Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ancaman dari Istri Bukan Yahudi: suatu tinjauan sosio-feminis terhadap kewajiban menceraikan perempuan asing menurut Ezra 9-10 T2 752013026 BAB IV

(1)

BAB IV

ANCAMAN DARI PEREMPUAN ASING

DALAM EZRA 9-10

Diskusi teori dalam bab dua telah memaparkan beberapa konsep, seperti identitas sosial, isu-isu tentang the other, kedudukan perempuan di Israel Kuno; terkhususnya dalam hubungan dengan ikatan pekawinan dan perceraian, serta kajian feminisme. Sedangkan dalam bab tiga telah menyajikan latar belakang kitab Ezra dengan memperhatikan pengaruh Persia bagi masyarakat Israel selama pembuangan di Babilonia. Dalam bab ini penulis akan meninjau bahaya yang ditimbulkan oleh perempuan asing hingga timbulnya perceraian dengan perempuan asing dan menggunakan teori-teori dalam bab dua juga digabungkan dengan penemuan dalam bab tiga.

Point penting yang harus dilakukan dalam bab ini adalah pertama-tama melihat berbagai aspek yang menghubungkan perempuan asing dan larangan perkawinan campur; diiukuti oleh penafsiran teks Ezra 9-10 dan kemudian penulis akan melakukan analisa yang menggabungan teori dan penemuan-penemuan dalam bab sebelumnya. Dan pada akhirnya dengan kontribusi dari penelitian ini bagi kehidupan kekinian.

A. Perempuan Asing dan Larangan Kawin Campur Dalam Ezra 9-10

Identitas perempuan asing menjadi sulit untuk dipahami karena dalam teks Ezra 9-10 suara perempuan tidak nampak. Seperti halnya, mereka dituduh sebagai yang asing dan berdampak pada pencemaran, tidak terlihat adanya pembelaan dari perempuan terhadap statusnya di saat itu. Namun, „tuduhan‟ itu juga dapat menyiratkan ada sesuatu yang ditakuti dari dalam diri perempuan., sehingga berdampak pada larangan perkawinan campur antara orang-orang Yehud (orang-orang Israel di Yehuda) dengan perempuan asing. Untuk lebih


(2)

memahami mengapa perempuan dalam teks Ezra 9-10 disebut sebagai orang-orang asing/ perempuaan asing, penulis menyajikan pendapat-pendapat para ahli yang nantinya berguna untuk merekosntruksi teks tersebut.

Menurut Gunneweg „orang asing/foreigners‟ merupakan pelabelan bagi penduduk yang sudah ada di negeri itu; yang mengklaim dirinya sebagai penduduk yang diimpor oleh Esarhadon, tetapi „orang asing‟ juga disebut dengan istilah “orang-orang tanah/peoples of the land”. Orang-orang tanah merupakan frase yang sering digunakan dalam perjanjian lama dan literatur rabi dan di kemudian hari yang merujuk kepada orang-orang yang diperhitungkan sebagai bukan Israel.1 Claudia Camp mengatakan bahwa, orang asing atau dengan istilah zar dan nokri memilliki arti yang beragam; secara umum dapat diartikan sebagai seseorang yang berkebangsaan asing tetapi juga mengacu kepada orang-orang yang berada di luar ikatan wilayah kekerabatan, serta merupakan orang-orang yang bukan berasal dari kelompok para imam; sehingga orang-orang asing ini dalam kitab perjanjian lama tidak diperhitungkan dalam perjanjian dengan Yahweh.2

Berdasarkan komposisi demografis Yehuda pada periode Persia, Eskenazi dan Judd mengusulkan bahwa perempuan-perempuan yang dikatakan asing ini kemungkinan berasal dari antara kelompok ini. Pertama, perempuan-perempuan ini bisa merupakan orang Yehuda atau orang Israel yang tidak ikut dalam pembungan ke Babilonia, atau mereka yang memiliki status sosisl-ekonomi yang berbeda dengan kelompok yang kembali dari pembuangan. Kedua, perempuan-perempuan ini bisa saja berasal dari bangsa asing; yaitu bangsa-bangsa tetangga seperti Amon, Moab dan sejenisnya atau mereka yang berasal dari bangsa-bangsa yang lebih jauh seperti Mesir. Ketiga, perempuan-perempuan ini bisa saja merupakan orang-orang yang berasal dari Yehuda dan Israel, namun dalam praktek dan keyakinan agamanya

1

Lester L. Grabbe, Ezra-Nehemiahi, 144-145.

2Claudia Camp. “What‟s So Strange about the Strange Woman?” dalam The Bible and the Politics of Exegesis. (Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991), 17-38


(3)

berbeda dengan orang-orang yang baru kembali dari pembuangan.3 Dari ketiga kemungkinan ini dapat disimpulkan bahwa, seseorang dikatakann Yahudi; ketika turut serta dalam peristiwa pembuangan dan adanya kesamaan dalam keyakinan agamanya.

Dalam Alkitab Ibrani sering menampilkan sosok perempuan asing dengan bentuk yang bereda-beda. Dalam bingkai ideologis, keasingan perempuan terkait dengan ritual dalam penyembahan dewa-dewa asing; yang berpotensi mempengaruhi laki-laki Israel. Perempuan asing juga merupakan bentuk kiasan yang merujuk pada perempuan dengan keanehan seksualitas (perzinahan, pelacuran, dan perempuan yang mengontrol seksualitas mereka sendiri). Dalam Alkitab Ibrani, perempuan asing dideskripsikan sebagai orang-orang penipu atau mereka yang mengucapkan saksi dusta, sehingga tidak dapat di percaya. Perempuan asing juga digunakan sebagai lambang kejahatan dan kematian; perempuan asing dianggap sebagai penyebab laki-laki Israel kehilangan hak waris dan garis keturunan.4

Pada mulanya kritik feminis menyoroti perempuan asing sebagai bentuk kecaman dan stigmatisasi di luar Israel, seperti istri Potifar, Delilah, dan Izabel yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan sistem patriarki dan ideologi etnosentris.5 Pencitraan negatif terhadap perempuan asing juga terdapat pada pandangan Esther Fuch, yang menyatakan bahwa adanya penggambaran ambigu terhadap sosok perempuan. Ada kalanya perempuan asing hanya dipandang sebagai batas simbolik antara Israel dan diluar

3Tamara C. Eskenazi and Eleanora P. Judd, “Marriage

to a Stranger in Ezra 9-10.” Dalam Tamara C. Ezkenazi dan Kent Richards (peny) Second Temple 2: Temple and Community in the Persian Period. (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994), 269-270.

4

Claudia Camp, Wise, Strange, and Holy: The Strange Woman and the Making of the Bible (Sheffield, U.K.: Sheffield Academi Press, 2000), 28-29.

5

J. Cheryl Exum, Fragmented Women: Feminist (Sub)versionsof Biblical Narratives (Vallery Forgw, Pa: Trimity Press Internasional, 1993), 68.


