –Faktor Strategis Internal Kelemahan dalam Pengelolaan

Lingkungan di Desa Salua ... 100 29.Faktor-Faktor Strategis Eksternal Ancaman dalam Pengelolaan

Lingkungan di Desa Salua ... 104 30.Faktor-Faktor Strategis Eksternal Peluang dalam Pengelolaan

Lingkungan di Desa Salua ... 108 31.Matrik SWOT dalam Pengelolaan Lingkungan di Desa Salua ... 113


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sisa-sisa Banjir di Desa Salua pada Tahun 2002 ... 9

2. Alur Pikir Penelitian ... 11

3. Surplus konsumen ... 16

4. Klasifikasi Valuasi Non-Market ... 17

5. Hubungan antara Nilai Properti dan Kualitas Lingkungan ... 19

6. Proses Pengambilan Keputusan Strategis ... 30

7. Diagram SWOT ... 31

8. Transisi-transisi antara Fenomena dan Pengamatan Berbeda ... 33

9. Peta Lokasi Penelitian ... 60

10.Pengankutan Kayu dari Hutan ke TO atau Desa ... 64

11.Penebangan Pohon di Kawasan TNLL ... 64

12.Proses Pengangkutan Rotan menuju TO dan Rotan Asalan di Tempat Pengumpulan Lokal ... 65

13.Proses Perburuan Kera di Desa Salua ... 66

14.Kawasan TNLL yang Telah Berubah Fungsi menjadi Kebun ... 68

15.Kawasan TNLL yang Rusak Akibat Penebangan Liar ... 73


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Variabel, Indikator, dan Parameter Penelitian tentang Kemauan

Membayar Masyarakat terhadap Perbaikan Lingkungan ... 121

2. Gambar Perbedaan antara Resiko Banjir dan Erosi ... 125

3. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Banjir ... 125

4. Gambar Setelah Adanya Program Pencegahan Banjir ... 126

5. Gambar Keadaan tanpa Adanya Pencegahan untuk Erosi ... 126

6. Gambar Keadaan Setelah Adanya Program Pencegahan Erosi ... 127

7. Gambar Lingkungan yang Sehat ... 127

8. Gambar Kondisi Lingkungan tanpa Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ... 128

9. Gambar Kondisi Lingkungan setelah Adanya Program Pencegahan Terhadap Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ... 128

10.Gambar Kartu Percobaan yang Menunjukan Berbagai Jenis Perbaikan Lingkungan dengan berbagai Tingkat Harga ... 129

11.Gambar Kartu Percobaan untuk Mengetahui Konsentrasi ... 130

12.Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui ... 131

13.Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan kepada Responden untuk Pencegahan Bahaya Lingkungan yang Tidak Diketahui dalam Bentuk Sumbangan Tenaga ... 132

14.Gambar Kisaran Harga yang Ditawarkan Untuk Pencegahan Banjir dan Erosi dalam Bentuk Sumbangan Tenaga Kerja ... 133

15.Matrik SWOT ... 134

16.Rekapitulasi Perhitungan SWOT ... 136

17.Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa beserta Pihak yang Seharusnya Bertanggungjawab dalam Mengurangi Ancaman Banjir ... 139

18.Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa beserta Pihak yang Seharusnya Bertanggungjawab dalam Mengurangi Ancaman Erosi ... 140

19.Persepsi Masyarakat terhadap Pengaruh Pembangunan Desa dalam Mengurangi Ancaman Erosi ... 141

20.Hasil Perhitungan Regresi Antara WTP dengan Pendapatan Masyarakat ... 142


(18)

21.Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pendapatan

Masyarakat ... 143 22.Hasil Perhitungan Korelasi antara Pendapatan Masyarakat dengan

Persentase Penggunaan Pendapatan Tambahan untuk Perbaikan

Lingkungan yang Tidak Diketahui... 144 23.Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Tingkat Pendidikan .. 145 24.Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pengetahuan

“Katuwua” ... 146 25.Hasil Perhitungan Korelasi antara WTP dengan Pengetahuan tentang

Banjir di Dongi-dongi ... 147 26.Hasil Perhitungan antara Korelasi WTP dengan Wabah Penyakit yang

Melanda daerah di Luar Desa Salua. ... 148 27.Uji F terhadap Model Regresi Berganda ... 149


(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya alam hutan (SDAH) adalah faktor produksi dan konsumsi untuk kesejahteraan bangsa khususnya dan umat manusia pada umumnya. SDAH dalam memberikan manfaat kesejahteraan kepada umat manusia mempunyai lebih banyak dimensi dibandingkan dengan sumberdaya alam (SDA) lain, yakni: (1) memberi berbagai bentuk manfaat, baik manfaat-manfaat berwujud (tangible), maupun manfaat tidak berwujud (intangible); (2) bagi seluruh lapisan masyarakat, lapisan bawah sampai atas, masyarakat tradisional sampai modern; (3) bagi generasi kini dan generasi yang akan datang, serta (4) bagi keutuhan bumi sebagai tempat hidup seluruh bangsa di dunia (Darusman 2002).

Dari sudut pandang sumberdaya alam sebagai aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan, SDAH dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Bentang alam berupa stock atau modal alam (natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung, yang keberadaannya tidak dibatasi wilayah administratif, dan

2. SDA berupa komoditi seperti kayu, rotan, air, mineral, batu bara, dan sumber daya alam lainnya yang dapat diproduksi menjadi sumber/aset ekonomi

Aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan tersebut berada dalam berbagai bentuk ekosistem. Dengan demikian, ekosistem menyediakan produk seperti makanan dan air serta jasa, seperti pengaturan dan pengendalian banjir; kekeringan dan penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara; jasa kebudayaan seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat bukan material lain (Bappenas 1993, diacu dalamKartodiharjo 2006).

Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum kemauan seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa yang dimilikinya dalam rangka memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep nilai ekonomi lingkungan disebut dengan kemauan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari hutan


(20)

bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Fauzi 2004).

Manfaat lingkungan seringkali diabaikan karena pada umumnya manfaat tersebut baru terasa manfaatnya di masa yang akan datang. Manfaat pencegahan banjir dan erosi misalnya, baru terasa jika banjir dan erosi tersebut telah terjadi. Oleh karena itu, manfaat lingkungan seringkali tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh terhadap perhitungan SDAH. Dalam hal ini, nilai tersebut tidak saja nilai pasar (market value) barang yang dihasilkan dari sumberdaya hutan, melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut.

Menurut (Balmford et al 2002, diacu dalam Barkmann et al 2006), salah satu rintangan paling besar dalam membuat desain pengelolaan jasa lingkungan adalah kurangnya pengetahuan tentang nilai ekonomi non pasar yang ada pada ekosistem hutan dan sistem penggunaan lahan pertanian yang ada di dalamnya. Dalam konteks Indonesia, studi mengenai nilai ekonomi hutan yang ada di Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu, riset tentang penghitungan nilai jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati juga masih sedikit (Pattanayak & Kramer 2001, diacu dalam Barkman et al 2006).

Dari segi karakteristik SDA, konservasi jasa lingkungan, misalnya berupa pengendalian banjir, longsor, dan erosi dapat diklasifikasikan ke dalam common pool resources, yang menyediakan jasa bagi kelompok masyarakat tertentu dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) tertentu. Pemanfaatan jasa lingkungan ini pada umumnya bersifat non-excludable, artinya sangat sulit, meskipun bukan tidak mungkin mengeluarkan individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk tidak memanfaatkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan mempunyai sifat sebagai

non-subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh satu pihak, pihak lain masih dapat menikmati (Folmer and Gabel, 2001).

