Perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional.

(1)

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

Maharani Dyah Putri Wardani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan model pembelajaran konvensional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia prasekolah sejumlah 50 siswa dari TK Bambini Montessori School sebagai sampel subjek dari kelompok Montessori dan 60 siswa dari TK Tarakanita Bumijo sebagai sampel subjek kelompok konvensional. Hipotesis dalam penelitian ini adalah kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori lebih baik jika dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Data diperoleh dengan menggunakan alat tes NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) kemudian dianalisis menggunakan uji-t. Kesimpulan uji hipotesis ditentukan dengan melihat nilai signifikansi yang diperoleh, sementara untuk melihat mana yang memiliki kesiapan sekolah yang lebih tinggi dilihat dari nilai mean empiris tiap kelompok subjek. Hasil analisis data diperoleh nilai t=2.863 dengan nilai signifikansi sebesar 0,005 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Nilai mean empiris kelompok subjek konvensional sebesar 1038,87 lebih tinggi dari kelompok subjek Montessori sebesar 1018,08. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional lebih baik jika dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori.


(2)

DIFFERENCES OF SCHOOL READINESS BETWEEN CHILDREN WHO ATTEND MONTESSORI LEARNING MODELS WITH CHILDREN WHO

ATTEND CONVENTIONAL LEARNING MODELS

Maharani Dyah Putri Wardani

ABSTRACT

The purpose of this study is to look at the differences of school readiness between children with Montessori learning models and children with conventional learning models. Subjects in this study were 50 preschool students from Bambini Montessori School kindergarten as sample subjects of Montessori group and 60 students from Tarakanita Bumijo kindergarten as sample subjects conventional group. The hypothesis of this study is school readiness of children who attend Montessori learning models is better than children who attend conventional learning models . The data obtained using NST ( Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test ) and then analyzed using t-test. The conclusion of hypothesis test is determined by looking at the value significance, while to see which one has the higher school readiness seen from the empirical mean value of each group of subjects. The results of the data analysis obtained value t=2,863 with a significance 0.005 ( p<0.05 ), which means that there is a differences of school readiness between children who attend Montessori learning models with children who attend conventional learning models. Empirical mean value of conventional group a number of 1038.87 is higher than the group of subjects Montessori at 1018.08. This result suggests that the school readiness of children who attend conventional learning models is better than children who attend Montessori learning models.


(3)

i

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Maharani Dyah Putri Wardani NIM: 099114106

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(4)

ii SKRIPSI

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

Disusun Oleh :

Maharani Dyah Putri Wardani 099114106

Telah disetujui oleh :

Pembimbing


(5)

iii SKRIPSI

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Maharani Dyah Putri Wardani

NIM: 099114106

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 18 Desember 2013 dan dinyatakan mememnuhi syarat

Susunan Panitia Penguji :

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji I : Ratri Sunar Astuti, M.Si. I. ……… Penguji II : Sylvia Carolina MYM., M.Si. II. ………... Penguji III : MM. Nimas Eki S., M.Si., Psi. III. ………..

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(6)

iv

Saat aku tersakiti, ajari aku memberi hati yang mengampuni

Saat aku dihakimi, ajari aku memberi hati yang mengasihi

Dan saat sulit untukku memahami dan mengerti ajar aku selalu

y

M

p …

rencanaMu

There’s always a way…and we’ll find the way,

just believe and try…don’t ever give up


(7)

-ran-v

Persembahan dari hati, untuk kalian yang teristimewa:

Tuhan Yesus, terimakasih untuk mengajariku kasih yang selalu

menguatkan

Untuk yang aku tahu, aku tak kan pernah kehilangan…..ayah

dan ibu, terimakasih karena kalian selalu ada saat yang lain bisa

saja datang dan pergi

Juga buat mas…adek…makasih karena menjagaku dan

menghiburku dengan cara kalian


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan dalam daftar pustaka, sebagaiman layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Penulis


(9)

vii

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

Maharani Dyah Putri Wardani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan model pembelajaran konvensional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia prasekolah sejumlah 50 siswa dari TK Bambini Montessori School sebagai sampel subjek dari kelompok Montessori dan 60 siswa dari TK Tarakanita Bumijo sebagai sampel subjek kelompok konvensional. Hipotesis dalam penelitian ini adalah kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori lebih baik jika dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Data diperoleh dengan menggunakan alat tes NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) kemudian dianalisis menggunakan uji-t. Kesimpulan uji hipotesis ditentukan dengan melihat nilai signifikansi yang diperoleh, sementara untuk melihat mana yang memiliki kesiapan sekolah yang lebih tinggi dilihat dari nilai mean empiris tiap kelompok subjek. Hasil analisis data diperoleh nilai t=2.863 dengan nilai signifikansi sebesar 0,005 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Nilai mean empiris kelompok subjek konvensional sebesar 1038,87 lebih tinggi dari kelompok subjek Montessori sebesar 1018,08. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional lebih baik jika dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori.


(10)

viii

DIFFERENCES OF SCHOOL READINESS BETWEEN CHILDREN WHO ATTEND MONTESSORI LEARNING MODELS WITH CHILDREN WHO

ATTEND CONVENTIONAL LEARNING MODELS

Maharani Dyah Putri Wardani

ABSTRACT

The purpose of this study is to look at the differences of school readiness between children with Montessori learning models and children with conventional learning models. Subjects in this study were 50 preschool students from Bambini Montessori School kindergarten as sample subjects of Montessori group and 60 students from Tarakanita Bumijo kindergarten as sample subjects conventional group. The hypothesis of this study is school readiness of children who attend Montessori learning models is better than children who attend conventional learning models . The data obtained using NST ( Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test ) and then analyzed using t-test. The conclusion of hypothesis test is determined by looking at the value significance, while to see which one has the higher school readiness seen from the empirical mean value of each group of subjects. The results of the data analysis obtained value t=2,863 with a significance 0.005 ( p<0.05 ), which means that there is a differences of school readiness between children who attend Montessori learning models with children who attend conventional learning models. Empirical mean value of conventional group a number of 1038.87 is higher than the group of subjects Montessori at 1018.08. This result suggests that the school readiness of children who attend conventional learning models is better than children who attend Montessori learning models.


(11)

ix

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma Nama : Maharani Dyah Putri Wardani

Nomomr Mahasiswa : 099114106

Demi pengnembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

Perbedaan Kesiapan Sekolah Antara Anak yang Mengikuti Model Pembelajaran Montessori dengan Anak yang Mengikuti Model

Pembelajaran Konvensional

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin kepada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 19 Februari 2014 Yang menyatakan,


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah dan ibu yang tersayang, terima kasih atas doa dan dukungannya. Ayah

terimaksih sudah jadi teman diskusi yang sangat baik…I give my best for you, semoga bisa membanggakan…gereja bareng lagi ya, yah. Ibu terimakasih untuk doanya setiap malam, jadi teman curhat…wonder woman

mah kalah sama ibuku. Sayang kalian yah, buk 

2. Dua jagoan di rumah selain ayah tentunya…mas, adek…makasih yaa udah ngilangin bosen kalau di rumah, walaupun caranya dengan ngebully salah satu dari kita sih.hehe..

3. Dosen pembimbing, Ibu Ratri yang terhormat. Terima kasih atas bimbingan, bantuan dan dukungan serta kesabarannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Seseorang yang sangat istimewa, terima kasih atas dukungan dan

motivasinya. Terimakasih karena telah kembali, mengajariku tentang kasih

yang terindah dan ketulusan….sungguh kisah yang mendewasakan bareng kamu mbun.

5. Teman-teman cantik dan ganteng yang jadi teman curhat, teman merpus,


(13)

xi

6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi., terima kasih atas segala bentuk bantuan, dukungan dan semangat yang diberikan selama proses pembuatan skripsi ini.

7. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan. Terima kasih telah membantu dan mendukung proses pembuatan skripsi ini.

Penulis mohon maaf apabila masih dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak.

Yogyakarta, 19 Februari 2014 Penulis


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SKEMA ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8


(15)

xiii

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. KESIAPAN SEKOLAH ... 10

1. Definisi Kesiapan Sekolah ... 10

2. Dimensi Kesiapan Sekolah... 10

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Sekolah . 13

B. ANAK USIA PRASEKOLAH ... 17

1. Karakteristik Anak Usia Prasekolah ... 17

2. Perkembangan Anak Usia Prasekolah ... 18

C. MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN ANAK USIA DINI ... 25

1. Model Pembelajaran Montessori ... 26

2. Model Pembelajaran Konvensional ... 33

3. Perbedaan antara Model Pembelajaran Montessori dan Model Pembelajaran Konvensional ... 36

D. HIPOTESIS ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

B. Variabel Penelitian ... 44

1. Variabel Bebas... 44


(16)

xiv

C. Definisi Operasional ... 44

1. Kesiapan Sekolah ... 44

2. Model Pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini 45

D. Subjek Penelitian ... 46

E. Metode Pengumpulan Data ... 47

F. Metode Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Orientasi Kancah Penelitian ... 49

B. Pelaksanaan Penelitian ... 50

C. Deskripsi Subjek ... 50

D. Deskripsi Data Penelitian ... 51

E. Uji Asumsi Analisis Data ... 52

1. Uji Normalitas ... 52

2. Uji Homogenitas ... 53

F. Uji Hipotesis ... 54

G. AnalisiTambahan ... 55

H. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

1. Bagi Orangtua ... 63

2. Bagi Guru dan Pendidik ... 64


(17)

xv

DAFTAR PUSTAKA ... 68 LAMPIRAN ... 72


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tahapan Perkembangan Anak ... 30

Tabel 2 Perbedaan Model Pembelajaran Montessori dan Konvensional ... 37

Tabel 3 Deskripsi Subjek Penelitian ... 51

Tabel 4 Deskripsi Data Penelitian ... 52

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas ... 53

Tabel 6 Hasil Independent Sample T-Test Kesiapan Sekolah ... 54

Tabel 7 Kategorisasi Kesiapan Sekolah ... 56

Tabel 8 Kategorisasi Kesipalan Sekolah Anak yang mengikuti Model Pembelajaran Montessori ... 56

Tabel 9 Kategorisasi Kesipalan Sekolah Anak yang mengikuti Model Pembelajaran Konvensional ... 56


(19)

xvii

DAFTAR SKEMA


(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Penelitian ... 72

Lampiran 2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas ... 79

Lampiran 3 Uji Hipotesis ... 81


(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan sebaik mungkin, mulai dari merencanakan mencapai jenjang pendidikan setinggi-tingginya hingga pemilihan lembaga pendidikan yang akan dijalani. Penelitian yang dilakukannya, Ros dan Wu (1996) menyampaikan bahwa pendidikan memiliki dampak besar terhadap berbagai peluang kehidupan manusia untuk memperoleh kualitas hidup.

