Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ancaman dari Istri Bukan Yahudi: suatu tinjauan sosio-feminis terhadap kewajiban menceraikan perempuan asing menurut Ezra 9-10 T2 752013026 BAB II

(1)

BAB II

Landasan Teori

Pengantar

Kisah perceraian dan pengusiran terhadap perempuan asing dan anak-anaknya dalam Kitab Ezra berbeda dengan tradisi-tradisi Yahudi sebelumnya. Perbedaan ini terlihat dari aturan yang digunakan Ezra terhadap perkawinan campur yang dilakukan orang-orang Israel yang kembali dari pembungan dengan orang-orang negeri terkhususnya „perempuan asing‟, berbeda dengan hukum yang digunakan oleh Muza di zaman sebelumnya. Dasar dari diberlakukannya aturan dan larangan ini ialah masalah krisis jati diri yang dialami masyarakat Israel ketika harus terusir secara paksa dari tanah, yang bagi mereka merupakan tanda perjanjian Allah dengan Abraham, selain itu di tandai juga dengan hancurnya Bait Allah yang merupakan simbol peribadatan orang-orang Israel disaat itu. Dengan berbagai pengalaman ini, salah satu cara yang dianggap penting serta dalam membantu proses merekonstruski kembali jati diri mereka menurut Ezra ialah dengan cara memimasahkan diri dari perempuan asing.

Guna mengakaji lebih dalam mengenai berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan bangsa Israel dan hubungannya dengan aturan-aturan yang diterapkan dalam komunitas disaat itu, maka diperlukan beberapa kajian teoritis. Landasan teori dalam bab ini akan diawali dengan pembahasan identitas dan secara khusus identitas masyarakt diaspora, kemudian diikuti dengan teori sang liyan/the other yang juga berpengaruh terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan yang terbentuk di Israel Kuno. Pada akhirnya penulis akan membahas tentang teori feminis secara umum dan teologi feminis. Karena dalam keseluruhan tesis ini akan dibaca dengan menggunakan kacamata feminis


(2)

A. Teori Identitas Sosial

Persoalan identitas terlihat jelas dalam Ezra 9-10, teks menggambarkan bagaimana upaya Ezra dalam mempertahankan identitas bangsa Israel. Ketika Ezra mempersoalkan orang-orang Israel yang menikah dengan penduduk negeri atau perempuan asing, dapat dipastikan bahwa Ezra melihat bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah, dan sebagai komunitas yang suci; tidak diperkenankan untuk bercampur baur dengan perempuan asing. Melihat latar belakang ini teori identitas sangatlah penting dalam menolong penulis untuk melihat realita bangsa Israel pasca pembungan; bagaimana konsep identitas yang melekat dalam bangsa Israel.

1. Konsep Identitas

Richard Jenkins berpendapat bahwa identitas adalah pemahaman kita akan siapa kita, dan siapa orang lain, serta secara resiprokal, pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri dan orang lain. Identitas adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan dan dibuat dalam proses

interaksi manusia. Menurut Jenkins, identitas adalah tentang „arti‟ (meaning) yang lebih

mengarah kepada dikonstruksi secara sosial, dari pada mengenai perbedaan mendasar antar manusia, karena identitas yang berbeda memberikan indikasi dengan orang seperti apa seseorang berhubungan, dan karena itu bagaimana seseorang bisa berhubungan dengan mereka (ada setelah motif). Identitas juga merupakan klasifikasi multi-dimensi atau pemetaan dunia manusia dimana kita ada di dalamnya, baik sebagai individu atau sebagai kelompok.1

Berdasarkan penjelasan ini maka komponen penting dalam sebuah upaya untuk mengerti identitas adalah proses identifikasi.Terdapat dua perspektif yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pembahasan identitas, yaitu konsep Barth yang berlatar belakang antropologi sosial, dan konsep Tajfel yang berlatar belakang psikologi sosial.2 Menurut

1

Richard Jenkins, Social Identity, Third Edition (New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2008), 5.

2


(3)

Barth, identifikasi dan kolektifitas itu dihasilkan atau muncul dari proses transaksi dan negosiasi individu dalam memenuhi kepentingan atau intersnya. Orang–orang yang melakukan sesuatu berdasarkan identitas mereka, khususnya keanggotaan mereka dalam kelompok atau budaya tertentu, misalnya kelompok sepermainan, klan, dan suku. Di sisi lain Tajfel berpendapat bahwa, keanggotaan kelompok adalah cukup dalam dirinya sendiri untuk menghasilkan identifikasi dengan kelompok tersebut dan meneruskan perilaku terhadap anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan anggota kelompok.

Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara besama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang lain.3 Menurut Sherman, setiap orang berusaha membangun sebuah identitas sosial (social identity), sebuah representasi diri yang akan membantu mengkonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa diri kita. Dengan mengatahui siapa diri kita, kita akan dapat mengatahui sapa diri (self) dan siapa yang lain (others).4 Soerjono Soekanto mengatakan bahwa sejak lahir individu (manusia) sudah memiliki dua keinginan pokok yaitu: keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekitarnya (masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya.5

Teori identitas secara umum membahas tentang perilaku individu yang mereflesikan unit-unit sosial yang lebih besar seperti kelompok sosial, organisasi, kebudayaan, dan kelompok sosial yang menjadi rujukan bagi setiap perilaku individu tersebut.6 Teori ini meyakinkan bahwa apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan individu merupakan manifestasi dari nilai-nilai kolektif yang biasanya dilestarikan dalam organisasi sosial dan

3

Cris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik (Yohyakarta: PT Benteng Pustaka, 2005), 221.

4

Robert A. Baron & Donn Byrne, Psikologi Social, Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, 2003), 162-163.

5

Soerjonon Soekanto, Sosiologi Satu Pengantar (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1990), 124-125.

6

S. Alexander Haslam, Psychology in Organization: The Social Identity Approach (London: Sage Publication, 2001)26-27.


(4)

kebudayaan tertentu di mana individu merupakan bagian di dalamnya.7 Dalam ensiklopedia ilmu sosial, identitas atau konsep diri di defenisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaan tentang dirinya sendiri.8

Para ahli membagi identitas menjadi 4 tipe yaitu:9

1. Identitas berdasarkan pada perseorangan, yang lebih ditekankan pada tipe ini adalah bagaimana sifat diri dari bagian kelompok di internalisasikan oleh anggota individu sebagai bagian dari konsep diri.

2. Identitas sosial berdasarkan korelasi. Tipe ini memberikan pemahaman bahwa individu menggunakan identitas kelompok pada saat-saat tertentu. Dimana individu berhubungan khusus dengan orang-orang yang berada diluar kelompoknya. Hubungan relasional ini biasanya sering dilakukan dalam hubungan antar kelompok.

3. Identitas sosial berdasarkan kelompok, artinya perilaku individu dalam berhubungan dengan kelompoknya. Pada kondisi seperti ini, individu harus menggunakan identitas sosial untuk bisa bergabung dengan kelompok sosial lainnya.

4. Identitas kolektif, identitas ini memiliki makna yang lebih praksis. Identitas sosial tidak hanya menjadi sebauah pengetahuan bersama untuk mendefinisikan identitas diri dan kelompok. Mempertahankan identitas kelompok yang positif adalah motif yang ada di balik setiap sikap dan perilaku kelompok.

Oleh sebab itu menurut Tajfel, identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas pekerja, agama, umur, gender, suku, keturunan, dan sebagainya. Biasanya pendekatan dalam identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan interrlasionship, serta kehidupan alamiah masyarakat dan society. Identitas sosial merupakan bagian dari konsep individu yang

7

Adam Kuper dan Jesica Kuper, ed. The social Science Encyclopedia (London: Routlegde & Kegan Paul, 1985), 739.

8

A.M Padila, &W. Perez W. Accultutration, Social Identity, And Social Cognition: A New Perspective

(Hispanic Journal of Behavioral Sciences. Vil 25 No 1. Pp2003), 35-55.

9

Peter Burke & Jan Stets, Identity Theory And Social Identity (Pullman: Depertemen Sociology, Washington State University, 1998), 17-19


(5)

bersumber dari pengatahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial dengan berbagai jenis nilai, latar belakang sejarah, norma, dan ikatan emosional yang berkembang dalam kelomok tersebut.10

Pandangan yang sama juga datang dari Hogg dan Abram menyatakan bahwa, identitas sosial mengacu pada asumsi-asumsi mengenai sifat individu dan sifat masyarakat dan interaksi yang terjalin antar keduanya. Di dalam masyarakat yang hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial merupakan penggolangan orang menurut agama, ras, klas, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama, dll. Di dalam masing-masing kategori-kategori sosial melekat suatu kekuasaan (power), status, martabat (prestige) yang pada akhirnya memunculkan suatu sturuktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatau struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antar individu dan antar kelompok. Sementara di dalam diri individu berlangsung proses kognitif, efektif dan konatif yang dijadikan pertimbangan individu untuk mengerti dan beperlaku.11

Bingkai kerja sosiologi menjelaskan identitas, sebagai sebuah pandangan yang muncul dari tradisi interaksionisme simbolis struktural (structural symbolic interractionism). Beberapa hal penting identitas sosial dalam pandangan ini, yaitu:12 pertama, perilaku yang tergantung pada kata bernama atau diklasifikasikan dan bahwa nama-nama ini membawa makna dalam bentuk respon bersama dan ekspektasi perilaku yang bersumber dari interaksi sosial. Kedua, bahwa di antara kelas-kelas yang bernama adalah simbol yang digunakan untuk menunjuk posisi dalam struktur sosial. Ketiga, bahwa orang-orang yang bertindak dalam konteks satu nama yang lain pada struktur sosial dalam arti mengakui satu sama lain sebagai penghuni posisi dan datang untuk memiliki harapan bagi orang lain ini. Keempat,

10Henry Tajfel, “Social Categorization”,

dalam S Moscovici (ed) Introduction a la psychilogic sociale,

Vil 1 (Paris: Larousse, 1972),31

11

Michael A. Hogg & Dominic Abrams, Social Identification: A Social Pshchology of Intergroup Relation and Group Processes, (London:Routledge, 1998), 61-62

12

Jan E. Stects and Peter J.Burke, A Sociological Approach to self and Identity (Departement of Sociology: Washington State University, tanpa tahun), 9-10.


(6)

bahwa orang yang bertindak dalam konteks struktur sosial juga menamai diri mereka sendiri dan menciptakan makna terinternalisasi dan harapan berkaitan dengan perilaku mereka sendiri. Kelima, bahwa harapan dan makna dari dasar penuntun untuk perilaku sosial dan dengan persimpangan menyelidik antara aktor ini membentuk dan membentuk kembali isi dari interaksi, serta kategori, nama-nama dan arti yang digunakan.

2. Syarat Dan Proses Terbentuknya Identitas Sosial

Setelah melihat konsep identitas, penting juga bagi penulis untuk melihat bagaimana bangsa Israel sebagai komunitas kecil pasca pembuangan dapat kembali membentuk identitas dirinya ketika diperhadapkan dengan penduduk asli di Yehuda. Sebab itu perlu untuk melihat apa sajakah syarat dan bagaimana proses dalam membentuk identitas.

Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebudayan. Indetitas sosial terbentuk melalui proses kategorisasi diri dan perbandingan sosial yang lebih menekankan pentingnya faktor kelompok dari pada individu. Menurut Jenkins, identitas diri merujuk pada cara yang digunakan oleh individu dan kelompok dilihat dari hubungan sosial mereka dengan kelompok lain.13 Dalam istilah Erick Erikson, identitas diri merupakan sebuah kondisi psikologi secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidupnya seta keyakinan internalnya.14

Menurut Burke dan Stets , identitas adalah seperangkat makna yang menentukan arti, seperti: peran seseorang dalam masyarakat, anggota dari kelompok tertentu, atau karakteristik khusus yang mengidentifikasi dia sebagai pribadi yang unik. Sebagai contoh, individu memiliki makna bahwa mereka berlaku untuk diri mereka sendiri ketika mereka adalah mahasiswa, pekerja, pasangan, atau orang tua (ini adalah peran yang mereka tempati), ketika

13

Stects and Burke, A Sociological, 6.

14

Erick. H. Erikson, Identitas Dan Siklus hidup Manusia; bunga rampai I. Penerjemah agus cremes (Jakarta: PT. Gramedia, 1989).


(7)

mereka adalah anggota dari persaudaraan (ini adalah keanggotaan dalam kelompok tertentu), atau ketika mereka mengklaim mereka adalah individu keluar atau orang moral (ini adalah karakteristik pribadi yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang unik).15

Fearon menyimpulkan tiga pengertian dasar yang sering digunakan oleh para ahli dalam mendefenisikan identititas diri:16

1. Keanggotaan dalam sebuah komunitas yang menyebabkan seseorang merasa terlibat, termotivasi, berkomitmen dan menjadikannya rujukan atau pertimbangan dalam memilih dan memutuskan sesuatu berdasarkan hal yang normatif. Terbentuknya identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif oleh interaksi seseorang dengan lingkungan sosialnya. Identitas diri yang digunakan seseorang untuk menjelaskan tentang dirinya (individu) biasanya juga berisikan identittas sosial. 2. Identitas diri juga merujuk pada konsep abstrak dan relatif dan jangka panjang yang

ada dalam pikiran seseorang tentang siapa dirinya, menunjukan eksistensi dan keberhargaan serta membuat dirinya menjadi „seseorang‟. Karena itu identitas diri juga biasanya berisi harga diri seseorang (self esteem). Konsep ini menunjukan bahwa identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagia motivator perilaku yang menyebabkan keterlibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa yang dianggapnya sebagai identitas diri.

3. Identitas diri bukan hanya terdiri dari suatu „bentuk‟, tapi juga termasuk potensi dan status bawaan sejak lahir, misalnya jenis kelamin dan keturunan.

Berdasarkan beberapa pengertian identitas diri di atas dapat disimpulkan bahwa identitas diri merupakan sebuah triminologi yang cukup luas yang dipakai seseorang untuk menjelaskan siapakah dirinya. Identitas diri dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam

15

Peter J. Burke and Jan E. Stets, Identity Theory (New York: Oxford University Press, 2009), 3.

16

Fearon, James D and David D. Laitin Expalining Ethnic Violence, (Presented March Instituute, Madrid, May 1997), 21.


(8)

suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, prinsip moral atau gaya sosial. identitas diri juga merupakan sesuatu yang disadari dan diakui individu sebagai sesuatu yang menjelaskan tentang dirinya dan membuatnya berbeda dengan orang lain.17

Teori identitas berusaha untuk menjelaskan makna khusus bahwa individu dapat memilki beberapa identitas; dan bagaimana identitas ini berhubungan satu sama lain untuk setiap satu orang; bagaimana identitas mereka mempengaruhi perilaku mereka, pikiran, dan perasaan atau emosi; dan bagaimana identitas mereka mengikat mereka ke masyarakat luas. Dengan demikian, ada sistem yang saling mempengaruhi antara karakteristik individu dan karakteristik dari masyarakat. Oleh karena itu kita perlu memahami dua sifat yakni, sifak individu yang menciptakan masyarakat dan sifat masyarakat di mana individu bertindak.18

Adapun syarat-syarat penting komunitas atau sebuah kelompok sosial menurut Charles H. Cooley dalam tulisan Soerjono Soekanto adalah:19 bahawa angota-anggota kelompok tersebut secara fisik berdekatan suatu dengan yang lainnya, dan adanya suatu kelanggengan dari pada hubungannya antara angota-anggota kelompok yang bersangkutan. Soerjono juga menambahkan bahwa himpunan manusia yang dapat disebut sebagai kelompok sosial jika memenuhi beberapa persyaratan seperti: pertama, setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan kelompok bersangkutan. Kedua. Adanya hubungan timbal-balik antar anggota yang satu dengan yang lainnya. Ketiga, ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga mereka bertambah erat. Seperti: latar belakang sejarah yang sama, kepentingan yang sama, tujuan dan ideologi politik yang sama. Keempat,berstruktur, berkaidah dan memiliki pola perilaku serta bersistem dan berproses.20

17

Fearon, LaitinExpalining, 23

18

Burke and Stets, Identity Theory, 4.

19

Soekanto, Sosiologi Suatu,138.

20


(9)

Teori Identitas sosial menurut Michael A. Hogg yang juga mengikuti pola Tajfel mengatakan bahwa ada tiga proses pembentukan identitas sosial, yaitu:21

1. Kategori Diri (Self Categorisation)

Kategorisasi diri merupakan komponen kognitif dari identitas sosial dan berfungsi untuk mengatahui bagaimana sebuah kelompok mengkonstruksi dirinya dihadapan kelompok lain terkait dengan ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Kategorisasi diri merupakan kesadaran atas keanggotan dalam kelompok yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang menjadi bagian dari kelompok sendiri (ingroup) dan individu dari kelompok lain (outgroup).

2. Perbandingan Sosial (Social Comparison)

Menurut perbandingan sosial, individu cenderung membandingkan dirinya dengan individu lain yang mirip dengannya. Lebih spesifik lagi, ketika individu berada dalam kondisi kekurangan makna-makna objektif atas opini dan kemampunnya, dia akan membandingkan opini dan kemampuannya terhadap individu lain yang mirip denganya. Dari proses membanding-bandingkan itu, individu berharap akan menemukan perbedaan-perbedaan yang bervalensi positif pada dirinya.

3. Model Interaksional

Meskipun dalam teori identitas sosial kelompok ditempatkan sebagai unit analisis utamanya, tetapi hal itu bukan berarti faktor-faktor individual diabaikan. Setidaknya hal ini ditunjukan oleh model interaksional pembentukan identitas sosial yang melihat secara lebih komprenhensip bagaimana identitas sosial itu terbentuk, karena bukan hanya faktor kelompok saja yang menentukan terbentuknya identitas sosial individu, tetapi juga terkait

21

Michael Hogg, dalam Ridyawanit tentang Hubungan Identitas Sosial dan Konformitas Kelompok dengan Agersvitas. Diunduh dari: http://library.gunadarma.ac.id/repository/files/241428/10507204/bab-ii.pdf, pada 07 November 2014, 22:27 WIB.


(10)

dengan bagaimana individu berinteraksi dengan semua anggota kelompok dan bagaimana cara individu mengadopsi nilai-nilai yang ada di kelompoknya maupun kelompok lain.

3. Identitas dalam Teori Postkolonial

Identitas juga merupakan cara seseorang menjaga kelangsungan diri, yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Seperti halnya bangsa Israel yang membawa pengalaman mereka dalam masa pembuangan, kemudian pengalaman ini tetap terjaga sampai bangsa Israel tiba di Yehuda. Sehingga identitas Bangsa Israel harus dilihat dalam bentuk pengalaman-pengalaman koloni.

Di negara-negara difusi, identitas merupakan pengalaman seseorang untuk mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Pada intinya, identitas menjadi sarana di mana orang mengatur dan memahami pengalaman mereka dalam berbagai sistem makna dengan orang lain/other.22 Dalam refleksinya pada identitas, Stanley Aronowitz menegaskan bahwa teori-teori yang lebih tua cenderung menempatkan masyarakat dan individu sebagai sesuatu yang stabil. Stuart Hall mengasumsikan bahwa di masa lalu wacana identitas bertumpu pada gagasan ketetapan dan kestabilan, di mana keaslian dianggap sebagai jaminan untuk mengamankan kelangsungan dan menolak perubahan dari dunia. Logikanya identitas berhubungan dengan „jati diri‟, bahasa identitas sering dihubungkan dengan pencarian keaslian dari pengalaman seseorang. Menurut Rajchman, dalam wacana yang lebih tua

identitas bertumpu pada mengesampingkan yang lain „other‟, individu atau kelompok lain

yang dirasakan memilki potensi ancaman atau bahaya. Dalam dunia kontemporer memunculkan obsesi dengan menegaskan identitas atau kesamaan dari anggota kelompok yang bertujuan untuk menegaskan perbedaan dengan apa yang dianggap sebagai ancaman;

seperti „different or other‟. Perbedaan yang dirasakan mungkin milik sejumlah tipologi

22

Ruthellen Josselson, Finding Herself: Pathways to Identity Developmen in Women (San Fransisco: Jossey-Bas Publisher, 1990), 10-11.


(11)

seperti ras, agama, etnis, jenis kelamin, kelas, preferensi seksual, atau status lainnya yang diambil untuk menjadi "dasar" dalam arti tertentu seharusnya mengkhawatirkan.23

Sejalan dengan postmodern, teori postkolonial sepenuhnya menganut wacana identitas dengan mengakui destabilisasi dan fragmentasi yang mempengaruhi konsep identitas. Destabilisasi konsep identitas berasal dari kesadaran bahwa identitas merupakan pertanyaan yang melibatkan hubungan„self or other‟. Tanpa lainnya/other, tidak akan ada diri, tidak ada identitas. Perhatian kontemporer dengan menyoroti keberadaan proposisi yang alteritas (perbedaan atau keberadaan yang lain) guna menentukan proses identifikasi. Ini adalah keberadaan the other yang memberikan makna diri.24

Banyak pemikir sepakat hari ini pada sifat pergeseran identitas dalam dunia global yang ditandai dengan apa yang disebut Edward Said dalam Budaya dan Imperialisme "campuran budaya dan identitas". Untuk Edward Said, ketidakstabilan merupakan karakteristik utama dari identitas. Identitas selalu berlangsung, berfluktuasi antara perbedaan, pergeseran melewati proses tanpa akhir. Identitas pluralistik adalah gagasan yang membutuhkan pengolahan, bagi Homi Bhabha contoh identitas pluralistik yakni hibriditas.25 Konsep hibriditas seperti ini tak terelakkan terkait dengan gagasan ambivalensi dan ketidakpastian, karena adanya ketidak tetapan antara kesamaan dan perbedaan, muncul dari ketidak mampuan untuk mengadopsi satu identitas tertentu.

Ada beberapa tema yang berhubungan dengan identitas terutama bagaimana mereka yang terjajah kemudian memaknai identitas mereka ketika berhadapan dengan pengaruh-pengaruh penjajah yang ada disekitar mereka. Contohnya dalam melihat latar belakang Ezra, ketika ada dalam pembuangan di babylonia, secara tidak langsung bangsa Israel ingin seperti

23

Cherki Karkaba, Deconstructing Indentity in Postcolonial Fiction (Marocco: Sultan Slimane University, 2010), 92-93.

24

Karkaba, Deconstructing Indentity, 93.

