Pengaruh Organizational Innovative Climate terhadap Innovative Work Behavior Karyawan: Sebuah Studi dalam Meningkatkan Perilaku Inovasi pada Karyawan PT. X.

(1)

1

Behavior Karyawan:

Sebuah Studi dalam Meningkatkan Perilaku Inovasi

pada Karyawan PT. X

Annisa Rizkiayu Leofianti, Marina Sulastiana, Zahrotur R. Hinduan Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran Bandung

Email korespondensi: annisarizkiayu@gmail.com

Asean Economic Community (AEC) adalah integrasi ekonomi yang dijalin antar negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Adanya integrasi ekonomi yang terjalin antar negara- negara di ASEAN membuat batasan birokratis antar negara menjadi semakin menipis. Batasan birokratis yang semakin menipis berdampak pada keterbukaan akses perdagangan diantara negara- negara ASEAN. Akses perdagangan yang semakin terbuka, membuat perusahaan- perusahaan di ASEAN semakin dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas saing dari produk-produk yang dihasilkan, sehingga dapat bersaing pada persaingan pasar ekonomi.Sebagai salah satu negara anggota AEC pemerintah Indonesia juga dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas saing dari produk- produk yang dihasilkan di dalam negeri. Peningkatan kualitas saing dari produk- produk dalam negeri bertujuan untuk menghindari hancurnya sektor- sektor ekonomi lokal akibat meningkatnya jumlah produk- produk asing yang masuk ke Indonesia sebagai dampak dari adanya AEC. Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas persaingan produk, adalah melalui penambahan jenis produk yang dihasilkannya.

Tuntutan peningkatan kualitas saing hasil produk juga dialami oleh PT X. PT.X adalah sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak pada bidang produksi vaksin dan serra. Berkurangnya campur tangan pemerintah pada proses pengelolaan BUMN, membuat PT. X dituntut untuk dapat bersaingan di pasar bebas layaknya perusahaan swasta. Hal ini membuat PT.X dituntut untuk mampu melakukan pembaharuan terhadap produk yang dihasilkannya, agar tidak kalah saing dengan produk- produk asing yang masuk ke Indonesia sebagai salah satu dampak dari adanya AEC.Adanya tuntutan pembaharuan produk yang terus menerus membuat manajemen PT.X merasa perlu meningkatkan innovative work behavior pada karyawannya. Innovative work behavior dirasa perlu ditingkatkan mengingat selama ini karyawan PT.X terbiasa untuk menunggu pesanan produk dari pemerintah alih- alih mencari pangsa pasar secara mandiri seperti saat ini. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini guna membantu manajemen PT. X dalam meningkatkan innovative work behavior pada karyawan.

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perilaku inovasi pada karyawan Perusahaan X dengan menetapkan organizational innovative climate sebagai predictor. Penelitian dilakukan pada 62 orang karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan pada Perusahaan X dengan menggunakan metode survei.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif organizational innovative climate terhadap innovative work behavior pada karyawan. Hasil ini bermakna bahwa semakin positif organizational innovative climate yang dipersepsi oleh karyawan, maka semakin tinggi innovative work behavior yang ditampilkan oleh karyawan. Analisis parsial pada masing- masing dimensi organizational innovative climate menunjukkan bahwa dimensi penghambat inovasi (organizational impedement to innovation) masih


(2)

ditemukan tinggi pada PT. X. Hasil ini menunjukkan bahwa struktur organisasi dan pengaruh politik masih dipersepsi karyawan menghambat munculnya innovative work behavior. Maka berdasarkan hasil tersebut diperlukan perhatian dari manajemen PT. X guna mengurangi hambatan organisasi yang menyebabkan terhambatnya innovative work behavior pada karyawan.

Keywords: Innovative work behavior, organizational innovative climate, organizational impedements to innovation

LATAR BELAKANG

Era globalisasi adalah masa dimana hilangnya batasan birokratis diantara negara-negara di dunia. Pada era ini memungkinkan bagi setiap individu atau organisasi untuk memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan diri kaitannya dengan kemampuan ekonomi. Kesempatan pengembangan diri yang sama dalam hal kemampuan ekonomi menimbulkan adanya kondisi persaingan yang kian tinggi. Kondisi persaingan yang tinggi ini menimbulkan adanya tantangan maupun kesempatan bagi setiap organisasi untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan yang dinamis. Penyesuaian diri dalam hal ini merupakan bentuk pertahanan eksistensi organisasi di pasar persaingan dunia. (Sunarto, 2014). Mulainya era globalisasi salah satunya ditandai dengan munculnya berbagai gerakan integrasi ekonomi antar negara-negara di dunia, salah satunya adalah Asean economic community (AEC).

Asean Economic Community (AEC) adalah integrasi ekonomi yang dijalin antar negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Adanya integrasi ekonomi yang terjalin antar negara- negara di ASEAN membuat batasan birokratis antar negara menjadi semakin menipis. Batasan birokratis yang semakin menipis berdampak pada keterbukaan akses perdagangan diantara negara- negara ASEAN. Akses perdagangan yang semakin terbuka, membuat perusahaan- perusahaan di ASEAN semakin dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas saing dari produk-produk yang dihasilkan, sehingga dapat bersaing pada persaingan pasar ekonomi.Sebagai salah satu negara anggota AEC pemerintah Indonesia juga dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas saing dari produk- produk yang dihasilkan di dalam negeri. Peningkatan kualitas saing dari produk- produk dalam negeri bertujuan untuk menghindari hancurnya sektor- sektor ekonomi lokal akibat meningkatnya jumlah produk- produk asing yang masuk ke Indonesia sebagai dampak


(3)

dari adanya AEC. Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas persaingan produk, adalah melalui penambahan jenis produk yang dihasilkannya.

Tuntutan peningkatan kualitas saing hasil produk juga dialami oleh PT X. PT.X adalah sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak pada bidang produksi vaksin dan serra. Berkurangnya campur tangan pemerintah pada proses pengelolaan BUMN, membuat PT. X dituntut untuk dapat bersaingan di pasar bebas layaknya perusahaan swasta. Hal ini membuat PT.X dituntut untuk mampu melakukan pembaharuan terhadap produk yang dihasilkannya, agar tidak kalah saing dengan produk- produk asing yang masuk ke Indonesia sebagai salah satu dampak dari adanya AEC.

Tuntutan melakukan pembaharuan terhadap produk dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi berupa pembaharuan pada produk yang sudah ada dan melakukan penelitian guna menghasilkan suatu produk baru. Adapun untuk menghasilkan suatu produk baru dapat tercapai melalui pembaharuan terus menerus terhadap ide, proses, produk maupun prosedur baru yang dihasilkan oleh organisasi. Kegiatan pembaharuan ide, proses, produk maupun prosedur baru dapat tercapai melalui perilaku kerja yang ditampilkan oleh anggota organisasi yang dalam konteks perusahaan disebut dengan karyawan. Salah satu perilaku kerja yang memiliki peran dalam melakukan pembaharuan baik dalam bentuk ide, proses, produk maupun prosedur baru adalah perilaku inovasi (inovative work behavior). Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian ini guna membantu manajemen PT. X dalam meningkatkan innovative work behavior pada karyawan.

Innovative work behavior adalah suatu perilaku kerja yang bertujuan untuk menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan hal- hal baru yang bermanfaat bagi perusahaan (West & Farr dalam De Jong & Kemp, 2003). Hal- hal baru yang dimaksud pada konteks innovative work behavior dapat meliputi ide, proses, prosedur maupun produk baru. Innovative work behavior ini dapat tercapai melalui pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki individu guna menghasilkan suatu ide, proses maupun solusi baru (Amabile dalam He, 2013).

West (1997) menambahkan bahwa hanya perusahaan-perusahaan yang terampil berinovasi dan sukses mengeksploitasi ide-ide baru, yang akan mendapatkan keunggulan persaingan di pasar dunia yang berubah-ubah dengan cepat ini dan mereka yang tidak terampil akan ketinggalan. (Zaltman, Duncan dan Holbek dalam Scott & Bruce, 1995) menyatakan bahwa inovasi dalam suatu organisasi adalah proses perubahan yang menghasilkan produk, proses atau prosedur baru bagi organisasi. Oleh karena itu


(4)

innovative work behavior menjadi sebuah komponen perilaku yang penting untuk dimiliki oleh karyawan dalam sebuah perusahaan.