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional di Indonesia, pendidikan dibagi ke dalam 4 jenjang yakni Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi (www.paud.kemdiknas.go.id). Sejalan dengan prespektif psikologi mengenai rentang kehidupan (life-span prespective) bahwa perkembangan manusia saling berkaitan dengan tahap perkembangan lainnya (Santrock, 2002), keberhasilan pendidikan seseorang juga dipengaruhi oleh keberhasilan pendidikan di tingkat sebelumnya. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 oleh Balibang Depdiknas dalam Setiawati (2011) menemukan bahwa lemahnya pembinaan anak pada usia dini diduga sebagai penyebab tingginya angka mengulang kelas di awal SD, yakni sebesar 13% di kelas 1 SD dan 8% d kelas 2 SD. Temuan ini didukung oleh hasil laporan yang dilakukan Unicef


(22)

yang menunjukkan bahwa hampir 70% anak putus sekolah pada usia SD karena mereka belum siap untuk mengikuti pendidikan di SD (www.okezone.com). Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa ketidaksiapan sekolah dapat berdampak pada kelanjutan pendidikan seorang anak di tingkat selanjutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penting bagi seorang anak untuk memiliki kesiapan sekolah yang memadai sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar.

Kesiapan sekolah merupakan kesiapan belajar yang memungkinkan anak untuk dapat mengasimilasi kurikulum serta memenuhi kebutuhan yang ada di sekolah, meliputi kesiapan fisik, intelektual dan sosial (Kagan, 1990). Keterampilan yang dibutuhkan anak untuk dapat mengikuti pembelajaran menurut Wylie (1998) adalah keterampilan menyimak dan mendengarkan, keterampilan akademik, keterampilan bekerja secara mandiri dan berkelompok, serta keterampilan berkomunikasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mengembangkan kesiapan sekolah anak adalah dengan mengikutsertakan anak pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sesuai dengan PP Nomor 17 Tahun 2010 pasal 61 ayat (1), PAUD berfungsi untuk membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. Halimah dan Kawuryan (2010) menemukan bahwa anak yang mengikuti pendidikan prasekolah memiliki kesiapan sekolah yang lebih baik dibandingkan anak yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah.


(23)

PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan menyebutkan bahwa satuan PAUD terbagi menjadi 2 bentuk dan jenis yakni PAUD jalur formal yang terdiri dari TK, RA atau bentuk lain yang sederajat serta PAUD jalur non-formal yang terdiri dari KB, TPA, dan satuan PAUD yang sejenis. Data yang diperoleh dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini, estimasi jumlah anak usia 0-6 tahun pada tahun 2013 ini adalah 30,35 juta anak. Target sasaran angka partisipasi kasar (APK) PAUD sebesar 69,3% yang terdiri dari 19,6% target PAUD formal dan 49,7% target PAUD non-formal dari jumlah anak usia 0-6 tahun di tahun tersebut. Penyelenggaraan PAUD di Indonesia menerapkan sistem penyelenggaraan yang holistik dan integratif dengan memperhatikan semua aspek termasuk aspek kognitif, sosioemosi, spiritualitas, serta kesehatan fisik. PAUD yang dibahas dalam penelitian ini adalah PAUD formal, yaitu TK.

Ismira Dewi (2008) menyebutkan bahwa kualitas program prasekolah yang dijalankan ikut berpengaruh pada kesiapan sekolah (www.kabarindonesia.com). Berbicara mengenai program pendidikan yang dijalankan tentu berkaitan dengan model pembelajaran yang diterapkan oleh lembaga prasekolah tersebut. Model pembelajaran merupakan hasil rancangan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasi operasional di kelas berdasarkan turunan dari psikologi pendidikan dan teori belajar yang dijadikan landasan praktik dalam pembelajaran (Suprijono, 2009).


(24)

Di Indonesia, model pembelajaran yang sering dijumpai adalah model pembelajaran konvensional di mana semua murid mengikuti instruksi dari guru (Chattin-McNichols, 1992). Selain model pembelajaran konvensional, saat ini di Indonesia juga terdapat TK yang menerapkan model pembelajaran Montessori. Model pembelajaran Montessori memiliki perbedaan dengan model pendidikan konvesional atau tradisional. Perbedaan tersebut meliputi lingkungan fisik, metode pembelajaran, dan sikap kelas (Lopata, 2005). Dalam kelas Montessori, penataan meja diatur untuk memungkinkan pembelajaran secara individu dan kelompok kecil dalam rentang lintas usia sampai tiga tahun, sementara dalam kelas konvensional, penataan meja diorientasikan untuk instruksi satu arah untuk seluruh kelompok dalam rentang usia yang sama (Chattin-McNichols, 1992). Di kelas konvensional, siswa mengikuti tugas yang diarahkan oleh guru (Chattin-McNichols, 1992), sementara dalam kelas Montessori, siswa lebih banyak menghabiskan waktu mengerjakan tugas yang dipilih sendiri oleh siswa atau oleh kelompok kecil (Baines & Snortum, 1973). Guru di kelas Montessori mengembangkan kedisiplinan dalam diri anak dengan cara membiarkan anak memilih dan mengatur sendiri aktivitasnya sehingga anak belajar bertanggung jawab dengan pilihannya, sementara di kelas konvensional guru cenderung mengarahkan bagaimana anak harus bersikap (Harris & Callender, 1995 dalam Lopata, 2005).

Montessori pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf pendidikan bernama Maria Montessori pada tahun 1907 dengan mendirikan Casai dei


(25)

Bambini di Roma. Yus (2011) menyampaikan tiga hal yang ditekankan dalam pendidikan Montessori yaitu pendidikan sendiri, masa peka, dan kebebasan. Masa peka yang dimiliki anak akan mengarahkan mereka untuk memilih tugas apa yang siap untuk mereka pelajari (Pickering, 1992). Pendidikan Montessori mengijinkan anak-anak didiknya untuk memilih kegiatan yang akan mereka pelajari sesuai dengan munculnya masa peka anak sehingga guru akan membantu menyediakan fasilitas yang sesuai (Yus, 2011). Montessori yakin bahwa anak memiliki potensi untuk berkembang secara mandiri (Yus, 2011). Dalam pendekatan Montessori, guru tidak memberikan pengarahan langsung dalam pembelajaran, namun mereka menghormati dan memberikan kesempatan pada anak didiknya untuk berupaya menguasai suatu keterampilan secara mandiri (Crain, 1992 dalam Lopata, 2005).

Studi – studi yang dilakukan oleh Daux (1995), Dawson (1987), Takaces (1993) dalam Seldin (2002/03) dalam Lopata (2005) menyatakan, karakteristik penting lainnya dari pendekatan Montessori adalah bahwa pendekatan ini menghasilkan prestasi akademik yang lebih unggul. Namun, temuan ini tidak didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lopata sendiri pada tahun 2005. Lopata (2005) menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua jenis sekolah tersebut. Pada tahun 2012, Lillard membuat penelitian di Virginia, Amerika serikat berkaitan dengan perkembangan anak serta kesiapan sekolah anak prasekolah pada program Montessori klasik, program yang dilengkapi Montessori, dan program konvensional untuk melihat penyebab ketidakonsistenan tersebut.


(26)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesiapan sekolah pada ketiga jenis sekolah tersebut yang dipengaruhi oleh kedisiplinan penerapan model Montessori.

Meskipun Lillard telah melakukan penelitian serupa di Amerika Serikat, di Indonesia sendiri penelitian mengenai kesiapan sekolah berkaitan dengan model pembelajaran masih belum ditemukan. Ada perbedaan kebijaksanaan pendidikan antara Negara maju seperti Amerika dan Negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia pendidikannya masih berorientasi pada prestasi (achievement oriented) yang merupakan salah satu ciri kebijaksanaan pendidikan di Negara berkembang (Icksan, 1985). Hal tersebut menyebabkan munculnya tuntutan pencapaian akademik untuk anak usia prasekolah. Adanya tuntutan dari orangtua agar anaknya bisa baca dan hitung setelah lulus dari PAUD menyebabkan adanya perubahan orientasi pengajar PAUD menjadi lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan kemampuan membaca dan menulis untuk anak didiknya (Setiawati, 2011) dalam pelaksanaan penyelenggaraan PAUD.

Selain adanya perubahan orientasi pengajar PAUD dengan model pembelajaran tersebut, penerapan model pembelajaran Montessori di Indonesia sendiri masih menuai kritik. Seperti yang terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2013) yang menemukan bahwa penerapan model pembelajaran Montessori di Kelompok Bermain Talenta Kabupaten Bandung hanya diterapkan dua kali dalam seminggu dengan durasi masing-masing 30 menit dan belum diterapkan sepenuhnya di kelas. Selain itu, di KB


(27)

tersebut juga belum tersedia tenaga pengajar yang benar-benar menguasai model pembelajaran Montessori. Temuan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rithaudin yang menunjukkan bahwa dalam melakukan adaptasi model Montessori untuk mata pelajaran pendidikan jasmani telah disesuaikan dengan muatan kurikulum di TK dan SD (staff.uny.ac.id/sites/default/.../Adaptasi%20metode%20montessori.pdf).

