DASIMA DAN GADIS PANTAI POTRET PERKAWINA

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
DASIMA DAN GADIS PANTAI:
POTRET PERKAWINAN BERMASALAH DALAM SASTRA
Resti Nurfaidah
Balai Bahasa Bandung
Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung, 40113
Pos-el: goresan_penaku@yahoo.com
Abstract: The unusual marriage sometimes raises the pros and contras. Many stories are
written based on its unusualities. Here is the study of both writers’ view--Ali and Ananta
Toer--towards the theme. Ali took the history of most famous Nyai, Nyai Dasima, with
her conflicts with her both foreig or local husbands. Other, Ananta Toer wrote about the
artificial temporary marriage of the unknown coastal girl to the aristocrate. Both
marriage shew the weak of female position amongst patrialchal domination. This is the
study of comparison between both writers’ view. At the end, the study show that both
unusual marriage weakened positions of female characters both in domestic or public
areas.
Key words: female, female characters, patrialchal domination, unusual marriage.

1. Pendahuluan
Perkawinan merupakan peristiwa sakral yang sangat penting dan berarti dalam
kehidupan sepasang manusia (Hdn, 2004:13). Perkawinan tersebut ditujukan untuk

mewujudkan sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Demikian agung tujuan
perkawinan itu. Namun, jika sebuah perkawinan tidak lagi dilandasi niat suci, nilai
kesakralan tentu akan sirna, misalnya niat seseorang yang menikah lebih didasari oleh
faktor ekonomi atau faktor bisnis, atau faktor kebutuhan seksual semata. Salah satu di
antara ragam perkawinan yang demikian adalah kawin kontrak atau nikah mut’ah, yaitu
perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk
sementara waktu, misalnya sehari, seminggu, atau sebulan. Perkawinan tersebut hanya
terjadi selama kurun waktu tertentu yang telah disepakati. Jika tenggat waktu yang telah
habis, perkawinan pun berakhir dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.
Perkawinan tersebut pernah ada pada awal masa sejarah perkembangan agama Islam.
Bahkan, Nabi Muhammad saw pernah mengizinkan para sahabatnya untuk melakukan
Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

1

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
perkawinan tersebut ketika mereka berada di kancah peperangan atau pergi ke suatu
tempat yang memerlukan waktu yang lama. Di tengah berkecamuknya Perang Khaibar
(628 M), Rasulullah mengharamkan perkawinan tersebut. Pada masa kini, meskipun

tidak dibenarkan secara agama dan hukum, perkawinan tersebut ternyata masih terjadi.
Maraknya kasus kawin kontrak di kawasan Puncak, Bogor, serta praktik sangjitan yang
berlaku di kalangan warga keturunan merupakan bukti bahwa perkawinan seperti itu
masih terjadi di masyarakat. Faktor ekonomi merupakan pencetus terjadinya perkawinan
seperti itu.
Tema perkawinan telah banyak dijadikan sebagai sumber kreatifitas para
sastrawan ke dalam karya, termasuk kawin kontrak. Di antaranya, Pram mengangkat
tema tersebut dalam novel Gadis Pantai. Dalam novel itu dikisahkan perkawinan antara
seorang gadis belia yang lugu asal kampung nelayan kumuh di tepi pantai Jepara dan
seorang Bendoro, pembesar di tanah Jawa yang sangat disegani rakyatnya. Perkawinan
yang aneh itu, sang gadis dikawinkan dengan sebilah keris, membawanya memasuki
dunia kaum menak yang serba sepi, teratur, kaku, dan mengekang. Gadis Pantai sempat
mengalami gegar budaya pada awal masa perkawinannya. Namun, kecerdasan terpendam
yang dimilikinya membuatnya mampu menangkap segala ketentuan yang berlaku di
rumah itu dengan cepat. Hal itu pula yang membuatnya dewasa dan memahami arti
perkawinan dan cinta. Namun, pada saat yang sama, ia harus membayar mahal cintanya
itu.
Selain tema kawin kontrak, perkawinan lain yang terdapat dalam sastra adalah
perkawinan ala Nyai Dasima. Perkawinan Dasima dengan orang asing yang berlainan
keyakinan merupakan fenomena sosial yang kala itu menjadi dambaan para kaum wanita

