BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan - PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ( Studi Kasus Pelaku Poligami di Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 2011) - Test Repository

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Islam adalah agama yang membawa misi rahmat lil ‘alamin (rahmat

  bagi alam semesta), dan sangat memperhatikan arti penting perkawinan sebagai satu-satunya cara yang sah untuk berketurunan. Tidak kurang dari 80 ’an yang berbicara tentang perkawinan, baik yang memakai kata nikah (berhimpun), maupun menggunakan kata zawwaja

  (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan itu dapat menjadi jembatan yang mengantarkan manusia, laki-laki dan perempuan, menuju kehidupan sakinah (damai, tenang, dan bahagia) yang diridhai Allah.

  Pada dasarnya prinsip perkawinan adalah monogami, namun dalam prakteknya, pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial.

  Status hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Sunnah Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami atau poligami bukanlah sesuatu yang didasarkan pilihan bebas, melainkan harus selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syari

  ’ah, yaitu terwujudnya keadilan yang membawa kemashlahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan.

  Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan berada di bawah laki-laki maka poligami menjadi subur, sebaliknya pada masa masyarakat yang memandang kedudukan dan derajat perempuan itu terhormat dan setara dengan laki-laki, poligami pun berkurang. Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi-rendahnya kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat. Sebenarnya poligami dilakukan oleh berbagai kalangan didasarkan pada pertimbangan moral untuk menghindari perbuatan asusila, tindakan moral lainnya. Akan tetapi pada zaman sekarang ini tidak menutup kemungkinan poligami dilakukan karena hanya untuk pemuasan hasrat biologis saja, tanpa mempertimbangkan hak-hak perempuan. Poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa berkuasa) dan sifat despostis (semena- mena) kaum pria, dan sebagian lagi berasal dari perbedaan kecenderungan alami antara perempuan dan laki-laki dalam hal fungsi-fungsi reproduksi.

  Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya empat orang istri. Ketentuan itu termaktub dalam pasal 3 dan 4 Undang- Undang Perkawinan dan Bab XI pasal 55 s/d 59 KHI. Dalam KHI antara lain disebutkan bahwa syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Selain syarat utama tersebut, ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak mereka. Perkawinan poligami adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang (suami) karena adanya sebab/alasan tertentu yang menyebabkan perkawinan itu terjadi (Zuhdi, 1993: 30).

  Di dalam KHI pasal 57 dijelaskan bahwa alasan-alasan bagi suami berpoligami adalah : 1. istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya. 2. istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh. 3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

  Ketiga alasan yang tertuang di atas tidak sesuai tuntutan Allah swt seperti yang tertuang dalam Q.s. An

  • –Nisa’ ayat 16 yang artinya: "Dan

  

pergaulilah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian, bila kamu tidak

menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai

sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

  Dengan merujuk ayat di atas tampak dengan jelas bahwa semua alasan yang dikemukakan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah untuk membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari kepentingan suami sama sekali tidak mempertimbangkan perspektif kepentingan istri. Lagi pula, jika dihayati dengan hati yang jernih, mau tidak mau harus diakui bahwa kondisi istri yang mandul atau berpenyakit bukanlah kondisi yang disengaja. Kondisi itu lebih merupakan takdir dari Tuhan, karena tidak ada istri yang menginginkan dirinya mandul atau berpenyakit. Semua perempuan tentu menginginkan dirinya sehat, hanya saja tidak semua keinginan manusia dapat terwujud sesuai harapan. Akan tetapi pada prakteknya, pelaku poligami tidak berdasar pada hal tersebut bahkan justru pelaku menyimpangkan hal-hal tersebut. Secara jasmani dan rohani sang istri masih dapat melakukan seluruh kewajibannya, baik mengurus suami maupun mendidik anak-anaknya.

  Sekiranya apa yang digambarkan di atas itu benar-benar terjadi, disinilah muncul suatu konflik antara teori dan praktek, artinya syarat-syarat yang telah disebutkan diatas tadi sama sekali tidak dijadikan acuan orang dalam melakukan poligami. Perkawinan poligami tidak dilakukan berdasar karena alasan-alasan lain termasuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja. Seseorang bisa saja membuat alasan dengan menganggap pasangannya tidak mampu memberikan kepuasan batin. Faktor inilah yang patut diduga sering melatar belakangi perkawinan poligami sebagaimana yang terjadi di Desa Suruh. Ada empat kasus praktek perkawinan poligami yang akan dikaji oleh penulis.

  Poligami yang marak terjadi di kalangan masyarakat kita, tidak semua orang mengetahui dengan jelas bagaimana sebenarnya perkawinan poligami itu terjadi dan sah secara hukum (baik perundang-undangan yang dibuat oleh negara maupun menurut hukum syari

  ’at Islam). Sebenarnya perkawinan poligami tidak hanya menimbulkan rasa kekecewaan terhadap istri, tetapi juga menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada umumnya. Istri yang dipoligami selalu merasa tersisihkan karena suami cenderung lebih memperhatikan istri yang baru (isteri mudanya) ketimbang istri pertama.