Selain itu, konservasi jasa lingkungan seringkali dilakukan oleh perorangan atau kelompok masyarakat, misalnya dengan melakukan penanaman hutan atau mengkonservasi sumber air. Dana untuk kegiatan tersebut bisa berasal dari berbagai sumber seperti dari pemerintah, lembaga donor, swadaya masyarakat, atau gabungan dari beberapa pihak. Apabila upaya-upaya ini gagal dilakukan


(21)

maka dampak negatif akan terjadi dan menjadi common pool bads (Kartodiharjo 2006). Dengan demikian, peran masyarakat cukup menentukan dalam upaya pelestarian maupun perbaikan kualitas lingkungan.

Desa Salua merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Desa Salua terletak di lembah Kulawi dan banyak memiliki anak sungai yang bermuara di Sungai Miu atau DAS Palu. Sudah sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan TNLL yang dapat dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan TNLL baik untuk memperoleh sumber pendapatan seperti merotan dan mengambil kayu maupun untuk hal lain seperti keperluan obat-obatan dan mencari tambahan makanan, misalnya sayuran dan daging (Care 2002).

Mata pencaharian utama masyarakat Desa Salua adalah pertanian, khususnya tanaman coklat dan kopi, sekitar 95% masyarakat mengandalkan hasil tanaman coklat sebagai penghasilan utama. Sebagian masyarakat juga mengandalkan rotan sebagai mata pencaharian alternatif/sampingan. Di sekitar ladang dan tempat tinggal masyarakat desa Salua terdapat tiga sungai besar yang sering meluap di musim hujan.

Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat disekitar Taman Nasional Lore Lindu telah memiliki falsafah yang disebut Katuwua, yaitu suatu ajaran tentang keselarasan antara kehidupan manusia dengan alam. Falsafah tersebut diwujudkan oleh masing-masing kelompok masyarakat dalam bentuk hukum adat. Desa Salua telah mempunyai aturan adat dalam mengelola lingkungan, yaitu hukum adat

Taolo dan hukum adat Ombo. Taolo adalah aturan adat yang berisi : 1) Sumber mata air tidak boleh dirusak, 2) Hutan dengan kemiringan 70˚-90˚ tidak boleh dirusak, dan 3) Tempat-tempat yang dikeramatkan tidak boleh dirusak. Hukum adat Ombo adalah suatu kegiatan adat berupa pelarangan melakukan kegiatan yang berlebih untuk sementara waktu dalam wilayah tertentu. Ada tiga unsur penting dalam pemberlakuan hukum adat Ombo, yaitu jenis sumberdaya yang dilarang, batas wilayah dan daerah yang akan diberlakukan Ombo.

Selain itu, ada juga ketentuan tentang pengelolaan hutan yang disepakati oleh pemerintah desa dan lembaga adat dengan difasilitasi oleh LSM Care. Kesepakan-kesepakatan tersebut adalah; 1) Dilarang menebang hutan secara liar


(22)

di wilayah DAS, 2) Dilarang berburu binatang dan hewan yang dilindungi, 3) Dilarang menebang kayu/membuka lahan baru di kemiringan 45˚ pada DAS dan jarak dari DAS 50-100 meter, 4) Dilarang melakukan penangkapan ikan dengan arus listrik dan racun pada sungai di Desa Salua. Jika ada masyarakat yang melanggar peraturan tersebut akan dikenai sanksi Hampole Hangu dengan nilai uang setara dengan Rp 600.000 (10 Dulang, 1 mbesa, 1 ekor kerbau).

Seiring dengan perubahan waktu, terdapat faktor sosial, ekonomi dan kebudayaan yang mempengaruhi pengelolaan hutan di Desa Salua. Ketiga faktor tersebut diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan perilaku dari masyarakat Desa Salua dalam hal pengelolaan hutan. Adanya perubahan perilaku tersebut menyebabkan terjadinya penyerobotan kawasan Taman Nasional Lore Lindu, pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif, terjadinya konversi hutan menjadi penggunaan lain serta terjadinya penebangan liar. Luas kawasan TNLL yang telah berubah menjadi perkebunan coklat mencapai 30.000 ha. (Sinar Harapan, 2003). Hal tersebut menyebabkan penurunan fungsi hutan, terutama fungsi lingkungannya. Salah satu contoh penurunan fungsi hutan yang telah terjadi adalah penurunan fungsi hutan sebagai pengatur tata air. Pada tahun 2002 di Desa Salua pernah terjadi banjir besar, yang menyebabkan kerusakan pada ladang dan rumah milik masyarakat.

Terjadinya penurunan fungsi lingkungan hutan di Desa Salua, telah menyebabkan bahaya lingkungan di Desa Salua. Secara umum, bahaya lingkungan yang mengancam Desa Salua terbagi dua, yaitu bahaya lingkungan yang sudah diketahui seperti banjir dan erosi, serta bahaya lingkungan yang belum diketahui seperti timbulnya penyakit baru bagi manusia, serangan hama penyakit serta bahaya lingkungan lain yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Untuk mencegah bahaya lingkungan, baik yang telah diketahui maupun belum diketahui di Desa Salua, diperlukan program-program perbaikan lingkungan, yang mengikutsertakan seluruh stakeholders yang terkait. Biaya untuk mendanai program perbaikan lingkungan tersebut bisa berasal dari pemerintah, swasta, bantuan asing, swadaya masyarakat, maupun gabungan dari beberapa pihak.


(23)

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua dan mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan untuk pencegahan bahaya lingkungan dengan cara mengukur kemauan membayar masyarakat Desa Salua terhadap perbaikan lingkungan beserta peubah-peubah yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi pengelolaan wilayah di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua.

Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan dalam hal pencegahan banjir dan erosi serta bahaya lingkungan yang belum diketahui dengan menggunakan valuasi

non-market dengan pengukuran secara langsung atau melalui survei (expressed

willingness to pay). Metode valuasi non-market melalui survei yang akan dipakai adalah Contingent Valuation Method (CVM).

Dalam praktiknya, pengukuran manfaat ekonomi jasa lingkungan dianggap masih memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya adalah : Kemungkinan timbulnya bias (understate dan overstate) yang disebabkan oleh strategi yang keliru atau rancangan penelitian yang kurang tepat (Fauzi 2001), kemungkinan timbulnya warm glow (menyenangkan pewawancara) dan catering bias (menyetujui apa yang disetujui oleh pewawancara) (Carson 2001), serta kemungkinan bias akibat faktor ekonomi, psikologi ekonomi dan politik serta tidak konsistennya jawaban responden akibat keterbatasan pengetahuan responden terhadap materi yang ditanyakan (Schläpfer, 2007).

Meskipun demikian, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengurangi kemungkinan bias yang terjadi. Solusi yang bisa dilakukan diantaranya adalah : Membuat desain dan implementasi studi secara hati-hati (Richard 2001), harga yang ditawarkan dalam CVM sebaiknya, dekat dengan harga aktual yang berlaku bagi mayoritas responden, jika harga berupa kenaikan pajak, sebaiknya disampaikan dalam bentuk persentase serta responden harus diberikan pilihan jawaban berdasarkan informasi yang diketahui atau dimengerti secara umum oleh sebagian besar responden.

Penelitian ini akan mencoba untuk membuat desain penelitian dan implementasi CVM yang dapat mengurangi hasil perhitungan yang bias, berdasarkan solusi yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian


(24)

diharapkan penelitian ini diharapkan dapat menghitung nilai ekonomi bahaya lingkungan di Desa Salua, secara akurat.

