PATTA DAN OPU DALAM DINAMIKA SOSIAL POLI (1)

PATTA DAN OPU DALAM DINAMIKA SOSIAL POLITIK
DI SELAYAR
Alim Ihsan1
Abstrak
Berdasarkan hasil temuan sementara yang telah dilakukan oleh penulis
rupanya di kalangan masyarakat pada umumnya dalam melihat
kebijaksanaan pemerintahan yang didominasi oleh kalangan bangsawan
ini sebagai pemimpin dan aparat pemerintahan, telah terdapat perbedaan
penilaian atau pendapat terhadap kreativitas bangsawan yaitu bahwa,
keberadaan mereka sebagai pemimpin masyarakat pada umumnya
tampil sebagai seorang tokoh yang feodalistis serta lebih mementingkan
kepentingan golongan dan keluarganya. Sementara pendapat lain
mengatakan bahwa pada umumnya bangsawan adalah orang-orang
istimewa yang kharismatik, bijaksana, memasyarakat, dan berhasil
mengantar sebuah prestasi yang gemilang dalam dunia politik
pemerintahan karena mampu memelihara nama baik leluhurnya yang
telah memimpin dekade sebelumnya.
Kata Kunci : Pata Opu dan Stratifikasi Sosial
Latar Belakang
Perjalanan hidup manusia sebagai makhluk sosial dari masa ke
masa mengalami pertumbuhan dan perkembangan pola dan gaya hidup,

terlebih lagi setelah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ikut mempercepat kemajuan peradaban umat manusia di muka bumi ini.
Perkembangan dan kemunduran atau pasang surut peradaban umat
manusia, baik dalam sektor sosial budaya, kehidupan ekonomi, maupun
kehidupan politik terutama yang terkait dengan sistem pemerintahan
suatu negara dan bangsa, kesemuanya itu hanya dapat direkam melaiui
pencatatan realitas sosial yang ada.
Di samping itu, hakikat hidup manusia sebagai makhluk sosial
dan sebagai makhluk yang berbudaya tidak dapat melangsungkan hidup
seorang diri. Di mana atau keadaan apapun manusia cenderung untuk
hidup berkelompok, pengelompokan sosial itu antara lain dilandasi
dengan adanya persamaan kepentingan antara sesarna anggota
kelompoknya. Untuk mewujudkan kepentingan bersama itu, manusia
mengorganisir dirinya dalam suatu kesatuan kelompok dengan
menciptakan perangkat aturan dan pengendalian diri sosial mereka.
Dalam setiap komunitas tentu muncul seorang tokoh atau figur sebagai
panutan atau pemimpinnya, dengan kata lain dikenal suatu sistem
1

Dosen STAIN Datokarama Palu (Lektor/ III.d)

25

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No.
1/2013

pemerintahan. Akan tetapi dibalik itu sering terjadi persaingan dan
kompetisi perebutan tahta dengan persaingan yang tidak sehat dari
kalangan elit politik dengan menghalalkan segala macam cara sehingga
dapat mengorbankan masyarakat kecil. Demlkian pula sebaliknya
seorang figur yang tampil menjadi pemimpin tidak sedikit menghadapi
tantangan dan hambatan yang datangnya dan kalangan masyarakat
bawah seperti halnya dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi bahkan
pembunuhan secara sadis seperti yang kita saksikan di tengah-tengah
dunia dewasa ini, baik secara internasional maupun regional.
Berkaitan dengan konteks ini, penulis melihat suatu gejala yang
kurang harmonis mengenai hubungan pemimpin dengan yang dipimpin
dalam masyarakat bilamana sosok atau figur yang tampil sebagai
pemimpinnya tidak memberikan apa yang mereka harapkan, sehingga
tidak mengherankan bila sistem politik pemerintahan di Indonesia
dewasa ini mendapat tanggapan yang pro dan yang kontra. Berbagai

