PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN DALAM SIS

1

PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN
DALAM SISTEM OTONOMI PENDIDIKAN
Oleh: Ahmad Abrar Rangkuti, S.Pd.I., M.A.
A. Pendahuluan
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah dan selanjutnya direvisi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008, pengelolaan teknis operasional penyelenggaraan pendidikan dasar di
Indonesia

menjadi

tanggung

jawab

dan

kewenangan


pemerintah

kabupaten/kota. Tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan
pendidikan adalah menetapkan standar-standar penyelenggaraan pendidikan
dasar, antara lain mencakup standar isi kurikulum, standar kompetensi lulusan,
standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana
prasarana, standar pembiayaan, dan standar penilaian proses dan hasil belajar
peserta didik. 1
Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat
(sentralisasi), maka dengan berlakunya undang-undang tersebut, kewenangan
itu dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten atau dikenal dengan istilah
desentralisasi. 2 Desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintah
kepada daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi pembiayaan aparatnya. Pola
desentralisasi ini disebut devolusi, yaitu penyerahan kekuasaan oleh
pemerintah pusat kepada pengambil keputusan di tingkat daerah. 3
Pendidikan Agama dan Keagamaan masih bersifat sentralistik. Oleh
sebab itu, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam praktiknya di
era otonomi memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Hal ini


1

Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Diva Press, 2012), h. 11.
2
E.Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
h. 6.
3
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (Eds.) Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122.

2

bertujuan untuk mendorong terlaksananya otonomi dalam pelaksanaan kedua
pendidikan tersebut.
Makalah ini membahas tentang pendidikan agama dan keagamaan
dalam sistem otonomi pendidikan. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
menganalisis implementasi kebijakan otonomi pendidikan pada dua bidang
pendidikan tersebut.

B. Pembahasan
Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke-20 M
telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor
pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu
otonomisasi dan demokratisasi. Otonomisasi sektor pendidikan 4 kemudian
didorong pada sekolah agar kepala sekolah dan guru memiliki tanggung jawab
besar dalam peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas hasil belajar. Baik buruknya kualitas hasil belajar siswa menjadi
tanggung jawab guru dan kepala sekolah, karena pemerintah daerah hanya
memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana prasarana, ketenagaan,
maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan sekolah. 5
Hady menyatakan bahwa visi utama otonomi penyelenggaraan
pendidikan adalah upaya pemberdayaan masyarakat madrasah (school
community) untuk menentukan sendiri jenis dan muatan kurikulum, proses
pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar, guru, kepala sekolah, fasilitas,
dan sarana belajar. Peran pemerintah di tingkat kecamatan, kabupaten, dan
provinsi adalah memberikan dukungan dana, fasilitas, dan tenaga ahli untuk
terselenggaranya pelayanan pendidikan untuk masyarakat. Sedangkan misi
utama pemberian otonomi penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat
adalah membangun perangkat infrastruktur sistem pendidikan yang memihak

4

Di antara 16 urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota adalah penyelenggaraan
pendidikan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008, Bab III, Pasal 14,
Ayat (1).
5
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2007), h. xi.

3

kepada

pemberdayaan

masyarakat

akar


rumput

melalui

kebijakan

restrukturisasi pendidikan dan rekapitulasi pendidikan. 6
Restrukturisasi

pendidikan

mencakup

sekurang-kurangnya

empat

komponen dalam sistem dan manajemen pendidikan nasional yang perlu
diregulasi, yaitu: 1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 2) UndangUndang


Pajak

Pendidikan,

3)

Undang-Undang

Badan

Penyelenggara

Pendidikan pada Tingkat Kabupaten (district board of education), dan 4)
Undang-Undang tentang Wajib Belajar Pendidikan Menengah. Deregulasi
peraturan perundangan di atas adalah untuk menjamin otonomi pendidikan
berjalan sebagaimana mestinya.
Rekapitalisasi pendidikan bertujuan untuk menjamin mutu pelayanan
(quality assurance) oleh lembaga pendidikan kepada masyarakat. Sekurangkurangnya ada lima sasaran utama program rekapitulasi pendidikan, yaitu: 1)
penuntasan wajib belajar, 2) peningkatan kesejahteraan guru, 3) pemberdayaan
ekonomi sekolah, 4) beasiswa, dan 5) penelitian dan pengembangan. 7

Kata

kunci

dari

otonomi

daerah

adalah

kewenangan

dan

pemberdayaan. 8 Dengan kebijakan otonomi, ada beberapa konsekuensi yang
harus ditanggung, antara lain:
a. Implikasi administrasi, yaitu pemberian wewenang yang lebih luas
kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai

dengan kebutuhan dan potensi.
b. Implikasi kelembagaan, yaitu kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas
perencanaan dan pelaksanaan unit-unit daerah.
c. Implikasi keuangan, yaitu kebutuhan dana yang lebih besar bagi daerah
untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan.