Hasil temuan-temuan di atas mengindikasikan bahwa ada perubahan penerapan model pembelajaran Montessori maupun orientasi pengajaran model pembelajaran konvesional yang terjadi di Indonesia jika dibandingkan dengan yang terjadi di Negara-negara maju seperti Amerika. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat kembali apakah terdapat perbedaan kesiapan sekolah pada anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional.

B. Rumusan Masalah

Uraian latar belakang diatas menjadi dasar munculnya pertanyaan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah terdapat perbedaan kesiapan sekolah pada anak yang bersekolah di TK dengan program pembelajaran Montessori dengan anak yang bersekolah di TK dengan progam pembelajaran konvensional?


(28)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kesiapan sekolah anak TK dilihat dari model pembelajaran yang diikutinya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara model pembelajaran dengan kesiapan sekolah. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan

informasi bagi penelitian-penelitian lain, terutama di ranah psikologi perkembangan khususnya mengenai kesiapan sekolah.

c. Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat untuk dunia pendidikan mengenai model pembelajaran bagi anak usia dini.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Orangtua:

1) Hasil penelitian yang dilakukan ini nantinya diharapkan dapat menjadi referensi bagi orang tua untuk memilih program pembelajaran yang sesuai untuk anak mereka.

2) Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu orang tua dan masyarakat luas untuk memahami pentingnya pendidikan anak usia dini berkaitan denngan kesiapan sekolah.


(29)

b. Bagi Guru dan Pendidik:

1) Bagi para pendidik, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi maupun referensi dalam mengembangkan rencana program pembelajaran yang sesuai bagi anak didiknya. 2) Melalui penelitian ini, guru atau pendidik dapat memperoleh

gambaran mengenai program pembelajaran Montessori dan konvensional.

c. Bagi Siswa:

1) Siswa yang menjadi subjek penelitian ini dapat mengetahui seberapa besar kesiapan sekolah mereka.

2) Berdasarkan gambaran kesiapan sekolah yang mereka miliki, siswa dibantu oleh orangtua dan guru dapat lebih meningkatkan kesiapan mereka untuk memasuki sekolah dasar.


(30)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesiapan Sekolah

1. Definisi Kesiapan Sekolah

Kagan (1990) mendefinisikan kesiapan sekolah sebagai kesiapan belajar yang meliputi standar perkembangan fisik, intelektual dan sosial yang memungkinkan anak untuk dapat memenuhi kebutuhan sekolah serta untuk mengasimilasi kurikulum yang ada di sekolah. Rafoth, dkk dalam laporan National Assosiation of School Psychologist menyampaikan bahwa konsep kesiapan sekolah, biasanya mengacu pada pencapaian emosional, keterampilan perilaku dan kognitif tertentu yang diperlukan anak untuk belajar, bekerja dan berfungsi dengan baik di sekolah. Dalam laporan National Education Goals Panel (2004), kesiapan sekolah membutuhkan keterampilan anak secara menyeluruh yaitu keterampilan fisik, kognitif maupun sosioemosi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan sekolah merupakan kesiapan anak untuk belajar, menerima informasi, serta beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang meliputi kesiapan fisik dan psikologis (kognitif dan sosioemosi).

2. Dimensi Kesiapan Sekolah

National Education Goals Panel (2004) menyampaikan, ada lima dimensi yang termasuk dalam kesiapan sekolah, yaitu kesehatan fisik dan


(31)

perkembangan motorik, perkembangan sosial dan emosional, perkembangan bahasa, pendekatan untuk belajar, serta kognitif dan pengetahuan umum. Kesehatan fisik dan perkembangan motorik merupakan dimensi yang paling erat kaitannya dengan kesiapan sekolah. Anak dengan kesehatan dan perkembangan fisik yang baik memungkinkan mereka untuk dapat memperoleh pengalaman belajar yang lebih maksimal (National Education Goals Panel, 2004). Mereka memiliki potensi fisik yang cukup untuk memberikan perhatian penuh dan terlibat secara aktif di kelas. Pada kasus anak dengan keterbatasan fisik seperti cacat atau penyakit kronis, mereka menggunakan kekuatan lain dalam diri mereka untuk keluar dari kesulitan yang membatasi potensi mereka dalam menerima pengalaman belajar di sekolah (National Education Goals Panel, 2004).

Anak yang memiliki kesejahteraan pribadi dan dasar emosi yang stabil akan membuat mereka memiliki pengalaman sekolah yang lebih positif dan produktif (National Education Goals Panel, 2004). Menurut Narendra dan Moerhadi (2007), anak dengan keterampilan sosial yang baik akan membantu mereka untuk membangun interaksi sosial yang efektif. Kemampuan anak untuk dapat menghargai orang lain, mau memberi dan menerima dukungan orang lain, serta berhubungan dengan orang lain tanpa menjadi terlalu penurut atau sombong akan sangat membantu anak dalam berelasi dengan guru dan bergabung dengan kelompok teman seusianya di sekolah (National Education Goals Panel,


(32)

2004). Anak yang memiliki rasa percaya diri, tidak takut mengalami kegagalan, dan rasa ingin tahu yang besar akan membuat anak ingin mencoba pengalaman baru yang merupakan modal yang baik untuk memulai sekolah (Narendra & Moerhadi, 2007).

Keterampilan berbahasa akan sangat diperlukan saat anak memasuki masa sekolah nantinya. Ada dua aspek keterampilan berbahasa yang diperlukan pada awal bersekolah, yaitu keterampilan untuk memahami perkataan orang lain dan keterampilan untuk menyampaikan sesuatu secara verbal yang dapat dipahami oleh orang lain (Narendra dan Moerhadi, 2007). Melalui bahasa, anak dapat saling bertukar cerita dan pengalaman dengan teman sekolah atau guru mereka dan juga menjadi dasar untuk belajar membaca dan menulis (Nation Education Goals Panel, 2004).

Setiap anak memiliki caranya masing-masing untuk belajar. National Education Goals Panel (2004) menyebutkan, ada anak yang lebih senang untuk mempelajari hal-hal baru dan kurang tekun pada satu tugas, tetapi ada pula yang sebaliknya. Hal tersebut juga ikut mempengaruhi keberhasilan anak di sekolah selain keterampilan akademik yang mereka miliki. Pada masa sekolah anak-anak akan belajar bagaimana menganalisis sesuatu, memperhatikan dan mengingat informasi, serta tentang bagaimana memecahkan suatu masalah (Narendra & Moerhadi, 2007). Anak juga mulai memiliki gagasan dan keingintahuan tentang banyak hal yang terjadi di sekitar mereka.


(33)

Kemampuan kognitif serta pengetahuan yang mereka miliki di tahun-tahun awal masa anak-anak akan membantu mereka untuk siap menerima informasi baru selama proses belajar di sekolah (National Education Goals Panel, 2004).

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (NST). Alat tes ini terdiri dari sepuluh subtes dan panduan wawancara untuk guru dan orangtua. Alat tes ini dirasa sudah cukup lengkap untuk mengukur ketiga aspek maupun dimensi kesiapan sekolah misalnya kesiapan fisik pada subtes II yang mengukur motorik halus, kesiapan kognitif pada subtes III yang mengukur pengertian mengenai ukuran dan jumlah, perkembangan bahasa pada subtes IX yang mengukur kemampuan menguraikan kembali sebuah cerita, dan perkembangan sosioemosi yang diukur melalui wawancara dengan guru dan orangtua tentang bagaimana anak beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan teman sebayanya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Sekolah

Berbicara mengenai kesiapan anak memasuki masa sekolah tentu saja kita akan menemui banyak hal yang terlibat di dalamnya. Ada beberapa hal yang menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan anak untuk bersekolah. Beberapa faktor yang diasosiasikan dengan kesiapan sekolah oleh Janus dan Duku (2007) adalah:


(34)

a. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi dalam hal ini berkaitan dengan pendapatan keluarga serta pendidikan dan pekerjaan orangtua. Anak yang memiliki kemampuan membaca dan kognitif yang lebih baik di taman kanak-kanak merupakan anak yang memiliki faktor resiko status sosial ekonomi (rendahnya pendidikan orangtua dan orangtua tunggal) yang lebih rendah (Janus & Duku, 2007). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Washbrook dan Waldfogel (2011) bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah memiliki keterlambatan perkembangan kemampuan kosakata lima bulan di bawah kemampuan anak yang berasal dari keluarga dengan penghasilan yang lebih tinggi. Selain itu, anak dari keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah juga cenderung memiliki masalah perilaku di awal masa sekolah (Washbrook & Waldfogel, 2011).

b. Keluarga

Struktur keluarga juga memiliki kontribusi penting terhadap kesiapan anak untuk bersekolah. Keutuhan dalam keluarga memiliki dampak yang terkuat terhadap hiperaktifitas dan kerentanan bersekolah (Kerr dalam Janus & Duku, 2007). Masih dalam penelitian yang sama, Janus & Duku (2007) menemukan bahwa keutuhan keluarga memiliki korelasi yang lebih besar terhadap lima dimensi kesiapan sekolah yang diukur dengan Early Devolopment


(35)

Instrument daripada tingkat penghasilan orangtua, kecuali dalam dimensi keterampilan komunikasi atau bahasa. Yang dimaksud dengan keutuhan keluarga dalam hal ini berkaitan dengan perceraian dan orangtua tunggal.

c. Kesehatan

Seperti yang dilaporkan oleh Unicef untuk Indonesia pada Oktober 2012, kesiapan sekolah melibatkan perkembangan anak secara menyeluruh. Bukan hanya melibatkan kemampuan intelektual dan sosial, melainkan juga termasuk status kesehatan dan gizi. Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa sebuah studi menemukan adanya korelasi antara keberhasilan pendidikan dengan anak yang bertubuh pendek (stunting). Sebuah studi yang dilaporkan dalam California Childcare Health Program (2006) menyatakan bahwa kesehatan fisik dan mental (seperti masalah perilaku) memiliki korelasi yang kuat dengan fungsi akademis. Anak yang memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik cenderung memiliki keberhasilan dalam bidang akademis.

