TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI “NGLANGKAHI” DALAM PERNIKAHAN Di Ds. Sumber Tlaseh Kec. Dander Kab. Bojonegoro - Test Repository

  

TINJAUAN HUKU KUM ISLAM TERHADAP TRADISI

“NGLANGKA GKAHI” DALAM PERNIKAHAN

Di Ds. Sumber Tl Tlaseh Kec. Dander Kab. Bojonegoro

SKRIPSI

  

Diajukan unt untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Mempero peroleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:

Siti Nur Aini

NIM : 21111030

  

JURUSAN A AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKU AKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA A ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) N)

SALATIGA

2015

  MOTTO

  TIDAK SEMUA MASALAH HARUS DITEMUKAN SOLUSINYA, TERKADANG KITA MEMANG HANYA PERLU BERSABAR DAN BERSERAH DIRI

  PERSEMBAHAN SKRIPSI INI AKU PERSEMBAHKAN TERUNTUK  AYAHANDA, IBUNDA, KAKAK TERCINTA YANG SANGAT AKU SAYANGI

   UNTUK ALMAMATER TERCINTA  TEMAN-TEMAN SEPERJUANGAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

   UNTUK SAHABAT-SAHABATKU BIK SURTI, RINA, ROSA, MBAK PIPI DAN JUGA MBK OELYA BUSROEM

   UNTUK ADIK-ADIK KOST VIRGI, DEWI, LULU, APRIL  DAN BUAT TRI SUSANTO MAKASIH TELAH MEMBERIKANKU MOTIFASI

   FAKULTAS SYARIAH  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PERSEMBAHAN SKRIPSI INI AKU PERSEMBAHKAN TERUNTUK  AYAHANDA, IBUNDA, KAKAK TERCINTA YANG SANGAT AKU SAYANGI

   UNTUK ALMAMATER TERCINTA  TEMAN-TEMAN SEPERJUANGAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

   UNTUK SAHABAT-SAHABATKU BIK SURTI, RINA, ROSA, MBAK PIPI DAN JUGA MBK OELYA BUSROEM

   UNTUK ADIK-ADIK KOST VIRGI, DEWI, LULU, APRIL  DAN BUAT TRI SUSANTO MAKASIH TELAH MEMBERIKANKU MOTIFASI

   FAKULTAS SYARIAH  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

  

ABSTRAK

  Siti Nur Aini. 211 11 030. PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI

  

NGLANGKAHI DALAM PERNIKAHAN DI DESA SUMBER TLASEH

KECAMATAN DANDER KABUPATEN BOJONEGORO . Skripsi. Fakultas

  Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Intitut Agama Islam Negeri. Dosen Pembimbing. Drs. Badwan M.Ag

  Kata Kunci : Hukum Islam Dalam Memandang Tradisi Nglangkahi Manten

  Peneliti ini bertujuan untuk mengetahui; (1) Apa yang di maksud dengan tradisi nglangkahi?(2) Bagaimana masyarakat menyakini tradisi nglangkahi? (3) Bagaimana pandangan hukum Islam tentang tradisi nglangkahi?

  Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodelogi penelitian kualitatif. Metedo pengumpulan datanya penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti juga menggunakan pendekatan historis untuk memperoleh data yang akurat (benar dan jelas).

  Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan di desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro ini adalah tradisi “nglangkahi” tidak wajib dilaksanakan, tetapi dianjurkan untuk melaksanakan tradisi tersebut, karena untuk menghindarkan kakak yang dilangkahi tesebut dari bahaya susah atau yang tidak baik untuk kedepannya.

  Dalam kaidah fiqh yaitu al-adatul muhakkamah yang artinya adat bisa Kaidah ini bisa dijadikan dijadikan sebagai salah satu sumber hukum islam. pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak da dalil dari syari’ tetapi tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Tradisi nglangkahi di lihat dari sudut pandang hukum islam tidak mengenal istilah nglangkahi, di dalam islam hanya memerintahkan kepada mereka yang telah siap atau mampu menikah agar menyegerakan tanpa melihat dia nglangkahi ataupun tidak.

  Tradisi “nglangkahi ” ini termasuk Urf shahih yakni urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat Al-Qur’an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LOGO................................................................................................ i

PENGESAHAN ................................................................................ ii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING............................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................ iv

MOTTO............................................................................................... v

PERSEMBAHAN...............................................................................

  vi

  

KATA PENGANTAR........................................................................ vii

ABSTRAK............................................................................................ ix

DAFTAR ISI......................................................................................... x

  BAB 1: PENDAHULUAN A. Latar Belakang.......................................................................

