FAKTOR-FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENAMBANG BATU KAPUR DI DESA PECATU KABUPATEN BADUNG.
TESIS
FAKTOR-FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA
PADA PEKERJA PENAMBANG BATU KAPUR DI
DESA PECATU KABUPATEN BADUNG
ANAK AGUNG PUTU ADI RUSDIKA NIM 1014078101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(2)
ii
FAKTOR-FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA
PADA PEKERJA PENAMBANG BATU KAPUR DI
DESA PECATU KABUPATEN BADUNG
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
ANAK AGUNG PUTU ADI RUSDIKA NIM 1014078101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
iii
Prof.Dr.dr.AA.RakaSudewi,Sp.S(K) Prof.Dr.dr. N.Adiputra,PFK,MOH,Sp.Erg Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 27 APRIl 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL (K)
NIP 19570923 1983 012 001 NIP 19471211 1976 021 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK
(4)
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal ………
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan
SK Rektor Universitas Udayana No: ………
Tanggal ………..
Ketua : dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL (K) Anggota :
1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg 2. Prof. dr. W. Suardana, Sp.THT-KL(K) 3. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-KL(K) 4. Dr.dr. I Made Muliarta, M.Kes
(5)
v
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Anak Agung Putu Adi Rusdika NIM : 1014078101
Program studi : Magister Ilmu Biomedik
Judul : Faktor-faktor Risiko Rinitis akibat Kerja Pada Pekerja Penambang Batu Kapur Di Desa Pecatu Kabupaten Badung
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang- undang yang berlaku.
Denpasar, ……
Yang membuat pernyataan,
(6)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas karunia Tuhan Yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis untuk memperoleh gelar keahlian di bidang T.H.T.K.L.Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan keilmuan di bidang T.H.T.K.L.
Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS-1 lmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (Combined degree).
3. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L(K), sebagai Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan sebagai pembimbing I, atas segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir selama penulis mengikuti pendidikan spesialis. 4. dr. I Wayan Sucipta, Sp.T.H.T.K.L, sebagai Sekretaris Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis.
(7)
vii
5. dr. Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.T.H.T.K.L( K) sebagai Ketua Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, atas segala kesempatan, bimbingan dan motivasinya.
6. dr. I Gede Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L(K) sebagai Sekretaris Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L, atas segala kesempatan, bimbingan, dan motivasinya.
7. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Prof.Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah mem-berikan kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).
8. Prof.Dr.dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg sebagai pembimbing II atas segala waktu dan bimbingannya selama ini.
9. dr. Luh Made Ratnawati, Sp.T.H.T.K.L atas segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir pendidikan.
10. Kepala-kepala sub bagian dan para konsultan di Bagian/SMF T.H.T.K.L FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan bimbingan selama saya mengikuti pendidikan.
11. Para senior, rekan residen, dokter muda atas bantuan dan kerjasamanya selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian berlangsung.
12. Paramedis di poliklinik THT atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan dan penelitian.
13. Ayah, I Gusti Ketut Dira, ibu, Anak Agung Ayu Rusmini (alm) dan kakak terkasih maupun keluarga besar saya atas segala pengorbanan, dukungan material, doa dan motivasinya selama penulis menempuh pendidikan spesialis.
14. Istri tercinta, dr. Anak Agung Sagung Ratih Murtiningrum dan anak-anak tersayang, Anak Agung Ngurah Bagus Radya Kishara, Anak Agung Ngurah Putera Kresna Avatara, Anak Agung Ngurah Alit Radika Pradnya atas pengertian dan pengorbanan dalam mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan.
(8)
viii
15. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya atas kebaikan yang telah dilakukan.
Denpasar, April 2016
(9)
ix
ABSTRAK
FAKTOR-FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENAMBANG BATU KAPUR DI DESA PECATU KABUPATEN BADUNG Pertambangan batu kapur merupakan salah satu kegiatan yang kontribusinya terhadap pencemaran udara cukup besar. Dampak pencemaran udara tersebut berdampak negatif terhadap kesehatan manusia terutama pada saluran nafas seperti rinitis akibat kerja. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan Hubungan debu kapur dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu Kabupaten Badung.
Desain penelitian: observasional analitik dengan menggunakan desain potong lintang. Dilakukan analisis bivariat dengan tingkat kemaknaan p< 0,05.
Hasil: Sebanyak 43 subjek (87,8%) menderita RAK dari kelompok terpapar debu kapur sedangkan sebanyak 14 subjek (29,2%) pekerja yang tidak terpapar. Dari analisis bivariat didapat hubungan yang bermakna pada paparan debu kapur (RR=3; 95% CI=1,9-4,7; p= 0,000), riwayat atopi (RR=1,6; 95% CI=1,02-2,44; p = 0,003). Sedangkan lama kerja lebih dari 4 tahun tidak didapatkan hubungan yang bermakna (RR=1; p = 0,677).
Kesimpulan: Risiko rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpapar debu kapur sebesar 3 kali dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpapar debu kapur dengan nilai p=0,000 dan riwayat atopi pengaruh murninya 1,6 kali dengan nilai p=0,003. Lama kerja tidak didapatkan hubungan yang bermakna
(10)
x
ABSTRACT
RISK FACTORS OF OCCUPATIONAL RHINITIS AMONG LIMESTONE MINERS IN PECATU VILLAGE, BADUNG REGENCY
Limestone mining has a major contribution to air polution. The effects of air polution can cause negative effects to human health, especially to the respiratory system, such as occupational rhinitis. The aim of this study is to prove the correlation between limestone dust and occupational rhinitis to limestone miners in Pecatu village, Badung regency.
This study with using: Observational analytic study with cross sectional design. Data analyzed using bivariate analysis with level of significance p<0.05. Results: Occupational rhinitis was present in 43 subject (87.7%) among workers that exposed to the limestone dust and in 14 subjects (29.2%) among workers that not exposed to the limestone dust. Using bivariate analysis, there was a significant correlation to limestone exposure (RR=3; 95%CI=1.9-4.7; p=0,000) and history of atopy (RR= 1.6; 95%CI=1.02-2.44; p=0.003). Length of work more than 4 years did not show a significant correlation (RR=1; p=0.677).