Selain ketiga faktor tersebut, presiden NEA, Dennis Van Roekel yang menyampaikan bahwa mengikutsertakan anak dalam program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi merupakan awal yang baik untuk mempersiapkan anak memasuki sekolah. Karakteristik dari program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi menurut Roekel adalah sebagai berikut:


(36)

1. Kurikulum yang dirancang dengan baik untuk meningkatkan perkembangan kognitif, fisik, sosial, dan emosional anak

2. Terdiri dari kelas-kelas kecil dengan rasio guru yang favorable 3. Guru yang peduli dan terlatih dalam pendidikan dan

perkembangan anak

4. Layanan tambahan seperti ahli perkembangan dan supervisi kurikulum yang mendukung perkembangan anak

5. Secara aktif melibatkan orangtua dalam meningkatkan hasil belajar anak secara tepat

6. Program yang mencakup kesehatan dan nutrisi anak serta kebutuhan keluarga lainnya sebagai bagian dari layanan yang komperhensif

Berdasarkan dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah. Keempat faktor tersebut adalah status sosial ekonomi, keluarga, kesehatan, dan kualitas program pendidikan usia dini yang diikuti anak. Berbicara mengenai kualitas program pendidikan usia dini yang diikuti anak, maka secara tidak langsung kita berbicara kurikulum yang merupakan bagian dari model pembelajaran yang diterapkan oleh lembaga pendidikan usia dini tersebut.


(37)

B. Anak Usia Prasekolah

1. Karakteristik Anak Usia Prasekolah

Seorang manusia akan mengalami beberapa fase perkembangan di sepanjang rentang kehidupannya. Salah satu fase yang harus dilewati adalah fase anak-anak. Santrock (2002) membaginya dalam dua tahap yaitu masa awal anak-anak serta masa pertengahan dan akhir anak-anak. Hurlock (1978) mengkatagorikan masa awal anak-anak dimulai dari usia 2 sampai 6 tahun, sementara usia 6-13 tahun dikelompokkan sebagai masa akhir anak-anak oleh Hurlock. Berdasarkan klasifikasi di atas, maka anak usia prasekolah termasuk dalam kategori masa awal anak-anak.

Menurut teori perkambangan yang dikembangkan oleh Piaget (Monks, dkk, 1987), pada usia tersebut anak memasuki tahap perkembangan yang disebut dengan tahap perkembangan pra-operasional. Anak dalam tahap perkembangan ini mulai menunjukkan adanya perkembangan bahasa dan kemampuan berpikir dalam bentuk simbolis. Selain itu, anak juga mulai mampu berpikir logis namun masih mengalami kesulitan dalam memahami sudut pandang orang lain. Freud (Monks, dkk, 1987) dengan teori psikoanalisanya juga menyampaikan bahwa anak dalam usia tersebut memasuki fase phalik dimana anak mulai memahami mengenai identitas gender dan perbedaan jenis kelamin. Teori psikososial yang dikembangkan oleh Erickson (Santrock, 2002) mengkategorikan anak usia prasekolah ke dalam tahap inisiatif vs


(38)

rasa bersalah. Pada tahap ini anak mulai memiliki keinginan untuk mempelajari hal-hal baru di sekitar mereka. Mereka juga mulai tertarik untuk menghasilkan sesuatu sebagai sebuah prestasi. Apabila pada tahap ini anak banyak mendapat larangan untuk melakukan sesuatu maka mereka akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri anak.

2. Perkembangan Anak Usia Prasekolah

a. Aspek-aspek Perkembangan Anak Usia Prasekolah 1) Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik anak pada masa awal anak-anak mengalami pertumbuhan tinggi badan sebanyak 2,5 inchi dan berat 5-7 pon setiap tahunnya (Santrock, 2002). Pada masa prasekolah, Santrock (2002) menyampaikan bahwa batang tubuh anak akan berkembang semakin panjang sementara bentuk tubuh mereka semakin kecil. Selain itu, ukuran otak anak akan mendekati ukuran otak orang dewasa pada usia 5 tahun (Santrock, 2002). Perbedaan pola perkembangan fisik pada setiap anak sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, masalah gangguan fisik, atau masalah emosional (Santrock, 2002).

Menurut Santrock (2002), pada usia 4-5 tahun anak masih suka melakukan gerakan-gerakan seperti melompat, berjingkrak, dan berlari. Mereka juga lebih berani untuk mengambil resiko dalam melakukan gerakan tersebut seperti memanjat (Santrock, 2002). Monks, dkk (1987) menyatakan


(39)

bahwa anak telah memiliki keseimbangan yang cukup baik pada usia 5 tahun sehingga mereka sudah mampu melakukan gerakan-gerakan seperti melompat dengan kedua kaki, naik tangga, bahkan naik sepeda. Koordinasi motorik halus anak usia prasekolah semakin meningkat dan lebih tepat. Anak usia 4 tahun akan mulai membentuk menara balok dan berusaha menempatkan setiap balok dengan sempurna (Santrock, 2002). Pada usia 5 tahun anak mulai memiliki keinginan untuk membuat bangunan yang lebih kompleks (Santrock, 2002). Anak juga mampu untuk menggunakan gunting, menggambar dengan crayon, dan bermain lempar tangkap bola (Rochmah, 2005).

2) Perkembangan Kognitif

Teori perkembangan kognitif yang disampaikan oleh Piaget menyebutkan bahwa anak usia prasekolah termasuk dalam kelompok masa perkembangan pra-operasional (Gunarsa, 1987). Pada masa ini, anak mulai menguasai bahasa yang sistematis, mampu mempergunakan simbol, melakukan imitasi (meniru), dan mulai memiliki bayangan mental (Monks, dkk, 1987).

Oleh Piaget, pola berpikir anak pada tahap pra-operasional ini dicirikan sebagai berikut (Monks, dkk, 1987):


(40)

a) Egosentrik

Pada masa ini anak cenderung melihat sesuatu dari perspekttifnya sendiri dan belum mampu untuk mengambil sudut pandang orang lain. Misalnya, bila anak ditunjukkan 3 deret benda dengan warna berbeda yaitu merah, putih, biru lalu diminta untuk menyebutkan urutan tersebut dari sudut pandang orang yang ada diseberangnya maka anak akan menjawab sesuai dengan urutan dari sudut pandangnya sendiri.

b) Memusat (centralized)

Anak pada tahap berpikir pra-operasional belum mampu memusatkan perhatiannya pada dua dimensi sekaligus. Gunarsa (1987) menyampaikan bahwa ada 3 aspek dalam centralized, yaitu:

i. Menyusun benda sesuai ukuran

Anak sudah mampu untuk melihat hubungan dua benda dengan ukuran berbeda, tapi belum mampu menyusun sejumlah benda berdasarkan ukurannya. Misalnya, anak mampu membedakan tongkat A lebih pendek dari tongkat B dan tongkat B lebih pendek dari tongkat C namun belum mampu merangkai ketiga tongkat tersebut dari yang paling pendek. Hal ini menunjukkan bahwa anak hanya mampu memusatkan


(41)

perhatian pada satu hubungan saja dan bukan pada keseluruhan.

ii. Pengelompokan

Piaget membuat suatu percobaan dengan menunjukkan pada anak 20 kuncup bunga dari kertas, 18 berwarna coklat dan 2 berwarna putih. Ia kemudian menanyakan kuncup bunga mana yang lebih banyak, yang berwarna coklat atau yang terbuat dari kertas. Anak-anak dalam tahap pra-operasional tersebut kemudian menjawab bunga yang berwarna coklat. Dengan demikian anak hanya memusatkan perhatiannya pada satu pengelompokan saja yakni warna, coklat dan putih; dan mengabaikan pengelompokan lain yakni bunga dari kertas.

iii. Konservasi

Pada tahap ini, anak belum mampu mengkonversikan angka atau isi (jumlah). Misalnya, anak diperlihatkan 2 buah gelas, yang satu lebih ramping dan tinggi sementara yang lain lebar dan pendek. Kedua gelas tersebut diisi air dengan jumlah yang sama. Kepada anak kemudian ditanyakan gelas manakah yang berisi air lebih banyak. Anak cenderung akan menjawab gelas yang ramping dan tinggi karena


(42)

terlihat memiliki permukaan air yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa anak hanya tepusat pada satu dimensi tinggi saja dan bukan pada jumlah atau isinya. c) Tidak dapat dibalik (irreversible)

Sebagai ilustrasi, seorang anak diberikan sebuah informasi bahwa A memiliki saudara bernama B. Anak tersebut kemudian ditanya apakah B memiliki saudara, maka anak itu akan menjawab tidak. Hal ini menunjukkan bahwa anak belum mampu memikirkan suatu kejadian dari arah sebaliknya.

d) Statis

Bila anak diminta untuk menggambar tongkat yang sedang roboh, maka anak akan menggambar tongkat yang berdiri tegak kemudian menggambar tongkat yang berbaring. Pemikiran anak yang seperti ini menunjukkan bahwa anak hanya memperhatikan situasi A kemudian situasi B saja dan mengabaikan perpindahan siatuasi A ke B.