6

M. Samsul Hady, Manajemen Madrasah (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama
Islam, 2001), h. 9.
7
Ibid., h. 10-12.
8
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 238.

4

d. Implikasi pendekatan perencanaan, yaitu yang semula pendekatannya
adalah top-down harus dirubah dengan pendekatan buttom-up dengan
melibatkan peran serta masyarakat. 9

Hadiyanto menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah hendaknya
diimbangi dengan manajemen pendidikan yang memadai. Personil pengelola
pendidikan hendaknya memperoleh jaminan ‘the right man on the right place’
bukan malah kebebasan daerah untuk memperpendek jalur yang berarti
mempercepat dan mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dengan otonomi daerah, jalur penghargaan masyarakat (Pemda) terhadap
profesi guru diharapkan menjadi lebih dekat pada sasaran. Artinya, manakala
masyarakat (Pemda) menganggap guru merupakan unsur yang sangat penting
dalam peningkatan kualitas pendidikan. 10
Untuk melaksanakan otonomi dengan sebaik-baiknya, ada beberapa
faktor yang perlu mendapat perhatian. Faktor-faktor tersebut adalah resources,
structure, technology, support, dan leadership. Dalam bahasa yang lain Josef
Riwu Kaho, sebagaimana dikutip oleh Syukur, mengemukakan empat faktor
yaitu: 1) manusia pelaksananya harus baik, 2) keuangan harus cukup dan baik,
3) peralatannya harus cukup dan baik, dan 4) organisasi dan manajemennya
harus baik. 11
Dari

faktor-faktor


di

atas,

pemakalah

menyimpulkan

bahwa

pelaksanaan otonomi pendidikan sangat tergantung dengan faktor internal
lembaga pendidikan berupa (man, money, material, management, leadership,
technology dan support).

1. Tipologi Pendidikan Islam
9
Fatah Syukur, Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2011), h. 56.
10
Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia

(Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 23.
11
Syukur, Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah, h. 61.

5

Menurut Muhaimin, jika ditilik dari aspek program dan praktik
penyelenggaraan, pendidikan Islam dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis.
Pertama, pendidikan pondok pesantren dan madrasah diniyah, yang menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan

Nasional

disebut

sebagai

pendidikan

keagamaan.

Kedua,

pendidikan madrasah yang saat ini disebut sebagai sekolah umum berciri khas
agama

Islam dan pendidikan lanjutannya,

seperti IAIN/STAIN

atau

Universitas Islam Negeri yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Ketiga, pendidikan umum yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah
naungan yayasan dan organisasi Islam. Keempat, pendidikan agama Islam
yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan sebagai suatu mata
pelajaran atau mata kuliah saja. Kelima, pendidikan Islam dalam keluarga atau
tempat-tempat ibadah dan/atau forum-forum kajian keislaman, majelis taklim,
serta institusi lainnya yang saat ini digalakkan oleh masyarakat. Jenis
pendidikan yang kelima ini termasuk pendidikan keagamaan Islam nonformal
dan informal. 12
Berdasarkan pendapat Muhaimin tersebut dapat dipahami bahwa
pendidikan Islam diselenggarakan di lima tempat, yaitu pesantren dan
madrasah diniyah, madrasah (MI, MTs, dan MA), sekolah umum yang
bernapaskan Islam atau sekolah Islam (misalnya SDIT, SMPIT, SMAIT),
sekolah-sekolah di bawah naungan organisasi Islam/yayasan Islam (misalnya,
sekolah-sekolah Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Alwashliyah, Al-Irsyad,
dan lain-lain), sekolah umum (SD, SMP, SMA,SMK/STM) dan pendidikan
Islam di masyarakat melalui majelis taklim, pengajian, halakah, dan lain-lain.

2. Pendidikan Agama
12

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 9-10.

6

Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan
dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya
melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. 13
Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu
menjaga kedamaian dan kerukunan inter dan antarumat beragama. Pendidikan
agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam
memahami,

menghayati,

dan

mengamalkan

nilai-nilai

agama

yang

menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. 14
Dalam pendidikan agama, aspek ilmu dan amal harus menyatu, karena
keduanya harus berjalan seimbang. Sebagaimana penjelasan dalam UndangUndang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan agama merupakan
usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional.
Otonomi

penyelenggaraan

pendidikan

mengarahkan

bagi

pengembangan bentuk-bentuk manajemen penyelenggaraan pendidikan di
sekolah

dan

madrasah.

Bentuk

manajemen

yang

sekarang

sedang

dikembangkan dalam rangka pendidikan madrasah adalah Manajemen Berbasis
Sekolah

(school

based

management).