  1 B. Rumusan Masalah...................................................................

  5 C. Tujuan Penelitian....................................................................

  6 D. Kegunaan Penelitian...............................................................

  6 E. Penegasan Istilah.....................................................................

  7 F. Metode Penelitian....................................................................

  7 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.........................................

  7

  2. Kehadiran Peneliti............................................................... 8

  3. Lokasi Penelitian................................................................. 8 4. Sumber Data.....................................................................

  8

  5. Prosedur Pengumpulan Data............................................

  9 6. Analisis Data.....................................................................

  10 7. Pengecekan Keabsahan Data............................................

  10 G. Sistematika Penulisan.............................................................

  11 BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian pernikahan..................................................................

  13 B. Macam-macam Urf ....................................................................

  15 C. Dasar Hukum Perkawinan............................................................

  17 D. Rukun dan Syarat Perkawinan.....................................................

  22 E. Tujuan dan Hikmah Perkawinan..................................................

  32 F. Riview Studi Terdahulu...............................................................

  36 BAB III: GAMBARAN DESA

  A. Profil desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro..................................................................................

  39 1. Letak Daerah.........................................................................

  39 2. Keadaan Tanah......................................................................

  40 3. Demografi Desa.....................................................................

  40 B. Penyebab Masyarakat Desa Sumber Tlaseh Meyakini Adanya Tradisi Nglangkahi dalam Pernikahan.........................................

  52 C. Prosesi Upacara Tradisi Nglangkahi dalam Pernikahan..............

  59 BAB IV: ANALISIS HASIL PENEMUAN A. Analisis terhadap Tradisi Nglangkahi dalam Pernikahan............

  64 B. Analisis Penyebab Masyarakat Meyakini Tradisi Nglangkahi....

  65

  C. Analisis Tradisi Nglangkahi di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro.....................................................

  67 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................

  71 B. Saran ............................................................................................

  74 DAFTAR PUSTAKA namanya perkawinan. Perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Oleh karena itu, perkawinan menjadi agung, luhur dan sakral. Sebagaimana termaktub dalam firman allah SWT :

  ًةَﺪَﻔَﺣَو َﻦﯿِﻨَﺑ ْﻢُﻜِﺟاَوْزَأ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ َﻞَﻌَﺟَو ﺎًﺟاَوْزَأ ْﻢُﻜِﺴُﻔْﻧَأ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ َﻞَﻌَﺟ ُﮫﱠﻠﻟاَو َنوُﺮُﻔْﻜَﯾ ْﻢُھ ِﮫﱠﻠﻟا ِﺔَﻤْﻌِﻨِﺑَو َنﻮُﻨِﻣْﺆُﯾ ِﻞِﻃﺎَﺒْﻟﺎِﺒَﻓَأ ِتﺎَﺒﱢﯿﱠﻄﻟا َﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻗَزَرَو ( 72 )

  Artinya:

  Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka

beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah.

An-nahl (16: 72)

  Untuk membahas penciptaan manusia, masa hidupnya hingga mati dan keterangan pembagian rezeki oleh Allah SWT, ayat diatas menyinggung masalah pembentukan keluarga dan menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Zat yang memberi kamu seorang pasangan, kemudian menganugerahkan kasih sayang melalui anak dan cucu.

  Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah. Menurut hukum Islam perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah (Basyir, 1996: 11). Dengan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat, oleh karena itu islam memberikan wadah untuk merealisasikan keinginan tersebut dalam serangkaian aturan hukum.

  Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan jelas menyebutkan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu perkawinan harus dipertahankan oleh kedua belah pihak supaya tercapainya tujuan tersebut.

  Tidak terlepas dari semuanya, seseorang untuk menjalani kehidupan berumah tangga tidak kalah pentingnya dengan kemampuan seseorang menempatkan diri dalam suatu masyarakat yang ditempatinya, yang tentunya akan terikat dengan ketentuan atau tatanan sosial budaya yang berlaku.

  Sistem sosial budaya mempunyai suatu tatanan yang berbeda-beda, realitas tata tertib adat Perkawinan antara masyarakat adat yang satu dengan yang lain, antara suku satu dengan yang lain, antara beragama Islam satu dengan yang lain, begitu juga terdapat perbedaan adat Perkawinan kota dan desa. Adat istiadat yang sudah menjadi sutau hukum adat akan lebih sulit dan kuat karena pelanggaran terhadapnya akan menemui suatu sangsi sesuai peraturan yang diberlakukan dan dipatuhi didalam masyarakat tersebut. Seperti yang terjadi di dalam masyarakat atau beberapa adat bahwa seorang adik dilarang mendahului kakaknya menikah, meskipun adik telah siap lahir bathin untuk melakukan pernikahan. Hal ini tidak diperbolehkan, karena jika hal demikian terjadi menurut kepercayaan yang berlaku dan diyakini akan timbul bencana terhadap rumah tangga yang akan dibina maupun keluarga khususnya kakaknya yang dilangkahinya (Hadikusuma, 1990: 12).