pribumi. Betapa tidak, perkawinan tersebut dianggap dapat mengangkat derajat kaum
pribumi baik materil maupun moril. Perkawinan Dasima dengan Tuan Edwards semula
berlangsung bahagia dan berbuah seorang keturunan yang sangat jelita, Nancy. Namun,
pertemuannya dengan seorang raja kusir delman, Bang Samiun, membawa Dasima ke
dalam kegelapan hingga ia harus kehilangan nyawanya.
Novel Gadis Pantai berlatarkan kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, tepatnya semasa hidup R.A. Kartini. Pada saat itu
kehidupan masyarakat sangat laksana barisan kotak yang berlainan ukurannya. Kaum
Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

2

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
ningrat yang cenderung “dekat” dengan kaum penjajah, Belanda, sangat identik dengan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang seluas-luasnya dan kemampuan untuk
berbicara dengan bahasa sang penjajah. Hal itu digunakan agar mereka dapat berbaur
dengan bangsa pendatang itu. Namun, tidak demikian halnya dengan rakyat kebanyakan
yang didera sempitnya jalan untuk menuju kecerdasan. Kaum perempuan lebih parah
lagi. Mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk menjadi sejajar dengan kaum Adam.

Kebanyakan menderita buta huruf atau hanya sekadar mampu membaca kitab suci. Gadis
Pantai tergolong kaum yang termajinalkan. Ia hidup di tengah kerasnya kehidupan kaum
nelayan di pesisir utara Jawa Tengah. Ketika ia terpilih untuk menjadi budak seks sang
Bendoro di kota, ia laksana setangkai bunga mawar ranum yang tercerabut dari
rumpunnya. Ia harus menyelami dunia yang selama ini asing baginya. Ia yang telah akrab
dengan luasnya pesisir, harus mendekam di balik tembok tebal “penjara suaminya”, yaitu
suami yang tidak pernah ia kenali asal-usulnya dan tiba-tiba muncul dalam
kehidupannya. Tembok tebal itu telah memberi Gadis Pantai penderitaan, kebahagiaan,
kesunyian, dan kesedihan yang harus ditebusnya dengan harga yang sangat mahal. Novel
yang berdurasi sedang itu, hampir 3 tahun sejak Gadis Pantai dikawini sang Bendoro
hingga tiba masa pengusirannya, diakhiri dengan keputusan sang Gadis Pantai untuk
hidup terpisah dari keluarga dan kehidupan lamanya.
Novel Nyai Dasima hampir sama dengan novel Gadis Pantai karena berlatarkan
kehidupan masyarakat di kawasan Batavia dan sekitarnya pada masa penjajahan Belanda.
Pada saat itu, para wanita pribumi sangat memimpikan untuk “diangkat” sebagai
pendamping pria kulit putih atau yang dikenal dengan istilah “Nyai”. Seorang Nyai
adalah wanita yang dijadikan sebagai istri nonformal kaum orang Eropa. Ia bertindak
layaknya seorang nyonya namun tidak dinikahi secara resmi meskipun pasangan tersebut
saling mencintai. Dasima terangkat derajatnya menjadi pendamping sang majikan setelah
istri sah pria itu meninggal dunia. Hubungan mereka membuahkan seorang keturunan

yang sangat rupawan, Nancy. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
pertemuan Dasima dengan juragan delman, Bang Samiun, mencabut kebahagian wanita
itu dan menyeretnya ke ujung nyawanya. Novel Nyai Dasima berdurasi panjang, yaitu
sejak kedatangan dirinya saat masih kanak-kanak hingga masa dewasa ketika diangkat
sebagai pendamping sang majikan, serta saat tiba kematiannya.
Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