25


(12)

Babylonia, yang maju dan berkuasa. Namun disaat yang sama bangsa Israel tetap menjaga identitas mereka, inilah disebut „ambivalensi‟ mencintai sekaligus membenci tetapi merupakan bentuk dari penolakan atau pemberontakan yang dijajah terhadap kekuasaan kolonial. Dalam rangka membahas masalah identitas, penting untuk memahami sejumlah tema seperti tema ambivalensi, mimikri, dan hybriditas yang merupakan bagaian yang tidak terpisahkan dari pembentukan identitas, terutama bagi mereka yang berhadapan dengan kekuasan penjajah/kolonial, seperti:26

a) Ambivalensi : Melalui konsep ambivalensi adanya proses yang kompleks terkait bagaimana yang dominan „memandang‟ yang subordinat, begitu pula sebaliknya bagaimana yang subordinat mengganggu yang dominan dengan bentuk mimikri. Konsep ambivalensi menunjukan bahwa subjek poskolonial tidak pernah utuh menjadi posisi diri yang terjajah maupun yang menjajah (dominan). Artinya ketika penjajah dengan agresif menyatakan superiornya kepada penjajah, namun selalu cemas untuk merenungkan identitasnya sendiri, yang tidak cukup stabil seperti menyiratkan agresi.

b) Mimikri : Mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya agensi dari subjek kolonial untuk memasuki kuasa dominan sekaligus bermain-main di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas yang menyerupai penjajah tetapi tidak sepenuhnya sama. Ambivalensi berkaitan dengan mimikri, dengan terjajah mengadopsi dan beradaptasi dengan budaya penjajah bukan berarti terjajah berasimilasi kedalam budaya penjajah (dominan).

c) Hybrid : Konsep ini memandang suatu budaya tidak pernah murni, budaya bukan fenomena terpisah sebaliknya, mereka selalu melakukan kontak dengan orang lain; dan kontak ini menyebabkan „cultural mixed‟.

26


(13)

Dalam wacana baru ini, identitas dalam teori postkolonial menjadi proses interogasi. Teori postkolonial memandang identitas sebagai proses yang terus menerus berubah di mana

self, dalam negosiasi terus-menerus dengan the other, dalam memberlakukan mekanisme self-interogasi.

4. Identitas Masyarakat Diaspora

Ketika melihat perjalanan panjang bangsa Israel dari masa pembuangan hingga pasca pembuangan, identitas bangsa Israel berupa simbolik; dimana Yerusalem disombolik sebagai tanah, Bait Allah sebagai pusat kehidupan serta torah yang berfungsi untuk mempersatukan antara tanah dan pusat kehidupan. Kuatnya identitas bangsa Israel itu terlihat dari diberlakukananya torah di Yerusalem, sehingga penulis merasa penting untuk melihat identitas bangsa Israel sebagai masyarakat diaspora. Apakah dalam pasca pembuangan identitas bangsa Israel akan pudar ataukah semakain mengkristal.

Istilah diaspora berasal dari bahasa Yunani „diapeiro‟ , kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris „dispersion‟ yang bermakna terpencar atau penyerbarluasan; yang berarti menyebar keluar negeri ataupun menyebar disekitarnya. Oleh karena itu istilah diaspora menurut Webster mencakup gagasan tentang sebuah pusat, lokus atau sebuah 'rumah' dari mana penyebarluasan itu terjadi. Dalam kamus di Amerika Serikat menyoroti hubungan kata ini (diaspora) dengan penyebaran orang-orang Yahudi setelah pembuangan di Babel; yang tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat beserta dengan tradisi, budaya, dan agama mereka.27 Menurut Brah, penggunaan istilah diaspora

memungkinkan kita untuk mulai mendekonstruksi rezim kekuasaan yang beroperasi untuk membedakan satu kelompok dari kelompok yang lain; dan untuk mewakili mereka sebagai yang sama atau berbeda; untuk memasukan atau mengeluarkan mereka dari rekonstruksi

27


(14)

bangsa.28 Para ilmuan sosiologi modern menggunakan istilah „diaspora‟ merujuk kepada para migran yang tinggal di daerah perantauan dan melahirkan generasi-generasi baru di perantauan, namun semuanya tetap menjaga hubungan kekeluargaan dan melakukan kunjungan berkala ke daerah asal mereka.29

Paul Gilory mengidentifikasi diaspora sebagai suatu hubungan relational, pembentukan karakater yang disebabkan penyebaran suku atau etnis secara terpaksa. Faktor pendukung diaspora yakni adanya suatu pengaruh yang dominan, seperti perang atau desakan internal dalam suatu wilayah, atau faktor ekonomi. Pendapat lainnya, tidak hanya membatasi diaspora hanya tempat penampungan bagi etnis yang terusir paksa.30 Menurut Jana Evans Braziel, diaspora adalah suatu istilah yang secara harafiah berada pada tingkatan historis, dimana suatu etnis „memindahkan tanah air atau homeland‟ mereka melalui migrasi atau

mengasingkan diri sebagai konsekuensi dari upaya perluasan daerah koloni.31 Demikian halnya diungkapkan Sheffer, diaspora adalah suatu kelompok etnis atau bangsa yang meninggalkan tanah airnya; karena adanya kekerasan atau hal lainnya, namun di lain pihak tetap memilihara identitas kolektifnya (bahasa, agama, budaya). Sheffer menggolongkan diaspora atas dua kategori yakni diaspora lama atau traditional historical dan diaspora baru.32

Vertovec membagi diaspora dalam tiga kategorisasi, yang menyangkut proses penyebaran, masyarakat yang tinggal di daerah asing, serta tampat atau ruang geografis dimana mereka tinggal atau berdiaspora. Secara sosiologis dan antropologis, diasporik atau masyarakat diaspora mengalami pola perubahan akibat interaksi dan adaptasi dengan

28

Brah, Cartographies of, 179.

29 Singgih Tri Sulistiyono, Ðiaspora dan Proses Formasi „Keindonesiaan‟: Sebuah Pengantar Diskusi

(Makala dipresentasikan pada Konfrensi Sejarah IX, 5-7 Juli, 2010), 8.

30

Jana Evans Braziel & Anita Mannur, Theorizing Diaspora (Germany : Blackwel Publishing, 2003), 1-3.

31

Braziel & Mannur, Theorizing Diaspora, 5.

32

Gabriel Sheffer, Diaspora Politics At Home Abroad (England: Cambridge Iniversity Press, 2002), 18.


(15)

masyarakat lokal. Pola perubahan ini berhubungan dengan migrasi dan status minoritas yang meliputi etnis dan pluralisme agama, identitas serta perubahan lainnya.33

Dalam menyimpulkan pendapat para ahli sebelumnya, Safran mengusulkan teori

Diaspora Klasik yang dijelaskannya dalama lima karakteristik dari diasporik, yaitu: Pertama, etnis atau suku yang meningalkan tanah airnya karena terpaksa menuju daerah asing. Kedua, mereka tetap mempertahankan memori kolektif, visi atau sejarah tentang tanah airnya.

Ketiga, disamping itu adanya kesadaran bahwa tidak sepenuhnya mereka akan diterima oleh karena itu sebagian dari mereka mengasingkan diri. Keempat, masyarakat diaspora menganggap bahwa tanah air mereka merupakan wilayah ideal sehingga ada harapan untuk kembali. Kelima, mereka tetap berupaya untuk menghubungkan dirinya dengan tanah airnya dengan cara memilihara kebudayaan dan kepercayaannya.34 Lewat karakteristik tersebut dapat dijelaskan bahwa, populasi diasporik „terintegrasi‟ tetapi tidak „terasimilasi‟ dengan

penduduk lokal, yang disebabkan oleh adanya kesadaran mempertahankan identitas yang kuat karena masih memelihara memori tentang daerah asal dan sejarahnya, atau dikenal dengan istilah „komunitas imajiner‟.

B. Perempuan Sebagai ‘sang liyan’

Ketika Ezra melarang adanya perkawinan bahkan pengusiran bagi perempuan yang telah dinikahi oleh laki-laki Israel, hal tersebut bukan hanya sebagai upaya mempertahankan identitas melainkan kecenderungan dalam memandang perempuan-perempuan asing sebagai yang lain dari komunitas Israel yang harus dihindari. Maka dengan itu teori sang liyan atau

the other untuk menolong penulis dalam memahami kitab Ezra terkhusnya perlakuan Ezra terhadap perempuan asing.

33Steven Vertovec, “Religion and Diaspora” dalam Peter Antes, A, A. W. Geertz and Randi Arne, New Approachhes of Transnational Studies, Vol 1 (Belin: Walter de Gruyter, 2004), 275-297.

34

Wilian Safran ,“The Jewish Diaspora in a Coparative and Theoretical Perspective” Vol 10/No 1, (Spring : 2005), 36-38.


(16)

Teori „the other‟ atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai „sang

liyan‟, pertama kali di bentuk dari rekonstruksi budaya oleh Simone de Beavoir yang

menyebutnya „perempuan sebagai sang liyan‟. Ia menyatakan bahwa, kategori „sang liyan‟

sangat fundamental dalam pembentukan seluruh manusia menjadi subjek, disebabkan pengertian kita tentang diri sendiri.35 Artinya bahwa, „sang liyan‟ itu muncul, ketika perempuan mempersepsikan dirinya bukan sebagai manusia seutuhya, oleh karena itu adanya dorongan untuk perempuan harus menggunakan agensi atau badan mereka dalam melayani manusia yang dianggap utuh (yang dimaksudkan dengan manusia utuh ialah laki-laki).36. Dengan cara pandang seperti itu, ia yakin bahwa bagian dari laki-laki. Sehingga terciptakan citra laki-laki sebagai subjek sedangkan perempuan adalah objek atau „yang lain‟ (the other).

Dalam menjelaskan dasar teorinya tentang perempuan Beauvoir mengacu pada teori eksistensialisme dari Jean Paul Sartre tentang tiga modus atau konsep „ada‟ pada manusia. Konsep yang dipakai ialah etre pour les autres atau ada untuk orang lain. Bagi Satre, setiap relasi antar manusia pada dasarnya bermula dari konflik. Dalam perjumpaan antar subyek atau kesadaran, aktivitas menindak berlangsung, artinya masing-masing pihak mempertahankan kesubyekannya, dunianya, dan berusaha mengobyekan orang lain.37 Beauvoir mengemukakan bahwa, laki-laki dinamai sang „diri', sedangkan “perempuan” sang

Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi „diri‟, maka perempuan adalah ancaman bagi laki -laki. Oleh karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya.38

Lacan memahami konsep „sang liyan‟, sebagai korban dari tata simbolik. Tata

simbolik berhubungan erat dengan aturan laki-laki, yang diungkapkan dalam bahasa dan cara

35

Sarah Gamble, Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), 41.

36

Nancy Bauer, Simone De Beauvoir: Philosophy & Feminism (New York: Columbia University Press, 2001), 44.

37

Arivia, Filsafat Berperspektif ,123.

