FUNGSI DAN KEDUDUKAN Dan PANCASILA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA
A.

Pancasila Sebagai Dasar Negara

Secara formal pancasila dapat dikatakan sebagai sebagai dasar negara. Dasar negara
merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada
berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan
yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah
hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar
pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Suatu bangsa tidak akan dapat berdiri dengan kokoh tanpa dasar negara yang kuat dan tidak dapat
mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang akan dicapai tanpa Pandangan Hidup. Dengan adanya
Dasar Negara, suatu bangsa tidak akan terombang ambing dalam menghadapi permasalahan baik yang
dari dalam maupun dari luar. Pancasila Sebagai Dasar Negara tentunya memiliki fungsi yang sangat
penting. Fungsi Pancasila Adalah sebagai berikut:
 Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, artinya Pancasila lahir bersama dengan lahirnya bangsa

Indonesia dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah
lakunya sehingga dapat membedakan dengan bangsa lain.

 Perjanjian Luhur artinya Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara tanggal

18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia).
 Sumber dari segala sumber tertib hukum artinya; bahwa segala peraturan perundang- undangan

yang berlaku di Indonesia harus bersumberkan Pancasila atau tidak bertentangan dengan
Pancasila.
 Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur

yang merata materiil dan spiritual yang berdasarkan Pancasila.
B.

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Negara

Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu
wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur.
Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama,
lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari, dengan kata lain
Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup di segala bidang. Tingkah

laku dan tindakan perbuatan setiap warga negara Indonesia harus dilandasi dari semua sila Pancasila,
karena Pancasila adalah satu kesatuan dan tidak dapat dilepas-pisahkan dari yang satu dengan yang lain.
Pancasila yang harus dihayati dan dijadikan pandangan hidup bangsa dan negara adalah
Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, dengan demikian jiwa beragama (sila

1

pertama), jiwa berperikemanusiaan (sila kedua), jiwa berkebangsaan (sila ketiga), jiwa berkerakyatan
(sila keempat), dan jiwa yang menjunjung tinggi keadaan sosial (sila kelima).
C.

Pancasila sebagai Ideologi Negara

Yang dimaksud dengan istilah Ideologi Negara adalah kesatuan gagasan-gagasan dasar yang
sistematis dan menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya baik individual maupun sosial dalam
kehidupan kenegaraan. Ideologi negara menyatakan suatu cita-cita yang ingin dicapai sebagai titik
tekanannya dan mencakup nilai-nilai yang menjadi dasar serta pedoman negara dan kehidupannya.
Pancasila sebagai ideologi negara dengan tujuan segala sesuatu dalam bidang pemerintahan
ataupun semua yang behubungan dengan hidup kenegaraan harus dilandasi dalam hal titik tolak
pelaksanaannya, dan diarahkan dalam mencapai tujuannya dengan pancasila. Dengan menyatukan citacita yang ingin dicapai ini maka dasarnya adalah sila kelima, ingin mewujudkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia, yang dijiwai oleh sila-sila yang lainnya sebagai kesatuan.
Di dalam Pancasila telah tertuang cita-cita, ide-ide, gagasan-gagasan yang ingin dicapai bangsa Indonesia.
Oleh karena itu Pancasila dijadikan Ideologi Bangsa.
Ideologi Terbuka dan Ideologi Tertutup
Ideologi Terbuka merupakan suatu sistem pemikiran terbuka sedangkan ideologi tertutup merupakan
suatu sistem pemikiran tertutup.
Ciri khas Ideologi tertutup :
1.
ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan cita-cita satu kelompok
orang yang mendasari suatu program untuk mengubah dan membaharui masyarakat. Hal ini berarti demi
ideologi masyarakat harus berkorban untuk menilai kepercayaan ideologi dan kesetiaannya sebagai warga
masyarakat.
2.
Isinya bukan hanya berupa nilai-nilai dan cita-cita tertentu melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan
konkret dan operasional yang keras.
Ciri khas ideologi terbuka :
1.
nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari suatu
kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat itu sendiri.
2.


dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah.

3.

tidak diciptakan oleh negara melainkan digali dan ditemukan masyarakat itu sendiri.

