T2 752013026 BAB III

(1)

BAB III

PENGARUH PERSIA BAGI MASYARAKAT YEHUDA

DALAM EZRA 9-10

Teks Ezra 9-10 merupakan bagian cerita yang berhubungan erat dengan kehidupan orang Israel di Babylonia, yang harus berhadapan dengan bermacam-macam latar belakang sosial-politik, budaya dan ekonomi dalam kurun waktun beberapa abad. Oleh sebab itu penulis merasa penting untuk menjabarkan kehidupan masyarakat Israel di pembuangan, serta bagaimana pengalaman itu dibawah dan digunakan di Yehuda ketika mereka diizinkan pulang oleh Kores raja Persia. Sumber P juga merupakan unsur penting yang mewarnai aturan-aturan yang digunakan oleh Ezra sebagai seorang Imam di periode pasca pembungan. Maka bab ini akan diawali dengan pembahasan pengaruh Persia bagi masyarakat Yehuda, kemudian dilanjutkan dengan latar belakang kitab Ezra, dan kemudian penulis akan melakukan tafsiran teks Ezra 9-10.

A. PENGARUH PERSIA BAGI MASYARAKAT YEHUDA

Menurut sejarah Babilonia, pada tahun 539 ZSB raja Koresh menaklukan Babylonia dan menjadikan Persia sebagai kota metropolis dari kerajaan yang luas serta memerintah sebagaian besar Timur Dekat Kuno bahkan sampai ke Mesir selama beberapa abad. Untuk mencapai tujuannya Koresh menempuh jalan yang panjang dan berliku, yang diawali dengan mengalahkan pmerintahan Mades tahun 550 SZB. Dengan demikian situasi di Timur Tengah mulai berubah, dimana Raja Koresh dari Persia mulai memperluas kerajaanya dengan cepat dan menduduki beberapa wilayah kerajaan Babel.1 Setelah penaklukan Kekaisaran Babilonia dan bangsa-bangsa Asia Kecil, Persia menaklukan pula negara-negara yang berbeda dari

1Leo G. Pardue and Warren Caerter, “The Persian Empire and the Colony of Judah” dalam Coleman

A. Baker, ed., Israel and Empire A Postcolonial History of Israel anf Early Judaism (London: Bloosmbury, 2015), 107.


(2)

kawasan Mediterania Timur. Sekitar tahun 530-522 SZB Cambayes II menaklukan sebagaian besar Mesir. Dengan demikian Persia dapat memperluas kekuasaanya dari sebelah barat daya sampai Asia dan diperluas sampai ke selatan Mesir, dan ketimur sampai ke sungai Indus, sehingga besar kerajaan ini (lebih dari 3000km di sebelah timur-barat dan lebih dari 1500 km dari utara ke selatan), dan membuatnya sebagai wilayah kekuassan terbesar disejarah dunia untuk saat ini.2

Ketika Achaemendis datang membangun sistem provinsi yang diawasi oleh gubernur Persia, dengan langkah besar yang ditempuhnya yaitu meberikan otonomi daerah/lokal untuk suku-suku dan kerajaan yang setia melalui praktek potlitik, sosial dan tradisi agama mereka sendiri.3 Dalam pemerintahan asing, mereka digambarkan sebagai penguasa yang toleran dan lunak.

Menurut Gottwald, dengan membiarkan masyarakat lokal untuk melanjutkan lembaga tradisional (sosial-budaya), ditambah dengan propaganda dari raja Persia yang dipilih oleh Allah untuk memerintah serta mengambalikan orang-orang Yahudi ke Yerusalem mengandung dua sudut pandang; perta ma, orang Yahudi beranggapan bahwa keluarnya mereka dari pembungan sebagai bentuk keperpihakan Yahweh bagi bangsa Yahudi. Kedua, bagi raja Koresh; keputusan tersebut sebagai contoh dari kebijakan untuk memulihkan predikat kolonial yang mampu tampil dengan politik yang bijaksana, sebagaimana yang dibuktikan dalm versi Aram yang lebih netral.4

Pendapat yang berbeda datang dari ahli seperti Sayce, menurutnya pengalaman telah mengajarkan Koresh tentang adanya bahaya yang mungkin terjadi ketika orang-orang yang tidak puas untuk hidup di negara penakluk mereka. Selain itu ada kemungkinan

2

Pardue and Caerter, The Persian, 107-108

3

Pardue and Caerter, The Persian, 108.

4

Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible; A Social Literary Introduction (Philadelphia: Foortress Press, 1987), 428


(3)

dikembalikannya orang-orang Yahudi dari pengasingan bertujuan untuk melindungi bagian selatan–barat daerah kekuasannya dari ancaman Mesir. Bagi Sayce, dari pertimbangan ini menunjukan bahwa ada kesadaran dari Koresh bahwa Allah yang menggunakannya untuk pemunuhan janji-janji yang telah dibuat beberapa tahun sebelumnya untuk orang-orang pilihan.5 Pendapat serupa berasal dari Gafney yang mengatakan bahwa Persia dalam konteks imperialisme dipandang sebagai agen yang digunakan oleh Allah Israel untuk menghukum

Babilonia, sehingga menyebabkan Israel mengalami “exodus atau peristiwa keluaran” dan

telah membebaskan Israel dari pembuangan.6

Dalam kekuasaan Achaemendis tidak adanya penekanan terhadap agama-agama lokal selama mereka tidak menimbulkan kekacauan dalam kegiatan revolusioner. Tidak dapat disangkal bahwa dengan adanya dukungan dari kuil-kuil lokal juga dapat memastikan pengumpulan dan pembayaran pajak. Terlepas dari pemanfaatan dalam mencari keuntungan

politik dengan kebijakan „manusiawi‟ mereka, hal ini wajar untuk mengatakan bahwa

terciptanya hibriditas dari perubahan budaya Persia diakibatkan oleh kontak dengan orang lain dan perubahan budaya kolonial merupakan akibat dari paparan tradisi asli lainnya, menjadi gambaran terpenting dari periode pembuangan.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, para penguasa Persia menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang dipilih dewa dari bangsa-bangsa yang mereka takklukan untuk menjadi pemimpin mereka. The Great King/raja besar adalah satu-satunya raja yang bisa dipercaya yang berarti bahwa tidak ada raja yang lain selain the great king, maka sebab itu hanya orang-orang tertentu yang disetujui oleh pemerintah Persia yang dapat bertindak

5

A. H. Sayce, To The Books Of Ezra, Nehemiah, and Esther (London: The Relegious Tract Society, 1889), 18-19.

6

Wilda Gafney, A P rophet-Terrorist (A) and An Imperial Sympathizer: An Empire-Critical,

Postcolonial Reading of the No’adyah/Nechemyah Conflict” BT 9.2 (Philadelphia: The Lutheran Theological Seminary, 2011), 163-164.


(4)

mengatasnamakan raja Persia itu sendiri.7 Dalam pemahaman mereka the great king bukanlah Tuhan, namun dipilih oleh dewa Ahura Mazda, cerita-cerita merupakan pengadopsian dari tradisi Mesopotamia yang bertujuan untuk meligitimasi kekuasaan Persia. Penggunaan dan pengerjaan ulang dari cerita Mesopotamia ke Persia menghasilkan simbolik baru, yakni melegitimasi ikonografi. Salah satu contoh penting dari pengerjaan ulang tradisi adalah tulisan-tulisan yang dikaitkan dengan Darius I, komposisi tulisan Behistun mencakup representatif tertulis dan visual tentang bangkitnya Darius dengan kekuasaan dan konsolidasi

kerajaannya. Citra Darius „berdiri‟ diatas penguasa lainnya menunjukan statusnya sebagai the

great king, legitimasi Ilahi Darius ditekankan dalam simbol dewa Ahura Mazda. Koresh juga disebut sebagai salah satu cerita yang mengikuti genre sastra dari Mesopotamia. Koresh menunjukan legitimasi Ilahi pertama, yang dapat dilihat dari agama Avesta.8

Sebagai bangsa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, Persia terindikasi mengadopsi banyak kebiasaan masyarakat diwilayah tersebut. Kemudian mereka juga tergabung dalam aspek adat dari Media, Assyria, Babylonia, dan Mesir. Sementara banyak budaya Kekasairan menunjukan bahwa tidak ada upaya untuk memaksakan nilai-nilai Persia pada orang-orang yang mereka taklukan. Ada beberapa indikasi pengaruh yang mengarah pada hibridtas pernah berkembang dari bentuk Yehuda, seperti sastra, seni, dan ideologi agama. Perubahan yang terjadi di mana tradisi budaya dari masa lampau Yehuda yang selalu dirumuskan. Namun perubahan ini tidak hanya untuk alasan akomodasi, tetapi juga termasuk dimensi subversi membongkar aturan Persia.9

7

Pardue and Caerter, The Persian, 111-1112.

