HAK ASASI MANUSIA DAN HAK and KEWAJIBAN

HAK ASASI MANUSIA DAN HAK & KEWAJIBAN WARGA NEGARA
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar Pendidikan Kewarga Negaraan
Dosen Pengampu :

oleh
Nurul Fadilah 1505894
Rizki Rismawan
Tessa Melaria
Tenya

PROGRAM PENDIDIKAN MANAJEMEN BISNIS
FALKUTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015

A. PENDAHULUAN
Makalah ini membahas tentang materi dan pembelajaran Hak Asasi Manusia (HAM)
serta Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam mata pelajaran PKn sebagai salah satu Mata
Kuliah Dasar Umum yang perlu dikenalkan kepada semua mahasiswa.
Dalam bab ini pembaca khususnya mahasiswa diajak mengenal, memahami dan

menganalisis pengertian, karakteristik serta berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
konsep serta pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Hak dan Kewajiban Warga
Negara Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam bab ini mahasiswa
diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.

Dapat memahami materi tentang HAM.

2.

Dapat memahamai materi Hak dan Kewajiban Warga Negara.

3.

Dapat memahami dan menjelaskan pelaksanaan HAM di Indonesia.

Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib
dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak
berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut
dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia

sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam
bentuk apapun dan juga tidak ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap
kebebasan dasar manusia. Oleh karena masalah Hak Asasi Manusia telah merambah di
dalam kehidupan masyarakat dan merupakan persoalan bersama, maka masyarakat atau
siswa, seyogyanya dikenalkan pada masalah HAM, agar mereka mengetahui dan menyadari
akan hak dan kewajiban asasi dirinya dan hak asasi orang lain sehingga mereka akan
terbiasa untuk menghormati diri dan hak-hak asasi orang lain.

B. HAK ASASI MANUSIA
1.

Pengertian Hak Asasi Manusia

Pengertian HAM menurut beberapa para ahli diantaranya:
John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang
secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat
mutlak).

Koentjoro Poerbapranoto (1976), Hak Asasi adalah hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya

suci.
Jack Donnely, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia
semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di
dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut UU No 39 Tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kerhormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah “Hak” diartikan sebagai sesuatu yang
benar, kepemilikan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atau kekuasaan yang benar atas
sesuatu. Sedangkan “asasi” berarti bersifat dasar, pokok atau fundamental. Sehingga Hak
asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati
sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup,hak kemerdekaan/kebebasan dan hak
memiliki sesuatu.
Pengakuan terhadap HAM memiliki dua landasan,sebagai berikut.

Landasan yang langsung dan pertama, yakni kodrat manusia.kodrat manusia
adalah sama derajat dan martabatnya.semua manusia adalah sederajat tanpa membedakan
ras,agama,suku,bahasa,dan sebagainya.
Landasan yang kedua dan yang lebih dalam: Tuhan menciptakan
manusia.Semua manusia adalah makhluk dari pencipta yang sama yaitu tuhan yang maha
esa.Karena itu di hadapan tuhan manusia adalah sama kecuali nanti pada amalnya.

2.

Jenis-jenis HAM

a.

Hak asasi pribadi / Personal Right

Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan
kepercayaan yang diyakini masing-masing

b.

Hak asasi politik / Political Right
Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik

lainnya
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
c.

Hak azasi hukum / Legal Equality Right
Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

d.

Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli

Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

e.

Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan

penyelidikan di mata hukum.
f.

Hak asasi sosial budaya / Sosial Culture Right
Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
Hak mendapatkan pengajaran
Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

C. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM


Untuk mengukuhkan jaminan perlindungan hak asasi manusia, pada tanggal 10
Desember 1948, melalui Sidang Umum di Caillot. Paris telah dikeluarkan Deklarasi Umum
Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Usaha bangsa-bangsa di dunia dalam melindungi hak asasi manusia secara universal
memakan waktu yang sangat panjang. Usaha ini telah dimulai sejak sejumlah perjanjian
(traktat) dimasukkan ke dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945.
Namun usaha perlindungan hak asasi manusia yang dilakukan oleh suatu negara telah
dimulai jauh sebelum memasuki abad ke-20.
Sejak abad ke-13 usaha perlindungan hak asasi manusia telah dimulai. Usaha
melindungi hak-hak asasi manusia telah ditempuh bangsa Inggris sejak 1215 dengan
ditandatanganinya Magna Charta oleh Raja John Lackland. Piagam ini berisi beberapa hak
yang diberikan Raja John kepada beberapa bangsawan bawahannya dan kaum gerejani atas
sejumlah tuntutan yang diajukan mereka. Dengan demikian, piagam ini melindungi kaum
bangsawan dan gerejani dari kekuasaan Raja John yang amat luas.
Meskipun masalah yang diatur terbatas pada perlindungan hak kaum bangsawan dan
gerejani, namun piagam ini dianggap sebagai usaha pertama bangsa Inggris dalam
melindungi hak-hak asasi warganya.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan penandatanganan Petition of Rights pada
1628 yang dilakukan Raja Charles I. Dibandingkan dengan Magna Charta, kandungan

