BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia - ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN SENSITIVITAS Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae DAN Pseudomonas aeruginosa DARI SPUTUM PASIEN PNEUMONIA TERHADAP ANTIBIOTIK EMPIRIS YANG DIRESEPKAN - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia Pneumonia merupakan peradangan dimana terdapat konsolidasi atau

  bercak infiltrat pada alveoli yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh

  eksudat (Somantri, 2007). Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002). Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga dinegara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang. Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberculosis (Misnadiarly, 2008). Pneumonia dapat mengenai semua umur terutama pada bayi/anak, usia lebih dari 65 tahun, dan orang dengan penyakit pemberat lain seperti penyakit jantung kongestif, diabetes, dan penyakit paru kronis.

1. Etiologi

  Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komunitas yang diderita masyarakat luar negeri banyak disebabkan oleh bakteri Gram positif, Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien dengan pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumoniae. Sebuah studi pada 34 anak di Finlandia ditemukan 90% bakteri Streptococcus

  pneumoniae baik dengan kultur atau PCR (Polymerase Chain Reaction)

  (Harris et al, 2011). Pada pasien dewasa dengan pneumonia komunitas di Amerika Serikat umumnya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae hingga 75% dari semua bakteri yang ditemukan dari sputum pasien pneumonia (Wells et al, 2009). Sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif dan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah bakteri Gram negatif (PDPI, 2003). Bakteri patogen yang sering terindentifikasi pada CAP (Community Acquired Pneumonia) adalah Streptococcus pneumoniae yang dilaporkan kira-kira 2/3 dari isolat bakteri. Bakteri patogen lain yang sering dijumpai adalah Haemophilus influenza, Mycoplasma pneumonia,

  

Chlamydia pneumonia , Staphylococcus aureus, Neisseria meningitides,

Maraxella catarrhalis , Klebsiella pneumoniae dan bakteri gram negatif

  lain. Sedangkan pada pneumonia nosokomial, organisme yang paling sering bertanggung jawab adalah Pseudomonas aeruginosa ,

  

Staphylococcus aureus , enterobacter, Klebsiella pneumoniae dan

Escherichia coli . Infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa dan acinetobacter

  cenderung menyebabkan pneumonia pada sebagian pasien tidak stabil dengan terapi antibiotik sebelumnya (Chestnut, 2002).

2. Patofisiologi

  Dalam keadaan sehat, pertumbuhan mikroorganisme tidak terjadi di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan yaitu dengan cara Inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol dan kolonisasi dipermukaan mukosa (PDPI, 2003).

  Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari susunan anatomis rongga hidung, jaringan limfoid di nasofaring, bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Reflek batuk, refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional. Fagositosis, aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari IgA. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti mikroba yang non spesifik (Leman, 2007).

  Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Kebanyakan bakteri melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah akan menyebabkan terjadinya inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Sekresi orofaring mengandung

  

8-10

  konsentrasi bakteri yang tinggi 10 /ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia (PDPI, 2003).

3. Klasifikasi Pneumonia

  Gambaran klinis pneumonia bervariasi berdasarkan faktor-faktor infeksi yang berperan pada pasien. Karena itu terdapat klasifikasi pneumonia, namun yang terbaik adalah klasifikasi klinis yang mengarahkan kepada diagnosis dan terapi secara empiris dengan mempertimbangkan faktor-faktor terjadinya infeksi yaitu faktor lingkungan pasien, keadaan imunitas pasien, dan mikroorganisme. Klasifikasi berdasarkan lingkungan dan pejamu dibagi atas :

  a. Community Acquired Pneumonia (CAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang berkembang dalam pengaturan rawat jalan atau dalam waktu 48 jam masuk ke rumah sakit (Kamangar, 2013). b. Pneumonia nosokomial merupakan pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. Jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006).

  c. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang berkembang setidaknya 48 jam setelah masuk ke rumah sakit dan ditandai dengan peningkatan risiko paparan organisme (Anand, Kollef, 2009). Faktor risiko untuk paparan organisme pada HAP meliputi: 1) Terapi antibiotik dalam waktu 90 hari di rumah sakit. 2) rawat inap yang lama lebih dari 5 hari. 3) Frekuensi tinggi resistensi antibiotik di masyarakat lokal atau dalam unit khusus rumah sakit. 4) Penyakit atau terapi imunosupresif. 5) Adanya faktor risiko HCAP pemaparan terhadap bakteri.