(4)

Israel, atau pada tingkatan tertentu mereka dilihat sebagai yang asing namun bagian dari orang Israel; sebagai bentuk kontruksi haybrid/campuran.6

Namun berbeda dengan pendapat ahli sebelumnya, dengan memfokuskan pada dinamika internal yang terjadi di provinsi Yehud dengan hubungan eksternalnya terhadap apparatus birokrasi kekaisaran maka kehadiran “the strange and foreign woman” (Amsal 7:5) dapat dipahami sebagai bagian dari keanekaragaman masyarakat Yehud. Statusnya sendiri tidak dapat dipungkiri menjadi ancaman bagi pemeliharaan kultus Bait Allah kedua. Marbury berpendapat bahwa istilah issah zarah tidak serta merta mengacu kepada pelacur atau perempuan sundal seperti yang diusulkan oleh para penafsir sebelumnya. Dengan menggunakan kritik ideology, istilah ini menurutnya berhubungan dengan arti “perempuan asing yang belum menikah”.7

Dalam periode pasca pembuangan, peran perempuan dalam Bait Allah kedua berada dalam kepemilikan dari bet abbot (rumah bapa), serta akses perempuan terhadap dunia publik lebih dibatasi dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Hal ini belum tentu berlaku bagi perempuan di luar dari konteks bait Allah yang kedua. Perempuan yang tidak berada di dalam lingkaran bait Allah kedua yang dikenal dengan sebutan perempuan “asing” kemungkinan memiliki kebebasan yang lebih dibandingkan dengan perempuan yang berasal dari kalangan “golah” / kelompok pembuangan di mana ia bebas mengendalikan kehidupan seksualitasnya baik untuk kepuasaan pribadi maupun untuk alasan mempertahankan kehidupan.8 Dengan adanya pencitraan perempuan asing menurut otoritas Bait Allah Kedua ini maka seksualitas perempuan dikontrol dan suaranya didiamkan. Narasi golah dibangun sebagai penanda masyarakat Bait Suci kedua. Narasi ini memberikan dasar untuk membangun makna disemua

6

Esther Fuchs, “Itermarriage, Gender, and Nation in the Hebrew Bible” dalam Danya Rutternberg, ed., The Passionate Torah: Sex and Judaism. Ed by Danya Rutternberg (New York and London: Ney York University Press, 2009), 76.

7Herbert R. Marbury, “The Strange Woman In Persian Yehud: A reading Proverbs 7”, dalam, ed., Jon L. Berquist, Approaching Yehud: New Approa ches to the Study of the Persian Period (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007) 178-180

8


(5)

simbol, narasi juga memberikan pentujuk ekplisit bahwa masyarakat golah (orang-orang dari pembuangan) sedang menegosiasikan posisi sulit karena mereka berada dibawah kekuasan kekaisaran Persia dan bagaimana mempertahankan kekompakan kelompok di tanah/wilayah di mana mereka dipaksa untuk bersaing dengan masyarakat asli dalam kekuasan budaya dan politik.

Gambaran negatif yang di alamatkan oleh perempuan asing, mengakibatkan keberadaannya dijauhkan dari komunitas Israel sejati dengan diberlakukannya larang perkawinan seperti yang dicatat dalam Ezra 1-5.

Dalam penafsirannya terhadap Ezra, Smith Christopher melihat bahwa mereka yang dianggap bersalah dalam perkawinan campur adalah mereka yang berusaha untuk „menikah ke atas‟ atau “marry up”, sebagai cara untuk mengubah status rendah mereka sebagai masyarakat yang dibuang untuk berpartisipasi dalam kehidupan mayarakat kelas atas.9 Teks dalam kitab Ezra mengungkapkan adanya kesadaran akan “kita” dan “mereka” yang berhubungan dengan kelompok minoritas terancam (mereka yang kembali daripembunagan) dan menaruh perhatian terhadap persoalan-persolan internal dan pada usaha untuk bertahan hidup dalam mengahadapi kelompok mayoritas (orang-orang asing; orang-orang yang tidak kembali dari pembuangan).10 Dalam tulisannya, Smith-Chirstoper juga mempertanyakan tentang siapa yang menganggap perkawinan yang telah dilakuan oleh orang-orang sebagai kawin campur. Ia berpendapat bahwa kemungkinan hanya Ezra dan pengikutnya sajalah yang beranggapan bahwa perkawinan tersebut adalah perkawinan campur, sebaliknya tidak demikian dengan mereka yang terlibat dalam pernikahan itu.11

Camp melihat adanya dua isu utama bagi orang-orang yang kembali dari pembuangan dalam mempengaruhi adanya larangan untuk menikah dengan perempuan asing: 1) adanya

9

Smith-Christopher, The Mixed, 252. 10

Smith-Christopher, The Mixed, 257 11


(6)

sebuah kebutuhan bagi stabilitas keluarga sebagai bentuk mekanisme pertahanan dan untuk membangun klaim atas wilayah kekuasaan politik; dan 2) adanya kebutuhan untuk mempromosikan bentuk ibadah yang murni dan tepat bagi Yahweh.12 Menurut Camp kedua isu tersebut berhubungan satu dengan lainnya dan krisis mulai terjadi ketika beberapa laki-laki mulai menikah ke dalam keluarga-keluarga bangsa asing. Pernikahan-pernikahan tersebut mengancam stabilitas struktur kekuasaan terutama karena pernikahan lintas etnis dapat membawa tantangan-tantangan dari luar untuk menantang kekuasaan kepemimpinan kelompok (Ezra 10). Washington berargument bahwa, larangan menikah dengan perempuan asing pada pasca-pembuanagan disebebkan cara memandang Yudaisme sebagai agama bukan sebagai kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk memelihara keaslian Yahwist terhadap pengaruh sikretis dari „penduduk negreri‟.13

Dalam pengamatan sosiologis, masyarakat Yehuda ditempatkan dalam konteks yang lebih besar dari sekedar komunitas imigran, yang berusaha untuk menyesuaikan diri dalam situasi baru. Hal ini menutut mereka untuk mengevaluasi aturan-aturan yang telah hilang dan yang sebelumnya dianut dalam terang situasi baru dan sebagai bagian dalam proses menetapkan aturan-aturan yang baru. Oleh sebab itu konflik perkawinan di Ezra 9-10 harus diperbaharui berkaitan dengan jaringan kompleks dari variabel yang rumit bahwa masyarakat terbentuk di masa transisi.14

Selaras dengan pendapat Smith-Christopher, Washington menilai tindakan perceraian dan pengusiran terhadap perempuan asing sebagai upaya pengontrolan hak tanah oleh komunitas Yahudi. Kepemilikan tanah adalah masalah penting bagi masyarakat awal pasca-pembuangan, setelah peristiwa pembuangan di Babel, orang-orang yang tersisa (orang asing:

12Claudia Camp, “What‟s So Strange about the Strange Woman ?” dalam The Bible and the Politicis of Exegesis (Cleveland, OH: Pilgrim Press, 1991), 17-18.