Manajemen

Berbasis

Sekolah

mengandung pengertian pemberian otonomi kepada madrasah dalam hal ini
kepala madrasah untuk mengatur

pendidikan dan penyelenggaraan di

madrasah. 15
Dalam realitanya pendidikan agama masih jauh dari harapan. Beberapa
masalah antara lain: pertama, kurangnya jumlah jam pelajaran, secara formal
13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab I, Pasal 1, Ayat (1).
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab I, Pasal 2, Ayat (1) dan (2).
15
Hadi, Manajemen Madrasah, h. 11.

7

pendidikan agama di sekolah umum hanya 2 jam pelajaran per-minggu. Kedua,
metodologi pendidikan agama yang kurang tepat, lebih menitikberatkan pada
aspek kognitif daripada aspek afektif. Ketiga, adanya dikotomi pendidikan
agama untuk akhirat saja dan pendidikan umum untuk dunia. Keempat,
heterogenitas pengetahuan dan penghayatan agama peserta didik. Kelima,
perhatian dan kepedulian pimpinan sekolah dan guru lain terhadap pendidikan
agama kurang. Keenam, kemampuan guru agama untuk menghubungkan dan
menyangkutkan relevansi pendidikan agama Islam dengan kehidupan nyata
sehari-hari kurang. Ketujuh, kurangnya penanaman nilai-nilai tatakrama dalam
pendidikan agama. 16
3. Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik

untuk

dapat

menjalankan

peranan

yang

menuntut

penguasaan

pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan
mengamalkan ajaran agamanya. 17 Pendidikan ini bertujuan untuk terbentuknya
peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif,
inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Pendidikan keagamaan Islam
berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. 18
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 mengatur tentang
pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada jenjang
pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal yang menarik dari P eraturan
Pemerintah ini adalah diakuinya majelis taklim, pengajian kitab, pendidikan

16

Syukur, Manajemen Pendidikan, h. 72. Abdul Rahman Saleh, Pendidikan
Agama dan Keagamaan (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 25-28.
17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I, Pasal 1, ayat (2).
18
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab III, Pasal 8, ayat (2).

8

Alquran dan diniyah taklimiyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan
Islam nonformal.
Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang
bersumber dari ajaran agama. Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau
informal

dapat

dihargai

sederajat

dengan

hasil

pendidikan

formal

keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah. 19
Di antara lembaga pendidikan Islam selain madrasah yang punya peran
strategis dalam konteks pendidikan nasional adalah lembaga pendidikan
pesantren. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2007, pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan keagamaan formal.
Dalam

bentuk

resistensi,

pesantren

tetap

mempertahankan

karakteristiknya sebagai lembaga tradisional dengan sistem nilai yang sangat
khas,

sambil

berusaha

mengerahkan

kemampuannya

untuk

melayani

masyarakat kalangan bawah. Sementara itu dalam bentuk integrasi pesantren
dipertemukan dan dipadukan dengan lembaga modern, mulai dalam aspek
kepemimpinan, kurikulum, bangunan, sampai dengan orientasinya.
4. Pendidikan Agama dan Keagamaan dalam Era Otonomi
Dengan pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan,
madrasah sebagai salah satu bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan masyarakat paling tidak memiliki kewenangan yang luas dalam
beberapa hal, antara lain: pertama, penjabaran kurikulum Nasional. Kedua,
penetapan kurikulum lokal. Ketiga, pelaksanaan proses belajar. Keempat,
penentuan tenaga pengajar dan kepala sekolah. Kelima, pelaksanaan evaluasi
belajar.
Secara yuridis, madrasah telah diakui sebagai sub sistem pendidikan
nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun
19

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab III, Pasal 11, Ayat (2).

9

2003, namun demikian posisi ini menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain
adalah dimulainya suatu pola pembinaan yang mengikuti satu ukuran yang
mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah. Padahal secara struktural madrasah
sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan
Kementerian Agama. Dengan demikian terjadi dualisme dalam pembinaan
pendidikan antara sekolah (madrasah) yang berada di bawah Kementerian Agama
dengan sekolah yang berada dibawah Kementerian Pendidikan Nasional.
Dualisme ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang
menguntungkan sekolah-sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama.
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 pasal
10 ayat 3 huruf (f) tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan agama
termasuk salah satu urusan pemerintahan yang tidak didesentralisasikan atau
diotonomkan ke daerah. Hal ini menimbulkan multi interpretasi terhadap
kedudukan Pendidikan Agama dalam hal ini madrasah. Di lapangan seringkali
terjadi lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Pemerintah daerah berdalih bahwa madrasah tidak menjadi bagian tugasnya
karena belum diotonomikan, sedangkan pemerintah pusat mengira jika kebutuhan
madrasah juga telah dicukupi oleh daerah sebagaimana mengurus pendidikan di
daerah pada umumnya, akhirnya nasib madrasah bertambah sengsara tidak
ditopang oleh kedua-duanya, baik pusat maupun daerah.
Posisi madrasah selama ini seringkali diperlakukan kurang adil, pada satu
sisi madrasah dituntut menghasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum
akan tetapi kurang memperoleh dukungan finansial yang memadai, lebih-lebih
lagi bagi madrasah swasta yang pada umumnya sebagai penyangga finansial
kehidupan madrasah adalah wali murid.
Pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan perubahan besar dalam
bidang pendidikan. Pendidikan umum yang berada di bawah naungan
Kementerian Pendidikan Nasional sudah jelas posisinya karena pendidikan
termasuk