  Agaknya keharusan berlaku adil kepada kedua istrinya sulit diwujudkan, sehingga bukanlah surga yang diperoleh tetapi akan menambah dosa disebabkan berkembangnya rasa saling curiga antara isteri pertama dengan isteri kedua. Dengan demikian tujuan utama membangun rumahtangga jauh dari harapan, bahkan yang dirasakan adalah timbulnya kemudharatan.

B. Rumusan masalah

  1. Bagaimana praktik poligami terjadi di Desa Suruh?

  2. Mengapa terjadi praktik perkawinan poligami di Desa Suruh?

  3. Apakah pelaku perkawinan poligami menegakkan perlakuan yang adil terhadap istri-istrinya?

  4. Bagaimana respon mayarakat terhadap praktik poligami di Desa Suruh?

  5. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap praktik poligami di Desa Suruh kab. Semarang.

C. Tujuan penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan poligami di Desa Suruh.

  2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami.

  3. Untuk mengetahui konsep adil yang diterapkan oleh suami terhadap istri- istrinya yang sesuai dengan Hukum Islam dan Perundang-undangan.

  4. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami yang terjadi di Desa Suruh.

5. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang- undangan dalam menanggapi praktik perkawinan poligami di Desa Suruh.

D. Manfaat penelitian

  Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini adalah :

1. Teoritis

  a. Untuk menambah khasanah pengembangan ilmu hukum, khususnya

  b. Untuk mengetahui bagaimana ketetapan Hukum Islam dan Perundang- undangan tentang poligami.

  c. Untuk mengetahui tentang praktik poligami yang ada di lapangan.

2. Praktis

  a. Progdi AS Memberikan informasi tentang praktik poligami yang sesuai dengan Hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.

  b. KUA Memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan permasalahan poligami.

  c. Masyarakat Memberikan sumbangan pengetahuan tentang praktik poligami sesuai dengan fakta yang ada.

E. Penegasan istilah

  Untuk menghindari adanya kesalahan penafsiran pada judul yang penulis ajukan, maka perlu kiranya penulis jelaskan pengertian serta maksud dari judul sebagai berikut :

  1. Poligami Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan pria dengan lebih dari satu perempuan sebagai isteri-isterinya.

  2. Hukum Islam Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan

  Wahyu Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Rasul Muhammad

  shallallah ‘alaihi wa sallam tentang tingkah laku mukallaf yang diakui

  dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. (Ali, 2000 : 112)

  3. Perundang-undangan Perkawinan NO. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  Perundang-undangan dalam arti formil, yaitu keputusan (beslising) tertulis yang diadakan badan-badan negara. Dalam arti materiil, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa atau negara (Purnadi, 1989 : 3) .

4. Perilaku Poligami

  Kata “perilaku” adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Sedang yang dimaksud dengan

  “perilaku poligami” adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh individu yang berada dalam ikatan perkawinan dikarenakan adanya sebab tertentu (Hamdani, 2001 :38).

  Karya ini dibuat oleh penulis bertujuan menganalisa tentang seperti yang diajarkan oleh syari ’at Islam. Benarkah dalam praktek poligami orang telah mampu menegakkan keadilan dengan menunjang apa-apa yang dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Sebagaimana kita tahu bahwa peran pelaku poligami dituntut lebih dari yang bukan poligami karena tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarga.

F. Tinjauan Pustaka

  Banyak karya ilmiah atau penulisan yang membahas tentang kasus- kasus poligami, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terus dikaji dan ditelusuri lebih dalam lagi. Banyaknya kasus yang berhubungan dengan perkawinan poligami mendorong penulis mencoba mengungkap fenomena tersebut dengan mengamati dalam praktek kehidupan pasangan poligami. Dengan demikian diharapkan penelitian ini tidak sama dengan yang sudah ada. Pada umumnya kajian kasus poligami - sejauh pengkajian penulis - hanya terbatas pada teori saja, seperti pada penulisan skripsi yang ditulis oleh Sudibyo (2001:25) yang berjudul "Konsep Keadilan Dalam Berpoligami

  

menurut Hukum Islam". Sudibyo menjelaskan bahwa konsep adil dalam

  perkawinan poligami harus sesuai dengan apa yang ada di dalam aturan Islam serta penerapan konsep keadilan yang benar menurut Al-Qur ’an dan hukum

  Tuhan. Menurutnya, adil di sini tidak hanya adil dalam pemberian nafkah saja tetapi juga adil terhadap pembagian terhadap cinta dan kasih sayang kepada istri-istrinya seperti pembagian jatah malam, nafkah lahiriah maupun batiniah. pun harus diperhatikan yaitu dengan memberikan hak-haknya secara penuh dan tidak berbuat aniaya kepada mereka.

