KONSELING INDIGENOUS REKONSTRUKSI DAN KONSEL

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
1

Padang, 19-20 Maret 2016

KONSELING INDIGENOUS: REKONSTRUKSI KONSELING DI
TENGAH KERAGAMAN BUDAYA
Itsar Bolo Rangka
itsar@konselor.org
Universitas Indraprasta PGRI - Jakarta
ABSTRACT
This article aims to give a new perspective of counseling in the midst of cultural diversity,
particularly in Indonesia. Multicultural counseling at this time is not only understood as a
cultural entity encounters (counselor and client), but more than that, currently counseling
has begun to be developed and designed (indigenization) based on human studies in which
they were born and/or staying. Indigenous counseling movement growing so rapidly, along
with practitioners and expert counseling awareness related to existence of barriers to
applied counseling theories derived from Western Countries paradigm toward clients from
non-Western countries. Associated with it, counselor must appears contextually required in
applying appropriate counseling with historical background, view of life, values, culture,
religion, beliefs, and social-economic of client. As a nation that has a diversity of tribes

and cultures, Indonesia is a heaven for study counseling especially for native peoples. It is
necessary to provide contribution towards theoretical framework and practices needs in
cultural diversity.
Keywords: Indigenous Counseling, Indigenization, Cultural Diversity, Native Peoples
© 2016 Published by Panitia SBK 2016

PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri, bahwa upaya
membangun kehidupan sosial-kemasyarakatan
hanya dapat dilakukan melalui artikulasi
masyarakat itu sendiri dengan tempat di mana
mereka tinggal (Tyson, 2010). Dalam konteks
konseling, keterlibatan konselor untuk dapat
membantu
klien dalam
mengartikulasikan
kehidupan sosial-kemasyarakatannya dilakukan
dengan berbagai macam pendekatan konseling.
Yang terbaru, dan hampir menjadi topik utama
dalam kajian konseling, adalah pendekatan

multikultural konseling, yang dimaknai sebagai
semua konseling yang dilakukan (antara konselor
dengan klien) lintas budaya atau dimensi (teori dan
praktik) konseling yang terikat dengan budaya
(lihat --- Sue & Sue, 2008; Lee & Park, 2013;
Westbrooks, 2013). Agaknya kajian tersebut
“menggairahkan” jika di tempatkan ke dalam
masyarakat Indonesia yang dikenal pluralism.
Permasalahan
pertama,
adalah
praktik
konseling dianggap “konseling yang baik” apabila
dipraktikkan sesuai dengan tata aturan atau

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

pandangan konseling “orang kulit putih” (White
Euro-American); tempat konseling berasal (Sue &
Sue, 2008; Fuller, 2013). Hal ini tentu (bagi

penulis) tidak mengagetkan, mengingat sejak awal
(dipelopori Frank Parson tahun 1908) teori dan
praktik
konseling
(psychodynamic
theory,
cognitive behaviour theory, dan existential–
humanistic theory) yang berkembang di dunia
(juga termasuk di Indonesia) sebahagian besar
diwarnai oleh paradigma pengetahuan dari barat
(Western Knowledge) (lihat --- Prayitno, 2007;
McLeod, 2009; Neukrug, 2012). Western
knowledge adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan paradigma pengetahuan dominan
masyarakat barat, utamanya Eropa. Jika dirunut ke
belakang, maka sumbernya berasal pemikiran
filsafati Hippocrates (460–377 SM), Plotinus
(205–270 M), Descartes (1596–1650 M), John
Locke (1632–1704 M) dan James Mill (1773–1836
M) (lihat --- Neukrug, 2012). Dimana pada

pergeseran antarperiode filsafat barat, ditemukan
kenyataan bahwa satu periode mengungguli dan
menaklukkan periode filsafat yang sebelumnya,
dan pandangan “penakluk” yang menang kelak

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
2

Padang, 19-20 Maret 2016
menjadi pandangan “baru”; pandangan arus-utama
dalam alur sejarah berikutnya. Jika dibandingkan
dengan pandangan ketimuran atau non-european—
sebut saja Indonesia—tentu sangat jauh bahkan
tidak menyentuh pergulatan filsafat antarperiode
sebagaimana yang terjadi di Barat (Hidayat, 2010).
Mengacu pada hal tersebut, pertanyaan mendasar
pertama yang dapat (penulis) ajukan terkait uraian
tersebut adalah bagaimanakah “konseling yang
baik” menurut ukuran “orang Timur” itu?
Permasalahan kedua, adalah seiring dengan

kesadaran para konselor profesional (sejak tahun
1970-an) tentang adanya hambatan terkait dengan
aplikasi teori-teori konseling dari Western
Countries terhadap klien-klien non-Western
countries (Ha Chong & Hung-Yi, 2002).
Kemudian disusul dengan terjadinya “ledakan
besar” dari pendokumentasian terkait topik-topik
spiritualitas dan agama dalam teori dan praktik
konseling sejak pertengahan tahun 1990-an
(Joseph, Stewart & Wairimu, 2012). Yang pada
akhirnya, secara massive memicu gerakan
indigenous yang dipelopori para pakar indigenous
psychology (di Jepang, Korea, Taiwan, China,
Philiphina) yang mengkaji pendekatan untuk
memahami manusia difokuskan pada studi tentang
perilaku dan pemikiran manusia yang asli, tidak
berasal dari daerah yang lain, melainkan didesain
dari, oleh, dan untuk orang-orang di daerah
tersebut (lihat --- Gergen, 1996; Kim & Berry,
1993; Berry, et., al, 2002; Kim, Kuo-Sung, &