kewenangan

yang

diserahkan

kepada

daerah

atau

didesentralisasikan. Sementara itu pendidikan agama (madrasah dan pesantren)

10

yang berada di bawah Kementerian Agama sampai sekarang masih banyak
diperdebatkan.
Ada keinginan bahwa lembaga-lembaga pendidikan agama ini juga
didesentralisasikan dalam artian pengelolaannya di bawah satu atap yaitu
Dinas Pendidikan di daerah. Dengan berada satu atap, diharapkan posisi
pendidikan

agama

tidak

lagi

termarginalkan

terutama

dalam

aspek

pembiayaan. Pendidikan agama akan masuk dalam Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD). Namun, di satu sisi masih banyak yang berkeinginan
agar posisi pendidikan agama tetap di bawah Kementerian Agama dengan
didekonsentrasikan 20 ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
setempat. Tentang pembiayaan diharapkan juga mendapatkan dari APBD. Hal
ini mengingat bagaimanapun lembaga pendidikan agama juga merupakan aset
daerah yang berperan besar dalam penyelenggaraan pendidikan

dan

pengembangan kualitas sumber daya manusia, namun dalam kualitas
penyelenggaraannya banyak yang sangat memprihatinkan. 21
Hadiyanto menyatakan bahwa otonomi hendaknya diartikan sebagai
kebebasan untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan potensi darah masingmasing, bukan untuk memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah
(dekonsentrasi). 22

Dengan

demikian

dapat

dipahami

bahwa

wujud

dekonsentrasi merupakan pemberian otonomi tidak penuh terhadap suatu
kewenangan.
Otonomi pendidikan merupakan kekuatan madrasah yang juga
sekaligus sebagai kelemahannya jika tidak dibarengi dengan kepemimpinan
madrasah yang visioner dan mampu mengelola perubahan. Kelemahan lainnya
adalah adanya kecenderungan resistensi terhadap nilai-nilai lama yang
mengakibatkan madrasah terlempar dari mainstream pendidikan baik pada
masa kolonial maupun pascakemerdekaan.
20

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikan di wilayah tertentu. UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008, Bab I, Pasal 1, Ayat (8).
21
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya
Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 149.
22
Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi, h. 23.

11

Pimpinan madrasah dalam hal ini kepala madrasah harus berupaya
memberdayakan masyarakat dengan cara mengelola keterlibatan unsur-unsur
masyarakat dalam proses penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Selama
ini, keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah
dapat dikatakan belum sepenuhnya terlaksana di semua jenjang pendidikan
madrasah baik negeri maupun swasta. Dalam bentuk yang sederhana
keterlibatan stakeholder dalam penyusunan dokumen satu dalam bentuk rapat
bersama dengan pihak manajemen madrasah hampir jarang ditemukan, kecuali
di beberapa madrasah yang memiliki komitmen untuk peningkatan mutu
pendidikan. Selain itu, perhatian terhadap peningkatan mutu secara optimal
dan maksimal untuk menjamin seluruh komponen memenuhi standar kualitas
baik, perlu ditingkatkan. 23 Keterlibatan unsur-unsur masyarakat tidak hanya
terbatas pada dana, tetapi juga keahlian, fasilitas, pemikiran dan sebagainya. 24
Hal ini perlu mengingat masih banyak madrasah yang memiliki tradisi ewuh
pakewuh (segan menyegani) dalam hirarki kepemimpinan.
Salah satu dimensi kompetensi yang harus dimiliki pimpinan madrasah
adalah kompetensi manajerial, yang antara lain menyangkut kemampuan
pimpinan dalam menyusun perencananaan madrasah untuk berbagai tingkatan
perencanaan baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Karena itu,
penyusunan Rencana Pengembangan Madrasah (RPM) harus berorientasi ke
depan secara jelas bagaimana menjembatani antara kondisi saat ini dan
harapan yang ingin dicapai di masa depan.
Pada umumnya madrasah cenderung statis dan mulai bergerak setelah
muncul masalah ke permukaan. Pada dasarnya perencanaan dilakukan tidak
hanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, tetapi juga untuk
perencanaan ke depan dalam hal peningkatan kinerja madrasah atau untuk
mengantisipasi perubahan dan tuntutan zaman. Di sisi lain, madrasah pada
umumnya lebih mengutamakan pengembangan fisik, yang dalam realitanya
meski pengembangan fisik tidak dapat diabaikan, namum pengembangan
23