Mc Laughlin (2006) menyebutkan jika innovative work behavior merupakan hasil interaksi antara kemampuan yang dimiliki individu dengan kondisi sistem yang berlaku pada lingkungan individu. Innovative work behavior didasari oleh adanya potensi yang dimiliki oleh individu yang terdiri atas kapasitas intelektual dan kondisi psikologis individu yang berinteraksi dengan kondisi sistem di lingkungan sekitar individu dalam konteks penelitian ini adalah lingkungan kerja. Proses interaksi antara potensi individu dan kondisi sistem di lingkungan kerja yang menentukan kondisi tinggi rendahnya innovative work behavior pada karyawan.

Terdapat perbedaan antara perilaku kreatif dengan innovative work behavior yaitu perilaku kreatif adalah proses menghasilkan sebuah ide, gagasan atau pemikiran baru yang dihasilkan berdasarkan gabungan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya yang dimilikinya (Amabile,et.al, 1996). Sementara innovative work behavior memiliki makna lebih dari sekedar menghasilkan sebuah ide, gagasan atau pemikiran baru, karena melibatkan proses implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada setting pekerjaan (West & Farr dalam De Jong & Kemp, 2003). Maka berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebuah innovative work behavior pasti membutuhkan perilaku kreatif, tetapi tidak semua bentuk kreatifitas yang dihasilkan dalam perilaku tersebut dapat digolongkan sebagai innovative work behavior. Hanya perilaku kreatif yang dapat diwujudkan dalam implementasi kerja saja yang tergolong sebagai innovative work behavior.

Farr dan Ford (dalam De Jong & Hartog, 2010) menyatakan bahwa innovative work behavior adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk mencapai inisiasi dan pengenalan suatu ide, proses, prosedur maupun produk baru yang berguna bagi organisasi dalam konteks penelitian ini adalah perusahaan. Perilaku ini terdiri atas empat dimensi yang merupakan bagian dari innovative work behavior secara keseluruhan. Adapun keempat dimensi tersebut adalah idea exploration, idea generation, idea coalition building atau idea championing dan idea implementation (Klysen & Street, dalam De Jong & Hartog, 2010). Keempat dimensi ini saling bersinergi satu sama lain membentuk suatu keluaran perilaku yang disebut dengan innovative work behavior.

Idea exploration adalah dimensi yang merupakan tahapan awal dari perilaku inovasi (innovative work behavior) dimana karyawan dituntut untuk mampu memahami masalah dan kebutuhan tempat kerja. Melalui pemahaman masalah dan kebutuhan di


(5)

tempat kerja, karyawan akan memunculkan kesempatan untuk mmerubah suatu kondisi yang ada di lingkungan kerja. Pada tahap idea exploration, proses inovasi terjadi ketika karyawan mulai mampu menemukan adanya peluang ide baru (Krueger, 2000). Peluang dapat ditemukan melalui berbagai cara misalnya melalui penemuan adanya keganjilan dan diskontinuitas yang menganggu proses kerja yang ada, perkembangan masalah pada metode kerja yang biasa diterapkan, kegagalan dalam memenuhi tuntutan kerja dan munculnya trend baru yang membawa pengaruh pada proses kerja (Mumford, Baughman, Suppinski & Maher, 1996).

Idea generation adalah tahap kedua dari dimensi innovative work behavior dimana pada tahap ini karyawan mulai mampu mengembangkan suatu ide inovasi melalui proses menciptakan dan menyarankan ide kreatif untuk produk, proses maupun servis baru. Ide inovasi iini muncul berdasarkan hasil penemuan peluang pada tahap sebelumnya yakni pada oppurtunity exploration. Ketika peluang dan informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah berhasil ditemukan, maka idea generation akan muncul (De Jong, 2010).

Idea championing adalah suatu tahapan dalam innovative work behavior, dimana karyawan mulai terdorong untuk mencari koalisi atau dukungan dalam mewujudkan ide baru yang telah dihasilkannya pada tahap idea generation. Menurut Howell, Shea & Higgins (2005) menjadi penting pada tahapan ini, karyawan mampu menjaga antusiasme, persistensi dan kepercayaan diri atas keberhasilan penerapan ide yang dimilikinya. Maka karyawan perlu untuk mencari dan memilih individu yang tepat untuk mendukung implementasi ide baru yang dimiliki. Hal ini disebabkan oleh kerentanan implementasi inovasi terhadap resistensi.

Jones (2004) menyebutkan beberapa penyebab mengapa implementasi ide inovasi rentan terhadap adanya resistensi dari lingkungan. Pertama karena implementasi ide inovasi biasanya disertai dengan adanya tugas- tugas atau penggunaan metode kerja baru. Otomatis ketika ide impelementasi diusulkan, maka penerima ide akan mengekplorasi seberapa jauh implementasi ide tersebut akan memengaruhi posisi dan fungsi kerja mereka. Keenganan untuk menerima perubahan posisi dan fungsi kerja akan menimbulkan adanya resistensi. Kedua individu memiliki kecenderungan umum untuk melihat informasi secara selektif yaitu konsisten dengan pandangan yang sudah ada. Hal ini menunjukkan bahwa ide-ide yang sangat inovatif tidak mendapat prioritas karena berseberangan dengan konsistensi pandangan yang sudah dimiliki. Sumber ketiga adalah preferensi bersama untuk tindakan dan peristiwa yang tidak asing. Individu memiliki kecenderungan untuk


(6)

kembali ke perilaku lama mereka, kecenderungan kembali pada perilaku lama menimbulkan adanya resistensi terhadap implementasi ide inovasi yang sarat menuntut adanya perubahan.

Maka untuk mengurangi adanya resistensi dari lingkungan, menjadi penting bagi karyawan yang memiliki ide inovasi untuk memiliki koalisi yang kuat dalam mewujudkan ide mereka. Pada tahap ideachampioning ini karyawan pemilik ide inovasi akan berusaha membangun koalisi guna mewujudkan ide inovasinya. Champions adalah orang-orang yang berusaha dalam ide-ide kreatif. Mereka adalah individu-individu dalam peran informal yang mendorong ide-ide kreatif di luar hambatan dalam organisasi mereka (Shane, 1994). Idea championing meliputi perilaku yang berhubungan dengan mencari dukungan dan membangun koalisi, seperti membujuk dan mempengaruhi karyawan lain serta mendorong dan bernegosiasi dengan mereka (Zaltman et al, 1973 dalam Amelia, 2014). Tujuannya semata- mata untuk mencari dukungan dari lingkungan agar mengurangi resistensi terhadap implementasi ide inovasi yang dimiliki.

Tahap terakhir dari innovative work behavior adalah dimensi idea implementation. Dimensi ini merupakan tahapan dimana karyawan telah memiliki keberanian untuk menerapkan ide baru yang mereka miliki pada proses kegiatan kerja rutin yang biasa ia lakukan. Pada tahapan ini perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan meliputi pengembangan dan uji coba terhadap ide produk, proses maupun servis baru yang ia tawarkan (De Jong & Hartog, 2010).

Proses uji coba melibatkan pengenalan prosedur, produk, proses maupun servis baru kepada karyawan lain yang proses kerjanya mengalami dampak dari adanya implementasi ide. Tidak hanya sebatas pengenalan tahapan ini juga melibatkan kegiatan pemeriksaan hasil yang ditimbulkan dari adanya implementasi ide baru. Dapat dikatakan pada tahapan ini dilakukan uji coba beserta pembiasaan atas penerapan ide baru yang diajukan. Idea implementation adalah tahapan inovasi untuk mengembangkan, memodifikasi, komersialiasi dan implementasi ide kreatif ke dalam bentuk perilaku kerja.

Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan terdapat beberapa anteseden yang memengaruhi terbentuknya innovative work behavior diantaranya adalah organizational innovative climate (He, 2013; Rui 2013; Nesya, 2014), perceived organizational support (POS) (Kireina, 2014), kualitas interaksi antara karyawan dengan atasan (Scott, Susan & Reginald, 2014), ekspetasi inovasi dari atasan (Scott, Susan & Reginald, 2014), leadership support for inovation (LSI) (Scott, Susan & Reginald, 2014; Issaksen & Akkermans,


(7)

2011), manager role expectation (Scott, Susan & Reginald, 2014); motivasi ekstrinsik (Rui, 2013); cognitive capital (Mc Laughlin, 2006) dan psychological capital (He, 2013).

Pada penelitian ini peneliti menetapkan organizational innovative climate sebagai anteseden dari innovative work behavior yang akan diteliti. Organizational innovative climate adalah salah satu jenis spesifik dari organizational climate yang secara khusus menggambarkan climate inovasi pada suatu organisasi atau dalam konteks penelitian ini adalah perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh organizational innovative climate terhadap innovative work behavior karyawan PT. X.

Climate merupakan faktor penting yang perlu tercipta untuk mendorong timbulnya perilaku inovasi, salah satunya terlihat melalui dukungan organisasi (Amabile, 1988). James, James & Ashe (dalam Isaken & Lauer, 2002) menyebutkan bahwa secara umum berdasarkan lingkup analisisnya, climate terbagi atas dua jenis yakni organizational climate dan psychological climate.

Pyschological climate adalah penilaian kognitif individu terhadap lingkungan nya, dimana dalam memaknai nya individu memanfaatkan nilai- nilai pribadi yang dimilikinya. Ketika penilaian individu disatukan, didasarkan pada keyakinan masing- masing individu yang merasakan penilaian yang sama, maka hasil yang didapat menghasilkan suatu organizational climate. Organizational climate merupakan kondisi dalam lingkungan kerja dan merupakan stimulus yang kemudian berinteraksi dengan karyawan. Interaksi yang terus menerus antara karyawan dengan stimulus yang ada di lingkungan, akan melahirkan suatu persepsi bersama (Locke, 1976).

Organizational climate merupakan sesuatu yang dipersepsi, sebagai pengaruh dari subjektif dari sistem formal, gaya informasi manajer, dan faktor- faktor lingkungan lain yang terdapat pada sikap, keyakinan, nilai dan motivasi dari orang- orang yang bekerja pada sebuah perusahaan tertentu (Litwin & Stringer, 1968). Kallestad (dalam Burns & Machin, 2013) juga menambahkan bahwa organizational climate mengacu pada persepsi karyawan terhadap peraturan, penerapan dan prosedur yang berlaku pada suatu organisasi, sehingga organizational climate merupakan karakteristik-karakteristik tertentu yang secara spesifik membedakan suatu organisasi dengan organisasi lainnya dan mempengaruhi tingkah laku manusia di dalam organisasi tersebut.

Sejumlah penelitian menunjukkan organizational climate yang spesifik mengukur inovasi atau dikenal dengan organizational innovative climate dapat mengarahkan pada perhatian dan aktivitas dari inovasi (Amabile, 1988). Pentingnya dukungan organisasi terhadap inovasi juga akan membantu dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dan


(8)

norma-norma organisasi yang dapat memengaruhi tingkat innovative work behavior karyawan (Yuan & Woodman, 2010).

Organizational innovative climate adalah persepsi dari anggota organisasi terkait dukungan yang diberikan organisasi kepada perilaku kreatif dan inovatif di lingkungan kerja (Amabile at Al, 1996 dalam He, 2013). Tingkat dukungan dan dorongan yang diberikan organisasi terhadap karyawannya untuk mengambil inisiatif dan mengeksplorasi pendekatan-pendekatan inovatif yang diperkirakan dapat mempengaruhi tingkat inovasi dalam organisasi tersebut (Sarros,et.al, 2008). Sarros,et.al, (2008) juga menambahkan bahwa hasil penelitian terhadap organizational innovative climate menunjukkan bahwa variabel ini merupakan faktor penting yang dapat meningkatkan kinerja organisasi. Dukungan perusahaan yang terukur pada variabel organizational innovative climate membuat karyawan terdorong untuk mengeksplorasi berbagai alat dan metode untuk menjalankan tugas-tugas mereka serta mengubah ide-ide kreatif mereka menjadi produk yang inovatif, sehingga mampu meningkatkan kinerja organisasi.

Hasil penelitian yang dilakukan He (2013) pada perusahaan di Cina menunjukkan bahwa semakin kuat organizational innovative climate yang dipersepsi oleh karyawan pada suatu perusahaan, maka semakin aktif karyawan perusahaan tersebut untuk menampilkan perilaku kerja inovasi (innovative work behavior). Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Tsai dan Kao (2004), bahwa semakin kuat organizational innovative climate semakin tinggi perilaku inovasi yang terjadi pada suatu organisasi.

Amabile (dalam He, 2013) menyebutkan bahwa dukungan organisasi pada organizational innovative climate terdiri atas lima dimensi yaitu: dorongan untuk melakukan inovasi (encouregement for innovation), otonomi terkait pekerjaan (autonomy atau freedom), sumber daya (resources), tekanan (pressure) dan hambatan organisasi untuk melakukan inovasi (organizational impedemens to innovation). Kelima dimensi pada organizational innovative climate ini saling bersinergi satu sama lain,sehingga membentuk suatu persepsi tertentu pada karyawan terkait dukungan perusahaan pada perilaku inovasi.

Dimensi encouragement for innovation adalah tingkat dorongan yang diterima karyawan untuk menghasilkan inovasi (Amabile, 1996). Dorongan ini berasal dari tiga sumber yang merupakan sub dimensi dari organizational innovative climate. Ketiga sumber dorongan inovasi ini berasal dari organisasi (organizational encouragement), atasan (supervisory encouragement) dan rekan kerja (work group encouragement). Ketiga sumber dukungan ini saling memberikan sumbangan dukungan masing- masing yang


(9)

membentuk suatu persepsi tertentu pada karyawan terkait dorongan untuk melakukan inovasi.

Dimensi autonomy adalah tingkat keleluasan yang dipersepsi karyawan dalam merencanakan, melakukan dan mengontrol pekerjannya masing- masing (Ballyn, King & West dalam Amabile, 1996). Tanpa adanya keleluasan yang diterima karyawan dalam merencanakan, melakukan dan mengontrol pekerjaannya masing- masing, akan sulit bagi karyawan untuk menghasilkan ide- ide baru dikarenakan adanya perasaaan khawatir untuk melakukan perubahan dikarenakan ketatnya pengawasan yang diberikan oleh perusahaan.

Dimensi resources menyatakan mengenai persepsi karyawan terkait ketersediaan alokasi sumber daya yang diberikan oleh perusahaan dalam mendukung proses inovasi yang dilakukan oleh karyawan (Cohen & Levitan dalam Amabile, 1996). Alokasi sumber daya yang cukup akan membuat karyawan merasakan kebermaknaan atas inovasi yang dilakukannya, sehingga mampu meningkatkan dorongan dalam diri untuk menghasilkan inovasi yang dapat berguna bagi perusahaan.

Dimensi pressure mengukur mengenai derajat tekanan yang diterima karyawan dalam melaksnakan pekerjaannya (Amabile, 1996). Tekanan pekerjaan yang cukup membuat karyawan menjadi tertantang dan bersemangat untuk menghasilkan inovasi bagi perusahaan. Sebaliknya tekanan kerja yang lemah membuat karyawan menjadi tidak tertantang dalam bekerja, sehingga cenderung memilih untuk mengerjakan pekerjaan sebatas rutinitas semata tanpa ada usaha untuk menghasilkan hasil pekerjaan yang lebih. Namun demikian tekanan yang berlebih juga dapat menghambat inovasi, karena karyawan merasa tidak memiliki waktu untuk berpikir mengenai pembaharuan di lingkungan pekerjaannya. Maka menjadi penting bagi perusahaan untuk memastikan kecukupan kadar pressure yang dibebankan perusahaan kepada karyawan, agar mendukung munculnya inovasi. Adapun pressure dapat bersumber dari kuantitas pekerjaan, tingkat kesulitan kerja dan batasan waktu kerja.