  d. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang berkembang lebih dari 48 jam setelah intubasi endotrakeal atau dalam waktu 48 jam dari ekstubasi. Faktor risiko untuk terkena bakteri MDR yang menyebabkan VAP adalah sama dengan HAP (Anand dan Kollef, 2009). VAP dapat terjadi pada sebanyak 10-20 % dari pasien yang berada di ventilator selama lebih dari 48 jam (Pelleg, 2010).

  e. Aspirasi pneumonia berkembang setelah menghirup sekresi orofaringeal dan terpapar organisme. Organisme yang sering terlibat dalam CAP, seperti Haemophilus influenzae dan Streptococcus

  

pneumoniae , dapat menjajah nasofaring dan orofaring. Aspirasi

  mikroorganisme tersebut dapat berkontribusi dalam pengembangan CAP. Pneumonia aspirasi dapat dikembangkan dari faktor risiko aspirasi orofaringeal (Kamangar, 2013). Faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya pneumonia aspirasi antara lain: Penurunan kemampuan untuk menghapus sekresi orofaringeal, gangguan menelan

  (disfagia pada pasien stroke), dan gangguan transportasi silia (misalnya merokok).

4. Penatalaksanaan

  1. Terapi antibiotik awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme karena hasil mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas antibiotik (Jeremy, 2007).

  2. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO > 8

  2

  kPa (SaO < 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan

  2

  stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan positif jalan napas kontinu (continous positive

  airway pressure ), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada

  gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).

B. Antibiotik

  Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu penyakit yang berat dapat mengancam jiwa dan hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu yang lama maka pada penderita pneumonia diberikan terapi secara empiris (PDPI, 2003). Terapi empiris adalah terapi yang diberikan berdasarkan diagnosis klinis dengan pendekatan ilmiah dari klinisi (Jawetz et al, 1997). Terapi antibiotik empiris pasien CAP yang dirawat inap menurut IDSA (Infectious Diseases Society of America) adalah dengan menggunakan sefalosporin G3+makrolid, beta laktam penghambat betalaktamase+makrolid atau flourokuinolon saja. Sedangkan terapi antibiotik empiris untuk pasien rawat jalan adalah dengan menggunakan antibiotik golongan makrolid, florokuinolon atau doksisiklin. Antibiotik yang sering diresepkan pada pasien pneumonia komunitas di di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan dengan melihat 20 rekam medik pasien secara acak pada tahun 2013 adalah azitromisin, levofloksasin, dan cefixime.

  1. Azitromisin

  Azitromisin merupakan senyawa dengan cincin macrolide lactone 15-atom yang diturunkan dari eritromisin dengan penambahan suatu nitrogen yang dimetilasi ke dalam cincin lactone eritromisin. Azitromisin aktif terhadap kompleks M. avium dan T. gondii. Azitromisin sedikit kurang aktif dibandingkan eritromisin dan claritromisin terhadap Staphylococcus dan

Streptococcus , namun sedikit lebih aktif terhadap H. influenza.

Azitromisin sangat aktif terhadap chlamydia (Katzung, 2004). Azitromisin lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin. Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan (Permenkes, 2011).

  2. Levofloksasin

  Levofloksasin merupakan antibiotik sintetik golongan fluorokuinolon yang merupakan S

  • –(-) isomer dari ofloksasin dan memiliki aktivitas antibakteri dua kali lebih besar dari pada ofloksasin. Levofloksasin memiliki antibakteri dengan spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif termasuk bakteri anaerob. Mekanisme kerja dari levofloksasin dengan menghambat enzim DNA-gyrase, sehingga mengakibatkan kerusakan rantai DNA. DNA-gyrase (topoisomerase II) merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh bakteri untuk memelihara struktur superheliks DNA, juga diperlukan untuk replikasi, transkripsi dan perbaikan DNA (Anonim, 2005).

  3. Cefixime

  Cefixime merupakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang stabil terhadap enzim

  β-Lactamase yang diproduksi oleh organisme seperti strain

Haemophillus influenzae , M. Catarrhalis, Neisseria gonorrhoeae dan

  mayoritas Enterobakteriaceae. Dibandingkan senyawa generasi kedua cefixime kurang begitu aktif terhadap kokus gram positif (Goodman & Gilman, 2001). Aktivitas cefixime menurun terhadap Staphylococcus

  aureus , Enterococci, Listeria monocytogenes, dan Pseudomonas spp.

  Insiden bakteri yang resisten cefixime dilaporkan sangat rendah. Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel. Cefixime memiliki afinitas tinggi terhadap “penicillin-binding-protein” (PBP) 1 (1a, 1b, dan 1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis organismenya. Cefixime stabil terhadap

  β-laktamase yang dihasilkan oleh

  beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil

  β-laktamase (Katzung, 2004).