Hadi, Manajemen Madrasah, h. 11.
Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Buku 2 (Jakarta: Direktorat
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2001), h. 7.
24

12

nonfisik jauh lebih penting, karena salah satu tujuan utama madrasah adalah
menghasilkan lulusan yang bermutu. 25
Selanjutnya, kebijakan pengembangan madrasah yang dilakukan
Kementerian Agama mengakomodasi tiga kepentingan. Pertama, kebijakan itu
memberikan ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yaitu
menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup
islami. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkokoh keberadaan
madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan,
berkepribadian, serta produktif dan sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga,
kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan masa
depan.26
Sementara itu kebijakan operasional dalam upaya menghadapi era
globalisasi, Kementerian Agama telah menyiapkan pemberdayaan madrasah
malalui sejumlah kebijakan seperti Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK),
Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Model, Madrasah Aliyah Program
Keterampilan. Sebagai institusi sosial, madrasah dituntut untuk terus
melakukan inovasi dan modifikasi sistem pendidikan dan kelembagaannya
agar tidak ketinggalan dengan akselerasi modernisasi dan perubahan.
Oleh sebab itu, di era otonomi daerah dan otonomi pendidikan, reposisi
pendidikan kelembagaan Islam yang dalam hal ini diwakili madrasah,
ditujukan pada berkembangnya identitas lembaga tersebut yang pada akhirnya
akan melahirkan pribadi peserta didiknya yang mempunyai identitas karena
pembinaan madrasah dengan ciri khas yang dimilikinya.
Pada sisi lain, pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan
memerlukan

pengembangan.

Hasbullah

menyatakan

bahwa

upaya

pengembangan pondok pesantren dalam konteks otonomi daerah, paling tidak
ada dua hal yang memerlukan perhatian secara khusus, baik yang bersifat
eksternal maupun internal. Pengembangan yang bersifat eksternal di antaranya
sebagai berikut.
25

Muhaimin, Suti’ah, Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya
dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: Kencana, 2011), h. vi.
26
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, h. 164.

13

a. Tetap menjaga agar citra pondok di mata masyarakat sesuai harapan
masyarakat, harapan orang tua yang memasukkan anaknya ke
pondok. Untuk hal ini, mutu lulusannya harus mempunyai nilai
tambah dari lulusan pendidikan lainnya yang sederajat.
b. Meskipun diakui kekhususannya, pesantren merupakan bagian dari
pendidikan nasional, dan santrinya pun merupakan bagian integral
dari masyarakat. Oleh karena itu, pesantren harus selalu peduli
terhadap aturan main dan tata aturan dalam pendidikan nasional.
c. Santri-santri hendaknya dipersiapkan untuk mampu berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk.
d. Pesantren hendaknya terbuka terhadap setiap perkembangan dan
perubahan yang terjadi, terhadap temuan ilmiah, termasuk temuan
baru dalam dunia pendidikan, artinya pesantren tidak tenggelam
pada dunianya sendiri.
e. Pesantren juga diharapkan dapat dijadikan sebagai pusat studi yang
dapat membahas berbagai perkembangan dalam masyarakat guna
kepentingan bangsa dan umat Islam khususnya. 27
Sementara itu, yang besifat internal dalam pengembangan pesantren
perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut.
a. Kurikulum pesantren hendaknya dirancang sedemikian rupa untuk
memenuhi

kebutuhan

santri,

baik

minat,

bakat

ataupun

kemampuannya. Hal ini dimungkinkan karena penelusuran bakat
dan minat mereka lebih mudah dilakukan di pesantren, sebab
umumnya santri tinggal di pondok. Kurikulum ini sekaligus dapat
menyatukan dengan baik antara aspek intelektual-emosional,
agama-spiritual, dan kinerja-psikomotor.
b. Tenaga pengajar pesantren tanpa mengurangi peran kiai, untuk
pengembangan pesantren yang adaptif kiranya perlu kriteria khusus
dalam perekrutan tenaga pengajarnya. Minimal hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah: 1) mempunyai pengetahuan keagamaan
27

Ibid., h. 167.