8

Pardue and Caerter, The Persian, 113-114

9


(5)

Pengkolonisasian terhadap Yehud,10 termanifestasi dalam dominasi imperialisme Persia terhadap kehidupan dan budaya Yehud serta penggunaan wilayah jajahan untuk kepentingan-kepentingan Persia terkhususnya dalam hasil-hasil ekonomi dan militer. Menurut Berquist, pengkolonialisasian ini dapat dijelaskan dalam istilah sosial sebagai sikap

ketergantungan mendominasi; atau yang dikenal dengan istilah “core atau hubungan antara

inti dan periphery atau pinggiran”.11 Dalam hal ini Berquist menyimpulkan bahwa, kekaisaran Persia menggunakan provinsi-pronvinsi koloninya sebagai sumber tenaga kerja lokal, sumber pajak dan pos militer. Dengan kata lain, proses pengkolonisasian ini berhasil memperlakukan Yehud sebagai aset dalam memberikan penghasilan secara terus-menerus bagi kehidupan kekasairan Persia; sebagai bentuk timbal baliknya kekasairan Persia turut memperhatikan atau menunjang kelangsungan hidup dari koloninya.12

Kepemimpinan dalam komunitas Yahudi yang dipulihkan, dipecah menjadi bidang sipil dan keagamaan; tanggung jawab masing-masing didelegasikan kepada gubernur dan seorang imam kepala. Subdivisi administrasi utama dari Kekaisaran Persia adalah entitas besar yang disebut protektorat (wilayah perlindungan), masing-masing dibagi lagi menjadi provinsi. Yehuda jatuh dalam kesatrapan 'diluar sungai' yang termasuk seluruh Suriah dan Palestina.13

Berdasarkan hubungan Persia dan Mayarakat Yehuda, kitab Ezra menghantarkan pembaca untuk melihat peristiwa kembalinya orang-orang dari pembuangan, proses ini berlangsung hampir satu abad lamanya. Peristiwa pembuangan dan kepulangan mereka ke

10

Dengan ditaklukannya seluruh wilayah Timur Dekat kecuali Mesir oleh Persia, maka tanah dan orang yang pada awalnya dikenal sebagai Yehuda kemudian dikenal sebagai Yehud – bagian dari kekaisaran Persia.

11Jhon L. Berquist, “Psalm, Postcolonialism, and the Construction of the Self” dalam Jon L. Berquist,

Approaching Yehud: New Approa ches to the Study of the Persian Period (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2007), 243-247

12

Jhon L. Berquist, Judaism in Persia’s Shadow: A Social and Historical Approach (Minneapolis: Fortress, 1995), 195

13


(6)

tanah kelahiranya di Israel, direpresentasikan melalaui perubahan mendasar dalam berbagai pengalaman dan juga sebagai tantangan dalam mempertahanakan identitas etnik. Oleh karena itu untuk bertahan hidup ditengah penduduk asing; perlu adanya penyesuian diri dengan kehidupan yang baru. Sebagai upaya untuk mengambalikan unsur-unsur dari kehidupan mereka yang hilang ketika pembuangan dan untuk mempertahankan identitas diri dari situasi yang baru ini, maka yang diperlukan ialah rekonstruksi, atau bahkan penemuan kembali identitas etnis mereka.

Menurut Gottwald, pemulihan Yehuda digambarkan terjadi dalam empat tahap, yang masing-masing tahapnya dihubungkan dengan pemimpin Yahudi dari pembuangan yang diutus ke Yehuda di bawah otoritas Persia, yakni:

1. Pemimpin misi dalam tahap ini ialah Sheshbazzar (Ezra 1), dikatakan sebagai

pangeran Yehuda „Judahite prince‟ yang mungkin disamakan dengan Shenazzar yang diperhitungkan ke dalam garis Daud (1 Taw 1:5-11; 5:13-15). Adanya keraguan tentang misi dalam tahap ini, apakah pembangunan Bait Allah adalah bagian dari misi

ini. Sheshbazzar tidak dikirim sebagai „gubernur‟ untuk provinsi tersebut tetapi

sebagai „kepala tim investigasi‟ untuk mengumpulkan informasi, mungkin dengan

biaya yang terbatas untuk memulai permurnian kultus.14

2. Misi Zerubabel dan Yosua di 520 SZB Dengan kematian penerus Cyrus Cambyses, pemberontakan besar mengguncang Kekaisaran Persia. Sebagai bagian dari upaya untuk menenangkan kerajaan, Darius memutuskan untuk meluncurkan drive lebih serius untuk rekolonisasi Yehuda. Rombongan yang paling besar kembali ke Yerusalem dipimpin oleh Zerubbabel dan Yosua ditahun 320 SZB.15 Zerubbabel diangkat sebagai komisaris sipil dan Yosua sebagai kepala imigrasi. Orang-orang

14

Gottwald, The Hebrew Bible, 430

15


(7)

yang kembali diverivikasi sebagai keturunan sejati dari orang buangan yang pertama. Dengan kematian Koresh, terjadi pemberontakan besar yang mengguncang kerajaan Persia. Sebagai usaha untuk menenangkan kerajaan, Darius memutuskan untuk rekolonisasi Yehuda; seperti yang menonjol dalam militer dan politik yang strategis di perbatasan dengan menggangu Mesir. Tujuan dari daftar silsilah orang-orang Yehuda; ditafsirkan sebagai sensus Persia terhadap Yehuda. Sebagai daftar yang kembaliidan berhak atas tanah atau sebagai legitimasi dari orang-orang yang berasal dari komunitas kutus dan berwenang untuk mengambil bagian dalam pembangunan kembali Bait Allah dan upacara kultus

3. Rombongan Nehemia kembali pada tahun 445-430 SZB yang diutus oleh raja Artahsasta. Pengutusannya ke Yehuda sebagai Gubernur Provinsi dengan kekuatan penuh untuk membentengi Yerusalem dan untuk menata kembali pola pemukiman dan pemerintahan provinsi. Meskipum Bait Suci telah dibangun, namun Yerusalem tidak kuat pertahannya dan tipis penduduknya. Dari sudut pandang Persia ini berarti lemahnya pertahanan di barat, dan bagi orang Yahudi itu berarti masyarakat Yehuda belum diperbaharui secara memadai dalam praktek keagamaan. Kemudian pada tahun 443, Nehemia dikembalikan ke Persia; mungkin setelah puncak dari reformasi utamnya.

4. Rombongan ini kembali bersama-sama dengan Ezra pada tahun 458 SZB (Ezra:7-8) . Ezra disebut sebagai Imam besar dan juru tulis (mungkin dapat dipahami sebagai seketaris dalam pemerintahan Persia), ia melakukan perjalanan ke Yehuda dengan sekitar lima ribu orang dari pembuangan, Ezra dalam misinya melahirkan komisi guna menyelidiki kondisi internal di Yehuda dan menentukan bagaimana orang-orang saling berhubungan dengan hukum agama. Ezra juga diberdayakan untuk menunjuk hakim yang bertugas untuk menegakan hukum. Ukuran mengandaikan bahwa bentuk


(8)

hukum agama yang di bawah Ezra itu diputuskan oleh Persia sebagai hukum sipil provinsi Yehuda.

Beberapa pendapat yang berbeda datang dari para ahli tentang kronologi Ezra dan Nehemia. Penulis kelompok Tawarikh menyatakan bahwa Ezra datang ke Yerusalem pada tahun ke tujuh masa pemerintahan Artahsasta, sendangkan Nehemia pada tahun ke 20. Namun para ahli kesulitan untuk menentukan apakah raja Artahsasta zaman Ezra sama dengan Arthasasta zaman Nehemia. Hipotesa yang lain menjelaskan bahwa Ezra datang mendahului Nehemia; ada kemungkinan juga bahwa Ezra masih ada di Yehuda ketika Nehemia melakuakan misinya di Yehuda. Menurut hipotesa itu ketika Nehemiah menjabat sebagai Gubernur di tahun 445-430 SZB; dalam masa jabatannya yang pertama ini, Nehemia berhasil membangun tembok Yerusalem namun keberhasilannya tidak mencakup semua bidang seperti bidang material dan bidang keagamaan. Oleh karena alasan tersebut Nehemia ditaraik dari Yerusalem, sekitar tahun 430 SZB Nehemia datang kemabali ke Yerusalem bersama-sama dengan seorang imam dan ahli Taurat yang bernama Ezra. Dengan bantuan Ezra inilah pembaruan agama dapat dijalankan. Tradisi Ezra dan Nehemia berasal dari literatur yang berbeda dan kemudian berbaur menjadi satu (misi Nehemia dimasukan ke dalam bagaian Ezra (Neh 8:9), dan kemudian Ezra menerobos ke dalam Nehemia (Neh 12:26)). Pada akhirnya berdasarkan beberapa hipotesa, para ahli berpendapat bahwa Ezra datang ke Yerusalaem pada tahun 458 BCE dan Nehemia pada tahun 444 SZB.