  Keyakinan itu muncul dan disepakati menjadi sebuah adat dan apabila perkawinan tersebut masih dilakukan ditempuh dengan beberapa cara walaupun kenyataanya tetap mengalami suatu kendala atas rumah tangganya.

  Agar tidak membawa masalah, lebih jelasnya adiknya yang mendahului nikah tidak tertimpa sial maka harus ditempuh beberapa jalan diantaranya:

  

lalu putus lawe: dengan disaksikan oleh adiknya (pengantin perempuan),

  sang kakak memotong benang lawe yang masing-masing ujungnya dipegang oleh para sesepuh. pemotongan dilakukan dengan menggunakan keris (jika kakaknya laki-laki), gunting (jika kakaknya perempuan) dengan cara ini melambangkan bahwa dengan ikhlas mengijinkan adiknya mendahului nikah

  

Sungkeman: sang kakak yang dilangkahi telah siap dikamar pengantin

  menggunakan busana jawa, kemudian masuklah sang adik yang akan nikah dengan diantar para sesepuh. Calon pengantin (adiknya) kemudian menyebutkan kata-kata seperti berikut : “kang mas, saya akan kawin dahulu,

  

untuk itu saya minta izin mendahului kang mas, serta mohon doa restu agar

rumah tangga yang saya bangun selamat dan bahagia selamanya. Saya juga

mendoakan agar kang mas dapat segera mendapat jodoh yang diinginkan”.

  Jawaban dari kakaknya : “ iya adikku, saya izinkan engkau kawin lebih dulu,

  

semoga rumah tanggamu tentram, bahagia, sejahtera. Terimakasih atas

doamu semoga saya mendapat jodoh juga” .

  Sabetan: kakak yang dilangkahi mengambil lidi sebanyak tujuh batang

  yang telah diikat dengan lima benang lawe kemudian lidi tersebut disabetkan ke pundak calon pengantin (adiknya) sebanyak tiga kali sebagai lambang pemberian maaf kakaknya yang akan di langkahi. Lidi tujuh batang melambangkan hari-hari biasa dan benang lawe lima helai hari-hari (pasaran) jawa.

  Kemudian adiknya memberikan sesuatu kepada kakaknya sesuai dengan kemampuan. Biasanya penganggon sapengadeg (busana lengkap) seperti : baju, sarung, sepatu atau sandal.

  Ketaan dan keharusan tersebut ditinjau dari segi tujuan dalam perkawinan agar tercapai keluarga yang sakinah mawadah warahmah, tidak merasakan was-was dan keganjalan dan sebagainya.

  Hukum Perkawinan adat merupakan hukum masyarakat yang mengatur tentang Perkawinan yang tidak tertulis di dalam Perundang- undangan negara. Jika terjadi pelanggaran maka yang akan mengadili ialah musyawaroh masyarakat adat setempat. Meskipun masyarakat di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro mayoritas beragama islam bahkan tergolong taat, mereka tetep yakin dan percaya sehingga mereka mengikuti tradisi yang sudah turun temurun, dan juga merupakan petuah orang-orang tua yang tidak mungkin untuk dilanggar (Hadikusuma, 1995: 14).

  Di dalam Islam tidak diatur atau tidak dibahas secara jelas karena ini hanya tradisi suatu daerah. Islam sendiri hanya mengatur tentang hukum nikah, peminangan, rukun akad nikah, syarat nikah, macam-macam akad nikah, wanita-wanita yang diharamkan dan pengaruh akad nikah dilangsungkan dengan walimahan untuk wujud bersyukur.

  Adanya fenomena-fenomena yang telah diuraikan diatas telah menarik penyusun untuk meneliti tentang gambaran tradisi “nglangkahi”, Penyebab masyarakat meyakini Tradisi “nglangkahi“, pandangan hukum Islam terhadap Tradisi “nglangkahi“ dalam pernikahan di Desa Sumber Tlaseh

  Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro.

  Penyusun bermaksud meneliti masalah tersebut ke dalam sebuah skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi “Nglangkahi Manten

  dalam Pernikahan di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro.

  Berdasarkan uraian diatas, penyusun membatasi dan merumuskan beberapa pokok masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut :

  1. Bagaimana tradisi “nglangkahi” dalam perkawinan di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro?

  2. Apa yang menyebabkan masyarakat meyakini Tradisi “nglangkahi“ dalam perkawinan di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro?

  3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Tradisi “nglangkahi“ dalam perkawinan di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro?