4.
Isinya tidak operasional. Menjadi operasional ketika sudah dijabarkan ke dalam perangkat peraturan
perundangan.
Jadi ideologi terbuka adalah milik seluruh rakyat dan masyarakat dalam menemukan dirinya,
kepribadiannya di dalam ideologi tersebut.

2

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi terbuka maksudnya adalah Pancasila bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan
senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai suatu ideologi terbuka, Pancasila
memiliki dimensi :
1.

Dimensi idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pancasila yang bersifat sistematis
dan rasional yaitu hakikat nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila.
2.
Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem
norma, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
3.
Dimensi realistis, harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Oleh karena itu Pancasila harus dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga bersifat
realistis artinya mampu dijabarkan dalam kehidupan nyata dalam berbagai bidang.
Keterbukaan Pancasila dibuktikan dengan keterbukaan dalam menerima budaya asing masuk ke
Indonesia selama budaya asing itu tidak melanggar nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila.
Misalnya masuknya budaya India, Islam, barat dan sebagainya.
D.

Pancasila sebagai Pemersatuan Bangsa

Dalam kehidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam adat dan budaya, pada dasarnya setiap
adat budaya telah mengamalkan juga kelima unsur Pancasila sehingga dapat dinyatakan berpancasila
dalam adat budaya. Di samping itu, di dalam kehidupan beragamapun telah mengamalkan juga kelima
unsur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Setiap agama di Indonesia pada dasarnya mengajarkan

berketuhanan, mengajarkan juga tentang kemanusiaan dan menumbuhkan rasa persatuan dan keadilan.
Jadi semua bentuk agama apapun di Indonesia telah mengamalkan Pancasila sehingga dalam kehidupan
beragama ada rasa persatuan dan saling menghormati antar umat beragama.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam-macam suku pun bukan menjadi suatu
pembeda bagi warga negara Indonesia, justru ini dijadikan nilai positif bagi Indonesia sebagai negara
yang beragam suku dan budaya. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya walaupun berbeda-beda
tetapi tetap satu jua adalah prinsip kuat bangsa Indonesia walaupun Indonesia adalah bangsa majemuk
yang multi agama, multi bahasa, multi budaya dan multi ras.

3

Pancasila di Era Antroposen
Pada awal tahun 2000, muncul term baru dalam wacana geologi, yakni Antroposen. Term
tersebut digagas pertama kali oleh Paul Crutzen dan Eugene Stoermer dalam artikel di jurnal Nature.
Menurut mereka, saat ini aktivitas manusia telah mengubah bumi secara fundamental, sehingga kini Bumi
tak lagi ada pada era Holosen, era yang paling terkini dalam skala waktu geologis. Kita saat ini ada di
Antroposen, kata mereka. Crutzen dan Stoermer (2000: 18) menyatakan, “It seems to us more than
appropriate to emphasize the central role of mankind in geology and ecology by proposing to use the term
“anthropocene” for the current geological epoch.”
Kini, term Antroposen telah begitu populer dibicarakan di kalangan akademisi, seniman, hingga

jurnalis. Perubahan yang diindikasikan dari term Antroposen tidak bisa dipahami secara sempit bahwa
manusia mengubah alam. Manusia pada dasarnya sudah mengubah alam sejak manusia masih
menggunakan metode bertahan hidup dengan berburu meramu. Yang menjadi catatan penting adalah
bahwa perubahan akibat aktivitas manusia sangat besar sehingga bumi berubah secara fundamental.
Meski begitu, Antroposen juga tak bisa dipahami sebagai masa di mana manusia menguasai alam.
Justru, Antroposen menunjukkan suatu krisis yang berasal dari ketidaksengajaan manusia. Parahnya,
krisis ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimitigasi. Sebab, efek dari apa yang terjadi saat ini akan
terus ada hingga beberapa milenia ke depan. Hal yang lebih mengerikan adalah: kita tak tahu apa yang
akan terjadi di masa depan. Kita memasuki apa yang disebut Crutzen sebagai terra incoginita, tanah tak
terjamah. Menurut Steffen, dkk. (2016), kita tak tahu apa yang akan terjadi jika memang kita telah
melewati Holosen. Bisa jadi suhu bumi makin panas, permukaan laut naik membanjiri kota-kota, hewanhewan punah, dan kita tak tahu bagaimana bumi akan menyesuaikan diri.
Mengapa wacana mengenai antroposen ini menjadi penting untuk dibahas? Mengutip pendapat
Davies (2016: 5), Holosen menjadi penting bagi manusia, sebab itulah satu-satunya epos geologis yang
memungkinkan manusia membangun peradabannya hingga sampai saat ini. Jika kita sudah tak lagi
berada dalam masa Holosen, maka kita mesti mempertimbangkan kembali bagaimana tatanan masyarakat
manusia modern (yang bergantung pada Holosen). Kita mesti, mau tak mau, menyadari bahwa keadaan
ekologis Bumi ini berubah. Untuk itu, jika manusia dan segala tatanan politiknya hendak bertahan dalam
kondisi yang tak diketahui masa depannya ini, refleksi ulang perlu dilakukan.
Dalam artikel ini, saya mengajak pembaca untuk berrefleksi bersama mengenai Pancasila dan
konteksnya di era Antroposen. Bagaimana mestinya Pancasila menanggapi wacana Antroposen? Ini