14

yang cukup mantap, di samping itu juga profesional terhadap ilmu
yang diajarkan, serta punya kemampuan dalam mentransfer ilmunya
kepada santri dengan baik; 2) ia adalah seorang profesional dalam
bidang ilmu yang diajarkan, mampu mentransfer ilmunya dengan
baik, dengan metode yang baik dan tepat tetapi juga memiliki
wawasan keagamaan yang mantap. Dengan demikian, ia merupakan
kombinasi ilmuwan, pendidik, dan ulama.
c. Proses pembelajaran di pesantren, karena jumlah santri yang cukup
banyak dan santri juga tidak lagi menerima informasi sepihak, perlu
dikembangkan daya nalar, kritik, dan kreativitas santri.
d. Sarana pendidikan di pesantren, faktor sarana sangat menentukan,
hampir bisa dipastikan dengan sarana belajar yang lengkap, hasil
yang dicapai akan lebih baik.
e. Aktivitas kesantrian tidak hanya meliputi mengaji, salat berjamaah,
tadarus, membaca kitab, dan sebagainya, untuk kondisi sekarang
wawasan santri perlu diperluas dengan aktivitas yang lebih banyak.
Aktivitas yang banyak tersebut akan sangat membantu santri dalam
pengembangan kualitas dan kesiapan berkompetisi setelah keluar
dari pesantren. 28
Dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan, pada dasarnya
keberadaan pesantren tidak banyak yang berubah sebab sebagai konsekuensi
dari desentralisasi pendidikan adalah diserahkannya kembali pendidikan
kepada masyarakat yang memilikinya, sementara pesantren sudah sejak lama
berada di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, yang perlu dibenahi
hanya dalam hal-hal bagaimana agar pesantren tidak ketinggalan dalam
konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai
perubahan yang terjadi.
Sementara itu, keberadaan pendidikan keagamaan Islam nonformal
masih belum terbina secara optimal. Keberadaan majelis taklim, pengajian
kitab, diniyah taklimiyah, pendidikan Alquran belum sepenuhnya berjalan
28

Ibid., h. 169.

15

sesuai dengan izin dari kantor Kementerian Agama. Padahal, majelis taklim
dan pengajian kitab yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dapat
dikatakan hampir semua sudah memenuhi syarat perundang-undangan untuk
berhak untuk mendaftarkan guna mendapat izin dari kantor Kementerian
Agama.
Untuk jalur pendidikan keagamaan nonformal seperti majelis taklim,
diniyah taklimiyah, pengajian Alquran dan pengajian kitab yang tidak
berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 orang atau lebih
merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Kota. 29
Terkait dengan pendidikan nonformal, di beberapa daerah provinsi atau
kabupaten di Indonesia menyikapi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2007 dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Perda
yang dikeluarkan memperkuat Peraturan Pemerintah ini. Salah satu fokus
kebijakan Perda tersebut adalah kewajiban bagi anak mengikuti pendidikan
Madrasah Diniyah Taklimiyah Awwaliyah (MDTA). Bahkan ada daerah yang
mengeluarkan Perda sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut.
Konsekuensi dari Peraturan Daerah ini adalah

setiap peserta didik

Muslim wajib memiliki ijazah MDTA apabila akan melanjutkan pendidikan
ke SMP/MTs. Daerah-Daerah yang telah mengeluarkan Perda ini adalah
Kabupaten Indramayu melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003,
Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten melalui Peraturan Daerah Nomor 27
Tahun 2007, Kabupaten Purwakarta mengeluarkan Peraturan Darah tahun
2008, Kabupaten Pesisir Selatan melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun
2004, dan Kota Padang melalui Peraturan Daerah Nomor 6 Tentang Wajib
Baca Tulis Alquran. 30

29

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab III, Pasal 13, Ayat (6).
30
Ramli Abdul Wahid, Makalah: Peran Madrasah Diniyah Dalam Membentuk Karakter
Anak Bangsa, disampaikan dalam seminar Ikatan Guru Diniyah Taklimiyah (IGDT) Kementerian
Agama Kabupaten Deliserdang di Cabang Pendidikan Pramuka, Lubuk Pakam, Deli Serdang, pada
tanggal 20 Januari 2011.

16

Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberadaan pendidikan
keagamaan jalur nonformal perlu disikapi pemerintah daerah dengan
mengeluarkan kebijakan yang mengatur dan mendudukkan fungsi pendidikan
keagamaan nonformal. Terlebih lagi di era otonomi pendidikan saat ini, usaha
tersebut di atas merupakan salah satu langkah konkrit pelaksanaan otonomi
pendidikan.
5. Hubungan Kementerian Agama dengan Pemerintah Daerah
Di Era Otonomi Daerah, madrasah tidak mengalami otonomi seperti
halnya sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk Kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/kota adalah
penyelenggaraan pendidikan. Padahal secara struktural madrasah sebagai
sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan
Kementerian