Jika Piaget menggambarkan pemikiran anak sebagai pemikiran tunggal dalam memahami informasi, Vygotsky memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan Piaget mengenai perkembangan kognitif anak. Meskipun sama-sama menyepakati bahwa keterlibatan aktif anak dengan


(43)

lingkungan mempengaruhi perkembangan kognitif anak, namun Vygostky berpendapat bahwa anak akan memperoleh keterampilan kognitif melalui interaksi sosial. Anak akan belajar menguasai dan menginternalisasi pelajaran dengan bantuan dan arahan dari orang dewasa (Papalia, 2007).

3) Perkembangan Sosioemosional

Teori psikososial yang dikembangkan oleh Erickson mengelompokan anak usia prasekolah ke dalam tahap mengembangkan inisiatif versus rasa bersalah (Santrock, 2002). Inisiatif yang dibentuk oleh anak terkadang tidak sesuai dengan kehendak orang dewasa sehingga anak harus mampu mengelola keinginannya (Gunarsa, 1987). Ketidakmampuan anak dalam mengelola hal tersebut dapat mengembangkan rasa bersalah dan membuat anak memiliki harga diri yang rendah (Santrock, 2002).

Pada tahap ini, anak mulai mampu mengidentifikasi diri mereka (Santrock, 2002). Santrock (2002) juga menyampaikan bahwa anak mulai mengembangkan kata hati mereka sebagai bentuk pengawasan dan pembimbing diri dalam mengembangkan insiatif mereka sendiri. Anak mulai paham bahwa inisiatif yang mereka lakukan dapat menimbulkan hukuman ataupun hadiah bagi mereka (Santrock, 2002).


(44)

Pada usia prasekolah, anak mulai meningkatkan relasi sosial dengan teman sebayanya (Hurlock, 1988). Mereka mulai bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan teman-temannya saat bermain sehingga reaksi negatif terhadap teman sebayanya berkurang (Hurlock, 1988). Pada usia 3-4 tahun anak mulai telihat bermain dan berinteraksi dengan kelompok teman sebayanya. Mereka juga mampu menentukan siapa yang akan dipilih sebagai teman bermainnya. Berkaitan dengan relasi anak dengan orang dewasa, Hurlock (1988) menyampaikan bahwa anak juga mulai ingin terlihat mandiri dan lepas dari orangtua, namun mereka tetap mencari perhatian dan mengharapkan penerimaan dari dewasa.

4) Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa anak usia prasekolah dalam buku yang ditulis oleh Andriana (2011) menyebutkan bahwa anak usia 4-5 tahun memiliki perbendaharaan kata sebanyak 1.500-2.100 kata dan mampu menggunakan 4-8 kata daalm satu kalimat. Anak mampu membuat cerita dengan dilebih-lebihkan serta menyebutkan warna dan nama-nama hari maupun bulan. Pada usia 4 tahun anak sudah mampu membuat analogi seperti bila es dingin, maka api panas. Di usia 5 tahun anak mampu untuk mengikuti 3 perintah sekaligus.


(45)

b. Tugas Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Untuk dapat mengetahui apakah seorang anak telah mencapai perkembangannya dengan baik atau tidak, maka kita dapat melihatnya melalui tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui oleh anak. Havighurst (1953) mengelompokkan tugas-tugas perkembangan anak dalam 2 kelompok yaitu kelompok usia 0-6 tahun dan kelompok usia 6-12 tahun. Berdasarkan klasifikasi tersebut, anak usia prasekolah masuk dalam kelompok yang pertama dengan tugas-tugas perkembangan yang meliputi:

1) Berjalan

2) Belajar makan makanan padat 3) Belajar bicara

4) Belajar mengatur pembuangan kotoran tubuh (toileting) 5) Mengenal perbedaan jenis kelamin dan cirri-cirinya 6) Mencapai stabilitas fisiologis

7) Membentuk konsep sederhana mengenai ralitas sosial dan fisik 8) Terlibat secara emosional dengan orang disekitarnya

9) Membedakan benar dan salah dan mengembangkan kata hati

C. Model Pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini

Di dalam dunia pendidikan mengenal istilah model pembelajaran. Model pembelajaran merupakan hasil rancangan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasi operasional di kelas berdasarkan


(46)

turunan dari psikologi pendidikan dan teori belajar yang dijadikan landasan praktik dalam pembelajaran (Suprijono, 2009). Dalam program pendidikan anak usia dini sendiri banyak model pembelajaran yang dikemukakan oleh para filsuf pendidikan. Pemahaman mengenai model pembelajaran untuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) akan menentukan pemilihan pendekatan dan metode pembelajarannya di kelas.

Suprijono (2009) mendefinisikan model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas, meliputi penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan petunjuk mengajar bagi guru. Model pembelajaran dapat pula diartikan sebagai prosedur sistematis dalam pelaksanaan pembelajaran yang meliputi strategi, metode, teknik, dan pendekatan pembelajaran di kelas (Uno, 2007). Dengan demikian, model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai pola sistematis mengenai kurikulum, metode, dan pendekatan pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dua jenis model pembelajaran yang di gunakan dalam PAUD yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Montessori dan model pembelajaran konvensional.

1. Model Pembelajaran Montessori a. Sejarah Montessori

Model pembelajaran Montessori pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf pendidikan bernama Maria Montessori. Maria Montessori adalah seorang dokter wanita pertama yang hidup pada


(47)

tahun 1870-1952 di Italia. Ketertarikan Montessori pada dunia anak bermula saat ia bekerja di sebuah klinik psikiatri yang khusus menangani anak berkebutuhan khusus dan gangguan mental. Dari sini lah kemudian Montessori memiliki pemikiran untuk membantu anak dengan gangguan mental melalui pendidikan. Ia percaya bahwa gangguan mental yang terjadi pada anak-anak bukan sekedar masalah medis semata namun lebih merupakan masalah yang berkaitan dengan pendagogik. Pemikiran Montessori tersebutlah yang kemudian memberikan sumbangan besar bagi dunia pendidikan.

Pada tahun 1907, Montessori kemudian mendirikan sebuah sekolah khusus bagi anak dengan gangguan mental. Sekolah tersebut didirikan di daerah kumuh di Roma dengan nama Casai dei Bambini yang berarti Rumah Anak-anak (Children’s House). Pembelajaran di tempat itu dirancang agar memungkinkan anak didik yang berusia kurang dari lima tahun melakukan berbagai kegiatan. Sekarang ini, materi belajar di Casai dei Bambini bukan lagi hanya diperuntukkan untuk anak dengan gangguan mental tetapi juga digunakan untuk mengukur akurasi diskriminasi sensoris.

b. Karakteristik Montessori

Model pembelajaran Montessori menerapkan pembelajaran yang lebih menekankan pada masa peka dan kebebasan yang dimiliki anak (Yus, 2011). Anak memiliki masa pekanya


(48)

masing-masing untuk mempelajari sesuatu sehingga mereka akan memilih sendiri aktivitas yang akan mereka lakukan di kelas tanpa perlu diarahkan. Guru cukup menyediakan media atau alat bantu pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak dan berperan sebagai observer. Dengan demikian, aktivitas belajar lebih banyak dilakukan secara individu atau dalam kelompok kecil.

Kelas Montessori dirancang untuk memungkinkan anak belajar secara individu maupun dalam kelompok kecil sesuai dengan aktivitas yang dipilihnya masing-masing (Chattin-McNichols, 1992). Selain itu, Chattin-McNichols (1992) juga menyebutkan bahwa kelas-kelas Montessori memungkinkan anak belajar dalam kelas rentang lintas usia hingga tiga tahun. Melalui rancangan kelas yang seperti ini, diharapkan anak yang usianya lebih tua dapat membantu anak lain yang usianya lebih muda, dan sebaliknya anak yang lebih muda dapat belajar dari anak yang usianya lebih tua. Dengan demikian, kelas Montessori dirancang berdasarkan prinsip kerjasama antar anak dan bukan persaingan.

Pemberian instruksi maupun penggunaan instrumen pembelajaran juga memiliki karakteristik tersendiri di kelas Montessori. Guru tidak memberikan instruksi pada anak melainkan memfasilitasi anak melakukan aktivitas yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangannya (Yus, 2011). Guru Montessorian tidak menerapkan penghargaan dan hukuman (reward-punishment) pada


(49)

anak karena dianggap dapat merusak independensi anak dan membuat anak bergantung pada otoritas di luar dirinya (Crain, 2007). Penggunaan media atau alat pembelajaran di sekolah Montessori menggunakan alat-alat manipulatif yang telah dirancang khusus oleh Montessori sendiri (Lopata, 2005). Alat tersebut dirancang agar memiliki kontrol atas kesalahan sehingga anak dapat menemukan dan memperbaiki sendiri kesalahannya (Yus, 2011). Sebagai contoh, pada permainan memasangkan silinder pada tempatnya dirancang apabila anak salah menempatkan silinder maka akan ada silinder yang tersisa. Program Montessori tidak menggunakan buku cetak, lembar kerja siswa, atau ujian-ujian dalam pembelajarannya (Haines, 1995 dalam Lopata, 2005).

c. Teori Perkembangan Montessori

Montessori mengembangkan sebuah pandangannya sebagai sebuah teori mengenai perkembangan anak. Menurutnya, anak memiliki cara mereka sendiri untuk belajar yang muncul dari dorongan kedewasaan mereka (Montessori, 1964). Teori yang dikembangkan oleh Montessori memiliki komponen utama berupa konsep mengenai periode kepekaan atau periode sensitif (Crain, 2007). Yus (2011) mencantumkan sebuah tabel yang diberikan oleh Montessori sebagai panduan mengenali periode peka yang terbagi dalam sembilan tahap perkembangan, yaitu:


(50)

Tabel 1

Tahapan Perkembangan Anak

Usia (Tahun)

Perkembangan

1,5 Masa penyerapan total (absorbed mind), perkenalan, dan pengalaman sensoris/panca indera

1,5 – 3 Perkembangan bahasa

1,5 – 4  Perkembangan dan koordinasi antara mata dan otot-ototnya

 Perhatian pada benda-benda kecil

2 – 4  Perkembangan dan penyempurnaan gerakan-gerakan

 Perhatian yang besar pada hal-hal yang nyata

 Mulai menyadari urutam waktu dan ruang 2,5 – 6 Penyempurnaan penggunaan pancaindra

3 – 6 Peka terhadap pengaruh orang dewasa 3,5 – 4 Mulai mencorat-coret

4 – 4,5 Indra peraba mulai berkembang 4,5 – 5 Mulai tumbuh minat membaca d. Dasar Pendidikan Montessori

Ada 3 aspek yang menjadi dasar pendidikan Montessori, yaitu (Yus, 2011) :


(51)

1) Pendidikan Sendiri (Pedosentris)

Montessori beranggapan bahwa anak memiliki potensi untuk berkembang secara mandiri. Anak memiliki keinginan untuk belajar, bekerja, sekaligus bersenang-senang yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Keinginan tersebut muncul sebagai dorongan batin dan bukan sekedar dari rancangan pembelajaran di sekolah. Mereka akan selalu mencari hal baru yang lebih menantang untuk dikerjakan. Menurut Montessori, seorang anak tidak akan mendapatkan pengalaman dan keterampilan dalam pemecahan masalah apabila anak hanya pasif melihat orang lain melakukan sesuatu.