Setelah nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL diketahui, diharapkan apresiasi masyarakat Desa Salua terhadap kelestarian lingkungan bisa meningkat dan bisa dijadikan rekomendasi bagi pemerintah atau pemegang kebijakan dalam pengelolaan hutan atau lingkungan di Desa Salua. Rekomendasi tersebut akan dilengkapi dengan strategi pengelolaan lingkungan dengan menggunakan analisis SWOT.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian yang berjudul “Manfaat Ekonomi Jasa Lingkungan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Studi Kasus di Desa Salua Kecamatan Kulawi, Kabupaten Dongggala, Provinsi Sulawesi Tengah)”.

Perumusan Masalah

Secara administratif, Desa Salua berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Salua merupakan salah satu desa yang berada di Lembah Kulawi dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat Desa Salua sangat bergantung dengan TNLL, dan sejak lama masyarakatnya memiliki hubungan yang erat dengan hutan di TNLL. Hal ini terlihat dengan banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan dalam hutan, baik untuk memperoleh pendapatan seperti merotan dan mengolah kayu maupun untuk keperluan mencari makanan tambahan seperti sayuran dan daging, memperoleh obat-obatan, serta perlengkapan ritual.

Meskipun masyarakat Desa Salua telah memiliki aturan adat yang mengatur tata cara pengelolaan hutan yang lestari yang tertuang dalam hukum adat Taolo

dan hukum adat Ombo serta peraturan desa yang merupakan hasil kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat desa, di dalam survey pendahuluan ditemukan kecenderungan perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola hutan, akibat berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya serta penegakan hukum.


(25)

Faktor sosial pertama yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah adanya interaksi masyarakat Salua dengan pendatang, interaksi yang paling intensif terjadi dengan Suku Bugis. Interaksi tersebut menempatkan penduduk asli Salua sebagai pihak yang kalah dalam persaingan, terutama dalam hal persaingan ekonomi. Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat dan pengamatan di lapangan, penyebab utama kekalahan tersebut adalah faktor internal masyarakat Salua sendiri yang cenderung kurang ulet dan kurang rajin bekerja. Salah satu contoh adalah kebun coklat masyarakat pendatang dikelola dengan baik, sehingga hasil produksinya lebih besar dibandingkan dengan kebun coklat masyarakat lokal yang dibiarkan tidak terawat. Demikian juga dalam hal perdagangan, masyarakat pendatang cenderung lebih maju sehingga dapat menguasai perekonomian di Desa Salua dan sekitarnya.

Kondisi tersebut, menyebabkan banyak aset penduduk asli yang berpindah tangan kepada masyarakat pendatang. Contoh aset yang paling banyak berpindah tangan adalah tanah/lahan. Lahan-lahan milik penduduk lokal, banyak yang dijual kepada pendatang, uang hasil penjualan tersebut biasanya digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumtif, sehingga cepat habis. Setelah uang habis dan tidak mempunyai lahan lagi, penduduk asli merambah lahan-lahan yang berada di kawasan TNLL untuk dibuka menjadi ladang atau kebun. Perambahan tersebut telah menyebabkan konversi lahan hutan menjadi perkebunan.

Faktor sosial lain yang berpengaruh adalah faktor pendidikan, tingkat pendidikan yang rendah terutama pendidikan yang berkaitan dengan lingkungan hidup menyebabkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan hutan rendah. Masyarakat cenderung berorientasi jangka pendek dalam mengelola hutan, sehingga tidak memperhatikan akibat yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Selain itu, dengan adanya interaksi sosial antara masyarakat lokal dengan pendatang, menyebabkan masyarakat lokal meniru perilaku dari masyarakat pendatang, hal tersebut terjadi pada kasus penebangan liar. Ketika banyak masyarakat pendatang yang melakukan penebangan liar atau menjadi penadah kayu curian, masyarakat lokal terpengaruh untuk melakukan hal serupa karena tahu ada permintaan terhadap kayu. Oleh karena itu, masyarakat tidak lagi


(26)

menebang kayu untuk keperluan pribadi saja, tetapi juga untuk dijual. Dengan demikian, jumlah kayu yang ditebang oleh masyarakat lokal jauh lebih banyak dari sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya penebangan liar. Hal tersebut diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum dari aparat, sehingga penebangan liar tetap terjadi meskipun intensitasnya tidak terlalu besar.

Selain itu, dengan adanya interaksi dengan pendatang telah menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat lokal menjadi lebih konsumtif. Barang-barang yang semula tidak diperlukan, dipandang menjadi kebutuhan. Perubahan pola konsumsi tersebut dengan sendirinya menuntut masyarakat untuk memperoleh uang lebih banyak. Ketika hasil dari perkebunan tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut, yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah menjual lahannya kemudian membuka lahan lain di kawasan TNLL atau mencari pendapatan tambahan dengan menebang kayu maupun mengambil rotan di kawasan yang dilarang, atau menjual binatang yang dilindungi.

Perubahan perilaku tersebut telah mengakibatkan hal-hal yang negatif terhadap kelestarian lingkungan, seperti penyerobotan kawasan TNLL, konversi lahan hutan, penebangan liar dan pemanfaatan hasil hutan non kayu yang intensif. Hal tersebut dengan sendirinya menyebabkan penurunan fungsi hutan, seperti fungsi hutan dalam mengatur tata air dan mencegah erosi. Adanya penurunan fungsi tersebut menyebabkan bahaya lingkungan bagi Desa Salua, baik bahaya lingkungan yang diketahui, maupun bahaya lingkungan yang belum diketahui.

Bahaya lingkungan yang belum diketahui adalah bahaya lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti wabah penyakit baru serta hama dan penyakit tumbuhan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Agar bahaya lingkungan baru tersebut tidak terjadi, maka diperlukan program untuk menjaga kesehatan lingkungan (tanah, hutan dan lahan) di Desa Salua. Sedangkan bahaya lingkungan yang diketahui adalah bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa Salua seperti banjir dan erosi.

Salah satu bahaya lingkungan yang telah terjadi di Desa Salua adalah banjir besar yang melanda Desa Salua pada tahun 2002. Banjir tersebut menghancurkan sebagian besar lahan dan rumah milik masyarakat. Ketika penelitian ini dilaksanakan, masih terlihat sisa-sisa bencana banjir tersebut berupa kayu


(27)

gelondongan yang berserakan di sekitar sungai. Contoh sisa-sisa bencana banjir besar pada tahun 2002 bisa dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Sisa-sisa Banjir di Desa Salua pada Tahun 2002

Salah satu cara untuk menumbuhkan kesadaran untuk mengelola lingkungan secara lestari kepada masyarakat atau pengambil kebijakan adalah dengan cara memberikan informasi tentang manfaat ekonomi yang terkandung dalam lingkungan itu sendiri. Jika nilai ekonomi lingkungan hidup belum diketahui, dengan sendirinya apresiasi masyarakat dan pengambil kebijakan tidak akan begitu besar.

Dengan demikian, penelitian ini akan difokuskan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua, menghitung nilai ekonomi jasa lingkungan dari TNLL dalam mencegah bahaya lingkungan baik bahaya lingkungan yang telah diketahui maupun bahaya lingkungan yang tidak diketahui, dengan menggunakan pendekatan willingness to pay (WTP), serta bentuk kontribusi dari masyarakat yang paling efektif. Selain itu, di dalam penelitian ini juga akan dirumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua.

Berdasarkan penuturan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua? 2. Seberapa besar nilai ekonomi bahaya lingkungan yang diakibatkan oleh

penurunan fungsi hutan di Desa Salua ?

3. Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi besarnya kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan perbaikan lingkungan ?


(28)

4. Apa kontribusi masyarakat yang paling efektif dalam program perbaikan lingkungan ?

5. Bagaimana strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua ? Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan di Desa Salua 2. Melakukan penilaian besarnya nilai ekonomi bahaya lingkungan di Desa

Salua

3. Mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi besarnya kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat Desa Salua untuk melakukan perbaikan lingkungan

4. Mengetahui bentuk kontribusi masyarakat dalam program perbaikan lingkungan yang paling efektif

5. Merumuskan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat-manfaat sebagai berikut : 1. Dapat diperoleh informasi tentang nilai ekonomi lingkungan di sekitar

kawasan TNLL berdasarkan perhitungan willingness to pay

2. Pengetahuan yang diperoleh mengenai faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kemauan membayar masyarakat Desa Salua dalam melakukan pelestarian lingkungan dan perumusan strategi pengelolaan lingkungan di Desa Salua diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang terkait dengan pengelolaan lingkungan di sekitar kawasan TNLL khususnya di Desa Salua.


(29)

Alur Pikir Penelitian

Alur pikir penelitian, yang secara diagramatis menggambarkan hubungan antara masalah penelitian, tujuan penelitian, serta metode analisis disajikan pada Gambar 2 berikut ini :

Perubahan perilaku dalam pengelolaan hutan Pengelolaan Hutan Desa Salua

Penurunan fungsi hutan Faktor-faktor Sosial:

• Ada interaksi dengan pendatang

• Pendidikan yang rendah

Faktor-faktor Ekonomi: • Permintaan kayu dan

non kayu

• Konsumerisme

• Orientasi ekonomi jangka pendek

Faktor-faktor Budaya:

• Budaya masyarakat

memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu

• Hukum adat Ombo dan

Taulo

Lemahnya penegakan hukum

Konversi hutan Penyerobotan Kawasan

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)

Pemanfaatan hasil hutan non kayu yang

intensif

Ilegal Logging

Penilaian ekonomi jasa lingkungan pencegahan bahaya lingkungan

Strategi pengelolaan wilayah (lingkungan hidup)

Bahaya lingkungan

Gambar 2. Alur Pikir Penelitian

SWOT WTP


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Valuasi Ekonomi Penggunaan Sumberdaya Alam Terpulihkan

Salah satu tema sentral dalam ekonomi lingkungan adalah valuasi sumberdaya hutan. Sumberdaya tersebut diantaranya adalah udara, air permukaan dan air tanah, lahan, pemandangan yang alami dan lain sebagainya. Sumberdaya tersebut menghasilkan tiga fungsi : 1) menghasilkan pendukung sistem ekologi (ecological system support), 2) menghasilkan input negatif dalam proses produksi (misalnya air tanah terkontaminasi oleh limbah industi), 3) kenyamanan yang di konsumsi secara langsung dalam bentuk udara bersih, air untuk keperluan rumah tangga serta jasa rekreasi pada kawasan alamiah (Folmer & Gabel 2001).

Menurut Vercueil (2000) beberapa alasan mengapa valuasi nilai ekonomi penting bagi pemegang kebijakan adalah : 1) Untuk menjastifikasi dan memutuskan bagaimana mengalokasikan belanja publik dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur dan pelayanan sosial, konservasi serta restorasi yang berkaitan dengan kenyamanan publik 2) Mempertimbangkan nilai lingkungan milik publik dan mendorong partisipasi dan dukungan publik terhadap inisiatif perbaikan lingkungan 3) Untuk membandingkan manfaat dari beberapa proyek atau program yang berbeda 4) Untuk memprioritaskan program restorasi dan konservasi dan 5) Untuk memaksimalkan maanfaat ekonomi dari per unit uang yang dibayarkan.

Dalam membuat keputusan, pemegang kebijakan akan mempertimbangkan banyak hal, termasuk kualitas lingkungan dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup manusia. Untuk membandingkan biaya dan manfaat ekonomi dari keputusan tersebut mereka akan membutuhkan perhitungan manfaat ekonomi dari investasi yang telah dilakukan dalam bentuk terminologi moneter. Untuk beberapa keputusan seperti untuk menjaga kenyamanan alam pedesaan atau kesehatan dan keamanan publik, pertimbangan ekonomi tidak akan diutamakan. Oleh karena itu, dalam situasi tersebut, pemegang kebijakan akan membutuhkan analisis ekonomi sebagai landasan untuk membuat kebijakan tersebut.

Menurut Laarman dan Sedjo (1992), jasa yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya hutan diantaranya adalah :


(31)

Jasa Perlindungan 1. Pengaturan Iklim

2. Pengaturan komposisi atmosfir

3. Stabilisasi lereng, streambanks, tangkapan air, dan sebagainya 4. Shelterbelts, penahan kelembaban tanah

5. Pengaturan aliran air, dan reduksi banjir 6. Reklamasi lahan

7. Penyangga terhadap penyebaran hama dan penyakit 8. Simpanan, distribusi, dan siklus hara

9. Habitat hidupan liar

10. Konservasi keanekaragaman hayati Jasa Pendidikan dan Kegiatan Ilmiah 1. Penelitian ekosistem dan organisme

2. Zona untuk memonitor perubahan ekologis

3. Spesimen untuk museum, kebun binatang, dan kebun raya 4. Stok untuk makanan, bahan kimia, dan agen pengendali biologis 5. Pendidikan Lingkungan

Pengaruh Psikofisiologis

1. Rekreasi, wisata, dan olahraga

2. Menumbuhkan perasaaan kedamaian, harmonis dengan alam 3. Inspirasi untuk seni, sastra, musik, myth, agama, dan filsafat 4. Situs dan nilai sejarah

Konsumsi Tumbuhan, Hewan, dan Turunannya 1. Kayu : kayu log, bahan pulp dan tiang

2. Kayu bakar

3. Makanan : ikan, buah, jamur, madu, sayuran, dan sebagainya 4. Herba, bunga, tumbuhan obat dan bahan farmasi

5. Getah, resin, laks, minyak, tannin dan waxes

6. Pakan ternak (rumput, daun) 7. Ulat sutera


(32)

9. Kulit, bulu, gigi, dan bagian fauna lainnya 10. Habitat flora dan fauna berpotensi ekonomi Sumber lahan dan ruang kehidupan

1. Cadangan lahan untuk kegiatan pertanian dan pembangunan lainnya 2. Tempat hidup bagi indegenous people

Menurut Hufschmidt et al (1992) diacu dalam Djijono (2002), secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi survei atau penilaian hipotesis yang disajikan berikut ini :

1. Pendekatan Orientasi Pasar

a. Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market methods) :

i. Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in productivity) ii. Metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods)

b. Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan :

i. Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods) ii. Biaya penggantian (replacement cost methods)

iii. Proyek bayangan (shadow project methods) iv. Analisis keefektifan biaya

c. Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market based methods) i. Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan ii. Pendekatan nilai kepemilikan

iii. Pendekatan lain terhadap nilai tanah iv. Biaya perjalanan (travel cost)

v. Pendekatan perbedaan upah (wage differential methods) vi. Penerimaan kompensasi/pampasan

2. Pendekatan Orientasi Survei

a. Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (willingness to pay) b. Pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (willingness to accept)


(33)

Willingness To Pay

Untuk menilai manfaat intangible secara kuantitatif, para ahli ekonomi telah berusaha mengembangkan suatu pendekatan yakni pendekatan kemauan membayar (willingness to pay) dari para konsumen yang bersangkutan. Menurut Hutchinson dan Chilton (1999) diacu dalam Syakya (2005), willingness to pay

(WTP) adalah keinginan individu membayar sejumlah uang untuk peningkatan kualitas lingkungan atau terhindar dari penurunan kualitas lingkungan. Pada prinsipnya WTP sama dengan pendugaan kurva permintaan yang merupakan tempat kedudukan besarnya kemauan membayar dari sekelompok konsumen pada berbagai tingkat konsumsinya (Darusman 2002).

Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kemauan konsumen membayar perbaikan atau kemauan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al 1987 diacu dalam Fauzi 2004). Kemauan membayar atau kemauan menerima merefleksikan preferensi individu, yang merupakan ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi. Pearce dan Moran (1994) diacu dalamDjiono (2002) menyatakan kemauan membayar dari rumah tangga ke - i untuk perubahan dari kondisi lingkungan awal (Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik

(Q1) dapat disajikan dalam bentuk fungsi, yaitu :

Keterangan :

WTPi : Kesediaan membayar dari rumah tangga ke i

Powni : Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan

Psubi : Harga subtitusi untuk penggunan sumberdaya lingkungan. Si : Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i

Kemauan membayar berada di area di bawah kurva permintaan. Kurva permintaan mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi. Kurva permintaan merupakan jadwal kemauan konsumen untuk membayar jumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan pada Gambar 3 di bawah ini.


(34)

Total bidang di bawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang atau merupakan ukuran kemauan membayar total, karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari O sampai M. Dengan mengurangkan biaya suatu barang bagi konsumen (ONEM), nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE dan merupakan ukuran kemauan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi.

Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu produk dan kemauan untuk membayar. Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen adalah karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir (Sukirno 2002).

Teknik Penilaian Non-Pasar Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menurut Fauzi (2004), secara umum teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed

WTP (kemauan membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke

O M Q

R

N

Gambar 3. Surplus Konsumen P = Price

Q = Quantity E


(35)

dalam kelompok pertama ini diantaranya adalah : travel cost, hedonic pricing, dan teknik baru yang disebut random utility model.

Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana kemauan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang popular dalam kelompok ini adalah yang disebut Contingent Valuation Method (CVM), dan

Discrete Choice Method. Secara skematis, teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Klasifikasi Valuasi Non-market Teknik Pengukuran Tidak Langsung Travel Cost Method

Menurut Fauzi (2004), Travel Cost Method (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Metode ini diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun 1931, yang kemudian secara formal diperkenalkan oleh Wood dan Trice (1985) serta Clawson dan Knetsch (1966). Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisa permintaan terhadap rekreasi alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berburu, hiking, dan sebagainya.

Metode travel cost ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat:

1. Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi 2. Penambahan tempat rekreasi baru

3. Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi Valuasi Non Market

Langsung (Survei) (Expressed WTP) Tidak Langsung

(Revealed WTP)

Hedonic Pricing

Travel Cost

Random Utility Model

Contingent Valuation


(36)

4. Penutupan tempat rekreasi yang ada

Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Teknik tersebut adalah :

1. Pendekatan sederhana menurut zonasi

2. Pendekatan individual TCM dengan menggunakan data sebagian besar dari survei

Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif sederhana dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Dalam teknik ini, tempat rekreasi dibagi ke dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung per tahun. Dari sini kemudian diperoleh data jumlah kunjungan per 1.000 penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan (travel cost) dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata.

Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif lebih kompleks. Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif akurat daripada metode zonasi. Karena metode TCM tidak digunakan dalam penelitian ini, karena lokasi yang akan diukur nilai ekonominya bukan merupakan tempat wisata

Hedonic Pricing (HP)

Menurut Fauzi (2004), teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori atribut (atau karakteristrik) yang dikemukakan oleh Lancaster (1966). Teknik ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Griliches (1971) dan Rosen (1974). Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa. Misalnya, permintaan rumah yang dibangun di tepi danau akan banyak ditentukan oleh karakteristik yang dihasilkan dari danau itu (keindahan, kebersihan dan sebagainya). Di sisi lain, nilai properti (perumahan) juga banyak ditentukan oleh


(37)

kualitas lingkungan dan diasumsikan bahwa semakin buruk kualitas lingkungan, semakin menurun nilai properti tersebut (Gambar 5).

Gambar 5. Hubungan antara nilai properti dan kualitas lingkungan

Analisa HP terdiri dari dua tahap. Pertama adalah penentuan variabel kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi (fungsi HP) dan pengkajiannya memerlukan ketersediaan data spasial dan data harga suatu objek yang akan dinilai. Metode HP kurang relevan digunakan dalam penelitian ini, karena jasa lingkungan yang akan diukur tidak berhubungan secara langsung dengan harga suatu objek, misalnya harga rumah, harga tiket masuk, atau harga sewa hotel.

Teknik Pengukuran Langsung

Berbeda dengan pendekatan tidak langsung, pada pendekatan pengukuran secara langsung, nilai ekonomi sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai

kesediaan mereka membayar (willingness to pay) barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam.

Contingent Valuation Method (CVM)

Kualitas lingkungan

Kualitas lingkungan membaik Pencemaran

Nilai Pro

p

er


(38)

Menurut Fauzi (2004), pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika pemerintah Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Misalnya berapa biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya. Metode ini digunakan dalam penelitian ini, karena dalam prakteknya, penelitian ini akan mengukur nilai ekonomi jasa lingkungan dengan cara mengukur kesediaan membayar masyarakat terhadap perbaikan lingkungan yang akan dilaksanakan.

Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara.

Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua,

dengan teknik survei. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit. Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-manfaat) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui : pertama, kemauan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air dan udara) dan kedua, kemauan menerima (willingness to accept atauWTA) dari masyarakat atas kerusakan suatu lingkungan.

Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi berdasarkan kepemilikan (Garrod & Willis 1999, diacu dalam Fauzi 2004), jika individu yang ditanya tidak


(39)

memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam,

pengukuran yang relevan adalah kemauan membayar yang maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang dan jasa tersebut. Sebaliknya, jika individu yang ditanya memiliki hak atas sumberdaya, pengukuran yang relevan adalah kemauan untuk menerima (willingness to accept) kompensasi yang paling minimum atas hilangnya atau rusaknya sumberdaya alam yang dimilikinya.

Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap kegiatan atau proses. Tahapan tersebut dapat dikatagorikan sebagai berikut : Tahap Satu : Membuat Hipotesis Pasar

Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti harus terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya, pemerintah ingin memperbaiki lingkungan pantai yang sudah tercemar. Dalam hal ini kita dapat membuat kuisoner yang berisi informasi lengkap mengenai bagaimana kondisi lingkungan pantai yang bagus (misalnya dengan menunjukkan gambar pantai yang tercemar dan tidak tercemar), bagaimana pemerintah akan memperoleh dana (apakah dengan pajak, pembayaran langsung, dan sebagainya). Kuisioner ini bisa terlebih dahulu diuji pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi atas proyek yang akan dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul dilaksanakan.

Tahap Kedua : Mendapatkan Nilai Lelang (Bids)

Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang. Hal ini dilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan kuisioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga cara


(40)

tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum kemauan membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik :

1. Permainan lelang (bidding game). Responden diberi pertanyaan secara berulang-ulang tentang apakah mereka bersedia membayar sejumlah tertentu. Nilai ini kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respon atas pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh

2. Pertanyaan terbuka. Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang bersedia dibayarkan) untuk suatu proyek perbaikan lingkungan

3. Payment Card. Nilai lelang dengan teknik ini diperoleh dengan cara

menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini ditunjukan kepada responden melalui kartu

4. Model referendum atau discrete choice (dichotomous choice). Responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak

Tahap Ketiga : Menghitung Rataan WTP dan WTA

Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bid) yang diperoleh pada tahap kedua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean

(rataan) dan nilai median (tengah). Pada tahap ini harus diperhatikan

kemungkinan timbulnya outliner (nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata).