Conclusion: Risk of occupational rhinitis in workers that exposed to limestone dust was 3 times higher than those did not exposed (p=0,000) and workers have history of atopy has 1.6 times higher risk (p=0.003).Length of work did not show a significant correlation.
(11)
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM …. ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung ... 6
(12)
xii
2.3 Klasifikasi Rinitis Akibat Kerja ... 9
2.4 Epidemiologi Rinitis Akibat Kerja ... 12
2.5 Patofisiologi Rinitis Akibat Kerja ... 13
2.6 Jenis dan Sifat Debu ... 17
2.7 Debu Batu Kapur... 18
2.8 Nilai Ambang Batas ( NAB ) ... 19
2.9 Faktor-faktor Predisposisi Rinitis Akibat Kerja ... 20
2.9.1 Genetik ... 20
2.9.2 Usia ... 20
2.9.3 Masa Kerja ... 21
2.9.4 Riwayat Merokok ... 22
2.9.5 Alat Pelindung Diri (APD) ... 22
2.9.6 Geografi ... 22
2.10 Diagnosis ... 23
2.10.1 Anamnesis ... 23
2.10.2 Pemeriksaan Fisik ... 24
2.10.3 Pemeriksaan Penunjang ... 24
2.10.3.1 Uji Tusuk Kulit ... 24
2.10.4 Algoritme Diagnosis ... 28
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka berpikir ... 30
3.2 Kerangka Konsep ... 31
3.3 Hipotesis penelitian ... 32
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 33
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 33
4.3.1.Populasi Target ... 33
(13)
xiii
4.3.3.Sampel Penelitian ... 33
4.3.4.Kriteria Sampel ... 33
4.3.5.Besar Sampel ... 35
4.4 Hubungan Antar Variabel ... 36
4.5 Definisi Operasional ... 37
4.6 Bahan dan Alat Penelitian ... 38
4.7 Prosedur Penelitian ... 38
4.7.1.Pengukuran Sumbatan Hidung ... 39
4.7.2.Uji Tusuk Kulit ... 40
4.7.3.Hasil Ukur ... 40
4.8 Alur Penelitian ... 43
4.9 Analisis Data ... 44
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Paparan ... 49
5.2 Analisis Bivariat Hubungan Pekerja Pada Pekerja Penambang Batu Kapur di Desa Pecatu Kabupaten Badung ... 50
BAB VI PEMBAHASAN ... 6.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Paparan ... 49
6.2 Analisis Bivariat Hubungan Pekerja Pada Pekerja Penambang Batu Kapur di Desa Pecatu Kabupaten Badung………....50
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 54
7.2 Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 57
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Rongga hidung ... 8
Gambar 2.2. Klasifikasi rinitis akibat kerja ... 10
Gambar 2.3. Algoritme diagnosis rinitis akibat kerja ... 28
Gambar 3.1. Konsep penelitian ... 31
Gambar 4.1. Alur penelitian ... 43
Gambar 8.1. Lokasi Pertambangan batu kapur ………...69
Gambar 8.2. Pekerja terpapar debu kapur ……….69
Gambar 8.3. Pemeriksaan rinoskopi anterior ………....70
Gambar 8.4. Pemeriksaan PNIF ..………..70
Gambar 8.5. Pemeriksaan cukit kulit ………....…71
(15)
xv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Paparan ... 45 Tabel 5.2 Hubungan antara paparan debu kapurdengan RAK
pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu………46 Tabel 5.3 Hubungan antara Status Atopi dengan RAK pada
Pekerja Penambang Batu Kapur di Desa Pecatu ……….47 Tabel 5.4 Hubungan antara lama kerja dengan RAK pada pekerja
(16)
xvi
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
µm micrometer
0
C derajat Celcius Aδ A delta
APC Antigen Presenting Cell APD Alat Pelindung Diri Cd Kadmium
cm2 centimeter persegi
EAACI European Academy of Allergy and Clinical Immunology
GM-CSF Granulocyte Macrophage – Colony Stimulating Factor
Hg Hydrargyrum (Merkuri/raksa) HMW High Molecular Weight
IL3 Interleukin 3 IL4 Interleukin 4 IL5 Interleukin 5 IL8 Interleukin 8 IL9 Interleukin 9 IL10 Interleukin 10 IL13 Interleukin 13 IgE Imunogobulin E LMW Low Molecular Weight
(17)
xvii
mm milimeter m3 meter kubik
NAB Nilai Ambang Batas NARES Non Alergi Eosinofilik PAN Peroxyacetyl Nitrite
Pb Plumbum (Timbal)
PMNs Polymononuclear Neutrophils
PNIF Peak Nasal Inspiratory Flow
PT Perusahaan Terbatas RAFL Reaksi Alergi Fase Lambat RAK Rinitis Akibat Kerja ROS Reactive Oxygen Species
RUDS Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome
SiO2 Silikon Dioksida SiO3 Silikon Trioksida Th0 T helper 0
Th1 T helper 1 Th2 T helper 2
(18)
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ethical clearance………....…………...………...60
Lampiran 2 Informasi tertulis kepada responden ..………...62
Lampiran 3 Surat pernyataan persetujuan ...……….……64
Lampiran 4 Lembar penelitian ……….………65
Lampiran 5 Foto dokumentasi ………...………...69
Lampiran 6 Analisis statistik ………...……….72
(19)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pencemaran udara sering terjadi karena eksploitasi sumber daya alam, baik secara tradisional maupun modern. Penggalian atau penambangan berupa pasir, batu, batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam pembangunan gedung perkantoran maupun perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan salah satu kontribusi dari pencemaran udara yang dibuang ke udara bebas. Dampak pencemaran udara tersebut dapat berupa penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Yunus, 1997).
Salah satu dampak dari pencemaran udara adalah rinitis akibat kerja. Rinitis adalah peradangan pada mukosa hidung. Hal ini menyebabkan gejala seperti bersin, rinorea, dan hidung tersumbat (Park, 2008). Rinitis akibat kerja yang disingkat RAK adalah penyakit yang penting tetapi kurang terdiagnosis dengan baik secara medis. Definisi RAK menurut European Academy of Allergy and Clinical Immunology
(EAACI) Task Force on occupational rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato dkk., 2009).