38


(17)

berfikir, dimana laki-laki selalu diistimewakan. Simbol istimewa dari laki-laki yakni „phallus‟

atau „lingga‟ ialah lambang kemaluan laki-laki, maka timbulah rasa bersalah dari perempuan

karena tidak memiliki „phallus. Ketidakpemilikan lingga membentuk perempuan mendeskripsikan dirinya sebagai bentuk lain dari laki-laki yang tidak sempurna, sehingga memaksa perempuan untuk berpesan sebagai bawahan dari laki-laki. Oleh alasan inilah perempuan dikonstruksikan sebagai sang liyan.39

Kontribusi Spivak di dasarkan pada perbedaan antara perempuan dari berbagai segi, yang menekankan bahwa penilaian terhadap perempuan tidak dapat diwakilkan hanya oleh para intelektual barat dan para lelaki tidak dapat membuat pernyataan atas nama perempuan. Karena ketika laki-laki berbicara mengatasnamakan perempuan, tanpa disadari telah merekonstruksi perempuan sebagai sang liyan.40 Bagi Spivak, liyan disebut juga sebagai subaltern yang mengacu pada kelompok yang lemah, dan yang tidak berdaya. Ketidakberdayaan subaltern ini berasal dari penindasan yang mereka alami, sehingga perempuan terkonstruksikan menjadi kelompok minoritas, berkulit hitam, perempuan, ras pinggiran, dan warga negara kelas dua.41

Melihat jauh kebelakang pada masyarakat Yunani kuno, bentuk geografis dari sang liyan diawali dari perbedaan cara penuturan Yunani dan Barbar. Barbar adalah orang yang tidak berbicara bahasa Yunani dengan demikian dianggap tidak menguasai logos. Dalam demensi geografis sang liyan terbentuk karena budaya permukaan di bagi menjadi blok-blok spasial (seperti,\: negara, zona, benua). Konstruksi sang liyan didasarkan hirarki peradaban dan mengharuskan kriteria universal yang memungkinkan terjadi perbandingan.42

39

Elizabeth Grosz, Jacques Lacan: A Feminist Introduction (New York: Routledge, 1990), 69.

40

Sangeeta Ray, In Other Words (India: Wiley-Blackwell, 2009), 107-19.

41

Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), 40.

42Jean Francois Staszak, „Other/Otherness,‟ International Encyclopedia of Human Geography (2008),


(18)

Semua kelompok cenderung akan menghargai diri sendiri dan membedakan diri dari orang lain merupakan wacana terbentuknya sang liyan. Selain itu sang liyan terbentuk akibat konstruksi masyarakat Barat berbicara mengatasnamakan masyarakat non Barat, sehingga kemampuan untuk menginterpretasikan diri sebagai non Barat menjadi kabur. Menurut Staszak,43 masyarakat Barat menonjol karena dua alasan. yakni: 1) identitas sang liyan di dasarkan pada logika biner, 2) kolonialisasi memungkinkan Masyarakat Barat untuk mengekspor nilai-nilai kepada masyarakat non Barat, sehingga terjadinya pembauran budaya. Bagi Staszak kategori identitas Barat dan sang liyan ditransmisikan melalui kalim universalis agama dan ilmu pengetahuan yang diberlakukan paksa melalui kolonisasi.

Negara tradisonal atau dunia ketiga dipandang sebagai orang Kristen yang tidak memilki keuntungan, sehingga perempuan Asia dianggap berhak menjadi yang berbeda atau sebagai sang liyan. Menurut teolog Asia Marianne Katoppo,44 konsep sang liyan terbentuk dari laki-laki yang menganggap nilai mereka sebagai manusia utuh tidak boleh terancam oleh keberadaan perempuan. Laki-laki yang merasa terancam akan beraksi secara emosional, sehingga mereka gagal menyadari bahwa pembebasan perempuan juga merupakan pembebasan manusia sejauh berkaitan dengsan pembebasan semua orang untuk menjadi pelaku penuh dalam masyarakat. Reaksi tersebut dikarenakan oleh rasa takut akan kehilangan status, runtuhnya struktur patriakal dan takut terancam oleh sang liyan. Refleksi Maraianne terhadap perempuan Asia penuh dengan ketidakpastian. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor budaya dan pendidikan, sejak usia dini perempuan telah dikodratkan untuk tunduk dan memilki status di bawah laki-laki.45 Status perempuan tidak akan pernah menjadi utama bahkan untuk menentukan haknya sendiri, perempuan akan selalu berperan sebagai putri, istri atau ibu dari seorang laki-laki.

43

Staszak, Other/otherness, 4.

44

Marianne Katoppo, Compassionate and Free: An Asian Woman‟s Theology (New York: Orbis Books, 1981), 8.

45


(19)

C. Kedudukan Laki-laki dan Perempuan di Israel Kuno

Masyarakat Israel Kuno sangat melekat dengan dunia patriakhal, ketika Ezra memutuskan harus memisahkan antara laki-laki Israel dan perempuan asing menunjukan bahwa kedudukan perempuan sangat terancam; sehingga dalam setiap keputusan nasib perempuan di Israel tidak diperhitungkan. Oleh sebab itu teori ini kiranya dapat menolong melihat bagaimana kedudukan sebenarnya antara laki-laki dan perempuan di Israel Kuno.

Parameter dominasi laki-laki telah menjadi norma hampir di semua lapisan masyarakat. Ahli seperti Rogers mendaftar karakteristik dalam sistem dominasi laki-laki, yang juga dapat digunakan dalam mempertimbangkan kelompok sosial di Israel, yakni;46 1) Wanita dikaitkan dengan urusan rumah tangga. 2) Masyarakat yang berorientasi ranah domestik; kehidupannya berpusat di sekitar rumah, dan apa yang terjadi memiliki implikasi untuk kehidupan diluar rumah. 3) Hak formal dalam masyarakat dapat merugikan perempuan; tetapi di hari-hari resmi, perempuan dapat memberikan kekuasan dalam komunitas kecil. 4) Sebuah konsekuensi terhadap item ke-3, bahwa laki-laki tetap memiliki akses yang lebih besar dalam aspek formal, politik, dan struktur masyarakat. 5) Pria yang sibuk dengan kegiatan secara kultural tetap dihargai. 6) Laki-laki dan perempuan saling ketergantungan dalam hal-hal penting, misalnya; politik, ekonomi. Kemungkinan laki-laki secara otonom betindak namun laki-laki membutuhkan perempuan untuk bertahan hidup.

Menurut Rogers item ke-6 penting karena, memperlihatkan tindakan saling mengimbangi antara otoritas laki-laki dan kekuatan perempuan. Model ini juga dapat memberi petunjuk untuk mengevaluasi hubungan gender dalam formatif Bangsa Israel. Patriarki dalam kanon Alkitab menetapkan sifat androsentrik Israel Kuno sehubungan dengan hukum-hukum yang bersifat formal dalam masyarakat. Item pertama, dapat diasumsikan

46

Carol Meyers, Discovering Eve; Ancient Israelite Women In Context (New York: Oxford University Press, 1988), 43.


(20)

bahwa tidak semua perempuan dalam Alkitab tidak tergabung dalam orientasi publik. Dalam Alkitab secara terang-terangan peduli dengan kehidupan publik dan korporasi yang memperlihatkan peran perempuan. Yang disebut patriarki dalam kitab Kejadian ialah pengaturan sosial terhadap kehidupan keluarga dan penokohan perempuan dalam diri orang

laian „matriarchs‟ yang merupakan bagian penting dalam narasi.47

Selama priode pramonarki, Isreal Kuno diyakini telah memiliki tiga tingkatan dalam organisasi kemasyarakatan, yakni; tribe, clan atau family, dan household. Unit utama dalam organiasi kemasyarakatan di Israel adalah tribe atau suku. Setiap suku memiliki namanya sendiri, yang berasal dari nama para leluhur atau berasal dari nama anak laki-laki yang disegani.48 Di Israel Kuno, orang-orang yang tidak terikat dengan hubungan darah atau keluarga akan membentuk mispahah (clan or family), atau kelompok kekerabatan keluarga yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dan bekerja di kebun yang mengelilingi desa mereka. Pada saman besi jumlah orang dalam ‟mispaha‟ sekitar 100 jiwa yang

memungkinkan untuk membentuk suatu desa. „Mispaha‟ dibagi menjadi unit-unit rumah

tangga, gabungan dari keluarga.49

Penekanan besar terhadap silsilah dalam catatan Alkitab adalah pentingnya konsep patrilinear. Demikian pula triminologi untuk unit dasar keluarga, yang dikenal dengan bet‟ab yang secara harafiah berarti father‟s house; terdiri dari keluarga sedarah serta perempuan yang terhubung melalai suatu pernikahan. Selain keluarga inti dari dua orang tua dan anak-anak yang belum menikah, bet‟ab terdiri dari beberapa genarisi anggota keluarga serta budak, hamba.50 Salah satu bentuk kompleksitas bet‟ab digambarkan dalam kisah Mikha dalam Kitab Hakim-hakim 17. Bet‟ab tidak hanya merujuk pada anggota keluarga, tetapi juga

47

Meyers, Discovering Eve, 43-44.

48

Meyers, Discovering Eve, 124-125.

49Jennie R. Ebeling, Women‟s Lives in Biblical Times (New York: T&T Clark International, 2010), 26 50


(21)

menyangkut aspek ekonomi, dan itu termasuk struktur rumah tangga, harta, hewan serta manusia. Jadi bet‟ab dapat diterjemahkan sebagai family household, karena mempertimbangkan berbagai fungsi rumah tangga, produksi rumah tangga, kegiatan sosial, kutus atau praktek religius

Karena keturunan dan warisan pada umumnya diperhitungkan melalui ayah, bet‟ab sehingga sering dianggap sebagai unit patriakal dengan otoritas yang tertinggi ilah laki-laki tertuah dalam rumah tangga. Namun dalam penerapan model patriakal di Israel Kuno, juga terdapat peran utama perempuan dalam pengambilan keputusan penting di keluarga dan adat istiadat, seperti; perkawinan. Bukti menunjukan bahwa perempuan memilki kekuasaan dalam periode di masyarakat agraris, berdasarkan periode ini kontribusi ekonomi sangat besar pada suatu rumah tangga. Pentingnya perempuan dalam rumah tangga Israel dalam Alkitab Ibarani, yang disebut bet‟em atau mother‟s house. Dalam empat ayat-ayat (Kej 24,28; Ruth 1:8; Kidung Aguang 3,4) ini mencakup ekspersi bet‟em, dengan teks yang menceritakan hubungan dengan hikmat ini hadir; ketika perempuan sebagai agen yang menentukan nasibnya sendiri, pengaturan domestik dan pernikahan. 51

Dalam konsep Perjajian Lama, perempuan dalam masyarakat Israel sepenuhnya di tentukan oleh penilaian yang diberikan oleh suami dan anak-anak mereka. Fakta bahwa ayah adalah kepala hukum dari rumah tangga dan bahwa setiap perempuan ada di bawah otoritas beberapa laki-laki, yakni; ayah dan kemudian suaminya.52 Oleh karena itu wanita dipandang sebagai harta benda namun terkadang perempuan dilihat sesuai dengan hak mereka sendiri. Menurut Mace, dua faktor yang mempengaruhi kedudukan perempuan adalah;53 pertama, bahwa adanya pengaburan antara istri yang memilki hak-hak hukum tertentu, sehingga dapat mengajukan banding kepada keluarga mereka sendiri untuk memulihkan haknya, dengan

51

Ebeling, Women‟s Lives, 28.

52

Mary J. Evans, Women in the Bibile (Amerika: InterVarsity Press, 1983), 24.

53


(22)

hamba perempuan, yang memiliki sangat sedikit hak, dan selir yang lebih dari budak, dan lebih kecil dari istri, mengakibatkan penurunan status perempuan secara umum. Istri mungkin menemukan dirinya diperlakukan sebagai budak dan sebaliknya. Kedua, Mace melihat tidak ada perbedaan jelas antara otoritas suami atau ayah. Wanita, dalam kaitannya dengan seksualitas dimiliki oleh sang suami, itulah sebabnya mengapa hukum perzinahan dan perceraian dalam kategori properti hukum.