13Harold C. Washington, “The Strange Woman (issa zara/nokriyya) Of Proverbs 1

-9 and Post –Exilic

Judean Society”. dalam Tamara C. Eskenzi and Kent H.Richards, ed., Second Temple Studies2: In The Persian Period (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1994), 231.

14


(7)

mereka yang tidak memiliki hubungan dengan mereka yang kembali dari pembuangan), telah mengklaim tanah yang telah ditinggalkan. Kemudian dalam terang Yehehezkel :11-15, tanah Israel akan diberikan kembali kepada orang-orang dari pembuanagan. Ada indikasi janji tersebut yang di gunakan Ezra dan kelompoknya untuk mendapatkan kembali hak tanah tersebut, secara tidak langsung orang-orang dari pembuangan diklasifikasikan sebagai saingan dengan orang-orang negeri atau orang-orang asing.15 Lebih lanjut Washington berpendapat bahwa pernikahan dengan perempuan asing juga menimbulkan masalah karena perempuan di Israel Kuno berhak mewarisi tanah. Dengan demikian larangan dan pengusiran perempuan asing merupakan bentuk pencegahan terhadap perempuan asing untuk mendaptakan akses ke dalam kelompok.16

Pemahaman yang sama juga terlihat dari pandangan Berquist, namuan baginya kepentingan yang sebenarnya dari bangsa Israel bukanlah semata-mata persoalan hak kepemilikan tanah, melainkan keseluruhan aspek ekonomi. Menikah dengan dengan seseorang yang berasal dari kelas sosial-ekonomi yang sama akan memastikan adanya kontrol elite tanah dan kekayaan. Menenggapi penjelasan tersebut, munurut Berquist masyarakat tidak benar-benar menyutujui aturan yang dikeluarkan Ezra untuk membubarkan perkawinan dengan bangsa asing, melainkan hanya untuk memastikan bahwa orang kaya menikah dengan orang kaya (status sosial-ekonomi yang sama).17 Larangan kawin campur dapat dilihat sebagai upaya menetapkan batas-batas dan untuk mempertahankan identitas Yahudi dalam pemerintahan Persia, serta menghindari asimilasi agama dan budaya.18

Persia juga mendukung larangan kawin campur. Persia sebagai pihak yang memiliki kekuasan diduga terdorong untuk menawinkan perempuan-perempuan Persia denganlaki-laki

15

Washington, The Strange, 232-233 16

Washington, The Strange, 236-238 17

Jhon L. Berquist, Judaism in Persia‟s Shadow: A Social and Historical Approach (Minneapolis: Fortress, 1995), 118-119.

18

Bruce C. Birch., Walter Brueggemann, and David L. Petersen, A Theological Introduction to the Old Testament (Nashville: Abingdon, 2005), 437


(8)

dari keluarga komunitas golah sebagai cara untuk memperkuat kesetian kelompok kepada Persia. Karena pernikahan dengan anggota kelompok etnis lokal lainnya akan memperluas kekayaan dan pengarug masyarakat golah di luar perbatasan Yehud dan diluar kendali Persia. Larangan kawin campur dengan orang-orang asing secara tidak langsung telah melayani kepentinagan Persia.19

B. Tafsiran Teks

Beragamnya pandangan terhadap orang-orang negeri dan status keasaingan yang dilekatkan terhadap diri perempuan, dalam kisah Ezra 9-10 memperlihatkan adanya kesenjangan antara kelompok istimewa (mereka yang termasuk dalam komunitas) dan kelompok non istimewa (orang-orang diluar komunitas). Sebagai bagian dari orang-orang diluar komunitas, status perempuan semakin terperuk dalam berbagai aspek kehidupan, ia tidak lagi diperhitungkan dan terkadang kehadirannya dikaburkan oleh kekuasaan laki-laki. Melihat kembali kisah yang disajikan oleh Ezra 9-10, keasingan perempuan membuat mereka diceraikan bahkan terjadi pengusiran perempuan asing dan anak-anaknya. Muncul pertanyaan dari teks ini adalah tentang mengapa perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menjadi bagian dalam masyarakat. Selain itu penulis juga mempertanyakan motivasi perceraian dan pengusiran perempuan asing. Apakah pengusiran itu bermotif untuk menjahuhkan laki-laki Israel dari kemurtadan, tujuan ekonomi politik, atau untuk menjaga identitas mereka.

Ezra 9-10 membentuk unit yang berkiatan dengan perkawinan rakyat Israel dan orang-orang negeri serta pengusiran perempuan asing, dengan demikian setengah dari cerita Ezra berpusat pada kedua kisah ini. Sosok Ezra yang tampil dalam kedua pasal ini tampaknya berbeda dengan sosok Ezra yang diberikan kekuasan oleh raja (Ezra 7). Menurut Kitab Ezra 9:1, keberadaan Ezra dengan kelompoknya yang baru saja tiba di Yehuda,

19

Lisbeth Freid, The Priest and the Great King: Temple-Palace Relations in the Persian Empire (Winona Lake, Ind: Eisenbarauns, 2004), 211.


(9)

memastikan bahwa masalah yang terjadi tidak bisa menjadi milik mereka. Hal ini menunjukan bahwa sekelompok besar orang-orang Israel, para imam, dan orang-orang Lewi sudah menetap terlebih dahulu di sekitar Yerusalem.20 Kelompok tersebut yang dituduh tidak memisahkan diri dengan bangsa-bangsa asing (Ezra:9); Smith-Christopher mencatat teks Perjanjian Lama yang menyajikan pandangan yang lebih menguntungkan dari orang asing. Dia juga menegaskan bahwa istilah dimana asing diidentifikasi merupakan "istilah lama yang hampir pasti telah menjadi penghinaan stereotip merendahkan yang mengacu kepada kelompok-kelompok etnis yang sudah lama hilang atau berasimilasi.21

Melihat kemarahan pemimpin dalam Ezra 9:1-2 dan juga dari langkah-langah yang diambil oleh Ezra, menonjol peringatan yang diberikan oleh Musa; agar tidak menikah dengan penduduk asli Kanaan karena perkawinan campur hampir dipastikan akan menyebabkan sinkrestisme dan kemurtadan. Namun ada perbedaan larangan yang dikeluarkan Ezra dan Musa, menurut Blenkinsopp teks-teks Alkitab seperti Kel 34:15-16 dan Ul 7:5-6, hanya memperingatkan dan melarang perkawinan campur, tetapi tidak memberikan ketentuan atau kewajiban untuk membubarkan dan mengirim perempuan dan anak-anak dari penduduk Kanaan. Oleh sebab itu aturan-aturan yang dipakai oleh Ezra hanya terjadi dalam periode pasca-pembuangan, dengan kata lain kepercayaan dalam gagasan „benih suci‟ sepertinya mengabaikan aturan moral dari Musa.22