3

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra

2. Gadis Pantai dan Dasima: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
Potret perkawinan bermasalah dalam sastra yang diungkapkan dalam tulisan ini
berasal dari dua sumber data berikut, yaitu novel Gadis Pantai dan Nyai Dasima.
2.1. Potret Perkawinan Bermasalah dalam Novel Gadis Pantai
Perkawinan Gadis Pantai, kembang kampung nelayan kumuh di pesisir utara Jawa
Tengah, terjadi secara tiba-tiba. Tanpa ia duga, pada suatu malam ia telah dikawinkan
dengan sebilah keris sebagai wakil dari seorang pria yang tidak pernah ia kenali
sebelumnya.

Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris.
Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak
emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah
dilihatnya seumur hidup. (GP, 2005:12)
Kejadian itu begitu cepat hingga tiba saat ia harus meninggalkan kampung
halamannya, meninggalkan kehangatan keluarga, dan meninggalkan keceriaan bermain
pasir di sepanjang pesisir tak bertepi yang telah akrab dengan jiwa dan tubuhnya.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam batinnya. Namun, gadis pantai seolah tidak
memiliki kekuatan untuk menolak perkawinan ini. Kedua orangtuanya juga demikian. Di
dera kemiskinan sekian lama, kedua orang tua Gadis Pantai seolah mendapat durian
runtuh. Perkawinan Gadis Pantai telah mengangkat derajat keluarga orang tuanya, selain
dengan imbalan materi. Dengan demikian, keluarga tersebut akan terjamin keamanannya
dari serangan kaum perompak atau bajak laut yang secara berkala menyerang kampung
nelayan. Jangankan para perompak, rentetan tetangganya pun tidak berani mengganggu.
Perkawinan gadis pantai tidak membuahkan kebahagiaan. Sebaliknya kesepian
dan kekakuan menjadi santapan sehari-hari. Sejak Gadis Pantai menjejakkan kakinya di
rumah besar milik suaminya itu, tembok dan pilar tebal di rumah itu seakan telah
menjawab segudang pertanyaan di dalam kalbunya. Tembok itulah yang menjadi
pemisah dirinya dan dunia luar. Tembok itu pula yang memutuskan kehangatan
keluarganya. Tembok itu pula yang selama beberapa waktu menjadi penjara baginya.


Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

4

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
Memasuki kota dan gedung tempat ia tinggal sekarang adalah
memasuki dunia tanpa ketentuan. (GP, 2005:133)
Di balik tembok itulah ia selalu merindukan kehangatan suasana kampung dan
keluarganya.
Dan ia pun kenangkan kembali kampung nelayan nun jauh di tepi
pantai, hari-hari yang penuh tawa, keringat yang mengucur rela,
tangan-tangan yang coklat tua, dan lemah lembut kasar yang saling
membantu. (GP, 2005:133)
Perkawinan Gadis Pantai dan sang Bendoro bukanlah perkawinan yang bahagia.
Meskipun derajatnya kini telah meningkat bila dibandingkan dengan masyarakat
kebanyakan, tetapi ia tidak dapat duduk sejajar dengan suaminya. Ia hanyalah “orang
belakang” yang bertugas melayani kebutuhan beliau, terutama kebutuhan biologis. Jika
kedatangan tamu, ia dikurung di dalam kamar dan tidak diperkenankan untuk

