Perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional

(1)

i

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Maharani Dyah Putri Wardani NIM: 099114106

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(2)

ii SKRIPSI

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG

MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN

KONVENSIONAL

Disusun Oleh :

Maharani Dyah Putri Wardani

099114106

Telah disetujui oleh :

Pembimbing


(3)

iii SKRIPSI

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Maharani Dyah Putri Wardani

NIM: 099114106

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 18 Desember 2013 dan dinyatakan mememnuhi syarat

Susunan Panitia Penguji :

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji I : Ratri Sunar Astuti, M.Si. I. ……… Penguji II : Sylvia Carolina MYM., M.Si. II. ………... Penguji III : MM. Nimas Eki S., M.Si., Psi. III. ………..

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(4)

iv

Saat aku tersakiti, ajari aku memberi hati yang mengampuni

Saat aku dihakimi, ajari aku memberi hati yang mengasihi

Dan saat sulit untukku memahami dan mengerti ajar aku selalu

y

M

p …

rencanaMu

There’s always a way…and we’ll find the way,

just believe and try…don’t ever give up


(5)

-ran-v

Persembahan dari hati, untuk kalian yang teristimewa:

Tuhan Yesus, terimakasih untuk mengajariku kasih yang selalu

menguatkan

Untuk yang aku tahu, aku tak kan pernah kehilangan…..ayah

dan ibu, terimakasih karena kalian selalu ada saat yang lain bisa

saja datang dan pergi

Juga buat mas…adek…makasih karena menjagaku dan

menghiburku dengan cara kalian


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan dalam daftar pustaka, sebagaiman layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,

Penulis


(7)

vii

PERBEDAAN KESIAPAN SEKOLAH ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN MONTESSORI DENGAN

ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL

Maharani Dyah Putri Wardani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan model pembelajaran konvensional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia prasekolah sejumlah 50 siswa dari TK Bambini Montessori School sebagai sampel subjek dari kelompok Montessori dan 60 siswa dari TK Tarakanita Bumijo sebagai sampel subjek kelompok konvensional. Hipotesis dalam penelitian ini adalah kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori lebih baik jika dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Data diperoleh dengan menggunakan alat tes NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) kemudian dianalisis menggunakan uji-t. Kesimpulan uji hipotesis ditentukan dengan melihat nilai signifikansi yang diperoleh, sementara untuk melihat mana yang memiliki kesiapan sekolah yang lebih tinggi dilihat dari nilai mean empiris tiap kelompok subjek. Hasil analisis data diperoleh nilai t=2.863 dengan nilai signifikansi sebesar 0,005 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Nilai mean empiris kelompok subjek konvensional sebesar 1038,87 lebih tinggi dari kelompok subjek Montessori sebesar 1018,08. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional lebih baik jika dibandingkan anak yang mengikuti model pembelajaran Montessori.


(8)

viii

DIFFERENCES OF SCHOOL READINESS BETWEEN CHILDREN WHO ATTEND MONTESSORI LEARNING MODELS WITH CHILDREN WHO

ATTEND CONVENTIONAL LEARNING MODELS

Maharani Dyah Putri Wardani ABSTRACT

The purpose of this study is to look at the differences of school readiness between children with Montessori learning models and children with conventional learning models. Subjects in this study were 50 preschool students from Bambini Montessori School kindergarten as sample subjects of Montessori group and 60 students from Tarakanita Bumijo kindergarten as sample subjects conventional group. The hypothesis of this study is school readiness of children who attend Montessori learning models is better than children who attend conventional learning models . The data obtained using NST ( Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test ) and then analyzed using t-test. The conclusion of hypothesis test is determined by looking at the value significance, while to see which one has the higher school readiness seen from the empirical mean value of each group of subjects. The results of the data analysis obtained value t= 2,863 with a significance 0.005 ( p< 0.05 ), which means that there is a differences of school readiness between children who attend Montessori learning models with children who attend conventional learning models. Empirical mean value of conventional group a number of 1038.87 is higher than the group of subjects Montessori at 1018.08. This result suggests that the school readiness of children who attend conventional learning models is better than children who attend Montessori learning models.


(9)

ix

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma

Nama : Maharani Dyah Putri Wardani Nomomr Mahasiswa : 099114106

Demi pengnembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

Perbedaan Kesiapan Sekolah Antara Anak yang Mengikuti Model

Pembelajaran Montessori dengan Anak yang Mengikuti Model

Pembelajaran Konvensional

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin kepada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 19 Februari 2014 Yang menyatakan,


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai

tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena

itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah dan ibu yang tersayang, terima kasih atas doa dan dukungannya. Ayah

terimaksih sudah jadi teman diskusi yang sangat baik…I give my best for you, semoga bisa membanggakan…gereja bareng lagi ya, yah. Ibu terimakasih untuk doanya setiap malam, jadi teman curhat…wonder woman

mah kalah sama ibuku. Sayang kalian yah, buk 

2. Dua jagoan di rumah selain ayah tentunya…mas, adek…makasih yaa udah ngilangin bosen kalau di rumah, walaupun caranya dengan ngebully salah

satu dari kita sih.hehe..

3. Dosen pembimbing, Ibu Ratri yang terhormat. Terima kasih atas bimbingan,

bantuan dan dukungan serta kesabarannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seseorang yang sangat istimewa, terima kasih atas dukungan dan

motivasinya. Terimakasih karena telah kembali, mengajariku tentang kasih

yang terindah dan ketulusan….sungguh kisah yang mendewasakan bareng kamu mbun.

5. Teman-teman cantik dan ganteng yang jadi teman curhat, teman merpus,


(11)

xi

6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi., terima kasih atas segala bentuk

bantuan, dukungan dan semangat yang diberikan selama proses pembuatan

skripsi ini.

7. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan. Terima kasih

telah membantu dan mendukung proses pembuatan skripsi ini.

Penulis mohon maaf apabila masih dalam penulisan skripsi ini masih

terdapat kesalahan dan kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk

banyak pihak.

Yogyakarta, 19 Februari 2014


(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SKEMA ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8


(13)

xiii

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. KESIAPAN SEKOLAH ... 10

1. Definisi Kesiapan Sekolah ... 10

2. Dimensi Kesiapan Sekolah... 10

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Sekolah . 13

B. ANAK USIA PRASEKOLAH ... 17

1. Karakteristik Anak Usia Prasekolah ... 17

2. Perkembangan Anak Usia Prasekolah ... 18

C. MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENDIDIKAN ANAK USIA DINI ... 25

1. Model Pembelajaran Montessori ... 26

2. Model Pembelajaran Konvensional ... 33

3. Perbedaan antara Model Pembelajaran Montessori dan Model Pembelajaran Konvensional ... 36

D. HIPOTESIS ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

B. Variabel Penelitian ... 44

1. Variabel Bebas... 44


(14)

xiv

C. Definisi Operasional ... 44

1. Kesiapan Sekolah ... 44

2. Model Pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini 45

D. Subjek Penelitian ... 46

E. Metode Pengumpulan Data ... 47

F. Metode Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Orientasi Kancah Penelitian ... 49

B. Pelaksanaan Penelitian ... 50

C. Deskripsi Subjek ... 50

D. Deskripsi Data Penelitian ... 51

E. Uji Asumsi Analisis Data ... 52

1. Uji Normalitas ... 52

2. Uji Homogenitas ... 53

F. Uji Hipotesis ... 54

G. AnalisiTambahan ... 55

H. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

1. Bagi Orangtua ... 63

2. Bagi Guru dan Pendidik ... 64


(15)

xv

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tahapan Perkembangan Anak ... 30

Tabel 2 Perbedaan Model Pembelajaran Montessori dan Konvensional ... 37

Tabel 3 Deskripsi Subjek Penelitian ... 51

Tabel 4 Deskripsi Data Penelitian ... 52

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas ... 53

Tabel 6 Hasil Independent Sample T-Test Kesiapan Sekolah ... 54

Tabel 7 Kategorisasi Kesiapan Sekolah ... 56

Tabel 8 Kategorisasi Kesipalan Sekolah Anak yang mengikuti Model Pembelajaran Montessori ... 56

Tabel 9 Kategorisasi Kesipalan Sekolah Anak yang mengikuti Model Pembelajaran Konvensional ... 56


(17)

xvii

DAFTAR SKEMA


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Penelitian ... 72

Lampiran 2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas ... 79

Lampiran 3 Uji Hipotesis ... 81


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia. Banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan

pendidikan sebaik mungkin, mulai dari merencanakan mencapai jenjang

pendidikan setinggi-tingginya hingga pemilihan lembaga pendidikan yang

akan dijalani. Penelitian yang dilakukannya, Ros dan Wu (1996)

menyampaikan bahwa pendidikan memiliki dampak besar terhadap berbagai

peluang kehidupan manusia untuk memperoleh kualitas hidup.

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional di Indonesia, pendidikan

dibagi ke dalam 4 jenjang yakni Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan

Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi

(www.paud.kemdiknas.go.id). Sejalan dengan prespektif psikologi mengenai

rentang kehidupan (life-span prespective) bahwa perkembangan manusia

saling berkaitan dengan tahap perkembangan lainnya (Santrock, 2002),

keberhasilan pendidikan seseorang juga dipengaruhi oleh keberhasilan

pendidikan di tingkat sebelumnya. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1999

oleh Balibang Depdiknas dalam Setiawati (2011) menemukan bahwa

lemahnya pembinaan anak pada usia dini diduga sebagai penyebab tingginya

angka mengulang kelas di awal SD, yakni sebesar 13% di kelas 1 SD dan 8%


(20)

yang menunjukkan bahwa hampir 70% anak putus sekolah pada usia SD

karena mereka belum siap untuk mengikuti pendidikan di SD

(www.okezone.com). Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa

ketidaksiapan sekolah dapat berdampak pada kelanjutan pendidikan seorang

anak di tingkat selanjutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

penting bagi seorang anak untuk memiliki kesiapan sekolah yang memadai

sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar.

