Filsafat Semiotika Menafsir Sistem Tanda

.

1

FILSAFAT SEOMETIKA
Menafsir Sistim Tanda Dalam peanpesan Teks Keagamaan
Oleh : Ahmad
PENDAHULUAN
I. Latarbelakang.
Bumi dan seluruh isinya adalah merupakan tanda-tanda (semiotika) serta
dalam penciptaan langit dan bumi, yang silih berganti malam dan siang merupakan
tanda-tanda (Semiotika) bagi orang-orang yang berakal. Begitu pentingnya
mengetahui pesa-pesan teks sehingga Allah memberikan perhatian serius bagi orang
yang berakal untuk mentransformasikan pesan Tuhan lewat teks Alquran. Alquran
adalah pesan-pesan teks yang diturunkan kepada manusia untuk menjadi inspirasi,
motivasi serta petunjuk bagi manusia.
Alquran yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf (teks) arab serta tersusun
dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut-marutnya
tanda-tanda (semiotika). Rangkaian teks tersebut mengandung pesan (messege), nilai
spiritual, rasional, empiris, ekspresi yang berlapis-lapis maknanya (mempunyai
struktur).1 Mengingat banyaknya pesan-pesan yang terkandung dalam teks Alquran

tersebut, sehingga membutuhkan metodologi penapsiran untuk mengeksplorasi
makna-makna atau pesan-pesan dalam Alquran. Salah satu ilmu yang mempelajari
tentang ilmu tanda adalah filsafat semiotika.
Dalam kajian ilmiah ada 3 istilah pokok yang perlu kita fahami, metodologi,
metode, dan teknik. Telah diketahui bahwa metodologi penelitian ilmiah bertumpu
pada teori, sedangkan teori bertumpu pada “pandangan dunia” (wordviuw). Ada 2
pandangan dunia yang mendominasi kehidupan ilmu penelitian sosial dan agama
yakni: 1). Objek yang kita indra (dunia nyata: satu-satunya kenyataan) dan, 2). Di
balik apa yang tertangkap oleh panca indra ada sesuatu yang lain yang dapat diserap
1

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Cet. I; Yogyakarta: 2008), di akses di
Blogger wordpress.www.yasraf piliyang.

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

2

oleh kognisi dan perasaan kita serta dapat dikembangkan dalam suatu pengkajian
sistematis. Teori-teori semiotika pada umumnya bertumpu pada pandangan yang

kedua ini yaitu makna di balik pesan-pesan teks.
Filsafat semiotika termasuk disiplin ilmu yang populer untuk menapsirkan
sistem tanda. Untuk itu dalam memaknai Alquran lewat tanda-tanda, maka salah satu
pendekatan yang menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah
pendekatan semiotika dengan mengkaji bagaimana fungsi tanda-tanda dalam teks
Alquran. 2
Dengan pertimbangan bahwa Alquran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf
arab serta tersusun dalam struktur tanda, maka salah satu pendekatan yang menarik
dan relevan digunakan sebagai metodologi dan pendekatan untuk mengkaji
bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks Alquran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh
mereka yang menggunakannya, juga dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda
yang terdapat dalam Alquran.3 Luasnya ruang lingkup Filsafat Semiotika sebagai
penafsir tanda serta banyaknya pesan-pesan verbal maupun non verbal menjadi
problematika dalam kajian ilmu pengetahuan. Dengan demikian ilmu semiotika
adalah salah satu instrumen penting dalam aplikasi penafsiran sistem tanda untuk
menafsirkan pesan-pesan teks keagamaan. Berbicara tentang disiplin ilmu tanda
maka,. dalam makalah ini, pemakalah membatasi pembahasan dengan mengangkat
tiga permasalahan pokok yaitu:

1. Bagaimana fungsi filsafat semiotika dalam penafsiran pesan-pesan
keagamaan.
2. Bagimana peran ilmu semiotika dalam penelitian Sosial dan Agama.
2

Beny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de Sauussure, Roland
Barthes, Julia Kristeva, Jecques Derrida, Carles Sanders Peirce, Marcel Danesi dan Paul Perron,
(Cet. I; Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya (FIB) IU Depok 2008), h. 6.
3

Paul Cobley dan Litsa Jansz, Mengenal Semiotika For Beginners (Cet. I; Jakarta: Mizan,
2002 diterjemahkan oleh: Ahmad Baquni diterbitkan di Inggris Icon Books Cabridge 1997).38

.