adalah pertanyaan besar saya. Mengapa bukan Antroposen dipandang dari perspektif Pancasila? Atau
dalam kata lain, Pancasila digunakan sebagai genetivus subjectivus, seperti dikatakan oleh Notonagoro.
Menurut saya, dalam konteks Antroposen, Pancasila tidak bisa dipandang sebagai genetivus subjectivus.
Antroposen lebih besar dari Pancasila, sebab bagaimana bisa Pancasila ada di Bumi ini jika manusia
Indonesia mati karena terkena dampak-dampak Antroposen? Maksudnya, Bumi adalah entitas yang
necessary untuk Pancasila. Maka, jika ada perubahan fundamental pada Bumi, tentunya tak bisa Pancasila
digunakan sebagai pisau bedah terhadap fenomena tersebut, sebab Pancasila mengandaikan keadaan
Bumi Holosen.
4

Lalu, bagaimana mestinya Pancasila menanggapi wacana Antroposen? Bagi saya, ini adalah
pertanyaan yang sulit. Pasalnya, Pancasila dirumuskan pada tahun 1945 dimana wacana mengenai
dampak aktivitas manusia terhadap alam belum menjadi wacana populer. Baru pada era ’90-an perhatian
mengenai problem ekologis menyebar ke berbagai pihak. Bahkan, berdasarkan artikel Steffen, dkk.
(2011), komunitas ilmiah baru menyatakan bahwa iklim bumi memanas akibat aktivitas manusia pada
2001. Pada sekitar periode ‘40-an, diskursus mengenai ekologi justru hanya berkembang di Nazi Jerman
(Biehl & Staudenmaier, 1995).
Dari fakta di atas, patut dimaklumi jika jika saat itu para founding fathers kita memikirkan
mengenai kondisi politik, sosial, dan ekonomi, tapi tidak dengan ekologi. Kala itu, memang hal-hal itulah
yang mesti dipikirkan: bagaimana membangun kohesi di tengah masyarakat yang beragam, bagaimana

menyusun pemerintah yang demokratis, bagaimana memastikan tiap rakyat bisa hidup dengan sejahtera,
dan sebagainya. Namun, jika kita hadapkan dengan konteks sekarang, kita punya problem tambahan. Halhal yang saya sebutkan tadi tentu masih menjadi problem yang mesti diselesaikan, tapi ada satu problem
lain yang muncul dan mesti diperhatikan, yakni Antroposen.
Menurut saya, jelas, sekarang kita dihadapkan pada realitas yang berbeda dengan saat pertama
kali Pancasila dirumuskan. Kita, sebagai bangsa, mesti merumuskan kembali philosophisch groundslaag
yang kita anut. Pancasila, secara eksplisit dalam sila-silanya maupun implisit, tidak mengandung unsur
atau sensibilitas mengenai “alam” dan problem ekologis yang kita hadapi saat ini.
Memang iya, Soekarno dalam Pidato 1 Juni menyebut mengenai kesatuan orang dan tempat.
Namun, menurut saya, itu hanya dalam konteks geopolitik untuk menyadarkan kesatuan wilayah
Indonesia. Soekarno berkata (Alam: 2001):
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan
tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian,
persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di
bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya
memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat
karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat
itu?
Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia,
menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana”kesatuan-kesatuan”

disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan
Indonesia merupakan satu kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang
besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia.
Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira,
Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan.