Petition of Rights banyak mengalami kemajuan. Bila penandatanganan Magna Charta
dilatarbelakangi oleh sejumlah tuntutan yang diajukan kaum bangsawan dan gerejani, maka
kelahiran Petition of Rights dilatarbelakangi oleh munculnya sejumlah tuntutan rakyat yang
diwakili oleh Parlemen (House of Common).
Perlawanan rakyat Inggris terhadap Raja James II (1688) yang lebih dikenal sebagai
Revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution), telah mendorong penandatanganan
Undang-undang Hak (Bill of Rights) oleh Raja Willem III pada tahun 1989.
Penandatanganan undang-undang tadi bukan saja menandai kemenangan Parlemen Inggris
atau Raja, tetapi juga sebagai bukti kesungguhan rakyat Inggris dalam menegakkan hakhaknya di bawah kekuasaan raja yang telah diperjuangkannya selama bertahun-tahun.

Apa yang dilakukan rakyat Inggris pada hakikatnya merupakan usaha untuk
membatasi kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Mengapa rakyat Inggris
menginginkan agar kekuasaan raja dibatasi?
Jawabannya dikemukakan oleh seorang Inggris yang menggeluti bidang sejarah,
Lord Acton. Menurut Lord Acton, manusia yang memiliki kekuasaan cenderung
menyalahgunakan kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas pasti
akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely).
Dalil yang dikemukakan Lord Acton telah mengilhami banyak bangsa di dunia
sekaligus menjadi ide dasar penegakkan ajaran demokrasi konstitusional. Ajaran ini

mengandung gagasan pokok bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi, pembatasan mana
biasanya dicantumkan dalam konstitusi.
Usaha membatasi kekuasaan raja guna melindungi hak asasi manusia dilakukan pula
bangsa Perancis. Sebagaimana di Inggris, usaha perlindungan hak asasi di Prancis lahir dari
revolusi yang bertujuan menghancurkan sistem pemerintahan absolut dan menggantinya
dengan tatanan pemerintahan baru yang demokratis.
Tujuan Revolusi Perancis banyak dipengaruhi oleh filosof yang hidup pada masa itu.
Mereka adalah Thomas Hobbes, John Locke dan Montesquieu.
Thomas Hobbes, dan John Locke adalah peletak dasar teori perjanjian masyarakat.
Perbedaannya bila teori perjanjian masyarakat yang dikembangkan Thomas Hobbes
melahirkan ajaran monarkhi absolut, maka teori perjanjian yang dikembangkan John Locke
melahirkan ajaran monarkhi konstitusional.
Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu berada dalam situasi hommo homini
lupus bellum omnium comtra omnes. Situasi ini mendorong dilakukannya perjanjian antara
masyarakat dan penguasa. Perjanjian tadi berisi penyerahan hak-hak rakyat kepada
penguasa. Oleh karena itu, ajaran Thomas Hobbes mengarah kepada pembentukan
monarkhi absolut.
Berbeda dengan Hobbes, John Locke memandang bermasyarakat dan bernegara
merupakan kehendak manusia yang diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yakni pactum
unionis, perjanjian antaranggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik dan

negara, dan pactum subjectionis. Locke memandang pactum subjectionis sebagai perjanjian

antara rakyat dengan penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat ketika
berhadapan dengan kekuasaan sang penguasa. Oleh karena itu, menurut Locke tugas negara
adalah melindungi hak-hak individu, yakni hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak
milik (estate). Jaminan perlindungan hak-hak tadi dituangkan dalam konstitusi, sehingga
ajaran Locke sering disebut monarkhi konstitusional.
Selain Hobbes dan Locke, filsuf Prancis Montesquieu sangat mempengaruhi
perkembangan perlindungan hak asasi di Prancis. Bersama-sama dengan Rousseau ia
melahirkan Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara pada tahun 1789. Deklarasi inilah
yang kemudian melahirkan hak atas kebebasan (Liberty),. Harta (Property), Keamanan
(Safety), dan perlawanan terhadap penindasan (Resistance to Oppression).
Perkembangan sejarah perlindungan hak asasi di Amerika Serikat memiliki kaitan
dengan pengalaman bangsa Inggris dan Perancis. Sumbangan pengalaman bangsa Inggris
dalam perkembangan perlindungan hak asasi di Amerika Serikat terlihat dari pengaruh
ajaran John Locke terhadap kandungan Declaration of Independence Amerika Serikat yang
disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru yang pada tanggal 4 Juli 1776.
Seperti halnya John Locke. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat mengakui
bahwa manusia dicipta Tuhan dengan harkat dan martabat yang sama, memiliki sejumlah
hak yang melekat secara kodrati. Hak-hak tersebut adalah hak hidup (life), kebebasan