Kwang-Kuo, 2006; Moordiningsih, 2009; Bang
Peng, 2012; Morris, 2014), maka agaknya
kesadaran pengkajian konseling yang “berbau”
indigenous di Indonesia masih minim. Mengacu
pada hal tersebut, pertanyaan mendasar kedua
yang dapat (penulis) ajukan terkait uraian tersebut
adalah apakah ada perbedaan “semangat” dan
“kesadaran” kajian keilmuan konseling di
Indonesia dengan bangsa lain? atau memang
Indonesia “kurang bahan” untuk menyajikan “keIndonesia-annya ke kancah percaturan ilmu
pengetahuan (khususnya konseling) global?
Kedua pertanyaan mendasar di atas setidaknya
harus di jawab oleh insan konseling Indonesia
yang membawa semangat perubahan zaman. Lago
(2006) telah mengingatkan bahwa salah satu
tantangan terbesar dalam konseling, yaitu konselor
dituntut memiliki kemauan dan kemampuan untuk
menjelajahi asal-usul budaya dan ras mereka
sendiri. Tantangan itu bersifat sustainable
development, yaitu istilah yang dipakai secara

khusus untuk mejelaskan bertemunya antara
kebutuhan dasar manusia, dengan kemampuan
yang dimiliki manusia untuk menjawab persoalan
kehidupan saat ini dan masa yang akan datang
(MacPherson, 2011). Dalam konteks “orang timur”
kebutuhan yang dimaksud bukan hanya bersifat
materiil, melainkan juga non-materiil. Hal ini

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

menegaskan para konselor harus bekerja lebih
keras lagi, utamanya ketika konselor bekerja di
ruang publik yang multikultural, guna merespon
kebutuhan perkembangan zaman.
Patut untuk digarisbawahi, bahwa pengujian
secara empirik (empirical research), dan/atau
pemecahan masalah praktik (solving practical
problems) konseling yang berasal dari paradigma
konseling Western Countries tidak dapat
digunakan sepenuhnya untuk menafsirkan,

menangani, atau menjelaskan fenomena perilaku
masyarakat non-Western countries (Constantine,
et., al, 2004; Sue & Sue, 2008; Hwang, 2010).
Masih terdapat bias-bias kebudayaan (orientalis
dan euro-americansentris) yang sesungguhnya
secara budaya sangat jauh berbeda dengan kondisi
dan alam kebatinan masyarakat Indonesia.
Meskipun demikian, artikel ini tidak bermaksud
untuk “mendiskreditkan” paradigma konseling
yang berasal dari Western Countries. Artikel ini
berusaha untuk memberikan sudut pandang “baru”
dalam melihat konseling (khususnya multikultural
konseling) dari “kacamata” orang pribumi; yang
lebih etnosentrik; dan murni dari pikiran dan
perasaan yang lahir dari masyarakat lokal, yang
telah turun temurun di wariskan dari generasi ke
generasi. Dalam hemat penulis, diperlukan
rekonstruksi atau pembangunan ulang (KBBI,
2008) teori atau praktik konseling dalam konteks
keragaman budaya. Hal ini menjadi penting

mengingat budaya ketimuran atau non-european
memiliki pemahaman tersendiri dan bersifat unik
terhadap unsur-unsur spiritualitas dan kebudayaan
(Ren, 2012). Berkaca pada kondisi tersebut, maka
mungkin saja benar apa yang disebutkan oleh
Corey (2013), yaitu sangat mudah untuk
menyimpulkan bahwa konseling pada praktiknya
ditengah keragaman budaya dan masyarakat akan
sulit menemukan bentuk idealnya. Tentunya
keabsahan dari sudut pandang keilmuan konseling
yang penulis sajikan dalam artikel ini sangat
terbuka untuk diuji secara empirik hingga pada
akhirnya menjawab perubahan zaman.

PEMBAHASAN
Manusia Indigenous Indonesia: Masa lalu di
Masa Kini
Isu pluralism masyarakat dan kebudayaan di
Indonesia selalu terkesan “seksi” dalam pandangan
penulis. Alasan yang mendasarinya, yaitu

pluralism yang merupakan bagian dari pemikiran
konstruktivisme memiliki dua sisi, yaitu: (1) sisi
terang, yang menjanjikan kebebasan bangsa dari
“cengkraman”
era
kolonialisme,
sehingga
memberikan peluang besar bagi bangsa untuk
membangun jati-dirinya sebagai bangsa yang