(20)
2
Saluran napas merupakan salah satu jalan partikel asing masuk ke dalam tubuh manusia. Hidung yang merupakan bagian dari saluran napas dan merupakan organ pertama yang kontak dengan partikel asing berbahaya seperti debu lewat proses inhalasi. Partikel asing ini memberikan efek rasa tidak nyaman, bersifat iritan, alergen dan korosif yang dapat menyebabkan inflamasi dengan tanda kongesti hidung, rinore yang disertai gatal pada hidung dan bersin. Kondisi ini dapat terjadi akibat paparan debu di tempat kerja yang menyebabkan gangguan kesehatan pada pekerja yaitu RAK.Menurut penelitian diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita rinitis akibat kerja. Pekerja industri adalah pekerja terbanyak yang menderita rinitis akibat kerja sebanyak 48%, disusul oleh pekerja administrasi sebanyak 29% dan pekerja pengolah bahan jadi yaitu 13% (Arandelovic dkk, 2004).
Saat ini hasil pertambangan batu kapur banyak digunakan sebagai pondasi bangunan, bahan untuk meratakan dan mengeraskan lahan. Pertambangan batu kapur merupakan salah satu kegiatan yang kontribusinya terhadap pencemaran udara cukup besar. Mineral murni batu kapur mengandung CaCO3 sebagai kalsit (calcite). Kebanyakan batu kapur mengandung oksida besi, alumina, magnesia, silika dan belerang, dengan CaO (22 – 56 %) dan MgO (sekitar 21 %) sebagai komponen utamanya (Arandelovic dkk., 2004).
Di Indonesia, belum banyak ditemukan data resmi mengenai angka kejadian rinitis akibat kerja akibat pajanan batu kapur. Hasil penelitian di Semarang menunjukkan adanya gejala yang berhubungan dengan tempat kerja pada 6-30%
(21)
3
pekerja yang memiliki pajanan tinggi terhadap debu kapur mengalami rinitis akibat kerja (Bonita, 2009).
Di Bali Penambangan batu kapur terpusat di kabupaten Badung khususnya di kecamatan Kuta Selatan. Penambangan batu kapur terdapat di 19 lokasi dengan luas sekitar 40.000 hektare dan hasil produksi sekitar 45.000 m3 per tahun yang tersebar tersebar di 4 desa, yaitu : Desa Pecatu, Desa Unggasan, Desa Kutuh dan Desa Jimbaran. Tingginya hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan menyebab tingginya polusi yang ditimbulkan pada proses penambangan batu kapur tersebut. Tingginya polusi dan terpapar polusi dalam waktu yang lama merupakan salah satu faktor risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur. Di Desa Pecatu terdapat lebih dari 500 pekerja penambang batu dengan jam kerja antara 8 sampai 10 jam perharinya dan masa kerja paling lama 9 tahun. Berdasarkan data di atas serta belum pernah dilakukannya penelitian tentang RAK pada pekerja penambang batu kapur di Bali sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah terdapat hubungan antara paparan debu kapur dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu?
1.2.2. Apakah terdapat hubungan antara riwayat atopi dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu?
(22)
4
1.2.3. Apakah terdapat hubungan antara masa kerja dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk membuktikan faktor-faktor yang berhubungan dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu kabupaten Badung.
1.3.2. Tujuan Khusus:
1. Membuktikan hubungan paparan debu kapur dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu.
2. Membuktikan hubungan riwayat atopi dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu.
3. Membuktikan hubungan masa kerja dengan rinitis akibat kerja pada pekerja penambang batu kapur di Desa Pecatu.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Dalam bidang akademik dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang diagnosis rinitis akibat kerja serta pengaruh paparan debu terhadap timbulnya rinitis akibat kerja.
(23)
5
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Bagi pengelola pertambangan di desa Pecatu, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang hubungan pajanan debu kapur dengan kejadian rinitis akibat kerja serta merupakan masukan pengelola pertambangan di desa Pecatu untuk melakukan pencegahan terhadap gangguan kesehatan akibat pajanan debu kapur.
2. Bagi pihak yang diteliti hasil penelitian ini dapat meningkatkan kewaspadaan akan paparan debu kapur serta meningkatkan kesadaran mereka mengenai penggunaan alat proteksi diri saat bekerja.
(24)
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung merupakan organ penting yang menjadi salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas nasus eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan (Irawati dkk., 2007).
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yakni pangkal hidung, dorsum nasi, puncak hidung (apeks), alas nasi, kolumela dan lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang hidung terdiri dari sepasang os nasalis (tulang hidung), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontalis. sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior dan sepasang kartilago nasalis lateral inferior (kartilago alar mayor).
(25)
7
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Vestibulum terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrissae. Septum nasi Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan di mana bagian tulang terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan terdiri dari, kartilago septum atau lamina kuadrangularis, kolumela. Kavum nasi terdiri dari dasar hidung, atap hidung, dinding lateral dan dinding medial. Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksilaris dan prosesus horizontal os palatum, atap hidung yang terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen nervus olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial. Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka superior,
(26)
8
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Meatus nasi, di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding medial, dinding medial hidung adalah septum nasi. (Gambar 2.1) (Probst dkk., 2006).
(27)
9
2.2. Definisi Rinitis Akibat Kerja
Rinitis akibat kerja atau RAK didefinisikan sebagai rinitis yang muncul sebagai respon dari agen udara yang terdapat pada tempat kerja dan mungkin terjadi karena reaksi alergi atau bagian dari respon iritasi. Biasanya RAK disebabkan oleh zat di tempat kerja dengan berat molekul tinggi, berat molekul rendah dan zat-zat iritan yang melalui mekanisme imunologi atau nonimunologi (Arandelovic dkk., 2004; Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Gautrin dkk., 2006).
EAACI mengajukan definisi RAK yang disesuaikan dengan definisi asma akibat kerja yaitu inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato dkk., 2009).
2.3. Klasifikasi Rinitis Akibat Kerja
Klasifikasi rinitis dibagi menjadi tiga kelompok yaitu rinitis alergi, rinitis infeksi yang bersifat akut atau kronik dan kelompok ‘lain-lain’. Rinitis kelompok ‘lain-lain’ terdiri dari rinitis idiopatik, sindrom rinitis non alergi eosinofilik, rinitis akibat kerja, rinitis hormonal, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi dan rinitis yang disebabkan faktor rangsangan makanan atau emosional (Airaksinen, 2010; Bachert, 2006).