2) Masa Peka

Keyakinan Montessori adalah bahwa seorang anak memiliki masa peka atau sensitif di awal tahun-tahun awal kehiduapan. Masa peka ialah masa dimana seorang anak siap mengembangkan potensi yang dimilikinya. Jika masa peka ini muncul, maka anak harus segera difasilitasi dengan alat permainan yang sesuai dengan potensi yang akan dikembangkan oleh anak. Misalnya, saat masa peka anak untuk belajar membaca muncul, maka guru dapat memberikan bantuan dengan memilih alat pembelajaran yang sesuai.


(52)

3) Kebebasan

Pada pembelajaran Montessori, anak diberikan kebebasan untuk berpikir, berkarya, dan berlatih sesuka hatinya. Hal ini berkaitan dengan kemunculan masa peka yang tidak terduga dan berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Selain itu, kebebasan ini juga bermaksud agar pendidikan tidak menjadi suatu hal yang membebani anak. Untuk itu, lingkungan pembelajaran di sekolah-sekolah Montessori memungkinkan anak untuk mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi diri anak didiknya secara bebas sehingga mampu mendukung perkembangan fisik, mental, dan spiritual anak.

e. Peran Montessori dalam Membangun Kesiapan Sekolah

Kualitas pendidikan anak usia dini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada kesiapan sekolah anak. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa model pembelajaran Montessori memiliki beberapa karakteristik program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi. Kebebesan yang diterapkan dalam pembelajaran Montessori dianggap mampu mendukung perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis melalui eksplorasi diri yang dilakukan anak (Yus, 2011). Pembelajaran Montessori juga sangat memperhatikan perkembangan anak dalam pembelajarannya, terutama perkembangan masa peka anak (Yus, 2011). Sebagian besar aktivitas yang dilakukan dalam kelas-kelas Montessori adalah


(53)

aktivitas individu dan kelompok kecil (Chattin-McNichols, 1992) sehingga kelas-kelas Montessori pun terdiri dari kelas kecil dengan rasio guru dan murid yang besar untuk memungkinkan guru Montessorian memperhatikan setiap anak. Guru Montessorian berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi anak untuk belajar sesuai dengan keinginan yang muncul dari dalam diri anak, sehingga guru harus dapat memahami kebutuhan setiap anak (Yus, 2011).

Kelas-kelas dalam model pembelajaran Montessori terdiri atas rentang usia hingga tiga tahun (Chattin-McNichols, 1992). Rancangan kelas seperti ini diharapkan anak yang lebih dewasa dapat membantu anak yang lain yang usianya lebih muda. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan Vygotsky yang menyampaikan bahwa perkembangan kognitif anak diperoleh melalui interaksi sosial, yakni anak akan belajar menguasai dan menginternalisasi pelajaran dengan bantuan dan arahan dari orang dewasa.

2. Model Pembelajaran Konvensional

a. Pengertian Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional sering disebut juga model pembelajaran tradisional yang didominasi oleh metode ceramah. Metode ceramah adalah suatu bentuk penyajian pembelajaran dengan menyampaikan informasi secara lisan (Djamarah & Zain, 2010). Menurut Djamarah dan Zain (2010), dalam metode ini guru


(54)

dituntut untuk lebih aktif dari pada peserta didiknya. Feire (1999) mengistilahkan metode seperti ini sebagai banking concept of educstion, yaitu aktifitas pembelajaran yang menekankan pada pemberian informasi dan bersifat hafalan.

Di dalam pelaksanaannya, metode ceramah ini dapat juga dikombinasikan dengan metode lain seperti tanya jawab, pemberian tugas, dan diskusi (Djamarah & Zain, 2010). Rangkaian proses pembelajaran yang terjadi dalam model pembelajaran ini melibatkan pemberian informasi dan instruksi dimana guru menjadi pusat utamanya (Chattin-McNichols, 1992). Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran dimana guru berperan sebagai pusat aktivitas pembelajaran dan siswa sebagai pengikut dan pelaksana.

Dengan demikian, model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar. Peran murid dalam pembelajaran model ini adalah sebagai penerima informasi dan pelaksana instruksi sehingga kurang terlibat aktif meskipun ada kesempatan untuk terlibat secara aktif. Kegiatannya pun lebih terarah dan klasikal (satu kegiatan untuk seluruh murid).

b. Karakteristik Pembelajaran Konvensional

Selain guru diposisikan sebagai pemegang peranan utama dalam pembelajaran konvensional, ada beberapa karakteristik lain


(55)

yang dimiliki oleh model pembelajaran ini. Kelas-kelas pembelajaran konvensional dirancang agar semua siswa dapat menerima informasi dan mengikuti instruksi serta memusatkan perhatiannya pada guru (Chattin-McNichols, 1992). Hal ini karena dalam kelas konvensional, seluruh siswa akan melakukan satu aktivitas pembelajaran yang sama yang telah ditentukan oleh guru. Chattin-McNicholes (1992) juga menyebutkan bahwa kelas konvensional lebih bersifat kompetitif. Adanya penilaian pada masing-masing siswa membuat mereka berkompetisi satu sama lain.

Aktivitas pembelajaran konvensional telah disusun sesuai kurikulum pembelajaran yang berlaku. Buku cetak, lembar kerja siswa, dan pemberian reward-punishment digunakan sebagai materi atau media pembelajaran dalam kelas konvensional sehingga pembelajaran terkesan bersifat abstrak dan teoritis (Haines, 1995 dalam Lopata, 2005). Pemberian reward-punishment dimaksudkan untuk membentuk perilaku disiplin anak.

Pelaksanaan pembelajaran konvensional dalam program pendidikan usia dini lebih didominasi dengan permainanan dan diselingi kegiatan akademik dan tugas-tugas (Yus, 2011). Bentuk pelaksanaan pembelajaran yang disampaikan Yus (2011) akan dimulai dengan bentuk klasikal yakni memberikan gambaran dan instruksi mengenai aktivitas yang akan dilakukan saat itu. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan melakukan aktivitas, bisa dalam


(56)

bentuk individu maupun kelompok, namun masih dalam satu aktivitas yang sama sesuai dengan arahan dari guru. Guru akan memberikan penilaian terhadap hasil kerja anak sebagai hasil evaluasi belajar anak.

3. Perbedaan antara Model Pembelajaran Montessori dan Model Pembelajaran Konvensional

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara model pembelajaran Montessori dengan model pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam sebuah tabel sebagai berikut:


(57)

Tabel 2

Perbedaan Model Pembelajaran Montessori dan Konvensional

Montessori Konvensional

Kelas diklasifikasikan dalam rentang usia berbeda hingga rentang tiga tahun

Klasifikasi kelas cenderung dalam rentang usia yang sama

Berorientasi pada siswa Berorientasi pada guru Siswa bebas memilih aktivitas dan

kelompok belajar yang akan diikutinya

Siswa mengikuti aktivitas yang telah dirancang oleh guru

Aktivitas dilakukan secara individu atau kelompok kecil sesuai pilihan aktivitas anak

Aktivitas dilakukan oleh seluruh siswa

Lebih bersifat kooperatif Lebih bersifat kompetitif Kontrol kesalahan ditemukan dan

dilakukan sendiri oleh anak

Kontrol kesalahan melalui feedback dari guru

Pembelajaran lebih bersifat praktis dengan memberikan kesempatan pada anak untuk memiliki pengalaman langsung melalui alat-alat pembelajaran yang dapat dimainkan sendiri oleh anak

Pembelajaran lebih bersifat abstrak dan teoritis melalui buku, gambar, dan penjelasan


(58)

Montessori Konvensional Alat permainan dirancang

khusus agar memiliki kontrol kesalahan sehingga anak dapat menemukan kesalahannya sendiri

Permainan dijadikan sebagai salah satu metode pembelajaran tanpa memperhatikan kontrol pada kesalahan

Kesiapan sekolah membutuhkan keterampilan anak secara menyeluruh, baik keterampilan fisik, kognitif, maupun sosioemosi anak (National Education Goals Panel, 2004). Untuk dapat memenuhi keterampilan yang dibutuhkan tersebut, maka perkembangan anak juga harus optimal. Adanya kebebasan anak untuk memilih aktivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa Montessori memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan inisiatifnya sesuai dengan perkembangan sosioemosi anak di usia prasekolah yakni tahap inisiatif vs rasa bersalah (Erickson dalam Gunarsa, 1981). Sementara dalam metode konvensional, aktivitas anak diarahkan oleh guru sehingga kurang dapat mengembangkan inisiatif yang dimiliki anak.