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
3

Padang, 19-20 Maret 2016
demokratis
dan
kuat
yang
berbasis
multikulturalisme, dan; (2) sisi gelap, yaitu potensi

terbelokkannya makna konstruktivisme sehingga
membuka ruang bagi terciptanya kondisi yang
destruktif, karena ketidakjelian bangsa dalam
menangkap kesempatan yang ada, perilaku anak
bangsa yang tidak berkarakter-cerdas, dan terjadi
“kegamangan” dalam mengadopsi semangat
perubahan dan kontestasi yang berlangsung
semakin cepat. Akibatnya, adalah ketergantungan
baru bangsa kita kepada pengetahuan dari dunia
luar. Sisi gelap ini dapat menjadi nyata terlebih
jika selama ini kita sangat kurang memperhatikan
dimensi filosofi dasar—secara eksplisit penulis
menyebutnya sebagai dimensi sosial-budaya—
dalam pembangunan bangsa.
Kartodirjo (1968) menyatakan bahwa “masa
sekarang ini sebenarnya tidak lain dari kelanjutan
atau perpanjangan dari masa lampau yang dalam
berbagai bentuk masih tampak di tengah-tengah
kita. Bermacam-macam keadaan dan persoalan
dewasa ini, tidak mungkin dimengerti betul-betul
kalau tidak diketahui latar belakang historisnya,
ialah asal mulanya dan perkembangannya pada
waktu yang lalu”. Dalam perjalanannya, agama
dan kebudayaan di Indonesia sangat kompleks.
Keduanya berhubungan dengan manusia dan
bukan manusia (termasuk di dalamnya nonmaterial). Keduanya ada dan hidup di setiap
wilayah geografis yang tetap (Woodward, 2011).
Berbeda dengan kebudayaan Barat, kultur dan
peradaban asli Indonesia tidak mengenal
“sekularisme”. Ia lahir dari kultur dan peradaban
kosmik, di mana sekularisme kosmos belum juga
dikenal. Realitas masih bulat, satu, menyeluruh.
Realitas masih tremendum, sacrum, fascinasum,
sanctum. Dimana sains, filsafat, spiritualitas, seni,
kultur, peradaban, dan teknik masih berpadu dalam
naungan kesakralan (Hidayat, 2010). Hal-hal
tersebut sebahagian besar masih divisualisasikan
dan didapatkan hingga saat ini dalam masyarakat
indigenous Indonesia.
Istilah indigenous dapat diartikan sebagai
pribumi. Manusia indigenous, berarti manusia
pribumi; biasanya mengacu pada identitas orang
asli di daerah tertentu. Dalam perkembangannya
terkini, istilah indigenous biasanya diklasifikasi
dalam bentuk yang umum, yaitu etnis kesukuan
lokal Indonesia, misalnya orang Batak itu di
Sumetera Utara, orang Sunda itu di Banten dan
Jawa Barat, orang Minang di Sumatera Barat,
orang Bugis di Sulawesi Selatan, orang Muna dan
Buton di Sulawesi Tenggara, orang Dayak di
Kalimantan Tengah dan Barat. Istilah indigenous
juga digunakan sebagai pembeda antargolongan
masyarakat
yang
dianggap
sebagai
orang/suku/etnis asli Indonesia dengan mereka
yang dianggap sebagai "kaum pendatang".
Manusia indigenous, yaitu manusia yang masih

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

memegang teguh “adat sebenar-benarnya adat”
sebagai unsur utama kebudayaan. Dalam lintasan
waktu, masyarakat indigenous-lah yang paling
banyak menerima “penetrasi” peradaban asing,
meskipun demikian hanya masyarakat indigenous
pula yang tidak pernah berhasil ditaklukkan secara
sempurna oleh peradaban apapun yang pernah
mencoba untuk menaklukkannya (Hidayat, 2010).
Teori indigenous mencakup unsur-unsur
spiritual, emosi, mental dan fisik manusia yang
menjadi satu kesatuan utuh yang diakui
keberadaannya pada masa lalu, masa sekarang, dan
untuk masa yang akan datang (Absolon, 2010).
Manusia indigenous (di manapun berada) memiliki
kepercayaan yang kuat yang bersumber dari tradisi
turun-temurun mereka (Sue & Sue, 2008).
Berbagai ritual memiliki prinsip-prinsip yang
menjelaskan sistem keyakinan; mengapa suatu
upacara perlu dilakukan, siapa partisipannya,
bagaimana proses persiapan dan bentuk upacara itu
dilakukan secara tradisi memiliki aturan yang telah
disepakati bersama.
Sebagai contoh, pandangan hidup orang Jawa,
sebagian besar dipengaruhi oleh tradisi besar (the
big tradition), yaitu bersumber dari istana,
Surakarta dan Yogyakarta; dari karya sastra suci
(serat, tembang, dan semacamnya) yang
merupakan hasil karya para pujangga. Selain itu,
berasal dari ungkapan-ungkapan yang telah
menjadi pedoman hidup sebagian besar
masyarakat Jawa. Salah satu sumber terpenting
pandangan hidup Jawa adalah cerita dalam
pewayangan (Handoyo & Tijan, 2010). Contoh
lainnya, ritual Tuturangiana Andala yang
merupakan ritual yang dilakukan masyarakat
nelayan pulau Makassar pada saat musim paceklik
ikan di Buton; upacara cabut gigi dan tari ekstase
kecak di Bali; upacara tepung tawar dan seni silat
di Melayu; kesenian debus di Banten; upacara
mengayau kepala di Nias; tari saman di Aceh;
upacara perkawinan dan tari kuda lumping di Jawa
adalah aspek temporal Adat yang dapat
direinterpretasi, tapi makna-makna esensial, “isiisi” kesakralan, kandungan-kandungan spiritual
dari upacara tersebut, seperti keserasian kosmik,
kepatuhan pada hukum kosmik sakral-abadi, serta
kesadaran akan totalitas realitas sakral adalah
aspek universal Adat yang tak boleh diubah-ubah
dan bersifat aksiomatik (Hidayat, 2010).
Konseling Indigenous
Konseling indigenous erat kaitannya dengan
pemikiran, dan keyakinan-keyakinan dalam
praktik tradisional suatu masyarakat, baik secara
objektif maupun subjektif. Ruang subjektif
berkaitan dengan keunikan klien sebagai individu,
dan ruang objektif ruang berkaitan dengan struktur
budaya di mana individu itu berasal (Ha Chong &