EAACI mengajukan pembagian rinitis di lingkungan kerja yang hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat kerja atau occupational asthma yang telah dianut sebelumnya. Pembagian ini bertujuan untuk kepentingan klinis dan penelitian
(28)
10
epidemiologi. Rinitis di lingkungan kerja dibagi menjadi (i) rinitis akibat kerja: disebabkan oleh zat alergen atau iritan di lingkungan kerja pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala rinitis, (ii) eksaserbasi rinitis oleh pajanan lingkungan kerja: didefinisikan sebagai rinitis baik alergi maupun nonalergi yang terjadi pada pekerja yang sebelumnya sudah memiliki gejala rinitis dan bertambah berat setelah terpajan zat alergen atau iritan di lingkungan pekerjaan (Gambar 2.2) (Moscato dkk., 2009).
Gambar 2.2. Klasifikasi rinitis akibat kerja (Moscato dkk., 2009).
Rinitis yang
berhubungan
dengan kerja
Rinitis yang disebabkan oleh kerja =Rinitis Akibat Kerja (RAK)
Rinitis yang tereksaserbasi oleh kerja=
Rinitis Eksaserbasi Kerja
o
RAK alergi (dengan periode laten)* diperantaraiolehIgE
* tidak diperantarai IgE
o
RAK non alergi (tanpa periode laten)* terpapar tunggal: RUDS
* terpapar multipel:RAK yang diinduksi bahan iritan
* rinitis korosif
(29)
11
RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik klinis berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang muncul setelah periode laten. Reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap suatu zat. Interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun (Arandelovic dkk., 2004; Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006).
RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahan-bahan dengan berat molekul tinggi atau high molecular weight/HMW yang berasal dari hewan atau tanaman seperti urin tikus percobaan laboratorium, wol, serangga dan tungau, debu, tepung gandum, lateks, alergen tumbuh-tumbuhan, misalnya daun tembakau, kopi, merica, enzim biologis yang digunakan pada industri pembuatan detergen, obat- obatan, protein ikan dan makanan laut (Arandelovic dkk., 2004; Gautrin dkk., 2006; La Dou, 2004).
RAK tanpa perantara IgE diinduksi oleh bahan-bahan dengan berat molekul rendah atau low molecular weight/LMWseperti diisosianat pada cat, anhidrides pada plastik dan cat, bahan dari debu kapur, metal, colophony yang terdapat pada pabrik elektronik, obat-obat, bahan kimia seperti tinta, katun, serat sintetik, garam persulfat yang dapat menginduksi pengeluaran IgE spesifik dengan cara berikatan dengan protein untuk membentuk ikatan hapten-protein (Arandelovic dkk., 2004; Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006; Moscato dkk., 2009).
(30)
12
RAK nonalergi dengan Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome
merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Moscato dkk., 2009). RAK terinduksi iritan juga dapat menimbulkan gejala rinitis yang disebabkan berbagai pajanan iritan berulang tanpa harus disertai adanya pajanan yang jelas terhadap iritan dalam konsentrasi tinggi seperti gas, kabut, uap, uap air dan debu termasuk asap rokok, nitrogen oksida, sulfur oksida, ozon, PAN atau peroxyacetyl nitrite, hypochlorite, ammonia, chloramines, gas chlorine, formaldehyde, glycol ethers (Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006; Moscato dkk., 2009).
Rinitis korosif merupakan RAK terinduksi iritan yang terparah ditandai dengan inflamasi persisten mukosa hidung berupa atropi, ulserasi atau perforasi mukosa hidung dan epistaksis (Moscato dkk., 2009).
Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, dan bau parfum. Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki (Moscato dkk., 2009).
2.4. Epidemiologi Rinitis Akibat Kerja
Di Indonesia angka kejadian rinitis akibat kerja belum diketahui secara pasti karena saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Menurut penelitian, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita rinitis akibat kerja. Pekerja
(31)
13
industri adalah pekerja terbanyak yang menderita rinitis akibat kerja (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah petani, pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu, pekerja pertambangan, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Para pekerja yang memiliki riwayat alergi individu atau keluarga lebih rentan terhadap rinitis akibat kerja. Peningkatan konsentrasi alergen dalam lingkungan dan lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan resiko menderita rinitis akibat kerja (Arandelovic dkk., 2004).
2.5. Patofisiologi Rinitis Akibat Kerja
Rinitis sendiri merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
(32)
14
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (3, 4, 5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
(33)
15
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati dkk., 2007).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
(34)
16
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau ke duanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Untuk rhinitis akibat kerja mekanisme terjadinya adalah mekanisme imunologi IgE mediated yang mendasari terjadinya rhinitis akibat kerja dapat dijelaskan dengan baik, sedangkan tentang mekanisme non IgE mediated dan iritasi non imunologi
(35)
17
kurang dapat dijelaskan. Rhinitis akibat kerja ditandai dengan adanya aktivasi sel T yang disebabkan oleh Specific Inhalation Challenge (SIC) di dalam darah dan sputum dari pasien dengan rhinitis akibat kerja yang dibandingkan sukarelawan yang sehat. SIC ini diinduksi oleh sebuah peningkatan dari proporsi IL-13 yang memproduksi sel T, baik di dalam darah dan sputum dari pasien rhinitis akibat kerja. Pada temuan terbaru juga menunjukkan bahwa hidung yang tiba-tiba bereaksi disebabkan zat perisulfat pada penata rambut karena akibat aktivasi dari sel Th1. Pada penelitian yang lain ditemukan bahwa paparan debu di lingkungan kerja berhubungan dengan peradangan eosinofilik di hidung yang eksudatif dan menginduksi peningkatan yang signifikan dari a2 macroglobulin setelah peningkatan histamin pada hidung (Moscato dkk., 2009).
2.6. Jenis dan Sifat Debu
Debu adalah partikel-partikel yang disebabkan oleh kekuatan alami atau faktor mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat peledakan dan sebagainya, yang berasal dari bahan-bahan organik dan anorganik.
a. Macam-macam debu
1) Debu organik, adalah debu dari bahan organik seperti debu kapas dan debu daun-daunan.