Kesiapan sekolah merupakan kesiapan belajar yang memungkinkan

anak untuk dapat mengasimilasi kurikulum serta memenuhi kebutuhan yang

ada di sekolah, meliputi kesiapan fisik, intelektual dan sosial (Kagan, 1990).

Keterampilan yang dibutuhkan anak untuk dapat mengikuti pembelajaran

menurut Wylie (1998) adalah keterampilan menyimak dan mendengarkan,

keterampilan akademik, keterampilan bekerja secara mandiri dan

berkelompok, serta keterampilan berkomunikasi. Salah satu upaya yang dapat

dilakukan untuk dapat mengembangkan kesiapan sekolah anak adalah dengan

mengikutsertakan anak pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sesuai

dengan PP Nomor 17 Tahun 2010 pasal 61 ayat (1), PAUD berfungsi untuk

membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia

dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai

dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki

pendidikan selanjutnya. Halimah dan Kawuryan (2010) menemukan bahwa

anak yang mengikuti pendidikan prasekolah memiliki kesiapan sekolah yang


(21)

PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan

pendidikan menyebutkan bahwa satuan PAUD terbagi menjadi 2 bentuk dan

jenis yakni PAUD jalur formal yang terdiri dari TK, RA atau bentuk lain

yang sederajat serta PAUD jalur non-formal yang terdiri dari KB, TPA, dan

satuan PAUD yang sejenis. Data yang diperoleh dari Direktorat Pembinaan

Pendidikan Anak Usia Dini, estimasi jumlah anak usia 0-6 tahun pada tahun

2013 ini adalah 30,35 juta anak. Target sasaran angka partisipasi kasar (APK)

PAUD sebesar 69,3% yang terdiri dari 19,6% target PAUD formal dan

49,7% target PAUD non-formal dari jumlah anak usia 0-6 tahun di tahun

tersebut. Penyelenggaraan PAUD di Indonesia menerapkan sistem

penyelenggaraan yang holistik dan integratif dengan memperhatikan semua

aspek termasuk aspek kognitif, sosioemosi, spiritualitas, serta kesehatan fisik.

PAUD yang dibahas dalam penelitian ini adalah PAUD formal, yaitu TK.

Ismira Dewi (2008) menyebutkan bahwa kualitas program prasekolah

yang dijalankan ikut berpengaruh pada kesiapan sekolah

(www.kabarindonesia.com). Berbicara mengenai program pendidikan yang

dijalankan tentu berkaitan dengan model pembelajaran yang diterapkan oleh

lembaga prasekolah tersebut. Model pembelajaran merupakan hasil

rancangan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasi

operasional di kelas berdasarkan turunan dari psikologi pendidikan dan teori

belajar yang dijadikan landasan praktik dalam pembelajaran (Suprijono,


(22)

Di Indonesia, model pembelajaran yang sering dijumpai adalah model

pembelajaran konvensional di mana semua murid mengikuti instruksi dari

guru (Chattin-McNichols, 1992). Selain model pembelajaran konvensional,

saat ini di Indonesia juga terdapat TK yang menerapkan model pembelajaran

Montessori. Model pembelajaran Montessori memiliki perbedaan dengan

model pendidikan konvesional atau tradisional. Perbedaan tersebut meliputi

lingkungan fisik, metode pembelajaran, dan sikap kelas (Lopata, 2005).

Dalam kelas Montessori, penataan meja diatur untuk memungkinkan

pembelajaran secara individu dan kelompok kecil dalam rentang lintas usia

sampai tiga tahun, sementara dalam kelas konvensional, penataan meja

diorientasikan untuk instruksi satu arah untuk seluruh kelompok dalam

rentang usia yang sama (Chattin-McNichols, 1992). Di kelas konvensional,

siswa mengikuti tugas yang diarahkan oleh guru (Chattin-McNichols, 1992),

sementara dalam kelas Montessori, siswa lebih banyak menghabiskan waktu

mengerjakan tugas yang dipilih sendiri oleh siswa atau oleh kelompok kecil

(Baines & Snortum, 1973). Guru di kelas Montessori mengembangkan

kedisiplinan dalam diri anak dengan cara membiarkan anak memilih dan

mengatur sendiri aktivitasnya sehingga anak belajar bertanggung jawab

dengan pilihannya, sementara di kelas konvensional guru cenderung

mengarahkan bagaimana anak harus bersikap (Harris & Callender, 1995

dalam Lopata, 2005).

Montessori pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf pendidikan


(23)

Bambini di Roma. Yus (2011) menyampaikan tiga hal yang ditekankan dalam

pendidikan Montessori yaitu pendidikan sendiri, masa peka, dan kebebasan.

Masa peka yang dimiliki anak akan mengarahkan mereka untuk memilih

tugas apa yang siap untuk mereka pelajari (Pickering, 1992). Pendidikan

Montessori mengijinkan anak-anak didiknya untuk memilih kegiatan yang

akan mereka pelajari sesuai dengan munculnya masa peka anak sehingga

guru akan membantu menyediakan fasilitas yang sesuai (Yus, 2011).

Montessori yakin bahwa anak memiliki potensi untuk berkembang secara

mandiri (Yus, 2011). Dalam pendekatan Montessori, guru tidak memberikan

pengarahan langsung dalam pembelajaran, namun mereka menghormati dan

memberikan kesempatan pada anak didiknya untuk berupaya menguasai

suatu keterampilan secara mandiri (Crain, 1992 dalam Lopata, 2005).

Studi – studi yang dilakukan oleh Daux (1995), Dawson (1987), Takaces (1993) dalam Seldin (2002/03) dalam Lopata (2005) menyatakan,

karakteristik penting lainnya dari pendekatan Montessori adalah bahwa

pendekatan ini menghasilkan prestasi akademik yang lebih unggul. Namun,

temuan ini tidak didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lopata

sendiri pada tahun 2005. Lopata (2005) menemukan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara kedua jenis sekolah tersebut. Pada tahun

2012, Lillard membuat penelitian di Virginia, Amerika serikat berkaitan

dengan perkembangan anak serta kesiapan sekolah anak prasekolah pada

program Montessori klasik, program yang dilengkapi Montessori, dan


(24)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesiapan sekolah

pada ketiga jenis sekolah tersebut yang dipengaruhi oleh kedisiplinan

penerapan model Montessori.

Meskipun Lillard telah melakukan penelitian serupa di Amerika

Serikat, di Indonesia sendiri penelitian mengenai kesiapan sekolah berkaitan

dengan model pembelajaran masih belum ditemukan. Ada perbedaan

kebijaksanaan pendidikan antara Negara maju seperti Amerika dan Negara

berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia pendidikannya masih

berorientasi pada prestasi (achievement oriented) yang merupakan salah satu

ciri kebijaksanaan pendidikan di Negara berkembang (Icksan, 1985). Hal

tersebut menyebabkan munculnya tuntutan pencapaian akademik untuk anak

usia prasekolah. Adanya tuntutan dari orangtua agar anaknya bisa baca dan

hitung setelah lulus dari PAUD menyebabkan adanya perubahan orientasi

pengajar PAUD menjadi lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan

kemampuan membaca dan menulis untuk anak didiknya (Setiawati, 2011)

dalam pelaksanaan penyelenggaraan PAUD.

Selain adanya perubahan orientasi pengajar PAUD dengan model

pembelajaran tersebut, penerapan model pembelajaran Montessori di

Indonesia sendiri masih menuai kritik. Seperti yang terjadi pada penelitian

yang dilakukan oleh Susanti (2013) yang menemukan bahwa penerapan

model pembelajaran Montessori di Kelompok Bermain Talenta Kabupaten

Bandung hanya diterapkan dua kali dalam seminggu dengan durasi


(25)

tersebut juga belum tersedia tenaga pengajar yang benar-benar menguasai

model pembelajaran Montessori. Temuan tersebut didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Rithaudin yang menunjukkan bahwa dalam melakukan

adaptasi model Montessori untuk mata pelajaran pendidikan jasmani telah

disesuaikan dengan muatan kurikulum di TK dan SD

(staff.uny.ac.id/sites/default/.../Adaptasi%20metode%20montessori.pdf).

Hasil temuan-temuan di atas mengindikasikan bahwa ada perubahan

penerapan model pembelajaran Montessori maupun orientasi pengajaran

model pembelajaran konvesional yang terjadi di Indonesia jika dibandingkan

dengan yang terjadi di Negara-negara maju seperti Amerika. Berdasarkan

uraian tersebut, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat kembali apakah

terdapat perbedaan kesiapan sekolah pada anak yang mengikuti model

pembelajaran Montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran

konvensional.

B. Rumusan Masalah

Uraian latar belakang diatas menjadi dasar munculnya pertanyaan

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah terdapat

perbedaan kesiapan sekolah pada anak yang bersekolah di TK dengan

program pembelajaran Montessori dengan anak yang bersekolah di TK


(26)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk

mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kesiapan sekolah anak TK dilihat

dari model pembelajaran yang diikutinya.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

hubungan antara model pembelajaran dengan kesiapan sekolah.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan

informasi bagi penelitian-penelitian lain, terutama di ranah psikologi

perkembangan khususnya mengenai kesiapan sekolah.

c. Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat

untuk dunia pendidikan mengenai model pembelajaran bagi anak usia

dini.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Orangtua:

1) Hasil penelitian yang dilakukan ini nantinya diharapkan dapat

menjadi referensi bagi orang tua untuk memilih program

pembelajaran yang sesuai untuk anak mereka.

2) Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu orang

tua dan masyarakat luas untuk memahami pentingnya pendidikan


(27)

b. Bagi Guru dan Pendidik:

1) Bagi para pendidik, penelitian ini diharapkan dapat membantu

memberikan informasi maupun referensi dalam mengembangkan

rencana program pembelajaran yang sesuai bagi anak didiknya.