(41)

Kurva lelang atau bid curvediperoleh misalnya dengan cara meregresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel bebas.

Tahap Kelima : Mengagregatkan Data

Tahap terakhir dari CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang

diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N). Model Parametrik CVM

Salah satu model CVM yang paling umum digunakan adalah model

Dikotomous. Garod dan Willis (1999) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa pendekatan ini merupakan alternatif terbaik untuk menjawab defisiensi pendekatan Contingent Valuation yang didasarkan pada pertanyaan terbuka maupun bidding games. Pendekatan ini dianggap lebih mendekati teori dibandingkan model-model lain seperti open ended CVM atau bidding game

CVM. Pada tahun 1980-an mulai disadari adanya kelemahan pada model open ended CVM atau bidding game CVM ini dalam hal memperkirakan nilai WTP yang tepat karena metode tersebut mengharuskan responden untuk mengkontruksi nilai maksimum WTP mereka yang sering pada akhirnya menimbulkan bias. Untuk mengembangkan model parametrik dikotomus CVM, digunakan model dasar yang disebut Random Utility Model (RUM) yang telah dikembangkan oleh McFadden (1974).


(42)

Model RUM dimulai dengan membangun hipotesis bahwa ada dua kondisi alternatif sumberdaya alam, yaitu kondisi i=0 yang menggambarkan kondisi

status quo dan i=1, yang menggambarkan kondisi perubahan sumberdaya seperti yang ditawarkan dalam survei CVM. Misalnya Mj menggambarkan pendapatan

responden j pada kondisi i, kemudian zj menggambarkan karakteristik sosial

responden ke j, termasuk variasi yang terjadi pada kuisioner, dan menggambarkan preferensi yang bersifat random yang hanya diketahui oleh responden, tetapi tidak oleh peneliti. Dengan demikian fungsi-fungsi utilitas responden terhadap kondisi sumberdaya alam ditulis sebagai berikut :

Jika responden kemudian diminta untuk membayar sebesar p, utilitas yang diperoleh pada kondisi lingkungan yang baik setelah adanya kemauan membayar dari responden dibandingkan status quo dapat digambarkan pada persamaan berikut :

Namun demikian, karena peneliti tidak mengetahui preferensi responden yang bersifat acak, peneliti hanya mengetahui kemungkinan (probabilitas) menjawab “ya” atau “tidak”. Jadi jika u1>u0, kemungkinan responden menjawab

adalah “ya” adalah :

uij = u (Mj,zj, εij)

u1(Mj-pj,zj, ε1j) > u0(Mj,zj, ε0j)


(43)

Tahap berikutnya dalam pemodelan RUM ini adalah membuat spesifikasi fungsi utilitas yang biasanya dibuat dalam bentuk linear dan aditif berikut ini :

dimana ui adalah fungsi utilitas yang tidak teramati (unobservable), sementara vi

adalah fungsi utilitas yang teramati, atau sering dikenal dengan inderect utility function. Salah satu bentuk fungsi ini dapat ditulis dalam bentuk :

dimana Zi adalah variabel sosial ekonomi.

Penduga willingness to pay dalam persamaan di atas dapat ditulis dalam persamaan berikut ini :

dimana α dan β adalah koefisien atau parameter yang diperoleh melalui pendugaan dengan teknik regresi atau ekonometrik.

Untuk memperoleh nilai WTP yang diinginkan, persamaan di atas bisa dipecahkan menjadi persamaan di bawah ini :

Model di atas dibangun dengan asumsi bahwa utilitas bersifat linear terhadap pendapatan. Variasi lain dari model ini adalah dengan menggunakan model ulititas yang bersifat logaritmik terhadap pendapatan. Asumsi logaritmik ini lebih realistis karena adanya sifat diminishing return pendapatan. Fungsi

ui(Mj-pj,zj,εij) = vi (Mj,zj)+ εij

vi = α0 +α1Zi1+α2Zi2+αmZim

α1zj + β(Mj-WTPj)+ εij = α0zj+ βMj+ εoj

β

α

j j

j

z


(44)

utilitas yang menggambarkan fungsi non-linear tersebut dapat ditulis dengan persamaan berikut :

Jadi apabila variabel acak (ε) diasumsikan terdistribusi secara logaritmik, peluang bagi responden untuk menjawab “ya” dapat ditulis melalui persamaan berikut :

Model di atas merupakan model logit dimana parameter β dapat diduga melalui regresi model logit dengan Xj = sebagai variabel independen.

Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk

mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate secara sistematis dari nilai sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama :

1. Bias yang ditimbulkan dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika dalam melakukan wawancara atau kuisioner dinyatakan bahwa responden akan dipungut fee untuk perbaikan lingkungan sehingga akan timbul kecenderungan pada responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee

tersebut. Sebaliknya, jika dalam wawancara semata-mata hanya dinyatakan hipotesis saja, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai overstate dari nilai yang sebenarnya. Penjelasan untuk perbedaan nilai antara WTP dan WTA pada suatu objek yang sama adalah :1) sangat tergantung pada elastisitas objek yang ditawarkan untuk mengganti komoditas/sumberdaya yang akan dinilai (barang pubik) dan (barang pribadi)

vi (Mj,zj)+ εij = β ln (Mj)+ αizj+ εij

β j

x j

e

ya

+ =

1 1 ) " Pr("


(45)

(Hanemann, 1991). Penjelasan lain untuk hal di atas berdasarkan pada teori prospek yang menyatakan bahwa nilai kehilangan individu lebih berat dibandingkan dengan nilai mendapatkan. Hal tersebut juga dimungkinkan individu akan terpengaruh oleh siapa yang memiliki objek yang ditanyakan (Carson, 1991)

2. Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian (design bias). Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, tarif karcis harus dinaikkan. Tentu saja responden akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah dari pada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain, misalnya (melalui yayasan, trust fund, atau pemerintah)

Selain beberapa kelemahan di atas, Carson et al (2001) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa realibilitas pengukuran CVM sampai saat ini masih menjadi perdebatan, sehingga memerlukan desain yang sangat cermat. Salah satu masalah yang timbul adalah terjadinya fenomena warm glow (Becker, 1974 diacu dalam Fauzi 2004), yang sebetulnya terkait dengan altruisme. Dalam kontek CVM, warm glow bisa terjadi karena responden berusaha menyenangkan

pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk pembayaran sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju. Meskipun dampak ini bisa dihindarkan dengan menyediakan pewawancara yang terlatih, namun kecenderungan terjadi

warm glow untuk responden di daerah pedesaan sangat mungkin terjadi. Secara sosiologis mereka ini sering menimbulkan centering bias untuk menyetujui apa yang ditanyakan pewawancara.

Meskipun demikian, menurut Richard et al (2001), walaupun metode CVM memiliki beberapa kelemahan, hal tersebut bisa diatasi dengan desain dan


(46)

tidak sepenuhnya benar. Beberapa literatur menunjukan bahwa CVM bisa dijadikan pedoman bagi praktisi yang menggunakan pengukuran dengan CVM untuk mengukur nilai ekonomi non pasar serta user yang menggunakan hasil pengukuran tersebut.

Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama

Sumberdaya alam milik bersama (common pools resources) sering diartikan secara beragam. Arnold (1998) mendefinisikan common pools resources (CPR) “...used to refer both to land or resources available to all and consequently not owned or managed by anyone, and also to situations where access is limited to a specific groups that holds rights in common”. Dalam penerapannya, istilah CPR sering digunakan secara bergantian untuk menjelaskan sifat sumberdaya alamnya, dan terkadang pula digunakan untuk menjelaskan sistem kolektif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. McKean et al (1995) mendefinisikan common property resources lebih kepada situasi dimana sumberdaya alam tersebut dikelola sebagai sumberdaya milik bersama.

Terdapat dua wacana penting yang saling bertentangan terkait pengelolaan

common property resources. Wacana pertama berpendapat bahwa pemanfaatan sumberdaya alam secara kolektif tidak akan mampu memberikan insentif terhadap pengelolaan sumberdaya yang lestari. Pandangan yang mendasari wacana tersebut adalah munculnya anggapan bahwa peluang akses dan penguasaan sumberdaya alam secara kolektif, dengan pola pengelolaan yang terbuka, menyebabkan minimnya insentif masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (Nemarundwe 2001). Pandangan ini mendukung teori Hardin (1968) tentang “Tragedy of the Commons”. Teori ini menegaskan bahwa jika banyak individu memanfaatkan sumberdaya terbatas secara bersama-sama, maka dapat dipastikan akan berakhir dengan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi ini tidak ada satupun yang bertanggungjawab atas pengelolaan sumberdaya alam, sehingga laju kerusakannya berlangsung cepat (Rasmussen 1995).

Wacana kedua didasari oleh pandangan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan tidak disebabkan oleh sifat sumberdaya alamnya, namun lebih pada fokus pengelolaan yang bersifat neglectif


(47)

terhadap kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak jelasnya property right, sehingga penggunaan sumberdaya menjadi bersifat open access (Bromley 1992, diacu dalam Golar 2007).

Sejalan dengan wacana pertama, kajian yang dilakukan Sitorus (2002) memberikan gambaran tentang perubahan cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan. Hal ini mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif (common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, dimana distribusi lahan tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah).

Situasi ini memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang. Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidak-terjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan.

Sementara itu, pendapat lain yang mendukung wacana kedua dikemukakan oleh Ostrom (1990); Parlee et al (2006); Murray et al (2006), menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam milik bersama sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya. Hal ini dapat terwujud bilamana kelembagaan lokal berjalan dengan baik, sehingga mampu membentuk perilaku arif manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Aturan main dan peraturan yang digunakan oleh masyarakat dapat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegakkan aturan ini. Dengan demikian, tindakan-tindakan oportunistik dapat diredam melalui penataan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

Berfungsinya kelembagaan lokal diharapkan mampu meredam tekanan faktor internal maupun eksternal seperti: pertambahan jumlah penduduk (Wade


(48)

1988), heterogenitas sosial dan ekonomi (Baland & Platteu 1996), struktur penguasaan lahan (Hanna et al 1995; Ostrom 1999; Smith et al 2000), dan faktor eksternal seperti: interpensi kebijakan nasional (Wade 1988; Ostrom 1999), dan tekanan pasar dan teknologi (Wade 1988).

Teori Adaptasi

Bennett (1976) memandang adaptasi sebagai perilaku adaptif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku adaptif dapat dilihat sebagai inovatif, mencari perubahan, atau sebaliknya konservatif. Secara operasional, Turnbull (1992) menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan antara lain: intervensi ekonomi pasar, tekanan penduduk, dan politik. Perubahan-perubahan tersebut direspon dalam bentuk yang beragam.

Lebih jauh dijelaskan bahwa di dalam peradaban tradisional, pemenuhan kebutuhan merupakan urusan unit-unit kekerabatan (production is located in kindship units), dimana peradaban-peradaban tersebut pada umumnya tidak memerlukan sistem pasar dan penggunaan uang dalam mendorong produksi barang dan jasa. Menjaga suplai makanan, melestarikan keturunan, menyebarkan ilmu, hiburan dan sebagainya, merupakan bagian kegiatan kekerabatan tradisional. Namun demikian, pengaruh faktor eksternal seperti intervensi pasar”,

menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan tersebut mendorong respon masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) terhadap pola-pola interaksi dalam sistem sosial. Perilaku tersebut menurut Bennett terkait erat dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melalui keadaan-keadaan tertentu, dan kemudian membangun suatu strategi untuk menghadapi keadaan-keadaan yang akan datang.

Konsep adaptasi Bennett memiliki tiga tataran: fisik/biologis; kultural; dan pola hubungan/perilaku (behavior). Perilaku adaptif merupakan bentuk perilaku yang menyesuaikan cara-cara pada tujuan, mencapai kepuasan, melakukan pilihan-pilihan secara aktif maupun pasif. Tindakan strategis lebih khusus menunjuk pada perilaku aktif tindakan-tindakan spesifik yang dirancang untuk


(49)

mencapai tujuan. Sedangkan strategi adaptif menunjuk pada tindakan spesifik yang dipilih dalam proses pengambilan keputusan dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diperkirakan (Bennett 1976: 271-272).

Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan salah satu alat formulasi strategi dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi suatu tujuan. Hasil analisis SWOT biasanya digunakan dalam pengambilan keputusan, dan selama ini banyak digunakan oleh perusahaan. SWOT adalah singkatan dari Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang. Namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman.

Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001), kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang merupakan situasi yang menguntungkan, misalnya perubahan teknologi yang memberikan kemudahan. Sedangkan ancaman adalah situasi yang tidak menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan teknologi dan peraturan baru atau perubahan yang direvisi.

Analisis SWOT menurut Rangkuti (2005) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakneses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi dimana model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT. Proses


(50)

pengambilan keputusan strategis pada analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 5.

(Sumber : Rangkuti 2005)

Gambar 6. Proses Pengambilan Keputusan Strategis

Selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja suatu institusi dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Untuk dapat membandingkan antara perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan

EVALUASI : - MISI - TUJUAN - KEBIJAKAN ANALISIS BUDAYA MANAJEMEN - Pimpinan - Manajemen ANALISIS FAKTOR STRATEGIS S.W.O.T.

EVALUASI DAN REVIEW

- MISI - TUJUAN - STRATEGI PILIH ALTERNATIF TERBAIK EVALUASI KINERJA PERUBAHAN SAAT INI

IMPLEMENTASI STRATEGI EVALUASI DAN PENGENDALIAN ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS - Peluang - Ancaman PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS - Kekuatan - Kelemahan ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL 1(b) 2 5(a) 5(b) 6 7 8 4 3 FORMULASI STRATEGI (TAHAP 1-6) IMPLEMENTASI (TAHAP 7) EVALUASI DAN PENGENDALIAN (TAHAP 8) 1(a)


(51)

ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai S (kekuatan) – W (kelemahan) pada sumbu (x), dan menempatkan selisih nilai antara O (peluang) – T (ancaman) pada (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel dari diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan menemukan arah strategi yang akan ditempuh oleh suatu bentuk usaha seperti hutan rakyat. Diagram tersebut disajikan pada Gambar 7.