3

3. Bagaimana

aplikasi


filsafat

semiotika

dalam

menafsirkan

teks

keagamaan.
II. Pembahasan.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda, isyarat-isyarat, bahasa
isyarat, budaya, gejala-gejala sosial, dan perubahan interaksi sosial. 4 Tafsir klasik
konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois,
mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas.5 Dengan tujuan untuk mencapai
pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang
seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan
mengabaikan unsur-unsur di luar teks.

Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya
suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh
sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompokkelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya
kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan
bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika,
pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan
kontekstual, dan posmodernis.6
Dalam kajian semiotika Alquran ini, penulis mencoba menggunakan 2
Paradigma Tokoh semiotika (Saussure dan Parice) serta defenisinya sebagai berikut
:

4

Komaruddin at.el. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara 2006),

h. 237.
5

Roland Barthes, Mythologies New York: Hill and Wang : 1972 di terjemahkan oleh:
Ikramullah Mahyudin dengan Judul: Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika Budaya (Cet.

I; Bandung: Jalasutra 2007). h.34
6

Mu’adz D’Fahmi, Semiotika Alquran yang Membebaskan diakses pada tanggal 15 Juni
2009. pada blogger, www.wordpress. Muadz_fahmi@yahoo.com.

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

4

1.

Teori Semiotika Signifikansi: Menekankan pada tori tentang produksi
tanda, salah satu diantaranya mengasumsikan 6 faktor dalam komunikasi
diantaranya:
 Pengirim, (Messege) adalah penanda pertama.
 Penerima (Receiver)Kode/Penanda kode digunakan.
 Sistem tanda (Sturktur tanda yang digunakan)
 Pesan (Jenis pesan yang disampaikan)
 Saluran Komunkasi dan

 Acuan ( Hal yang dibicarakan )

2.

Teori Semiotika: Ruang lingkup kajiannnya menekankan pada Teori
tanda dan pemahamannya dalam konteks tertentu. Teori yang kedua ini tidak
menekankan pada tujuan komunikasi tetapi lebih pada teknik memahami sebuah
tanda serta proses komunikasinya. Semiotika : adalah suatu ilmu yang mengkaji
dan menganalisis tanda.7
Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa semiotika murni dengan desain

metabahasa yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi 3 poros struktur
bangunan yaitu:
1. Poros Horizontal : Menyajikan tiga jenis penyelidikan semiotika: Murni,
deskriptif, dan terapan).
2. Poros Vertikal : Menyajikan 3 harapan hubungan Semiotika (Sintaktik,
Semantik, Pragmatik).
3. Poros yang mengkaji tiga kategori : yakni sarana informasi seperti signals,
signs, dan symbols).8
Kajian teks yang paling tinggi adalah kitab suci yang mengandung banyak

sekali pesan-pesan dan perlu dipahami dengan pendekatan semiotika. Untuk melihat
7

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik dan Analisis Framing, (Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2006), h. 68.
8

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi(Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2006), h. 15

.

5

Alquran dari perspektif lain, penulis mencoba melakukan paradigma semiotika
sebagai acuan memaknai, memahami pesan-pesan yang tersirat didalamnya. Dalam
kajian ini penulis menggunakan tiga metodologi semiotika ini, yang akan menjadi
format kajian dan defenisih operasional dalam pemahaman Alquran dari sudut
pandang ilmu semiotikanya.
Dengan pertimbangan bahwa Alquran, yang terdiri dari rangkaian hurufhuruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media
tempat carut-marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya

menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan
semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks
Alquran. Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi,
anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan
tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama
menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis,
terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.9
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya
suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh
sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompokkelompok yang selama ini tersubordinatkan.10 Ini dapat dilihat dari semakin
maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru
dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika,
pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan
kontekstual, dan posmodernis.
Dengan pertimbangan bahwa Alquran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf
arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat
carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan
9

Diakses di internet pada tanggal 18 Pebruari 2009 yang ditulis oleh : Mu’adz D’Fahmi

dengan Judul : Semiotika Alquran yang Membebaskan.
10

Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Cet. I; Jakarta: Komunitas Bambu
2008).h. 20

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

6

relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang
mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks Alquran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh
mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang
terdapat dalam Alquran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika ilmu tentang
kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara
literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir Alquran menuntut tiga fokus utama
yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Berbicara

mengenai hermeneutika hampir semua hal berkaitan dengan ketiga hal tersebut.
Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika
memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan
penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun
pengarang teks.11 Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan
hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara
kerjanya.
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure
(1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906.
Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916),
Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau
studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya.