(liberty), dan hak untuk mengejar kebahagiaan (pursuit of happiness).
Perkembangan usaha perlindungan hak asasi di Amerika Serikat memiliki kemiripan
dengan perkembangan yang dialami bangsa Prancis. Konsep kedaulatan negara berada di
tangan rakyat sebagaimana dianut Amerika dianut pula di Prancis. Kedua negara pun
memperjuangkan hak asasi melalui revolusi dan pada tahun yang sama kedua negara
mendatangi naskah masing-masing. Hal ini terjadi pada tahun 1789, dimana di Prancis
dikeluarkan pernyatan hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des droits de L
homme et du citoyen), berupa naskah yang dicetuskan pada awal Revolusi Prancis sebagai
bentuk perlawanan terhadap kekuasaan lama yang sewenang-wenang.
Pada tahun yang sama di Amerika pun dikeluarkan undang-undang Hak (Bill of
Rights). Undang-undang ini akhirnya menjadi bagian dari undang-undang dasar Amerika
pada tahun 1791.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA
Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan HAM di Indonesia (2001), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di
Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan (1908 – 1945), periode
setelah Kemerdekaan (1945 – sekarang).
I. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908 – 1945)
Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo
telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui
petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang
dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan
nasib sendiri.
Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh
penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme
lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan
dengan alat produksi.
Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk
mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh
kemerdekaan.
Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu
hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan
berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan
Negara.Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang
BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan
Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang
BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak
berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.

II. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka,
hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak
kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM
telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk
kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada
periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November
1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan
partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan
periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum
yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi
liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti
dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini
mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu“ kebebasan. Indikatornya menurut ahli
hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai
politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar
demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar
lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis.
Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang
semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM
mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan
ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada

sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden.
Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik
pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan
dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak
politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat
untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar
tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan
Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968
diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil
( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka
pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah
menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi
Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an
persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan
ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan
dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah
tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai
dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa
Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan
UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu
sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali
digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang
berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran,
pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat
yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademisi yang
concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui

pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi
seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya,
dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak
memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari
represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan
dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan
penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta
memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat
besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan
pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan
pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang –
undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya
norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM
diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap
status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah
ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen
konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang
– undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.

D. PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PANCASILA
Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugrah Tuhan YME.hak-hak dasar tsb meliputi: “Hak-hak dalam lapangan politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan, dan yuridis”, dan “kebebasan-kebebasan dasar” yang meliputi
“kebebasan dalam lapangan kebebasan pribadi dan rohani”.

Hak-hak dalam kebebasan dasar atau hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam
pancasila yaitu :
1.

Hak asasi manusia dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Setiap orang dijamin untuk melakukan ibadah menurut agama dan keyakinan
masing-masing. Setiap agama dipandang sama hak dan kedudukannya terhadap Negara.
2.

Hak asasi manusia dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab

Setiap orang berhak diperlakukan secara pantas, tidak boleh disiksa dan dihukum
secara sewenang-wenang, tidak boleh dihina atau diperlakukan secara melampaui batas, ia
berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undangundang.
Sila kemanusiaan ini berarti pula: suatu pengakuan kemerdekaan bagi segala bangsa
dengan menolak kolonialisme dan imperialisme dan setiap bangsa berhak untuk
menentukan bentuk dan corak negaranya sendiri.
3.

Hak asasi manusia dalam sila Persatuan Indonesia

Persatuan Indonesia atau kesadaran kebangsaan Indonesia lahir dari keinginan untuk
bersatu sebagai suatu bangsa, lahir dari sikap yang mengutamakan kepentingan bangsa
diatas kepentingan suku, golongan, partai, dan lain-lain.
Kesadaran

kebangsaan

ini

merupakan

tanda

adanya

keinginan

untuk

mempertahankan HAM, sebab tanpa adanya kesadaran kebangsaan tidak ada jaminan
bahwa HAM mendapat perlindungan.
Perasaan kebangsaan Indonesia keluar bersifat persahabatan dengan bangsa-bangsa
lain dalam dasar sama derajat, anti kolonialisme dan imperialisme.
4.

Hak asasi manusia dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Kerakyatan berisi pengakuan akan harkat dan martabat manusia yang berarti pula
menghormati dan menjunjung tinggi segala hak asasi yang melekat padanya. Hak asasi
dalam sila kerakyatan berwujud seperti “Hak mengeluarkan pendapat, hak berkumpul dan
berapat, hak ikut serta dalam pemerintahan dan jabatan-jabatan Negara, memerdekakan pers
dan sebagainya.”
Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.

Masalah pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan
adanya hak asasi manusia. Demokrasi pancasila dengan musyawarah dan mufakatnya
memberikan nilai tinggi terhadap HAM.
5.