Kimberly & Evanlive (dalam Amabile, 1996) menyebutkan struktur organisasi yang bersifat formal dan kaku dapat menjadi sumber penghambat munculnya inovasi. Struktur organisasi yang terlalu kaku, disertai banyaknya kepentingan pihak- pihak tertentu membuat anggota organisasi dalam konteks penelitian ini adalah karyawan menjadi kurang terpacu untuk menghasilkan inovasi atas proses maupun hasil kerjanya. Kontrol yang tinggi juga membentuk motivasi yang dimiliki oleh karyawan menjadi motivasi ekternal, dimana karyawan akan cenderung bersikap pasif dan menunggu adanya intruksi. Sikap kerja yang demikian dirasa akan menghambat munculnya inovasi, dimana untuk


(10)

memunculkan motivasi internal justru dirasa lebih dibutuhkan. Gambaran hambatan pada perusahaan inilah yang terukur melalui dimensi organizational impedements to innovation.

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif deskriptif melalui metode survei. Penelitian survei adalah jenis penelitian yang melibatkan pemilihan sampel dan penggunaan sejumlah pertanyaan yang sudah ditetapkan sebelumnya guna mendapatkan informasi yang diharapkan sesuai dengan variabel yang telah ditetapkan (Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2006). Proses pengambilan data melalui survei yang dilakukan tidak melalui percobaan manipulasi atau kontrol yang dilakukan peneliti kepada subyek penelitian, namun data yang diambil berupa data yang senyata nya ditemukan di lapangan sehingga penelitian ini tergolong jenis penelitian ex post facto (Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2006). Melalui metode survei variabel diukur dengan menggunakan instrumen- instrumen penelitian, sehingga data yang didapatkan berupa angka- angka yang pada akhirnya akan dianalisis dengan menggunakan prosedur-prosedur statistika guna mengetahui hubungan kausalitas antar variabel. Adapun hubungan kausalitas adalah hubungan sebab akibat dari variabel- variabel yang diteliti guna membuktikan hipotesis penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya (Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2006).

Penelitian ini menetapkan innovative work behavior (IWB) sebagai variabel dependen, sedangkan organizational innovative climate (OIC) ditetapkan sebagai variabel independen. Hipotesis penelitian yang ditetapkan peneliti ini adalah terdapat pengaruh positif organizational innovative climate terhadap innovative work behavior pada karyawan PT. X.

Subyek Penelitian

Penelitian dilakukan pada 62 orang karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan di PT. X. Karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan dipilih sebagai subyek penelitian ini, karena proses peluncuran produk yang dihasilkan oleh PT. X pertama kali dikembangkan pada direktorat ini. Pada direktorat ini dilakukan penelitian terkait produk baru yang akan diluncurkan, uji coba hingga proses pengajuan lisensi produk tersebut sebelum pada akhirnya akan dilakukan produksi masal oleh Direktorat Produksi . Hal ini membuat karyawan pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan


(11)

memiliki tuntutan lebih untuk menampilkan innovative work behavior dibandingkan karyawan pada direktorat lain di PT. X.

Dalam memilih subyek penelitian, peneliti menetapkan metode pengambilan sampel non- probabilitas yaitu purposive sampling, dimana peneliti menentukan kriteria tertentu pada subyek penelitian (Sarantakos, 2005). Penetapan kriteria tertentu dilakukan berdasarkan pertimbangan pengaruh karakteristik kriteria pada diri subyek terhadap hasil peneliti. Berikut karakteristik subyek yang ditetapkan pada penelitian ini:

1. Karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan 2. Status karyawan tetap

3. Memiliki masa bekerja di PT. X minimal satu tahun Pengukuran/ Instrumen

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kuantitatif melalui metode survei. Metode survei adalah jenis metode pengambilan data yang melibatkan pemilihan sampel dan penggunaan sejumlah pertanyaan yang sudah ditetapkan sebelumnya guna mendapatkan informasi yang diharapkan sesuai dengan variabel yang telah ditetapkan (Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2006). Pendekatan pengambilan data melalui metode survei dilakukan dalam periode tertentu, sehingga penelitian ini tergolong sebagai jenis penelitian crosectional study (Graziano & Raulin, 2000).

Melalui metode survei variabel diukur dengan menggunakan instrumen- instrumen penelitian, sehingga data yang didapatkan berupa angka- angka yang pada akhirnya akan dianalisis dengan menggunakan prosedur- prosedur statistika guna mengetahui hubungan kausalitas antar variabel. Adapun hubungan kausalitas adalah hubungan sebab akibat dari variabel- variabel yang diteliti guna menjawab pertanyaan penelitian (Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2006).

Alat ukur innovative work behavior yang digunakan pada penelitian ini adalah adaptasi dan modifikasi dari alat ukur yang disusun oleh De Jong (2007). Proses adaptasi dan modifikasi dilakukan oleh peneliti guna menyesuaikan item- item pada alat ukur buatan De Jong (2007) dengan kondisi karyawan yang bekerja di Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X.

Proses uji coba dilakukan pada alat ukur ini pada sejumlah 30 orang karyawan di Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X. Uji validitas alat ukur dilakukan melalui metode expert judgement dan korelasi peaarson product moment pada skor masing- masing item dengan skor item totatal. Hasil uji validitas menunjukkan sebaran


(12)

skor nilai masing- masing item berada di atas r tabel dengan taraf signifikansi 0,005. Sementara uji reliabilitas dilakukan melalui teknik pengujian daya diskriminasi item alpha cronbach. Hasil uji alpha cronbach menunjukkan nilai reliabilitas sebesar α = 0,925 dengan nilai daya beda item bergerak antara rentang nilai 0,64 hingga 0,868. Maka berdasarkan hasil uji coba tersebut alat ukur modifikasi innovative work behavior dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan dalam proses pengambilan data penelitian. Berikut blueprint alat ukur setelah dilakukan uji coba:

Tabel 1. Blueprint Alat Ukur Innovative Work Behavior

No Dimensi Jumlah item

1. Idea exploration 4

2. Idea generation 4

3. Idea championing 4

4. Idea implementation 4

TOTAL 16

Skala organizational innovative climate adalah adaptasi dan modifikasi dari alat ukur KEYS: asessing the climate for creativity and innovation yang disusun oleh Amabile (1996). Hasil uji coba alat ukur pada 30 orang karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X menunjukkan nilai reliabilitas sebesar α = 0,869 dengan nilai daya beda item bergerak antara rentang nilai 0,15 hingga 0,755. Sedangkan skor uji validitas melalui metode korelasi pearson product moment pada skor masing- masing item dengan skor item total menunjukkan sebaran skor nilai masing- masing item berada di atas r tabel dengan taraf signifikansi 0,005. Maka berdasarkan hasil uji coba tersebut alat ukur modifikasi innovative work behavior dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan dalam proses pengambilan data penelitian. Berikut blueprint alat ukur setelah dilakukan uji coba:

Tabel 2. Blueprint Alat Ukur Organizational Innovative Climate

No Dimensi Sub Dimensi Jumlah Item

1.

Encouragement for innovation

Organizational encouragement 3 Supervisory encouragement 3

Work group enocuragement 3

2. Autonomy 4

3. Resources 4

4. Pressures 4

5. Impedements to innovation 4


(13)

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis uji regresi linear menggunakan bantuan software statistik SPSS versi 20. Analisis uji regresi linear bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara organizational innovative climate dengan innovative work behavior. Uji statistik regresi linear digunakan untuk menjawab hipotesis penelitian yaitu terdapat pengaruh positif organizational innovative climate terhadap innovative work behavior.

HASIL

Hasil penelitian dilaporkan secara deskriptif dan secara inferensial. Adapun pengujian hipotesis penelitian dilakukan melalui analisis regresi linear. Gambaran deskriptif dari hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:

Tabel 3

Gambaran Deskriptif Skor Statistika Data Penelitian

Variabel Skor Hipotetik Skor Empirik

Min Max Mean SD Min Max Mean SD

Innovative work behavior

16 96 56 13 21 92 62 13

Organizational innovative

climate

25 125 75 17 64 121 89 11

Berdasarkan data pada tabel di atas didapatkan gambaran skor empirik tingkat innovative work behavior dengan nilai minimal sebesar 21 dan maksimal sebesar 92 dengan SD sebesar 13. Data pada tabel tersebut juga menunjukkan bahwa skor mean empirik pada variabel innovative work behavior lebih besar dibandingkan dengan skor mean hipotetik (62 ≥ 56). Data ini bermakna bahwa tingkat innovative work behavior pada subyek penelitian ini terbilang cukup tinggi, karena memiliki skor empirik diatas skor hipotetik penelitian.