Agama yang notabenenya

tidak termasuk

urusan yang

diotonomkan ke daerah.
Meskipun pengelolaan madrasah tetap berada di bawah naungan Depag,
tetapi diterapkan kebijakan baru. Kalau dulu madrasah murni dikelola oleh
Depag pusat, tetapi sekarang diberlakukan kebijakan "dekonsentrasi" artinya,
kewenangan-kewenangan penyelenggaraan madrasah yang semula dipegang
sepenuhnya oleh pemerintah pusat maka sebagian dapat diturunkan ke daerah.
Ini terutama menyangkut masalah-masalah teknis di lapangan yang berkaitan
dengan sumber anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Namun demikian, tidak semua daerah menterjemahkan sama dalam
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Di beberapa daerah masih banyak
kebijakan yang belum memperhatikan eksistensi madrasah, baik dalam hal
pembinaan kelembagaan, ketenagaan, anggaran, maupun sarana dan prasarana.
Tulisan ini mencoba menganalisis sejauhmana implikasi kebijakan otonomi

17

daerah dan desentralisasi pendidikan terhadap madrasah, dan mencari
alternatif-alternatifnya.
Eksistensi madrasah selama ini dilihat dari analisis edukatif variabel
mutu pendidikan, bahwa biaya dari pemerintah bukan satu-satunya faktor
penentu untuk memajukan lembaga pendidikan madrasah. Yang paling penting
adalah variabel sumber daya manusia (SDM) dan dukungan masyarakat di
sekitarnya. Selama ini madrasah bersifat bottom up atau lahir dan
dikembangkan oleh masyarakat (umat Islam), sedangkan sekolah umum lebih
bersikap top down atau merupakan program dari pemerintah pusat. Karena
madrasah berkembang dari bawah, sehingga risikonya madrasah tidak
mendapat dukungan dana yang kuat dari pemerintah. Kalaupun ada dana,
nilainya jauh lebih kecil dari sekolah-sekolah umum.
Madrasah merupakan sekolah umum yang memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan sekolah umum lainnya. Namun dalam kerangka otonomi
daerah, kenyataannya madrasah belum memperoleh perlakuan yang sama atau
proporsional oleh pemerintah daerah dan masih cenderung diskriminatif.
Dikeluarkannya SK. Mendagri No. 903/2429/SJ tentang pedoman penyusunan
APBD Tahun Anggaran 2006 yang pada lampiran 2 menyebutkan bahwa
pengalokasian anggaran APBD yang diperuntukkan membantu institusi
vertikal

dalam

melaksanakan

tugas

dan

fungsinya

di

daerah

tidak

diperbolehkan.
Pemahaman yang kurang pas terhadap SK Mendagri ini semakin
menumbuhkan ketidakadilan oleh pemerintah daerah terhadap madrasah dan
ini menjadi permasalahan tersendiri bagi madrasah. Padahal institusi vertikal
dimaksud adalah menyangkut pembantuan pada instansi terkait yakni
Kementerian Agama. Sementara madrasah hanyalah merupakan lembaga
pendidikan pada umumnya yang secara kebetulan di bawah pembinaan
Kementerian Agama. Adanya “deskriminasi” pemerintah daerah terhadap
madrasah ini, tidak hanya menyebabkan tersumbatnya keran anggaran dari
APBD saja, tetapi juga menyangkut masalah-masalah lain seperti pengadaan
guru madrasah.

18

Belum teratasinya berbagai permasalahan madrasah sampai saat ini
disebabkan oleh banyak faktor antara lain:
1. Adanya sikap dan persepsi yang kurang pas terhadap madrasah yang
terimplementasi dalam bentuk perlakuan pemerintah baik pemerintah
pusat dan daerah yang cenderung deskriminatif terhadap madrasah;
2. Kurang aktifnya Kementerian Agama baik yang berada di pusat dan
terlebih yang berada di daerah dalam mensosialisasikan keberadaan
madrasah kepada masyarakat dan pemerintah terutama pada daerahdaerah minoritas umat Islam, bahwa madrasah juga merupakan bagian
dari proses penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Akibat kurang
tersosialisasikannya madrasah tersebut, sehingga menjadikan madrasah
kurang mendapat respon yang positip. Sementara dikeluarkannya SK
Mendagri No 903/2429/SJ tentang pedoman penyusunan APBD Tahun
Anggaran 2006, semakin menambah kekhawatiran Pemerintah daerah
untuk mengalokasikan anggaran pada madrasah karena takut menyalahi
peraturan tersebut.
3. Faktor lain adalah kurang aktifnya Kementerian Agama dalam menjalin
kerjasama lintas sektoral dengan berbagai kalangan baik masyarakat,
instansi pemerintahan maupun dengan berbagai institusi swasta,
menjadikan madrasah kurang mendapat perhatian dan perlakuan yang
proporsional dari berbagai kalangan tersebut. 31
Untuk itu perlu dilakukan hal-hal berikut sebagai jalan keluar dari
permasalaha di atas.
1. Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif terhadap UU Sisdiknas
terutama mengenai kedudukan dan posisi madrasah dalam sistem
pendidikan

nasional.