5

Menurut saya, penjabaran Soekarno mengenai persatuan antara orang dan tempat erat konteksnya
dengan pembahasan geopolitik. Pada titik itu, menurut saya, Soekarno menunjukkan bahwa orang
Indonesia dari bergam pulau ini adalah satu kesatuan. Tak ada muatan ekologis dalam pernyataan
Soekarno tersebut. Maka, saya mau tak mau harus berkata: jika ditilik wacana mengenai keharusan untuk
menjaga “Alam” dalam Pancasila maupun perumusannya, bisa dikatakan nihil.
Meski begitu, Ini bukan berarti bahwa kita mesti meninggalkan Pancasila. Sebaliknya, justru
dengan refleksi kembali atas Pancasila kita bisa menguri-uri Pancasila. Di titik inilah kita bisa memaknai
Pancasila sebagai ideologi terbuka. Sejauh mana Pancasila bisa dinamis dalam menghadapi tantangan
yang luar biasa ini. Kita sebagai suatu generasi mestinya tidak hanya tunduk zakelik terhadap apa yang
sudah ada, tapi aktif memikirkan apa yang harusnya menjadi concern bangsa kita. Pancasila pada
dasarnya adalah suatu persetujuan, sebuah common denominator. Seperti dikatakan Soekarno dalam

pidato 1 Juni-nya:
“…kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari
persatuan philosophischegrondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju. Saya
katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr.
Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua
mencari satu modus….Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal
yang kita ber-sama-sama setujui.” (Alam: Ibid)
Bukankah problem yang kita hadapi ini problem bersama? Bukankah ini saatnya kita mencari
persetujuan di antara kita mengenai bagaimana Indonesia, sebagai bangsa dan negara, menghadapi hidup
di masa Antroposen? Jika Soekarno dan kawan-kawannya mencari persetujuan mengenai problem yang
dihadapinya saat itu, kita pun mesti mencari persetujuan mengenai problem yang kita hadapi.
Di titik ini, saya kira sudah jelas bahwa dihadapkan dengan Antroposen, Pancasila mesti kita
refleksikan ulang. Namun, saya tak tahu jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan sendiri. Apakah perlu
ditambahkan sila baru? Atau, perlukah Pancasila dirumuskan ulang secara total? Saya tidak bisa
menjawab. Satu hal yang bisa saya katakan ialah: kita tidak bisa diam saja. Pancasila mesti kita pikirkan
kembali masa depannya. Harapan saya adalah bahwa artikel ini bisa memunculkan satu problem baru
yang bisa memantik diskusi.