  C. Tujuan Penelitian

  Dengan memperhatikan latar belakang dari permasalahan di atas, penyusun bertujuan sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui tentang Tradisi nglangkahi.

  2. Untuk mengetahui tentang apa saja yang menyebabkan masyarakat menyakininya.

  3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam tentang Tradisi tersebut.

  D. Kegunaan penelitian

  Adapun kegunaan dari penelitian ini, sebagai berikut :

  1. Secara Teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wacana baru tentang masalah Tradisi “nglangkahi” dalam pernikahan dalam tinjauan hukum

  Islam dan juga menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

  2. Secara Praktis

  a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam melestarikan adat budaya yang ada di masyarakat.

  b. Sebagai tambahan pengetahuan untuk umat dalam memperkaya pengetahuan keagamaan khususnya dalam bidang perkawinan dan hukum islam.

  c. Sebagai bahan kajian penelitian lebih lanjut bagi siapa saja yang membaca skripsi ini dalam rangka memperkaya hasanah ilmu pengetahuan hukum islam.

  Untuk mendapatkan kejelasan judul diatas, penyusun perlu memberikan penegasan istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah:

  seorang calon pengantin (adiknya) yang mempunyai kakak belum menikah (calon pengantin yang masih muda memohon izin dan do’a restu kepada kakaknya untuk menikah lebih dulu) (Hariwijaya, 2005: 132).

  1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan penyusun adalah pendekatan historis.

  Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui asal mula keyakinan masyarakat tentang tradisi “nglangkahi”. Hal ini bisa terungkap dengan terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian obyek yang dibahas (Muhktar, 2007: 79), sehingga data diperoleh dengan akurat dan terpercaya lebih lengkap.

  Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantitatif lainya (Moleong, 2008: 6).

  2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, penyusun akan mengumpulkan data-data sehingga menjadi data yang akurat dan terpercaya, yang digunakan penyusun adalah alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi, Peneliti disini membaur dengan obyek penelitian. Kehadiran penyusun sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti.

  3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan

  Dander Kabupaten Bojonegoro. Karena para masyarakat didesa ini percaya akan tradisi “nglangkahi”. Dan sampai saat ini pun mereka masih melaksanakan tradisi yang sudah mereka percayai itu.

  4. Sumber Data

  a. Data Primer Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya baik melalui wawancara, observasi. b. Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen- dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi dan peraturan perundang-undangan (Ali, 2009: 106).

  5. Prosedur Pengumpulan Data

  a. Observasi Observasi yaitu tekhnik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran (Fathoni, 2011: 104), Penyusun menggunakan observasi langsung ke Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro. Di sini peneliti mengamati prosesi Tradisi “nglangkahi”.

  b. Wawancara Wawancara yaitu tekhnik pengumpulan data melalui tanya jawab lisan, dimana pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara (Fathoni, 2011: 105). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran wawancara adalah tokoh adat untuk mendapat info tentang prosesi adat Tradisi

  “nglangkahi”, pelaku yaitu kakak dari adik yang mendahului nikah dan pengantinya. c. Dokumentasi Mencari data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari pemuka adat. Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data.

  6. Analisa Data Setelah seluruh data terkumpul barulah penyusun menentukan bentuk analisa terhadap data-data tersebut, antara lain dengan metode : a. Deduktif

  Yaitu analisa yang bertitik tolak dari suatu kaidah yang umum menuju suatu kesimpulan yang bersifat khusus, artinya ketentuan- ketentuan umum yang ada dalam nash dijadikan sebagai pedoman untuk menganalisis pandangan hukum islam tentang Tradisi adat

  “nglangkahi” dalam perkawinan di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro.

  b. Kualitatif Yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2008: 4).

  7. Pengecekan Keabsahan Data Dalam menguji keabsahan data penyusun menggunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui sumber yang lainya (Moleong, 2007: 330).

  Ada empat macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.

  Trianggulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung, observasi tidak langsung ini dimaksudkan dalam bentuk pengamatan atas beberapa kelakuan dan kejadian yang kemudian dari hasil pengamatan tersebut diambil kesimpulan yang menghubungkan di antara keduanya (Moleong, 2007: 330).

  G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman isi penelitian ini, maka sistematika pembahasanya dibagi menjadi lima bab, yang berisi hal-hal pokok yang dapat dijadikan pijakan dalam memahami pembahasan ini. Adapun perincianya adalah sebagai berikut yaitu :

  BAB Pertama mencakup Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang masalah, Fokus penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Riview Studi Terdahulu, Penegasan Istilah, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

  BAB Kedua meliputi Kajian Pustaka yang berisi uraian tentang Pernikahan, Pernikahan menurut Hukum Islam, Pernikahan menurut Undang- Undang No. 1 tahun 1974, Pernikahan menurut Hukum Adat, Pengertian Tentang Tradisi “nglangkahi” Menurut Hukum Adat, Dasar Hukum Pernikahan, Rukun dan Syarat Pernikahan, Tujuan dan Hikmah Pernikahan.