2) Melalui penelitian ini, guru atau pendidik dapat memperoleh

gambaran mengenai program pembelajaran Montessori dan

konvensional.

c. Bagi Siswa:

1) Siswa yang menjadi subjek penelitian ini dapat mengetahui

seberapa besar kesiapan sekolah mereka.

2) Berdasarkan gambaran kesiapan sekolah yang mereka miliki,

siswa dibantu oleh orangtua dan guru dapat lebih meningkatkan


(28)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesiapan Sekolah

1. Definisi Kesiapan Sekolah

Kagan (1990) mendefinisikan kesiapan sekolah sebagai kesiapan

belajar yang meliputi standar perkembangan fisik, intelektual dan sosial

yang memungkinkan anak untuk dapat memenuhi kebutuhan sekolah

serta untuk mengasimilasi kurikulum yang ada di sekolah. Rafoth, dkk

dalam laporan National Assosiation of School Psychologist

menyampaikan bahwa konsep kesiapan sekolah, biasanya mengacu pada

pencapaian emosional, keterampilan perilaku dan kognitif tertentu yang

diperlukan anak untuk belajar, bekerja dan berfungsi dengan baik di

sekolah. Dalam laporan National Education Goals Panel (2004),

kesiapan sekolah membutuhkan keterampilan anak secara menyeluruh

yaitu keterampilan fisik, kognitif maupun sosioemosi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kesiapan sekolah merupakan kesiapan anak untuk belajar, menerima

informasi, serta beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang meliputi

kesiapan fisik dan psikologis (kognitif dan sosioemosi).

2. Dimensi Kesiapan Sekolah

National Education Goals Panel (2004) menyampaikan, ada lima


(29)

perkembangan motorik, perkembangan sosial dan emosional,

perkembangan bahasa, pendekatan untuk belajar, serta kognitif dan

pengetahuan umum. Kesehatan fisik dan perkembangan motorik

merupakan dimensi yang paling erat kaitannya dengan kesiapan sekolah.

Anak dengan kesehatan dan perkembangan fisik yang baik

memungkinkan mereka untuk dapat memperoleh pengalaman belajar

yang lebih maksimal (National Education Goals Panel, 2004). Mereka

memiliki potensi fisik yang cukup untuk memberikan perhatian penuh

dan terlibat secara aktif di kelas. Pada kasus anak dengan keterbatasan

fisik seperti cacat atau penyakit kronis, mereka menggunakan kekuatan

lain dalam diri mereka untuk keluar dari kesulitan yang membatasi

potensi mereka dalam menerima pengalaman belajar di sekolah (National

Education Goals Panel, 2004).

Anak yang memiliki kesejahteraan pribadi dan dasar emosi yang

stabil akan membuat mereka memiliki pengalaman sekolah yang lebih

positif dan produktif (National Education Goals Panel, 2004). Menurut

Narendra dan Moerhadi (2007), anak dengan keterampilan sosial yang

baik akan membantu mereka untuk membangun interaksi sosial yang

efektif. Kemampuan anak untuk dapat menghargai orang lain, mau

memberi dan menerima dukungan orang lain, serta berhubungan dengan

orang lain tanpa menjadi terlalu penurut atau sombong akan sangat

membantu anak dalam berelasi dengan guru dan bergabung dengan


(30)

2004). Anak yang memiliki rasa percaya diri, tidak takut mengalami

kegagalan, dan rasa ingin tahu yang besar akan membuat anak ingin

mencoba pengalaman baru yang merupakan modal yang baik untuk

memulai sekolah (Narendra & Moerhadi, 2007).

Keterampilan berbahasa akan sangat diperlukan saat anak

memasuki masa sekolah nantinya. Ada dua aspek keterampilan berbahasa

yang diperlukan pada awal bersekolah, yaitu keterampilan untuk

memahami perkataan orang lain dan keterampilan untuk menyampaikan

sesuatu secara verbal yang dapat dipahami oleh orang lain (Narendra dan

Moerhadi, 2007). Melalui bahasa, anak dapat saling bertukar cerita dan

pengalaman dengan teman sekolah atau guru mereka dan juga menjadi

dasar untuk belajar membaca dan menulis (Na tion Education Goals

Panel, 2004).

Setiap anak memiliki caranya masing-masing untuk belajar.

National Education Goals Panel (2004) menyebutkan, ada anak yang

lebih senang untuk mempelajari hal-hal baru dan kurang tekun pada satu

tugas, tetapi ada pula yang sebaliknya. Hal tersebut juga ikut

mempengaruhi keberhasilan anak di sekolah selain keterampilan

akademik yang mereka miliki. Pada masa sekolah anak-anak akan belajar

bagaimana menganalisis sesuatu, memperhatikan dan mengingat

informasi, serta tentang bagaimana memecahkan suatu masalah

(Narendra & Moerhadi, 2007). Anak juga mulai memiliki gagasan dan


(31)

Kemampuan kognitif serta pengetahuan yang mereka miliki di

tahun-tahun awal masa anak-anak akan membantu mereka untuk siap menerima

informasi baru selama proses belajar di sekolah (National Education

Goals Panel, 2004).

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nijmeegse

Schoolbekwaamheids Test (NST). Alat tes ini terdiri dari sepuluh subtes

dan panduan wawancara untuk guru dan orangtua. Alat tes ini dirasa

sudah cukup lengkap untuk mengukur ketiga aspek maupun dimensi

kesiapan sekolah misalnya kesiapan fisik pada subtes II yang mengukur

motorik halus, kesiapan kognitif pada subtes III yang mengukur

pengertian mengenai ukuran dan jumlah, perkembangan bahasa pada

subtes IX yang mengukur kemampuan menguraikan kembali sebuah

cerita, dan perkembangan sosioemosi yang diukur melalui wawancara

dengan guru dan orangtua tentang bagaimana anak beradaptasi dengan

lingkungan sekolah dan teman sebayanya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Sekolah

Berbicara mengenai kesiapan anak memasuki masa sekolah tentu

saja kita akan menemui banyak hal yang terlibat di dalamnya. Ada

beberapa hal yang menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan anak

untuk bersekolah. Beberapa faktor yang diasosiasikan dengan kesiapan


(32)

a. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi dalam hal ini berkaitan dengan

pendapatan keluarga serta pendidikan dan pekerjaan orangtua. Anak

yang memiliki kemampuan membaca dan kognitif yang lebih baik di

taman kanak-kanak merupakan anak yang memiliki faktor resiko

status sosial ekonomi (rendahnya pendidikan orangtua dan orangtua

tunggal) yang lebih rendah (Janus & Duku, 2007). Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Washbrook dan

Waldfogel (2011) bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan

pendapatan menengah ke bawah memiliki keterlambatan

perkembangan kemampuan kosakata lima bulan di bawah

kemampuan anak yang berasal dari keluarga dengan penghasilan

yang lebih tinggi. Selain itu, anak dari keluarga dengan pendapatan

menengah ke bawah juga cenderung memiliki masalah perilaku di

awal masa sekolah (Washbrook & Waldfogel, 2011).

b. Keluarga

Struktur keluarga juga memiliki kontribusi penting terhadap

kesiapan anak untuk bersekolah. Keutuhan dalam keluarga memiliki

dampak yang terkuat terhadap hiperaktifitas dan kerentanan

bersekolah (Kerr dalam Janus & Duku, 2007). Masih dalam

penelitian yang sama, Janus & Duku (2007) menemukan bahwa

keutuhan keluarga memiliki korelasi yang lebih besar terhadap lima


(33)

Instrument daripada tingkat penghasilan orangtua, kecuali dalam

dimensi keterampilan komunikasi atau bahasa. Yang dimaksud

dengan keutuhan keluarga dalam hal ini berkaitan dengan perceraian

dan orangtua tunggal.

c. Kesehatan

Seperti yang dilaporkan oleh Unicef untuk Indonesia pada

Oktober 2012, kesiapan sekolah melibatkan perkembangan anak

secara menyeluruh. Bukan hanya melibatkan kemampuan intelektual

dan sosial, melainkan juga termasuk status kesehatan dan gizi.

Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa sebuah studi menemukan

adanya korelasi antara keberhasilan pendidikan dengan anak yang

bertubuh pendek (stunting). Sebuah studi yang dilaporkan dalam

California Childcare Health Progra m (2006) menyatakan bahwa

kesehatan fisik dan mental (seperti masalah perilaku) memiliki

korelasi yang kuat dengan fungsi akademis. Anak yang memiliki

kesehatan fisik dan mental yang baik cenderung memiliki

keberhasilan dalam bidang akademis.

Selain ketiga faktor tersebut, presiden NEA, Dennis Van

Roekel yang menyampaikan bahwa mengikutsertakan anak dalam

program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi merupakan

awal yang baik untuk mempersiapkan anak memasuki sekolah.

Karakteristik dari program pendidikan usia dini yang berkualitas


(34)

1. Kurikulum yang dirancang dengan baik untuk meningkatkan

perkembangan kognitif, fisik, sosial, dan emosional anak

2. Terdiri dari kelas-kelas kecil dengan rasio guru yang favorable

3. Guru yang peduli dan terlatih dalam pendidikan dan

perkembangan anak

4. Layanan tambahan seperti ahli perkembangan dan supervisi

kurikulum yang mendukung perkembangan anak

5. Secara aktif melibatkan orangtua dalam meningkatkan hasil

belajar anak secara tepat

6. Program yang mencakup kesehatan dan nutrisi anak serta

kebutuhan keluarga lainnya sebagai bagian dari layanan yang

komperhensif

Berdasarkan dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ada

empat faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah. Keempat faktor

tersebut adalah status sosial ekonomi, keluarga, kesehatan, dan

kualitas program pendidikan usia dini yang diikuti anak. Berbicara

mengenai kualitas program pendidikan usia dini yang diikuti anak,

maka secara tidak langsung kita berbicara kurikulum yang

merupakan bagian dari model pembelajaran yang diterapkan oleh


(35)

B. Anak Usia Prasekolah

1. Karakteristik Anak Usia Prasekolah

Seorang manusia akan mengalami beberapa fase perkembangan

di sepanjang rentang kehidupannya. Salah satu fase yang harus dilewati

adalah fase anak-anak. Santrock (2002) membaginya dalam dua tahap

yaitu masa awal anak-anak serta masa pertengahan dan akhir anak-anak.