6

Pancasila Sebagai Sumber Kecerdasan Ideologis
Bangsa Indonesia

Ada berbagai jenis kecerdasan diajukan para pakar seperti Gardner yang melontarkan The
Theory of Multiple Intelligences. Gardner menyebutkan ada kecerdasan linguistis, logis, spasial, gerak
ragawi, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Di antara jenis-jenis kecerdasan yang
dikemukakan Gardner tersebut, maka kecerdasan interpersonal dan intrapersonal sesungguhnya sudah
tercakup ke dalam kecerdasan ideologis. Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan menjalin
hubungan dengan orang lain, hal ini diperlukan dalam kecerdasan ideologis, karena kehidupan berbangsa
membutuhkan kebersamaan (Mitsein). Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan mengungkapkan
jadi diri, hal ini diperlukan dalam kecerdasan ideologis sebagai bentuk kepercayaan diri suatu bangsa
dalam pergaulan antar bangsa.
Ketika Daoed Joesoef mengetengahkan nasionalisme dalam bentuk rasa cinta tanah air, maka
dikemukakan ada 3 jenis pemahaman seseorang tentang tanah air, yaitu tanah air secara fisik, formal, dan
mental. Pemahaman tentang tanah air dalam arti mental merupakan seperangkat nilai-nilai ideologis yang
memengaruhi ruang kesadaran warga negara, sehingga sikap mental dalam berbangsa dan bernegara
diwarnai nilai-nilai tersebut. Dalam konteks ideologi Pancasila, maka nilai ketuhanan, kemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan seyogyanya mewarnai sikap mental setiap warga negara Indonesia.
Cinta tanah air merupakan salah satu jenis kecerdasan ideologis, karena menyangkut kemampuan
seseorang atau warga negara untuk memiliki keterikatan atau keterlibatan secara fisik, formal, dan mental
dengan negaranya.
Kecerdasan ideologis juga memuat jenis kecerdasan simbolis yakni kemampuan untuk
memahami dan menerapkan simbol-simbol kehidupan bernegara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Simbol negara seperti burung Garuda yang memuat sesanti Bhinneka Tunggal
Ika seyogyanya dipahami setiap warga negara sebagai simbol pemersatu bangsa dalam keanekaragaman.
Konflik yang mengatasnamakan agama, etnis, dan kelompok yang terjadi di Indonesia belakangan ini
lebih banyak ditimbulkan oleh rendahnya kecerdasan simbolis.
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang mengalami krisis ideologis yang diakibatkan berbagai
faktor seperti: hipertekstualitas, hipermodernisme, hiperealitas. Hipertekstualitas, yaitu sistem teks yang
saling terkait, sehingga seorang pemakai komputer bisa berpindah dari satu teks ke teks lainnya.
Perpindahan dari satu teks ke teks lainnya dalam dunia internet dimungkinkan dengan ditemukannya
hyperlinks, yaitu bagian dari suatu dokumen yang bisa dihubungkan dengan dokumen-dokumen lain yang
terkait. Ketika sebuah hyperlink diklik, maka si pengguna segera terhubung dengan dokumen yang
ditunjukkan oleh tautan itu. Hipertekstualitas menurut Danesi, memungkinkan seorang pengguna untuk
berselancar melalui berbagai topik yang terkait tanpa melihat urutan tampilan topik (Danesi, 2010: 203).
Di satu pihak hipertekstualitas dapat mempermudah masyarakat pengguna untuk mencari dan
menemukan tema dan topik yang diinginkan dalam teks-teks di dunia maya, namun di pihak lain
keterbukaan informasi menjadikan masyarakat sulit membedakan mana teks yang berkualitas mana yang
7

tidak dalam mendukung bidang pendidikan. Dewasa ini banyak bermunculan informasi sampah (garbage
information) berupa rumor politik, gosip yang mengungkap sisi kehidupan pribadi ke ruang publik,
dan informasi yang menyesatkan dan membingungkan masyarakat, sehingga
berdampak ke cara berpikir masyarakat pula.
Hipermodernisme menurut Haryatmoko adalah upaya untuk mencapai
puncak modernisme melalui globalisasi liberalisme, komersialisasi gaya hidup, dan
eksploitasi rasio instrumental yang berlebihan. Beberapa ciri hipermodernisme
seperti: radikalisasi modernitas yang diamati dari hubungan antara perubahan
tekno-ekonomi dan struktur politik kekuasaan, pribadi yang sangat individualis
masuk dalam putaran globalisasi ekonomi yang dikuasai hukum pasar, dikondisikan
oleh waktu yang semakin cepat dan padat, pencarian kepuasan langsung dengan
menyingkirkan norma kolektif, makna disekat menjadi makna disini dan sekarang
(hic et nunc), kebahagiaan pribadi menggantikan tindakan kolektif (Haryatmoko,
2009: 8). Krisis ideologis dalam hal ini terutama terlihat pada pencarian kepuasan
langsung dengan menyingkirkan norma kolektif, sehingga tidak ada lagi nilai
kebersamaan yang menjadi standar hidup bersama. Hal ini mulai terlihat dalam
fenomena kehidupan di Indonesia yang lebih mengagungkan pencarian kepuasan
dalam bentuk materi, sehingga tidak lagi menghargai norma kolektif bangsa.
Hiperealitas adalah suatu bentuk pengungkapan realitas melalui bahasa
secara berlebihan, sehingga sulit untuk membedakan antara kebenaran dengan
kebohongan. Eco seorang pakar semiotika kontemporer menegaskan bahwa
semiotika terdapat di dalam prinsip disiplin dalam mempelajari segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk
mengatakan kebohongan, sebaliknya disiplin tersebut juga tidak dapat digunakan
untuk mengatakan kebenaran: sehingga kalau demikian halnya, semiotika tidak
dapat digunakan untuk memberitahukan apapun (Eco, 1976: 7). Krisis kejujuran
terjadi dalam kehidupan politik di Indonesia, sehingga masyarakat sulit
membedakan mana pihak yang benar dan mana pihak yang berdusta.

8

9