  BAB Ketiga Paparan Data dan Temuan Penelitian berisi tentang diskripsi wilayah pada masyarakat Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro.

  BAB Keempat adalah Pembahasan berisi tentang analisis hal-hal mengenai Tradisi “nglangkahi” dalam Perkawinan, analisis tentang penyebab masyarakat meyakini Tradisi “nglangkahi“, pandangan hukum islam terhadap Tradisi “nglangkahi“ di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro.

  BAB Kelima Penutup berisi tentang kesimpulan dari seluruh hasil penelitian, saran-saran ataupun rekomendasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang hukum-hukum Islam khususnya hukum Tradisi

  

“nglangkahi” dalam perkawinan adat di Desa Sumber Tlaseh Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. (Dep dikbud, 1994: 456).

  Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi) (Kahlaniy, 1988: 246). kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah (Al-Zuhaili, 1989: 29).

  Menurut Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:

  ﱠﻞِﺣو ِةَأﺮَﻤْﻟﺎﺑ ِﻞُﺟﱠﺮﻟا ِع ﺎﺘْﻤِﺘْﺳا َﻚْﻠِﻣ َﺪْﯿِﻔُﯿ ِﻟ ُعِرﺎﱠﺸﻟا ُﮫَﻌَﺿَو ُﺪْﻘَﻋ َﻮُھ ًﺎﻋْﺮﺷ ُجاَوﱠﺰﻟا . ِﻞ ُﺟ ﱠﺮ ﻟ ﺎ ِﺑ ِة أ ْﺮ َﻤ ْﻟ ا ِع ﺎ َﺘ ْﻤ ِﺘ ْﺳ ا

  Artinya: perkawinan menuut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-snang antara laki-laki dengan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

  Abu Yahya Zakaria Al-Anshary mendefenisikan : ِهِﻮْﺤَﻧْوَا ٍحﺎَﻜْﻧِا ِﻆْﻔﻠِﺑ ٍﺊْﻃو َﺔَﺣَﺎﺑا ُﻦﱠﻤَﻀَﺘَﯾ ُﺪْﻘَﻋ َﻮُھ ًﺎﻋْﺮﺷ ُحَﺎﻜﱢﻨﻟا . Artinya :

  Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya (Al-Anshary, juz 2: 30).

  Definisi yang dikutip Zakiah Darajat :

  

ﻔﻠِﺑ ٍﺊْﻃو َﺔَﺣَﺎﺑا ُﻦﱠﻤَﻀَﺘَﯾ ُﺪْﻘَﻋ ٍﻆا ِﻟ ﺎَﻨْﻌَﻣْوَأ ِﺞْﯾِوْﺰﱠﺘﻟاِوأ ٍحﺎَﻜْﻨ ﺎَﻤُھ

  Artinya :

  Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya (Darajat,

  1995: 37). Pengertian-pengertian diatas dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang semula dilarang menjadi diperbolehkan (Ghazaly, 2006: 9).

  Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.1 tahun 1974, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam Kompilasi Hukum Islam bab II dasar-dasar perkawinan pasal 2 pengertian Perkawinan yaitu:

  Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah (Ghazaly, 2006: 10).

  Pernikahan menurut Hukum Adat ialah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga menyangkut kedua belah pihak orang tua, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

  Perkawinan menurut Hazairin merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan.

  Perkawinan menurut A. Van Gennep adalah sebagai suatu upacara peralihan status kedua mempelai.

  Perkawinan menurut Djojodegoeno adalah merupakan suatu paguyupan atau somah (keluarga) dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami istri sebegitu eratnya sebagai suatu ketunggalan (Jaza’iri, A.B.J, 2003: 688).

  Tradisi “nglangkahi”: Langkahan ini lazim dilakukan dalam tradisi jawa apabila calon pengantin mempunyai kakak yang di “langkahi” (adiknya Menikah lebih dulu dari Kakaknya) dalam pernikahan itu (Martha, 2010: 24).

  Dari segi keabsahanya dari pandangan syara’, uruf terbagi dua yaitu al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).

  1. Al-urf al-shahih

  Kebiasaan yang berlaku di tenggah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak membawa madlarat bagi mereka. Misalnya dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas awin.