Menurut teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget, anak usia pra sekolah berada pada tahap perkembangan pra-operasional dimana anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk mempresentasikan sesuatu yang tidak ada (Crain, 2007). Tahap pemikiran anak yang seperti ini diakomodasi dalam pembelajaran


(59)

Montessori dengan menghadirkan alat-alat atau materi-materi pembelajaran yang bersifat praktis dimana anak dapat memanipulasi, yaitu menyentuh, menggerakkan, memindah dan mengubah alat tersebut sehingga menghadirkan pengalaman belajar langsung pada anak. Dengan mendapat pengalaman belajar langsung dan dikerjakan sendiri oleh anak, anak bisa memperoleh makna dari aktivitas yang dilakukan sehingga memperoleh pemahaman tentang apa yang dipelajari. Sementara pada pembelajaran konvensional, media atau alat pembelajarannya masih banyak yang berbentuk paper and pencil sehingga terkesan abstrak bagi anak karena harus membayangkan sendiri kejadian nyatanya dan akhirnya sulit bagi anak untuk memahami materi pembelajaran tersebut.

Alat pembelajaran di Montessori dirancang agar memiliki kontrol atas kesalahan sehingga anak dapat menemukan dan memperbaiki sendiri kesalahannya (Yus, 2011). Untuk dapat memperbaiki kesalahannya, anak harus dapat memahami bagaimana seharusnya alat tersebut berfungsi. Melalui alat yang dirancang seperti ini, anak belajar bagaimana mengidentifikasi suatu masalah dan mencari solusi yang tepat serta mengembangkan pemahaman anak mengenai lingkungan disekitarnya. Hal ini akan membantu anak dalam mencapai tugas perkembangan tentang mengerti mengenai konsep realita fisik dan sosial (Havighurst, 1953). Sementara dalam pembelajaran konvensional yang diterapkan di TK, kesempatan untuk melakukan eksplorasi langsung pada suatu materi pelajaran seperti ini terbatas. Hasil belajar anak juga dievaluasi oleh guru


(60)

dan bukan anak sendiri sehingga mereka kurang dapat mengidentifikasi kesalahannya dan cenderung memerlukan bantuan orang lain juga untuk bisa menemukan solusi yang tepat. Model pemebelajaran yang seperti ini cenderung akan lebih mengembangkan rasa bersalah dalam diri anak karena dievaluasi secara terus menerus diabndingkan mengembangkan inisitifnya.

Untuk mendukung perkembangan anak dalam berinteraksi dengan orang lain, racangan kelas Montessori yang menerapkan kelas antar rentang usia hingga tiga tahun (Chattin-McNichols, 1992) memungkinkan anak mengembangkan kemampuannya berinteraksi secara lebih luas. Anak tidak hanya berinteraksi dengan teman sebaya saja seperti yang terjadi pada kelas konvensional, tetapi juga berinteraksi dengan teman yang usianya lebih tua atau lebih muda. Kebebasan yang diberikan pada anak untuk memilih aktivitasnya sendiri yang diterapkan di Montessori (Crain, 2007) juga akan lebih melatih mereka untuk berinteraksi dengan orang dewasa (dalam hal ini guru) jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional karena anak yang mendapatkan pembelajaran Montessori terbiasa untuk menerima dan menyampaikan informasi kepada orang lain.

Montessori juga memliki beberapa karakteristik program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi. Salah satu karakteristiknya adalah terdiri dari kelas kecil yang juga diterapkan di kelas-kelas Montessori (Chattin-McNichols, 1992). Karena pembelajaran Montessori


(61)

memungkinkan anak untuk melakukan aktivitas yang berbeda, maka rasio guru dan murid pun tidak boleh terlalu besar. Rasio guru dan murid yang tidak terlalu besar seperti ini juga menjadi karakteristik lain dari program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi. Guru-guru Montessori juga dituntut untuk dapat memahami kebutuhan dan perkembangan anak agar dapat memfasilitasi keinginan belajar anak secara tepat (Yus, 2011), yang juga merupakan karakteristik lain dari program pendidikan usia dini berkualitas tinggi. Program pendidikan usia dini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah anak. Laporan NEA yang ditulis oleh Roekel menyampaikan bahwa mengikutsertakan anak dalam program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi merupakan langkah awal yang baik dalam mempersiapkan anak memasuki sekolah.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Montessori lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan anak untuk memasuki SD (Sekolah Dasar) sesuai dengan dimensi-dimensi kesiapan sekolah dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Untuk itu, penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran Montessori dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kesiapan sekolah secara lebih optimal dibandingkan model pembelajaran konvensional.


(62)

D. Hipotesis

Kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori lebih baik jika dibandingkan dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional.


(63)

Model Pembelajaran Prasekolah

Konvensional

 Aktivitas diarahkan guru sehingga inisiatif kurang berkembang

 Alat pembelajaran masih menggunakan buku, gambar, dan lembar tugas sehingga lebih bersifat abstrak dan sulit dipahami anak

 Terdiri dari kelas-kelas besar sehingga guru sulit untuk fokus pada perkembangan tiap anak

 Kelas terdiri dari rentang usia yang relatif sama sehingga interaksi sosial anak terbatas pada teman sebaya

Montessori

 Mengembangkan inisiatif anak melalui penerapan kebebasan

 Alat pembelajaran

manipulatif dan lebih bersifat praktis sehingga mudah dipahami anak

 Terdiri dari kelas-kelas kecil sehingga guru lebih fokus pada perkembangan tiap anak

 Kelas rentang lintas usia melatih anak untuk berinteraksi sosial secara lebih luas serta anak mampu menginternalisasi pelajaran dengan bantuan dari anak yang usianya lebih dewasa

Kualitas Program Lebih Rendah Kualitas Program Tinggi

Kesiapan Sekolah Rendah Kesiapan Sekolah Tinggi

 Anak kurang berinisiatif

 Anak kurang terbiasa untuk mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusi

 Dalam berkomunikasi dan bahasa kurang terlatih

 Interaksi anak terbatas

 Kurang menguasai dan menginternalisasi pelajaran

 Anak lebih berinisiatif

 Anak terbiasa untuk mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusi

 Dalam berkomunikasi dan bahasa lebih terlatih

 Interaksi anak lebih luas

 Lebih menguasai dan menginternalisasi pelajaran


(64)

44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif komparasi. Penelitian komparasi adalah penelitian yang bertujuan untuk membandingkan satu atau lebih variabel pada dua atau lebih populasi sampel atau waktu yang berbeda (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini, peneliti ingin membandingkan satu variable yaitu kesiapan sekolah pada dua populasi sampel yaitu siswa Montessori dan konvensional.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kesiapan sekolah. 2. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran untuk pendidikan anak usia dini.

C. Definisi Operasional

1. Kesiapan Sekolah (School Readinees)

Kesiapan sekolah dapat didefinisikan sebagai kesiapan sekolah merupakan kesiapan anak untuk belajar, menerima informasi, serta beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang meliputi kesiapan fisik dan


(65)

psikologis (kognitif dan sosioemosi). Kesiapan sekolah diukur menggunakan alat ukur NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) yang mengukur ketiga aspek tersebut. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin baik kesiapan sekolah yang dimiliki anak. 2. Model Pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini

Model pembelajaran pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah prosedur pelaksanaan pembelajaran untuk PAUD yang merujuk pada karekteristik pembelajaran tertentu. Model pembelajaran PAUD dalam penelitian ini merujuk pada dua karakteristik pembelajaran, yaitu:

a. Model Pembelajaran Montessori

Prosedur pelaksanaan pembelajaran Montessori memiliki karakteristik yaitu menekankan pada kebebasan anak untuk memilih aktivitas belajar yang diinginkan sesuai dengan masa peka yang muncul pada diri anak, dimana anak menjadi pusat pembelajaran dan guru sebagai fasilitator. Model pembelajaran ini diterapkan di sekolah-sekolah yang berbasis Montessori.

b. Model Pembelajaran Konvensional

Prosedur pelaksanaan pembelajaran konvensional memiliki karakteristik yakni menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran dan kegiatan pembelajaran dilakukan secara klasikal (semua siswa melakukan satu kegiatan yang sama).


(66)

D. Subjek Penelitian

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara klaster sampling (cluster sampling). Teknik sampling semacam ini dilakukan dengan cara mengambil kelompok subjek secara acak dan bukan pada individu subjek tersebut (Azwar, 2009). Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia prasekolah yang mengikuti pendidikan di TK (Taman Kanak-Kanak) B yang akan memasuki SD (Sekolah Dasar). Subjek berasal dari TK yang menerapkan model pembelajaran Montessori dan TK yang menerapkan model pembelajaran konvensional sebagai program pendidikan.

TK Bambini Montessori School, Yogyakarta dipilih sebagai tempat pengambilan data untuk kelompok subjek I karena TK ini merupakan TK satu-satunya di Yogyakarta yang menerapkan model pembelajaran Montessori. Dilihat dari tingginya biaya pendidikan di TK tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak yang bersekolah di sana berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas. Karena status sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah, maka untuk memperoleh data dari kelompok subjek II diambil dari TK Tarakanita Bumijo. TK Tarakanita Bumijo dipilih oleh peneliti sebagai tempat penelitian karena TK tersebut menerapkan model pembelajaran konvensional. Hal tersebut terlihat dari hasil observasi yang dilakukan di TK tersebut. Kelas-kelas di TK Tarakanita Bumijo terdiri dari Kelas-kelas-Kelas-kelas besar dengan rasio guru-murid sebesar 1:25. Aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran ditentukan oleh guru dan murid mengikuti instruksi dari guru.