mendampingi suaminya. Ia tidak bisa berdampingan dengan suaminya sepanjang hari dan
setiap waktu atau sekedar menumpahkan perasaannya kepada lelaki itu. Ia tidak lebih
dari seorang pelayan yang hanya mampu mengiyakan hal-hal yang disampaikan oleh
suaminya.
Perkawinan Gadis Pantai bukanlah perkawinan yang abadi. Perkawinan gadis itu
hanyalah untuk sementara. Berbeda dengan kawin kontrak pada masa kini yang disertai
dengan sederet perjanjian, perkawinan serupa yang dilakoni oleh Gadis Pantai tidak
pernah diketahui batas waktunya. Perkawinan tersebut juga lebih menyudutkan dan
melecehkan Gadis Pantai karena ia tidak pernah dianggap sebagai seorang istri yang
sesungguhnya, melainkan sebagai seorang istri percobaan. Bendoro tetap dianggap
sebagai seorang lajang tulen sampai pada suatu saat ia menikahi seorang wanita ningrat
yang benar-benar sejajar dengan dirinya. Pergantian istri atau kelahiran anak sebanyak
apa pun tidak akan melunturkan kelajangan sang Bendoro. Sebelum pernikahannya
dengan Gadis Pantai, sang Bendoro pernah melakukan hal serupa dengan beberapa
wanita lain dan mendapatkan keturunan.
“Apa yang mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum
Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

5


Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
beristrikan wanita berbangsa.” (GP, 2005:155)
Perkawinan Gadis Pantai adalah perkawinan yang sepi. Ia tidak diperkenankan
untuk menerima tamu, termasuk dari kalangan keluarga. Kedua orang tuanya pun tidak
berani mendekatinya dan menunjukkan sikap segan kepada anak perempuannya yang kini
mereka anggap telah menjadi “Bendoro Putri”. Bahkan, ayah Gadis Pantai pun tidak
mampu memanggil namanya. Anak-anak hasil hubungan sang Bendoro dengan
perempuan sebelum kedatangan Gadis Pantai tidak diperkenankan untuk mendekatinya,
bahkan mereka disingkirkan di tempat tertentu.
Perkawinan Gadis Pantai adalah perkawinan yang disertai dengan derita karena ia
tidak pernah mendapatkan haknya sebagai seorang ibu dari bayi yang ia lahirkan. Ia telah
diputus haknya sebagai seorang istri beberapa waktu setelah kelahiran sang anak, terlebih
ketika anak yang dilahirkannya berkelamin perempuan. Ia tidak diperkenankan untuk
memiliki dan membawa sang anak ketika sang Bendoro berubah sikap mengusirnya dari
rumah itu. Akhir perkawinan itu telah menurunkan derajatnya dan ia enggan kembali ke
kampung halamannya. Ia enggan menanggung aib di depan mata penduduk kampung dan
memilih untuk pergi ke kota lain.
2.2. Potret Perkawinan Bermasalah dalam Novel Nyai Dasima
Perkawinan Nyai Dasima


bermula pada kedatangan Dasima

yang menjadi

pelayan cilik di rumah keluarga Tuan Edwards dan Nyonya Bonnet. Bonnet sangat
menyayangi Dasima seperti kepada anaknya sendiri. Ia mendidik anak lugu itu menjadi
seorang wanita yang cerdas. Dibekalinya anak lugu dari Kampung Puritan itu dengan
berbagai keterampilan, di antaranya memasak, menyulam, dan beretika.
Di bawah asuhan Bonnet, Dasima tumbuh sebagai gadis yang jelita. Hal itu
mengundang benih-benih asmara di hati Tuan Edwards, terlebih saat itu Bonnet telah
didera sakit parah yang berkepanjangan. Mata bertemu mata, akhirnya Dasima dan
Edwards menjalin cinta. Bonnet pun menyadari hal itu, tetapi ia sangat tidak berdaya.
Ketika akhirnya Bonnet meninggal dunia, Dasima serta merta menggantikan tempatnya.
Edwards sangat menyayangi Dasima. Hubungan mereka membuahkan seorang keturunan
yang sangat cantik jelita, Nancy Williams.

Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung


6

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
Setelah kematian Bonnet, keluarga itu pindah ke Betawi. Di kota inilah awal mula
permasalahan itu terjadi. Berawal dari kedatangan Mak Buyung ke rumah Dasima untuk
berjualan telur. Sambil berjualan, Mak Buyung selalu berbagi cerita dengan Dasima.
Dasima yang kesepian kini merasa senang karena mendapat teman bicara. Mak Buyung
adalah wanita sebatang kara yang diangkat kerabat oleh Wak Saleha, ibu mertua Bang
Samiun. Selain pertemuan dengan Mak Buyung, Dasima juga kerap bersua dengan Bang
Samiun juragan kusir delman yang kerapkali mengantar Nancy ke sekolah. Pertemuan
demi pertemuan itu menimbulkan desir-desir ombak asmara di antara keduanya. Bang
Samiun yang terdorong oleh hasutan istrinya, Hayati, dan ibu mertuanya, Wak Saleha,
melihat peluang untuk mendapatkan Dasima semakin besar setelah kehadiran Mak
Buyung di rumah itu. Mak Buyung pun berperanan sebagai kaki tangan juragan delman
itu dan harus melaporkan berbagai hal yang terjadi di rumah itu. Mak Buyung pula yang
menebarkan ramuan guna-guna pada makanan majikannya itu.
Akibatnya, Dasima pun oleng dan berpaling kepada lelaki berkumis tebal itu.
Dasima bersikeras untuk meninggalkan Tuan Edwards dan Nancy demi mendapatkan
kebahagiaan bersama Bang Samiun. Terlebih, pada saat yang sama Dasima sudah tidak
mampu lagi menahan kekesalannya kepada nyonya-nyonya Eropa yang selalu mencela
dan mengucilkan dirinya. Ia tidak pernah mendapatkan tempat di hari para istri pejabat
Eropa karena dianggap sebagai wanita yang merebut suami Bonnet.
Lelaki Eropa itu akhirnya terpaksa melepaskan Dasima. Ia tidak membiarkan
Dasima pergi dengan tangan hampa. Diberikannya Dasima harta benda yang banyak.
Dasima pun mengungsi ke rumah Mak Buyung sebelum akhirnya dikawini oleh Bang
Samiun. Nilai perkawinan itu pun luntur ketika disadari Dasima bahwa Bang Samiun
hanya ingin memanfaatkan hartanya saja. Hayati dan Wak Saleha pun tidak lebih baik
dari suaminya. Mereka memeras tenaga Dasima layaknya seorang pelayan hina
sementara hartanya mereka kuras.
Pada suatu hari Dasima menuntut hartanya kembali. Bang Samiun yang terkejut
dengan gertakan Dasima pun kelimpungan. Ia tidak mungkin mengembalikan uang dan
benda milik Dasima itu. Di tengah kebuntuan itu Bang Samiun memanfaatkan jasa Bang
Puase, salah seorang kaki tangan kepercayaan mendiang mertuanya, untuk menghabisi

Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

7

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
nyawa Dasima. Kedua lelaki itu mengatur siasat. Mereka berhasil. Nyawa Dasima pun
melayang di tangan Bang Puase.
Perkawinan Dasima pun tidak berbeda dengan perkawinan Gadis Pantai. Bahkan,
Dasima tidak dikisahkan meresmikan perkawinannya. Lebih tepat lagi jika Tuan Edwards
dan Dasima dikatakan sebagai pasangan yang hidup bersama. Ketika itu Dasima yang
sudah lama tidak menjalani ritual agamanya, menjalani hidup itu dengan senang hati.
Namun, setelah mendapatkan nasihat dari Mak Buyung, barulah ia menyadari bahwa apa
yang ia jalani selama ini menyimpang dari ajaran agamanya. Mak Buyung yang pandai
memainkan kata-kata mampu memalingkan wajah Dasima dari suaminya. Dasima tidak
ingin menjalani perkawinannya itu dan ia menaruh harapan kepada Bang Samiun.
Dasima tidak pernah menyadari bahwa dirinya telah masuk ke dalam perangkap wanita
tua itu. Kata-kata manis dari Mak Buyung dan Bang Samiun itulah yang membuat
Dasima membulatkan tekadnya untuk meninggalkan suaminya.
Ketika peristiwa itu benar-benar terjadi, Bang Samiun bukan kepalang senangnya.
Impiannya untuk mendapatkan Dasima kini di depan mata. Ia bisa memanfaatkan janda
kaya itu, atas keinginan sang istri dan mertuanya. Dasima tidak menyadari hal itu.
namun, setelah pernikahan itu terjadi tabir kelabu suami, mertua, dan madunya terkuak.
Ketiga orang itu sama sekali tidak menyayangi Dasima dan benar-benar ingin
memanfaatkan kekayaan Dasima, terutama untuk biaya bermain ceki (sejenis permainan
judi). Mereka tidak segan-segan menyiksa Dasima lahir dan batin. Ia diperlakukan seperti
seorang budak yang hina.
Dasima yang telah kehilangan mimpi indahnya, pada akhirnya menuntut kembali
hartanya. Hal itu membuat Bang Samiun bingung. Tentu saja, ia tidak memiliki
kemampuan untuk mengembalikan harta Dasima yang telah ia pakai. Karena bingung,
Bang Samiun meminta tolong jasa Bang Puase, salah seorang centeng kepercayaan
mendiang mertuanya, untuk menyingkirkan Dasima. Dengan bayaran yang cukup mahal,
Bang Puase berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Dasima pun tersingkir.
Perkawinan Dasima tidak didasarkan pada niat tulus ikhlas. Perkawinan sirinya
dengan Tuan Edwards lebih didasarkan pada keinginan untuk menjadi “lebih”. Dengan
menjadi pendamping tuan Belanda itu ia telah dapat meningkatkan derajatnya serta
menorehkan rasa bangga kepada kedua orang tuanya. Dasima tidak melandasinya dengan
Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

8

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
iman yang kuat. Ketika pengaruh Mak Buyung menerpa, Dasima pun dengan cepat
berpaling dari pendiriannya. Ia menaruh harapan kepada lelaki lain yang dianggapnya
sebagai malaikat penolong.
Ketika ia berhasil mendapatkan impiannya, Dasima berbalik merasa kecewa.
Malaikat penolong yang diharapkannya itu ternyata tidak lebih dari sesosok iblis. Materil
dan moril Dasima dibuatnya tersiksa. Perkawinan kedua itu tidak mampu menjadi
pengobat jiwanya yang labil. Malahan, Dasima harus membayarnya dengan sangat
mahal.
3. Penutup
Pernikahan yang dilakoni oleh kedua tokoh tadi, yaitu Gadis Pantai dan Nyai
Dasima kelak di kemudian hari menjadi pangkal pengundang masalah. Gadis Pantai
dengan perkawinan sejenak yang dilakoninya membuatnya kehilangan segalanya, cinta
dan belahan jiwanya. Ia kehilangan haknya sebagai seorang istri dan ibu. Ia laksana
setitik debu ditengah amukan gelombang hidup, nyaris tenggelam dan tersingkirkan.
Perkawinan yang tidak pernah ia kenali awal dan akhirnya itu telah membawanya ke
alam mimpi yang indah dan buruk sekaligus.
Dasima dengan perkawinannya itu telah melambungkan dirinya hingga menjadi
symbol kemakmuran dalam pandangan wanita pribumi kebanyakan yang hanya dapat
bermimpi sebagai seorang “putri”. Namun, hasutan yang berhembus dari pihak luar telah
memalingkan nuraninya hingga ia bertekad meninggalkan mimpi indahnya itu. Dasima
seolah mengejar fatamorgana yang dalam pandangannya jauh lebih indah dan damai
daripada kehidupan gemerlapnya saat itu. Namun, pilihan itu sangat meleset. Ia
terjerumus ke dalam perangkap mimpi buruk berakhir pada ujung nyawanya.
Perkawinan ala Gadis Pantai dan Nyai Dasima bukan hanya terjadi pada saat itu
saja, melainkan pada masa kini. Banyaknya kaum pendatang yang membutuhkan
pelampiasan kebutuhan biologisnya, tetapi tidak ingin terikat dengan perkawinan seumur
hidup telah membuka peluang terjadinya perkawinan sementara atau nikah mut’ah.
Faktor ekonomi yang telah lama mendera masyarakat kebanyakan mendorong terbukanya
pintu “peluang bisnis” yang menggiurkan ini. Bukan tidak mungkin perkawinan tersebut
malah menorehkan kebanggaan bagi pelaku maupun keluarganya karena landasan materi
Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