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
Padang, 19-20 Maret 2016
Hung-Yi, 2002). Konselor harus bersedia untuk
belajar dan memiliki wawasan terkait model
“penyembuhan” yang berasal dari masyarakat
pribumi; paling tidak, konselor memfungsikan
dirinya sebagai fasilitator untuk menyediakan
dukungan sistem, dalam rangka “penyembuhan”
masyarakat pribumi (Sue & Sue, 2008).
Konseling indigenous, yaitu proses perbantuan
terhadap individu untuk menangani realitas dalam
kehidupan
sosial-kemasyarakatannya
terkini,
berdasarkan prinsip-prinsip dan praktik kehidupan,
kepercayaan, cara berfikir, dan pengetahuan lokal;
tempat individu itu tinggal dan/atau berasal (Berry,
et., al, 2002; Burke, Jane & Judith, 2005; Sue &
Sue, 2008; Leuthold, 2011). Pandangan terkait
prinsip-prinsip dan praktik berkehidupan di
Indonesia lebih dikenal dengan istilah kearifan
lokal, yang merupakan warisan nenek moyang
yang menyimpan nilai-nilai luhur yang tinggi.
Keberadaan sebuah tradisi, semisal upacara adat
(ritual) diyakini oleh masyarakat pendukungnya
sebagai warisan leluhur yang mempunyai makna,
nilai, dan fungsi tertentu. Sebagai media
pendidikan, upacara ritual siklus hidup banyak
memberikan hukum-hukum, nasihat, ataupun
perintah agar seseorang dan sekelompok orang
menjadi manusia yang baik (Sarmadan, 2013).
Kearifan lokal (local wisdom, local knowledge,
local indigenous), yaitu keseluruhan pengalaman,
baik gagasan, pandangan hidup, nilai, norma,
bahasa, maupun adat-istiadat yang dimiliki suatu
masyarakat, yang dianggap baik, dan dipakai
secara mentradisi dari satu generasi ke generasi
berikutnya; di tanah kelahirannya (Moordiningsih,
2009; Grayshield., et., al., 2010). Kearifan lokal
tersebut sebahagian besar ditemukan dalam bentuk
tulisan, dan tuturan (oral tradition); sifatnya
menyeluruh, dan lokal. Meskipun tradisi lisan
dan/atau folklor merupakan wujud kebudayaan
sebagai cerminan kehidupan dan media pendidikan
masyarakat (Sarmadan, 2013) sayangnya, tradisi
lisan seringkali dianggap lemah dibanding tradisi
tulis karena tidak mudah untuk diukur (Hart, 2010;
Owusu-Ansah & Gubela, 2013). Lebih lanjut,
kearifan lokal juga digunakan untuk melindungi
manusia dari pelanggaran manusia dan bencana
akibat degradasi lingkungan (Tyson, 2010).
Konselor melibatkan dirinya untuk membantu
klien berdasarkan nilai-nilai, kepercayaan, dan
kebudayaan kliennya. Pertautan antara filosofi
konseling dengan unsur-unsur objektif dan
subjektif klien indigenous mendorong tercapainya
tujuan konseling yang lebih cepat. Hal ini agaknya
cukup meyakinkan mengingat Corey (2013) telah