  Begitu juga karya dari Siti Mulyani (1997:18) yang mengangkat tema "Poligami Dalam Perspektif Keadilan Gender" , dalam karyanya dijabarkan bahwa poligami yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah merupakan suatu perbuatan yang sangat merendahkan kaum perempuan karena terdapat unsur diskriminasi sosial maupun kejiwaan. Tidak hanya itu, jika dilihat dari sisi suami itu sendiri maka tampak sangat jelas unsur yang terkandung di dalamnya lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang dari sisi kaum perempuan yang jelas-jelas lebih merasakan dampak dari poligami itu sendiri. Jelas di sini bahwa, kaum perempuan merasa seperti tersisihkan karena adanya sebab yang menjadi alasan-alasan bagi suami untuk berpoligami seperti yang telah disebutkan di atas.

  Berbeda dengan karya-karya di atas, M. Sholihan (1999:30) "Poligami

  

Dalam Perspektif Fazlur Rahman" menjelaskan bahwa Fazlur Rahman memaparkan pendapat bahwa adanya kontradiksi di antara izin untuk beristri sampai empat orang dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka dengan pernyataan tegas bahwa keadilan terhadap istri-istri tersebut adalah mustahil. Menurut penafsiran yang tradisional izin untuk berpoligami itu mempunyai kekuatan hukum, sedang keharusan untuk berbuat adil kepada mereka walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami (walaupun Hukum Islam yang tradisional memberikan hak kepada kaum wanita untuk oleh suami mereka). Dari sudut pandang agama yang normatif keadilan terhadap istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung kepada kebaikan suami, walaupun pasti akan dilanggar. Sebaliknya modernis-modernis muslim cenderung untuk mengutamakan keharusan untuk berbuat adil tersebut, bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, mereka mengatakan bahwa izin untuk berpoligami itu hanya untuk sementara waktu dan tujuan tertentu saja. Beliau memang membenarkan pendapat di atas bahwa izin berpoligami merupakan hukum, sedang sanksinya adalah untuk mencapai ideal moral yang harus diperjuangkan masyarakat karena poligami itu tidak dapat dihilangkan begitu saja.

  Dari karya-karya di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang melakukan poligami tidak mudah, di dalamnya terdapat ketentuan- ketentuan yang harus dijalankan. Serta banyak kontradiksi yang terjadi tentang hal tersebut, dan hal inilah yang ingin penulis bahas lebih lanjut karena perkawinan poligami masih belum ada pemecahan yang ada khususnya praktek di lapangan. Hal inilah yang membuat peneliti mencoba menggali kembali tentang poligami, meskipun telah banyak pula para peneliti yang mengangkat tema di atas. Sedikit berbeda dengan karya-karya ilmiah lainnya disini penulis mengemukakan penelitian secara lapangan, yang lebih terperinci secara utuh berdasarkan fakta yang ada.

G. Metode Penelitian

  dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu, sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan menggunakan metode-metode tertentu (Hadi, 1997 : 30 ).

  Adapun metode yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pendekatan yuridis ini dimaksudkan untuk memperoleh fakta hukum yang mengatur tentang perkawinan poligami menurut Hukum Islam, sedangkan pendekatan empiris dalam penelitian ini dimaksudkan memperoleh fakta atau kenyataan yang sebenarnya mengenai bagaimana pelaksanaan perkawinan poligami.

  Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang mencoba mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-kontekstual) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.

  b. Kehadiran Peneliti

  Dalam penulisan skripsi ini peneliti menggunakan metode dua arah ini peneliti menggunakan pendekatan psikologis untuk memperoleh data yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu dengan mencari informan guna melengkapi data. Kehadiran peneliti disini mencoba menggali lebih jauh tentang poligami dan melibatkan secara langsung subyek peneliti, dengan kata lain penelitian ini telah diketahui oleh subyek penelitian.

  c. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi di Desa Suruh Kabupaten Semarang karena merupakan salah satu terjadinya perkawinan poligami dan peneliti menemukan adanya 3 kasus praktik perkawinan tersebut.

  d. Sumber data

  a. Data primer Data ini merupakan sejumlah keterangan-keterangan dan fakta langsung yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang dipandang mengetahui obyek yang diteliti. Yaitu dengan mencari informan yang terpercaya dan mengetahui kondisi dari informan seperti keluarga, tetangga, orang-orang terdekat, maupun langsung kepada subyek penelitian.

1.1.1 Subyek Penelitian (pelaku Poligami)

  Istri No. Pelaku Pekerjaan

  No. Nama Pekerjaan Hubungan 1.

  Ibu kandung Tetangga Tetangga Tetangga Saudara kandung Tetangga

  Wiraswasta Ibu rumah tangga Wiraswasta Wiraswasta Pegawai Ibu rumah tangga

  6 Aminah Sulistiyowati Nur jawad Yahya Nur zainal Mila

  5

  4

  3.

  2.