2) Debu mineral, merupakan debu yang berasal dari senyawa komplek seperti debu arang, debu silica dan debu kapur.
(36)
18
3) Debu metal, merupakan debu dengan berat jenis besar seperti debu timah hitam, debu arsen dan debu cadmium.
b. Sifat-sifat debu
Sifat-sifat debu dapat dikelompokan menjadi beberapa golongan: 1) Setting rate, yaitu sifat debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi, namun karena relatif kecilnya debu ini maka cenderung selalu berada di lingkungan.
2) Wetting, yaitu debu yang mempunyai sifat permukaan yang cenderung selalu basah yang selalu dilapisi lapisan air yang sangat tipis.
3) Floculation, yaitu debu yang cenderung sering basah sehingga dapat saling menempel dan menggumpal.
4) Electrical, yaitu yang mempunyai sifat listrik yang tetap, yang dapat saling tarik-menarik antar partikel yang bermuatan listrik yang berlawanan. Sifat ini dapat mempercepat proses penggumpalan debu.
5) Optical properties, yaitu sifat debu yang dapat memancarkan sinar dalam kamar gelap (Probst dkk., 2006).
2.7. Debu Batu Kapur
Komponen utama pembentuk batu kapur adalah mineral kalsit (CaCO3), mineral
(37)
19
debu kapur juga mengandung kasein yaitu suatu protein yang dapat menimbulkan alergi (Bonita dkk,. 2009).
Proses penambangan batu kapur dimulai dengan proses stripping, yaitu pengupasan lahan tambang, yang meliputi proses pembukaan lahan serta pemindahan tanah penutup. Kegiatan ini dikerjakan dengan cara manual dengan menggunakan cangkul, linggis dan sekop. Setelah terlihat batuan kapur proses selanjutnya adalah pengambilan batu kapur, pengumpulan batu kapur di sekitar lokasi penambangan, kegiatan pengangkutan batu kapur dengan cara dipikul atau dengan alat pengangkut truk. Proses produksi tradisional penambangan batu kapur memaksa pekerja berada dalam jarak radius yang sangat dekat dengan sumber pencemaran berupa debu kapur. Debu kapur menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia, mulai saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung maupun peradangan pada sinus paranasalis (Fahrudin, 2006).
2.8. Nilai Ambang Batas (NAB) Debu di Udara
Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun bila NAB sudah diterapkan, bukan
(38)
20
berarti para pekerja tersebut terbebas dari semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. Nilai ambang batas kualitas udara di lingkungan kerja berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01/MENNAKER/1997 adalah 350 mg/m3 udara (Menteri Tenaga Kerja, 1997).
2.9. Faktor-Faktor Predisposisi Rinitis Akibat Kerja
2.9.1. Genetik
Faktor genetik pada penderita atopi akan mengakibatkan peningkatan ekspresi, sintesis dan pengeluaran promediator inflamasi spesifik dari sel mukosa berupa IL-8, GM-CSF dan TNF-α dalam jumlah yang lebih banyak daripada nonatopi. Seseorang yang mempunyai riwayat atopi dan bekerja di tempat dengan kadar debu kapur tinggi, mempunyai risiko lebih besar untuk menderita rinitis akibat kerja (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; WHO, 1999).
2.9.2. Usia
Menurut penelitian prevalensi rinitis alergi pada usia 18-34 tahun sebesar 18,4% dan 35-49 tahun sebesar 17,6% (Nathan dkk., 1997). Sedangkan penelitian lain didapatkan prevalensi tertinggi antara usia 10-30 tahun sebesar 45% (Harianto dan Sumarman, 1999).
Kadar Ig E tergantung pada usia, kadar puncak terjadi pada dekade pertama atau ke dua dalam kehidupan, akan menurun pada usia sekitar 40 tahun (WHO, 1999). Sel-sel inflamasi diproduksi pada sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran darah dan memasuki jaringan mukosa atau kulit. Pada orang tua terjadi penurunan fungsi
(39)
21
sumsum tulang sehingga produksi sel-sel inflamasi juga turun. Akumulasi sel-sel inflamasi dipengaruhi oleh molekul adhesi. Proses akumulasi meliputi gerakan berputar atau rolling, gerakan menepi atau margination, diapedesis dan kemotaksis. Pada orang tua kemungkinan telah terjadi aterosklerosis sehingga proses diapedesis sel-sel inflamasi terganggu yang menyebabkan sel-sel inflamasi ke jaringan rendah. Selain itu pada orang tua kemungkinan telah terjadi neuropati saraf vidianus sehingga terjadi penurunan respon mukosa hidung terhadap histamine (WHO, 1999; Harianto dan Sumarman, 1999).
2.9.3. Masa Kerja
Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat pajanan debu. Masa kerja berhubungan dengan seringnya pekerja terpajan debu kapur yang merupakan alergen, di mana pajanan yang terus menerus menyebabkan akumulasi sel-sel inflamasi seperti sel-sel APC, limfosit yaitu Th0, Th1, Th2, limfosit B, sel mastosit, basofil dan eosinofil yang menginfiltrasi mukosa hidung. Pengaruh debu terhadap timbulnya rinitis akibat kerja tergantung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah dosis pajanan. Masa kerja akan berpengaruh terhadap dosis pajanan yang diterima oleh pekerja. Seorang yang mempunyai masa kerja lama, tentu dosis pajanan yang telah diterima tinggi, yang akhirnya akan menimbulkan penyakit rinitis akibat kerja (D’Amato dkk., 2002; WHO, 1999).
(40)
22
2.9.4. Riwayat Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor predisposisi untuk terjadinya rinitis akibat kerja. Asap rokok menyebabkan rinitis melalui mekanisme penurunan aktivitas mukosilia, meningkatkan kerusakan epitel, meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi IL-2, 4, 5, 6, 8, 10, 13 yang meningkatkan produksi IgE oleh sel B dan molekul adhesi. Dengan demikian seseorang yang merokok akan berisiko lebih besar untuk menderita rinitis (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Gilmour dkk., 2006; WHO, 1999).