Hurlock (1978) mengkatagorikan masa awal anak-anak dimulai dari usia

2 sampai 6 tahun, sementara usia 6-13 tahun dikelompokkan sebagai

masa akhir anak-anak oleh Hurlock. Berdasarkan klasifikasi di atas,

maka anak usia prasekolah termasuk dalam kategori masa awal

anak-anak.

Menurut teori perkambangan yang dikembangkan oleh Piaget

(Monks, dkk, 1987), pada usia tersebut anak memasuki tahap

perkembangan yang disebut dengan tahap perkembangan

pra-operasional. Anak dalam tahap perkembangan ini mulai menunjukkan

adanya perkembangan bahasa dan kemampuan berpikir dalam bentuk

simbolis. Selain itu, anak juga mulai mampu berpikir logis namun masih

mengalami kesulitan dalam memahami sudut pandang orang lain. Freud

(Monks, dkk, 1987) dengan teori psikoanalisanya juga menyampaikan

bahwa anak dalam usia tersebut memasuki fase phalik dimana anak

mulai memahami mengenai identitas gender dan perbedaan jenis

kelamin. Teori psikososial yang dikembangkan oleh Erickson (Santrock,


(36)

rasa bersalah. Pada tahap ini anak mulai memiliki keinginan untuk

mempelajari hal-hal baru di sekitar mereka. Mereka juga mulai tertarik

untuk menghasilkan sesuatu sebagai sebuah prestasi. Apabila pada tahap

ini anak banyak mendapat larangan untuk melakukan sesuatu maka

mereka akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri anak.

2. Perkembangan Anak Usia Prasekolah

a. Aspek-aspek Perkembangan Anak Usia Prasekolah

1) Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik anak pada masa awal anak-anak

mengalami pertumbuhan tinggi badan sebanyak 2,5 inchi dan

berat 5-7 pon setiap tahunnya (Santrock, 2002). Pada masa

prasekolah, Santrock (2002) menyampaikan bahwa batang tubuh

anak akan berkembang semakin panjang sementara bentuk

tubuh mereka semakin kecil. Selain itu, ukuran otak anak akan

mendekati ukuran otak orang dewasa pada usia 5 tahun

(Santrock, 2002). Perbedaan pola perkembangan fisik pada

setiap anak sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, masalah

gangguan fisik, atau masalah emosional (Santrock, 2002).

Menurut Santrock (2002), pada usia 4-5 tahun anak

masih suka melakukan gerakan-gerakan seperti melompat,

berjingkrak, dan berlari. Mereka juga lebih berani untuk

mengambil resiko dalam melakukan gerakan tersebut seperti


(37)

bahwa anak telah memiliki keseimbangan yang cukup baik pada

usia 5 tahun sehingga mereka sudah mampu melakukan

gerakan-gerakan seperti melompat dengan kedua kaki, naik

tangga, bahkan naik sepeda. Koordinasi motorik halus anak usia

prasekolah semakin meningkat dan lebih tepat. Anak usia 4

tahun akan mulai membentuk menara balok dan berusaha

menempatkan setiap balok dengan sempurna (Santrock, 2002).

Pada usia 5 tahun anak mulai memiliki keinginan untuk

membuat bangunan yang lebih kompleks (Santrock, 2002).

Anak juga mampu untuk menggunakan gunting, menggambar

dengan crayon, dan bermain lempar tangkap bola (Rochmah,

2005).

2) Perkembangan Kognitif

Teori perkembangan kognitif yang disampaikan oleh

Piaget menyebutkan bahwa anak usia prasekolah termasuk

dalam kelompok masa perkembangan pra-operasional (Gunarsa,

1987). Pada masa ini, anak mulai menguasai bahasa yang

sistematis, mampu mempergunakan simbol, melakukan imitasi

(meniru), dan mulai memiliki bayangan mental (Monks, dkk,

1987).

Oleh Piaget, pola berpikir anak pada tahap


(38)

a) Egosentrik

Pada masa ini anak cenderung melihat sesuatu dari

perspekttifnya sendiri dan belum mampu untuk mengambil

sudut pandang orang lain. Misalnya, bila anak ditunjukkan

3 deret benda dengan warna berbeda yaitu merah, putih,

biru lalu diminta untuk menyebutkan urutan tersebut dari

sudut pandang orang yang ada diseberangnya maka anak

akan menjawab sesuai dengan urutan dari sudut pandangnya

sendiri.

b) Memusat (centralized)

Anak pada tahap berpikir pra-operasional belum

mampu memusatkan perhatiannya pada dua dimensi

sekaligus. Gunarsa (1987) menyampaikan bahwa ada 3

aspek dalam centralized, yaitu:

i. Menyusun benda sesuai ukuran

Anak sudah mampu untuk melihat hubungan

dua benda dengan ukuran berbeda, tapi belum mampu

menyusun sejumlah benda berdasarkan ukurannya.

Misalnya, anak mampu membedakan tongkat A lebih

pendek dari tongkat B dan tongkat B lebih pendek dari

tongkat C namun belum mampu merangkai ketiga

tongkat tersebut dari yang paling pendek. Hal ini


(39)

perhatian pada satu hubungan saja dan bukan pada

keseluruhan.

ii. Pengelompokan

Piaget membuat suatu percobaan dengan

menunjukkan pada anak 20 kuncup bunga dari kertas,

18 berwarna coklat dan 2 berwarna putih. Ia kemudian

menanyakan kuncup bunga mana yang lebih banyak,

yang berwarna coklat atau yang terbuat dari kertas.

Anak-anak dalam tahap pra-operasional tersebut

kemudian menjawab bunga yang berwarna coklat.

Dengan demikian anak hanya memusatkan

perhatiannya pada satu pengelompokan saja yakni

warna, coklat dan putih; dan mengabaikan

pengelompokan lain yakni bunga dari kertas.

iii. Konservasi

Pada tahap ini, anak belum mampu

mengkonversikan angka atau isi (jumlah). Misalnya,

anak diperlihatkan 2 buah gelas, yang satu lebih

ramping dan tinggi sementara yang lain lebar dan

pendek. Kedua gelas tersebut diisi air dengan jumlah

yang sama. Kepada anak kemudian ditanyakan gelas

manakah yang berisi air lebih banyak. Anak cenderung


(40)

terlihat memiliki permukaan air yang lebih tinggi. Hal

ini menunjukkan bahwa anak hanya tepusat pada satu

dimensi tinggi saja dan bukan pada jumlah atau isinya.

c) Tidak dapat dibalik (irreversible)

Sebagai ilustrasi, seorang anak diberikan sebuah

informasi bahwa A memiliki saudara bernama B. Anak

tersebut kemudian ditanya apakah B memiliki saudara,

maka anak itu akan menjawab tidak. Hal ini menunjukkan

bahwa anak belum mampu memikirkan suatu kejadian dari

arah sebaliknya.

d) Statis

Bila anak diminta untuk menggambar tongkat yang

sedang roboh, maka anak akan menggambar tongkat yang

berdiri tegak kemudian menggambar tongkat yang

berbaring. Pemikiran anak yang seperti ini menunjukkan

bahwa anak hanya memperhatikan situasi A kemudian

situasi B saja dan mengabaikan perpindahan siatuasi A ke

B.

Jika Piaget menggambarkan pemikiran anak sebagai

pemikiran tunggal dalam memahami informasi, Vygotsky

memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan Piaget

mengenai perkembangan kognitif anak. Meskipun


(41)

lingkungan mempengaruhi perkembangan kognitif anak,

namun Vygostky berpendapat bahwa anak akan

memperoleh keterampilan kognitif melalui interaksi sosial.

Anak akan belajar menguasai dan menginternalisasi

pelajaran dengan bantuan dan arahan dari orang dewasa

(Papalia, 2007).

3) Perkembangan Sosioemosional

Teori psikososial yang dikembangkan oleh Erickson

mengelompokan anak usia prasekolah ke dalam tahap

mengembangkan inisiatif versus rasa bersalah (Santrock, 2002).

Inisiatif yang dibentuk oleh anak terkadang tidak sesuai dengan

kehendak orang dewasa sehingga anak harus mampu mengelola

keinginannya (Gunarsa, 1987). Ketidakmampuan anak dalam

mengelola hal tersebut dapat mengembangkan rasa bersalah dan

membuat anak memiliki harga diri yang rendah (Santrock,

2002).

Pada tahap ini, anak mulai mampu mengidentifikasi diri

mereka (Santrock, 2002). Santrock (2002) juga menyampaikan

bahwa anak mulai mengembangkan kata hati mereka sebagai

bentuk pengawasan dan pembimbing diri dalam

mengembangkan insiatif mereka sendiri. Anak mulai paham

bahwa inisiatif yang mereka lakukan dapat menimbulkan


(42)

Pada usia prasekolah, anak mulai meningkatkan relasi

sosial dengan teman sebayanya (Hurlock, 1988). Mereka mulai

bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan teman-temannya

saat bermain sehingga reaksi negatif terhadap teman sebayanya

berkurang (Hurlock, 1988). Pada usia 3-4 tahun anak mulai

telihat bermain dan berinteraksi dengan kelompok teman

sebayanya. Mereka juga mampu menentukan siapa yang akan

dipilih sebagai teman bermainnya. Berkaitan dengan relasi anak

dengan orang dewasa, Hurlock (1988) menyampaikan bahwa

anak juga mulai ingin terlihat mandiri dan lepas dari orangtua,

namun mereka tetap mencari perhatian dan mengharapkan

penerimaan dari dewasa.

4) Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa anak usia prasekolah dalam buku

yang ditulis oleh Andriana (2011) menyebutkan bahwa anak

usia 4-5 tahun memiliki perbendaharaan kata sebanyak

1.500-2.100 kata dan mampu menggunakan 4-8 kata daalm satu

kalimat. Anak mampu membuat cerita dengan dilebih-lebihkan

serta menyebutkan warna dan nama-nama hari maupun bulan.

Pada usia 4 tahun anak sudah mampu membuat analogi seperti

bila es dingin, maka api panas. Di usia 5 tahun anak mampu


(43)

b. Tugas Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Untuk dapat mengetahui apakah seorang anak telah mencapai

perkembangannya dengan baik atau tidak, maka kita dapat

melihatnya melalui tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui

oleh anak. Havighurst (1953) mengelompokkan tugas-tugas

perkembangan anak dalam 2 kelompok yaitu kelompok usia 0-6

tahun dan kelompok usia 6-12 tahun. Berdasarkan klasifikasi

tersebut, anak usia prasekolah masuk dalam kelompok yang pertama

dengan tugas-tugas perkembangan yang meliputi:

1) Berjalan

2) Belajar makan makanan padat

3) Belajar bicara

4) Belajar mengatur pembuangan kotoran tubuh (toileting)

5) Mengenal perbedaan jenis kelamin dan cirri-cirinya

6) Mencapai stabilitas fisiologis

7) Membentuk konsep sederhana mengenai ralitas sosial dan fisik

8) Terlibat secara emosional dengan orang disekitarnya

9) Membedakan benar dan salah dan mengembangkan kata hati

C. Model Pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini

Di dalam dunia pendidikan mengenal istilah model pembelajaran.

Model pembelajaran merupakan hasil rancangan analisis terhadap


(44)

turunan dari psikologi pendidikan dan teori belajar yang dijadikan landasan

praktik dalam pembelajaran (Suprijono, 2009). Dalam program pendidikan

anak usia dini sendiri banyak model pembelajaran yang dikemukakan oleh

para filsuf pendidikan. Pemahaman mengenai model pembelajaran untuk

PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) akan menentukan pemilihan pendekatan

dan metode pembelajarannya di kelas.

Suprijono (2009) mendefinisikan model pembelajaran adalah pola

yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di

kelas, meliputi penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan petunjuk

mengajar bagi guru. Model pembelajaran dapat pula diartikan sebagai

prosedur sistematis dalam pelaksanaan pembelajaran yang meliputi strategi,

metode, teknik, dan pendekatan pembelajaran di kelas (Uno, 2007). Dengan

demikian, model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai pola sistematis

mengenai kurikulum, metode, dan pendekatan pembelajaran yang digunakan

sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dua jenis model

pembelajaran yang di gunakan dalam PAUD yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah model pembelajaran Montessori dan model

pembelajaran konvensional.

1. Model Pembelajaran Montessori

a. Sejarah Montessori

Model pembelajaran Montessori pertama kali diperkenalkan

oleh seorang filsuf pendidikan bernama Maria Montessori. Maria


(45)

tahun 1870-1952 di Italia. Ketertarikan Montessori pada dunia anak

bermula saat ia bekerja di sebuah klinik psikiatri yang khusus

menangani anak berkebutuhan khusus dan gangguan mental. Dari

sini lah kemudian Montessori memiliki pemikiran untuk membantu

anak dengan gangguan mental melalui pendidikan. Ia percaya bahwa

gangguan mental yang terjadi pada anak-anak bukan sekedar

masalah medis semata namun lebih merupakan masalah yang

berkaitan dengan pendagogik. Pemikiran Montessori tersebutlah

yang kemudian memberikan sumbangan besar bagi dunia

pendidikan.

Pada tahun 1907, Montessori kemudian mendirikan sebuah

sekolah khusus bagi anak dengan gangguan mental. Sekolah tersebut

didirikan di daerah kumuh di Roma dengan nama Casai dei Bambini

yang berarti Rumah Anak-anak (Children’s House). Pembelajaran di tempat itu dirancang agar memungkinkan anak didik yang berusia

kurang dari lima tahun melakukan berbagai kegiatan. Sekarang ini,

materi belajar di Ca sai dei Bambini bukan lagi hanya diperuntukkan

untuk anak dengan gangguan mental tetapi juga digunakan untuk

mengukur akurasi diskriminasi sensoris.

b. Karakteristik Montessori

Model pembelajaran Montessori menerapkan pembelajaran

yang lebih menekankan pada masa peka dan kebebasan yang


(46)

masing-masing untuk mempelajari sesuatu sehingga mereka akan memilih

sendiri aktivitas yang akan mereka lakukan di kelas tanpa perlu

diarahkan. Guru cukup menyediakan media atau alat bantu

pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak dan berperan

sebagai observer. Dengan demikian, aktivitas belajar lebih banyak

dilakukan secara individu atau dalam kelompok kecil.

Kelas Montessori dirancang untuk memungkinkan anak

belajar secara individu maupun dalam kelompok kecil sesuai dengan

aktivitas yang dipilihnya masing-masing (Chattin-McNichols, 1992).

Selain itu, Chattin-McNichols (1992) juga menyebutkan bahwa

kelas-kelas Montessori memungkinkan anak belajar dalam kelas

rentang lintas usia hingga tiga tahun. Melalui rancangan kelas yang

seperti ini, diharapkan anak yang usianya lebih tua dapat membantu

anak lain yang usianya lebih muda, dan sebaliknya anak yang lebih

muda dapat belajar dari anak yang usianya lebih tua. Dengan

demikian, kelas Montessori dirancang berdasarkan prinsip kerjasama

antar anak dan bukan persaingan.

Pemberian instruksi maupun penggunaan instrumen

pembelajaran juga memiliki karakteristik tersendiri di kelas

Montessori. Guru tidak memberikan instruksi pada anak melainkan

memfasilitasi anak melakukan aktivitas yang mereka inginkan sesuai

dengan perkembangannya (Yus, 2011). Guru Montessorian tidak


(47)

anak karena dianggap dapat merusak independensi anak dan

membuat anak bergantung pada otoritas di luar dirinya (Crain,

2007). Penggunaan media atau alat pembelajaran di sekolah

Montessori menggunakan alat-alat manipulatif yang telah dirancang

khusus oleh Montessori sendiri (Lopata, 2005). Alat tersebut

dirancang agar memiliki kontrol atas kesalahan sehingga anak dapat

menemukan dan memperbaiki sendiri kesalahannya (Yus, 2011).

Sebagai contoh, pada permainan memasangkan silinder pada

tempatnya dirancang apabila anak salah menempatkan silinder maka

akan ada silinder yang tersisa. Program Montessori tidak

menggunakan buku cetak, lembar kerja siswa, atau ujian-ujian dalam

pembelajarannya (Haines, 1995 dalam Lopata, 2005).

c. Teori Perkembangan Montessori

Montessori mengembangkan sebuah pandangannya sebagai

sebuah teori mengenai perkembangan anak. Menurutnya, anak

memiliki cara mereka sendiri untuk belajar yang muncul dari

dorongan kedewasaan mereka (Montessori, 1964). Teori yang

dikembangkan oleh Montessori memiliki komponen utama berupa

konsep mengenai periode kepekaan atau periode sensitif (Crain,

2007). Yus (2011) mencantumkan sebuah tabel yang diberikan oleh

Montessori sebagai panduan mengenali periode peka yang terbagi


(48)

Tabel 1

Tahapan Perkembangan Anak

Usia

(Tahun)

Perkembangan

1,5 Masa penyerapan total (absorbed mind), perkenalan,

dan pengalaman sensoris/panca indera

1,5 – 3 Perkembangan bahasa

1,5 – 4  Perkembangan dan koordinasi antara mata dan otot-ototnya

 Perhatian pada benda-benda kecil

2 – 4  Perkembangan dan penyempurnaan gerakan-gerakan

 Perhatian yang besar pada hal-hal yang nyata

 Mulai menyadari urutam waktu dan ruang 2,5 – 6 Penyempurnaan penggunaan pancaindra

3 – 6 Peka terhadap pengaruh orang dewasa 3,5 – 4 Mulai mencorat-coret

4 – 4,5 Indra peraba mulai berkembang 4,5 – 5 Mulai tumbuh minat membaca

d. Dasar Pendidikan Montessori

Ada 3 aspek yang menjadi dasar pendidikan Montessori,


(49)

1) Pendidikan Sendiri (Pedosentris)

Montessori beranggapan bahwa anak memiliki potensi

untuk berkembang secara mandiri. Anak memiliki keinginan

untuk belajar, bekerja, sekaligus bersenang-senang yang muncul

dari dalam dirinya sendiri. Keinginan tersebut muncul sebagai

dorongan batin dan bukan sekedar dari rancangan pembelajaran

di sekolah. Mereka akan selalu mencari hal baru yang lebih

menantang untuk dikerjakan. Menurut Montessori, seorang anak

tidak akan mendapatkan pengalaman dan keterampilan dalam

pemecahan masalah apabila anak hanya pasif melihat orang lain

melakukan sesuatu.

2) Masa Peka

Keyakinan Montessori adalah bahwa seorang anak

memiliki masa peka atau sensitif di awal tahun-tahun awal

kehiduapan. Masa peka ialah masa dimana seorang anak siap

mengembangkan potensi yang dimilikinya. Jika masa peka ini

muncul, maka anak harus segera difasilitasi dengan alat

permainan yang sesuai dengan potensi yang akan dikembangkan

oleh anak. Misalnya, saat masa peka anak untuk belajar

membaca muncul, maka guru dapat memberikan bantuan


(50)

3) Kebebasan

Pada pembelajaran Montessori, anak diberikan

kebebasan untuk berpikir, berkarya, dan berlatih sesuka hatinya.

Hal ini berkaitan dengan kemunculan masa peka yang tidak

terduga dan berbeda antara satu anak dengan anak lainnya.