Hak asasi manusia dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Keadilan sosial berwujud hendak melaksanakan kesejahteraan bagi seluruh anggota
masyarakat, ini berarti: “bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan yang layak sebagai
manusia yang terhormat, setiap orang berhak mendapat nafkah dan aminan hidup yang
layak dalam lapangan ekonomi dan sosial dengan saling harga-menghargai dan bantumembantu”. Keadilan sosial adalah hak asasi manusia seperti hak hidup, hak milik, hak atas
pekerjaan, dan sistem pengupahan yang baik dan adil.

E. HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945
Dalam perubahan kedua UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR, tanggal 18 Agustus
2000, pasal tentang HAM ditulis dalam bab tersendiri, yaitu bab XA pasal 28 yang terdiri
dari 10 pasal. Dengan adanya bab khusus tentang HAM ini, berarti memantapkan keinginan
kita untuk menjunjung HAM di Negara tercinta ini. Berikut ini adalah isi dari bab XA
tersebut:
Ø Pasal 28A untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan.
Ø Pasal 28B membentuk keluarga dan melanjitkan keturunan, hak anak atas
kelangsungan hidup , tumbuh dan, berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Ø Pasal 28C mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat
dari IPTEK, seni dan budaya memajukan diri secara kolektif.
Ø Pasal 28D pengakuan yang sama dihadapan umum, hak untuk bekerja dan
kesempatan yang sama dalam pemerintahan, berhak atas status kewarganegaraan
Ø Pasal 28E kebebasan memeluk agama, meyakini kepercayaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal, kebebasan berserikat, berkumpul, dan
berpendapat.
Ø Pasal 28F berkomunikasi, memperoleh, mencari, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi.

Ø Pasal 28G perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta
benda, dan rasa aman serta untuk bebas dari penyiksaan.
Ø Pasal 28H hidup sejahtera lahir dan batin, memperoleh pelayanan kesehatan,
mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
guna mencapai persamaan dan keadilan.
Ø Pasal 28I perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Ø Pasal 28J berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain srta tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan UU.

F.

ASAS, UNSUR, DAN STATUS KEWARGANEGARAAN
Seseorang yang diakui sebagai warga ngara dalam suatu Negara haruslah

ditentukan peraturan perundangan dari Negara tsb. Peraturan perundangan inilah yang
kemudian dijadikan asas untuk penentuan status kewarganegaraan seseorang. Dalam
menetapkan asas tentang kewarganegaraan, setiap Negara memiliki budaya, sejarah dan
tradisi masing-masing. Dalam kenyataannya dikenal ada 2 asas kewarganegaraan :
1.

Berdasarkan kelahiran, yaitu :

a.

Asas ius soli (tempat kelahiran)

Asas ini mentapkam seseorang yang dilahirkan di Negara tsb maka ia mendapat hak
sebagai warga Negara.
b.

Asas ius sanguinis (keturunan)

Asas ini menetapkan seseorang mendapat kewarganegaraan suatu Negara aabila
orang tuanya adalah warga Negara dari Negara tsb.
2.

Berdasarkan perkawinan, yaitu :

a.

Asas kesatuan hukum

Mendasarkan pada paradigma bahwa suami-istri maupun ikatan keluarga merupakan
inti masyarakat yang membutuhkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan keutuhan dalam
keluarga oleh karenanya keluarga diharapkan tunduk pada hukum yang sama shingga
keluarga akan tetap utuh.
b.

Asas persamaan derajat

Mendasarkan pada paradigma bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan
perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Oleh karena itu, suami ataupun
istri dapat memilki kewarganegaraan asal.
Disamping dikenal dua asas kewarganegaraan, sesorang juga dapat memperoleh
kewarganegaraan dengan jalan pewarganegaraan (naturalisasi), yang dikenal dengan dua
cara (sistem):
a.

Sistem aktif: seseorang dapat menggunakan hak opsi yaitu memilih atau

mengajukan permohonan menjadi warga negara dari suatu Negara.
b.

Sistem pasif: seseorang dapat menolak pemberian kewarganegaraan (hak

repudiasi).
Selain itu, terdapat juga tiga status kewarganegaraan yang ada hakekatnya
disebabkan persoalan pribadi, lokasi dan kepentingan, yaitu:
1.

Apatride: orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan.

2.

Bipatride: orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap.

3.

Multipatride: orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan lebih dari

dua kewarganegaraan.

G. SIAPAKAH WARGA NEGARA ITU?
Warga Negara memiliki pengertian, di antaranya:
·

Peserta, anggota, atau warga dari suatu Negara, yakni peserta dari suatu

persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama atas dasar tanggung jawab bersama
dan untuk kepentingan bersama. (Dede Rosyada, 2003)
·

Anggota dari sebuah komunitas yang membentuk Negara itu sendiri. (A.S.