C. Resistensi

  Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik (Drlica & Perlin, 2011). Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum

  Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar tere

  ndah antibiotic (μg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten (Permenkes, 2011). Beberapa galur Streptococcus pneumoniae sudah resisten terhadap trimetoprim/sulfametoksasol. Prevalensi resistensi Streptococcus pneumoniae terhadap penisilin di Asia mendekati 40% (Jacobs, 2005). Menurut penelitian lainnya pada tahun 1998-2001 prevalensi ESBL (ExtendedBeta Lactamase )

  

Klebsiella pneumoniaee di Cina mencapai 65,2%, Hong Kong 7,9%, Filipina

  31,8%, Singapura 41%, Taiwan 5,4%, dan Jepang 15,9%. Sedangkan pada penelitian di Indonesia tahun 2008 prevalensi ESBL Klebsiella pneumoniae berada pada kisaran 10,8%-12,3%. Pseudomonas aeruginosa yang merupakan salah satu penyebab infeksi pneumonia nosokomial sudah terdeteksi resisten terhadap trimetoprim/sulfametoksasol, tetrasiklin, dan sefalosporin (Jacobs, 2005). Dari hasil penelitian pada Pseudomonasa eruginosa tingkat resistensinya terhadap kotrimoksazol mencapai 83,3% dan kepekaannya menurun terhadap antibiotik golongan kuinolon (Shirly, 2010). Terdapat berbagai mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten pada obat (Jawetz et al, 2007).

  1. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif.

  Contoh: Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan

  

β-laktamasae yang menghancurkan obat. β-laktamase lain dihasilkan oleh

  bakteri batang gram negatif. Bakteri gram negatif resisten terhadap aminoglikosida (disebabkan oleh plasmid) menghasilkan enzim asetilasi, fosforilasi, atau adenilasi yang menghancurkan obat.

  2. Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Contoh: Tetrasiklin menumpuk pada bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri resisten. Streptococcus mempunyai sawar permeabilitas alami terhadap aminoglikosida. Sebagian keadaan tersebut dapat diatasi dengan obat yang aktif dinding sel yang simultan misalnya, penisilin. Resistensi terhadap amikasin dan beberapa aminoglikosida lain dapat bergantung pada kurangnya permeabilitas terhadap obat-obatan, tampaknya disebabkan oleh perubahan membran luar yang mengganggu transport aktif ke dalam sel.

  3. Mikroorganisme menyebabkan perubahan target struktural untuk obat.

  Contoh: Organisme resisten eritromisin mempunyai reseptor yang berubah pada subunit 50S ribosom, disebabkan oleh metilasi RNA 23S ribosom. Resistensi penisilin pada Streptococcus pneumoniae dan enterokokus disebabkan oleh perubahan PBP ( Penicillin-binding proteins).

  4. Mikroorganisme menyebabkan perubahan jalur metabolik yang melintasi reaksi yang dihambat oleh obat. Contoh: beberapa bakteri yang resisten sulfonamide tidak memerlukan PABA (Para 4-Amino Bensoic Acid) ekstraselluler tetapi, seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk sebelumnya.

  5. Mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi oleh obat.

  Contoh: pada bakteri yang resisten trimetroprim, asam dihidrofolat reduktase dihambat kurang efisien daripada pada bakteri yang rentan trimetropin.

D. Bakteri

  Sebagian pneumonia disebabkan oleh bakteri yang timbul secara primer atau sekunder setelah infeksi virus. Penyebab tersering pneumonia bakterial adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus

  

aureus dan Streptokokus hemolitikus grup A juga sering menyebabkan

  pneumonia demikian juga Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan pada pneumonia pada balita, bakteri penyebab yang sering adalah Streptococcus

  

pneumoniae , Hemophilus influenza dan Staphylococcus aureus (Misnadiarly,

  2008). Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan oleh bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Namun akhir-akhir ini didapatkan laporan dari beberapa kota di Indonesia yang menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif. Berdasarkan laporan dari beberapa pusat paru di Indonesia ditemukan bakteri Klebsiella

  

pneumoniae sebagai bakteri yang paling banyak terdapat pada sputum pasien

  pneumonia yaitu sebesar 40,18%, kemudian diikuti oleh bakteri Streptococcus pada posisi kedua sebesar 14,04% dan Pseudomnas aeruginosa

  pneumoniae dengan presentase 8,56% dari seluruh bakteri yang ditemukan (PDPI, 2003).