Menggunakankan kerangka analisis dari Julia Kristeva, Washington berpendapat bahwa motivasi pengusiran perempuan-perempuan asing dari komunitas Israel disebabkan karena perempuan tersebut dapat mengacam kekudusan komunitas Israel dan membuat mereka menjadi tercemar. Penggunaan istilah „zera haqqodes‟atau „benih suci‟ merujuk pada

20

Lester L. Grabbe, Ezra-Nehemiah (London and New York: Routledge, 1998), 30. 21

Smith-Christopher, The Mixed, 257

22Joseph Blenkinsopp, “Temple and Society in Achaemenid Judah” In Second Temple Studies

. Ed. By Philip R. Davies (Sheffiield Academic Press 1991), 50-53


(10)

penggambaran Israel sebagai umat kudus (Ezra 9:2) dan istilah „nidda‟ atau „menstruasi/ketidakmurnian‟.23

Benih beruhubungan dengan lambang kemurnian laki-laki dan kenajisan menstruasi adalah lambang dari pencamaran perempuan, sehingga menandakan perempuan sebagai orang asing dalam komunitas yang harus dikeluarkan. Dalam sudut pandang yang luas, Washington menguhubungkan kata nidda untuk mendiskripsikan tanah yehuda sebagai „eres nidda atau tanah haram‟ (Ezra 9:11), sehingga secara tidak langsung orang-orang yang mendiami tanah Yehuda merupakan bagian dari bangsa-bangsa asing yang harus dikeluarkan.24

Menurut Becking, penggunaan istilah „benih suci‟ dalam Ezra 9:2 harus dilihat sebagai gabungan dua gambaran dari Israel tradisional. Dalam kitab Ulangan, Israel sering disebut sebuah bangsa yang kudus atau “holly seed”; dan ditempat lainnya Israel disebut sebagai keturunan Abraham atau „holly nation‟. Kedua penggambaran ini berkaitan dengan pemahaaman diri sebagai bangsa pilihan Allah menyiratkan bahwa kelompok tersebut tidak dapat dikotori oleh unsur-unsur asing.25

Selaras dengan pemikiran Becking, Louis Epstein melihat penggunaan kalimat „benih suci‟ mencerminkan mentalitas rasial dari mereka yang kembali dari pembuangan. Perkawinan eksogami atau menikah dengan orang lain selain orang Yahudi merupakan bentuk pencemaran bangsa. Menurtnya, pandangan Ezra terhadap kemurnian darah berhubungan erat dengan kemurnian agama monotestik Ibrani, dengan kata lain percampuran darah Ibrani dengan yang orang-orang asing sama artinya dengan memalsukan agama leluhur.26 Dengan membandingkan kitab Ulangan dan Ezra, ia menyimpulkan bahwa; Kitab

23

Harold Washington, Israel‟s Holly Seed and the Foreign Women of Ezra –Nehemiah: A Kristeva n Reading (Saint Paul: Saint Paul Of Theology, 2003), 431.

24

Washington, Israel‟s Holly, 431-434 25

Becking, Continuity, 270-271 26

Louis M. Epstein, Marriage La ws in the Bible and the Talmud (New York: Johnson Reprint Corporation, 1968), 162


(11)

Ulangan berusaha mempertahankan kemurnian komunitas agama dan disisi lain Ezra ada dalam pemikiran kemurnian agama leluhur.27

Hayes dan Bossman, berpendapat bahwa Ezra melihat perkawinan dengan perempuan asing akan mencemarkan status suci Allah yang dianugerahkan kepada Israel di Sinai. Oleh karena itu, berbeda dengan larangan Musa terhadap perkawinan dengan perempuan asing yang dimaksudkan untuk menjaga Israel dari penyembahan berhala, sebaliknya Ezra melarang pernikahan dengan bangsa-bangsa lain karena mereka tidak suci 28

Menurut Christine Hayes, impuirtas/ketidakmurnian terdiri dari dua jenis yakni, ketidakmurnian ritual (Im 12-15) dan moral (Im 18-20) yang memungkinkan yang „asing‟ untuk menyatu dengan komunitas. Ketidakmurnian ritual dan moral dapat hapuskan dengan menggunakan tata cara pemurnian ritual atau pembaharuan moral. Untuk ketidakmurnian silsilah atau “genealogical impurity” bersifat tertutup dari mereka yang asing. Lebih lanjut Hayes menambahkan bahwa, Ezra adalah orang pertama yang medefenisikan istilah silsilah secara khusus bahwa semua orang Israel bukan hanya kelas imam adalah „benih suci‟ yang berbeda dengan „benih tidak suci‟ dari bangsa-bangsa lain. Kemurnian silsilah diwajibkan untuk semua orang Israel untuk mencegah „pecemaran‟ dari benih suci, bahkan penodaan suatu aset yang kudus dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap Allah.29

Kemurnian silsilah yang diperkenalkan oleh Ezra mengacu pada keturunan biologis dari orang tua Israel sebagai benih suci. Maka kemurnian silsiah tidak berdasarkan ras tetapi berdasarkan agama, karna itu hasil dari pemisahan Allah terhadap keturunan Abraham.30 Melengkapi pendapat Wolak, Edward Dobson menyatakan bahwa perhatian utama Ezra

27

Epstein, Marriage La ws, 162 28

David Bossman, Ezra‟s Marriage Reform: Israel Redefined (Loudonville N.Y: Siean Collage, 1979), 32-38

29

Christine E. Hayes, Gentile Impurities and Jewish Identities: Intermarriage and Conversion from the Bible to the Talmud (Oxford: Oxford University, 2002), 10-11.

30 Arthur J. Wolak, “Ezra Radical Solution To Judean Assimilation”, dalam bq.jewishbible.org/4 0-2-april-june-201/, diakses Selasa, 1 September 2015 pukul 22.00WIB


(12)

adalah pelestarian garis mesianis. garis Mesias, didirikan ketika Allah berjanji kepada Abraham bahwa melalui benihnya semua bangsa di bumi akan diberkati.31

C. Analisa Teks Ezra 9-10

Berdasarkan narasi Ezra 9-10 serta gambaran-gambaran teori maka penulis menyimpulkan bahwa, Ezra sebagai seorang imam yang diutus oleh pemerintahan Persia untuk menegaskan kembali aturan keagamaan terhadap orang-orang dari pembuangan ketika berada di Yehuda. Dengan demikian tatanan kehidupan dan aturan-aturan selama dipembuangan tetap terbawa dalam penerapannya di Yehuda. Seperti: tema eskatologi bahwa bangsa Yahudi harus hidup kudus seperti Tuhan, serta membangkitkan melastarikan cerita-cerita dalam sumber P. Dunia dalam sumber P di tandai dengan wujud dunia yang penuh dengan keteraturan terlihat dari hukum-hukum dan pemisahan terhadap yang najis dan tidak najis, yang murni dan tidak murni serta yang kudus dengan tidak kudus. Sumber P yang digunakan oleh para imam juga berhubungan dengan realitas orang-orang yang berada dipembuangan.