Pada

perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual
yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut
strukturalisme.12 Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami
11

F. Dosse, Histoire du Strukcturalisme (Jilid 1 1992), h. 480. Buku ini berbicara sejarah
sturkturalisme di perancis, yang merupakan tempat berkembangannya strukturaslisme.
12

Richars Harlan, Superstructuralism: the philosofhy of Structuralism and Poststrukturalism
London: New York: Mathuen 1997. di terjemahkan oleh: Iwan Hendrawan dengan Judul:
Superstruturalisme (Cet. I; Yokayakrta: Jalasutra: 2006). h.11

.

7

selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau
pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja
menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat Alquran hanya dapat diungkap oleh satu
macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik
tanda-tanda Alquran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di
dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks Alquran sebagai
penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de
capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah:
siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan
siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks Alquran dengan
maknanya?
a. Pandangan Tokoh Semiotika
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang bertolak belakang
dengan gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang
merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak
ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan
menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak
mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda
adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti
(plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan
bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda.
Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus
menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa
tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan.
Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

8

natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan Alquran. 13 Derrida bersikukuh bahwa
ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama
dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa
menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang
sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan
dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruksi oleh budaya
hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan
bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan
konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan
dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan
mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin
(condition of possibilities) yang terdapat pada teks. 14
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah
Alquran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah
struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat
sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman.
Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan
keagamaan, terutama tafsir Alquran.
Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan
multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti
ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry
baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur
melalui genre, spesies, dan pembeda).
13

Audifax, Resensi buku “Semiotika Tuhan” http://www. kompas. com/kompascetak/0709/03/Buku/3802338.htm Penerbit: Pinus Book Publisher Kompas Senin, 03 September
2007.
14
Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Blogger @
http://halamanganji l.blogspot. com KONTAK: wartax@yahoo. Com. esai ini dipublikasi Pikiran
Rakyat, 19 Juli 08 dan http://www.digibook gallery.com.

.

9

Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur
ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang
statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam
istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa
terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan
penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai
dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan
ke suatu model tak terhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru. 15
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan
kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem
dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat Alquran yang disusun seperti
struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat
hegemonik, dan status-quois. Maka alangkah baiknya jika pemaknaan Alquran
dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan
memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri
maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.
Jika kita menggunakan paradigma semiotika untuk mengkaji makna-makna
dalam Alquran, terlebih dahulu kita ketahui latar belakang arti dari semiotika
tersebut serta tokoh yang mendeklarasikan sehingga kita tidak terjebak dalam sistem
semiotika yang lain.16 Paradigma semiotika sebagai satu ilmu dalam realitas terjadi
kontradiktif tetapi secara substansial tidak bertentangan antara dua tokoh besar yaitu:
Semiotika kontinental Ferdinand deSaussure dan semiotika Charles Sander Pierce
(Amerika). Dalam hal ini, Umberto Eco dan Paul J. Thimbault memperlihatkan
bahwa persoalan kedua tokoh tersebut merupakan suatu hal yang sifatnya ilmiah

15

ibid

16

Semiotika yang lain adalah semiotika : adalah mempelajari tanda-tanda selain kitab suci.
Yakni mengarah pada komunikasi tanda-tanda atau symbol-simbol aktifitas manusia.

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

10

sebagai satu bidang ilmu pengetahuan.17 Semiotika signifikansi menaruh perhatian
pada tanda sebagai sebuah sistem

dan struktur akan tetapi, bukan berarti

mengabaikan sistem tanda yang saling mendinamisasi antara Semiotika signifikan
dan semiotika komunikasi serta saling menghidupi.
Teori semiotika signifikansi yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure
didefenisikan dalam bukunya yang berjudul “Course in General Linguistics” bahwa
semiotika signifikansi adalah : ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian
dari kehidupan sosial, secara implisit defenisi tanda adalah merupakan bagian dari
kehidupan sosial serta salah satu “struktur aturan-aturan sosial yang berlaku”.
Sementara semiotika komunikasi adalah: ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda
sosial yang di dalamnya mempelajari tanda dalam kitab suci dan pemaknaan serta
pengamalannya.
Kedua teori semiotika tersebut, Jonathan Culler memberikan pandangannya
terhadap kedua teori tersebut: beliau berpendapat bahwa Semotika Signifikansi
menaruh perhatian pada bahasa sementara semiotika komunikasi menaruh perhatian
pada sturktur sosial (parole), dalam kajiannya beliau mendapatkan perbedaan
mendasar

dalam pemikiran Saussure (Tokoh semiotika signifikansi) karena

konsekwesinya lebih luas dan di luar linguistik dapat dianalogikan antara kitab suci
(mewakili semiotika signifikansi dan bagaimana mengamalkannya (mewakili
semiotika komunikasi).18 Dari analogi tersebut dapat kita lihat bahwa kedua tekoh
tersebut saling sinerjik, Saussure mengkaji Petanda sedangkan Pierce mengkaji
Penanda atau dapat di sederhanakan Saussure mengkaji konotatif sedangkan Pierce
mengkaji denotatif.
Dari defenisi ini, dapat membawa kita untuk melakukan kajian dan
pemahaman tentang semiotika Alquran baik itu difahami secara konotatif maupun
secara

denotatif. Tapi sebelumnya perlu kita ketahui untuk apa belajar tentang

17

ibid
18

ibid

.