  2. Al-urf al-fasid

  Kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah- kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya kebiasaan yang berlaku di dalam kalangan pedagang dalam menghalalkan riba seperti peminjam uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo dengan perhitungan unganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan karena keuntungan yang diraih sepuluh juga rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktek seperti ini bukanlah kebisaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’ karena pertukaran barang yang sejenis menurut syara’ tidak boleh saling melebihi. Selain itu praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyyah yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu kebiasaan seperti ini termasuk dalam kategori al-urf al-fasid (Umam dkk, 1998: 163)

  Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang- pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surat An-nisa’ ayat 1 :

  َّﺚَﺑَو ﺎَﮭَﺟْوَز ﺎَﮭْﻨِﻣ َﻖَﻠَﺧﱠو ٍةَﺪِﺣﱠو ٍﺲْﻔَﻧ ْﻦﱢﻣ ْﻢُﻜَﻘَﻠَﺧ ىِﺬَﻟا ُﻢُﻜُﺑَراْﻮُﻘﱠﺘﻟا ُسﺎﱠﻨﻟاﺎَﮭﱡﯾاﺄَﯾ ًءﺎَﺴِﻧﱠو اًﺮْﯿِﺜَﻛ ًﻻﺎَﺟِر ﺎَﻤُﮭْﻨِﻣ ا( : ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا )...

  Artinya :

  Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

  Hal inipun disebutkan dalam surat An-Nahl ayat 72 :

  . ًة َﺪ ْﻔ َﺣ َو َﻦْﯿِﻨَﺑ ْﻢُﻜِﺟاَوْزأ ْﻦّﻣ ْﻢُﻜَﻟ َﻞَﻌَﺟﱠو ﺎًﺟاَوْزأ ْﻢُﻜِﺴُﻔْﻧأ ْﻦﱢﻣ ْﻢُﻜَﻟ َﻞَﻌَﺟ ُﷲااَو

  Artinya :

  Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-

  .

  cucu

  Allah mengatur Manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang Perkawinan yang ketentuanya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan.

  Hukum Melakukan Perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan :

  Segologan fuqoha’, yakni jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyyah berpendapat bahwa nikah itu wajib.

  Para ulama Malikiyyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainya dan mubah untuk segolongan yang lain. Itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya (Ghazaly, 2006: 16).

  Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadist-hadist yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat, ataukah mungkin mubah. Seperti ayat An-nisa: 3

  ع ﺎ َﺑ ُر َو َث َﻼ ُﺛ َو ﻰ َﻨ ﺜ َﻣ ِء ﺂ ﺴ ﱢﻨ ﻟ ا َﻦ ِﻣ ْﻢ ُﻜ َﻟ َب َﺎ ﻃ ﺎ َﻣ ا ْﻮ ُﺤ ِﻜ ْﻧ ﺎ َﻓ

  Artinya :

  Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Diantara hadist yang berkenaan dengan nikah adalah:

  . ُﻢ َﻣ ﻷ ا ُﻢ ُﻜ ِﺑ ٌﺮ ِﺛ ﺎ َﻜ ُﻣ ٍﻰ ّﻧ ِﺎ َﻓ ا ْﻮ ُﺤ َﻛ ﺎ َﻨ َﺗ

  Artinya :

  Nikahilah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba-lomba dengan umat-umat yang lain (Hadist Shohih Riwayat Ibnu Hibban, Hakim, Ibnu Majah).

  Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnatullah dan adakalanya Mubah (Al- Jaziry, jilid ke-7: 4).

  Ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa hukum asal Nikah adalah Mubah, di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan yang makruh. (Al-Jaziry jilid ke-7: 6).

  Di Indonesia umumnya masyarakat memandang bahwa Hukum asal melakukan Perkawinan ialah Mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat Ulama Syafi’iyyah.

  Terlepas dari pedapat imam-imam mahzab, berdasarkan nash-nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah , Islam sangat menganjurkan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkn perkawinan. Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melakukan Perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah (Al-Zuhaily, 1989: 31-33).

  1. Wajib Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan perkawinan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itupun wajib sesuai dengan Kaidah :

  ٌﺐِﺟاَو َﻮُﮭَﻓ ِﮫِﺑ ﱠﻻا ُﺐِﺟاﻮﻟا ﱡﻢِﺘَﯾ ًﻻﺎَﻣ

  Artinya :

  Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga .

  Kaidah lain mengatakan :

  ِﺪ ِﺻ ﺎ َﻘ ُﻤ ﻟ ا ُﻢ ْﻜ ُﺣ ِﻞ ِﺋ ﺎ َﺳ َﻮ ﻠ ِﻟ

  Artinya : Sarana itu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.

  Hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.

  2. Sunnat Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan Perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah Sunnat. Menurut Jumhur Fuqoha kondisi seseorang yang berada pada posisi seperti ini lebih utama baginya melakukan perkawinan daripada menunda demi ibadah yang bersifat Sunnat.