Sama halnya pada variabel organizational innovative climate skor mean empirik berada diatas skor mean hipotetik penelitian. Hasil ini menunjukkan bahwa karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT.X memandang cukup positif organizational innovative climate yang berlaku di lingkungan kerja. Namun demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap skor empirik tersebut guna mengetahui


(14)

kategorisasi innovative work behavior dan organizational innovative climate pada karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X.

Sebelum dilakukan pembuktian hipotesis penelitian melalui uji analisis regresi, peneliti melakukan beberapa uji asumsi data terlebih dahulu guna mengetahui keabsahan data penelitian untuk dilakukan uji analisis regresi. Adapun uji asumsi yang dilakukan oleh peneliti adalah uji asumsi normalitas dan linieritas data. Berikut hasil uji asumsi yang peneliti dapatkan pada variabel penelitian:

Tabel 4. Hasil Uji Asumsi Normalitas

Variabel K-SZ P Kesimpulan

Innovative work behavior 0,782 0, 574 Normal

Organizational innovative climate 0,75 0, 628 Normal

Berdasarkan tabel diatas terlihat jika kedua variabel pada penelitian ini memiliki distribusi data normal. Terlihat dari taraf signifikansi pada kedua variabel diatas taraf minimal signifikansi yang telah ditetapkan yakni 0,05. Pada variabel organizational innovative climate sebesar 0,75 (p= 0,628; p > 0,05) dan variabel innovative work behavior 0,574 (p= 0,574; p > 0,05).

Tabel 5. Hasil Uji Asumsi Linearitas

F Sig.

IWBTOT * OICTOT

Between Groups

(Combined) 1,220 ,303

Linearity 13,491 ,001

Deviation from Linearity

,859 ,666

Within Groups Total

Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa taraf signifikansi linearitas antara variabel organizational innovative climate dan innovative work behavior sebesar 0,001. Taraf signifikansi kurang dari 0,05 (0,01 < 0,005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear antara variabel organizational innovative climate dengan innovative work behavior. Maka berdasarkan data pada tabel 4 dan 5 disimpulkan bahwa bahwa asumsi normalitas dan linearitas terpenuhi pada kedua variabel penelitian, sehingga kedua variabel tersebut telah memenuhi syarat untuk dilakukan uji regresi linear.


(15)

Uji analisis regresi linear memiliki tujuan untuk mengetahui secara lebih spesifik peranan organizational innovative climate terhadap tingkat innovative work behavior. Hasil akhir dari uji analisis ini adalah persamaan garis regresi. Persamaan garis regresi ini digunakan untuk, memprediksi perubahan variabel dependen melalui besarnya variabel prediktor atau independen. Gambaran hasil uji regresi disajikan pada tabel hasil berikut:

Tabel 6. Hasil Uji Analisis Regresi Independent

Variable (X)

Dependent Variable

(Y) β F t

p -

value R R

2

Ket

Constanta

14,249

Regression 16,918 0,00

0,469 0,220

Signifikan

OIC IWB 0,541 4,113 0,00 Signifikan

Keterangan

OIC : organizational innovative climate

IWB : innovative work behavior

Hasil uji analisis regresi yang disajikan pada tabel 6 menunjukkan bahwa organizational innovative climate memiliki pengaruh terhadap innovative work behavior terlihat pada taraf signifikansi 0,00. Taraf signifikansi dibawah 0,005 menunjukkan bahwa organizational innovative climate memiliki pengaruh terhadap innovative work behavior.

Hasil perbandingan antara nilai t- tabel dengan t-hitung yang ditampilkan pada tabel 6 juga menunjukkan bahwa t-hitung > t-tabel (4,113 > 1,671). Hasil uji hipotesis ini menunjukkan bahwa H0 ditolak sehingga memiliki makna bahwa organizational innovative climate berpengaruh positif terhadap innovative work behavior karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT X dengan tingkat kepercayaan 95%.

Lebih lanjut lagi hasil dari analisis regresi yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa pengaruh dari organizationalinnovative climate sebesar 22 % dalam memunculkan innovative work behavior. Hasil ini ditunjukkan dari besarnya nilai koofisien determinasi (R2) sebesar 0,220. 22 % didapat melalui rumus R2 x 100%. Hasil ini bermakna bahwa 78 % besaran tingkat innovative work behavior pada karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. Xdipengaruhi oleh variabel- variabel lain diluar variabel penelitian.

Hasil dari uji hipotesis melalui analisis statistik regresi menghasilkan sebuah persamaan regresi yang bermanfaat untuk memprediksi kenaikan tingkat innovative work


(16)

behavior pada karyawan jika dilakukan manipulasi terhadap variabel dependen. Berikut persamaan regresi yang dihasilkan dari hasil uji hipotesis pada penelitian ini:

Keterangan:

Y = variabel dependen (nilai yang diprediksikan)

X = variabel independen

a = konstanta (nilai Y apabila X1+ X2+ .... = 0 ) b = koofisien regresi variabel independen

Persamaan regresi diatas memiliki arti sebagai berikut:

1. Jika variabel oanizational innovative climate bernilai 0 maka Innovative work behavior yang ditampilkan oleh karyawan akan bernilai -14,249

2. Jika variabel Organizational innovative climate mengalami kenaikan 1 poin, maka Innovative work behavior yang dimiliki karyawan sebesar 5,41

Setelah hipotesis penelitian terbukti, maka peneliti melakukan analisis lanjutan pada masing- masing dimensi organizational innovative climate. Tujuannya untuk mengetahui profil masing- masing dimensi variabel guna mengetahui dimensi mana yang menyumbangkan skor terendah pada variabel organizational innovative climate.Perhitungan dilakukan dengan melakukan kategorisasi pada skor empirik penelitian (sesuai pada tabel 4). Secara umum berdasarkan perhitungan kategorisasi paada skor empirik didapatkan gambaran secara umum organizational innovative climate pada karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X sebagai berikut:

Y = a + bX


(17)

Diagram 1. Gambaran Secara umum Organizational Innovative Climate Karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X

Terlihat pada diagram 1 bahwa organizational innovative climate pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan dipersepsi cukup menyenangkan bagi karyawan. Terlihat dari hasil kategorisasi skor total bahwa sebanyak 55% karyawan (34 orang) menyatakan bahwa organizational innovative climate yang dimiliki Direktorat Perencanaan dan Pengembangan termasuk kategori favorable dan sisanya sebanyak 45% karyawan (28 orang) menyatakan sebagai unfavorable. Hasil ini bermakna bahwa hampir lebih dari separuh karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan mempersepsi bahwa iklim organisasi yang ada di lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan mendukung diri mereka untuk memunculkan innovative work behavior di lingkungan kantor. Namun demikian perlu dilakukan analisis parsial pada masing- masing dimensi organizational innovative climate mengingat besar selisih antara karyawan yang mempersepsi favorable dan unfavorable terbilang sedikit.

Berikut gambaran profil organizational innovative climate pada masing- masing dimensi:


(18)

Keterangan:

EI : Encouragement for innovation

A : Autonomy

RE : Resources

P : Pressure

II : Impedement for innovation

Pada diagram 2 terlihat profil organizational innovative climate pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan dimensi yang tergolong tinggi adalah dimensi encouragement for innovation yakni 39 orang (63%), autonomy 43 orang (69%) dan impedements for innovation 43 orang (69%) . Sementara dimensi yang tergolong rendah berada pada dimensi pressure yakni 32 orang (52%). Pada dimensi resources profil karyawan berada pada kategorisasi yang sama tinggi yakni 31 orang menyatakan rendah (50%) dan 31 orang tinggi (50%).