2.9.5. Alat Pelindung Diri (APD)
Alat pelindung diri yang dipakai dengan baik akan dapat melindungi pekerja dan menurunkan tingkat pajanan debu kayu yang merupakan alergen dan iritan pada kadar yang tinggi yang dapat menyebabkan rinitis. Pekerja yang tidak memakai alat pelindung diri dengan baik akan berisiko lebih besar untuk menderita rinitis (Cayanto dkk., 2007).
2.9.6. Geografi
Sinar matahari menyebabkan peningkatan komponen oksidan fotokimia di mana puncak pajanan terjadi pada siang hari, sehingga terjadi peningkatan keluhan saat
musim panas (D’Amato dkk., 2002). Udara yang lembab baik yang bersuhu panas
maupun dingin dapat menjadi pencetus kambuhnya gejala alergi (D’Amato dkk., 2002; Gilmour dkk., 2006; Harianto dan Sumarman, 1999).
(41)
23
2.10. Diagnosis
Kriteria dalam menegakkan diagnosis RAK adalah riwayat penyakit yang muncul atau bertambah berat di tempat kerja. Pada pemeriksaan klinis menunjukkan gambaran yang positif. Pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap zat alergen spesifik di tempat kerja, IgE spesifik, uji provokasi hidung, pemeriksaan rinomanometri atau
peak nasal inspiratory flow meter dan pemeriksaan olesan atau kerokan mukosa hidung menunjukkan hasil yang positif (Arandelovic dkk., 2004; Shusterman, 2003). 2.10.1. Anamnesis
Anamnesis secara rinci riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terus-menerus, gejala akan menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus-menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat atau RAFL.Riwayat menderita penyakit saluran napas pada usia anak-anak dan kemungkinan adanya atopi perlu ditanyakan. Kebiasaan individu seperti merokok, alkohol, hobi serta akivitas di waktu luang lainnya juga perlu ditelusuri (Arandelovic dkk., 2004; Drake-Lee dkk., 2002; Shusterman, 2003).
(42)
24
2.10.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pekerja yang menderita rinitis akibat kerja memiliki sekret hidung encer dan bening serta edema konka. Mukosa hidung biasanya terlihat pucat, berwarna merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau endoskopi serat optik perlu untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Sekresi pus dari muara sinus, hiperplasi limfoid, neoplasma, perubahan pita suara perlu dilihat untuk membedakannya dengan RAK. Stigmata lain seperti rinokonjungtivitis alergi, kemosis atau allergic shiner perlu diperiksa (Arandelovic dkk., 2004; Drake-Lee dkk., 2002; Shusterman, 2003).
2.10.3. Pemeriksaan Penunjang
2.10.3.1. Uji Tusuk Kulit
Salah satu metode pemeriksaan alergi yang paling sering digunakan adalah uji tusuk kulit atau skin prick test. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Uji tusuk kulit banyak dipakai karena sederhana, mudah, cepat dan cukup aman sehingga sering dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Kelebihan cara ini ialah pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa jenis alergen pada waktu yang bersamaan dan hasil pemeriksaan didapatkan dalam 15-20 menit (Airaksinen, 2010; Irawati, 2003). Kekurangan teknik ini untuk mendiagnosis RAK adalah kadang-kadang sulit mendapatkan ekstrak alergen spesifik yang dicurigai dari tempat kerja, sehingga perlu dilanjutkan dengan uji provokasi hidung dengan menggunakan alergen yang diambil
(43)
25
langsung dari lingkungan kerja dan tidak memerlukan ekstrak yang khusus (Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006). 2.10.3.2. Uji Provokasi Hidung
Uji provokasi hidung adalah suatu metode pemeriksaan yang menginduksi gejala rinitis seperti bersin, hidung tersumbat, sekresi hidung dan gejala rinitis lainnya dengan cara menempatkan alergen definitif atau iritan yang dicurigai sebagai penyebab rinitis pada mukosa hidung dan reaksi yang timbul dimonitor. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan metode uji provokasi hidung dan metode ini dianggap merupakan standar baku emas dalam menegakkan RAK. Akan tetapi kesulitan yang dihadapi adalah tidak semua zat di tempat kerja dapat digunakan pada uji provokasi, terutama zat-zat iritan. Metode uji provokasi juga berisiko untuk terjadinya reaksi yang hebat pada saluran napas atas dan bawah, karena dipajankan langsung dengan bahan yang diperkirakan sebagai penyebab penyakitnya (Airaksinen, 2010; Rajakulasingam, 2003).
2.10.3.3. Rinomanometri
Rinomanometri merupakan metode yang sangat objektif dan akurat dalam menilai perubahan nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah uji provokasi dengan alergen yang dicurigai. Rinomanometri yang dianggap paling fisiologis adalah rinomanometri anterior aktif, karena mengukur secara bersamaan aliran udara pada satu hidung dengan pneumotachometer dan tekanan nasofaring pada hidung kontralateral dengan manometer yang dihubungkan dengan cuping hidung
(44)
26
kontralateral. Pemeriksaan dikatakan positif jika setelah uji provokasi dilakukan, aliran udara menurun lebih dari 40% dan jika tahanan hidung meningkat lebih dari 60%. Interpretasi dilakukan dengan membandingkan gejala yang muncul setelah pemeriksaan serta mengukur kualitas serta beratnya sekresi cairan hidung sebelum, selama dan sesudah tes. Rinomanometri akustik merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis RAK karena sederhana, mudah dilakukan, dan tidak invasif dibandingkan dengan rinomanometri anterior dan posterior (Hytonen dkk., 1996; Nathan dkk., 2005).
2.10.3.4. Peak Nasal Inspiratory Flow Meter
Peak Nasal Inspiratory Flow atau PNIF meter merupakan alat untuk mengukur derajat sumbatan hidung dengan mengukur kecepatan aliran udara melalui hidung pada saat inspirasi maksimal. Alat ini cukup sederhana, berukuran kecil dan ringan, mudah digunakan, serta interpretasi hasilnya cukup mudah. Selain itu juga mudah untuk dibawa dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis alergi di manapun penderita berada. Alat ini juga memberikan informasi yang akurat terhadap sumbatan hidung dan respon terhadap pengobatan. Keterbatasan alat ini yaitu hanya dapat mengukur kecepatan aliran udara sedangkan tekanan transnasal tergantung usaha pasien pada saat inspirasi maksimal. Nilai normal pada orang Eropa yang ditetapkan dengan alat ini adalah 100–300 liter per menit, dengan keakuratan 10% (Starling dkk., 2005).Pengukuran aliran udara hidung maksimum dengan PNIF meter
(45)
27
Rengganis, 2009).PNIF meter pada uji provokasi dikatakan positif bila didapatkan sedikitnya dua gejala yaitu bersin-bersin, rinore, hidung buntu dan penurunan PNIF lebih dari 20% (Eire dkk., 2006; Rajakulasingam, 2003).