Selain itu, kebebasan ini juga bermaksud agar pendidikan tidak

menjadi suatu hal yang membebani anak. Untuk itu, lingkungan

pembelajaran di sekolah-sekolah Montessori memungkinkan

anak untuk mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi diri

anak didiknya secara bebas sehingga mampu mendukung

perkembangan fisik, mental, dan spiritual anak.

e. Peran Montessori dalam Membangun Kesiapan Sekolah

Kualitas pendidikan anak usia dini merupakan salah satu

faktor yang berpengaruh pada kesiapan sekolah anak. Berdasarkan

uraian di atas terlihat bahwa model pembelajaran Montessori

memiliki beberapa karakteristik program pendidikan usia dini yang

berkualitas tinggi. Kebebesan yang diterapkan dalam pembelajaran

Montessori dianggap mampu mendukung perkembangan anak baik

secara fisik maupun psikologis melalui eksplorasi diri yang

dilakukan anak (Yus, 2011). Pembelajaran Montessori juga sangat

memperhatikan perkembangan anak dalam pembelajarannya,

terutama perkembangan masa peka anak (Yus, 2011). Sebagian


(51)

aktivitas individu dan kelompok kecil (Chattin-McNichols, 1992)

sehingga kelas-kelas Montessori pun terdiri dari kelas kecil dengan

rasio guru dan murid yang besar untuk memungkinkan guru

Montessorian memperhatikan setiap anak. Guru Montessorian

berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi anak untuk belajar

sesuai dengan keinginan yang muncul dari dalam diri anak, sehingga

guru harus dapat memahami kebutuhan setiap anak (Yus, 2011).

Kelas-kelas dalam model pembelajaran Montessori terdiri

atas rentang usia hingga tiga tahun (Chattin-McNichols, 1992).

Rancangan kelas seperti ini diharapkan anak yang lebih dewasa

dapat membantu anak yang lain yang usianya lebih muda. Hal ini

sesuai dengan teori yang disampaikan Vygotsky yang

menyampaikan bahwa perkembangan kognitif anak diperoleh

melalui interaksi sosial, yakni anak akan belajar menguasai dan

menginternalisasi pelajaran dengan bantuan dan arahan dari orang

dewasa.

2. Model Pembelajaran Konvensional

a. Pengertian Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional sering disebut juga model

pembelajaran tradisional yang didominasi oleh metode ceramah.

Metode ceramah adalah suatu bentuk penyajian pembelajaran

dengan menyampaikan informasi secara lisan (Djamarah & Zain,


(52)

dituntut untuk lebih aktif dari pada peserta didiknya. Feire (1999)

mengistilahkan metode seperti ini sebagai ba nking concept of

educstion, yaitu aktifitas pembelajaran yang menekankan pada

pemberian informasi dan bersifat hafalan.

Di dalam pelaksanaannya, metode ceramah ini dapat juga

dikombinasikan dengan metode lain seperti tanya jawab, pemberian

tugas, dan diskusi (Djamarah & Zain, 2010). Rangkaian proses

pembelajaran yang terjadi dalam model pembelajaran ini melibatkan

pemberian informasi dan instruksi dimana guru menjadi pusat

utamanya (Chattin-McNichols, 1992). Berdasarkan uraian di atas,

yang dimaksud dengan model pembelajaran konvensional adalah

model pembelajaran dimana guru berperan sebagai pusat aktivitas

pembelajaran dan siswa sebagai pengikut dan pelaksana.

Dengan demikian, model pembelajaran konvensional adalah

model pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pusat kegiatan

belajar mengajar. Peran murid dalam pembelajaran model ini adalah

sebagai penerima informasi dan pelaksana instruksi sehingga kurang

terlibat aktif meskipun ada kesempatan untuk terlibat secara aktif.

Kegiatannya pun lebih terarah dan klasikal (satu kegiatan untuk

seluruh murid).

b. Karakteristik Pembelajaran Konvensional

Selain guru diposisikan sebagai pemegang peranan utama


(53)

yang dimiliki oleh model pembelajaran ini. Kelas-kelas

pembelajaran konvensional dirancang agar semua siswa dapat

menerima informasi dan mengikuti instruksi serta memusatkan

perhatiannya pada guru (Chattin-McNichols, 1992). Hal ini karena

dalam kelas konvensional, seluruh siswa akan melakukan satu

aktivitas pembelajaran yang sama yang telah ditentukan oleh guru.

Chattin-McNicholes (1992) juga menyebutkan bahwa kelas

konvensional lebih bersifat kompetitif. Adanya penilaian pada

masing-masing siswa membuat mereka berkompetisi satu sama lain.

Aktivitas pembelajaran konvensional telah disusun sesuai

kurikulum pembelajaran yang berlaku. Buku cetak, lembar kerja

siswa, dan pemberian rewa rd-punishment digunakan sebagai materi

atau media pembelajaran dalam kelas konvensional sehingga

pembelajaran terkesan bersifat abstrak dan teoritis (Haines, 1995

dalam Lopata, 2005). Pemberian reward-punishment dimaksudkan

untuk membentuk perilaku disiplin anak.

Pelaksanaan pembelajaran konvensional dalam program

pendidikan usia dini lebih didominasi dengan permainanan dan

diselingi kegiatan akademik dan tugas-tugas (Yus, 2011). Bentuk

pelaksanaan pembelajaran yang disampaikan Yus (2011) akan

dimulai dengan bentuk klasikal yakni memberikan gambaran dan

instruksi mengenai aktivitas yang akan dilakukan saat itu. Kegiatan


(54)

bentuk individu maupun kelompok, namun masih dalam satu

aktivitas yang sama sesuai dengan arahan dari guru. Guru akan

memberikan penilaian terhadap hasil kerja anak sebagai hasil

evaluasi belajar anak.

3. Perbedaan antara Model Pembelajaran Montessori dan Model

Pembelajaran Konvensional

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa ada

perbedaan antara model pembelajaran Montessori dengan model

pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam


(55)

Tabel 2

Perbedaan Model Pembelajaran Montessori dan Konvensional

Montessori Konvensional

Kelas diklasifikasikan dalam

rentang usia berbeda hingga

rentang tiga tahun

Klasifikasi kelas cenderung

dalam rentang usia yang sama

Berorientasi pada siswa Berorientasi pada guru

Siswa bebas memilih aktivitas dan

kelompok belajar yang akan

diikutinya

Siswa mengikuti aktivitas yang

telah dirancang oleh guru

Aktivitas dilakukan secara

individu atau kelompok kecil

sesuai pilihan aktivitas anak

Aktivitas dilakukan oleh seluruh

siswa

Lebih bersifat kooperatif Lebih bersifat kompetitif

Kontrol kesalahan ditemukan dan

dilakukan sendiri oleh anak

Kontrol kesalahan melalui

feedback dari guru

Pembelajaran lebih bersifat

praktis dengan memberikan

kesempatan pada anak untuk

memiliki pengalaman langsung

melalui alat-alat pembelajaran

yang dapat dimainkan sendiri oleh

anak

Pembelajaran lebih bersifat

abstrak dan teoritis melalui


(56)

Montessori Konvensional

Alat permainan dirancang

khusus agar memiliki kontrol

kesalahan sehingga anak dapat

menemukan kesalahannya

sendiri

Permainan dijadikan sebagai

salah satu metode pembelajaran

tanpa memperhatikan kontrol

pada kesalahan

Kesiapan sekolah membutuhkan keterampilan anak secara

menyeluruh, baik keterampilan fisik, kognitif, maupun sosioemosi anak

(National Education Goals Panel, 2004). Untuk dapat memenuhi

keterampilan yang dibutuhkan tersebut, maka perkembangan anak juga

harus optimal. Adanya kebebasan anak untuk memilih aktivitas yang

dilakukan menunjukkan bahwa Montessori memberikan kesempatan

anak untuk mengembangkan inisiatifnya sesuai dengan perkembangan

sosioemosi anak di usia prasekolah yakni tahap inisiatif vs rasa bersalah

(Erickson dalam Gunarsa, 1981). Sementara dalam metode konvensional,

aktivitas anak diarahkan oleh guru sehingga kurang dapat

mengembangkan inisiatif yang dimiliki anak.

Menurut teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh

Piaget, anak usia pra sekolah berada pada tahap perkembangan

pra-operasional dimana anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk

mempresentasikan sesuatu yang tidak ada (Crain, 2007). Tahap


(57)

Montessori dengan menghadirkan alat-alat atau materi-materi

pembelajaran yang bersifat praktis dimana anak dapat memanipulasi,

yaitu menyentuh, menggerakkan, memindah dan mengubah alat tersebut

sehingga menghadirkan pengalaman belajar langsung pada anak. Dengan

mendapat pengalaman belajar langsung dan dikerjakan sendiri oleh anak,

anak bisa memperoleh makna dari aktivitas yang dilakukan sehingga

memperoleh pemahaman tentang apa yang dipelajari. Sementara pada

pembelajaran konvensional, media atau alat pembelajarannya masih

banyak yang berbentuk paper and pencil sehingga terkesan abstrak bagi

anak karena harus membayangkan sendiri kejadian nyatanya dan

akhirnya sulit bagi anak untuk memahami materi pembelajaran tersebut.

Alat pembelajaran di Montessori dirancang agar memiliki kontrol

atas kesalahan sehingga anak dapat menemukan dan memperbaiki sendiri

kesalahannya (Yus, 2011). Untuk dapat memperbaiki kesalahannya, anak

harus dapat memahami bagaimana seharusnya alat tersebut berfungsi.

Melalui alat yang dirancang seperti ini, anak belajar bagaimana

mengidentifikasi suatu masalah dan mencari solusi yang tepat serta

mengembangkan pemahaman anak mengenai lingkungan disekitarnya.