Dalam literatur di Timur Dekat Kuno, memiliki undang-undang yang lebih menguntungkan perempuan dibandingkan dengan Israel. Sebagai contoh, Kode Hammurabi memungkinkan perempuan untuk mewarisi harta bersama dengan saudaranya laki-laki dan ketika dia bercerai dengan suaminya mendapatkan bagian harta dari sang suami. McKenzie menunjukan bahwa keadaan terbalik di Israel, perempuan tidak dapat membuat keputusan moral secara pribadi, karena harus disetujui/disahkan oleh ayah atau suami. Vriezen mengutip dari Reinfenberg bahwa, perempuan terikat untuk menyimpan berbagai ajaran moral dan hukum yang merupakan tanggung jawab pribadi. Para perempuan Israel memang memiliki hak, baik hukum dan ekonomi namun hak-hak ini diamankan dan dijaga, bukan oleh dirinya sendiri melainkan ayah bagi perempuan yang belum menikah dan suami bagi yang sudah menikah.54 Eichrodt mencatat bahwa di mana ikatan keluaga yang kuat, peraturan-peraturan seakan tidak penting, hal ini menjelaskan mengapa perempuan yang tidak memiliki keluarga untuk melindungi hak-hak mereka (seperti, janda dengan anak-anak), berada di bawah perlindungan khusus dari Yahwe.55

Hubungan perjanjian antara Allah dan umat-Nya melibatkan berkat dan tanggungjawab. Berkat yang di terima Israel berdasarkan hubungan khusus dengan Allah beragam; namun yang terutama ialah umur panjang, kesejahteraan, anak-anak, dan tanah.

54

Mace, Hebrew Marage,189.

55


(23)

Dalam hal ini perempuan mengambil peran penting dalam pemunuhan janji, dan tidak ada alasan untuk mengecualikan perempuan dalam menerima berkat untuk menjadi umat Allah.56 Benar bahwa perempuan tidak menerima sunat yang merupakan tanda lahiriah perjanjian, ini mungkin ungkapan simbolik akan fakta bahwa perempuan berstatus sekunder sejak lahir. Disisi lain sunat merupakan simbolik dari fungsi yang menandai laki-laki yang akan mewakili keluarganya di hadapan Allah. Perempuan Israel juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan laki-laki yakni, untuk menjaga hukum dan menjaga kemurnian budaya. Dari penjelasan diatas, tampak jelas bahwa hukum di Israel tidak dirancang untuk mencabut perempuan dalam menerima berkat kultus; seperti yang tertulis dalam Ulangan 31:9-13.57

1. Perkawinan dan Perceraian di Israel Kuno

Perkawinan dalam dunia Israel Kuno sangat sakral dan sangat penting dalam tatanan masyarakat Israel, sehingga teori ini dirasa penting untuk membantu penulis dalam mehamai perkawinan seperti apakah yang diperbolehkan di Israel yang juga akan membantuk untuk melihat alasan adanya larangan pernikahan dengan perempuan asing.

Ketika Allah menciptakan manusia pertama yakni laki-laki, dirasakanNya laki-laki tidak baik sendiri, sehingga membutuhkan seseorang untuk membantunya; oleh karena itu Allah menciptakan perempuan untuk menjadi penolong. Perempuan diambil dari laki-laki, sehingga perempuan harus berada dengan laki-laki; agar menjadi manusia seutuhnya.58 Latar belakang inilah yang dianggap menjadi dasar mengapa perkawinan dianggap penting dalam kehidupan masyarakat Israel.

Dari manakah laki-laki Israel menemukan perempuan yang paling tepat untuk dijadikan sebagai penolong dan untuk membentuk keluarga baru? Dalam hal perkawinan,

56

Vos, Women in, 131.

57

Vos, Women in, 51-59.

58


(24)

Bangsa Israel memiliki aturan tetap dan ketat. Prinsip utamanya ialah, seorang perempuan yang tidak boleh jauh dari keluarga laki-laki; hal ini dilakukan untuk mengantisipasi masuknya elemen atau unsur baru yang berbeda. Unsur baru yang berbeda akan berdampak kekacauan dalam bet ab, di mana anak laki-laki dikeluarkan dari rumah ayahnya. Kisah Abraham mencari istri untuk Ishak adalah contoh nyata dari penerapan aturan ini (Kejadian 24). Tujuan utamnya adalah, mencari seseorang yang berasal dari daging dan darah yang sama, agar keturunan Abraham tetap murni.59

Alkitab Ibrani penuh dengan status perempuan sebagai istri dan ibu; istri merupakan figur yang menonjol dalam narasi patriarkal khususnya dalam Kitab Kejadian, dengan banyak cerita keluarga dan penekanan pada menciptakan skema silsilah. Menikah adalah situasi yang diharapkan dari seorang wanita dewasa di Israel kuno, dan tidak menikah adalah sumber penghinaan (Yes. 4.1). Tidak ada istilah Ibrani untuk istri; sebaliknya, para penulis Alkitab menggunakan kata umum untuk "wanita" disebut 'Isya‟, sementara suami sering disebut

Ba'al. Istilah ini merujuk terhadap hubungan suami istri yang ditandai dengan tersubordinasinya istri dari tuan atau suami, sehingga istri selalu menjadi orang luar dalam rumah tangga suaminya.60

Pernikahan yang ideal di Israel kuno adalah endogamous, atau dibuat dalam kelompok yang lebih besar(Kej 24.1-4;. Hakim-hakim14.1-3); ini mungkin berarti bahwa seorang pria dan seorang wanita dari suku yang sama idealnya menikah. Pernikahan dengan orang asing yang dianggap berbahaya, seperti dalam kasus Salomo, yang banyak istri asing yang menyembah dewa selainYahweh (1 Raj11.1-8).

Ketika seorang perempuan telah meninggalkan ayahnya dan menikah, bersamaan dengan itu perempuan bukan lagi menjadi tanggung jawab seorang ayah. Oleh karena itu perempuan tidak bisa diharapkan untuk melestarikan nama keluarga atau mewarisi harta

59

Pedersen, Israel Its, 64.

60


(25)

dalam keluarga ayahnya. Untuk alasan ini, hukum menyatakan bahwa perempuan berfungsi

sebagai „pemeliharaan‟ dari pada perwarisan.61

Menurut Vos tidak ada aturan untuk menggambarkan subordinasi terhadap istri, tepatnya di mana istri disuruh untuk menghormati atau mematuhi suaminya, seperti untuk selalu berada dengan anak-anak. Struktur masyarakat patriakal terkhususnya di dalam keluarga tidak dibenarkan dalam teori doktrinal, begitu pun dengan hukum. Melainkan hanya diterima begitu saja, bahwa jiwa manusia adalah kuat.62 Dalam konsep Ibrani, yang lemah selalu menghormati yang kuat, sehingga terbentuk komunitas dengan pola pikir bahwa pemimpin dari keluarga ialah laki-laki sebagai yang kuat. Terkadang, istri dipandang hanya sebagai sarana untuk memperoleh anak, untuk bangsa Israel memiliki anak, terutama anak laki-laki yang akan melanjutkan garis keturunannya, adalah sangat penting. Namun, ada banyak indikasi bahwa terkadang istri juga dilihat sebagai pribadi yang memiliki haknya, karena itu perempuan dihargai. Seperti halnya dalam Amsal 31 yang menyajikan istri yang ideal sebagai bawahan suami, dan pengasuh bagi seorang anak laki-laki. Pada kenyataannya, dalam gambar yang ideal ini, istri dan anak-anak yang disebutkan hanya kebetulan. Sebaliknya, 'sebagai mitra dari suaminya, perempuan memiliki tanggung jawab dalam domain-nya yang melampaui rumah; yakni pengelolaan lahan dan untuk transaksi di pasar.63 Harus dicatat bahwa hal ini tidak menggambarkan situasi ideal yang sebenarnya, namun itu adalah hal yang menarik untuk melihat bagaimana gambaran ideal dapat jauh berbeda dengan yang umum diterima oleh perempuan dalam ciri khas perjanjian lama.

Dalam Kitab suci Perjanjian Lama, juga terdapat teks-teks yang memuat aturan-aturan tentang perceraian. Aturan-aturan tersebut berupa larangan maupun persetujuan terhadap

61

Ben Witherington III, Women in the Genesis of Christianity (New York: Cambrigade University Press, 1990 ), 3-4

62

Clarence F. Vos, Women in Old Testament Worship (Delft: Judels & Brinkman, 1986), 46.

63

Derek Kidner, Proverbs, Vol. 17, Of Tyndale Old Testament Comentaries (Amerika: InterVarsity Press, 2009), 183


(26)

tindakan perceraian. Ada dua faktor yang menyebabkan perceraian dilarang:64 1) jika seseorang mengajukan tuduhan palsu terhadap istrinya, bahwa sebelum pernikahan mereka, istri sudah melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain (Ul 22:13-19); 2) jika seseorang laki-laki bersetubuh dengan perempuan, dan ayah perempuan itu memaksa laki-laki itu untuk menikah dengan anaknya (Ul 22:28-29; Kel 22:16-17). Kemudian peraturan dalam Ulangan 24:1-4 menjadi pokok pertantangan Yesus dengan orang Farisi, akan tetapi peraturan ini tidak bersifat „memerintahkan atau keharusan‟ untuk bercerai; tetapi mengandaikan bahwa perceraian sudah terjadi. Karena melihat kehidupan dalam budaya Israel yang sangat patriakal, karena suami memilki hak untuk menceraikan istrinya dengan alasan apapun.65 Terutama hal ini banyak terjadi ketika masa peperangan, banyak para suami yang menceraikan istrinya kemudian melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan tawanan.66 Dengan demikian perceraian ditoleransi dalam batas-batas hukum dan alasannya telah melakukan tindakan yang „senonoh‟, dalam menanggapi kasus ini suami diminta menulis surat cerai guna melindunginya.67

D. Gerakan Feminisme

Perempuan di Israel kuno maupun perempuan di zaman sekarang akan terus saling berhubungan, ketika masih adanya dominiasi dari kaum laki-laki; hal pentingan dalam keseluruhan tesis ini ialah membaca tulisan ini dalam terang feminis. Sehingga teori ini

64

Yayasan Komunikasih Bina Kasih. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini-jilid II (Jakarta: Yayasan Komunikasi Binah Kasih/OMF, 2004), 157

65

Asnath N. Natar, Ketika Perempuan Berteologi: Teologi Feminis Kontekstual (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012)126-127.

66

http://citijam.blogspot.com/2012/02/konsep-perceraian-dalam-pl.html, diunduh pada Minggu, 30 Nov 2014, pukul 23.00 WIB

67

Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Alla h: Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 182.


(27)

merasa penting dalam meonolong penulis untuk melihat lebih dalam gerakan feminis berkembang.