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

4
menjelaskan bahwa penekanan spiritualitas dan
unsur kebudayaan menjadi hal yang sangat penting
dalam praktik konseling di masa yang akan datang.
Dan khusus untuk Indonesia, patut untuk
digarisbawahi bahwa aliran Adat adalah aliran
filsafat yang sudah sangat tua umurnya; umur
spiritualisme adat sama tuanya dengan umur
peradaban suku-suku adat Nusantara. Suku-suku
adat baru di Indonesia memiliki peradaban
material di era Neolitik, sekitar tahun 3500 SM.
Namun, sebelum itu, mereka telah memiliki
peradaban spiritual yang berakar menghujam
sangat jauh, sekitar 1 juta tahun yang lalu (Taylor,
2003; Forshee, 2006; Hidayat, 2010).
Indigenisasi, Inti Rekonstruksi: Dari Lokal ke
Global
Indigenisasi, merupakan istilah yang digunakan
dalam kajian ilmu antropologi, yang bermakna
“pempribumian” (Hidayat, 2010). Lebih lanjut
indigenisasi dalam konteks antropologi adalah
agenda dan proyek yang membongkar bias-bias
orientalis dan Eurosentris baik di tingkatan
institusi, metode penelitian hingga hasil karya
etnografi.
Ide
indigenisasi,
merupakan
“dekolonisasi” terhadap teori-teori barat yang
mulai dibedah pada kurun 1970–1980 (Kadir,
2011). Indigenisasi, yaitu proses pembangunan
kembali (rekontruksi) keilmuan tertentu atau
turunannya, yang cocok dengan budaya tempat
keilmuan itu diterapkan. Dalam ilmu psikologi
maupun konseling disebut cultural re-validation.
Ada dua jenis indigenisasi yang dapat ditempuh,
yaitu (1) indigenization from within, yang diartikan
sebagai pengejawantahan teori, konsep, dan
metode keilmuan konseling yang berasal dari
masyarakat indigenous itu sendiri; oleh masyarakat
indigenous itu sendiri, dan; untuk masyarakat
indigenous itu sendiri. Pada bagian ini terdapat
sumbangsih keilmuan dari dalam ke luar (global),
dan; (2) indigenization from without, yang
diartikan pengembangan teori, konsep, dan metode
keilmuan tertentu (yang telah ada sebelumnya)
murni “berasal dari luar” masyarakat indigenous;
oleh “orang di luar” masyarakat indigenous, dan;
diperuntukkan bagi masyarakat indigenous (yang
dijadikan sasaran indigenisasi). Khusus pada
bagian ini, sumbangsih keilmuan dari luar (global)
ke dalam masyarakat indigenous sesuai dengan
konteks kebudayaan dimana keilmuan itu
ditujukan (lihat --- Kim, U., Kuo-Shu & KwangKuo, 2006).

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
5

Padang, 19-20 Maret 2016

Indigenous

analytical
knowledge

empirical
analysis

verification

philosophical reflection; identify the
local languages and cultures as
sources for theory, method, and
praxis;

theories, concepts,
methods, tools, and results
sufficiently represent the indigenous
structures; assimilation culture

semantic elaboration; codification
or recodification indigenous
material;

modified and develop components,
processes, constructs, structures, or
patterns a global (counseling) to
indigenous target;

fit counseling model/approach;
establish database for building a
global (counseling); citable
indigenous contributions

rational; bibliometric and content
analyses, interviews, surveys, and
database analyses

verification

empirical
analysis

analytical
knowledge

Eksogenous
Indigenisasi dari Jalur Dalam
(Indigenization from Within)

Indigenisasi dari Jalur Luar
(Indigenization from Without)

Gambar Alur Indigenisasi
(Adaptasi dari beberapa sumber dalam Kim, U., Kuo-Shu & Kwang-Kuo, 2006)
Berdasarkan gambar di atas; setidaknya
interpretasi sederhana penulis, yaitu proses
indigenisasi baik yang dilakukan oleh manusia
indigenous (yang memposisikan diri sebagai
“orang dalam”), maupun manusia eksogenous
(yang memposisikan diri sebagai “orang luar”)
melalui tiga tahapan umum. Tahap pertama, yaitu
analytical knowledge, kedua empirical analysis,
dan ketiga verification. Ketiga tahapan di atas
merupakan kesatuan utuh.
Pola indigenization from within didasari oleh
semangat “orang dalam” untuk mempurifikasi
bias-bias orientalis dan eurosentris sebagai
dampak globalisasi terhadap nilai kebudayaan
masyarakat indigenous setempat. Pada tahapan
pertama, seluruh informasi terkait landasan
filosofis manusia indigenous dikaji dan
direfleksikan;
bahasa
dan
budaya
yang
“mempribumi” itu seluruhnya dijadikan sumber
pengetahuan untuk siap dikembangkan menjadi
teori, konsep dan metode; prosesnya dilakukan
oleh “orang dalam”. Pada tahapan kedua,
dilakukan analisa empirik terkait konsep-konsep

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

indigenous yang sebelumnya telah dipersiapkan
untuk “dituangkan” atau “diterjemahkan” ke dalam
konstruk ilmu-ilmu tertentu (psikologi, pendidikan,
ekonomi, agama) atau konseling secara khusus.
Patut untuk dicatat bahwa analisa empirik dapat
dilakukan dengan cara elaborasi semantik,
kodifikasi/rekodifikasi, atau studi empirik lainnya
yang dianggap relevan dengan materi indigenous.
Materi indigenous itu sendiri bisa didapatkan pada
naskah-naskah kuno (old manuscripts), tradisi
lisan, atau kegiatan adat yang masih ada di tengahtengah masyarakat indigenous, yang telah
diwariskan leluhur dari generasi ke generasi.
Selanjutnya, berdasarkan analisis empirik, dapat
ditemukan suatu model/pendekatan konseling yang
cocok (secara khusus bagi suatu kebudayaan) yang
dapat memperkaya khasanah keilmuan dalam
rangka membangun jaringan konseling secara
global. Konfirmasi produk konseling indigenous
melalui keterbukaan pengujian model/pendekatan
konseling secara empirik, secara langsung
mendorong para ilmuwan untuk merujuknya
sebagai penemuan yang memberikan sumbangsih