  3. Haram Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban- kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah Haram. Al-Qur’an Surat Al- Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan :

  ﺔَﻜُﻠْﮭّﺘﻟا ﻰَﻟِا ْﻢُﻜْﯾِﺪْﯾَﺎِﺑ اْﻮُﻘْﻠَﺗ َﻻَو

  Artinya :

  Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan

  Termasuk juga hukumnya haram perkawinan bila seseorang kawin dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dikawini itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat kawin dengan orang lain (Ghazaly, 2006: 20).

  4. Makruh Bagi orang yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan Perkawinan dan cukup untuk bisa menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang tersebut tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban Suami Istri dengan baik (Ghazaly, 2006: 21).

  5. Mubah Orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukanya, tetapi apabila tidak melakukanya tidak dikhawatirkan berbuat zina dan apabila melakukanya juga tidak akan menelantarkan Istri. Perkawinan tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan Agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini ditunjukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukanya. Seperti mempunyai keinginan tetapi tidak mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat (Ghazaly, 2006: 22).

  1. Pengertian Rukun dan Syarat Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbirotul ikhram untuk shalat (Hakim, 1976: 9) atau adanya calon pengantin Laki-laki/Perempuan dalam Perkawinan.

  Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau menurut Islam, Calon Pengantin Laki-laki/Perempuan itu harus Beragama Islam (Al-Zuhaily, 1989: 36).

  Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

  2. Rukun Perkawinan.

  Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:

  a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.

  b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

  Akad Nikah akan dianggap sah apabila ada seseorang wali atau wakilnya yang akan menikahinya, berdasarkan sabda Nabi SAW.

  ا ِنْذِا ِﺮْﯿَﻐِﺑ ْﺖَﺤَﻜِﻧ ٍةأَﺮْﻣا ﺎَﻤُﯾ ٌﻞِﻃﺎَﺑ ﺎَﮭُﺣﺎَﻜِﻨَﻓ ﺎَﮭّﯿِﻟَو ) ئﺎﺴﻨﻠﻟ ﻻا ﺔﻌﺑر ﻻا ﮫﺟﺮﺧا

  (

  Artinya :

  Perempuan mana saja yang menikah tanpa seijin walinya, maka pernikahanya batal .

  Dalam Hadist lain Nabi SAW bersabda :

  ُة أ ْﺮ َﻤ ْﻟ ا ِج ﱢو َﺰ ُﺗ َﻻ َو ُة أ ْﺮ َﻤ ﻟ ا ِج ّو َﺰ ُﺗ َﻻ ﺎَﮭَﺴْﻔَﻧ ) . ﻰﻄﻗراﺪﻟاو ﮫﺟ ﺎﻣ ﻦﺑا هاور ( Artinya :

  Janganlah seorang Perempuan menikahkan Perempuan lainya, dan janganlah seorang Perempuan menikahkan dirinya sendiri.

  c. Adanya dua orang saksi.

  Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW:

  ٍلْﺪَﻋ ْىَﺪِھ ﺎَﺷَو ﱢﻰﻟَﻮِﺑ ﱠﻻا َحﺎَﻜِﻧَﻻ ) . ﺪ ﻤ ﺣ ا ه ا و ر (

  d. Shigat akad nikah, yaitu Ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

  Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama beda Pendapat:

  Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam yaitu: a) Wali dari pihak perempuan,

  b) Mahar,

  c) Calon pengantin laki-laki,

  d) Calon pengantin perempuan, e) Shigat akad nikah.

  Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu adalah lima macam yaitu: a) Calon pengantin laki-laki, b) Calon pengantin perempuan,

  c) Wali,

  d) Dua orang saksi, e) Shigat akad nikah (Al-Zuhaily, 1989: 72).

  Dan menurut Ulama Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan Qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon Pengantin Laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat macam yaitu:

  a) Sighat (ijab qabul),

  b) Calon pengantin perempuan,

  c) Calon pengantin laki-laki,

  d) Wali dari pihak calon pengantin perempuan (Al-Zuhaily, 1989: 36).

  Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun, seperti:

  Rukun Perkawinan:

  a) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.

  b) Adaya wali

  c) Adanya dua rang saksi d) Dilakukan dengan sighat tertentu (Al-zuhaily, 1989: 38).