Istilah „feminis‟ pertama kali digunakan dalam literatur Bahasa Inggris pada tahun

1880-an, yang menunjukan dukungan untuk wanita mengenai persamaan hukum dan politik dengan laki-laki. Kata „feminis‟ dari akar kata femme, yang dalam bahasa Inggris disebut

woman, berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Perlu dibedakan antara kata male dan female yang merujuk pada aspek perbedaan biologis/seks secara lahiriah, dan penggunaan kata masculine

dan feminine merujuk pada aspek perbedaan psikologis cultural/gender. Oleh karena itu istilah „feminis‟ secara umum merujuk pada teori-teori yang melihat hubungan antar kedua jenis kelamin sebagai salah satu bentuk dalam ketidaksetaraan, subordinasi atau penindasan, yang juga sebagai masalah kekuasan politik yang bukan bersifat alami.68 Teori nurture (kebudayaan) berpandangan bahwa, perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang ada di masyarakat tercipta melalui proses belajar dari lingkungan. Lebih jauh dijelaskan bahwa konsepsi perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan lebih dikarenakan oleh persoalan sosialisasi dan internalisasi secara kultural di masyarakat, dalam segala sistem pranata sosial yang ada. Ditambahkan pula dalam teori sosialisasi (social learning) bahwa perbedaan peran gender merupakan hasil dari tuntutan dan harapan lingkungan yang patriakal.69

Dasar awal dari teori feminisme ialah untuk memahami penyebab ketertindasan perempuan dengan tujuan menjungkirbalikan tatanan sosial yang didominasi laki-laki.70 Berpikir sebagai seorang feminis akan membawa kita pada kenyataan historis di mana kehidupan masyarakat ada dalam dominasi laki-laki dan perempuan sering dijadikan objek.

68

Valerie Bryson, Feminist Political Theory : Second Editions (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 3

69

Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 53-55

70

Stevi Jackson & Jackie J, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontenporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 5.


(28)

Kemudian hal ini diwariskan sebagai pengatahuan objektif bahwa dunia dihasilkan oleh kaum laki-laki.71 Joan W. Conn mengemukakan feminisme sebagai seperangkat ide dan juga rancana aksi yang praktis, yang berakar dalam kesadaran kritis kaum perempuan tentang bagaimana suatu kebudayaan yang dikendalikan dan untuk keuntungan mereka sendiri. Sebagai suatu rencana aksi yang praktis, ia menjadikan orang-orang yang mengambil bagaian dalam ideologi feminis untuk bertindak sebagai agen-agen perubahan dalam melawan dominasi laki-laki.72

Berkembangnya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan terbentuk dari adanya peradaban berburu, di mana perempuan tidak dilibatkan dalam proses berburu. Dengan tersingkirnya perempuan dalam ranah publik, kaum lelaki membangun legitimasi kelakiannya yang diperkenalkan lewat simbol-simbol magi atau religi primitif yang kemudian dianggap sakral bagi masyarakat.73 Pandangan berbeda muncul dari Engels Federich dalam bukunya The Origin of the Family; Private Property and the State, menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya perempuan disebabkan oleh munculnya perubahan dalam organisasi kekayaan. Munculnya hewan piaraan dan pertanian menetap, yakni suatu masa awal penciptaan surplus yang merupakan dasar munculnya private property. Karena laki-laki di saat itu mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik, sehingga perempuan direduksi menjadi bagaian dari property belaka.74

Perubahan tentang peran dan posisi perempuan dalam suatu masyarakat relatif terjadi; perubahan ini dipicu oleh perubahan sosial yang terus berlangsung. Perubahan dalam peran dan posisi perempuan juga tidak dapat dipungkiri, difasilitasi oleh politik dan budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki lebih superior dibanding perempuan yang

71

Jackson & Jackie J, Pengantar Teori, 2.

72

Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumera: Ledalero, 2002), 29

73

Maryln French, Beyond Power: On Women, Men, and Morals (New York: Balantine Books, 1985), 27.

74


(29)

inferior.75 Seperti halnya keadaan perempuan dalam masyarakat agraris; dalam keluarga, dominasi laki-laki adalah aturan mutlak. Suami memperoleh hak mutlak terhadap harta miliknya. Di India, di bawah hukum Hindu, satu-satunya barang yang dimiliki secara mutlak oleh seorang perempuan adalah hadiah pernikahan atau hadiah dari kerabatnya.76 Karena kaum pria mengontrol politik dan berkuasa, kaum wanita hanya diorientasikan dalam urusan rumah tangga dan kegiatan yang berkaitan dengan itu. Dengan demikian berkembanglah apa yang disebut oleh Martin dan Voorhies yaitu “dikhotomi luar-dalam” atau oleh yang lain disebut pembedaan publik domestik. Ini mencakup dibaginya kehidupan sosial menjadi dua dunia terpisah dan berbeda.77

Berpengaruhnya kondisi sosial yang membentuk kehidupan perempuan, serta beragamnya pengalaman dan peran perempuan yang berbeda-beda dan dibentuk berdasarkan lingkungan budayanya, sehingga teori feminis tidak bisa mentotalisasi dalam menjelaskan dunia bagi seluruh perempuan di semua masa dan tempat. Oleh karena itu pemikiran feminis terus mengalami perkembangan dalam menjelaskan kompleksistas narasi yang menyertai keberadaan perempuan.78 Dalam sejarah perkembanganya masyarakat mengenal beberapa jenis gerakan feminisme, seperti feminis liberal, feminis radikal, dan feminis sosial marxis.

E. Teologi Feminis

Setelah melihat perkembangan femimis, perlu juga untuk melihat bagaimana feminis Kristen berteologi, apa sajakah yang dapat disumbangkan oleh teolog Kristen dalam melihat perempuan yang tertindas oleh kaum laki-laki. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa teologi Kristen juga turut melanggengkan dominasi ptriakhal dalam berbagai teks-teks Alkitab, begitulah persoalan perempuan dalam kitab Ezra.

75

Nur Syam, Antropologi, (Yogyakarta : LkiS, 2007), 154

76

Patrick Nolan & Gerhard Lenski, Human Societies (An Introduction To Macrosociology), (London : Paradigma, 2008), 92.

77

Stephen K. Sanderson, Makrososiologi, (Jakarta : Rajawali, 2010), 402.

78


(30)

1. Konsep Teologi Feminis

Teologi feminis dilahirkan dalam perjuangan dan terus memberikan gambaran rohani yang baru, dalam wacana yang memberdayakan perempuan. Gelombang pertama feminis dalam agama berasal dari usaha-usaha akademik perempuan-perempuan di tahun 1960-an dan 1970-an untuk menentang seksisme dalam agama yang sudah lama didimonasi oleh laki-laki.79 Teologi feminis tidak berarti teologi khusus tentang wanita atau untuk wanita melainkan teologi „oleh‟ wanita, sehingga teologi feminis juga ikut serta dalam berbagai

usaha teologi lain seperti „Asian Theology‟ atau „blackTheology‟.

Teologi feminis merupakan suatu spesialisasi teologis, dalam arti suatu usaha membicarakan hubungan timbal balik Allah dengan manusia secara alternatif. Cara alternatif ini bermaksud membebaskan baik kaum laki-laki, maupun perempuan dari belenggu tafsiran patriakat Alkitab dan stereotipe tradisi gereja.80 Teologi feminis bukan hanya dibangun oleh teolog perempuan tetapi juga kaum laki-laki, yang tidak lagi memahami perempuan sebagai objek melainkan subjek. Teologi feminis juga merupakan usaha perempuan dalam mencari jati diri dan tidak bersedia menyamakan dirinya dengan laki-laki.81

Menurut Gerda Lernes, budaya dan teologi Kristen merupakan salah bentuk manifestasi dari budaya patriarki. Bertolak dari anggapan bahwa, laki-laki mewakili seluruh umat manusia dan laki-laki percaya bahwa pengalaman mereka, sudut pandang, dan ide-ide mewakili semua pengalaman manusia, ini disebut sebagai kekeliruan androsentris.82 Acuan

teologi feminis terletak dalam penggunaan pengalaman perempuan „female experience‟

sebagai sumber dasar serta kriteria kebenaran. Tetapi ketika dalam penulisan Alkitab dan

79

Margaret D. Kamitsuka, Feminist Theology and the Challengeof Difference (New York: Oxford University Press, 2007), 3.

80

Anne Homes, Perubahan Peran Pria & Wa nita Dalam Gereja & Masya rakat (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 83.

81

Marie Clairie Barth – Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 12.

82


(31)

tradisi-tradisi tradisional telah dimodifikasi sehingga hanya memuat male experience. Yang terjadi ialah, perempuan dianggap bagian dari manusia (laki-laki) dan tidak dilihat sebagai subjek atau manusia yang utuh.83

Anna Hommes menyatakan bahwa, walaupun pengalaman wanita menjadi kata kunci dalam teologi feminis, tetapi pengalaman perempuan bergantung bagaimana cara mereka menafsirkan pengalamannya dengan sudut pandang yang berbeda.84 Teologi feminis mengambil kritik feminis dan merekonstruksi paradigma gender ke dalam wilayah teologi. Clifford mendefenisikan teologi feminis, sebagai gerakan dalam memperjuangkan pembebasan bagi perempuan-perempuan dari segala bentuk seksisme dengan memperhatikan relasi antara pengalaman perempuan dengan Allah.85 Menurut Nasimuyu-Wasika, feminisme menuju suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang mampu mewujudkan keutuhan hidupnya.

Menurut Pamela Dickey Young, ada empat tema yang mempersatukan para teologi feminis, yaitu: Pertama, teologi Kristen yang bersifat patriakhal. Kedua, teologi traditional yang telah mengabaikan kaum wanita serta female experience. Ketiga, budaya teologi yang patrikahal, sehingga memberikan dampak atau konsekuensi yang merusak wanita. Kempat,

dan sebagai solusi dari ketiga masalah tersebut, maka wanita harus memulai usaha teologis mereka.86 Sementara menurut Tolbert, teologi feminisme menjadi gerakan menuju kesetaraan manusia, di mana tertindas dan penindas akhirnya didamaikan.87

83

Rosemary R. Ruether, Sexism and God-Talk: Towa rd a Feminist Theologi ( Boston: Beacon Press, 1983) 13.

84

Homes, Perubahan Peran, 88-90.

85

Clifford, Memperkenalkan Teologi, 28-29.

86

Pamela Dickey Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method (Minneapolis: Fortress, 1990), 15-17.

87

Susan Frank Parsons, The Cambridge Companion to Feminist Theology (New York: Cambridge University Press 2004), 100.


(32)

Oleh karena itu teologi feminis bertujuan untuk merekonstruksi pemikiran radikal dan menganalisis kembali agar dapat berdamai dengan kenyataan bahwa, manusia terdiri dari perempuan dan laki-laki.

2. Feminis Dalam Studi Alkitab Perjanjian Lama

Cerita tentang perempuan telah sepenuhnya dikeluarkan dari proses di mana budaya menemukan makna, menafsirkan masa lalu dan masa sekarang, serta mengorientasikan diri ke masa depan. Hal ini merupakan bentuk penindasan dari sistem patriakjis yang merendahkan perempuan.88

Status perempuan dalam masyarakat tergantung pada, hak dan kewajibannya secara religius, legal dan ekonomi.89 Alkitab adalah produk dari budaya patriarki, karena itu tidak mengherankan jika kisah-kisah dan aturan-aturan yang ada dalam Alkitab bersifat patriarkhis, yang juga turut mempengaruhi pembacaan dan penafsiran terhadap Alkitab. Letty M. Russel memahami Alkitab sebagai kabar baik, tulisan rahasia karena berfungsi sebagai tulisan yang memberikan semangat semangat hidup, yakni undangan Tuhan untuk bergabung dalam pemulihan keutuhan, kedamain, keadilan di dunia.90 Russel juga menambahkan bahwa, berita kitab suci selain dapat menjadi firman yang membebaskan bagi mereka yang mendengar dan bertindak di dalam iman. Namun, berita kitab suci ini perlu dibebaskan dari penafsiran seksis yang dapat mendominasi pikiran dan tindakan kita.91

Anne Clifford mengemukakan tiga cara pandang orang Kristen terhadap Alkitab.