1. Pembuangan dan Paska Pembuangan

Dari sudut pandang sejarah, sejarah Israel dalam kurun waktu 600 dan 400 SZB dapat dikarakteristikkan oleh perubahan-perubahan dari periode pembuangan dan pulang dari pembuangan. Pada awal abad ke-6, Yehuda kehilangan kemerdekaannya yang masih tersisa di Yerusalem di tangan Babilonia, di mana kota dan Bait Allah dihancurkan. Untuk melihat


(9)

kehidupan Bangsa Israel di bawah kekuasaan Babilonia, penulis menggunakan pendekatan dalam kitab Yerimia 40:1-2; 29:5-7. Tulisan Yerimia dipelihara dan ditransformasikan untuk dipakai baik oleh mereka yang tinggal di Yerusalem maupun yang di buang ke Mesir dan di Babilonia. Kitab Yerimia mencatat bahwa hanya sekitar 10% orang-orang Israel yang dibuang ke Babilonia terkhususnya dari kelompok elite, dan 90% penduduk tetap tinggal di Yerusalem sehinga ada perpindahan dari kota kembali ke desa-desa kecil. Kekuasan berpusat pada para tuan tanah kecil dan kelas bawah yang tidak memiliki tanah yang tetap tinggal di Yerusalem, ditandai dengan perubahan agricultural yang menempatkan kepemilikan tanah dalam kekuasaan petani kecil. Hal ini juga berdampak pada perubahan sosial, ekonomi dan kepemimpinan di Yerusalem.16 Dinamika bangsa Israel dipembuangan terlihat dari terbentuknya dua kelompok di Babilonia, yakni mereka yang tinggal di wilayah pedesaan di pembuangan dan bekerja dalam dunia pertanian, serta mereka yang tinggal di kota dan bekerja di administrasi pemerintahan. Kelompok ini tetap memelihara tradisi Daud, ideology raja beserta teologi Zion, yang adalah bentuk anti-Babilonia di bawah kepemimpinan Yehoakin.17

Kitab Yeremia juga bergumul dengan masalah ketercabutan bangsa Israel dari tanah asal mereka. Menurut Davidson Yeremia 29:5-7 merupakan surat yang ditulis Yeremia untuk menyampaikan pesan bagi mereka yang di Babilonia. Tujuannya agar mereka dapat melakukan penyesuaian terhadap situasi baru yang ditimbulkan akibat kekuasaan Babilonia.18

Ketercabutan mereka dari „rumah‟ menyebabkan mereka harus menciptakan rumah baru di

stituasi yang baru dan asing bagi mereka, yakni Babilonia. Surat Yeremia memberikan pentunjuk tentang strategi untuk merekonstruksi rumah yang jauh dari tanah kelahiran mereka. Surat Yeremia berfungsi sebagai mekanisme yang dibutuhkan oleh orang-orang yang

16

Stead Vernyl Davidson, Empire and Exile: Postcolonial Readings of the Book of Jeremiah, (New York: T & T Clark Internasional, 2011), 91-97.

17

Davidson, Empire and Exile, 106-110

18


(10)

terbuang untuk memilihara identitas mereka dan subjektivitas mereka ditangah konteks diaspora.19 Dalam proses mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh keadaan tanpa negara, orang-orang dipembuangn kembali pada sistem institusi kekeluargaan yang memegang peren penting dalam mengisi kekosongan. Dalam situasi ini, peran perempuan dalam fungsi reproduksi mempertajam bentuk penjajahan terhadap perempuan di dalam hirarki masyarakat kolonia.20

Ketika Raja Persia mengalahkan Babilonia dan menaklukkan ibu kota kerajaan mereka. Sejak saat itu, orang-orang Yehuda kembali menetap di Yerusalem dan mendirikan kembali Bait Allah dan menyembah Yahweh sebagai satu-satunya Tuhan.21 Beberapa gambaran yang muncul dalam periode pembuangan dan paska pembuangan: 22

1. Mitos tentang wilayah Israel yang kosong pada masa pembuangan.

2. Jarak waktu pulang dari pembuangan yang dicatat dalam Ezra 1-2 menggambarkan adanya pemulangan awal dari pembuangan. Namun Baruch Halpern, dengan mempertimbangkan bagian-bagian yang ditulis di dalam bahasa Aram sebagai yang asli, mengatakan bahwa perintah Koresh pada tahun 539 sebenarnya terjadi pada tahun 521 SZB. Tidak ada bukti Persia yang menunjuk pada kepulangan awal. Ada pula yang mengatakan bahwa bukti arkeologi mungkin bisa menunjukkan bahwa gelombang yang kembali ini bisa berlangsung selama 1 abad.

3. Otorisasi Imperial. Apakah Yudaisme muncul sebagai pembentukan kembali tradisi Yahwestik lokal ataukah merupakan produk akhir dari hasil campur tangan kekaisaran

19

Davidson, Empire and Exile, 145-150.

20

Davidson, Empire and Exile, 170-171.

21Bob Becking, “Continuity and Discontinuity after the Exile: Some Introdunctory Remaks ”. Dalam

Bob Becking and Marjo C.A. Korpel, ed,. In The Crisis Of Israelite Religion Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic Times. (Korpel. - Leiden ; Boston ; Köln : Brill, 1999), 1.

22


(11)

Persia pada masalah-masalah lokal seperti yang digambarkan di Ezra dan Nehemiah? Debat yang terjadi condong pada kemungkinan yang kedua.

Menurut Becking, peralihan dari periode kerajaan ke periode Persia memicu adanya

pemahaman diri, „menjadi Israel‟ telah berubah menjadi „bagian bangsa Yudea‟, untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga Yahudi atau „menjadi anggota serikat, baik itu Yehud atau Diaspora‟. Ketika situasi sosial, politik dan mental berubah memicu bentuk agama di bawah tekanan. Agama menurut Clifford Geertz ialah sebuah sistem simbol yang berfungsi untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, mengakar dan bertahan lama di dalam diri manusia yang dilakukan dengan merumuskan konsep tatanan umum dan kemudian membalut beragam konsep ini dengan sebuah aura kenyataan sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi ini dapat kelihatan seolah-lah merupakan suatu realita yang unik. Ada kurang lebih empat cara orang menghadapi realita yang baru:23

1. Meninggalkan tradisi keagamaan dan memeluk cara pandang yang dimiliki oleh kekuasaan Babilonia yang menaklukkan mereka.