  ’an dan Al-Hadits yang berhubungan dengan obyek masalah.

  1

  Data sekunder Data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka berupa, buku, literatur, dokumen-dokumen resmi, Al-Qur

  Emi Hanna Khadijah b.

  Kenanga Lis Lusi

  Wiraswasta Wiraswasta Wiraswata

  ’ab Andri

  3 Hadi Suryo Mus

  2

  1

  2

1.2 Informan lain

e. Prosedur Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah :

  a. Kajian pustaka dan dokumentasi, yaitu mengumpulkan karya-karya yang diperkirakan dapat mendukung penelitian ini, yaitu karya-karya yang memberikan informasi tentang perkawinan poligami secara

  b. Wawancara, yaitu pengumpulan data dimana penulis mengadakan tanya jawab secara langsung dengan sumber data terkait. Wawancara akan dilakukan terhadap pelaku maupun orang terdekat seperti, keluarga, tetangga, maupun pihak-pihak yang mengetahui praktik perkawinan poligami di Desa Suruh.

  c. Observasi, yaitu peneliti mengamati apakah benar ekspresi yang diperlihatkan subyek penelitian sesuai dengan respon verbal yang diberikannya (Mulyana, 2006:30). Lebih lanjut menurut Patton (Poerwandari,1998:23) hasil observasi menjadi data yang penting karena :

a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks hal yang diteliti atau terjadi.

  b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian, dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif.

  Dengan berada dalam situasi lapangan yang nyata, kecenderungan untuk dipengaruhi berbagai konseptualisasi tentang topik yang diamati akan berkurang.

  c. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang menyangkut penelitian, dan karena berbagai sebab tidak diungkap oleh informan secara terbuka dalam wawancara, seperti kegiatan informan sehari-hari, hubungan informan dengan pasangannya, keadaan rumah, dan

f. Teknik Analisa Data

  Dalam penulisan ini, setelah data yang diperoleh, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode yaitu : a. Metode induksi, yaitu cara berfikir dari pernyataan yang bersifat khusus untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.

  b. Metode deduksi, yaitu cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

  g. Pengecekan Keabsahan Data

  Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknis untuk memeriksa keabsahan suatu data. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber, menurut Patton (2002:180) berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong, 2002:178).

  Untuk menggunakan teknik triangulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan cara, membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 2002 : 178).

h. Tahap-Tahap Penelitian

  Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap, pertama pra lapangan, peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang adanya praktik perkawinan poligami. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari informan atau pelaku dan melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku perkawinan poligami, keluarganya, tokoh agama atau masyarakat dan tetangga pelaku perkawinan poligami. Tahap terakhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data atau temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

  Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang lebih lanjut

dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan

penelitian ini sebagai berikut:

  Bab I Pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian yang

berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian,

Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan

Data, Tahap-tahap Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

  Bab II Poligami; bab ini berisi Poligami Menurut Hukum Islam, Sejarah Poligami, Syarat Poligami, Hukum Poligami Dalam Islam, Akibat Hukum Dari Poligami, Hikmah Poligami, Poligami Menurut Perundang-Undangan di Indonesia. Bab III Praktik Perkawinan Poligami Di Desa Suruh Kab. Semarang; bab ini

berisi tentang Gambaran Umum Desa Suruh, Jaminan Terhadap Identitas Diri dan

Status Kewarganegaraan, Jaminan Terhadap Pendidikan dan Pengajaran Serta

Jaminan Terhadap Pelayanan Kesehatan Dan Jaminan Sosial.

Bab IV Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-Undangan Terhadap Praktik Perkawinan Poligami Di Desa Kab. Semarang. Bab ini berisi tentang Analisis Terhadap Faktor Suami melakukan Poligami dan Analisis Terhadap pendapat istri Tentang Poligami yang dilakukan oleh Suaminya . Bab V Penutup; Berisi kesimpulan dan saran.

BAB II POLIGAMI Poligami Menurut Hukum Islam A.

  bahasa Yunani gabungan dari dua kata poli dan polus yang berarti banyak, serta gamien dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikan poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara terminologi atau istilah poligami adalah salah satu perkawinan yang pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan. Dalam Hukum Islam poligami berarti suatu perkawinan yang dilakukan oleh salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligam yaitu perkawinan yang dilakukan karena adanya sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan seseorang melakukan hal tersebut. Selain poligami dikenal juga poliandri, sebaliknya justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, dibandingkan dengan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. (Mulia, 2000:2)

  Islam memperbolehkan seseorang untuk berpoligami, tetapi hanya terbatas pada jumlah bilangan istri yaitu hanya dengan 4 orang istri dan tidak dianjurkan atau tidak diperbolehkan untuk menambah lebih dari jumlah bilangan tersebut. Syarat utama bagi pelaku poligami adalah mampu bersikap adil dalam memenuhi semua kebutuhan istri-istri dan anak- anaknya. Maka apabila tidak mampu dalam pemenuhan kebutuhan hidup maupun kesejahteraan keluarga tidak diperbolehkan melakukan poligami. berdampak buruk terhadap kelangsungan rumah tangganya.

  Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan bahwa jika seorang suami ingin melakukan poligami maka harus dengan ijin dari istri, baik secara lisan maupun tertulis.

1. Sejarah poligami

  Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islam yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina, dan Jepang.

  (Ali:2001)

  Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami, karena tidak ada satu ayatpun dalam Injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan seperti orang Yunani dan Romawi sudah lebih dulu melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian, peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran- lembaran dari Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami (Hamdani, 39 : 2001).

2. Syarat Poligami

  Dalam berpoligami tercatat beberapa alasan-alasan yang dianggap kondusif, seperti yang tercantum pada UU No. 1 1974 pasal 40 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 57 yaitu :

  1) Istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya. 2) Istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh.

  3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

  Selain alasan-alasan di atas, dijelaskan pula bahwa pelaku poligami harus mendapat persetujuan dari istri terlebih dahulu baik secara lisan maupun tertulis, dan persetujuan tersebut harus disebutkan di depan Sidang Pengadilan. Pada saat proses pengijinan berpoligami di sini (suami) harus bisa menunjukkan bukti-bukti kepada Pengadilan Agama bahwa suami tersebut sanggup menghidupi keluarga dan anak- anaknya, baik dari istri pertama maupun kedua serta berlaku adil sesuai lain dengan melampirkan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja atau dengan menunjukkan surat keterangan pajak penghasilan atau dengan surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.

  Permohonan ijin poligami dapat dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama menurut pertimbangan majlis hakim yaitu dengan melihat persetujuan dari istri pertama tentang kesediaannya di poligami atau tidak dan ada beberapa pengajuan persyaratan yang terdapat di dalam UU No. 1 1974. Apabila ada salah satu persyaratan yang diajukan oleh pemohon itu kurang, maka Pengadilan Agama berhak memutuskan menolak berpoligami.

3. Hukum Poligami Dalam Islam

  Perkawinan merupakan bagian dari sunnah Rasul, dan termasuk salah satu bentuk ibadah dalam Islam. Islam menganjurkan bagi umatnya untuk melaksanakan perkawinan yang pada asasnya menganut asas monogami. Dalam situasi dan kondisi tertentu laki-laki muslim di perbolehkan kawin paling banyak dengan empat orang perempuan dalam satu waktu apabila ia sanggup memelihara dan berlaku adil terhadap istri-istri mereka dalam soal nafkah, tempat tinggal, dan pembagian waktu. Apabila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka dilarang kawin dengan perempuan lebih dari satu, sama seperti dilarang kawin dengan perempuan lebih dari empat.

  IJĩ ĜIJΊʼnīăΛ ΞăΕ▪ĬăΏ È●Ĝăŧ ĽΕΉ ė ăΒÈΏ ąΎʼn΅ IJΉ ăĝ ĜIJǻ ĜăΏ ėΜĄĸÈ΅ ąΔĜIJ₤ ΞăΏĜăĨăΣ▪Ή ėΠÈ₤ėΜʼnǼÈŧ ▪⅞ĄħĜ┤Ή IJāąΎĄĨ▪℮ÈŅ▪ΑÈċăΛ

ėΜʼnΉ ΜĄẃăħ Ĝ┤Ή IJā ΞăΔąŊIJā ă ÈΉ IJŌ ąΎʼn΅ ĄΔĜăΐąΡIJā ąĦIJ΅ IJΊăΏ ĜăΏ ąΛIJā ♥ģăŋÈķėăΜIJ₤ėΜʼnΉ ÈŋąẃăħĜ┤Ή IJāąΎĄĨ▪℮ÈŅ▪ΑÈĒIJ₤ăẀĜăġĄŎăΛ

  Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua,tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An Nisa: 3)

  Maksud adil disini adalah sekedar yang dapat dilakukan seseorang untuk berlaku adil, misalnya dalam soal membagi waktu, nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, seperti melebihkan cintanya kepada salah seorang istri mereka, maka tidak termasuk dosa. Rasulullah s.a.w sendiri pernah bersabda:

  . Ą ÈΊąΏIJā IJΫăΛ Ą ÈΊąΐăħ ĜăΐąΣÈ₤ ąΠÈΕěΐʼnΊăħ IJάIJ₤ Ą ÈΊąΏIJā ĜăΐąΣÈ₤ ąΠÈΐąŧ IJ⅝ ėIJōăΙ ĚΎĄΚ┤ΊΉ IJė Artinya :

  Ya Allah, inilah bagian yang yang aku punya, tapi janganlah Engkau cela atas sesuatu yang Engkau miliki tapi aku tidak memilikinya.