2.10.3.5. Pemeriksaan Sitologi Mukosa Hidung
Respon lain yang dapat diukur adalah penilaian jumlah eosinofil, basofil, neutrofil dan sel lainnya serta mengukur mediator-mediator lokal yang dilepaskan oleh sel mastosit yang berdegranulasi. Bahan pemeriksaan diperoleh dari usapan, kerokan, bilasan atau biopsi. Pemeriksaan sitologi ini dilakukan untuk melihat adanya eosinofil sebagai parameter rinitis alergi atau neutrofil sebagai parameter rinitis iritan. Dari penelitian sebelumnya polymononuclear neutrophils atau PMNs telah terbukti berhubungan dengan iritasi inflamasi, sedangkan eosinofil berhubungan dengan respon alergi (Howarth dkk., 2005).
2.10.3.6. Pemeriksaan IgE dan Bersihan Mukosilia
Pemeriksaan IgE total jarang digunakan untuk skrining pada rinitis alergi, karena nilai prediksinya yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan sebagai alat diagnostik. Berbeda dengan IgE total, pemeriksaan IgE spesifik sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Adanya antibodi IgE spesifik tergantung pada tersedianya ekstrak alergen yang berhubungan untuk dilakukan uji imunologi (Bachert, 2006). Pemeriksaan bersihan mukosilia dapat dilakukan karena rinitis mengurangi aktivitas mukosilia yang sangat berpengaruh terhadap pertahanan terhadap bakteri (Fahrudin, 2006).
(46)
28
2.10.4. Algoritme Diagnosis
Algoritme diagnosis RAK telah ditetapkan oleh EAACI Task Force on Occupational Rhinitis pada tahun 2009 (Moscato dkk., 2009).
Gambar 2.3. Algoritme diagnosis rinitis akibat kerja (Moscato dkk., 2009).
Riwayat pekerjaan dan klinis
Pemeriksaan hidung
Tes imunologi
(tes cukit kulit atau antibodi Ig E spesifik)
Tidak tersedia Tersedia
Negatif Positif
Tes provokasi hidung di
Berdasarkan riwayat klinik
Kemungkinan Rinitis Akibat
Kerja Positif Negatif Tidak dapat
dikerjakan
Workplace assessment dari: Gejala-gejala klinik Patensi hidung Inflamasi hidung Hiperresponsif nonspesifik Berdasarkan riwayat klinik Rinitis AkibatKerja
(47)
29
Langkah pertama adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan hidung. Bila tersedia ekstrak dilanjutkan dengan tes imunologi berupa tes tusuk atau IgE spesifik untuk zat dengan berat melekul tinggi dan berat melekul rendah. Diagnosis RAK dapat ditegakkan bila terdapat gejala klinik diikuti dengan hasil tes imunologik positif. Bila hasil tes imunologik negatif, tetapi secara klinis positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan uji provokasi hidung di laboratorium. Bila hasilnya positif, maka diagnosis RAK dapat ditegakkan. Bila hasilnya negatif atau uji provokasi hidung tidak dapat dilakukan, tetapi gejala klinik menunjang, penelusuran di tempat kerja seperti gejala klinik, pemeriksaan sumbatan hidung, histamin hidung, nasal challenge test dengan histamin, metakolin, atau udara dingin dapat dilakukan (Gambar 2.3) (Moscato dkk., 2009).
(1)
24 2.10.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pekerja yang menderita rinitis akibat kerja memiliki sekret hidung encer dan bening serta edema konka. Mukosa hidung biasanya terlihat pucat,
berwarna merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau
endoskopi serat optik perlu untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur glotis
serta ada atau tidaknya polip hidung. Sekresi pus dari muara sinus, hiperplasi limfoid,
neoplasma, perubahan pita suara perlu dilihat untuk membedakannya dengan RAK.
Stigmata lain seperti rinokonjungtivitis alergi, kemosis atau allergic shiner perlu
diperiksa (Arandelovic dkk., 2004; Drake-Lee dkk., 2002; Shusterman, 2003).
2.10.3. Pemeriksaan Penunjang
2.10.3.1. Uji Tusuk Kulit
Salah satu metode pemeriksaan alergi yang paling sering digunakan adalah uji
tusuk kulit atau skin prick test. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Uji tusuk
kulit banyak dipakai karena sederhana, mudah, cepat dan cukup aman sehingga sering
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Kelebihan cara ini ialah pemeriksaan dapat
dilakukan dengan beberapa jenis alergen pada waktu yang bersamaan dan hasil
pemeriksaan didapatkan dalam 15-20 menit (Airaksinen, 2010; Irawati, 2003).
Kekurangan teknik ini untuk mendiagnosis RAK adalah kadang-kadang sulit
mendapatkan ekstrak alergen spesifik yang dicurigai dari tempat kerja, sehingga perlu
(2)
25
langsung dari lingkungan kerja dan tidak memerlukan ekstrak yang khusus
(Baratawidjaya dan Rengganis, 2009; Drake-Lee dkk., 2002; Gautrin dkk., 2006).
2.10.3.2. Uji Provokasi Hidung
Uji provokasi hidung adalah suatu metode pemeriksaan yang menginduksi gejala
rinitis seperti bersin, hidung tersumbat, sekresi hidung dan gejala rinitis lainnya
dengan cara menempatkan alergen definitif atau iritan yang dicurigai sebagai
penyebab rinitis pada mukosa hidung dan reaksi yang timbul dimonitor. Beberapa
penelitian terdahulu menggunakan metode uji provokasi hidung dan metode ini
dianggap merupakan standar baku emas dalam menegakkan RAK. Akan tetapi
kesulitan yang dihadapi adalah tidak semua zat di tempat kerja dapat digunakan pada
uji provokasi, terutama zat-zat iritan. Metode uji provokasi juga berisiko untuk
terjadinya reaksi yang hebat pada saluran napas atas dan bawah, karena dipajankan
langsung dengan bahan yang diperkirakan sebagai penyebab penyakitnya
(Airaksinen, 2010; Rajakulasingam, 2003).