Melihat latar belakang yang disajikan oleh Ezra ketika Israel dibuang di Babylonia memposisikan bangsa Israel sebagai komunitas diaspora. Suatu komunitas yang „terintegrasi‟ tetapi tidak „terasimilasi‟ dengan penduduk lokal, yang disebabkan oleh adanya kesadaran mempertahankan identitas yang kuat karena masih memelihara memori tentang daerah asal dan sejarahnya, atau dikenal dengan istilah „komunitas imajiner. Hal ini juga berhubungan erat dengan surat Yerimia yang ditujukan bagi mereka yang berada di pembuangan, untuk melakukan pertahanan lewat strategi-strategi dalam menciptakan rumah baru dalam situasi yang baru, dengan cara mempertahankan identitas mereka yang unik di tengah konteks diaspora.

31

Edward Dobson, “Divorce in the Old Testament,” Fundamentalist Journal 10” dalam http://digitalcommons.liberty.edu/fun_85/9/, Kamis, 19 September 2015 pukul 02.05WIB.


(13)

Mereka yang kembali dapat dianggap sebagai yang pasif karena semuanya telah dikontrol dari pembuangan. Pembuangan belum berakhir mengingat mereka yang berada dipembuangan tetap memiliki otoritas terhadap mereka yang telah kembali (pemerintahan dikendalikan dari pembuangan). Yerusalem/Yudea akhirnya menjadi seperti diaspora karena didiami oleh sekelompok asing yang mengancam kelangsungan identitas keyahudian mereka. Mereka yang kembali akhirnya membutuhkan pertolongan dari mereka yang tetap tinggal di pembuangan untuk membuat strategi dalam melawan kelompok asing ini guna mempertahankan integritas kelompok. Tujuan dari Ezra-Nehemiah menunjukkan bahwa mereka yang kembali tidak boleh bertindak tanpa sepengetahuan atau di bawah kontrol komunitas diaspora yang berada di Babilonia, mereka adalah ahli waris yang sah dari monarki Yehuda. Tujuannya adalah untuk meninggikan pengalaman pembuangan sebagai sesuatu yang signifikan dan bukan marginal. Hal ini tentu saja akan terancam ketika mereka mengijinkan orang asing yang tinggal di Yerusalem untuk mengklaim kekuasaan yang ada. Di sini adanya upaya agar kelompok yang pulang dari pembuangan tetap mempertahankan statusnya sebagai „pemenang.‟

Di sisi lain ketika teks-teks, ritus dan persentasi ikon dari yang Ilahi, dilihat sebagai ekspresi dari sebuah kepercayaan dari suatu masyarakat atau dari suatu kelompok yang paling berkuasa dari masyarakat tersebut. Maka ide tentang „kepercayaan” lebih berhubungan dengan “world view” dan “ideology” dari pada dengan iman di dalam suatu pengertian keagamaan yang dibatasi. Kitab Ezra merupakan hasil interpretasi penulis terhadap peristiwa paska-pembuangan dan dengan implikasi merupakan bagian dari sistem kepercayaannya. Kitab Ezra ditulis pada periode Yudaism di mana muncul beragam bentuk Yudaism yang bersaing satu dengan yang lainnya. Kitab Ezra merupakan bentuk pelegitimasian terhadap salah satu bentuk Yudaism. Jadi Kitab Ezra ditulis untuk menyakinkan kelompok-kelompok dan orang-orang pada periode Persia Yahudi tentang suatu sudut pandang/world view.


(14)

Teks Ezra 9-10 telah memperlihatkan berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Israel pada periode pembuangan, masing-masing dengan peranya mencoba untuk membentuk identitas yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Mengutip teori yang diusung oleh Steanly Aronowitz dan Stuart Hall, bahwa identitas merupakan pengalaman seseorang untuk mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain, dimana keaslian dianggap sebagai jaminan untuk mengamankan kelangsungan hidup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa identitas berhubungan dengan jati diri, karena identitas seseorang akan dihubungkan dengan pencarian keaslian dari pengalaman diri. Inilah yang diperjuangkan oleh ezra dan para pengkutnya bagaimana mereka merumuskan jati diri, sebagai Israel sejati bangsa pilihan Allah, sehingga lewat narasi kemurnian Ezra ingin memastikan bahwa garis keturunan „benih suci‟ tidak dicemari oleh keturunan dari perempuan asing, karena bagi mereka keturunan Israel ialah garis keturunan yang menghubungan orang Israel dengan Mesias, didirikan ketika Allah benrjanji kepada Abraham bahwa melaui benihnya semua dibumi akan diberkati.

Ketika ide tentang „divine election‟ yang diformulasikan di dalam kategori biological (larangan untuk menikah dengan perempuan dari bagi sekitar) merupakan bentuk tindakan diskontinuitas. Tindakan menikah dengan perempuan asing merujuk kepada apostasy dan sinkretism. Kepercayaan tentang “holy seed” merupakan ide yang sentral Ezra yang disiapkannya dengan mengabaikan unsur yang lain dari moral (perlindungan terhadap orang miskin dan yang membutuhkan yang muncul di kitab-kitab yang hadir sebelum itu mis. Keluaran). Menurut Wolak, keputusan Ezra untuk mengusir istri-istri dari bangsa asing beserta dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ini mendemonstrasikan perpindahan signifikan dari “keturunan patrilineal” kepada “keturunan matrilineal” sebagai “penanda penting bagi identitas Yahudi.”


(15)

Fokus teks Ezra 9-10 terhadap kemurnian etnis merupakan issu yang signifikan baik bagi kelangsungan keagamaan maupun bagi tuntutan politik. Tindakan Ezra untuk “memaksakan” ide tentang the “holy seed” merupakan bagian dari upaya untuk menyenangkan pemerintahan Persia yang telah mengijinkan bangsa Yahudi untuk kembali ke Zion. Tanpa persetujuan Persia, orang-orang di pembuangan Babilonia tidak akan diijinkan untuk kembali, pembangunan baik Allah yang kedua tidak akan terjadi, dan kultus keagamaan tidak akan dapat dipulihkan kembali di Yerusalem. oleh sebab itu larangan untuk menikah dengan perempuan asing bertujuan untuk memelihara batasan-batasan etnisitas.

Oleh sebab itu pelarangan terhadap perkawinan dengan perempuan asing lebih berhubungan pada bahaya yang dibawa oleh perempuan asing tersebut bahwa mereka dapat membuat polusi tanah yang mereka diami dengan ketidakmurnian/ketidaksucian mereka (kondisi mereka yang kotor/ tidak bersih) gambaran perempuan yang membuat tempatnya berdiam tidak suci dengan darah menstruasinya yang kotor (Imamat 15:19-24). Jadi di sini penulis Ezra bermasalah dengan kehadiran perempuan asing bukan karena ia melihat mereka sebagai sumber dosa apostasy melainkan karena ia melihat kondisi mereka yang adalah sumber polusi.