  (H.R. Abu Daud, Turmudzi, dan Nasa’i)

4. Akibat Hukum Dari Poligami

  Dalam Islam memang diperbolehkan melakukan poligami, namun harus ada alasan-alasan yang tepat seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari beberapa pernyataan diatas, perkawinan poligami merupakan suatu sunnah yang boleh dilakukan apabila seseorang yang melakukan poligami mampu baik secara materi maupun rohani.

  Dari sini tuntutan adil memang sangat diutamakan, karena Islam menganjurkan sikap adil terhadap penghidupan keluarga. Hal ini memang sangat berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga yang dibangun, begitu juga dalam perkembangan pertumbuhan anak.

  Jika suami sendiri tidak mampu berlaku adil terhadap istri- istrinya, maka tidak menutup kemungkinan juga bagi anak-anaknya tidak diperlakukan adil oleh orang tuanya. Hal ini juga menyangkut tentang keadaan sosial disekitarnya, seperti pandangan dari tetangga yang melihat perkawinan poligami tersebut.

  Mungkin bagi sebagian orang poligami adalah hal yang dianggap aneh, karena bukan hal yang umum dikalangan masyarakat.

  Pada umumnya perkawinan hanya memiliki satu orang istri saja, tetapi lain hal dengan penelitian ini, dalam penelitian ini dapat diambil lebih mengacu pada syari

  ’at Islam. Ditinjau dari alasan-alasan mereka sebenarnya lebih kepada kebaikan ummat saja, yang dimaksud disini adalah perlindungan terhadap kaum perempuan yang belum mampu berjalan sebagaimana mestinya.

  Menurut cara pandang bahwa wanita jumlahnya cenderung lebih banyak ketimbang laki-laki, sehingga dikhawatirkan akan banyak terjadi tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan perempuan, dari itu poligami dapat dipandang akan menyelamatkan jiwa, harkat dan martabat mereka.

  Seorang imam yang baik dapat menuntun mereka menuju jalan yang baik serta menjaga hati mereka dari fitnah yang keji. Karena wanita sangat rentan terhadap fitnah dan perbuatan-perbuatan amoral. Meski demikian, orang-orang disekitar menilai hal tersebut adalah hal yang tidak pada umumnya, karena bukan persoalan yang mudah jika suatu perkawinan memiliki pasangan lebih dari satu orang dan tinggal dalam satu atap. Mengingat perkawinan bukanlah persoalan yang mudah, dibutuhkan kesabaran dan keadilan yang sama terhadap seluruh anggota keluarga. Tidak ada kata lebih baik dari A atau B dan lainnya, dan ketika terjadi perselisihan harus dibicarakan bersama.

  Perkawinan poligami merupakan komunikasi tiga arah, sehingga cenderung menambah lebih banyak dan lebih banyak tanggung jawab suami daripada memiliki satu istri.

5. Hikmah Poligami Islam adalah agama yang mengatur tentang kemasyarakatan.

  Islam mempunyai konsep kemanusiaan yang luhur, harus dibebankan kepada manusia untuk menegakkannya dan harus disebarluaskan kepada seluruh umat manusia. Risalah Islamiyah tidak akan tegak melainkan apabila ada kekuatan yang mendukung, adanya pemerintahan yang mengelola segala segi, pertahanan keamanan, pendidikan, industri, perdagangan, dan sektor-sektor lain yang menunjang tegaknya suatu pemerintahan. Semuanya itu tidak akan sempurna tanpa adanya orang-orang yang hidup pada tiap generasi yang banyak jumlahnya. Jalan untuk mendapatkan massa yang banyak ini ialah dengan kawin dan memperbanyak keturunan.

  Negara-negara yang maju banyak membutuhkan sumber daya manusia untuk tenaga kerja maupun untuk keperluan pertahanan keamanan. Di negara-negara yang sedang dilanda peperangan tidak jarang rakyatnya gugur di medan perang dan dan banyak janda-janda yang harus dilindungi. Tidak ada jalan yang terbaik untuk melindungi mereka selain dengan mengawini mereka dan tidak ada jalan untuk menggantikan orang yang gugur di peperangan itu selain dengan memperbanyak keturunan, dan poligami adalah jalan untuk memperbanyak keturunan.

  Demikian pula di beberapa negara, penduduk perempuannya lebih banyak dari laki-lakinya, seperti yang lazim terjadi di negara yang terjadi pada banyak negara meskipun dalam suasana damai, karena kesibukan kerja menyebabkan kaum lelaki cepat tua dan berarti membuat mereka cepat mati, oleh karenanya jumlah kaum perempuan akan lebih banyak dari kaum laki-laki. Perbedaan jumlah ini mengharuskan adanya poligami untuk menjaga dan melindungi perempuan. Apabila mereka dibiarkan hidup sendiri mereka lebih mudah terombang-ambing dan gampang terjerumus ke dalam perbuatan nista yang akan merusakkan kehidupan masyarakat, akhlak mereka akan rusak dan mereka akan merana sendirian.