2. Penekanan kembali pada adat istiadat, unsur-unsur Kanaan di dalam agama Yahwistik.

3. Pengkonsentrasian pada Yahwisme di dalam bentuk yang ortodoks, ekslusif, dan monoteistik,

4. Usaha untuk pembentukan kembali agama Yahwistik di dalam konteks sosial dan politik.

Ezra-Nehemiah mereflesikan sebuah bentuk agama yang dapat dilabeli sebagai fundamentalis. Yesaya kedua yang merupakan produk akhir dari tradisi Pentateuk dan DH menulis kembali sejarah Israel Kuno di dalam bentuk kitab Tawarik. Keduanya merupakan

23


(12)

contoh proses kreatif pembentukan kembali tradisi. Sebelum jatuhnya Yerusalem oleh Babilonia, agama di Yehuda dapat dikategorikan sebagai yang bersifat Yahwistik; monoteistik, aniconic, dan terpusat pada satu tempat ibadah. Pada pertengahan abad ke-4 SZB, agama Yahudi didokumentasikan dengan baik. Ada dua unsur: Pertama, Yudaisme tidak hanya memiliki satu karakter, Kedua, sulit untuk menentukan apakah keagamaan orang-orang yang tinggal di Yehuda yang percaya pada Yahweh masih merupakan Yahwism atau sudah menjadi Yudaisme. Keduanya harus dibedakan.24

Kekuasaan Persia berlangsung hampir kurang lebih 2 abad, berapa banyak kekayaan dan sumber daya yang berhasil dikumpulkan. Darius, kaisar yang ketiga 522-486 mengubah cara kepemimpinannya yaitu tidak terlalu fokus pada ekspansi militer melainkan pada jenis yang kedua sehingga ia dikenal melalui inovasinya di dalam organisasi sosial dan administrasi legal. Keterlibatan Darius di Yehuda dalam menetapkan gubernur, membiayai pembangunan bait Allah yang berfungsi sebagai pusat keagamaan dan pusat administrasi politik dan kemungkinan juga sebagai lumbung penampungan barang-barang yang akan disetorkan kepada kekaisaran. Jadi Darius melihat Yehuda sebagai sumber dana jangka panjang.25

Dengan kata lain, gubernur setempat dan pemerintahannya tidak hanya mewajibkan membayar pajak dan upeti ke Persia pada jadwal yang ditetapkan, tetapi mereka juga mengontrol Yehuda dan ideologinya sehingga mereka melihat adanya ideologi koloni dari kekaisaran Persia. Agar Persia dapat terus memberlakukan agendanya maka ia membutuhkan satu tatanan institusi yang kompleks yang dapat memelihara dan memberlakukan ideologi kolonialisme melalui langkahlangkah utuk “dominasi, akomodasi dan perlawanan.26

24

Becking, Continuity and, 3-4.

25 Jhon L. Berquist, “Poscolonialism and Imperial Motivies of Canonization,” dalam R. S.

Sugirtharajah, ed., The Postcolonial Biblical Reader (USA: Oxford, 2006), 78-79

26


(13)

Stategi Persia bagi bangsa jajahanya ialah, penggunaan bahasa yang sama yaitu Aram, pembentukan birokrasi propinsi, penunjukkan orang-orang Persia untuk peran-peran di dalam struktrur-struktur pemerintahan kolonial, kontrol militer diwilayah yang luas, pajak dan pendistribuasian sumber daya, pengerahan berbagai orang di dalam pelayanan kekaisaran (lokal maupun pusat), dan pemberian ideologi-ideologi ras dan etnis di dalam kekaisaran dalam bentuk produksi dokumen-dokumen resmi dan sah.27

Masa Darius tidak tertarik untuk penstandarisasian bentuk ibadah seluruh kekaisaran, memperkenalkan satu bahasa atau sistem koin, penyelarasan cara perkaian yang sama dan juga keramik-keramik. Melainkan ia mengijinkan setiap koloni untuk menetapkan sistem legalnya sendiri, sejarahnya dan tradisinya. Setiap dokumen harus melewati sensor kekaisaran kemungkinan karna ditulis di bawah bimbingan juru tulis Persia. Seperti tubuh sastra akan terdiri dari bahan narasi menjelaskan akar masyarakat Yehud dan membenarkan statusnya sebagai koloni, serta bahan hukum yang menjelaskan bagaimana masyarakat harus berfungsi. Albert Memmi mencatat bahwa imperialis membangun sebuah citra dari terjajah, dan mereka menggunakan gambar ini sebagai pembenaran untuk aktivitas kolonial mereka sendiri.28

B. Latar Belakang Kitab Ezra

1. Ezra Sebagai Representatif Imam

Guna untuk memahami siapa Ezra sebenarnya, penting untuk melihat bagaimana fungsi dan peran para imam sebelum dan sesudah pembuangan. Pada periode pra-pembuangan, Bait Suci adalah tempat beribadah, tempat menyimpan harta benda, pengadilan dan arsip penyimpanan tulisan-tulisan penting., sehingga menjadikannya pusat kehidupan bangsa dibawah kekuasan wangsa Daud. Kultusnya dipimpin oleh imam-imam yang

27

Berquist, Poscolonialism and, 81.

28


(14)

mendapat dukungan penuh dari istana supaya dapat melaksanakan tugasnya sebagai pemotong daging, pemohon kultus, para penulis, ahli hukum, hakim, pembina, nabi dan prajurut. Dalam dunia biblikal, kultus dan hukum selalu dikombinasikan, dari kultus paling kecil ke kultus paling besar , karena hukum dianggap sebagai penyataan Ilahi. Di Bait Suci, atas nama para raja, para imam adalah penentu terkahir bagi kriteria-kriteria negara, norma, peraturan, cara, hukuman, hal-hal ketabuan dan sanksi dalam bentuk tertulis. Semua inilah yang membentuk taurat.29

Ketika Yerusalem jatuh ke tangan Babylonia dan Bait Allah yang dibangun Salomo dihancurkan, terjadilah krisis identitas yang dialami orang Israel. Hal ini desebabkan pemahaman mereka tentang Bait Allah sebagai tempat kediaman Yahweh dibumi. Timbul pertanyaan dari bangsa Israel terkhususnya para imam sebagai pemimpin agama, apakah Yahweh mereka kalah dari dewa bangsa Babylonia?. Pertanyaan ini mereka jawab dengan mengatakan bahwa ini bukanlah bentuk kekalahan dari Yahweh, akan tetapi bangsa Israel yang dihukum Yahweh akibat mereka tidak taat dan tidak melakukan perintah-peritah Yahweh.30 Berdasarkan gambaran inilah ide-ide tentang kemurniaan menjadi sentral utama dari para imam, yang bertujuan untuk menata kembali kehidupan mereka agar sesuai dengan kehendak Yahweh.

Dalam konteks inilah peran para imam semakin menguat setelah Bait Allah II dibangun. Sebagai pusat kegiatan bangsa Yahudi, baik secara politik, ekonomi, maupun secara keagaaman, peran bait Allah semakin meningkat, maka meningkat pula peran para imam. Imam-imam yang berperan pada masa Bait Allah II ialah imam-imam keturunan Zadok. Pada masa inilah Keyahudian baru muncul, yang merupakan suatu campuran antara

29

Robert B. Coote dan David Robert Ord, Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah Keimanan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) 43-44

30 Jhon A. Titaley, “Kata Pengantar,” dalam Robert B. Coote & David R. Ord,

Pada Mulanya: Penciptaan & Sejarah Keimanan (Salatiga-Jakarta: Universitas Kristen Satya Wacana-BPK Gunung Mulia, 2011), xii


(15)

kehidupan keagamaan dengan kehidupan sosial politik dengan imam yang berperan secara terpusat, menggantikan raja dalam kerajaan Yehuda sebelumnya.31 Dalam situasi seperti itu, salah satu tema utama yang berkembang dalam kehidupan bangsa Yahudi adalah tema eskatalogi.32 Tema eskatologi ini muncul dengan kuatnya dalam konsep kudus, bangsa Yahudi haruslah kudus sama seperti Tuhan mereka yang kudus supaya terhindar dari pengkhakiman hari akhir itu.

Sebagai seorang Imam, aturan-aturan yang digunakannya dipengaruhi oleh sumber P. Sumber P (Priestly) adalah sumber terkahir dalam teori sumber yang terdapat dalam Pentateukh. Sumber ini ditulis oleh para Imam pada waktu restorasi tahun 550-540 BCE.33 Maksud penulisan sumber P ialah untuk mengingatkan bangsa Israel bahwa merekalah bangsa kudus Allah. Dalam kerangka ini sumber P sangat menekankan peranan kultus. Dengan demikian tulisan-tulisan P banyak menyangkut aturan-aturan kebaktian dan semua hal berhubungan dengan imamat. Puncak sumber P ini ialah tentang persekutuan perjanjian antara Allah dan Nuh dan Abraham dengan sunat sebagai tanda; dan persekutuan perjanjian antara Allah dan Musa (sebagai wakil bangsa Israel) dengan sunat sebagai tanda.34 Tema eskatologi ini muncul dengan kuatnya dalam konsep kudus, bangsa Yahudi haruslah kudus sama seperti Tuhan mereka yang kudus supaya terhindar dari pengkhakiman hari akhir itu. Semua tema ini dimeteraikan oleh imam sumber P dalam cerita penciptaan dalam kitab kejadian pasal 1. Cerita ini berupa penciptaan yang terjadi dalam waktu 6 hari itu dan berhenti pada hari ketujuh dan menguduskannya. Kisah-kisah penciptaan memaparkan peristiwa-peristiwa yang memainkan peran dalam kehidupan manusia sehari-hari, rekonstruksi tentang penciptaan dilakukan oleh bangsa Israel ketika berada dalam pembuangan. Sehingga cerita ini muncul bahwa Allah menciptakan manusia untuk

31

Titaley, Kata Pengantar, xiii

32

Jhon Bright, A History of Israel, Thirid Edition (Philadelphia: Westminster Press, 1981), 253-255.