  1. Streptococcus pneumoniae Organisme ini adalah bakteri paling sering yang menyebabkan

  Pneumonia. Pneumokokus adalah diplokokus gram positif berbentuk bulat telur. Berpasangan membentuk rantai pendek atau tunggal, memiliki kapsul polisakarida yang digunakan untuk penentuan tipe dengan antiserum spesifik. Pneumokokus dapat dengan mudah dilisiskan oleh zat aktif permukaan seperti garam empedu. Zat aktif permukaan kemungkinan memindahkan atau menginaktivasi inhibitor autolysin dinding sel. Koloni pada agar darah kecil, mukoid, dan ditandai dengan adanya zona kehijauan disekitar koloni yang menunju kan α hemolisis yaitu menghemolisis darah secara tidak sempurna (Jawetz et al, 2013 ).

  2. Klebsiella pneumoniae

  Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang,

  berpasangan atau membentuk rantai pendek dan non motil. Terdapat dalam saluran nafas dan feses pada sekitar 5% individual normal. Organisme ini menyebabkan sebagian kecil (sekitar 1%) pneumonia bakteri. Klebsiella

  pneumoniae dapat menimbulkan konsolidasi luas disertai nekrosis

  hemoragik pada paru. Organisme ini kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran kemih dan bakteremia yang disertai dengan infeksi fokal pada pasien yang sangat lemah (Jawetz et al, 2013 ).

  3. Pseudomonas aeruginosa

  Pseudomonas aeruginosa merupakan gram negatif berbentuk batang

  dan motil, berukuran sekitar 0,6 x 2 µm dan tampak dalam bentuk tunggal, berpasangan dan kadang-kadang rantai pendek. Bakteri ini tersebar luas di alam dan biasanya terdapat di lingkungan rumah sakit yang lembab. Bakteri ini dapat membentuk koloni pada manusia normal, dan bertindak sebagai saprofit pada manusia yang sehat, tetapi menyebabkan penyakit pada manusia dengan pertahanan tubuh yang tidak adekuat. Bakteri ini menempel dan membentuk koloni pada membran mukosa atau kulit, menginvasi secara lokal, dan menyebabkan penyakit sistemik. dan spesies aeruginosa lainnya resisten terhadap

  Pseudomonas aeruginosa

  banyak obat antimikroba sehingga bakteri ini menjadi dominan dan penting jika bakteri flora normal yang rentan ditekan (Jawetz et al, 2013 ).

E. Isolasi dan Identifikasi Bakteri

  Isolasi mikroba adalah memisahkan satu mikroba dengan mikroba lain yang berasal dari campuran berbagai mikroba. Cara mengisolasi mikroba umumnya dilakukan dengan cara menumbuhkan mikroba dalam medium padat. Dalam mengisolasi mikroba ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni sifat spesies mikroba yang akan diisolasi, tempat hidup atau asal mikroba, medium untuk pertumbuhan yang sesuai, cara menginokulasi mikroba tersebut, lama inkubasi mikroba, cara menguji bahwa mikroba yang diisolasi telah berupa biakan murni, dan cara memelihara agar mikroba yang telah diisolasi tetap merupakan biakan murni (Waluyo 2008). Biakan murni diperlukan dalam berbagai metode mikrobiologis, antara lain digunakan dalam mengidentifikasi mikroba.

  Identifikasi dan determinasi suatu biakan murni bakteri yang diperoleh dari hasil isolasi dapat dilakukan dengan cara pengamatan sifat morfologi koloni serta pengujian sifat-sifat fisiologi dan biokimianya. Bakteri dapat diidentifikasi dengan mengetahui reaksi biokimia dari bakteri tersebut. Dengan menanamkan bakteri pada medium, maka akan diketahui sifat-sifat suatu koloni bakteri. Sifat metabolisme bakteri dalam uji biokimia biasanya dilihat dari interaksi metabolit-metabolit yang dihasilkan dengan reagen- reagen kimia. Selain itu dilihat kemampuannya menggunakan senyawa tertentu sebagai sumber karbon dan sumber energi (Waluyo, 2004).

  Ada 3 prosedur pewarnaan, yaitu pewarnaan sederhana (simple strain), pewarnaan diferensial (diferential stain), dan pewarnaan khusus (special

  strain ) (Pratiwi, 2008).

  1. Pewarnaan Sederhana Hanya digunakan satu macam pewarna dan bertujuan mewarnai seluruh sel mikroorganisme sehingga bentuk seluler dan struktur dasarnya terlihat.

  Biasanya suatu bahan kimia ditambahkan kedalam larutan pewarna untuk mengintensifkan warna dengan cara meningkatkan afinitas pewarna pada spesimen biologi.

  2. Pewarnaan Diferensial Menggunakan lebih dari satu pewarna dan memiliki reaksi yang berbeda untuk setiap bakteri. Pewarnaan diferensial yang sering digunakan adalah pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram ini mampu membedakan dua kelompok besar bakteri yaitu Gram positif dan Gram negatif.