Pertama, orang yang memandang Alkitab sebagai firman Allah yang harus diterima tanpa syarat. Kedua, Alkitab dipandang sebagai wahyu Ilahi dalam rekaman manusia yang ditulis di masa lalu oleh orang-orang yang bergumul tentang persoalan hidup dan iman. Alkitab

88

Hommes, Perubahan Peran, 83.

89

Hommes, Perubahan Peran, 71.

90

Letty M. Russel, Feminist Interpretation of the Book (Philadelpia: The Westminster Press, 1985), 137-138.

91


(33)

diterima sebagai firman Allah tetapi diberi makna baru. Ketiga, orang yang tidak dapat menentukan sikap terhadap Alkitab. Para teolog feminis ada dalam cara pandang kedua, mereka mengembangkan dengan bebas pandangannya terhadap Alkitab, dan dengannya membangun metode untuk merekonstruksi teks Alkitab.92

Schleiemacher adalah pemikir pertama yang menyeimbangkan fokus pada penulis dengan fokus pada teks. Latar belakang pemikiran ini, bahwa telah terjadi peralihan epistimologi ke ontologi sampai linguistik, dengan kata lain telah terjadi suatu pembaharuan dari pemahaman realitas kontekstual teks; antara pemahaman penulis serta pemahaman dari komunitas pembaca. Pergeseran paradigma ini turut mempengaruhi cara kita mengatahui (epistimologis) dan cara menafsirkan dunia di sekitar kita (hermeneutika). Oleh karena itu Schleiemacher menawarkan fase baru dalam konsep hermeneutik dengan memperkenalkan wacana dalam teori pengatahuan yaitu ke dalam proses pembaca. Pertama, ia menekanakan subjek (penulis) dan objek (teks) yang terlibat dalam proses interpretasi, sebaliknya pada pendekatan pencerahan bahasa dilihat secara umum (tertulis dan lisan) dipahami hanya sebagai representasi dari suatu gagasan. Kedua, Schleiermacher memperkenalkan pembaca sebagai pelaku penting dalam penjelasanya tentang lingkaran hermeneutik komunikasi; namun, dalam proses ini pembaca tetap merupakan agen pasif (yaitu sepenuhnya obyektif) dalam proses penafsiran.93

Katharina Doob Sakenfeld mengusulkan tiga aspek yang dapat digunakan oleh kaum feminis dalam menafsirkan Alkitab, yaitu:94 1) Mencari dan memperhatikan nats Alkitab yang bertantangan dengan nats yang sering digunakan untuk membatasi perempuan. 2) Memperhatikan seluruh kitab suci untuk memperoleh suatu perspektif teologis yang kritis

92

Clifford, Memperkenalkan Teologoi, 84-88.

93 Ahida E. Pilarski, “The Past and Futire of Feminist Biblical Hermeneutics”, Biblical Theology Bulletin Volume 41 No 1 (2011), 17

94

Letty M. Russel, Feminist Interpretation Of The Bible (Philadelpia: The Westminster Press, 1985), 55-56.


(34)

terhadap patriarki. 3) Memperhatikan naskah tentang perempuan dari sejarah dan cerita perempuan (dulu dan kini) yang hidup dalam lingkungan patriarki.

Melalui tiga aspek ini Sakenfeld menyimpulkan bahwa, Alkitab di satu segi dapat melukai perempuan dan mengaburkan kisah Allah, namun di segi lain Alkitab dapat menolong perempuan untuk memahami kemerdekaannya. Pendapat ini ditegaskan oleh Russel, ketika Alkitab di baca dari sudut pandang pengalaman perempuan yang tertindas, maka Alkitab dapat digunakan untuk menentang ketidakadilan serta menemui makna kehidupan dan spritulitas yang menunjang hidup.95

Elizabeth Cady Stanton dengan karyanya The Woman‟s Bible, juga turut mendukung pandangan seperti Sakenfel; melihat kitab suci sendiri memuat teks-teks yang digunakan sebagai pembenaran untuk melawan perubahan demi perbaikan kondisi kaum perempuan. Oleh sebab itu Stanton, berupaya merevisi teks-teks kitab suci dan perikop-perikop yang secara langsung mengacu kepada kaum perempuan, dan juga teks-teks di mana kaum perempuan ditonjolkan maupun dengan cara tidak menyebutkan mereka. Dengan tujuan yang sama bahwa Alkitab dapat menjadi penerang bagi perempuan. Salah satu contoh penindasan kaum perempuan ialah perkawinan, bagi Stanton orang-orang Kristen menggunakan teks-teks kitab suci guna mendukung keberadaan kaum perempuan dalam ranah rumah tangga, dengan demikian mengucilkan mereka dari lingkup publik.96

Dalam menafsirkan teks Alkitab, beberapa ahli menggunakan metode atau pendeketan yang berbeda-beda. Phyllis Trible, memberikan perhatian khusus terhadap teks Alkitab dan menolak adanya pemisahan antara teks dan tradisi. Baginya, Alkitab di umpamakan sebagai pengembara yang berkelana melewati sejarah guna menggabungkan

95

Marie Clairie Barth – Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 33.

96


(35)

masa lampau dan masa kini. Trible menggunakan metode retorika dalam menemukan niat Allah lewat penafsiran teks.97

Bertolak dari kenyataan bahwa Alkitab dapat bersifat androsentrik dan di sisi lain teks-teks Alkitab dapat menjadi sumber kekuatan, maka Schussier Fiorenza mengusulkan metode hermeneutik kecurigaan dan hermeneutik kenangan sebagai suatu kebutuhan dalam melihat teks-teks Alkitab.98 Hermeneutik kecurigaan, menuntut seseorang untuk turut mempertimbangkan pengaruh dari berbagai peran dan pola sikap menyangkut jenis kelamin yang ditentukan secara kultural terhadap Alkitab. Titik tolaknya adalah pengandaian bahwa patriakat secara mendalam berdampak atas teks-teks Alkitab dan tafsiran-tafsiran yang mencakup bagaimana Alkitab memperlakukan perempuan di dalam berbagai penuturan kisahnya, dan juga apa yang didiamkan mengenai kaum ini. Sedangkan hermeneutik kenangan merupakan sisi lain dari hermeneutik yang mengakui perendahan martabat, pembuangan, penganiayaan yang dialami oleh perempuan dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai kenangan yang berbahaya guna menyediakan khazanah yang kaya bagi kita saat ini guna merancang sebuah teologi yang dapat menyembuhkan penderitaan dan kemerdekaan dalam perjuangan. Sejalan dengan ini maka, aturan-aturan metodologis berikut ini sangat diperlukan.99 Pertama, teks-teks dan sumber-sumber historis Yahudi maupun Kristen harus dibaca sebagai teks-teks androsentrik. Kedua, pengagungan maupun penghinaan atau marginalisasi perempuan dalam teks-teks Yahudi harus dipahami sebagai bangunan realitas sosial dalam pengertian patriakal atau sebagai proyeksi tentang realitas laki-laki. Ketiga, kanon-kanon resmi dari kanon patriakal yang dikodifikasikan pada umumnya lebih membatasi dibandingkan interaksi dan hubungan yang sesungguhnya antara perempuan dan laki-laki serta realitas sosial yang diaturnya. Keempat, status

97

Fiorenza, Untuk Mengenang, 41-42.

98

Barth – Frommel, Hati Allah, 3.

99

Elisabeth Schussier Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 148.


(36)

keagamaan perempuan yang sesungguhnya harus ditentukan melalui tingkatan onotomi ekonomi dan peranan-peranan sosial mereka dari pada oleh pernyataan-pernyataan ideologis. Dengan demikian penafsiran feminis bertugas menempatkan semua perempuan di tengah-tengah rekonstruksi historis sebagai tanggapan perempuan terhadap perubahan sosial yang mempengaruhi hidup mereka, serta upaya perempuan untuk mentransformasikan dan mengubah struktur dan pranata masyarakat.100

Ruetther, menggunakan metode „lingkaran hermeneutik‟ dalam menguji pengalaman

unik perempuan sebagai dasar dalam membangun feminis teologi dan kekuatan bagi teori kritis dalam menguji teologi tradisional dan tradisi gereja.101 Kriteria pengalamannya adalah pengalaman perempuan berdasarkan pengalaman tradisi laki-laki, pengalaman laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang mengadopsinya, serta pengalaman universal (pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan setara dalam pengertian hukum). Dapat disimpulkan bahwa, melalui hermenutik lingkaran terlihat pengalaman pewahyuan telah membentuk suatu komunitas yang mempercayainya dan kemudian mengatur seluruh relasi-relasi kehidupan dalam Kitab suci hanya berdasarkan pengalaman laki-laki.102

Osiek mengklasifikasikan lima pendekatan hermeneutik yang dikembangkan oleh para ahli feminis yang dapat dilihat melalaui karya mereka. kelima posisi tersebut adalah

rejectionist, loyalist, revisionist, sublimationist, dan liberationist.103

Pertama, kelompok rejectionist yang diprakasai oleh Marry Dally, dalam perspektif ini secara total menolak kewibawaan Alkitab beserta tradisi-tradisi keagamaan, karena patriakat dianggap sebagai komponen penting dan korup dalam Yudaisme – Kristen. Bagi Daly satu-satunya prisnsip yang dapat diterima adalah ketika perempuan dan laki-laki

100

Fiorenza, Untuk Mengenang, 149-151.

101

Ruether, Sexism and, 12-13.

102

Ruether, Sexism and, 14.

103Carolyn Osiek, “The Feminist and the Bible: Hermeneutical Alternatives,” HTS Teologies Studies / Thological Studies Vol. 53, No. 4 (1997), 960


(1)

dalam konteks dari teks agar dapat menemukan peren penting yang di mainkan perempuan. Teolog feminis yang sesuai dengan pendekatan ini ialah Phyllis Trible, dengan analisa retorikanya yang memampukannya dalam menemukan pesan yang baik dalam teks-teks yang bersifat androsentris; namun tatap memperhatikan benih-benih misogini dalam teks-teks tersebut. 106Pada akhirnya tujuan utama dari hermeneutik revisionist ialah menafsirkan ulang sumber-sumber sejarah,untuk menunjukkan berapa banyak kita benar-benar tahu tentang wanita dan kontribusi mereka terhadap pembentukan sejarah.

Empat, hermeneutik alternatif sublimationist, dasar pemikiranya ialah keliyanan feminim sebagaimana yang ditunjukan dalam citra feminim dan simbolis dalam budaya manusia. Sang liyan yakni para feminis beroperasi dengan prinsip-prinsip dan aturan sendiri, yang benar-benar berbeda dari dunia laki-laki, oleh sebab itu kesetaraan sosial atau egalitarisme dengan laki-laki terpinggirkan. Hermeneutik sublimationis fokus terhadap simbol-simbol dalam teks-teks Alkitab (Israel sebagai perawan dan pengantin Allah, gereja sebagai mempelai Kristus dan ibu orang beriman) dan kelemahan utamanya adalah kecenderungan untuk eksklusivisme dan separatisme dari dimensi sosial-politik dan kecenderungan ke arah dogmatisme pada pertanyaan peran perempuan dan sosial.