Fungsi perempuan di dalam proses reproduksi mempertajam bentuk penjajahan terhadap perempuan di dalam hirarki masyarakat kolonial ini mempertajam dominasi patriarkal terhadap tubuh perempuan. Perempuan bertanggung jawab terhadap proses reproduksi bangsa (Perjanjian Allah dengan Abraham). Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab” menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk melakukan perlawanan. Di sini perempuan berfungsi sebaga korban dari sistem kembar dari kolonial dan patriarki. Mereka membantu menjatuhkan satu sistem dan meninggikan sistem yang lainnya, perempuan berfungsi sebagai pembatas dari identitas etnik dan subjektifitas, dan juga sebagai penanda dari kekuatan nasional. Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab”


(16)

menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk melakukan perlawanan.

Perempuan secara sosial dipandang sebelah mata, sehingga peran perempuan tidak tampak dalam berbagai aspek kehidupan Israel. Mengapa demikian, karena laki-laki memegang alih aturan dalam semua sitem hukum di Israel. Dengan demikian laki-laki berkuasa atas perempuan. Hubungan laki-laki dan perempuan menyiratkan hubungan yang politis dimana adanya suatu sikap dan praktik yang mendikriminasi perempuan. Sehingga, hubungan diantara kedua jenis kelamin ini menempatkan perempuan pada tempat subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Dalam tradisi bangsa Israel perempuan tidak berhak untuk bersuara karena perempuan pada masa tersebut menjadi yang kedua atau budak terhadap laki-laki bahkan perempuan menjadi harta milik bagi laki-laki, hal ini dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang patrilinear yakni sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki, perempuan tidak mempunyai peran sedikitpun apalagi untuk mengambil keputusan dan bertindak.

Dengan menegaskan identitas kelompok seperti yang dilakukan bangsa Israel, maka dengan sendirinya menciptakan ruang bagi orang yang dianggap sebagai ancaman yakni perempuan asing sebagai sang liyan. Dengan menggunakan teori Mariane Katoppo bahwa sang liyan terbentuk dari laki-laki yang menganggap nilai mereka sebagai manusia utuh tidak boleh terancam oleh keberadaan perempuan, yang berdampak pada reaksi emosionalnya. Sangat jelas keterkaitan teori dengan kehidupan orang-orang dari pembuangan, yang memiliki kecenderungan memandang perempuan sebagai yang lain dari komunitas Israel, reaksi ini muncul dikarenakan rasa takut kehilangan status.

Dari analisa diatas timbul pertanyaan, apakah yang membedakan keberadaan perempuan bagi aturan Muza dan Ezra ? hal utama yang terlihat jelas bahwa hukum yang


(17)

digunakan Musa berbeda dengan hukum/aturan yang digunakan Ezra bagi bangsa Israel paska-pembuangan. Hal ini terjadi karena perbedaan konteks dimana perempuan itu berada. Dalam konteks Musa, perempuan yang dimaksud merupakan bagian dari komunitas Israel, sehingga jelas keberadaan perempuan disaat itu sangat diperhatikan; hal ini juga terkandung dalam Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian. Ketika perceraian terjadi, maka perempuan berhak mendapatkkan bagian dari harta laki-lai; aturan itu diberikan agar orang-orang tidak mudah untuk bercerai .Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian dapat terjadi ketika perempuan melakukan tindakan „senonoh‟, dan apabila perceraian terjadi maka aturan yang digunakan Musa mewajibkan adanya surat perjajian yang semata-mata untuk melindungi perempuan. Sendangkan dalam konteks Ezra, perempuan disaat itu dipandang sebagai orang dari luar komunitas, sehingga aturan untuk menceraikan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Oleh sebab itu, timbul suatu wacana dimana Ezra melihat harga diri suatu bangsa tidak lebih penting dari keberadaan nasionalitas bangsa Israel yang terakui, dan disisi lain aturan Musa menampilkan wacana dimana setiap orang entah laki-laki dan perempuan memiliki harkat, dan martabat yang sama; artinya bahwa harga diri dari setiap manusia lebih tinggi dari pada nasionalitas suatu bangsa. Karena nasionalitas hanya sebagai salah satu dari aspek-aspek yang penting namun bukan yang terutama. Inilah yang juga menjadi fokus para teolog feminis, untuk membebaskan dan mendamaikan laki-laki dan perempuan dari ketertindasan.

Terlepas dari berbagai perdebatan laki-laki yang mengasampingkan perempuan, kehadiran perempuan asing dalam ambigiusitasnya untuk memberikan perenungan bagi kita bahwa apakah identitas itu dapat kaku seperti yang Ezra katakan atau seperti yang dilakukan oleh orang-orang Israel ketika kembali dari pembungan ?. Identitas tidak bisa kaku, karena dalam sebuah perjumpaan identitas akan menjadi cair, karena sekuat apapun kita berusaha


(18)

namun ketika kita berjumpa dengan budaya lain atau sang liyan, yang akan menjadikan kita sebagai seseorang yang berbeda. Karena realitas perjumpaan akan terjadinya percampuran interkultural yang tak terelakan. Timbul pertanyaan, sampai kapan Ezra dapat mempertahankan identitas yang eksklusif atau identitas kaku tersebut ?

D. Kontribusi pada Konteks Masa Kini

Melihat konteks kehidupan bangsa Israel dalam periode pra-pembuangan hingga pasca-pembuangan, menjadi sulit untuk mensejajarkan pengalaman bangsa Israel dengan konteks indonesia sekarang ini. Pengalamannya selama pembuangan dan pembentukan diri sebagai masyarakat diaspora membentuk jati diri yang eksklusif.

Dengan pengalaman yang berbeda namun realitas yang dihadapi oleh bangsa Israel juga menjadi realita kita sebagai bangsa yang plural. Bangsa Indonesia mengakui pelbagai keberagaman budaya maupun agama. Namun yang menjadi pertanyaannya apakah yang harus kita lakukan dengan kenyataan ini, apakah kita harus mencotohi Ezra atau mencari solusi lain?. Bagi penulis dalam mengahadapi pluralitas dan keberagaman di Indonesia, ketika harus hadir sebagai orang yang terbuka serta mampu berdialog dalam pelbagai perjumpaan. Hal ini bisa kita lakukan ketika setiap orang mampu membawa diri dengan identitas pribadi yang jelas, agar nantinya dalam setiap perjumpaan dengan yang lain, kita terhindar dari kecenderungan untuk merubah orang lain seperti diri kita melainkan mampu menerima mereka dengan perbedaan yang ada.