Hikam)
·

Bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai

warga Negara. (Pasal 26 ayat (1) UUD 1945)
Pada pasal 26 tersebut dijelaskan siapa saja yang termasuk warga Negara Republik
Indonesia, yaitu orang-orrang bangsa Indonesia dan orang-orang bangsa lain, misalnya
peranakan Belanda, Tionghoa, Arab yang bertempat tinggal di Indonesia. Syarat-syarat
menjadi warga Negara juga ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 26 ayat (2) UUD 1945).

H. PENGERTIAN HAK DAN WAJIB
Sebelum pembahasan mengenai hak dan kewajiban warga Negara, perlu diketahui
apa yang dimaksud hak dan wajib itu sendiri, yaitu:
·

Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan sesuatu yang semestinya

ditterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh pihak lain
manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
·

Wajib adalah beban untuk memberikan atau membiarkan sesuatu yang

semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh
pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang
berkepentingan.
Hak merupakan kodrat manusia yang diberikan Tuhan sehingga siapapun tidak
boleh mengganggunya dan hak trsebut dilindungi Negara. Walau demikian, batas-batasnya
harus tetap ada dan pembatasan ini harus ditetapkan Negara sesuai dengan pandangan
hidup, tingkat kemajuan kebudayaan, dan dasar Negara yang bersangkutan.

I.

HAK WARGA NEGARA

Setiap Negara umumnya mencantumkan pasal hak dan kewajiban warga Negara
dalam Undang-Undang dan peraturan hukum lainnya sebagai syarat objektif dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara.
Dalam batang tubuh UUD 1945, hak-hak warga Negara diatur dalam beberapa pasal.
Sesuai dengan sifat UUD yang singkat, luwes, dan fleksibel, apsal-pasalnya juga hanya
yang pokok-pokok saja. Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur hak-hak warga
Negara adalah sebagai berikut:
1.

Pasal 27 Ayat 1

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya.”
2.

Pasal 27 Ayat 2

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”

3.

Pasal 28

“Kemerdekaan bersekrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
4.

Pasal 29 Ayat 2

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
5.

Pasal 30 Ayat 1

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara.”
6.

Pasal 31 Ayat 1

“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
7.

Pasal 33

“Tiap-tiap warga negara berhak ikut dalam kegiatan perekonomian yag diusahakan
bersama-sama.”
8.

Pasal 34

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, sebagian isinya
mengenai hak-hak warga Negara, diantaranya:
1.

Hak untuk hidup

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2.

Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
3.

Hak mengembangkan diri

Setiap orang berhak atas perlindungan dan kasih saying untuk pengembangan
pribadinya, memperoleh, dan mengemmbangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas
hidupnya.
4.

Hak keadilan

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil.

5.

Hak kemerdekaan

Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani.
Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
6.

Hak atas kebebasan informasi

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh infirmasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan infirmasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
7.

Hak keamanan

Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan hak miliknya.
Setiap orang berhak mencari suaka untuk mendapat perlindungan politik dari Negara
lain.
Setiap orang berhak ikut serta dalam upaya pembelaan Negara.
8.

Hak kesejahteraan

Setiap orang berhak hidup sejaktera lahir dan batin.
Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Warga Negara memiliki hak sekaligus kewajiban yang harus dipenuhi kepada
Negara. Dari 30 pasal UU HAM, hanya satu ayat yang memuat tentang kewajiban individu,
yaitu pasal 29 ayat (1). Dalam konstitusi termuat dalam pasal 28J. dalam UU Nomor 39
Tahun 1999 Tentang HAM, dari 106 pasal yang ada, pegnaturan mengenai kewajiban dasar
hanya empat pasal, sedangkan yang mengatur hak dan kebebasan dasar terdiri dari 58 pasal,
sisanya mengatur mengenai Komnas HAM dan ketentuan lain. Tidak berbeda dengan
konstitusi, kewajiban dasar itu intinya menyebutkan, tiap orang wajib menghormati hak
asasi orang lain, patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum
internasional mengenai HAM serta wajib ikut serta membela Negara.

Lalu bagaimana dengan Negara kita? Apakah kita wajib menghormati hukum?
Apabila hukum tidak adil dan pengaturannya melanggar HAM warga Negara, apakah
hukum itu wajib dihormati? Jika pengadilan tidak berlaku adil dan korup, apakah layak
dibiarkan? Jika kewajiban warga Negara adalah membayar pajak, apakah kewajiban itu
harus dijalankan jika sector-sektor publik seperti kesehatan dan pendidikan dilupakan
Negara, jika pajak ternyata habis dikorupsi, digunakan untuk membayar uang swasta atau
pajak hanya untuk membayar pegawai negeri yan berperilaku buruk atau jika APBN
ditetapkan dengan melupakan sector-sektor yang seharusnya dialokasikan secara layak?

J.

KEWAJIBAN NEGARA DALAM HAM

Kewajiban Negara dalam HAM biasanya dilihat dari tiga bentuk, yaitu:
1.

Menghormati (To Respect)

2.