11

tanda ? pertanyaan ini secara tidak sadar bahwa ternyata jika diprosentasi, 98%
kehidupan kita ini berhubungan dengan tanda dan simbol, ini menunjukkan bahwa
semiotika itu merupakan satu ilmu kebutuhan mansia sejak lahir sampai mati. 19
Dalam kehidupan kita sehari-hari tanda-tanda itu bertebaran dimana-mana dan telah
menjadi kebutuhan dalam menentukan hidup kita dan perjalanan kita ke depan.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir Alquran menuntut tiga fokus utama
yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca.
Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga
hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika
hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan,
pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis
pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian
tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi,
dan cara kerjanya.
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure
(1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906.
Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916),
Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau
studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya.
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran
intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab
tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia
dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin
keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.20

19

ibid

20

op. cit Richars Harlan, Superstructuralism: the philosofhy of Structuralism and
Poststrukturalism London: New York: Mathuen 1997. di terjemahkan oleh: Iwan Hendrawan dengan
Judul: Superstruturalisme (Cet. I; Yokayakrta: Jalasutra: 2006), h. 334.

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

12

Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja
menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat Alquran hanya dapat diungkap oleh satu
macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik
tanda-tanda Alquran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di
dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks Alquran sebagai
penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de
capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah:
siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan
siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks Alquran dengan
maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang bertolakbelakang
dengan

gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang

merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak
ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan
menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak
mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda
adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti
(plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan
bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda.
Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus
menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa
tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan.
Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat
natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan Alquran. Derrida bersikukuh bahwa
ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. 21 Makna teks tidak lagi sama
dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa
21

ibid

.

13

menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang
sama.22
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan
dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya
hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan
bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan
konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan
dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan
mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin
(condition of possibilities) yang terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah
Alquran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah
struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat
sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman.
Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan
keagamaan, terutama tafsir Alquran.
b. Metode Analisis Teks
Dalam mengungkap pesan-pesan dari sebuah teks diperlukan metode analisis
teks dengan menggunakan semiotika. Pada dasarnya jejang analisis teks pertama:
secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme, stuktur tanda, dan makna tanda
secara individual. Kedua: analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi,
yaitu kumpulan tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut dengan teks.
Pada analisis tanda secara individual dapat digunakan berbagai model analisis
tanda, misalnya analisis tipologi-tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda. Di
antara tipologi tanda yang terkenal adalah pengelompokan tanda menjadi 3 jenis oleh
Carles Sanders Pierce, yaitu indek, ikon, dan simbol. Indeks (index) adalah tanda
hubungan antara petanda dan penanda didalamnya bersifat kausal, misalnya:
22

ibid

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

14

hubungan antara asap dan api. Ikon (icon) adalah tanda yang hubungan antara
pennanda dan petandanya bersifast keserupaan (similitude). 23 Misalnya foto Sukarno
yang merupakan tiruan dua dimensi dari Sukarno. Sementara Simbol adalah tanda
yang hubungan penanda dan petandanya bersifat arbiter.
Analisis tanda-tanda di dalam kelompok atau kombinasinya disebut analisis
teks (textual analysis). Semiotika teks, dalam hal ini, tidak berhenti hanya
menganalisis teks. Semiotika teks juga menganalisis yang terdapat dalam sebuah teks
yang mengandung nilai idiologi, spiritual, mitos dan ekpresi tanda-tanda tersebut.
Adapun prinsip-prinsip analisis teks adalah sebagai berikut:
1.

Polisemi: adalah keanekaragaman makna/pesan sebuah
penanda.

2.
3.
4.

5.
6.