Mencontohi realitas kehidupan masyarakat di Ambon ketika konflik mulai redah, setiap orang terkhususnya membedakan diri dengan mengatasnamakan agama, dan kehadirannya semata-mata untuk membenarkan dirinya dan kepercayaannya bagi orang lain. Contohnya bahwaterjadi pemisahahan sekolah berdasarkan kepercayaan masing-masing, namun lambat laun konsep ini mulai hilang, terlihat dari tidak ada lagi pembenaran atas nama


(19)

agama, semua orang dalam perjumpaan hadir dengan perbedaan namun tidak membuat orang tersebut tersisihkan. Berdasarkan analisa ini, penulis mengusulkan konsep identitas baru yang dapat dikembangkan dan menjadi pegangan dalam konteks Indonesia, yaitu konsep identitas terbuka. Identitas model ini tidak harus cair tetapi juga tidak harus dikorbankan untuk sama dengan yang lain. Suatu identitas yang tetap meiliki kekhasan dan keunikan namun tidak harus menjadikannya eksklusif atau menutup diri dari perbedaan dengan yang lain.

Model inilah yang harus digunakan kita yang beridentitas sebagai orang Kristen, identitas yang mengatasnamakan penghormatan dan penghargaan bagi yang lain. Identitas sebagai orang Kristen ialah identitas yang mampu membangun persaudaraan dengan yang lain. Jauh sebelum kita, Yesus telah memberikan contoh bagaimana hidup dengan segala perbedaan namun kasih digunakan Yesus sebagai bahasa universal dalam mengikat setiap perbedaan ras, etnis, budaya dan sosial ekonomi. Setiap orang hadir dengan perbedaanya namun kasih yang menyatukan perbedaan tersebut. Ketika setiap orang mampu memberlakukan model identitas terbuka, maka dengan sendirinya akan menciptakan tatanan kehidupan yang damai dan aman, suatu kehidupan yang tentram dan saling berdampingan.


(1)

Teks Ezra 9-10 telah memperlihatkan berbagai gejolak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Israel pada periode pembuangan, masing-masing dengan peranya mencoba untuk membentuk identitas yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Mengutip teori yang diusung oleh Steanly Aronowitz dan Stuart Hall, bahwa identitas merupakan pengalaman seseorang untuk mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain, dimana keaslian dianggap sebagai jaminan untuk mengamankan kelangsungan hidup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa identitas berhubungan dengan jati diri, karena identitas seseorang akan dihubungkan dengan pencarian keaslian dari pengalaman diri. Inilah yang diperjuangkan oleh ezra dan para pengkutnya bagaimana mereka merumuskan jati diri, sebagai Israel sejati bangsa pilihan Allah, sehingga lewat narasi kemurnian Ezra ingin memastikan bahwa garis keturunan „benih suci‟ tidak dicemari oleh keturunan dari perempuan asing, karena bagi mereka keturunan Israel ialah garis keturunan yang menghubungan orang Israel dengan Mesias, didirikan ketika Allah benrjanji kepada Abraham bahwa melaui benihnya semua dibumi akan diberkati.

Ketika ide tentang „divine election‟ yang diformulasikan di dalam kategori biological (larangan untuk menikah dengan perempuan dari bagi sekitar) merupakan bentuk tindakan diskontinuitas. Tindakan menikah dengan perempuan asing merujuk kepada apostasy dan sinkretism. Kepercayaan tentang “holy seed” merupakan ide yang sentral Ezra yang disiapkannya dengan mengabaikan unsur yang lain dari moral (perlindungan terhadap orang miskin dan yang membutuhkan yang muncul di kitab-kitab yang hadir sebelum itu mis. Keluaran). Menurut Wolak, keputusan Ezra untuk mengusir istri-istri dari bangsa asing beserta dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ini mendemonstrasikan perpindahan signifikan dari “keturunan patrilineal” kepada “keturunan matrilineal” sebagai “penanda penting bagi identitas Yahudi.”


(2)

Fokus teks Ezra 9-10 terhadap kemurnian etnis merupakan issu yang signifikan baik bagi kelangsungan keagamaan maupun bagi tuntutan politik. Tindakan Ezra untuk “memaksakan” ide tentang the “holy seed” merupakan bagian dari upaya untuk menyenangkan pemerintahan Persia yang telah mengijinkan bangsa Yahudi untuk kembali ke Zion. Tanpa persetujuan Persia, orang-orang di pembuangan Babilonia tidak akan diijinkan untuk kembali, pembangunan baik Allah yang kedua tidak akan terjadi, dan kultus keagamaan tidak akan dapat dipulihkan kembali di Yerusalem. oleh sebab itu larangan untuk menikah dengan perempuan asing bertujuan untuk memelihara batasan-batasan etnisitas.

Oleh sebab itu pelarangan terhadap perkawinan dengan perempuan asing lebih berhubungan pada bahaya yang dibawa oleh perempuan asing tersebut bahwa mereka dapat membuat polusi tanah yang mereka diami dengan ketidakmurnian/ketidaksucian mereka (kondisi mereka yang kotor/ tidak bersih) gambaran perempuan yang membuat tempatnya berdiam tidak suci dengan darah menstruasinya yang kotor (Imamat 15:19-24). Jadi di sini penulis Ezra bermasalah dengan kehadiran perempuan asing bukan karena ia melihat mereka sebagai sumber dosa apostasy melainkan karena ia melihat kondisi mereka yang adalah sumber polusi.

Fungsi perempuan di dalam proses reproduksi mempertajam bentuk penjajahan terhadap perempuan di dalam hirarki masyarakat kolonial ini mempertajam dominasi patriarkal terhadap tubuh perempuan. Perempuan bertanggung jawab terhadap proses reproduksi bangsa (Perjanjian Allah dengan Abraham). Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab” menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk melakukan perlawanan. Di sini perempuan berfungsi sebaga korban dari sistem kembar dari kolonial dan patriarki. Mereka membantu menjatuhkan satu sistem dan meninggikan sistem yang lainnya, perempuan berfungsi sebagai pembatas dari identitas etnik dan subjektifitas, dan juga sebagai penanda dari kekuatan nasional. Bangsa bagi diasporan, keluarga “bet ab”


(3)

menghapuskan batasan antara dunia privat dan publik, keluarga sebagai cara untuk melakukan perlawanan.

Perempuan secara sosial dipandang sebelah mata, sehingga peran perempuan tidak tampak dalam berbagai aspek kehidupan Israel. Mengapa demikian, karena laki-laki memegang alih aturan dalam semua sitem hukum di Israel. Dengan demikian laki-laki berkuasa atas perempuan. Hubungan laki-laki dan perempuan menyiratkan hubungan yang politis dimana adanya suatu sikap dan praktik yang mendikriminasi perempuan. Sehingga, hubungan diantara kedua jenis kelamin ini menempatkan perempuan pada tempat subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Dalam tradisi bangsa Israel perempuan tidak berhak untuk bersuara karena perempuan pada masa tersebut menjadi yang kedua atau budak terhadap laki-laki bahkan perempuan menjadi harta milik bagi laki-laki, hal ini dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang patrilinear yakni sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki, perempuan tidak mempunyai peran sedikitpun apalagi untuk mengambil keputusan dan bertindak.