Memenuhi (To Fulfill)

3.

Melindungi (To Protect)

Dalam konteks Indonesia, apakah Negara sudah melaksanakan kewajibannya itu?
Jika masyarakat masih takut menjalankan kebebasan beragama; masih ada penyerbuan
terhadap kelompok tertentu karena beda keyakinan; jika masyarakat takut berkumpul
khawatir dibubarkan aparat; jika ada masyarakat takut keluar rumah karena jiwanya
terancam aksi-aksi kekerasan; jika masih ada wabah penyakit yang tak tertangani dengan
baik; jika masih bannyak fakir miskin telantar; jika masih ada orang kelaparan; jika masih
banyak anak-anak tak sekolah; itu semua salah satunya disebabkan karena Negara belum
melaksanakan kewajibannya dengan baik.

K. KEWAJIBAN WARGA NEGARA
1.

Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tata tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Pasal 28J ayat 1 UUD 1945)
2.

Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud
semata-semata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yanga adil sesuai dengan pertibangan moral,

keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (Pasal 28J ayat 2
UUD 1945)
3.

Setiap orang wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 68 UU No.39/1999)
4.

Setiap warga Negara berkewajiban ikut serta dalam usaha pertahanan dan

keamanan. (Pasal 30 UUD 1945)
5.

Setiap warga Negara wajib menjunjung hukum dan pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 27 UUD 1945)
6.

Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya. (Pasal 31 ayat 2 UUD 1945)
7.

Setiap orang yang ada di wilayah Republik Indonesia wajib patuh pada

peraturan perundang-undangan, hukum tertulis dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

L. PELAKSANAAN HAM DI INDONESIA
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan
belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor
integrasi atau persatuan. Problem dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan
privasi warga negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Politik
(FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8).
Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan demokrasi di
Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah. “Pelaksanaan HAM di kita
masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi soal karena dalam proses,” kata Marzuki.
Padahal jika melihat sisi historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat
penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti
tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari falsafah kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah untuk
melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR itu, di luar negeri
bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan dengan masalah HAM. “Makanya
mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM sudah menyatu,” katanya.
Sedangkan di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum merupakan
bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa. Marzuki mengatakan, sebenarnya
HAM bisa menjadi faktor integrasi atau pemersatu bangsa. Marzuki menganalogikan
pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan hidup
10-20 tahun lalu.
Lingkungan hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah. “Saat ini, lingkungan hidup
sudah menjadi kesadaran nasional,” katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya

menjadi kebijakan nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
“Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM,” katanya.
(Dikutip dari http://www.gudangmateri.com/2010/10/kondisi-pelaksanaan-ham-diindonesia.html)

Secara ideal Negara tidak dibenarkan mencampuri HAM setiap Negara, apalagi
menundasnya atau menghilangkannya. Oleh karenanya sejalan dengan amanat konstitusi,
pelaksanaan HAM di Indonesia harus didasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak sipil,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan, merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat

dipisah-pisahkan,

baik

dalam

penerapan,

pemantauan,

maupun

dalam

pelaksanaannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang di dalam pasal 1 (3), pasal 55 dan 56
Piagam PBB, yang isinya bahwa, “Upaya pemajuan perlindungan HAM harus dilakukan
melalui suatu kerjasama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati,
kesederajatan, dan hubungan antar Negara hukum internasional yang berlaku (Hasan
Wirajuda, 2005).
Indonesia adalah Negara multicultural yang menuntut adanya kesepahaman dari
seluruh elemen bangsa. Sehingga, multicultural yang secara alamiah ada dan hadir di bumio
pertiwi ini bisa menjadi pemersatu dan sebagai lahan untuk saling menghargai. Krisis HAM
di Indonesia perlu penyelesaian yang sistemik. Melalui pendidikan berbasis HAM, akan
lebih memudahkan dalam menyiapkan generasi yang faham tentang Hak Asasi Manusia
(HAM). Pemahaman yang mendalam dari siswa tentang HAM diharapkan akan
memperkuat posisi mereka (siswa) untuk memperjuangkan hak asasinya dalam kehidupan
bermasyarakat.

a.

Pendidikan HAM di persekolahan

Pendidikan Berbasis HAM
Dalam penelitiannya, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Pendidikan
(UNESCO) untuk wilayah Asia Pasifik telah melakukan penelitian di Indonesia, dengan
hasil bahwa sistem pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik.
Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana rekomendasi dari UNESCO mencanangkan
sistem pendidikan berbasis hak asasi manusia untuk semua jenjang pendidikan. Masalah
hak asasi manusia akan diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan. Untuk pendidikan
dasar dan menengah, masalah HAM akan diintegrasikan dalam mata pelajaran agama.
Sehingga diterbitkanlah buku pendidikan berbasis hak asasi manusia oleh Departemen