(Sumber : Rangkuti 2005)

Gambar 7. Diagram SWOT

Posisi di kuadran 1 (support on agresive strategy)adalah situasi yang paling menguntungkan, dimana sistem pengelolaan mempunyai peluang dan kekuatan. Jika sistem berada pada kuadran 2 (support diversification strategy), berarti sistem menghadapi ancaman akan tetapi masih memiliki kekuatan dari segi internal, jika sistem berada pada kuadran 3 (support a turnarround oriented strategy), berarti sistem tersebut mempunyai peluang yang besar tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan, dan apabila sistem berada pada kuadran 4 berarti sistem menghadapi situasi yang paling tidak menguntungkan karena mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap kuadran pada diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda dari suatu unit usaha, sehingga diperlukan strategi yang berbeda pula dalam penanganannya.

BERBAGAI PELUANG

BERBAGAI ANCAMAN KELEMAHAN

INTERNAL

KEKUATAN INTERNAL 1.Mendukung

strategi

turnarround

2.Mendukung strategi

defensif

3.Mendukung strategi

agresif

4.Mendukung strategi


(1)

Lampiran 15. Matrik SWOT Rating :

Beri tanda (X) pada nilai yang dianggap sesuai

Nilai 1 : Sangat Rendah Nilai 4 : Tinggi

Nilai 2 : Rendah Nilai 5 : Sangat Tinggi Nilai 3 : Sedang


(2)

(3)

Lampiran 16. Rekapitulasi Perhitungan SWOT

1. UNSUR KEKUATAN (STRENGHTS)

Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking

1 0,09 4,00 0,37 6

2 0,13 2,00 0,25 5

3 0,21 3,00 0,62 3

4 0,20 3,00 0,61 4

5 0,18 4,00 0,72 2

6 0,19 4,00 0,76 1

Jumlah 1,000 20,00 3,34

Keterangan :

1. Masyarakat Memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan

2. Masyarakat mengetahui tehnik teknologi untuk mencegah banjir dan erosi 3. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman

banjir

4. Teknologi atau tehnik pertanian yang digunakan dapat mengurangi ancaman erosi

5. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya banjir dan erosi tinggi

6. Ada tokoh lokal yang mampu menjadi pelopor dalam kegiatan pencegahan banjir dan erosi

2. UNSUR KELEMAHAN (WEAKNESS)

Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking

1 0,09 4,00 0,34 1

2 0,11 3,00 0,34 1

3 0,10 4,00 0,41 6

4 0,11 4,00 0,42 7

5 0,09 4,00 0,38 4

6 0,10 4,00 0,42 7

7 0,11 4,00 0,46 8

8 0,09 4,00 0,36 2

9 0,10 4,00 0,39 5

10 0,1 4,0 0,37 3

Jumlah 1 3,89

Keterangan :

1. Masyarakat menebang hutan karena tuntutan ekonomi

2. Masyarakat lokal merambah hutan di taman nasional, karena lahannya dijual kepada orang di luar desa

3. Partisipasi masyarakat dalam program pencegahan banjir masih kurang 4. Lahan pertanian memiliki kemiringan lahan yang tinggi


(4)

5. Terdapat sungai besar yang sering meluap di dekat desa

6. Kelembagaan desa dalam mencegah banjir dan erosi belum berjalan

7. Belum ada koordinasi yang baik dengan desa tetangga dan aparat desa dalam usaha pencegahan banjir dan erosi

8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan banjir dan erosi belum merata 9. Sarana dan fasilitas untuk mencegah dan menanggulangi banjir belum

memadai

10. Belum ada program yang sistematis untuk mencegah banjir dan erosi

3. UNSUR PELUANG (OPPORTUNITIES)

Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking

1 0,11 4 0,44 1

2 0,11 4 0,43 2

3 0,11 3 0,34 6

4 0,13 3 0,38 4

5 0,11 4 0,43 2

6 0,12 3 0,36 6

7 0,09 4 0,37 5

8 0,10 4 0,39 3

9 0,12 3 0,37 5

Jumlah 1 3,51

Keterangan :

1. Pemerintah, LSM dan Lembaga penelitian memberikan perhatian terhadap masalah banjir dan erosi di desa

2. Terdapat program pembangunan fisik dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi

3. Terdapat program pelatihan dari pemerintah, LSM dan lembaga penelitian untuk mencegah banjir dan erosi di desa

4. Adanya transfer informasi dan teknologi dari luar desa dalam rangka pencegahan banjir dan erosi

5. Terdapat peneliti yang mengkaji dan mencari solusi masalah banjir dan erosi di desa

6. Pemerintah memberikan bantuan bibit pohon untuk menanami hutan yang rusak

7. Adanya penegakan hukum terhadap perusak hutan

8. Ada undang - undang yang melarang penebangan dan perusakan hutan 9. Ada bantuan dari luar desa untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan


(5)

4. UNSUR ANCAMAN (THREATS)

Peubah X Bobot X Rating X Score Rangking

1 0,09 4 0,36 3

2 0,09 4 0,36 3

3 0,10 3 0,31 1

4 0,10 4 0,41 4

5 0,11 3 0,32 2

6 0,10 3 0,41 4

7 0,12 3 0,36 3

8 0,09 4 0,36 3

9 0,09 4 0,42 5

10 0,10 4 0,42 5

Jumlah 1 3,67

Keterangan :

1. Maraknya penebangan kayu dan pengrusakan hutan di desa tetangga 2. Kondisi hutan di hulu sungai mulai rusak

3. Adanya provokasi dari orang luar desa untuk merusak hutan

4. Banyak pendatang dari luar desa yang membeli lahan petani lokal, sehingga penduduk lokal mencari pengganti lahan dengan cara merambah hutan 5. Banyak penduduk dari luar desa yang merambah hutan, sehingga warga desa

ikut merambah hutan

6. Program pencegahan banjir dan erosi dari pemerintah/lembaga lain kurang tepat sasaran

7. Adanya oknum - oknum dari luar desa yang memotong dana untuk program pencegahan banjir dan erosi di desa

8. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat di desa tetangga terhadap bahaya erosi dan banjir masih kurang

9. Partisipasi masyarakat desa tetangga dalam mencegah terjadinya banjir dan erosi masih rendah


(6)

Lampiran 27 Uji F terhadap Model Regresi Berganda (agregat)

ANOVAb

564,540 5 112,908 35,867 ,000a

620,150 197 3,148

1184,690 202

Regression Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), What is the average total cash income of your family in one year?, Do you know Katawua?, Have you heard about now diseases for humans?, If your household earnings increase by 25.000 Rp. during this month how much of that would you spend on prevention against unknown environmental dangers?, Education Level

a.

Dependent Variable: How much money will you spend in maximum each month for card number 1: Prevention against unknown environmental dangers?

b.

Frequency

25

20

15

10

5

Histogram

Dependent Variable: How much money will you spend in card number 1: Prevention against unknown enviro


Dokumen yang terkait

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 65 94

Penentuan Mutu Bibit Sungkai (Peronema canescens) di Pembibitan Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser Desa Halaban Kabupaten Langkat

2 74 55

Manfaat Ekonomi Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis (Studi Kasus: Desa Hutarimbaru dan Desa Tolang, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal)

4 85 92

Analisis Pemasaran Hasil Hutan Non Kayu Di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis (Studi Kasus Desa Batahan Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing-Natal)

2 56 48

Manfaat Ekonomi Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus : Dusun Marubun Pane Kecamatan Tigarunggu Kabupaten Simalungun)

0 34 70

Determinan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa (Studi pada Pamong Desa di Wilayah Kabupaten Kebumen)

11 69 163

Model Pertambangan Emas Rakyat dan Pengelolaan Lingkungan Tambang di Wilayah Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

1 1 9

Prevalensi Malaria pada Daerah Perkebunan Cokelat di Desa Malino Kecamatan Marawola, Donggala, Sulawesi Tengah

0 0 5

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 2 14

Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Study Kasus : Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok

1 1 11