Hal ini akan membantu anak dalam mencapai tugas perkembangan

tentang mengerti mengenai konsep realita fisik dan sosial (Havighurst,

1953). Sementara dalam pembelajaran konvensional yang diterapkan di

TK, kesempatan untuk melakukan eksplorasi langsung pada suatu materi


(58)

dan bukan anak sendiri sehingga mereka kurang dapat mengidentifikasi

kesalahannya dan cenderung memerlukan bantuan orang lain juga untuk

bisa menemukan solusi yang tepat. Model pemebelajaran yang seperti ini

cenderung akan lebih mengembangkan rasa bersalah dalam diri anak

karena dievaluasi secara terus menerus diabndingkan mengembangkan

inisitifnya.

Untuk mendukung perkembangan anak dalam berinteraksi dengan

orang lain, racangan kelas Montessori yang menerapkan kelas antar

rentang usia hingga tiga tahun (Chattin-McNichols, 1992)

memungkinkan anak mengembangkan kemampuannya berinteraksi

secara lebih luas. Anak tidak hanya berinteraksi dengan teman sebaya

saja seperti yang terjadi pada kelas konvensional, tetapi juga berinteraksi

dengan teman yang usianya lebih tua atau lebih muda. Kebebasan yang

diberikan pada anak untuk memilih aktivitasnya sendiri yang diterapkan

di Montessori (Crain, 2007) juga akan lebih melatih mereka untuk

berinteraksi dengan orang dewasa (dalam hal ini guru) jika dibandingkan

dengan pembelajaran konvensional karena anak yang mendapatkan

pembelajaran Montessori terbiasa untuk menerima dan menyampaikan

informasi kepada orang lain.

Montessori juga memliki beberapa karakteristik program

pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi. Salah satu karakteristiknya

adalah terdiri dari kelas kecil yang juga diterapkan di kelas-kelas


(59)

memungkinkan anak untuk melakukan aktivitas yang berbeda, maka

rasio guru dan murid pun tidak boleh terlalu besar. Rasio guru dan murid

yang tidak terlalu besar seperti ini juga menjadi karakteristik lain dari

program pendidikan usia dini yang berkualitas tinggi. Guru-guru

Montessori juga dituntut untuk dapat memahami kebutuhan dan

perkembangan anak agar dapat memfasilitasi keinginan belajar anak

secara tepat (Yus, 2011), yang juga merupakan karakteristik lain dari

program pendidikan usia dini berkualitas tinggi. Program pendidikan usia

dini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah

anak. Laporan NEA yang ditulis oleh Roekel menyampaikan bahwa

mengikutsertakan anak dalam program pendidikan usia dini yang

berkualitas tinggi merupakan langkah awal yang baik dalam

mempersiapkan anak memasuki sekolah.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran Montessori lebih banyak memberikan kesempatan kepada

anak untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan anak untuk

memasuki SD (Sekolah Dasar) sesuai dengan dimensi-dimensi kesiapan

sekolah dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Untuk itu,

penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran Montessori dapat

mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai

kesiapan sekolah secara lebih optimal dibandingkan model pembelajaran


(60)

D. Hipotesis

Kesiapan sekolah anak yang mengikuti model pembelajaran

Montessori lebih baik jika dibandingkan dengan anak yang mengikuti model


(61)

Model Pembelajaran Prasekolah

Konvensional

 Aktivitas diarahkan guru sehingga inisiatif kurang berkembang

 Alat pembelajaran masih menggunakan buku, gambar, dan lembar tugas sehingga lebih bersifat abstrak dan sulit dipahami anak

 Terdiri dari kelas-kelas besar sehingga guru sulit untuk fokus pada perkembangan tiap anak

 Kelas terdiri dari rentang usia yang relatif sama sehingga interaksi sosial anak terbatas pada teman sebaya

Montessori

 Mengembangkan inisiatif anak melalui penerapan kebebasan

 Alat pembelajaran

manipulatif dan lebih bersifat praktis sehingga mudah dipahami anak

 Terdiri dari kelas-kelas kecil sehingga guru lebih fokus pada perkembangan tiap anak

 Kelas rentang lintas usia melatih anak untuk berinteraksi sosial secara lebih luas serta anak mampu menginternalisasi pelajaran dengan bantuan dari anak yang usianya lebih dewasa

Kualitas Program Lebih Rendah Kualitas Program Tinggi

Kesiapan Sekolah Rendah Kesiapan Sekolah Tinggi

 Anak kurang berinisiatif

 Anak kurang terbiasa untuk mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusi

 Dalam berkomunikasi dan bahasa kurang terlatih

 Interaksi anak terbatas

 Kurang menguasai dan menginternalisasi pelajaran

 Anak lebih berinisiatif

 Anak terbiasa untuk mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusi

 Dalam berkomunikasi dan bahasa lebih terlatih

 Interaksi anak lebih luas

 Lebih menguasai dan menginternalisasi pelajaran


(62)

44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif komparasi.

Penelitian komparasi adalah penelitian yang bertujuan untuk membandingkan

satu atau lebih variabel pada dua atau lebih populasi sampel atau waktu yang

berbeda (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini, peneliti ingin membandingkan

satu variable yaitu kesiapan sekolah pada dua populasi sampel yaitu siswa

Montessori dan konvensional.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kesiapan sekolah.

2. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran

untuk pendidikan anak usia dini.

C. Definisi Operasional

1. Kesiapan Sekolah (School Readinees)

Kesiapan sekolah dapat didefinisikan sebagai kesiapan sekolah

merupakan kesiapan anak untuk belajar, menerima informasi, serta


(63)

psikologis (kognitif dan sosioemosi). Kesiapan sekolah diukur

menggunakan alat ukur NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test)

yang mengukur ketiga aspek tersebut. Semakin tinggi skor yang

diperoleh, maka semakin baik kesiapan sekolah yang dimiliki anak.

2. Model Pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini

Model pembelajaran pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah

prosedur pelaksanaan pembelajaran untuk PAUD yang merujuk pada

karekteristik pembelajaran tertentu. Model pembelajaran PAUD dalam

penelitian ini merujuk pada dua karakteristik pembelajaran, yaitu:

a. Model Pembelajaran Montessori

Prosedur pelaksanaan pembelajaran Montessori memiliki

karakteristik yaitu menekankan pada kebebasan anak untuk memilih

aktivitas belajar yang diinginkan sesuai dengan masa peka yang

muncul pada diri anak, dimana anak menjadi pusat pembelajaran dan

guru sebagai fasilitator. Model pembelajaran ini diterapkan di

sekolah-sekolah yang berbasis Montessori.

b. Model Pembelajaran Konvensional

Prosedur pelaksanaan pembelajaran konvensional memiliki

karakteristik yakni menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran

dan kegiatan pembelajaran dilakukan secara klasikal (semua siswa


(64)

D. Subjek Penelitian

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara klaster sampling

(cluster sampling). Teknik sampling semacam ini dilakukan dengan cara

mengambil kelompok subjek secara acak dan bukan pada individu subjek

tersebut (Azwar, 2009). Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia

prasekolah yang mengikuti pendidikan di TK (Taman Kanak-Kanak) B yang

akan memasuki SD (Sekolah Dasar). Subjek berasal dari TK yang

menerapkan model pembelajaran Montessori dan TK yang menerapkan

model pembelajaran konvensional sebagai program pendidikan.

TK Bambini Montessori School, Yogyakarta dipilih sebagai tempat

pengambilan data untuk kelompok subjek I karena TK ini merupakan TK

satu-satunya di Yogyakarta yang menerapkan model pembelajaran

Montessori. Dilihat dari tingginya biaya pendidikan di TK tersebut, dapat

disimpulkan bahwa anak yang bersekolah di sana berasal dari keluarga

dengan status sosial ekonomi menengah ke atas. Karena status sosial ekonomi

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah, maka

untuk memperoleh data dari kelompok subjek II diambil dari TK Tarakanita

Bumijo. TK Tarakanita Bumijo dipilih oleh peneliti sebagai tempat penelitian

karena TK tersebut menerapkan model pembelajaran konvensional. Hal

tersebut terlihat dari hasil observasi yang dilakukan di TK tersebut.

Kelas-kelas di TK Tarakanita Bumijo terdiri dari Kelas-kelas-Kelas-kelas besar dengan rasio

guru-murid sebesar 1:25. Aktivitas yang dilakukan dalam proses


(65)

Penataan meja di TK Tarakanita juga diatur untuk memungkinkan siswa agar

dapat menerima satu instruksi dari guru. Hal tersebut merupa beberapa

karakteristik dari sekolah dengan model pembelajaran konvensional.

E. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan alat ukur psikologi. Alat ukur yang digunakan adalah alat tes

NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test). NST merupakan sebuah alat tes

psikologi yang digunakan untuk mengukur kesiapan sekolah anak usia

prasekolah yang akan masuk SD. Alat tes NST memiliki nilai validitas atara

0,22 sampai 0,51 dengan nilai reliabilitas sebesar 0,829 (Halimah &

Kawuryan, 2010). Tes ini disajikan kepada seluruh subjek. Subjek dibagi ke

dalam beberapa kelompok kemudian disajikan tes NST secara klasikal.