Pendidikan Nasional (KOMPAS 13/1/2006). Hal ini sungguh suatu langkah maju dalam
penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Namun buku tersebut hanya sebagai simbol
slogan bahwa pendidikan nasional menggunakan pendekatan hak azasi manusia sebagai
mana yang diamanatkan oleh UNESCO tersebut.
Keberadaan Badan Standar Nasional Pendidikan hanya mampu bekerja dan bertugas untuk
mengevaluasi pendidikan pada tataran kognitif belaka. Aspek psikomotorik dan afektif
sering kali diabaikan. Kemajuan pendidikan hanya diukur dari kemampuan akademis siswa
saja dengan mengabaikan aspek lainnya. Walaupun dalam regulasi sudah diatur sedemikian
rupa, tetapi dalam implementasinya tetap saja aspek kognitif yang dihandalkan. Dari sekian
banyak Kepala Sekolah, hanya salah seorang Kepala Sekolah di Yogyakarta saja yang
memberanikan diri untuk melakukan penilaian secara universal terhadap peserta didiknya.
Sehingga peserta yang tadinya lulus Ujian Nasional dan mendapat peringkat ketiga tertinggi
untuk mata pelajaran yang di-UN-kan tetapi tidak lulus dari segi afektinya. Akhirnya pihak
sekolah menyatakan tidak lulus pada peserta didik tersebut. Ini langkah baik yang dilakukan
sekolah untuk menilai secara komprehensif. Tetapi, sayangnya hal ini hanya dilakukan oleh
satu sekolah saja dari sejumlah sekolah yang ada di Indonesia.
Penilaian yang dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan tersebut secara logika
dapat dipahami juga melanggar HAM. Betapa tidak! Penilaian dengan memberikan soal
secara sama dan merata dengan tidak memperhatikan kemampuan peserta didik di setiap
daerah dan mengabaikan perkembangan pendidikan suatu daerah atau dengan kata lain
menyamaratakan potensi pendidikan secara nasional. Jelas hal ini melanggar HAM.
Indonesia yang luas dan beragam potensi ini dijadikan uniform oleh pemerintah dalam
mengevaluasinya.
Selain itu, yang harus kita cermati bersama adalah urgensinya penilaian yang dilakukan oleh
pemerintah tersebut. Kita telah mafhum bahwa Ujian Nasional dilakukan hanya sematamata untuk memetakan kondisi pendidikan secara nasional oleh pemerintah, yang mana
hasil pemetaan tersebut akan dijadikan input dalam proses agenda setting pemerintah untuk
memajukan kembali pendidikan di negara ini. Hal yang disayangkan adalah program
evaluasi yang akan dijadikan input kembali itu hanya sekadar saja, perbaikan sistem dan
pembenahan pendidikan di daerah tertinggal juga tak kunjung dilaksanakan. Mekanisme
pengambilan keputusan untuk membangun pendidikan masih tetap memakai gaya lama:
acak dan tender serta kolusi. Selain itu, korban dari kebijakan tersebut adalah pelajar
(sebagai objek Ujian Nasional). Sekali lagi hal ini juga melanggar HAM dalam proses
pendidikan kita.
Pendidikan kita pada kenyataannya masih menampilkan sistem yang tidak manusiawi,
dengan kecenderungan dehumanisasi. Kebijakan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
yang di sinyalir melanggar HAM seharusnya tidak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya
memperlakukan siswa didik sebagai manusia. Sehingga tujuan utama pendidikan untuk
menciptakan manusia yang bukan hanya unggul dalam bidang kognitif tetapi juga harus
bisa menjadikan siswa didik unggul secara afektif maupun psikomotorik. Karena
pendidikan (education) adalah proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan
seperti sekolah, atau dalam arti luas adalah proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan
yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat (Britannica, 2003).
Untuk itu, pendidikan berbasis HAM ini sudah selayaknya dikemukakan kembali dan
benar-benar direalisasikan oleh pemerintah, tidak hanya sekadar lips service dalam retorika