2.10.3.3. Rinomanometri
Rinomanometri merupakan metode yang sangat objektif dan akurat dalam menilai perubahan nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah uji provokasi dengan
alergen yang dicurigai. Rinomanometri yang dianggap paling fisiologis adalah
rinomanometri anterior aktif, karena mengukur secara bersamaan aliran udara pada
satu hidung dengan pneumotachometer dan tekanan nasofaring pada hidung
(3)
26
kontralateral. Pemeriksaan dikatakan positif jika setelah uji provokasi dilakukan,
aliran udara menurun lebih dari 40% dan jika tahanan hidung meningkat lebih dari
60%. Interpretasi dilakukan dengan membandingkan gejala yang muncul setelah
pemeriksaan serta mengukur kualitas serta beratnya sekresi cairan hidung sebelum,
selama dan sesudah tes. Rinomanometri akustik merupakan pemeriksaan yang sangat
bermanfaat dalam mendiagnosis RAK karena sederhana, mudah dilakukan, dan tidak
invasif dibandingkan dengan rinomanometri anterior dan posterior (Hytonen dkk.,
1996; Nathan dkk., 2005).
2.10.3.4. Peak Nasal Inspiratory Flow Meter
Peak Nasal Inspiratory Flow atau PNIF meter merupakan alat untuk mengukur derajat sumbatan hidung dengan mengukur kecepatan aliran udara melalui hidung
pada saat inspirasi maksimal. Alat ini cukup sederhana, berukuran kecil dan ringan,
mudah digunakan, serta interpretasi hasilnya cukup mudah. Selain itu juga mudah
untuk dibawa dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis alergi di
manapun penderita berada. Alat ini juga memberikan informasi yang akurat terhadap
sumbatan hidung dan respon terhadap pengobatan. Keterbatasan alat ini yaitu hanya
dapat mengukur kecepatan aliran udara sedangkan tekanan transnasal tergantung
usaha pasien pada saat inspirasi maksimal. Nilai normal pada orang Eropa yang
ditetapkan dengan alat ini adalah 100–300 liter per menit, dengan keakuratan 10%
(Starling dkk., 2005).Pengukuran aliran udara hidung maksimum dengan PNIF meter
(4)
27
Rengganis, 2009).PNIF meter pada uji provokasi dikatakan positif bila didapatkan
sedikitnya dua gejala yaitu bersin-bersin, rinore, hidung buntu dan penurunan PNIF
lebih dari 20% (Eire dkk., 2006; Rajakulasingam, 2003).
2.10.3.5. Pemeriksaan Sitologi Mukosa Hidung
Respon lain yang dapat diukur adalah penilaian jumlah eosinofil, basofil,
neutrofil dan sel lainnya serta mengukur mediator-mediator lokal yang dilepaskan
oleh sel mastosit yang berdegranulasi. Bahan pemeriksaan diperoleh dari usapan,
kerokan, bilasan atau biopsi. Pemeriksaan sitologi ini dilakukan untuk melihat adanya
eosinofil sebagai parameter rinitis alergi atau neutrofil sebagai parameter rinitis iritan.
Dari penelitian sebelumnya polymononuclear neutrophils atau PMNs telah terbukti
berhubungan dengan iritasi inflamasi, sedangkan eosinofil berhubungan dengan
respon alergi (Howarth dkk., 2005).
2.10.3.6. Pemeriksaan IgE dan Bersihan Mukosilia
Pemeriksaan IgE total jarang digunakan untuk skrining pada rinitis alergi, karena nilai prediksinya yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan sebagai alat diagnostik.
Berbeda dengan IgE total, pemeriksaan IgE spesifik sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Adanya antibodi IgE spesifik tergantung pada tersedianya
ekstrak alergen yang berhubungan untuk dilakukan uji imunologi (Bachert, 2006).
Pemeriksaan bersihan mukosilia dapat dilakukan karena rinitis mengurangi aktivitas
mukosilia yang sangat berpengaruh terhadap pertahanan terhadap bakteri (Fahrudin,
(5)
28 2.10.4. Algoritme Diagnosis
Algoritme diagnosis RAK telah ditetapkan oleh EAACI Task Force on
Occupational Rhinitis pada tahun 2009 (Moscato dkk., 2009).
Gambar 2.3. Algoritme diagnosis rinitis akibat kerja (Moscato dkk., 2009).
Riwayat pekerjaan dan klinis Pemeriksaan hidung
Tes imunologi (tes cukit kulit atau antibodi Ig E
spesifik)
Tidak tersedia Tersedia
Negatif Positif
Tes provokasi hidung di Berdasarkan riwayat klinik
Kemungkinan Rinitis Akibat
Kerja
Positif Negatif Tidak dapat
dikerjakan
Workplace assessment dari:
Gejala-gejala klinik
Patensi hidung
Inflamasi hidung
Hiperresponsif nonspesifik Berdasarkan
riwayat klinik
Rinitis AkibatKerja
(6)
29
Langkah pertama adalah melalui anamnesis dan pemeriksaan hidung. Bila
tersedia ekstrak dilanjutkan dengan tes imunologi berupa tes tusuk atau IgE spesifik
untuk zat dengan berat melekul tinggi dan berat melekul rendah. Diagnosis RAK
dapat ditegakkan bila terdapat gejala klinik diikuti dengan hasil tes imunologik
positif. Bila hasil tes imunologik negatif, tetapi secara klinis positif, maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan uji provokasi hidung di laboratorium. Bila hasilnya positif, maka
diagnosis RAK dapat ditegakkan. Bila hasilnya negatif atau uji provokasi hidung
tidak dapat dilakukan, tetapi gejala klinik menunjang, penelusuran di tempat kerja
seperti gejala klinik, pemeriksaan sumbatan hidung, histamin hidung, nasal challenge
test dengan histamin, metakolin, atau udara dingin dapat dilakukan (Gambar 2.3)