Tiap kategorisasi tinggi dan rendah pada masing- masing dimensi memiliki makna yang berbeda- beda, disesuaikan dengan posisi dimensi masing- masing bagi variabel organizational innovative climate. Amabile (1996) menyatakan dari kelima dimensi organizational innovative climate terbagi dua kategorisasi yakni dimensi pendorong inovasi dan dimensi penghambat inovasi. Dimensi yang termasuk kategorisasi pendorong adalah dimensi dorongan berinovasi (encouragement for innovation),otonomi (autonomy), sumber daya (resources ) dan tekanan (pressure). Sedangkan dimensi penghambat adalah dimensi hambatan organisasi (organizational impedements).

Pada dimensi yang tergolong pendorong, skor tinggi pada kategorisasi tiap dimensi dimaknai sebagai favorable terhadap organizational innovative climate, sedangkan skor rendah dimaknai unfavorable. Kondisi sebaliknya ditemukan pada dimensi yang tergolong penghambat, dimana skor tinggi dimaknai sebagai unfavorable dan skor rendah favorable terhadap organizational innovative climate.

Data pada diagram 2 menunjukkan bahwa hampir keseluruhan skor karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan pada keempat dimensi pendorong berada pada kategori tinggi. Jumlah tertinggi berada pada dimensi autonomy yakni sebesar 69%. Hasil ini bermakna bahwa autonomy merupakan dimensi yang paling favorable atau dipersepsi positif oleh karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan di PT. X sebagai pendukung munculnya innovative work behavior di lingkungan kerja.

Sementara data pada diagram 2 menunjukkan bahwa dimensi organizational impedements to innovation yang merupakan dimensi penghambat juga terbilang cukup


(19)

tinggi ditemukan pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X yakni sebesar 69% (43 orang). Hasil ini bermakna bahwa karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X masih mempersepsi negatif terhadap kondisi organisasi, dimana struktur organisasi dan pengaruh politik dalam penetapan kebijakan dipersepsi menghambat dalam proses implementasi ide inovasi.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif organizational innovative climate terhadap innovative work behavior (r= 0,469, P <0,005). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh He (2013); Nesya (2014) bahwa persepsi positif karyawan terhadap dukungan yang diberikan organisasi kepada perilaku kreatif dan inovatif di lingkungan kerja berperan dalam mendorong karyawan untuk menampilkan innovative work behavior pada lingkungan kerja. Semakin kuat persepsi positif yang dimiliki oleh karyawan terhadap dukungan organisasi pada inovasi, maka semakin tinggi perilaku yang ditampilkan oleh karyawan untuk mengambil inisiatif dan mengeksplorasi pendekatan-pendekatan inovatif yang diperkirakan dapat memengaruhi tingkat inovasi dalam perusahaan (Sarros,et.al, 2008). Sebaliknya semakin negatif persepsi yang dimiliki oleh karyawan terhadap dukungan organisasi pada inovasi, maka semakin rendah innovative work behavior yang ditampilkan oleh karyawan. Namun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa organizational innovative climate memiliki pengaruh hanya sebesar 22% terhadap innovative work behavior, sehingga sebanyak 78% lainnya masih dipengaruhi oleh variabel- variabel lain di luar penelitian.

Profil organizational innovative climate pada diagram 1 menunjukkan bahwa secara umum karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X sudah mempersepsi positif terhadap dukungan organisasi yang diberikan terhadap inovasi. Namun demikian tipisnya selisih jumlah karyawan yang menyatakan favorable (positif) dan unfavorable (negatif) membuat peneliti merasakan perlu melakukan analisas partial terhadap dimensi- dimensi organizational innovative climate.

Jika dilihat pada diagram 2, hasil analisis partial pada masing- masing dimensi organizational innovative climate menenjukkan bahwa terdapat keseimbangan antara proporsi dimensi yang tergolong sebagai dimensi pendorong dengan dimensi yang tergolong dimensi penghambat. Hal ini yang menyebabkan tidak terlalu jauhnya selisih jumlah karyawan yang menyatakan favorable dan unfavorable.


(20)

Data pada diagram 2 tetap dapat menunjukkan bahwa pada dimensi pendorong autonomy merupakan dimensi yang paling tinggi dirasa mendukung inovasi (69%). Hasil ini menunjukkan bahwa pada aturan- aturan maupun praktik manajemen yang berlaku pada lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X mampu memberikan keleluasaan bagi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga mendukung mereka untuk menghasilkan ide maupun perilaku inovasi.

Keleluasan yang dimaksud pada dimensi ini adalah keleluasan untuk mengatur jam kerja dan metode kerja yang digunakan dalam mencapai target kerja. Hasil ini sejalan dengan kondisi yang ditemukan di lapangan, dimana karyawan terlihat cukup leluasa untuk mengatur kegiatannya selama jam kerja meskipun perusahaan menetapkan waktu masuk, istirahat dan pulang yang serempak. Keleluasaan ini terlihat dari masih adanya waktu luang yang dimiliki oleh karyawan pada jam kerja, sehingga sejatinya memungkinkan karyawan untuk memikirkan ide- ide kreatif yang bermanfaat bagi pekerjaannya.

Keleluasaan lain juga terlihat pada standar operasional prosedure (SOP) yang berlaku pada setiap pekerjaan di PT. X. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa setiap karyawan memang dituntut untuk mematuhi SOP yang berlaku guna menjaga kualitas hasil kerja, namun ketika SOP tersebut dirasakan sudah tidak lagi sesuai, karyawan memiliki kesempatan untuk mengajukan revisi terhadap nya. Pengajuan revisi SOP dilakukan melalui supervisor pada masing- masing unit kerja.

Pada dimensi penghambat, dimensi organizational impedements masih dipersepsi negatif oleh kebanyakan karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X yakni sebanyak 43 orang (69%). Hasil ini bermakna bahwa karyawan mempersepsi jika praktik- praktik manajemen terkait kondisi organisasi di PT. X masih menghambat mereka dalam menghasilkan ide maupun perilaku inovasi. Kondisi organisasi yang dimaksud pada dimensi organizational impedements mencakup struktur organisasi maupun praktek politik yang berlaku di organisasi dalam menetapkan penerimaan terhadap ide inovasi.

Hasil ini sejalan dengan kondisi di lapangan, dimana PT. X masih menganut struktur organisasi mekanistik. Pada model struktur organisasi mekanistik atau yang sering dikenal dengan birokrasi melekat karakteristik struktur yang mempunyai departemenisasi secara besar- besaran, formalisasi tinggi, jaringan informasi terbatas dan menganut sistem pengambilan keputusan sentralisasi (Robbins, 2006). Struktur organisasi yang demikian membuat proses birokrasi dalam pengajuan implementasi ide inovasi menjadi cukup lama, karena adanya sentralisasi pengambilan keputusan di dalam organisasi, dimana pada PT. X berada pada Direktur. Sentralisasi pengambilan keputusan implementasi ide inovasi,


(21)

membuat tahap pengajuan implementasi ide inovasi menjadi lambat. Lambatnya pengambilan keputusan implementasi atas suatu ide inovasi menimbulkan keenganan pada diri karyawan, sehingga menghambat muunculnya innovative work behavior di lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X.

Tidak hanya sebatas memperlambat proses penetapan implementasi ide inovasi, struktur organisasi yang mekanistik juga menimbulkan banyaknya peluang politik dalam proses pengajuan implementasi ide inovasi. Hal ini disebabkan bertahapnya proses pengajuan implementasi ide inovasi yang harus dilakukan oleh karyawan. Ketika karyawan berniat untuk melakukan implementasi atas suatu ide inovasi yang dimiliki nya, ia harus melalui persetujuan beberapa level manajerial diatasnya, sebelum pada akhirnya pengajuan tersebut dapat diterima oleh pengambil keputusan dalam hal ini Direktur. Keharusan untuk mendapatkan persetujuan dari beberapa level manajerial yangs sering kali membuat timbulnya pengaruh kepentingan pihak- pihak tertentu pada proses penetapan implementasi ide inovasi.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa saran kepada manajemen PT. X guna meningkatkan innovative work behavior pada karyawannya khususnya karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan. Adapun saran yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Melakukan evalusi terhadap struktur organisasi yang berlaku pada PT. X guna mempercepat proses penetapan implementasi ide inovasi karyawan

2. Membentuk wadah khusus bagi karyawan untuk menyampaikan ide inovasi, misalnya melalui: pembentukan forum inovasi karyawan secara berkala, memanfaatkan media internal website perusahaan sebagai sarana penyampaian ide- ide inovasi karyawan,dsb.