33

Gottwald, The Hebrew, 139.


(16)

melakukan pekerjaan dan pelayanan didunia, khususnya di kultus untuk menggantikan kelas dewa, narasi tentang penciptaan manusia sepertinya diadopsi dari cerita-cerita dari bangsa-bangsa yang bersama Israel dibawah pemerintahan Persia. Semua tema ini dimeteraikan oleh imam sumber P dalam cerita penciptaan dalam kitab kejadian pasal 1.

Cerita ini berupa penciptaan yang terjadi dalam waktu 6 hari itu dan berhenti pada hari ketujuh dan menguduskannya. Kisah-kisah penciptaan memaparkan peristiwa-peristiwa yang memainkan peran dalam kehidupan manusia sehari-hari, rekonstruksi tentang penciptaan dilakukan oleh bangsa Israel ketika berada dalam pembuangan. Sehingga cerita ini muncul bahwa Allah menciptakan manusia untuk melakukan pekerjaan dan pelayanan didunia, khususnya di kultus untuk menggantikan kelas dewa, narasi tentang penciptaan manusia sepertinya diadopsi dari cerita-cerita dari bangsa-bangsa yang bersama Israel dibawah pemerintahan Persia. Misalkan cerita yang disajikan Babilonia tentang penciptaan Esagila dan kultusnya yang diberikan nama menurut kedua kata pertamanya Enuma Elish.

Sebelum karya penciptaan, dunia berada dalam keadaan kacau balau, penciptaan sebagai karya keimaman tertutama terdiri dari serangkaian perintah. Melalui tatanan pencipataan, keseluruhan kosmos menunjukan kepatuhan namun saat dimana prinsip kepatuhan dilangar, seperti saat seseorang berbuat dosa dalam komponen tertentu dari tatanan ciptaan harus bekerja untuk mengatasi pelanggaran tersebut.35 Serangkaian tentang peciptaan ditandai juga dengan kisah-kisah perjanjian Allah dengan Nuh, Abraham dan Musa dengan menggunakan tanda sebagai lambang perjanjian.

1) Perjanjian Allah dengan Nuh dengan pelangi sebagai tanda (Kej 9)

Perjajian ini tidak hanya dengan nuh atau manusia, tetapi juga dengan segala yang

bernyawa, karena perjanjian itu menyangkut memakan „yang bernyawa‟ daging. Isu yang mendasar dalam menentukan kemurnian adalah apakah makhluk dalam batas

35


(17)

tertentu „tercemar‟ dalam kaitannya dengan rana yang untuknya ia diciptakan

menurut tatanan dunia keimanan di dakalam Kejadian1. Makhluk-makhluk yang termasuk lebih dari satu rana atau tidak sesuai dengan model untuk rana tertentu adalah tersemar.ini berarti mereka menunjukan ciri-ciri ketidaktertiban. Dengan kata lain ternoda, adalah masalah ketidaktertiban, tercampur dengan dengan ranah yang bukan ranah mereka.36 Gerrits merampung pandangan para ahli dalam menyikapi air bah, bahwa motivasi Ilahi bagi air bah adalah esensi kisah itu sendiri, yang diubah oleh penulis PL menjadi sebuah perempamaan yang nilai moralnya sangat tinggi, tentang penghukuman da pengampunan Allah yang menenggapi sikap umatnya yang jahat, oleh sebab itu kisah ini menuntut tanggung jawab manusia atas kejahatannya. Gerrits berpendapan bahwa mereka yang mati dalam kisah air bah adalah orang-orang yang salah kedaden (cerita tentang anak-anak Allah yang menikah dengan anak-anak manusia yang menghasilkan raksasa-raksasa).37

2) Perjanjian Allah dengan Abraham dengan Sunat sebagai tanda (Kej 17)

Hak istimewa kaum keimanan dinyatakan dalam perjanjian kedua dalam tradisi keimanan, perjanjian dengan Abraham, yang berkaitan dengan oragan-organ reproduksi dengan lelehan darahnya. Tanda dari perjanjian kedua adalah sunat, dimana organ reproduksi pria dibuat berdarah dalam sebuah prosedur dibahawa kendali kaum pria. Sunat adalah sebuah ritual pengawasan, sebuah cara untuk memastikan loyalitas anak laki-laki terhadap sukunya. Hak istimewa ini dalam kaitannya dengan lelehan darah pada perempuan menetapkan prioritas serta hak

36

Coote dan Ord, Pada Mulanya, 75-76.

37

Emanuel G. Singgih, Dari Eden ke Babel: Sebuah Tafsiran Kejadian 1-11 (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 200-201


(18)

istimewa yang dapat dinikamati dengan kaum pria.38 Perempuan juga terlibat dalam perjanjian Allah dengan Abraham, untuk memenuhi perintah untuk „beranak cucu

dan bertmabah banyak‟, dan demikian menjadikan perempuan itu najis.

3) Perjanjian Allah dengan Musa dengan Sabat sebagai tanda (Kel 6)

Konsep hari sabat merupakan kebiasaan yang digunakan di Babylonia ketika bangsa Israel dalam masa pembuangan yang dirumuskan kembali oleh para imam. Dalam pemahaman penulis keimanan, istilah sabat mungkin memiliki makna yang jauh berbeda dengan makna yang dimaksud dalam Kejadian 1. Dalam konsep keimanan hari sabat ialah hari ketujuh.39

Dilihat dari penjelasan diatas menunjukan bahwa dunia menurut sumber P, ialah dunia yang penuh dengan keteraturan, seperti kisah penciptaan yang digunakan kaum Imam dalam mengatur kosmos yang diakitkan dengan tanda-tanda sebagai perjajian Allah dengan manusia. Timbul pertanyaan bahwa, mengapa sumber P menciptakan dunia seperti ini dan apa yang melatar belakangi sumber P ?. Kemungkinannya ialah sumber P ditulis oleh imam-imam yang ikut dalam pembuanagan di Babilonia, krisis identitas dan realitas pembuangan memicu adanya upaya pengaturan kembali atau uapaya rekonstruksi identitas bangsa Israel.

2. Kitab Ezra

Kitab-kitab Perjanjian Lama dibagi atas tiga kelompok, yaitu kitab taurat (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan), kitab para nabi (Yosua, Hakim-hakim, Samuael, Raja-raja, nabi-nabi terdahulu: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan 12 nabi kemudian), tulisan-tulisan yang dikelompokan dalam tiga gulungan (gulungan puitis: Mazmur, Ayub, Amsal; lima gulungan perayaan: Kidung Agung, Ruth, Ratapan, Pengkhotbah, Ester; Daniel, Ezra,

38

Coote dan Ord, Pada Mulanya, 83-87

39


(19)

dan Nehemiah, Tawarikh yang lebih berbentuk nubuat dan sejarah).40 Penempatan kitab Ezra pada urutan terakhir dari kumpulan ketubim ialah untuk membentuk mitra dalam menyimbangkan buku-buku sejarah (Kejadian-Raja-raja) dimana awal tradisi ini dikumpulkan. Maka dapat disimpulkan bahwa kelompok ketubim ini berisikan keberagaman liturgi refleksi, sejarah dan dokumen-dokumen kenabian yang dikomposisikan sesudah kejatuhan wangsa Daud.41

Menurut Charles Fensham, kitab Ezra-Nehemia merupakan suatu kesatuan dapat dilihat dari tulisan-tulisan para rabi. Menarik bahwa dalam catatan Masoret; kitab Ezra tidak ditempatkan setelah kitab Daniel dan sebelum kitab Nehemia serta kitab-kitab sejarah; hal ini mungkin menunjukan bahwa Ezra-Nehemiah diterima dalam kanon sebelum Tawarikh.42 Dalam Alkitab Ibrani pembagian kitab Ezra dan Nehemiah dalam satu kitab, baru dilakukan pada abad 15, dan tampaknya dilakukan oleh bapa gereja, seperti Oregenes.43 Tetapi oleh bapa gereja lainnya seperti Jarome, dalam suratnya kepada Paulinus; kedua buku tersebut disatukan dan disebut sebagai Kitab Nehemia. Menurut Sayce, walaupun kitab Ezra-Nehemia berkaitan dengan periode sejarah yang sama dan mencakup batas tanah tertentu yang sama; namun memiliki penulis yang berbeda. Masing-masing kitab memiliki gaya bahasa sendiri dan berisi kata-kata atau ungkapan yang khas.44

Menurut Zuns, terdapat kemiripan yang juga berhubungan dengan kepenulisan antara Kitab Ezra dan Kitab Tawarikh; berdasarkan empat argumen, yakni: variabel antara Ezra-Tawarikh, adanya bukti dari 1 Esdras, kesamaan linguistik, dan persamaan ideologi. Variabel antara Ezra-Tawarik, terlihat dengan adanya pengulangan dari 2 Tawarikh 26:22-13 dan dalam Ezra 1:1-3a. Berdasarkan 1 Esdras, ditemukan adanya keperpihakan yang sama untuk

40

Robert B. Coote dan Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 5.