Kelima, pendekatan terakhir adalah hermeneutik liberationist, dipelapori oleh Letty Russell dan mulai dikembangkan juga oleh Elisabeth S. Fiorenza dan Rosemary Radford dengan dasar pemikirannya adalah reinterpretasi radikal terhadap eskatologi Alkitab; pemerintahan Allah dengan penebusan diproklamasikan sebagai tugas dan misi orang percaya di dunia saan ini serta harapan realisasi di masa depan. Ketika ia menulis pada tahun 1985, Osiek berpikir bahwa pendekatan liberasionis akan menawarkan yang paling menjanjikan untuk penafsiran Alkitab feminis. Berdasarkan teologi pembebasan, pendekatan ini diakui dan terus memahami penindasan perempuan sebagai bagian dari pola yang lebih besar dari

106


(2)

dominasi. Sebagai loyalis mempertahankan kebaikan yang melekat dari Alkitab, liberasionis berpendapat bahwa pesan utama Alkitab adalah pembebasan manusia dari penindasan, baik fisik maupun spiritual, dan mempertahankan bahwa tujuan penafsiran Alkitab adalah transformasi. Jika teks-teks Alkitab yang ditafsirkan tidak mempromosikan kesetaraan penuh perempuan, mereka tidak bisa dianggap sebagai firman Allah yang otentik.107 Awal realisasiny bagi perempuan berarti pembebasan dari dominasi patriarki sehingga semua orang manusia dapat untuk menjadi mitra dan sama dalam tugas bersama. Feminisme liberasionis menyatakan bahwa pesan utama dari Alkitab adalah pembebasan manusia, bahwa ini sebenarnya arti keselamatan. Ruether menemukan inti dari pesan Alkitab adalah pembebasan dalam tradisi kenabian. Pemberitaan perubahan dari praktek-praktek sosial dan ekonomi yang tidak adil adalah panggilan bersama untuk menciptakan masyarakat yang adil bebas dari segala bentuk penindasan.

Dalam melihat kelima alternatif yang disediakan oleh Osiek, penulis lebih cenderung memilih pendekatan hermeneutik liberationis. Dengan alasan bahwa, Alkitab harus dilihat dalam terang pembebasan bagi manusia entah laki-laki maupun perempuan dari belengggu ketertindasan. Sebagai pembaca Alkitab, kita tidak dapat jatuh dalam pendapat pasif tentang Alkitab yang melanggengkan dominasi, Alkitab harus tetap terbuka dalam penafsiran yang dapat mentranformasi para pembaca dan keluar dari tindakan ekslusifisme.

3. Teologi Feminis Asia

Bagi penulis belumlah cukup ketika kita membaca Alkitab dalam terang feminis secara umun, sehingga dianggap penting bagi penulis untuk membaca Alkitab dalam kaca mata feminis Asia; yang akan membantu untuk melihat feminis pada masa dimana penulis menyusun tulisan ini.

107


(3)

Pandangan lain datang dari para ahli feminis Asia seperti Chandra Mohanty dalam artikelnya „Under Wastern Eyes‟ mengkritik pandangan feminis barat yang menggunakan

„female experience‟ sebagai titik tolak dalam menafsirkan Kitab Suci. Mengacu pada suatu pengandaian bahwa manusia berasal dari jenis kelamin yang sama di kelas sosial dan budaya, dan secara sosial perempuan merupakan bagian dari kelompok yang dapat diidentifikasikan secara beragam. Sebelum adanya proses analisis homogenitas perempuan sebagai kelompok, perempuan tidak diklasifikasikan atas dasar biologis melainkan atas dasar sosiologi dan antropologi. Misalnya, dalam bagian tertentu dari analisi feminis, wanita ditandai sebagai kelompok tunggal berdasakan penindasan, dan mengikat secara keseluruhan perempuan adalah gagasan sosiologis dari kesamaan penindasan.108 Mohanty mengfokuskan cara pandang feminis barat terhadap perempuan dunia ketiga, di mana adanya kecenderungan pelabelan bahwa perempuan dunia ketiga sebagai korban sistem budaya dan sosial-ekonomi yang identik dengan; ketidakberdayaan, dimanfaatkan, dilecehkan secara seksual, emosional dll. dengan adanya penghomogenesian terhadap perempuan maka akan merujuk padat sifat Eurosentris, serta kecenderungan untuk menyederhanakan atau meromantisir pengalaman wanita di dunia ketiga.109

Dalam analisanya Kwok Pui-Lan mengemukakan empat alasan mengapa teologi-teologi feminis barat perlu dikritis. Pertama, para feminis barat berasal dari sebuah konteks budaya di mana Kekristenan merupakan tradisi yang dominan sedangankan di Asia (terkecuali Filipina dan Korea Utara) merupakan kelompok minoritas. Kedua, teologi feminis muncul dengan kecenderungan untuk menguniversalkan pengalaman Barat yang seoalah-olah dapat mewakili kehidupan semua perempuan. Kegagalan untuk menghormati keberagaman dan sikap menggenereralisasi „sang liyan‟ sebenarnya berakar dalam matriks sosial dan

108

Chandra Mohanty, Under Western Eyes: Feminist Scholarshid and Colonial Discourses, dalam Reina Lewis and Sara Mills, ed, Feminist Postcolonial Theory: A Reader (Edinburgh, UK: Edenburgh University Press, 2003), 54.

109


(4)

budaya kolonialisme. Ketiga, dengan memberikan pengertian patriakal sebagai bentuk penguasaan laki-laki atas perempuan menunjukan kegagalan dalam menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk memeriksa kolonialisme, kebudayaan imperialisme, pluralisme agama, dan kekerasan horizontal perempuan atas perempuan. Keempat, beberapa dari teolog feminis menampilkan orientasi-orientasirasis dan etnosentris meskipun di saat yang sama mereka menyuarakan persaudaran anatar kaum perempuan yang bersifat global.110 Dari penjelasan diatas maka Kwok Pui-Lan menyarankan bahwa para perempuan Eropa dan Eropa-Amerika dapat berpatisipasi sepenuhnya di dalam perjuangan pembebasan perempuan ke dalam konteks negara-negara berkembang ketika mereka dengan rela mau membebaskan diri dari kecenderungan mendekolonisasikan cara mereka berfikir.

Pandangan lain hadir dalam pendapat Schussler Fiorenza, yang mengusulkan sebuah pemindahan dari patriarki yang didasarkan oleh dualisme gender kepada kyriarki yang mengandung arti kekuasan dari master atas mereka yang berada di bawahnya. Perpindahan ini akan menolong kita untuk melihat struktur dan sistem antara yang menguasai dan dikuasi.111 Dengan memahami patriarki sebagai sebuah piramida kyriarki yang saling berhubungan dengan sistem dominasi, Schussler Fiorenza mengidentifikasikan eurocentricism sebagai „univerlsalist kyriocentric‟ yaitu pendominasian dari aturan ayah berkulit putih dan para perempuan kulit putih yang beragama Kristen sejauh mereka masih menjabat sebagai sumber pengatahuan patriakal, nilai-nilai, agama dan kebudayaan. Untuk menghindari kecenderungan terhadap retorika kyriarki maka Fiorenza mengusulkan „eklesia of women‟ sebagai ruang retorika feminis yang ditandai dengan pergeseran logika identitas dari Barat ke logika kesetaraan yang bersifat radikal.112 Dalam cara berfikir yang radikal,

110

Ira D. Mangililo, “Pendekatan Post-kolonial Feminis di Indonesia,” dalam Jalan-jalan Mendekati Firman Tuhan, ed. oleh R.F. Bhanu Viktroraha (Kanasius: Yogyakarta, 2014), 71-72.

111

Schussler Fiorenza, But The Said: Feminist Practices of Biblical Interpretation (Boston, MA: Beacon Press, 1992), 115

112


(5)

eklesia dikonsepskan sebagai para perempuan yang berjuang untuk mengubah lembaga sosial dan keagamaan. Kemuadian Fiorenza mengubah istilah ekklesia of women menjadi ekklesia wo/men, pengubahan istilah ini merupakan penolakan terhadap perempuan yang dianggap sebagai kelompok sosial, karena baginya pandangan terhadap perempuan tercipta oleh karena hasil dari suatu sistem struktur ras, kelas, agama, hetroseksual, kolonialisme, usia dan kesehatan.113

Dube mengungkapkan kekuatirannya terhadap penggunaan istilah patriarki/kyriarki sebagai imperialisme yang di usung oleh Fiorenza, karena di jajah memiliki berbagai bentuk hirarkis dan sistem patriaki yang berlapis tetapi mereka tidak setara dengan imperialisme. Runtuhnya patriarki dan imperialisme tidak memberikan sumbangsih untuk wanita Barat menyadari akan bentuk penindasan yang berbeda dari penindasan non Barat. Imperalisme melibatkan pengonstruksikan orang-orang yang tunduk sehingga mereka percaya bahwa adanya ketergantungan terhadap para penguasa.114

Berdasarkan pemaparan teori-teori diatas, jelas menunjukan bahwa upaya para ahli dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya identitas dalam kehidupan berinteraksi antar perorangan dengan suatu kelompok masyarakat. Persoalan seperti ini pun terlihat dalam teks Ezra 9-10, oleh sebab itu dengan menggunakan konsep identitas penulis akan memeriksa bagaimana pengalaman-pengalaman bangsa Israel yang terbentuk selama pembuangan dapat mempengaruhi suatu komunitas secara pribadi dalam mepersepsikan kuminitas yang dianggap berbeda, serta penulis juga akan melihat konsep identitas diri yang direkonstruksi Ezra dan pengikutnya sebagai bagian dari bentuk pertahanan diri ketika diperhadapkan dengan situasi yang terancam.

113

Schussler Fiorenza, Jesus: Mariam‟s Child, Sophia‟s Prophet: Critical Issue in Feminist Christology (New York: Continum, 1994), 24.

114

Musa W. Dube, Postcolonial Feminist Interpretation of The Bible (St.Louise MO: Chalice Press, 2000), 35-36.


(6)

Ketika bangsa Israel dengan pengalaman serta budaya dan ajaran agama yang mereka pelihara sebagai seuatu komunitas mampu mengidentifikasi dirinya diantara kehidupan berinteraksi maka akan terciptanya ruang bagi yang lain yakni perempuan asing menjadi tersisihkan. Di sinilah penting sekali untuk memahami teks Ezra 9-10 di dalam keterhubungannya dengan isu gender guna melihat bagaimana penggambaran perempuan asing sebagai sang liyan merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mengkonstruksi identitas keagamaan bangsa Israel yang dipercaya sebagai salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi mereka.

Dengan demikian, pembahasan-pembahasan dalam bab ini menjadi titik tolak bagi penulis dalam menganalisa keterhubungan antara Persia sebagai bangsa penjajah namun sekaligus sebagai bangsa yang mengijinkan bangsa Israel kembali ke Yerusalem. Dan untuk mendapatkan analisa yang mendalam terhadap kehidupan bangsa Israel yang tergambarkan dalam kitab Ezra, maka bab berikutnya penulis akan memfokuskan pada dinamika kehidupan yang tercipta dalam periode pra-pembuangan dan paska-pembuangan bangsa Israel serta apa dampak yang ditimbukan dari interaksi tersebut.