Konotasi: adalah sebuah tanda yang selalu berkaitan
dengan kode nilai, makna sosial, serta berbagi perasaan, sikap atau emosi yang
ada.
Setiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda,
lewat kode sosial tertentu, yang menghasilkan konotasi-konotasi tertentu.
Metafora dan metonim menjadi bagian dari pengkombinasian tanda ini.
Konotasi yang ditentukan oleh pembaca yang berbeda
bergantung pada oposisi sosial mereka masing-masing, yaitu kelas, gender, ras
umur, dan faktor lain yang mempengaruhi cara bagimana mereka berfikir
tentang dan menafsirkan teks.
Konotasi yang diterima luas secara sosial akan
berkembang menjadi denotasi, yaitu makna tanda atau teks yang dianggap
benar oleh pembaca.
Denotasi mempresentasikan mitos budaya (mytologi
cultural), seperangkat kepercayaan dan sikap yang dianggap sebagai benar
oleh pembaca teks.24
Meskipun demikian, model-model analisis teks tersebut di atas, sering di

anggap tidak memenuhi persyaratan penelitian ilmiah, disebabkan lemahnya tingkat
objektifitas, tidak adanya prosedur verifikasi, serta kurangnya pembuktian empiris
di dalamnya. Metode analisis teks di anggap bersifat subjektif, arbiter dan idiologis.
23

op. cit., h. iii. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi

24

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas matinya makna, (Cet. I:
Bandung: Jalasutra 2003). h. 271

.

15

III. Kesimpulan.
1. Filsafat semiotika sebagai bentuk metodologi dalam menafsirkan pesan-pesan
yang tersirat dalam teks, isyarat-isyarat, budaya verbal maupun non verbal
serta metode untuk mentranformasikan

pesan kepada orang yang

mengkajinya.
2. Peran Semiotika dalam penelitian ilmu sosial keagmaan merupakan instrumeintrumen penting khususnya dalam metode kajian teks, simbol, icon, sign,
serta menjadi media penunjang dalam menterjemahkan nilai-nilai atau
ekspresi dari sebuah tanda yang berbentuk teks dan semacamnya.
3. Dalam operasional filsafat semiotika mengalami perkembangan sesuai
dengan regulasi infrastruktur media informasi dan komunikasi yang dipakai
dalam melakukan interaksi antar sesama manusia, bahkan hewan dan
tumbuhan sekalipun.



DAFTAR PUSTAKA
Amir Piliang, Yasraf. Hipersemiotika: Tafsir Cultur Study atas Matinya Makna, (Cet.
I; Bandung: Jalasutra 2003.

Filsafat Semiotika: Menapsir sistem Tanda dalam pesan-pesan teks keagamaan.

16

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Cet. II; Yokakarta:
PT. LKiS Pelangi Aksara 2007.
Cobley, Paul. dan Litsa Jansz, Mengenal Semiotika For Beginners Cet. I; Jakarta:
Mizan, 2002 diterjemahkan oleh: Ahmad Baquni diterbitkan di Inggris Icon
Books Cabridge 1997.
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Cet. I; Jakarta: Komunitas
Bambu 2008.
Piliang,Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas matinya makna,
Cet. I: Bandung: Jalasutra 2003.
Richars, Harlan. Superstructuralism: the philosofhy of Structuralism
and
Poststrukturalism London: New York: Mathuen 1997. di terjemahkan oleh:
Iwan Hendrawan dengan Judul: Superstruturalisme Cet. I; Yokayakrta:
Jalasutra: 2006.
Situs:www.pertamina.com/indonesia/head_office Dewan Periklanan Indonesia
kerjasama Perkumpulan Perusahaan PerIklanan Indonesia (PPPI). Di akses
pada tanggal 28 Maret 2008.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi Cet. III; PT. Remaja Rosdakarya 2006.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik dan Analisis Framing, Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya
2006
ST.Sunardi, Semiotika Negativa: Post Scriptum Cet. II; Yokyakarta: Buku Balik:
2004.
Salam, Adrianus. Umar Khayyan dan dan Jaring Semiotika Cet. I; Yokyakarta:
Pustaka Pelajar 1998.
Roland Barthes, Mythologies New York: Hill and Wang : 1972 di terjemahkan oleh:
Ikramullah Mahyudin dengan Judul: Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa:
Semiotika Budaya (Cet. I; Bandung: Jalasutra 2007.

FILSAFAT SEMIOTIKA :
MENAFSIR SISTEM TANDA DALAM PESAN-PESAN TEKS
KEAGAMAAN

.

17

Makalah
Disampaikan dalam Seminar Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial dan Agama

Semester II Kelas Non Reguler Polewali Mandar
Tahun 2010

Oleh:
AHMAD
Dosen Pembina :
PROF.DR.H.MUSAFIR PABABBARI,M.SI
DR. MOHD. SABRI AR, M.A.
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) "ALAUDDIN"
MAKASSAR