41

Coote dan Coote, Kuasa, 6.

42

F. Charles Fensham, The New Interna sional Commentary On The Old Testamens The Books of Ezra And Nehemiah (Michigin: Grand Rapids, 1983),1.

43

W.S Lasor. D.A. Hubbarad, Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 245.

44


(20)

daftar silsilah, serta keunggulan yang diberikan kepada orang-orang Lewi. Kemudian berdasarkan linguistik dan ideologi ialah terdapat kesamaan pada setiap frasa anatara Ezra-Tawarikh serta cara berfikir yang sama dalam memahami dosa-dosa Yahudi.45 Namun dalam tesisnya di tahun 1832, Zuns merumuskan bahwa ke empat argument tersebut tidak dapat dijelaskan oleh teori kepenulisan; sehingga Zuns mengusulkan bahwa Kitab Ezra-Tawarikh harus diperlakukan sebagai pekerjaan independen Tawarikh dan bukan sebagai bagain karya penulis kronik.46

Dalam pengutusannya Ezra dibebani dua bentuk tanggunag jawab yakni, tanggung jawab keagamaan (untuk mengajarkan hukum Taurat dan untuk memperbaik Bait Suci), dan tanggung jawab politik (untuk melaksanan perintah raja). Oleh karena itu Ezra dan mereka yang kembali dari Babel, disebut dengan istilah “golah community”; orang-orang yang memiliki kesetian dan tanggung jawab ganda terhadap Allah dan Pemerinthan Persia. Mereka berusaha memperbaharui agama, dan mereka juga harus memastikan bahwa hasil dari pemungutan pajak harus diserahkan kepada raja Persia.47

Williamson berpendapat bahwa dalam keseluruhan kitab Ezra mengandung ide teologis tradisional yang berisikan seperangkat proposisi Tuhan dalam atribut Illahi, dosa manusia berserta sanksi Illahi; yang membagi kitab Ezra dalam bentuk sejarah (Ezra1-8), dan gagasan tentang dosa atau pelanggaran (Ezra 9-10).48 Dalam cakupan yang lebih luas para sarjana Alkitab melakukan pendekatan terkadap kita Ezra dengan menggunakana istilah

sistem kepercayaan, karena implikasinya bahawa „agama‟ memainkan peranan penting dalam sistem kepercayaan dari masyarakat disaat itu. Berdasarkan pendekatan sitem kepercayaan, Bob Becking membagi Kitab Ezra dalam tiga narasi, yaitu: 1) Ezra 1-2 berkaitan dengan

45

Harold Williamson, Israel in the Books of Chronicles (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 1-70.

46

Kyung-Jin Min, The Levitical Authorship Of Ezra -Nehemiah (London: T.T Clark International , 2002), 21-22.

47

Berquist, Judaism, 199.

48


(21)

perpindahan sekelompok orang dari Babylonia untuk hidup di Yerusalem dan sekitarnya. 2) Ezra 3-6 dilihat sebagai narasi yang bertalian secara logis, inti dari narasi ini ditandai dengan penghapusan dari perbudakan sebagai perayaan non paskah; pembangunan Bait Allah,

perubahan „altar‟ ke „bait‟ adalah narasi yang melekat dengan kegiatan perayaan paskah. 3) Ezra 7-10 merupakan cerita kedatangan Ezra ke Yerusalem dan tindakan-tindakan yang dilakukannya. Melalui tiga bagian narasi ini penulis menceritakan tentang kedatangan kelompok Ezra, dan dua masa sebelumnya. Tujuan penulisannya secara tidak langsung terindikasi tentang politik. Kitab Ezra telah di tulis sebagai legitimasi satu bentuk dari Ke-Yahudian.49 Kitab Ezra juga ditulis sebagai alat untuk meyakinkan kelompok dan orang-orang pada masa Persia tentang cara pandang Yehuda terhadap dunia pada masa itu. Ada empat elemen penting tentang sistem kepercayaan kitab Ezra.50

1. Waktu dan Masa Lalu atau Sejarah : cerita dalam kitab Ezra mengandung runtutan dari berbagai kejadian yang dialami oleh bangsa Israel sampai pada pembuangan di Babylonia. Oleh sebab itu, penulis kitab Ezra seolah-olah menginginkan adanya pemahaman akan keberadaan Tuhan di masa lalu adalah hal yang paling tepat.

2. Kekuasaan: ada dua kekuatan besar yang bekerja dalam penulisan kitab Ezra: Allah dan Kekaisaran. keduanya baik Yahweh dan Raja Persia sebagai agen-agen yang kuat dalam mengontrol sejarah. Seperti halnya, Koresh yang ditampilkan sebagai raja sekaligus orang yang mengijinkan bangsa Israel untuk kembali dan membangun Bait Suci di Yehuda (Ezra 1: 1-4; 6: 3-5), raja Darius yang juga mendukung upaya pembangunan Bait Suci (Ezra 6: 1-13), ataupun Artasasta dalam Ezra:7 yang ditampilkan sebagai raja yang mendukung mizi Ezra. Kekuasan YHWH dipercayai penulis Kitab Ezra dapat diteksi dari ketiga narasi yang menunjukan karakteristek dari kekuasan YHWH, seperti: dalam Ezra 1:1 suatu tindakan yang

49 Bob Becking, “Continuity and Community: The Belief System of the Book Ezra”. Dalam Bob

Becking and Marjo C.A. Korpel, ed,. In The Crisis Of Israelite Religion Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic Times. (Korpel. - Leiden ; Boston ; Köln : Brill, 1999), 259-260.

50


(22)

memulai proses pengambalian orang-orang Israel; dalam Ezra 5:1 YHWH ditampilkan sebagai yang mengutus nabi Hagai dan Zakharia; dan dalam Ezra 5:5 menapilkan penyertaan Allah terhadap tua-tua Yahudi.

3. Ruang Kudus atau Kuil (Bait Allah): Bait Allah merupakan tempat yang sangat penting dari kitab Ezra. Satu dari tema naratif diangkat tentang pengumpulan dana untuk pembangunan Bait suci. Banyak kalangan yang juga setuju bahwa Bait Suci sangat penting sebagai identitas agama Yudaisme pasca-pembuangan, Bait Suci sebagai tempat unttuk menyembah YHWH.

4. Komunitas yang Terkurung (Eksklusif): dari kitab Ezra nampaknya ada sekelompok orang yang menafsirkan dirinya sebagai Israel sejati dan mensampingkan kelompok tertentu. Indikasi kelompok ini dapat ditemukan dalam Ezra 9:2.

Kesimpulan: Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan dinamika kehidupan bangsa Israel sebagai berikut. Kitab Ezra disunting pada awal paska pembuangan, ketika bangsa Israel berada dalam pengaruh kekuasaan Persia. Kitab Ezra juga merupakan kitab yang menyajikan kepada para pembaca suatu kehidupan baru bagi bangsa Israel dari kerterpurukan selama 50 tahun sebelumnya ketika penaklukan oleh Babilonia. Suatu masa kehidupan yang memperhadapkan bangsa israel dengan krisis jati diri yang dikarenakan oleh ketercabutan mereka secara paksa dari tanah yang disimbolkan sebagai tanda perjanjian antar Allah dan Abraham serta hacurnya Bait Allah yang merupakan pusat dari kehidupan kultus bangsa Israel. Ketercabutan mereka dari „rumah‟ menyebabkan mereka harus menciptakan rumah baru di stituasi yang baru dan asing bagi mereka, yakni Babilonia. inilah gambaran dinamika kehidupan bangsa Israel dibawah kekuasaan Babilonia.