3. Mempertahankan aturan- aturan maupun praktik manajemen yang berlaku pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X pada aspek- aspek dimensi pendorong inovasi yang sudah tergolong baik seperti pada dimensi autonomy,encouragament for innovation dan resources.


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Amabile, T.M., Conti, R., Coon H., Lazenby, J & Heron, M. (1996). Asessing The Work Environment for Creativity. The Academy Management Journal, Vol 39, 5, 1154- 1184.

Burns, R.A & Machin, M.A. (2013). Employee and Workplace Wellbeing: A Multi Level Analysis of Tecaher Personality and Organizational Climate in Norwegian Teacher from Rural, Urban and City Schools. Scandinavian Journal of Educational Research, Vol. 57, 3: 309- 324.

De Jong, J & Hartog, D.D. (2010). Measuring Inovative Work Behavior. Journal Creative and Innovation Management, Vol. 19, 1: 23- 36.

Graziano, A.M. & Raulin, M.L. (2000). Research Method: a Process of Inquery 4ed. Allyn and Bacon: United States.

He, L.W. (2013). Organizational Innovative Climmate, Innovative Behavior and The Mediating Role of Psychological Capital : The Case of Creative Talent. The 19th International Conferenceon Industrial Engineering and Engineering Management: Springer Verlag Berlin Heidelberg.

Isaksen, S.G & Akkermans, H.J. (2011). Creative Climate : A leadership Lever for Innovation. Journal of Creative Behavior, Vol 45, 3, 161- 187.

Kireina, F. (2014). Peran Perceived Organizational Support terhadap Innovative Work Behavior pada Divisi Network of Broadbank PT. Telkom Indonesia. Thesis. Universitas Padjadjaran: Jatinangor.

Mc. Laughlin, P. (2006). Exploring Aspects of Organizational Culture that Facilitate Radical Product Innovation in a Small Mature Company. A Doctoral Business Administration thesis of Cranfield University.

Robbins, Stephen. Judge, Timothy. 2008. Organizational Behavior book 2. Salemba Empat. Jakarta

Rui, S. (2013). Creating Inovative Behavior Among R & D Professional : The Effect of Inovative Climate and Employee Motivation in Chinese Firm. Advances in Information Sciences and Service Science (AISS), Vol. 5, 4, 432- 440.

Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister. (2006). Metodologi Penelitian Psikologi. Pustaka Belajar: Yogyakarta.

Scott, Susan,G., Bruce & Reginald, A. (2014). Determinants of Inovative Behavior: A Path Model of Individual Inovation in The Workplace. Proquest Journal diunduh pada tanggal 15 November 2014 pukul 00:46.

Sunarto, K. ( 2004). Pengantar Sosiologi menghadapi Globalisasi (Edisi Revisi). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Van de Ven,A.H. (1988). Approaches to Innovationg Organizing in Tushman. Readings in the Management of Innovation, USA: Ballinger Publishing.


(1)

Diagram 1. Gambaran Secara umum Organizational Innovative Climate Karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X

Terlihat pada diagram 1 bahwa organizational innovative climate pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan dipersepsi cukup menyenangkan bagi karyawan. Terlihat dari hasil kategorisasi skor total bahwa sebanyak 55% karyawan (34 orang) menyatakan bahwa organizational innovative climate yang dimiliki Direktorat Perencanaan dan Pengembangan termasuk kategori favorable dan sisanya sebanyak 45% karyawan (28 orang) menyatakan sebagai unfavorable. Hasil ini bermakna bahwa hampir lebih dari separuh karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan mempersepsi bahwa iklim organisasi yang ada di lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan mendukung diri mereka untuk memunculkan innovative work behavior di lingkungan kantor. Namun demikian perlu dilakukan analisis parsial pada masing- masing dimensi organizational innovative climate mengingat besar selisih antara karyawan yang mempersepsi favorable

dan unfavorable terbilang sedikit.

Berikut gambaran profil organizational innovative climate pada masing- masing dimensi:


(2)

Keterangan:

EI : Encouragement for innovation

A : Autonomy

RE : Resources

P : Pressure

II : Impedement for innovation

Pada diagram 2 terlihat profil organizational innovative climate pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan dimensi yang tergolong tinggi adalah dimensi

encouragement for innovation yakni 39 orang (63%), autonomy 43 orang (69%) dan

impedements for innovation 43 orang (69%) . Sementara dimensi yang tergolong rendah berada pada dimensi pressure yakni 32 orang (52%). Pada dimensi resources profil karyawan berada pada kategorisasi yang sama tinggi yakni 31 orang menyatakan rendah (50%) dan 31 orang tinggi (50%).

Tiap kategorisasi tinggi dan rendah pada masing- masing dimensi memiliki makna yang berbeda- beda, disesuaikan dengan posisi dimensi masing- masing bagi variabel

organizational innovative climate. Amabile (1996) menyatakan dari kelima dimensi

organizational innovative climate terbagi dua kategorisasi yakni dimensi pendorong inovasi dan dimensi penghambat inovasi. Dimensi yang termasuk kategorisasi pendorong adalah dimensi dorongan berinovasi (encouragement for innovation),otonomi (autonomy), sumber daya (resources ) dan tekanan (pressure). Sedangkan dimensi penghambat adalah dimensi hambatan organisasi (organizational impedements).

Pada dimensi yang tergolong pendorong, skor tinggi pada kategorisasi tiap dimensi dimaknai sebagai favorable terhadap organizational innovative climate, sedangkan skor rendah dimaknai unfavorable. Kondisi sebaliknya ditemukan pada dimensi yang tergolong penghambat, dimana skor tinggi dimaknai sebagai unfavorable dan skor rendah favorable

terhadap organizational innovative climate.

Data pada diagram 2 menunjukkan bahwa hampir keseluruhan skor karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan pada keempat dimensi pendorong berada pada kategori tinggi. Jumlah tertinggi berada pada dimensi autonomy yakni sebesar 69%. Hasil ini bermakna bahwa autonomy merupakan dimensi yang paling favorable atau dipersepsi positif oleh karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan di PT. X sebagai pendukung munculnya innovative work behavior di lingkungan kerja.

Sementara data pada diagram 2 menunjukkan bahwa dimensi organizational impedements to innovation yang merupakan dimensi penghambat juga terbilang cukup


(3)

tinggi ditemukan pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X yakni sebesar 69% (43 orang). Hasil ini bermakna bahwa karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X masih mempersepsi negatif terhadap kondisi organisasi, dimana struktur organisasi dan pengaruh politik dalam penetapan kebijakan dipersepsi menghambat dalam proses implementasi ide inovasi.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif organizational innovative climate terhadap innovative work behavior (r= 0,469, P <0,005). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh He (2013); Nesya (2014) bahwa persepsi positif karyawan terhadap dukungan yang diberikan organisasi kepada perilaku kreatif dan inovatif di lingkungan kerja berperan dalam mendorong karyawan untuk menampilkan

innovative work behavior pada lingkungan kerja. Semakin kuat persepsi positif yang dimiliki oleh karyawan terhadap dukungan organisasi pada inovasi, maka semakin tinggi perilaku yang ditampilkan oleh karyawan untuk mengambil inisiatif dan mengeksplorasi pendekatan-pendekatan inovatif yang diperkirakan dapat memengaruhi tingkat inovasi dalam perusahaan (Sarros,et.al, 2008). Sebaliknya semakin negatif persepsi yang dimiliki oleh karyawan terhadap dukungan organisasi pada inovasi, maka semakin rendah

innovative work behavior yang ditampilkan oleh karyawan. Namun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa organizational innovative climate memiliki pengaruh hanya sebesar 22% terhadap innovative work behavior, sehingga sebanyak 78% lainnya masih dipengaruhi oleh variabel- variabel lain di luar penelitian.