Dengan menegaskan identitas kelompok seperti yang dilakukan bangsa Israel, maka dengan sendirinya menciptakan ruang bagi orang yang dianggap sebagai ancaman yakni perempuan asing sebagai sang liyan. Dengan menggunakan teori Mariane Katoppo bahwa sang liyan terbentuk dari laki-laki yang menganggap nilai mereka sebagai manusia utuh tidak boleh terancam oleh keberadaan perempuan, yang berdampak pada reaksi emosionalnya. Sangat jelas keterkaitan teori dengan kehidupan orang-orang dari pembuangan, yang memiliki kecenderungan memandang perempuan sebagai yang lain dari komunitas Israel, reaksi ini muncul dikarenakan rasa takut kehilangan status.

Dari analisa diatas timbul pertanyaan, apakah yang membedakan keberadaan perempuan bagi aturan Muza dan Ezra ? hal utama yang terlihat jelas bahwa hukum yang


(4)

digunakan Musa berbeda dengan hukum/aturan yang digunakan Ezra bagi bangsa Israel paska-pembuangan. Hal ini terjadi karena perbedaan konteks dimana perempuan itu berada. Dalam konteks Musa, perempuan yang dimaksud merupakan bagian dari komunitas Israel, sehingga jelas keberadaan perempuan disaat itu sangat diperhatikan; hal ini juga terkandung dalam Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian. Ketika perceraian terjadi, maka perempuan berhak mendapatkkan bagian dari harta laki-lai; aturan itu diberikan agar orang-orang tidak mudah untuk bercerai .Kitab Ulangan dan Keluaran yang mengatur perceraian dapat terjadi ketika perempuan melakukan tindakan „senonoh‟, dan apabila perceraian terjadi maka aturan yang digunakan Musa mewajibkan adanya surat perjajian yang semata-mata untuk melindungi perempuan. Sendangkan dalam konteks Ezra, perempuan disaat itu dipandang sebagai orang dari luar komunitas, sehingga aturan untuk menceraikan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Oleh sebab itu, timbul suatu wacana dimana Ezra melihat harga diri suatu bangsa tidak lebih penting dari keberadaan nasionalitas bangsa Israel yang terakui, dan disisi lain aturan Musa menampilkan wacana dimana setiap orang entah laki-laki dan perempuan memiliki harkat, dan martabat yang sama; artinya bahwa harga diri dari setiap manusia lebih tinggi dari pada nasionalitas suatu bangsa. Karena nasionalitas hanya sebagai salah satu dari aspek-aspek yang penting namun bukan yang terutama. Inilah yang juga menjadi fokus para teolog feminis, untuk membebaskan dan mendamaikan laki-laki dan perempuan dari ketertindasan.

Terlepas dari berbagai perdebatan laki-laki yang mengasampingkan perempuan, kehadiran perempuan asing dalam ambigiusitasnya untuk memberikan perenungan bagi kita bahwa apakah identitas itu dapat kaku seperti yang Ezra katakan atau seperti yang dilakukan oleh orang-orang Israel ketika kembali dari pembungan ?. Identitas tidak bisa kaku, karena dalam sebuah perjumpaan identitas akan menjadi cair, karena sekuat apapun kita berusaha


(5)

namun ketika kita berjumpa dengan budaya lain atau sang liyan, yang akan menjadikan kita sebagai seseorang yang berbeda. Karena realitas perjumpaan akan terjadinya percampuran interkultural yang tak terelakan. Timbul pertanyaan, sampai kapan Ezra dapat mempertahankan identitas yang eksklusif atau identitas kaku tersebut ?

D. Kontribusi pada Konteks Masa Kini

Melihat konteks kehidupan bangsa Israel dalam periode pra-pembuangan hingga pasca-pembuangan, menjadi sulit untuk mensejajarkan pengalaman bangsa Israel dengan konteks indonesia sekarang ini. Pengalamannya selama pembuangan dan pembentukan diri sebagai masyarakat diaspora membentuk jati diri yang eksklusif.

Dengan pengalaman yang berbeda namun realitas yang dihadapi oleh bangsa Israel juga menjadi realita kita sebagai bangsa yang plural. Bangsa Indonesia mengakui pelbagai keberagaman budaya maupun agama. Namun yang menjadi pertanyaannya apakah yang harus kita lakukan dengan kenyataan ini, apakah kita harus mencotohi Ezra atau mencari solusi lain?. Bagi penulis dalam mengahadapi pluralitas dan keberagaman di Indonesia, ketika harus hadir sebagai orang yang terbuka serta mampu berdialog dalam pelbagai perjumpaan. Hal ini bisa kita lakukan ketika setiap orang mampu membawa diri dengan identitas pribadi yang jelas, agar nantinya dalam setiap perjumpaan dengan yang lain, kita terhindar dari kecenderungan untuk merubah orang lain seperti diri kita melainkan mampu menerima mereka dengan perbedaan yang ada.

Mencontohi realitas kehidupan masyarakat di Ambon ketika konflik mulai redah, setiap orang terkhususnya membedakan diri dengan mengatasnamakan agama, dan kehadirannya semata-mata untuk membenarkan dirinya dan kepercayaannya bagi orang lain. Contohnya bahwaterjadi pemisahahan sekolah berdasarkan kepercayaan masing-masing, namun lambat laun konsep ini mulai hilang, terlihat dari tidak ada lagi pembenaran atas nama


(6)

agama, semua orang dalam perjumpaan hadir dengan perbedaan namun tidak membuat orang tersebut tersisihkan. Berdasarkan analisa ini, penulis mengusulkan konsep identitas baru yang dapat dikembangkan dan menjadi pegangan dalam konteks Indonesia, yaitu konsep identitas terbuka. Identitas model ini tidak harus cair tetapi juga tidak harus dikorbankan untuk sama dengan yang lain. Suatu identitas yang tetap meiliki kekhasan dan keunikan namun tidak harus menjadikannya eksklusif atau menutup diri dari perbedaan dengan yang lain.

Model inilah yang harus digunakan kita yang beridentitas sebagai orang Kristen, identitas yang mengatasnamakan penghormatan dan penghargaan bagi yang lain. Identitas sebagai orang Kristen ialah identitas yang mampu membangun persaudaraan dengan yang lain. Jauh sebelum kita, Yesus telah memberikan contoh bagaimana hidup dengan segala perbedaan namun kasih digunakan Yesus sebagai bahasa universal dalam mengikat setiap perbedaan ras, etnis, budaya dan sosial ekonomi. Setiap orang hadir dengan perbedaanya namun kasih yang menyatukan perbedaan tersebut. Ketika setiap orang mampu memberlakukan model identitas terbuka, maka dengan sendirinya akan menciptakan tatanan kehidupan yang damai dan aman, suatu kehidupan yang tentram dan saling berdampingan.