Bertolak dari pengalaman-pengalaman inilah orang-orang dipembuangan membentuk suatu pemahaman akan keberadaan mereka ditengah bangsa Asing di Babilonia, dengan cara


(23)

mengidentifikasikan diri sendiri maupun kelompok yang bertujuan untuk merekonstruksi identitas dan kemudian diterapkan dalam suatu komunitas. Disituasi ini juga terciptalah narasi tentang penciptaan, suatu konsep yang melambangkan keteraturan dan pemisahan-pemisahan yang jelas antara yang najis dan bukan najis, yang cemar dan bukan cemar. Kehidupan bangsa Israel mulai mengalami perubahan ketika raja Koresh menaklukan Babilonia, dan memberikan ijin bagi mereka kembali ke Yerusalem. Kehadiran raja Koresh dengan propaganda kepemimpinan secara tidak langsung membentuk ideologi penjajah yang hadir dengan kebijaksanaannya. Bagi bangsa Israel tanpa bangsa Persia mereka tidak akan dipulangkan ke Yerusalem, sehingga terciptalah suatu keinginan untuk menyenangkan keksairan Persia lewat aturan-aturan yang juga menguntungkan kedua belah pihak tersebut, bangsa Persia dan juga bangsa Israel.

Konsep-konsep pemikiran inilah yang digunakan bangsa Israel ketika kembali ke Yerusalem dan semakin mengkristal ketika terjadi perjumpaan dengan orang-orang yang tidak ikut dalam pembungan. Narasi-narasi tentang penciptaan yang pada awalnya diciptakan sebagai pengenal yang mencirikan identitas Israel dipembuangan dipelintirkan atau digunakan dalam melihat perempuan-perempuan asing disaat itu. Dunia dalam sumber P yang diciptakan oleh para imam-imam di periode pembungan dihadirkan kembali ketika orang-orang Israel dari pembuangan mengalami perjumpaan dengan orang-orang negri terkhususnya bagi perempuan asing, hal ini jelas terlihat terhadap pelabelan yang diberikan bagi perempuan asing sebagai orang-orang yang cemar.

Bertolak dari dinamika kehidupan bangsa Israel, pada bab selanjutnya penulis akan menjelaskan siapa perempuan asing yang didalam teks Ezra 9-10 serta mengapa mereka dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan Israel. Oleh sebab itu penulis akan melakukan studi hemeneutik terhadap teks Ezra 9-10 dan menganalisa dengan mengaitkan berbagai teori.


(1)

istimewa yang dapat dinikamati dengan kaum pria.38 Perempuan juga terlibat dalam perjanjian Allah dengan Abraham, untuk memenuhi perintah untuk „beranak cucu

dan bertmabah banyak‟, dan demikian menjadikan perempuan itu najis.

3) Perjanjian Allah dengan Musa dengan Sabat sebagai tanda (Kel 6)

Konsep hari sabat merupakan kebiasaan yang digunakan di Babylonia ketika bangsa Israel dalam masa pembuangan yang dirumuskan kembali oleh para imam. Dalam pemahaman penulis keimanan, istilah sabat mungkin memiliki makna yang jauh berbeda dengan makna yang dimaksud dalam Kejadian 1. Dalam konsep keimanan hari sabat ialah hari ketujuh.39

Dilihat dari penjelasan diatas menunjukan bahwa dunia menurut sumber P, ialah dunia yang penuh dengan keteraturan, seperti kisah penciptaan yang digunakan kaum Imam dalam mengatur kosmos yang diakitkan dengan tanda-tanda sebagai perjajian Allah dengan manusia. Timbul pertanyaan bahwa, mengapa sumber P menciptakan dunia seperti ini dan apa yang melatar belakangi sumber P ?. Kemungkinannya ialah sumber P ditulis oleh imam-imam yang ikut dalam pembuanagan di Babilonia, krisis identitas dan realitas pembuangan memicu adanya upaya pengaturan kembali atau uapaya rekonstruksi identitas bangsa Israel.

2. Kitab Ezra

Kitab-kitab Perjanjian Lama dibagi atas tiga kelompok, yaitu kitab taurat (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan), kitab para nabi (Yosua, Hakim-hakim, Samuael, Raja-raja, nabi-nabi terdahulu: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan 12 nabi kemudian), tulisan-tulisan yang dikelompokan dalam tiga gulungan (gulungan puitis: Mazmur, Ayub, Amsal; lima gulungan perayaan: Kidung Agung, Ruth, Ratapan, Pengkhotbah, Ester; Daniel, Ezra,

38

Coote dan Ord, Pada Mulanya, 83-87

39


(2)

dan Nehemiah, Tawarikh yang lebih berbentuk nubuat dan sejarah).40 Penempatan kitab Ezra pada urutan terakhir dari kumpulan ketubim ialah untuk membentuk mitra dalam menyimbangkan buku-buku sejarah (Kejadian-Raja-raja) dimana awal tradisi ini dikumpulkan. Maka dapat disimpulkan bahwa kelompok ketubim ini berisikan keberagaman liturgi refleksi, sejarah dan dokumen-dokumen kenabian yang dikomposisikan sesudah kejatuhan wangsa Daud.41

Menurut Charles Fensham, kitab Ezra-Nehemia merupakan suatu kesatuan dapat dilihat dari tulisan-tulisan para rabi. Menarik bahwa dalam catatan Masoret; kitab Ezra tidak ditempatkan setelah kitab Daniel dan sebelum kitab Nehemia serta kitab-kitab sejarah; hal ini mungkin menunjukan bahwa Ezra-Nehemiah diterima dalam kanon sebelum Tawarikh.42 Dalam Alkitab Ibrani pembagian kitab Ezra dan Nehemiah dalam satu kitab, baru dilakukan pada abad 15, dan tampaknya dilakukan oleh bapa gereja, seperti Oregenes.43 Tetapi oleh bapa gereja lainnya seperti Jarome, dalam suratnya kepada Paulinus; kedua buku tersebut disatukan dan disebut sebagai Kitab Nehemia. Menurut Sayce, walaupun kitab Ezra-Nehemia berkaitan dengan periode sejarah yang sama dan mencakup batas tanah tertentu yang sama; namun memiliki penulis yang berbeda. Masing-masing kitab memiliki gaya bahasa sendiri dan berisi kata-kata atau ungkapan yang khas.44

Menurut Zuns, terdapat kemiripan yang juga berhubungan dengan kepenulisan antara Kitab Ezra dan Kitab Tawarikh; berdasarkan empat argumen, yakni: variabel antara Ezra-Tawarikh, adanya bukti dari 1 Esdras, kesamaan linguistik, dan persamaan ideologi. Variabel antara Ezra-Tawarik, terlihat dengan adanya pengulangan dari 2 Tawarikh 26:22-13 dan dalam Ezra 1:1-3a. Berdasarkan 1 Esdras, ditemukan adanya keperpihakan yang sama untuk

40

Robert B. Coote dan Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 5.

41

Coote dan Coote, Kuasa, 6.

42

F. Charles Fensham, The New Interna sional Commentary On The Old Testamens The Books of Ezra And Nehemiah (Michigin: Grand Rapids, 1983),1.

43

W.S Lasor. D.A. Hubbarad, Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 245.

44


(3)

daftar silsilah, serta keunggulan yang diberikan kepada orang-orang Lewi. Kemudian berdasarkan linguistik dan ideologi ialah terdapat kesamaan pada setiap frasa anatara Ezra-Tawarikh serta cara berfikir yang sama dalam memahami dosa-dosa Yahudi.45 Namun dalam tesisnya di tahun 1832, Zuns merumuskan bahwa ke empat argument tersebut tidak dapat dijelaskan oleh teori kepenulisan; sehingga Zuns mengusulkan bahwa Kitab Ezra-Tawarikh harus diperlakukan sebagai pekerjaan independen Tawarikh dan bukan sebagai bagain karya penulis kronik.46

Dalam pengutusannya Ezra dibebani dua bentuk tanggunag jawab yakni, tanggung jawab keagamaan (untuk mengajarkan hukum Taurat dan untuk memperbaik Bait Suci), dan tanggung jawab politik (untuk melaksanan perintah raja). Oleh karena itu Ezra dan mereka yang kembali dari Babel, disebut dengan istilah “golah community”; orang-orang yang memiliki kesetian dan tanggung jawab ganda terhadap Allah dan Pemerinthan Persia. Mereka berusaha memperbaharui agama, dan mereka juga harus memastikan bahwa hasil dari pemungutan pajak harus diserahkan kepada raja Persia.47

Williamson berpendapat bahwa dalam keseluruhan kitab Ezra mengandung ide teologis tradisional yang berisikan seperangkat proposisi Tuhan dalam atribut Illahi, dosa manusia berserta sanksi Illahi; yang membagi kitab Ezra dalam bentuk sejarah (Ezra1-8), dan gagasan tentang dosa atau pelanggaran (Ezra 9-10).48 Dalam cakupan yang lebih luas para sarjana Alkitab melakukan pendekatan terkadap kita Ezra dengan menggunakana istilah

sistem kepercayaan, karena implikasinya bahawa „agama‟ memainkan peranan penting dalam sistem kepercayaan dari masyarakat disaat itu. Berdasarkan pendekatan sitem kepercayaan, Bob Becking membagi Kitab Ezra dalam tiga narasi, yaitu: 1) Ezra 1-2 berkaitan dengan

45

Harold Williamson, Israel in the Books of Chronicles (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 1-70.