9

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
dan gengsi sosial yang “terangkat” dari masyarakat kebanyakan. Sebagian dari pelaku
tidak menyadari bahwa perkawinan tersebut justru telah membuatkan terhina dan tersudut
serta mengundang masalah dikemudian hari. Masalah yang kemudian timbul, antara lain,
terjadi ketika perkawinan tersebut berakhir. Bukan tidak mungkin pihak istri dan anak
terlantar dengan status yang tidak jelas, terlebih bila perkawinan tersebut dilakukan
dengan cara “di bawah tangan”. Bukan hal yang aneh bila perkawinan tersebut dilakukan
dengan serentetan perjanjian yang terkadang cukup menyiksa batin, misalnya, dilarang
hamil selama masa perkawinan. Jika terjadi kehamilan, pihak wanita hanya dihadapkan
pada dua pilihan sulit, yaitu (1) meneruskan kehamilan dengan resiko perkawinan
berakhir lebih cepat dan tanpa kompensasi apa pun atau (2) perkawinan diteruskan sesuai
perjanjian yang berlaku tetapi kehamilan harus dibatalkan atau janin digugurkan.hal itu
tentu akan menambah maraknya masalah baru, yaitu peningkatan jumlah tindakan aborsi
illegal.
Kawin kontrak atau nikah mut’ah tidak dibenarkan baik secara hukum maupun
agama. Perkawinan seperti itu hanya untuk menutupi perbuatan seks bebas. Kebutuhan
biologis para ekspatriat yang notabene jarang membawa istri atau keluarganya seolah
dilegalkan dengan perkawinan tersebut. Perkawinan tersebut tidak lebih dari perbuatan
asusila terselubung yang dibatasi dengan pernjanjian tertentu dan batas waktu. Niat
perkawinan tersebut tidak dilandasi keikhlasan. Nilai kesakralan pun menghilang dan
tersisa adalah pelecehan terhadap kaum hawa. Wanita yang bersedia melakukan
pernikahan tersebut sama dengan melakukan pelecehan terhadap dirinya sendiri. Untuk
itu, perkawinan tersebut sudah seharusnya tidak dibiarkan agar tidak terjadi kesulitan dan
kesempitan hidup pada masa yang akan datang.
4. Daftar Pustaka
Ali, Rahmat. 2000. Nyai Dasima. Jakarta: PT Grasindo.
Ananta Toer, Pramoedya. 2005. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.
Anshari A.Z., H.A. Hafizh, et al.1994. Ensiklopedi Islam jilid 3 (Kal—Nah). Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve.

Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

10

Dasima dan Gadis Pantai: Potret Perkawinan Bermasalah dalam Sastra
Hayati, Istiqomatul. 2007. Meretas Nestapa Sampai ke Taiwan. Kumpulan artikel tentang
sangjitan (perjodohan perempuan warga keturunan Indonesia dan pria Taiwan)
dalam Tempo edisi 7 Januari 2007. Jakarta: PT Tempo Inti Media Tbk.
Jalu. 2005. Menikah di Bawah Tangan Sangat Merugikan Perempuan. Artikel dalam
lembaran Hikmah harian umum Pikiran Rakyat Minggu edisi 3 Juli 2005,
halaman 13. Bandung: CV Granesia.
Jalu, et al. 2004. Kawin Kontrak Tidak Sesuai Aturan Agama Maupun Negara. Artikel
dalam lembaran Hikmah harian umum Pikiran Rakyat Minggu edisi 29
Februari 2004, halaman 13. Bandung: CV Granesia.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2005. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bandung: CV Nuansa
Aulia.

Resti Nurfaidah, S.S.
Balai Bahasa Bandung

11