Subjek diminta untuk mengerjakan kesepuluh subtes yang ada dalam tes NST

dengan panduan dari tester. Tester akan memberikan instruksi sesuai dengan

masing-masing subtes, kemuan subjek mengerjakan pada lembar jawab yang

diberikan. Hasil tes yang berupa skor mentah kemudian diubah kedalam

bentuk nilai norma yang ada. Dari nilai norma yang diperoleh tersebut,

kemudian peneliti memasukkannya ke dalam kategori kesiapan sekolah untuk

menentukan siap atau tidaknya anak mengikuti pembelajaran di sekolah

dasar. Ada 3 kategori kesiapan sekolah yang tercantum dalam NST yaitu

belum siap dengan nilai norma 70 ≤ X< 85, ragu-ragu dengan nilai norma 85


(66)

Ada 10 subtes yang mengukur 10 aspek kesiapan sekolah dalam alat

tes NST, yaitu:

1. Subtes I : pengamatan dan daya membedakan

2. Subtes II : motorik halus

3. Subtes III : pengertian mengenai ukuran, jumlah dan perbandingan

4. Subtes IV : ketajaman penglihatan

5. Subtes V : pengamatan kritis

6. Subtes VI : konsentrasi

7. Subtes VII : daya ingat anak

8. Subtes VIII : pengertian objek dan penilaian situasi

9. Subtes IX : menguraikan kembali sebuah cerita

10. Subtes X : menggambar orang

F. Metode Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan kesiapan

antara anak usia prasekolah yang mengikuti model pembelajaran Montessori

dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Untuk

menguji hal tersebut, maka digunakan analisis independent sample t-test pada


(67)

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di TK Bambini Montessori School sebagai

sampel subjek Montessori dan TK Tarakanita Bumijo sebagai sampel subjek

konvensional. TK Bambini Montessori School terletak Jl. AM Sangaji 68-B

Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta 55233. Program di TK Bambini

Montessori School dikembangkan sesuai dengan kesiapan masing-masing

anak untuk mempelajari sesuatu. Aktivitas pembelajaran lebih banyak

dilakukan dengan tugas-tugas praktis dibannding aktivitas mendengarkan dan

baca tulis. Kurikulum pembelajaran di TK Bambini Montessori School

memuat kegiatan practical life erxercise, sensorial education, language,

mathematics, cultural studies, dan art, music andcreativity.

Sedangkan TK Tarakanita Bumijo merupakan TK miliki Yayasan

Tarakanita yang dikelola oleh Suster CB dari kongregasi Suster-Suster Cinta

Kasih Santo Carolus Borromeus. TK Tarakanita terletak di Jl. Bumijo Lor,

Sindunegaran, Bumijo, Jetis, Yogyakarta. Selain pembelajaran di dalam

kelas, TK Tarakanita Bumijo kegiatan pembelajaran luar sekolah seperti

kunjungan ke pabrik roti dan desa wisata setiap tahunnya. Murid dalam setiap

kelas rata-rata berjumlah 25 anak dengan 1 guru kelas. Keseluruhan jumlah


(68)

B. Pelaksanaan Penelitian

Proses pengambilan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua.

Yang pertama adalah pengambilan data untuk sekolah Montessori, sedangkan

yang kedua adalah pengambilan data untuk sekolah konvensional. Untuk

mendapatkan data kesiapan sekolah anak dari sekolah Montessori, peneliti

menggunakan data tes NST yang telah diambil pada tanggal 15 dan 22

Februari 2013 di TK Bambini Montessori School. Data tersebut diperoleh

dari tim dosen yang diminta untuk melakukan pemberian tes kesiapan sekolah

di TK tersebut. Sementara untuk pengambilan data dari sekolah konvensional

dilaksanakan pada tanggal 18 dan 20 Juni 2013 di TK Tarakanita Bumijo

sebagai sampel dari sekolah yang menerapkan model pembelajaran

konvensional dalam kegiatan belajar mengajar. Tes NST diberikan kepada

siswa kelas besar (TK B) dari masing-masing sekolah secara klasikal.

C. Deskripsi Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak siswa TK B yang akan

memamsuki Sekolah Dasar (SD). Mereka berada pada rentang usia 5 – 7 tahun, yakni usia prasekolah. Subjek terbagi dalam dua kelompok subjek

sesuai dengan model pembelajarannya, yaitu kelompok Montessori dan


(69)

Tabel 3

Deskripsi Subjek Penelitian

Model Pembelajaran Jumlah Subjek Persentase (%)

Montessori 50 45,45

Konvensional 60 54,55

Jumlah 110 100

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa subjek dari kelompok

Montessori sebanyak 50 anak (45,45%) dan subjek kelompok konvensional

sebanyak 60 anak (54,55%). Perbedaan jumlah subjek dari masing-masing

kelompok terjadi karena jumlah siswa dari masing-masing sekolah berbeda.

Perbedaan jumlah tersebut dipertahankan oleh peneliti dengan asumsi bahwa

perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan.

D. Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan data penelitian dengan menggunakan alat ukur NST

diperoleh skor terendah sebesar 906 dan skor tertinggi sebesar 1091 untuk

kelompok subjek Montessori, sedangkan kelompok subjek konvensional

memperoleh skor terendah sebesar 926 dan skor tertinggi sebesar 1109. Nilai

mean untuk masing-masing kelompok subjek adalah sebesar 1018,08 untuk

Montessori dan 1038,87 untuk konvensional. Data penelitian ini memiliki

standar deviasi untuk kelompok Montessori sebesar 41,97 sedangkan untuk

kelompok konvensional sebesar 34,187. Subjek dalam penelitian ini

berjumlah 110 anak yang terdiri dari 50 anak yang mengikuti model


(70)

konvensional. Deskripsi data penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 4

Diskripsi Data Penelitian

Xmax Xmin Mean SD N Montessori 1091 906 1018,08 41,97 50 Konvensional 1109 926 1038,87 34,187 60

E. Uji Asumsi Analisis Data

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dalam sebuah penelitian bertujuan untuk melihat

apakah data terdistribusi dengan normal atau tidak. Uji normalitas dalam

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji normalitas

Kolmogorov Smirnov dengan bantuan program SPSS 16.0. Penarikan

kesimpulan uji normalitas didasarkan pada nilai probabilitas (p) yang

diperoleh. Program tersebut menggunakan taraf signifikansi (p) sebesar

0,05. Data dikatakan normal apabila nilai signifikansinya lebih besar dari

0,05 (p > 0,05) dan dikatakan tidak normal apabila nilai signifikansinya

lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05). Hasil dari uji normalitas data pada


(71)

Tabel 5

Hasil Uji Normalitas

Montessori Konvensional Nilai Kolmogorov Smirnov 0,091 0,086 Nilai Signifikansi 2,00 2,00

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai kolmogorov

smirnov dari data kelompok subjek Montessori sebesar 0,091 dengan

nilai signifikansi 2,00, sementara kelompok subjek konvensional

memiliki nilai kolmorov smirnov sebesar 0,086 dengan nilai signifikansi

sebesar 2,00. Kedua data tersebut memiliki nilai signifikansi yang lebih

besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua data memiliki

distribusi normal.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujian untuk melihat apakah kelompok data

dari sebuah penelitian memiliki varian yang sama. Uji homogenitas

dalam penelitian ini menggunakan uji Levene’s (uji F) dengan program

SPSS 16.0. Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka populasi

memiliki varian yang sama, namun apabila signifikansi lebih kecil dari

0,05 maka variannya berbeda. Hasil uji homogenitas dalam penelitian ini

memperoleh nilai signifikansi sebersar 0,148 (p > 0,05), sehingga dapat

disimpulkan bahwa kelompok data dalam penelitian ini memiliki varian


(1)

UJI NORMALITAS

Tests of Normality

Model Pembelajaran

Kolmogorov-Smirnov

a

Shapiro-Wilk

Statistic

df

Sig. Statistic df Sig.

Kesiapan

Sekolah

Montessori

.091

50 .200

*

.971

50 .263

Konvensional

.086

60 .200

*

.976

60 .277

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

UJI HOMOGENITAS

Levene's Test for Equality of

Variances

F

Sig.

Kesiapan Sekolah Equal variances assumed

2.123

.148

Equal variances not

assumed


(2)

LAMPIRAN 3

UJI HIPOTESIS


(3)

UJI HIPOTESIS

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Kesiapan Sekolah Equal variances

assumed 2.123 .148 -2.863 108 .005 -20.787 7.260 -35.178 -6.395

Equal variances

not assumed -2.810 94.239 .006 -20.787 7.396 -35.472 -6.101

Group Statistics

Model

Pembelajaran N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kesiapan Sekolah Montessori 50 1018.08 41.970 5.935


(4)

LAMPIRAN 4

SURAT KETERANGAN

PENELITIAN


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PERBEDAAN KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR PADA ANAK YANG MENGIKUTI PLAYGROUP DENGAN ANAK YANG TIDAK MENGIKUTI PLAYGROUP

0 9 15

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK PRASEKOLAH ANTARA YANG MENGIKUTI PAUD DAN Perbedaan Perkembangan Motorik Halus Anak Prasekolah Antara Yang Mengikuti Paud Dan Tidak Mengikuti Paud Di Desa Kalikotes Kecamatan Kalikotes Klaten.

0 6 19

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK PRASEKOLAH ANTARA YANG MENGIKUTI PAUD DAN Perbedaan Perkembangan Motorik Halus Anak Prasekolah Antara Yang Mengikuti Paud Dan Tidak Mengikuti Paud Di Desa Kalikotes Kecamatan Kalikotes Klaten.

0 2 15

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK, SOSIAL DAN BAHASA ANAK TODDLER ANTARA YANG MENGIKUTI PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK, SOSIAL DAN BAHASA ANAK TODDLER ANTARA YANG MENGIKUTI PAUD DAN TIDAK MENGIKUTI PAUD DI KELURAHAN NGLOROG SRAGEN.

0 1 15

STUDI KOMPARASI KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR (SD) PADA ANAK–ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TAMAN Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah Dasar (SD) Pada Anak–Anak Yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Program Full Day Ditinjau D

0 1 15

STUDI KOMPARASI KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR PADA ANAK-ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TAMAN Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak-Anak Yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak Program Fullday Dan Reguler.

0 0 16

STUDI KOMPARASI KESIAPAN ANAK MEMASUKI SEKOLAH DASAR PADA ANAK-ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TAMAN Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak-Anak Yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak Program Fullday Dan Reguler.

0 0 16

Perbedaan kesiapan sekolah antara anak yang mengikuti model pembelajaran montessori dengan anak yang mengikuti model pembelajaran konvensional.

0 2 105

65 MODEL PEMBELAJARAN

1 8 21

PERBEDAAN PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA PRA SEKOLAH YANG MENGIKUTI PAUD DAN TIDAK MENGIKUTI PAUD.

0 0 12