46

Kyung-Jin Min, The Levitical Authorship Of Ezra -Nehemiah (London: T.T Clark International , 2002), 21-22.

47

Berquist, Judaism, 199.

48


(4)

perpindahan sekelompok orang dari Babylonia untuk hidup di Yerusalem dan sekitarnya. 2) Ezra 3-6 dilihat sebagai narasi yang bertalian secara logis, inti dari narasi ini ditandai dengan penghapusan dari perbudakan sebagai perayaan non paskah; pembangunan Bait Allah,

perubahan „altar‟ ke „bait‟ adalah narasi yang melekat dengan kegiatan perayaan paskah. 3) Ezra 7-10 merupakan cerita kedatangan Ezra ke Yerusalem dan tindakan-tindakan yang dilakukannya. Melalui tiga bagian narasi ini penulis menceritakan tentang kedatangan kelompok Ezra, dan dua masa sebelumnya. Tujuan penulisannya secara tidak langsung terindikasi tentang politik. Kitab Ezra telah di tulis sebagai legitimasi satu bentuk dari Ke-Yahudian.49 Kitab Ezra juga ditulis sebagai alat untuk meyakinkan kelompok dan orang-orang pada masa Persia tentang cara pandang Yehuda terhadap dunia pada masa itu. Ada empat elemen penting tentang sistem kepercayaan kitab Ezra.50

1. Waktu dan Masa Lalu atau Sejarah : cerita dalam kitab Ezra mengandung runtutan dari berbagai kejadian yang dialami oleh bangsa Israel sampai pada pembuangan di Babylonia. Oleh sebab itu, penulis kitab Ezra seolah-olah menginginkan adanya pemahaman akan keberadaan Tuhan di masa lalu adalah hal yang paling tepat.

2. Kekuasaan: ada dua kekuatan besar yang bekerja dalam penulisan kitab Ezra: Allah dan Kekaisaran. keduanya baik Yahweh dan Raja Persia sebagai agen-agen yang kuat dalam mengontrol sejarah. Seperti halnya, Koresh yang ditampilkan sebagai raja sekaligus orang yang mengijinkan bangsa Israel untuk kembali dan membangun Bait Suci di Yehuda (Ezra 1: 1-4; 6: 3-5), raja Darius yang juga mendukung upaya pembangunan Bait Suci (Ezra 6: 1-13), ataupun Artasasta dalam Ezra:7 yang ditampilkan sebagai raja yang mendukung mizi Ezra. Kekuasan YHWH dipercayai penulis Kitab Ezra dapat diteksi dari ketiga narasi yang menunjukan karakteristek dari kekuasan YHWH, seperti: dalam Ezra 1:1 suatu tindakan yang

49 Bob Becking, “Continuity and Community: The Belief System of the Book Ezra”. Dalam Bob

Becking and Marjo C.A. Korpel, ed,. In The Crisis Of Israelite Religion Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic Times. (Korpel. - Leiden ; Boston ; Köln : Brill, 1999), 259-260.

50


(5)

memulai proses pengambalian orang-orang Israel; dalam Ezra 5:1 YHWH ditampilkan sebagai yang mengutus nabi Hagai dan Zakharia; dan dalam Ezra 5:5 menapilkan penyertaan Allah terhadap tua-tua Yahudi.

3. Ruang Kudus atau Kuil (Bait Allah): Bait Allah merupakan tempat yang sangat penting dari kitab Ezra. Satu dari tema naratif diangkat tentang pengumpulan dana untuk pembangunan Bait suci. Banyak kalangan yang juga setuju bahwa Bait Suci sangat penting sebagai identitas agama Yudaisme pasca-pembuangan, Bait Suci sebagai tempat unttuk menyembah YHWH.

4. Komunitas yang Terkurung (Eksklusif): dari kitab Ezra nampaknya ada sekelompok orang yang menafsirkan dirinya sebagai Israel sejati dan mensampingkan kelompok tertentu. Indikasi kelompok ini dapat ditemukan dalam Ezra 9:2.

Kesimpulan: Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan dinamika kehidupan bangsa Israel sebagai berikut. Kitab Ezra disunting pada awal paska pembuangan, ketika bangsa Israel berada dalam pengaruh kekuasaan Persia. Kitab Ezra juga merupakan kitab yang menyajikan kepada para pembaca suatu kehidupan baru bagi bangsa Israel dari kerterpurukan selama 50 tahun sebelumnya ketika penaklukan oleh Babilonia. Suatu masa kehidupan yang memperhadapkan bangsa israel dengan krisis jati diri yang dikarenakan oleh ketercabutan mereka secara paksa dari tanah yang disimbolkan sebagai tanda perjanjian antar Allah dan Abraham serta hacurnya Bait Allah yang merupakan pusat dari kehidupan kultus bangsa Israel. Ketercabutan mereka dari „rumah‟ menyebabkan mereka harus menciptakan rumah baru di stituasi yang baru dan asing bagi mereka, yakni Babilonia. inilah gambaran dinamika kehidupan bangsa Israel dibawah kekuasaan Babilonia.

Bertolak dari pengalaman-pengalaman inilah orang-orang dipembuangan membentuk suatu pemahaman akan keberadaan mereka ditengah bangsa Asing di Babilonia, dengan cara


(6)

mengidentifikasikan diri sendiri maupun kelompok yang bertujuan untuk merekonstruksi identitas dan kemudian diterapkan dalam suatu komunitas. Disituasi ini juga terciptalah narasi tentang penciptaan, suatu konsep yang melambangkan keteraturan dan pemisahan-pemisahan yang jelas antara yang najis dan bukan najis, yang cemar dan bukan cemar. Kehidupan bangsa Israel mulai mengalami perubahan ketika raja Koresh menaklukan Babilonia, dan memberikan ijin bagi mereka kembali ke Yerusalem. Kehadiran raja Koresh dengan propaganda kepemimpinan secara tidak langsung membentuk ideologi penjajah yang hadir dengan kebijaksanaannya. Bagi bangsa Israel tanpa bangsa Persia mereka tidak akan dipulangkan ke Yerusalem, sehingga terciptalah suatu keinginan untuk menyenangkan keksairan Persia lewat aturan-aturan yang juga menguntungkan kedua belah pihak tersebut, bangsa Persia dan juga bangsa Israel.

Konsep-konsep pemikiran inilah yang digunakan bangsa Israel ketika kembali ke Yerusalem dan semakin mengkristal ketika terjadi perjumpaan dengan orang-orang yang tidak ikut dalam pembungan. Narasi-narasi tentang penciptaan yang pada awalnya diciptakan sebagai pengenal yang mencirikan identitas Israel dipembuangan dipelintirkan atau digunakan dalam melihat perempuan-perempuan asing disaat itu. Dunia dalam sumber P yang diciptakan oleh para imam-imam di periode pembungan dihadirkan kembali ketika orang-orang Israel dari pembuangan mengalami perjumpaan dengan orang-orang negri terkhususnya bagi perempuan asing, hal ini jelas terlihat terhadap pelabelan yang diberikan bagi perempuan asing sebagai orang-orang yang cemar.

Bertolak dari dinamika kehidupan bangsa Israel, pada bab selanjutnya penulis akan menjelaskan siapa perempuan asing yang didalam teks Ezra 9-10 serta mengapa mereka dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan Israel. Oleh sebab itu penulis akan melakukan studi hemeneutik terhadap teks Ezra 9-10 dan menganalisa dengan mengaitkan berbagai teori.