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
Padang, 19-20 Maret 2016
pada ilmu pengetahuan pada umumnya dan
konseling pada khususnya.
Sebaliknya, pola indigenization from without,
sesungguhnya didasari “ketertarikan” yang
melahirkan semangat dan motivasi “orang luar”
untuk mempelajari suatu konstruk, struktur, atau
pola kehidupan indigenous dari sudut pandang
konseling. Pada tahapan pertama, dilakukan kajian
eksploratif terhadap pengetahuan-pengetahuan
masyarakat indigenous. Pengkajian baik melalui
bibliometric, content analyses, interviews, surveys,
maupun database analyses diperlukan untuk
mendapatkan penjelasan ethic dan emic dari
bentuk-bentuk respon psikologis tertentu. Hal ini
dilakukan dalam rangka melakukan penyesuaian
terhadap konstelasi keilmuan konseling dikenal
bersifat universal a priori dan monoculturalism.
Atas dasar temuan pertama, pada tahapan kedua,
“orang luar” itu melakukan penyesuaian dan
mengembangkan komponen, proses, konstruk,
struktur, atau pola konseling yang telah berlaku
secara global; seperti melakukan adaptasi
instrumen evaluasi konseling; atau abstraksi
teoritik terhadap sasaran indigenous yang
ditetapkan, dan diakhiri dengan pengujian secara
empirik. Pada tahap ketiga, ditemukan teori,
konsep, dan model konseling dari hasil
pengembangan
yang
merepresentasikan
masyarakat indigenous.
Selain uraian di atas, Johnson & Daya (2010)
juga mengajukan 3 (tiga) model indigenisasi dalam
konseling, yaitu: (1) melakukan sedikit
penyesuaian terhadap pendekatan konseling
tradisional yang telah ada, dengan memasukkan
materi budaya atau agama, untuk membentuk
perilaku yang diharapkan; (2) menyesuaikan
pendekatan
konseling dengan unsur-unsur
kebudayaan dominan masyarakat setempat, dan;
(3) secara khusus, mengadopsi unsur-unsur
kebudayaan utama masyarakat setempat untuk
dijadikan landasan pelaksanaan konseling. Tingkat
adaptasi pendekatan konseling sangat bergantung
pada perspektif budaya klien, konteks budaya dan
lingkungan kehidupan klien, dan sumber daya
yang tersedia.
Dari sudut pandang exogenous, kaitannya
dengan penanganan masalah, Higginbotham,
dalam Sundberg (1981) mengajukan beberapa
alternatif
untuk
“mensinkronisasi”
proses
therapeutik bagi masyarakat indigenous, yaitu (1)
menganalisis isu budaya yang spesifik, khususnya
tata aturan masyarakat lokal untuk menetapkan
perilaku mana yang menyimpang atau tidak
menyimpang; termasuk sebab-musababnya, (2)
menentukan norma-norma dalam budaya yang
membantu penyesuaian diri klien, guna
membangun aliansi terapeutik, (3) membuat
strategi untuk merangsang kepedulian klien
terhadap apa yang dialaminya, dan (4)

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

6
mengembangkan hubungan dengan masyarakat
yang lebih luas guna membantu klien mencapai
tujuan konseling.
Skeptisme dan Kritik: Tantangan Ke Depan
Beberapa
pola
rekonstruksi
konseling
indigenous, baik melalui indigenization from
without maupun indigenization from within yang
diuraikan di atas diakui (penulis)---setidaknya
untuk saat ini---masih membutuhkan kesabaran
dan untuk diperhatikan terus menerus. Sebagai
contoh, pola indigenization from within di
Indonesia
diperhadapkan
pada
persoalan
“penantian tak berujung” terhadap ahli konseling
yang “asli pribumi”; memiliki perhatian, kepekaan,
dan jiwa altruistik yang tinggi terhadap
kebudayaannya
sendiri,
sehingga
mampu
menghadirkan konseling yang “benar-benar”
indigenous; teruji secara empirik, dan; dirasakan
kebermaknaannya bagi masyarakat indigenous-nya
pada khususnya, dan konseling di Indonesia pada
umumnya. Kenyataannya---setidaknya melalui
pengamatan penulis---, para “penggiat” konseling
di Indonesia terkesan “mencintai” konsep-konsep
dari paradigma Western Knowledge. Hal ini dapat
diperiksa
melalui
terbitan-terbitan
ilmiah
konseling. Jikalau ada kajian konseling yang
indigenous, sesungguhnya (mungkin) hanya “kulit
luarnya” saja. Tidak jauh berbeda dengan uraian
sebelumnya, pada indigenization from without
masalah terbesar (dalam pandangan penulis), ialah
kemungkinan munculnya asumsi a priori dalam
diri “orang luar” ketika melakukan indigenisasi.
Bagaimanapun juga pengalaman hidup, nilai-nilai
budaya asal yang menempel pada diri “orang luar”,
dan epistimologi yang ia bawa di dalam sistem
berfikir akan turut mempengaruhi bagaimana ia
melakukan interpretasi atas temuannya. Disamping
itu, adanya potensi skeptisme terkait kompetensi
kultural “orang luar” untuk menangkap
kebudayaan lokal secara utuh. Patut untuk digaris
bawahi juga adalah budaya merupakan akumulasi
pengalaman hidup, sehingga “orang luar” mungkin
bisa memahami budaya lokal, akan tetapi ia tidak
akan mampu menangkap aspek pengalaman
emosional dan transendental dari budaya
sebagaimana yang ditangkap oleh “orang dalam”
yang tumbuh dan berproses selama bertahun-tahun
lamanya.
Lebih lanjut, makna indigenous tidak untuk
dipahami secara parsial. Sesungguhnya, konseling
itu Indigenous. Sebagai contoh, paradigma
Western Knowledge juga merupakan konseling
yang indigenous bagi Western society. Demikian
pula bagi konseling-konseling yang dikonstruksi
memakai paradigma masyarakat indigenous itu
sendiri, merupakan konseling yang indigenous.
Konseling menjadi tidak indigenous apabila