  3. Syarat Sahnya Perkawinan

  Syarat-syarat perkawian merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai Suami-Istri. Syarat sahnya perkawinan itu ada dua:

  a) Calon mempelai perempuanya halal dikawin oleh Laki-laki yang ingin menjadikanya istri. Jadi perempuanya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun untuk selama-lamanya.

  b) Akad nikahnya dihadiri para saksi Syarat-syarat pengantin pria:

  a) Calon suami beragama Islam

  b) Jelas bahwa calon suami itu benar-benar laki-laki

  c) Baligh

  d) Berakal

  e) Jelas orangnya

  f) Dapat memberikan persetujuan

  g) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umrah Syarat-syarat calon pengantin perempuan:

  a) Beragama Islam

  b) Perempuan

  c) Jelas orangnya d) Halal bagi calon suami

  e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam ‘iddah

  f) Tidak dipaksa g) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah (Daradjat, 1989: 41).

  Syarat- syarat wali nikah :

  a) Baligh

  b) Berakal

  c) Laki-laki

  d) Seorang muslim

  e) Tidak sedang ihram f) Harus Adil (Rafiq, 1998: 71).

  Syarat-syarat saksi :

  a) Baligh

  b) Berakal

  c) Merdeka bukan budak

  d) Islam

  e) Kedua orang saksi itu mendengar

  f) Ingatanya baik g) Bersih dari tuduhan (Sahrani, 2009: 111).

  Dapat disimpulkan bahwa saksi adalah orang yang memberikan keterangan dan mempertanggung jawabkan atas apa adanya, seperti firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 135

  ِﻦْﯾَﺪِﻟاَﻮﻟاِوَا ْﻢُﻜَﺴُﻔْﻧا ﻰَﻠَﻋْﻮَﻟَو ِﷲَءاَﺪَﮭُﺷ ِﻂْﺴِﻘْﻟﺎِﺑ َﻦْﯿِﻣﱠﻮَﻗاْﻮُﻧْﻮُﻛ اْﻮُﻨَﻣَاءَﻦْﯾِﺬّﻟاﺎَﮭﱡﯾﺄَﯾ

  ْنَا ىَﻮﮭﻟا اْﻮُﻌِﺒﱠﺘَﺗ ﺎَﻠَﻓ , ﺎَﻤِﮭِﺑ ﻰَﻟْوَا ﷲ ﺎَﻓ اًﺮْﯿِﻘَﻓ ْوَا ﺎﯿِﻨَﻏ ْﻦُﻜَﯾ ْنا , َﻦْﯿِﺑَﺮْﻗَﻻاو ( 135 : ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا ) . اَﺮْﯿِﺒَﺧ َنْﻮُﻠَﻤْﻌَﺗ ﺎَﻤِﺑ َنﺎَﻛ ﷲ ﱠنِﺎَﻓ اْﻮُﺿِﺮْﻌُﺗْوَااُﻮْﻠَﺗ ْناَو , ا ْﻮ ُﻟ ِﺪ ْﻌ َﺗ

  Artinya :

  

“Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri

ataupun bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah

lebih tahu kemaslahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena

ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (Kata-kata)

atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui

Dokumen yang terkait

HUKUM PERNIKAHAN ISLAM DALAM KONTEKS INDONESIA

0 0 23

HIBAH DALAM KELUARGA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBAGIAN WARIS ( Studi Kasus di Desa Bonomerto Kec. Suruh Kab. Semarang ) - Test Repository

0 0 72

TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (Study Kasus Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali) - Test Repository

0 0 93

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUDAYA JAWA (Telaah Prosesi Adat Pemakaman pada Masyarakat Pager Kec. Kaliwungu Kab. Semarang Tahun 2014) - Test Repository

0 4 163

PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN ISLAM TERHADAP PENGAMALAN IBADAH SHALAT (Studi Kasus Pada Anak-Anak Keluarga Petani Di Dusun Kerep Desa Jombor Kec. Tuntang, Kab. Semarang Tahun 2015) - Test Repository

0 1 115

PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN ISLAM TERHADAP PENGAMALAN IBADAH SHALAT (Studi Kasus Pada Anak-Anak Keluarga Petani Di Dusun Kerep Desa Jombor Kec. Tuntang, Kab. Semarang Tahun 2015) - Test Repository

0 0 114

KEHARMONISAN KELUARGA TUNARUNGU DAN TUNAWICARA (Studi kasus di Dk. Dukuhan Ds. Doplang Kec. Jati Kab. Blora Tahun 2017) - Test Repository

0 1 106

PEKERJA ANAK DAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITF DAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Suruh Kab. Semarang - Test Repository

0 0 102

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan - PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ( Studi Kasus Pelaku Poligami di Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 2011) - Test Repository

0 0 66

TINJAUAN UNDANG-UNDANG KOPERASI TERHADAP PRAKTEK SIMPAN PINJAM DI KOPERASI SIMPAN PINJAM BERGILIR “HATI RATU” Desa Lerep Kec. Ungaran Barat Kab. Semarang - Test Repository

0 0 86