Disamping

itu

perlu

juga

memberikan

klarifikasi/tanggapan terhadap SK Mendagri No 903/2429/SJ kepada
masyarakat luas terutama pada instansi pemerintah daerah, agar dalam
31

http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/61:pendidikan-keagamaan&Itemid=123

19

memahami SK tersebut lebih rasional, sehingga tidak ada keraguan lagi
untuk mengalokasikan anggarannya dalam pemberdayaan madrasah.
2. Kementerian atau Kemeterian Agama perlu melakukan pendataan ulang
dalam pengelolaan madrasah terutama menyangkut bantuan-bantuan
yang telah diberikan pada madrasah baik menyangkut bantuan
pendanaan, ketenagaan, sarana prasarana maupun kurikulum. Hasil
pendataan tersebut perlu disampaikan kepada Pemerintah Daerah agar
diketahui
pembantuan

sejauhmana
madrasah

Kementerian
dan

apasaja

Agama

telah

melakukan

kekurangan-kekurangan

dan

permasalahan yang dihadapi madrasah, sehingga Pemda dapat
mengalokasikan anggarannya tanpa khawatir terjadi overlapping
anggaran.
3. Kementerian Agama perlu lebih intensif melakukan kerjasama yang
lebih intensif kepada beberapa instansi terkait antara lain Dinas
pendidikan, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah untuk
memperoleh dukungan pendanaan dalam pemberdayaan madrasah.
4. APBN & APBD harus mampu mengalokasikan anggaran untuk
pendidikan sebesar 20 % non gaji, dan seluruh penyelenggaraan
pendidikan baik di bawah Depdiknas maupun Depag dialokasikan secara
proporsional. Artinya seluruh penyelenggaraan pendidikan baik dari sisi
ketenagaan, pembinaan kelembagaan maupun anggaran bisa memenuhi
kebutuhan riil pendidikan. Meskipun dalam nimplementasinya mungkin
masih didapati kebijakan-kebijakan yang diskriminatif.
5. Madrasah tetap di bawah naungan Depag tidak dilepaskan secara total,
namun ada beberapa kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah dengan
konsekuensi adanya pembagian urusan mengenai wewenang yang jelas
antara Kementerian Agama dan Depdiknas dalam mengelola pendidikan
madrasah, khususnya yang menyangkut persoalan tenaga kependidikan
dan kurikulum.
6. Urusan kelembagaan menjadi tanggung jawab Depag, sedang urusan
kurikulum dan ketenagaan dilimpahkan ke pemda.

20

C. Penutup
Pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada era
otonomi berlangsung secara dinamis. Di beberapa daerah kabupaten/kota telah
mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) tentang
pelaksanaan pendidikan keagamaan nonformal yang merupakan konsekuensi
dari pelaksanaan otonomi pendidikan. Regulasi berupa Peraturan Daerah
tersebut merupakan bentuk restrukturisasi dan rekapitalisasi pendidikan di era
otonomi.
Selain itu, partisipasi dari stakeholder pendidikan sangat menentukan
kemandirian pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Keterlibatan stakeholder diharapakan mampu mengakomodasi community
based learning (Pembelajaran Berbasis Masyarakat) sebagai bagian dari
demokrasi pendidikan yang juga merupakan semangat dari otonomi
pendidikan.

21

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Diva Press, 2012.
E.Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005.
Hadiyanto. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Hady, M. Samsul. Manajemen Madrasah. Jakarta: Dirjen Kelembagaan
Agama Islam, 2001.
Hasbullah. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan
Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press,
2007.
http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi (Eds.) Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001.
Muhaimin, Suti’ah, Sugeng Listyo Prabowo. Manajemen Pendidikan:
Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah.
Jakarta: Kencana, 2011.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007.
_______. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model
Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana,
2007.
Saleh, Abdul Rahman. Pendidikan Agama dan Keagamaan (Jakarta:
Gemawindu Pancaperkasa, 2000.
Syukur Fatah. Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011.
Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Buku 2.
Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2001.

22

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2007.
Wahid, Ramli Abdul. Makalah: Peran Madrasah Diniyah Dalam
Membentuk Karakter Anak Bangsa, disampaikan dalam seminar Ikatan Guru
Diniyah Taklimiyah (IGDT) Kementerian Agama Kabupaten Deliserdang di
Cabang Pendidikan Pramuka, Lubuk Pakam, Deli Serdang, pada tanggal 20
Januari 2011.