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
Padang, 19-20 Maret 2016
konseling itu tidak fit dengan konteks, dan
kebudayaan masyarakat tempat konseling itu
dilakukan.

PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa mencermati potensi keragaman
budaya di Indonesia, mendorong terbukanya
ruang-ruang rekonstruksi konseling berbasis
indigenous yang sangat mungkin didalami sebagai
bentuk penghayatan terhadap keilmuan konseling
pada umumnya, dan kebudayaan sebagai identitas
bangsa Indonesia yang besar pada khususnya.
Disadari sepenuhnya konseling indigenous di
Indonesia masih diperhadapkan pada tantangantantangan baik yang datang dari dalam, maupun
dari luar. Terlebih lagi, semangat menyajikan “keIndonesia-an” dalam konteks konseling masih
“jarang” ditemukan kajian empiriknya. Meskipun
demikian, dengan pola indigenisasi sebagaimana
yang dijelaskan di atas diharapkan pengkajian
konseling
yang
indigenous
akan
mulai
bermunculan satu per satu di kemudian hari, yang
selanjutnya menjawab semangat perubahan zaman,
dan pada akhirnya menciptakan kestabilan berperikehidupan. Oleh karena itu, disarankan kepada
para pakar dan praktisi konseling dapat
menjadikan konseling indigenous sebagai arus
utama perubahan paradigma konseling di tanah air,
yang sesungguhnya diangkat setinggi-tingginya
dan dibanggakan.
Dengan rekonstruksi konseling indigenous,
kebudayaan
Indonesia
(termasuk
kearifan
lokalnya) mungkin akan hidup kembali dari
kematian maknanya yang profan beralih ke makna
sakralnya. Substansi-substansi yang berbeda
senantiasa memiliki kebenaran yang satu:
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

DAFTAR PUSTAKA
Absolon, K. (2010). Indigenous Wholistic Theory:
A Knowledge Set for Practice. Journal of First
Peoples Child & Family Review 5(2), 74-87.
Bang Peng, R. (2012). Decolonizing Psychic
Space:
Remembering
The
Indigenous
Psychology Movement in Taiwan. Disertasi.
Duquesne University.
Berry, J. W., et., al. (2002). Cross-Cultural
Psychology Research and Applications. UK:
Cambridge University Press.
Burke, M. T., Jane C. C., & Judith G. M. (2005).
Religious and Spiritual Issues in Counseling:
Applications Across Diverse Populations. New
York: Brunner-Routledge.

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

7
Constantine, M. G., et., al,. (2004). Exploring
Indigenous Mental Health Practice: The Roles
of Heales and Helper in Promoting Well-Being
in People of Color. Journal Counseling and
Value 48(6), 110-125.
Corey, G. (2013). Theory and Practice of
Counseling and Psychotherapy, 9th Edition.
USA: Brooks/Cole.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Forshee. J. (2006). Culture and Customs of
Indonesia. USA: Greenwood Press.
Fuller, J. (2013). Self-Awareness and Cultural
Understanding. In Nicholas A.V., Susan
B.V., Johnston M. B. (Eds)., Counseling
Multicultural and Diverse Populations:
Practical Strategies for Counselors (pp. 1734). New York: Routledge.
Gergen, K. J., et., al. (1996). Psychological
Science in Cultural Context. Journal American
Psychologist 51, 496-503.
Grayshield., et., al. (2010). Indigenous Ways of
Knowing as a Philosophical Base for the
Promotion of Peace and Justice in Counseling
Education and Psychology. Journal for Social
Action in Counseling and Psycholog 2(2), 1-16.
Ha Chong, F. H., & Hung-Yi, L. 2002. Indigenous
Counseling in the Chinese Cultural Context:
Experience Transformed Model. Asian Journal
of Counselling, 9(1&2): 49–68.
Handoyo, E., & Tijan. (2010). Model Pendidikan
Karakter Berbasis Konservasi: Pengalaman
Universitas Negeri Semarang. Semarang:
Widya Karya.
Hart, M.A. (2010). Indigenous Worldviews,
Knowledge, and Research: The Development
of an Indigenous Research Paradigm. Journal
of Indigenous Voice in Social Work, 1(1), 1-16.
Hidayat, F. (2010). Antropologi Sakral:
Revitalisasi Tradisi Metafisik Masyarakat
Indigenous Indonesia. Jakarta: IPS Press.
Hwang, Kwang-Kuo. (2010). Way to Capture
Theory of Indigenous Psychology. Journal
Psychological Studies 55(2), 96–100.
Johnson, L. R., & Daya S. S. (2010). Treatment
Planning in a Multicultural Context Some
Suggestions
for
Counselors
and
Psychotherapists. In Mark M. L., & Jamie D.
A., (Eds) Culture and The Therapeutic
Process: a Guide for Mental Health
Professionals (pp. 117-156). USA: Routledge
Taylor & Francis Group.
Joseph A., Stewart S., & Wairimu W. M. (2012).
Working with Faith-Based Communities in
Ecological Counseling. In Ellen P. C (Ed),
Understanding People in Context: The
Ecological Perspective in Counseling (pp. 259-

Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling 2016
Padang, 19-20 Maret 2016
278). Alexandria, USA: American Counseling
Association.
Kadir, H.A. (2011). Meretas Jalan dari
“Kolonisasi” ke “Indigenisasi” Antropologi
Indonesia. Diakses Tanggal 8 Maret 2010,
09:25 PM. http://etnohistori.org/meretas-jalandari-kolonisasi-ke-indigenisasi-antropologiindonesia.html
Kartodirdjo, S. (1968). Segi-segi Strukturil
Historiografi Indonesia dalam Lembaran
Sejarah. Jogyakarta: UGM.
Kim, U., & Berry, J. W. (1993). Indigenous
Psychologies: Experience and Research in
Cultural Context. Newbury Park, CA: Sage.
Kim, U., Kuo-Shu Y., & Kwang-Kuo, H. 2006.
Contributions to Indigenous and Cultural
Psychology Understanding People in Context,
dalam Indigenous and Cultural Psychology
Understanding People in Context, Kim,
Uichol., Kuo-Shu Yang, & Kwang-Kuo Hwang
(Eds). USA: Springer.
Lago, C. (2006). Race, Culture and Counselling;
The ongoing Challenge: Second Edition. USA:
McGraw-Hill Education.
Lee, C.C & Park, D. (2013). A Conceptual
Framework for Counseling Across Cultures. In
Lee, C.C. (Ed), Multicultural Issues in
Counseling: New Approaches to Diversity (pp.
3-12).
USA:
American
Counseling
Association.
Leuthold, S. M. (2011). Cross-Cultural Issues in
Art: Frames for Understanding. USA: Taylor
& Francis e-Library.
MacPherson,
S.
(2011).
Education and
Sustainability: Learning Across the Diaspora,
Indigenous, and Minority Divide. New York:
Taylor & Francis.
McLeod, J. (2009). An Introduction to Counseling:
14th Edition. USA: McGraw-Hill.
Moordiningsih. 2009. Optimisme Mengkristalkan
Kearifan Lokal. In A. Supratikna & Tjipto
Susana (Eds), Redefinisi Psikologi Indonesia

Seminar Bimbingan dan Konseling 2016

8
dalam Keberagaman (pp.37-55). Jakarta:
HIMPSI.
Morris, B. (2014). Anthropology and the Human
Subject. USA: Trafford Publishing.
Neukrug, Ed. (2012). The World of the Counselor:
An Introduction to the Counseling
Profession, 14th Edition. USA: Brooks/Cole.
Owusu-Ansah, F. E., Gubela, M. (2013). African
indigenous knowledge and research. African
Journal of Disability 2(1), 1-5.
Prayitno. 2007. Konsolidasi Profesionalisasi
Konselor. Padang: FIP-UNP.
Ren, Z. (2012). Spirituality and Community in
Times of Crisis: Encountering Spirituality in
Indigenous Trauma Therapy. Journal of
Pastoral Psychology 61(28), 975–991
Sarmadan. 2013. Upacara Adat Katoba pada
Masyarakat Muna: Analisis Struktural, NilaiNilai Kultural, dan Pemanfaatannya dalam
Pembelajaran Apresiasi Sastra Lama di
Sekolah Menengah Atas. Tesis. Bandung:
Pascasarjana UPI-Bandung.
Sue, D. W., & Sue, D. (2008). Counseling The
Culturally Diverse: Theory and Practice. USA:
John Wiley & Sons, Inc.
Sundberg, N.D. (1981). Cross-Cultural Counseling
and Psychotherapy: A Research Overview. In
Marsella, A. L., & Pedersen, P., (Eds). Crosscultural counseling and psychotherapy (pp.
28-62). USA: Pergamon Press Inc.
Taylor, J.G. (2003). Indonesia: Peoples and
Histories. USA: Yale University.
Tyson, A. D. (2010). Decentralization and Adat
Revivalism in Indonesia: The Politics of
Becoming Indigenous. USA: Routledge.
Westbrooks, K. (2013). African Americans: A
Remarkable People. In Nicholas A.V., Susan
B.V., Johnston M. B. (Eds)., Counseling
Multicultural and Diverse Populations:
Practical Strategies for Counselors (pp. 402418). New York: Routledge.
Woodward, M. (2011). Java, Indonesia and Islam.
New York: Springer.