Profil organizational innovative climate pada diagram 1 menunjukkan bahwa secara umum karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X sudah mempersepsi positif terhadap dukungan organisasi yang diberikan terhadap inovasi. Namun demikian tipisnya selisih jumlah karyawan yang menyatakan favorable (positif) dan unfavorable (negatif) membuat peneliti merasakan perlu melakukan analisas partial terhadap dimensi- dimensi organizational innovative climate.

Jika dilihat pada diagram 2, hasil analisis partial pada masing- masing dimensi

organizational innovative climate menenjukkan bahwa terdapat keseimbangan antara proporsi dimensi yang tergolong sebagai dimensi pendorong dengan dimensi yang tergolong dimensi penghambat. Hal ini yang menyebabkan tidak terlalu jauhnya selisih jumlah karyawan yang menyatakan favorable dan unfavorable.


(4)

Data pada diagram 2 tetap dapat menunjukkan bahwa pada dimensi pendorong

autonomy merupakan dimensi yang paling tinggi dirasa mendukung inovasi (69%). Hasil ini menunjukkan bahwa pada aturan- aturan maupun praktik manajemen yang berlaku pada lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X mampu memberikan keleluasaan bagi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga mendukung mereka untuk menghasilkan ide maupun perilaku inovasi.

Keleluasan yang dimaksud pada dimensi ini adalah keleluasan untuk mengatur jam kerja dan metode kerja yang digunakan dalam mencapai target kerja. Hasil ini sejalan dengan kondisi yang ditemukan di lapangan, dimana karyawan terlihat cukup leluasa untuk mengatur kegiatannya selama jam kerja meskipun perusahaan menetapkan waktu masuk, istirahat dan pulang yang serempak. Keleluasaan ini terlihat dari masih adanya waktu luang yang dimiliki oleh karyawan pada jam kerja, sehingga sejatinya memungkinkan karyawan untuk memikirkan ide- ide kreatif yang bermanfaat bagi pekerjaannya.

Keleluasaan lain juga terlihat pada standar operasional prosedure (SOP) yang berlaku pada setiap pekerjaan di PT. X. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa setiap karyawan memang dituntut untuk mematuhi SOP yang berlaku guna menjaga kualitas hasil kerja, namun ketika SOP tersebut dirasakan sudah tidak lagi sesuai, karyawan memiliki kesempatan untuk mengajukan revisi terhadap nya. Pengajuan revisi SOP dilakukan melalui supervisor pada masing- masing unit kerja.

Pada dimensi penghambat, dimensi organizational impedements masih dipersepsi negatif oleh kebanyakan karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X yakni sebanyak 43 orang (69%). Hasil ini bermakna bahwa karyawan mempersepsi jika praktik- praktik manajemen terkait kondisi organisasi di PT. X masih menghambat mereka dalam menghasilkan ide maupun perilaku inovasi. Kondisi organisasi yang dimaksud pada dimensi organizational impedements mencakup struktur organisasi maupun praktek politik yang berlaku di organisasi dalam menetapkan penerimaan terhadap ide inovasi.

Hasil ini sejalan dengan kondisi di lapangan, dimana PT. X masih menganut struktur organisasi mekanistik. Pada model struktur organisasi mekanistik atau yang sering dikenal dengan birokrasi melekat karakteristik struktur yang mempunyai departemenisasi secara besar- besaran, formalisasi tinggi, jaringan informasi terbatas dan menganut sistem pengambilan keputusan sentralisasi (Robbins, 2006). Struktur organisasi yang demikian membuat proses birokrasi dalam pengajuan implementasi ide inovasi menjadi cukup lama, karena adanya sentralisasi pengambilan keputusan di dalam organisasi, dimana pada PT. X berada pada Direktur. Sentralisasi pengambilan keputusan implementasi ide inovasi,


(5)

membuat tahap pengajuan implementasi ide inovasi menjadi lambat. Lambatnya pengambilan keputusan implementasi atas suatu ide inovasi menimbulkan keenganan pada diri karyawan, sehingga menghambat muunculnya innovative work behavior di lingkungan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X.

Tidak hanya sebatas memperlambat proses penetapan implementasi ide inovasi, struktur organisasi yang mekanistik juga menimbulkan banyaknya peluang politik dalam proses pengajuan implementasi ide inovasi. Hal ini disebabkan bertahapnya proses pengajuan implementasi ide inovasi yang harus dilakukan oleh karyawan. Ketika karyawan berniat untuk melakukan implementasi atas suatu ide inovasi yang dimiliki nya, ia harus melalui persetujuan beberapa level manajerial diatasnya, sebelum pada akhirnya pengajuan tersebut dapat diterima oleh pengambil keputusan dalam hal ini Direktur. Keharusan untuk mendapatkan persetujuan dari beberapa level manajerial yangs sering kali membuat timbulnya pengaruh kepentingan pihak- pihak tertentu pada proses penetapan implementasi ide inovasi.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa saran kepada manajemen PT. X guna meningkatkan innovative work behavior pada karyawannya khususnya karyawan Direktorat Perencanaan dan Pengembangan. Adapun saran yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Melakukan evalusi terhadap struktur organisasi yang berlaku pada PT. X guna mempercepat proses penetapan implementasi ide inovasi karyawan

2. Membentuk wadah khusus bagi karyawan untuk menyampaikan ide inovasi, misalnya melalui: pembentukan forum inovasi karyawan secara berkala, memanfaatkan media internal website perusahaan sebagai sarana penyampaian ide- ide inovasi karyawan,dsb.

3. Mempertahankan aturan- aturan maupun praktik manajemen yang berlaku pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan PT. X pada aspek- aspek dimensi pendorong inovasi yang sudah tergolong baik seperti pada dimensi


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Amabile, T.M., Conti, R., Coon H., Lazenby, J & Heron, M. (1996). Asessing The Work Environment for Creativity. The Academy Management Journal, Vol 39, 5, 1154- 1184.

Burns, R.A & Machin, M.A. (2013). Employee and Workplace Wellbeing: A Multi Level Analysis of Tecaher Personality and Organizational Climate in Norwegian Teacher from Rural, Urban and City Schools. Scandinavian Journal of Educational Research,

Vol. 57, 3: 309- 324.

De Jong, J & Hartog, D.D. (2010). Measuring Inovative Work Behavior. Journal Creative and Innovation Management, Vol. 19, 1: 23- 36.

Graziano, A.M. & Raulin, M.L. (2000). Research Method: a Process of Inquery 4ed. Allyn and Bacon: United States.

He, L.W. (2013). Organizational Innovative Climmate, Innovative Behavior and The Mediating Role of Psychological Capital : The Case of Creative Talent. The 19th International Conferenceon Industrial Engineering and Engineering Management: Springer Verlag Berlin Heidelberg.

Isaksen, S.G & Akkermans, H.J. (2011). Creative Climate : A leadership Lever for Innovation. Journal of Creative Behavior, Vol 45, 3, 161- 187.

Kireina, F. (2014). Peran Perceived Organizational Support terhadap Innovative Work Behavior pada Divisi Network of Broadbank PT. Telkom Indonesia. Thesis. Universitas Padjadjaran: Jatinangor.

Mc. Laughlin, P. (2006). Exploring Aspects of Organizational Culture that Facilitate Radical Product Innovation in a Small Mature Company. A Doctoral Business Administration thesis of Cranfield University.

Robbins, Stephen. Judge, Timothy. 2008. Organizational Behavior book 2. Salemba Empat. Jakarta

Rui, S. (2013). Creating Inovative Behavior Among R & D Professional : The Effect of Inovative Climate and Employee Motivation in Chinese Firm. Advances in Information Sciences and Service Science (AISS), Vol. 5, 4, 432- 440.

Saughnessy, Zechmeister & Zechmeister. (2006). Metodologi Penelitian Psikologi.

Pustaka Belajar: Yogyakarta.

Scott, Susan,G., Bruce & Reginald, A. (2014). Determinants of Inovative Behavior: A Path Model of Individual Inovation in The Workplace. Proquest Journal diunduh pada tanggal 15 November 2014 pukul 00:46.

Sunarto, K. ( 2004). Pengantar Sosiologi menghadapi Globalisasi (Edisi Revisi). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Van de Ven,A.H. (1988). Approaches to Innovationg Organizing in Tushman. Readings in the Management of Innovation, USA: Ballinger Publishing.