  Kemudian, bahwa kesanggupan seorang laki-laki untuk berketurunan lebih kuat daripada perempuan. Laki-laki sanggup melaksanakan tugas biologisnya sejak ia baligh sampai usia akhirnya. Sedang kaum perempuan tidak mampu melaksanakannya di waktu sedang haid, nifas, hamil dan waktu menyusui. Kesanggupan kaum perempuan untuk berketurunan terbatas sampai usia antara 40 hingga 50 tahun, sedangkan kaum lelaki sanggup sampai usia 60 tahun lebih.

  Apabila perempuan dalam keadaan seperti tersebut di atas tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai seorang istri lantas apa yang harus dilakukan oleh suaminya? Ia harus menyalurkannya kepada istrinya yang halal untuk menjaga kehormatannya ataukah ia harus mencari penyaluran seperti yang dilakukan oleh binatang? Tanpa

  ﺎًﻠﯿِﺒَﺳ َءﺎَﺳَو ًﺔَﺸِﺣﺎَﻓ َنﺎَﻛ ُﮫﱠﻧِإ ﺎَﻧﱢﺰﻟا اﻮُﺑَﺮْﻘَﺗ ﺎَﻟَو Janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sungguh zina itu keji dan jalan yang buruk. (Q.S 17, Al-Isra

  ’ : 33) Kadang-kadang ada seorang suami mempunyai istri berpenyakit atau mandul yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, padahal si istri ingin tetap bersama suaminya, sedang suami menginginkan adanya anak serta punya istri yang dapat mengatur rumah tangganya. Dalam keadaan seperti ini apakah suami harus tetap rela dengan menanggung beban yang menyedihkan? Tetap bersama istrinya yang berpenyakit atau mandul, yang tidak dapat mengatur rumah tangganya, dan beban itu harus dipikul suami sendirian? Ataukah si istri harus diceraikan padahal ia masih mencintai suaminya dan suami juga masih mencintainya, ia tidak mau menyakiti istri dengan menceraikan istrinya? Ataukah kasih sayang suami istri itu tetap diteruskan tetapi suami kawin dengan perempuan lain tanpa harus berpisah dengan istri lama dan maslahat keduanya masih tetap terjaga? Inilah petunjuk terbaik yang lebih layak untuk diterima.

  Kadang-kadang juga ada seorang laki-laki yang karena kejiwaannya atau karena fisiknya sangat kuat nafsu seksnya, ia belum akan puas kalau hanya dilayani oleh seorang istri, maka sebagai moralnya, ia diizinkan untuk memuaskan nafsu (gharizahnya) dengan jalan yang halal, yaitu berpoligami.

B. Poligami Menurut Perundang-undangan di Indonesia

1. Undang- undang perkawinan No. 1 Tahun 1974

  Sebagai komponen terkecil dalam tata kehidupan bermasyarakat, keharmonisan keluarga berperan penting dalam membentuk kepribadian setiap anggota keluarga. Banyak masalah sosial yang muncul karena ketidak harmonisan dalam keluarga, sehingga dipandang perlu adanya peraturan perundangan mengenai Perkawinan.

  Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak-hak individu untuk berkeluarga, sekaligus menjamin kepentingan dan hak- hak setiap anggota keluarga. Hal utama yang menjadi pijakan dari Undang-undang ini adalah asas monogami, tetapi didalamnya pun mencakup tentang perkawinan poligami.

  Dalam pasal 40 ayat 1 tentang Poligami dijelaskan bahwa seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari seorang harus mengacu kepada sebab-sebab yang tercantum pada perundang- undangan. Di sini pihak Pengadilan memiliki peran penting dalam memutuskan alasan-alasan yang memungkinkan seorang suami kawin

  a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

  b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan Selain itu ada syarat yang diperuntukkan bagi istri diantaranya, ialah:

  1. Dzahir batin tercukupi 2. Semua kebutuhan sandang, pangan, papan tercukupi.

  3. Kebutuhan serta kesejahteraan bagi anak-anak tercukupi.

  4. Adil terhadap anak-anaknya.

  Dijelaskan pula, jika seorang suami ingin menikahi perempuan lebih dari seorang harus mendapat ijin terlebih dahulu dari istri pertama secara lisan maupun tertulis yang disahkan dan diucapkan di depan Sidang pengadilan. Pemohon harus memiliki jaminan kehidupan yang layak terhadap istri dan anak-anaknya, baik secara materiil maupun spiritual.