  3. Pewarnaan Khusus Digunakan untuk mewarnai dan mengisolasi bagian spesifik dari mikroorganisme, misalnya endospora, kapsul dan flagella. Endospora bakteri tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan sederhana seperti pada pewarnaan gram. Hal ini disebabkan karena endospora memiliki selubung yang kompak sehingga zat warna sulit mempenetrasi dinding endospora.

F. Uji Sensitivitas Bakteri

  Pada umumnya metode yang dipergunakan dalam uji sensitivitas bakteri adalah metode Difusi Agar yaitu dengan cara mengamati daya hambat pertumbuhan mikroorganisme oleh antibiotik yang diketahui dari daerah di sekitar kertas cakram (paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme ditandai dengan adanya zona bening di sekitar paper disk. Zona hambatan pertumbuhan inilah yang menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap bahan anti bakteri (Jawezt et al, 1995). Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Terdapat bermacam-macam metode uji antimikroba seperti yang dijelaskan berikut :

  1. Metode Difusi Metode disc diffusion (Tes Kirby & Baurer) untuk menentukan aktifitas agen antimikroba. Cawan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi tersebut. Area jernih mengidentifikasi adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008).

  2. Metode Dilusi Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan difusi padat (solid dilution). Metode dilusi cair (broth dilution) mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau KHM (kadar hambat minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukannya adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Sedangkan metode dilusi padat (solid dilution) serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan metode padat.

  Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang di uji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).

G. Sputum

  Sputum adalah bahan yang didorong keluar dari trakea, bronkus dan paru melalui mulut. Sekresi eksudat bronkus paru-paru sering kali diteliti melalui sputum. Segi pemeriksaan sputum yang paling menyesatkan adalah hampir tidak dapat dielakannya kontaminasi dengan flora saliva dan mulut. Jadi, ditemukannya Candida atau Staphylococcus aureus atau bahkan S.

  pneumonia dalam sputum penderita pneumonitis tidak mempunyai makna

  etiologik kecuali didukung oleh gambaran klinik. Bahan dahak yang berarti sebaiknya dikeluarkan dari saluran pernafasan bagian bawah dan harus berbeda dengan saliva. Leukosit polimorfonuklir (PMN) yang berjumlah besar mengesankan eksudat purulen. Dahak dapat diinduksi dengan menghirup erosol larutan NaCl hipertonik yang dipanaskan selama beberapa menit (Jawet, 1986). Membedakan dahak yang terinfeksi atau tidak sangat penting dalam klinik. Dahak mukoid noninfeksi jernih, putih, atau seperti jeli. Pada infeksi saluran pernafasan bawah pus tercampur dengan mukus membentuk dahak purulen. Pus yang murni dapat dikeluarkan dari abses paru atau dari bronkiektasis. Dahak purulen yang berwarna kecoklatan biasanya disebabkan oleh abses paru ameba atau komplikasi abses hati amebik. Dahak seperti karat besi didapatkan pada pneumonia, dahak yang kehitaman biasanya terkontaminasi dengan batu bara (Arsyad, Zulkarnain, 2001).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Fermentasi Gliserol Hasil Samping Pabrik Biodiesel Menjadi 1,3-Propanadiol Dengan Menggunakan Bakteri Klebsiella Pneumonia

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Konsep Karakteristik - HUBUNGAN KARAKTERISTIK PERAWAT DAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DI RSUD GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia - Arif Rokhman Prasetyo BAB II

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pneumonia - Sri Suparni BAB II

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETANOL DAUN KEMANGI DAN AKTIVITASNYA TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa - repository perpustakaan

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAN FRAKSI BATANG SEREH (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf) TERHADAP BAKTERI Streptococcus mutans - repository perpustakaan

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BIJI BUAH PINANG (Areca catechu L) TERHADAP Streptococcus mutans - repository perpustakaan

0 0 10

IDENTIFIKASI DAN RESISTENSI Mycobacterium tuberculosis DARI SPUTUM PASIEN TUBERKULOSIS TERHADAP RIFAMPISIN

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - IDENTIFIKASI DAN RESISTENSI Mycobacterium tuberculosis DARI SPUTUM PASIEN TUBERKULOSIS TERHADAP RIFAMPISIN - repository perpustakaan

0 0 11

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN SENSITIVITAS Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae DAN Pseudomonas aeruginosa DARI SPUTUM PASIEN PNEUMONIA TERHADAP ANTIBIOTIK EMPIRIS YANG DIRESEPKAN

0 0 19