(67)

Penataan meja di TK Tarakanita juga diatur untuk memungkinkan siswa agar dapat menerima satu instruksi dari guru. Hal tersebut merupa beberapa karakteristik dari sekolah dengan model pembelajaran konvensional.

E. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur psikologi. Alat ukur yang digunakan adalah alat tes NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test). NST merupakan sebuah alat tes psikologi yang digunakan untuk mengukur kesiapan sekolah anak usia prasekolah yang akan masuk SD. Alat tes NST memiliki nilai validitas atara 0,22 sampai 0,51 dengan nilai reliabilitas sebesar 0,829 (Halimah & Kawuryan, 2010). Tes ini disajikan kepada seluruh subjek. Subjek dibagi ke dalam beberapa kelompok kemudian disajikan tes NST secara klasikal. Subjek diminta untuk mengerjakan kesepuluh subtes yang ada dalam tes NST dengan panduan dari tester. Tester akan memberikan instruksi sesuai dengan masing-masing subtes, kemuan subjek mengerjakan pada lembar jawab yang diberikan. Hasil tes yang berupa skor mentah kemudian diubah kedalam bentuk nilai norma yang ada. Dari nilai norma yang diperoleh tersebut, kemudian peneliti memasukkannya ke dalam kategori kesiapan sekolah untuk menentukan siap atau tidaknya anak mengikuti pembelajaran di sekolah dasar. Ada 3 kategori kesiapan sekolah yang tercantum dalam NST yaitu

belum siap dengan nilai norma 70 ≤ X< 85, ragu-ragu dengan nilai norma 85


(68)

Ada 10 subtes yang mengukur 10 aspek kesiapan sekolah dalam alat tes NST, yaitu:

1. Subtes I : pengamatan dan daya membedakan 2. Subtes II : motorik halus

3. Subtes III : pengertian mengenai ukuran, jumlah dan perbandingan 4. Subtes IV : ketajaman penglihatan

5. Subtes V : pengamatan kritis 6. Subtes VI : konsentrasi

7. Subtes VII : daya ingat anak

8. Subtes VIII : pengertian objek dan penilaian situasi 9. Subtes IX : menguraikan kembali sebuah cerita 10. Subtes X : menggambar orang

F. Metode Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan kesiapan antara anak usia prasekolah yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Untuk menguji hal tersebut, maka digunakan analisis independent sample t-test pada hasil pengukuran.


(69)

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di TK Bambini Montessori School sebagai sampel subjek Montessori dan TK Tarakanita Bumijo sebagai sampel subjek konvensional. TK Bambini Montessori School terletak Jl. AM Sangaji 68-B Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta 55233. Program di TK Bambini Montessori School dikembangkan sesuai dengan kesiapan masing-masing anak untuk mempelajari sesuatu. Aktivitas pembelajaran lebih banyak dilakukan dengan tugas-tugas praktis dibannding aktivitas mendengarkan dan baca tulis. Kurikulum pembelajaran di TK Bambini Montessori School memuat kegiatan practical life erxercise, sensorial education, language, mathematics, cultural studies, dan art, music andcreativity.

Sedangkan TK Tarakanita Bumijo merupakan TK miliki Yayasan Tarakanita yang dikelola oleh Suster CB dari kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus. TK Tarakanita terletak di Jl. Bumijo Lor, Sindunegaran, Bumijo, Jetis, Yogyakarta. Selain pembelajaran di dalam kelas, TK Tarakanita Bumijo kegiatan pembelajaran luar sekolah seperti kunjungan ke pabrik roti dan desa wisata setiap tahunnya. Murid dalam setiap kelas rata-rata berjumlah 25 anak dengan 1 guru kelas. Keseluruhan jumlah guru di TK Tarakanita Bumijo adalah 14 orang dengan 3 orang karyawan.


(70)

B. Pelaksanaan Penelitian

Proses pengambilan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah pengambilan data untuk sekolah Montessori, sedangkan yang kedua adalah pengambilan data untuk sekolah konvensional. Untuk mendapatkan data kesiapan sekolah anak dari sekolah Montessori, peneliti menggunakan data tes NST yang telah diambil pada tanggal 15 dan 22 Februari 2013 di TK Bambini Montessori School. Data tersebut diperoleh dari tim dosen yang diminta untuk melakukan pemberian tes kesiapan sekolah di TK tersebut. Sementara untuk pengambilan data dari sekolah konvensional dilaksanakan pada tanggal 18 dan 20 Juni 2013 di TK Tarakanita Bumijo sebagai sampel dari sekolah yang menerapkan model pembelajaran konvensional dalam kegiatan belajar mengajar. Tes NST diberikan kepada siswa kelas besar (TK B) dari masing-masing sekolah secara klasikal.

C. Deskripsi Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak siswa TK B yang akan memamsuki Sekolah Dasar (SD). Mereka berada pada rentang usia 5 – 7 tahun, yakni usia prasekolah. Subjek terbagi dalam dua kelompok subjek sesuai dengan model pembelajarannya, yaitu kelompok Montessori dan kelompok konvensional dengan persentase sebagai berikut:


(71)

Tabel 3

Deskripsi Subjek Penelitian

Model Pembelajaran Jumlah Subjek Persentase (%)

Montessori 50 45,45

Konvensional 60 54,55

Jumlah 110 100

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa subjek dari kelompok Montessori sebanyak 50 anak (45,45%) dan subjek kelompok konvensional sebanyak 60 anak (54,55%). Perbedaan jumlah subjek dari masing-masing kelompok terjadi karena jumlah siswa dari masing-masing sekolah berbeda. Perbedaan jumlah tersebut dipertahankan oleh peneliti dengan asumsi bahwa perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan.

D. Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan data penelitian dengan menggunakan alat ukur NST diperoleh skor terendah sebesar 906 dan skor tertinggi sebesar 1091 untuk kelompok subjek Montessori, sedangkan kelompok subjek konvensional memperoleh skor terendah sebesar 926 dan skor tertinggi sebesar 1109. Nilai mean untuk masing-masing kelompok subjek adalah sebesar 1018,08 untuk Montessori dan 1038,87 untuk konvensional. Data penelitian ini memiliki standar deviasi untuk kelompok Montessori sebesar 41,97 sedangkan untuk kelompok konvensional sebesar 34,187. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 110 anak yang terdiri dari 50 anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dan 60 anak yang mengikuti model pembelajaran


(72)

konvensional. Deskripsi data penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4

Diskripsi Data Penelitian

Xmax Xmin Mean SD N

Montessori 1091 906 1018,08 41,97 50

Konvensional 1109 926 1038,87 34,187 60

E. Uji Asumsi Analisis Data 1. Uji Normalitas

Uji normalitas dalam sebuah penelitian bertujuan untuk melihat apakah data terdistribusi dengan normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov Smirnov dengan bantuan program SPSS 16.0. Penarikan kesimpulan uji normalitas didasarkan pada nilai probabilitas (p) yang diperoleh. Program tersebut menggunakan taraf signifikansi (p) sebesar 0,05. Data dikatakan normal apabila nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) dan dikatakan tidak normal apabila nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05). Hasil dari uji normalitas data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:


(1)

UJI NORMALITAS

Tests of Normality

Model Pembelajaran

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Kesiapan

Sekolah

Montessori .091 50 .200* .971 50 .263 Konvensional .086 60 .200* .976 60 .277 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

UJI HOMOGENITAS

Levene's Test for Equality of Variances

F Sig.

Kesiapan Sekolah Equal variances assumed 2.123 .148 Equal variances not


(2)

LAMPIRAN 3

UJI HIPOTESIS


(3)

UJI HIPOTESIS

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Kesiapan Sekolah Equal variances

assumed 2.123 .148 -2.863 108 .005 -20.787 7.260 -35.178 -6.395

Equal variances

not assumed -2.810 94.239 .006 -20.787 7.396 -35.472 -6.101

Group Statistics

Model

Pembelajaran N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kesiapan Sekolah Montessori 50 1018.08 41.970 5.935


(4)

LAMPIRAN 4

SURAT KETERANGAN

PENELITIAN


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PERBEDAAN KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR PADA ANAK YANG MENGIKUTI PLAYGROUP DENGAN ANAK YANG TIDAK MENGIKUTI PLAYGROUP

0 9 15

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK PRASEKOLAH ANTARA YANG MENGIKUTI PAUD DAN Perbedaan Perkembangan Motorik Halus Anak Prasekolah Antara Yang Mengikuti Paud Dan Tidak Mengikuti Paud Di Desa Kalikotes Kecamatan Kalikotes Klaten.

0 6 19

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK PRASEKOLAH ANTARA YANG MENGIKUTI PAUD DAN Perbedaan Perkembangan Motorik Halus Anak Prasekolah Antara Yang Mengikuti Paud Dan Tidak Mengikuti Paud Di Desa Kalikotes Kecamatan Kalikotes Klaten.

0 2 15

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK, SOSIAL DAN BAHASA ANAK TODDLER ANTARA YANG MENGIKUTI PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK, SOSIAL DAN BAHASA ANAK TODDLER ANTARA YANG MENGIKUTI PAUD DAN TIDAK MENGIKUTI PAUD DI KELURAHAN NGLOROG SRAGEN.

0 1 15

STUDI KOMPARASI KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR (SD) PADA ANAK–ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TAMAN Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah Dasar (SD) Pada Anak–Anak Yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Program Full Day Ditinjau D

0 1 15

STUDI KOMPARASI KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR PADA ANAK-ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TAMAN Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak-Anak Yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak Program Fullday Dan Reguler.

0 0 16

STUDI KOMPARASI KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR PADA ANAK-ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TAMAN Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak-Anak Yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak Program Fullday Dan Reguler.

0 0 16

65 MODEL PEMBELAJARAN

1 8 21

Perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional

6 15 103

PERBEDAAN PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA PRA SEKOLAH YANG MENGIKUTI PAUD DAN TIDAK MENGIKUTI PAUD.

0 0 12