  Hal ini bertujuan untuk menghindari diskriminasi terhadap kesejahteraan keluarga, selain itu suami harus berlaku adil sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  Dalam KHI dijelaskan tentang bagaimana hukum perkawinan dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memiliki kekuatan hukum . Akan tetapi dalam pasal 58 (3) dijelaskan bahwa persetujuan istri tidak diperlukan jika memang istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

  Di sini jelas bahwa jika seorang istri tidak mau memberikan persetujuan kepada suami untuk berpoligami, maka pihak Pengadilan tidak dapat memaksakan untuk memberikan ijin terhadap suami. Hal ini dilihat karena adanya pertimbangan majlis Hakim. Akan tetapi Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

BAB III PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI DI DESA SURUH KAB. SEMARANG Profil Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang A. Letak Geografis Desa Suruh 1. Desa Suruh adalah sebuah Desa kecil yang terletak di Kec. Desa Suruh terletak 15 km dari Kota Salatiga yang memiliki luas 505

  935 ha dan memiliki batas-batas wilayah desa seperti sebelah utara Desa krandon lor , Desa Purworejo, Suruh, dan Medayu.

  Kondisi cuaca yang sejuk dan curah hujan yang cukup tinggi di daerah ini sangat potensial untuk para penduduknya yang umumnya sebagai petani, hal ini disebabkan karena terletak di 581 m diatas permukaan laut dan suhu rata-rata mencapai 36

  ’ C.

  2. Administrasi Kependudukan Desa Suruh Desa Suruh merupakan pusat pemerintahan, karena diwilayah ini hanya memiliki satu kecamatan saja. Jumlah penduduknya 1250 jiwa dari seluruh desa yang ada di Kec. Suruh.

  3. Sosial dan Keagamaan Untuk mengetahui dampak perkawinan poligami di Desa

  Suruh, maka perlu kiranya memahami lingkungan dan keadaan disekelilingnya. Praktik perkawinan poligami sangat erat hubungannya dengan sosial keagamaan, khususnya agama Islam.

PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI B.

1. Faktor Pendorong Suami Melakukan Poligami

  Dari 1250 penduduk Suruh, ada tiga suami yang melakukan poligami. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya oleh Ussy dan Khadijah warga Rt 05 Rw 2. Andri menikah dengan istri yang pertama pada tahun 1993, kemudian menikah lagi pada tahun 1997.

  Awalnya suami hanya bercanda saja dengan istri saat bangun tidur, ia berkata “ nopo tow bi kok nguyu-ngguyu dewe ki”? suami menjawab

  “ ora, kok lucu wae mi..,aku kok yo ngimpi nikah meneh? ” dan istri menjawab dengan candaan “yo ra popo tow bi..,nek emang wes siap?” l suami berujar

  “ aku gelem wae ning umi wae sing golekke calonne aku

  ga pengen golek dewe, ngko wedi nak ono opo-opo kan iki gawe kebaikan awake dewe mi...” sang istri pun menanggapi “ yo ga popo bi, nek pancen wes siap,iyo tapi ga usah kesusu laah...” Setelah beberapa

  hari dari kejadian itu tanpa sengaja Ussy melihat pesan singkat di

  handphone suaminya yang menanyakan kepada teman-teman dekatnya

  apakah ada calon yang pas untuk dijadikan istri? Akhirnya banyak pesan yang masuk yang memberikan respon, tapi dia hanya mencari calon yang usianya jauh lebih muda, kisaran 19-

  23 tahun dengan alasan masih dalam masa produktif untuk memperoleh keturunan. Akhirnya ada 2 calon yang membuat Ussy tertarik yaitu dari Lampung dan Boyolali, tapi setelah dipikir lagi kalau harus ke Lampung

  

saat walimah kasihan anak-anak ga ada yang ngurus... walaupun masih

ada orang tua yang mau dan bisa menjaga anak-anak, tapi kan kasian

kalo harus ditinggal jauh sama Abi dan Uminya? akhirnya Ussy

  memutuskan untuk berkenalan dengan Khadijah yang berasal dari bercakap-cakap “ umi.. kenapa ya kok saya waktu liat raut wajah umi

  

kelihatannya sante-sante aj, kaya ga ada rasa keberatan sama sekali

kalo suaminya mau nikah lagi? kata Khadijah, lalu Ussy menegaskan

“ ya kalo anti udah siap ana ga masalah kok, yang penting anti harus

lebih memantapkan hati anti.. “ dan Khadijah pun menjawab

  “ insyaallah ana sudah siap umi.., ana sudah ikhtiar dan istikharah,

  mungkin ini memang sudah jalannya?”

  “ ya sudah kalo gitu, anti harus tau kalo suami ana ini juga

  

punya banyak kekurangan dan kelebihan karena sudah sekian tahun

sudah hidup bersama dan sudah punya anak sekian banyaknya, anti bisa

menerima apa ga?”

  “Lalu gimana dengan keluarga anti? Kata Ussy “ keluarga ana

  

ga ada masalah umi, itu semua terserah saya, mereka menyerahkan

keputusan kepada saya” ujar Khadijah. Dalam hati Ussy sedikit kuatir

  karena tidak menyangka bahwa keluarganya tidak keberatan dengan keputusannya itu, akhirnya tidak lama proses perkenalan pun berlanjut ke tahap berikutnya. Dan suami juga mengingatkan “ umi..., kalo dari