kebijakan. Multitafsirnya pendidikan berbasis HAM ini juga harus dijelaskan. Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan pendidikan berbasis HAM tersebut dan apa orientasi serta
harapannya.
Keperluan penjelasan tentang arti, fungsi, peran, posisi dan isi pendidikan berbasis HAM
relevan dengan perkembangan nasional dewasa ini yang sedang berusaha membangun
kepercayaan publik tentang penegakan HAM di Indonesia dan pendidikan yang sistemnya
bertentangan penegakan HAM tersebut. Kebijakan otonomi pendidikan pada dasarnya
merupakan pencerahan dan pemberdayaan pendidikan agar lebih bermakna. Kini lembaga
pendidikan dituntut mampu mengembangkan kepribadian peserta didik secara optimal,
selain berusaha untuk meningkatkan kemampuan akademis. Tetapi aksi untuk pencapaian
hal itu tidak direalisasikan oleh pemangku kebijakan atau pemerintah yang dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional.
Sebagai langkah awal demi suksesnya keberlangsungan dan peningkatan kualitas
pengetahuan guru dalam bidang HAM, maka sosialisasi terhadap sistem pendidikan
berbasis HAM ini perlu disosialisasikan ke seluruh perangkat-perangkat pendidikan
sehingga tujuan agar tegaknya nilai-nilai HAM bisa benar-benar terwujud dalam dunia
pendidikan kita. Pendidikan, diyakini sebagai instrumen yang sangat strategis dalam
penyebaran nilai-nilai HAM ini. Karenanya, dunia pendidikan kita diharapkan dapat
membantu proses pembelajaran HAM di tingkat pelajar yang nantinya akan memperkuat
pemahaman para siswa didik kita untuk lebih memahami pentingnya nilai-nilai HAM dan
sistemnya juga mendukung yang tidak melanggar HAM.
Pilihan pada pendidikan berbasis HAM mengacu pada pedagogik kritis dan transformatif.
Pedagogik kritis melihat masyarakat, pendidikan, persekolahan, merupakan arena-arena
dimana terjadi kontestasi kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Kendati tidak bersifat
netral dalam kontestasi tersebut, namun pedagogik kritis mempunyai komitmen untuk
memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. Dalam
kaitan ini, pedagogik kritis adalah pedagogik transformatif yang bertujuan untuk mengubah
proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran
akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan (Tilaar, 2005).
Maka, mengacu pada pedagogik kritis, sasaran dari pendidikan berbasis HAM adalah pada
transformasi sosial baik pada level individu maupun kelompok. Transformasi di sini
mencakup perubahan dalam aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap
(attitude), perspektif (perspective) dan kesadaran diri (self awareness).
Kemudian, dalam suatu pendidikan berbasis HAM, nilai dan prinsip dasar yang
mendasarinya antara lain: persamaan (equality), keadilan (justice), kemerdekaan (freedom),
martabat manusia (dignity), universalitas (universality), tak dapat dikecualikan
(inalienability), tak dapat dipisahkan (indivisibility), dan tidak diskriminatif (nondiscriminative).
Tentu saja, dalam implementasinya pendidikan berbasis HAM ini harus melandaskan diri
pada penguatan nilai-nilai HAM secara universal. Potensi yang dimiliki masyarakat
Indonesia dengan ragam budaya yang dimiliki bisa dijadikan sebagai fondasi untuk
penguatan wilayah tersebut. Harapannya adalah pengetahuan yang dimiliki oleh peserta
didik akan tertanam tanggung jawabnya untuk senantiasa menjadi pelopor dalam

menegakkan HAM. Sehingga cita-cita dan tudingan UNESCO yang empiris terhadap
bangsa ini bisa terbantahkan kembali.
.
Sosialisasi pendidikan berbasis HAM ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan mengadakan pelatihan kepada siswa dan atau guru sebagai pendidik untuk
melakukan proses transformasi nilai-nilai HAM. Transformasi yang dilakukan tersebut
diharapkan akan menular kepada yang lainnya dengan berbagai cara diantaranya adanya
pola tingkah laku yang akan menjadi tauladan atau figur empiris HAM atau transfer
keilmuan dari hasil pelatihan tersebut. Selain itu, proses belajar yang menyenangkan
sebagai salah satu energi yang dihasilkan dari HAM dapat dinikmati dengan membebaskan
diri para pelajar dari ketertindasan dan tekanan pemerintah dalam proses belajar-mengajar.
UN adalah salah satu bentuk tekanan pemerintah terhadap pelajar dalam proses belajar
tersebut. UN menggambarkan pelanggaran HAM yang nyata oleh pemerintah karena
menimbulkan proses belajar yang tidak menyenangkan bagi pelajar. Penolakan UN yang
dilakukan selama ini dapat menjelaskan bahwa masyarakat berkeinginan keras menegakkan
nilai-nilai HAM dalam satuan pendidikan di Indonesia.
(Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2010/05/19/95/334101/redirect)

Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk bidang pendidikan (UNESCO)
wilayah Asia Pasifik telah melakukan penelitian di Negara-negara Asia termasuk Indonesia,
bahwa sistem pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik. Hasil
penelitian tersebut tentunya bisa dijadikan referensi bagi para ahli pendidikan di Indonesia
untuk terus mengampanyekan akan pentingnya pendidikan HAM di sekolah-sekolah
sebagai bagian dari sistem pendidikan Indonesia.
Depertemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan rekomendasi dari UNESCO
mencanangkan sistem pendidikan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) untuk semua jenjang
Pendidikan. Masalah hak asasi manusia kemudian akan diimplementasikan dalam
kurikulum pendidikan. Untuk pendidikan dasar menengah, masalah HAM akan di
integrasikan dalam mata pelajaran agama dan PKN (Asep Bunyamin : 2004)
Pentingnya pendidikan berbasis HAM ini tentu mesti ada dukunga