macam tuduhan dan celaan serta protes dari lapisan masyarakat baik
melalui forum resmi maupun unjuk rasa, demonstrasi dan semacamnya.
Kesemuanya ini dapat menghambat kelancaran proses dalam upaya.
pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Gejala dari gerakan ini telah memasuki lapangan birokrasi. Aksi
protes proses pemilihan beberapa pimpinan pemerintah daerah di
berbagai kawasan icxak semata-mata dilandasi oleh semangat
primordialisme sistem budaya dalam jmnia politik, akan tetapi lebih
bersifat fungsionalis. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan
kehidupan bangsa dan negara dalam hubungannya dengan warga megara mulai memasuki masa-masa transisional yang dapat menjadi krisis
baru secara iculti sektoral.
Fenomena di atas dapatlah diprediksikan bahwa masyarakat kita
dalam foerbangsa dan bernegara masih sangat haus akan keberadaan
tokoh yang mampu merangkul dan diterima oleh berbagai lapisan
masyarakat, memiliki etos dan moral oegarawan, karenanya dalam bursa
pencalonan pimpinan perlu dilakukan dengan pertimbangan yang
matang. Kenyataan ini kemudian menjadi runtutan bagi setiap pelaksana
pemerintahan, karena seorang pejabat secara etik dan moral akan
dituntut dapat memenuhi berbagai kepentingan politik sekaligus
kemampuan profesional dalam memenuhi kepentingan rakyat banyak.

Gejala sosial politik seperti tersebut di atas telah tampak pada
lapisan masyarakat di berbagai daerah di tanah air termasuk beberapa
daerah di Sulawesi Selatan, di mana sebagian besar masyarakat
tersebut sangat fanatik pada figur-figur yang berdarah bangsawan, dan
sangat peka terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah daerahnya. Akan tetapi, terdapat pula paradigma masyarakat
yang mengarah pada profesionalisme tanpa harus memperhatikan latar
belakang keturunan seorang tokoh atau calon-calon pemimpinnya.
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

26

Menelusuri dinamika pemerintahan dan keberadaan tokoh atau
figur pemimpin dan kalangan bangsawan dalam tataran masyarakat
adalah suatu hal yang sangat menarik bagi penulis untuk dikaji secara
mendalam. Keberadaan pimpinan yang menyandang gelar bangsawan
dalam dinamika pemerintahan pada masyarakat secara evolusi
mengalami pergeseran, yaitu bangsawan yang tadinya sebagai suatu
gelar kekuasaan dan kebangsawanan yang kharismatik kini menjadi
gelar yang hanya menandakan sebagai suatu simbol marga.

Kajian Teori
A. Konsep Dinamika Sosial Politik
Istilah "Dinamika" berasal dan perkataan Inggris dinamic. berarti
bergerak. Pada mulanya istilah ini .dikenal dalam ilmu fisika yang
menunjuk kepada gerak benda dan penyebabnya (gaya) yang berarti
gerak berubah karena ada gaya yang bekerja.
Konsep yang pada awalnya diperkenalkan oleh Galileo (1564.)
dalam Ensiklopedia Indonesia yang dipergunakan juga dalam sosiologi
dan ilmu politik, dengan dinamika sosial dan dinamika politik. Popper
(1985), merumuskan dinamika soial sebagai gerak sosial yang
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan sosial (atau historis). Berdasarkan
rumusan ini, maka dinamika politik dapat diartikan sebagai gerak politik
yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berinteraksi dapat
menimbulkan kekuatan baru dan perubahan-perubahan. Dengan
demikian dinamika sosial atau dinamika politik, bukan hanya
mengandung makna gerak, tetapi juga dapat berarti perubahan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dinamika politik dalam
kajian ini dimaksudkan sebagai gerak dan perubahan politik yang terjadi
sebagai akibat kekuatan-kekuatan yang berinteraksi dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan yang dimaksud itu terutama adalah perubahan

sistem politik. Sedangkan sistem politik dirumuskan oleh Dahi (1977)
adalah sebagai tiap pola tentang: (1) hubungan manusia secara luas, (2)
kontrol sosial, (3)pengaruh kekuasaan atau wewenang demokrasi dan (4)
kediktatoran.
Sistem. politik khususnya sistem pemerintahan dalam suatu
negara mengalami pasang surut, terutama pada negara-negara yang
baru merdeka sesudah perang dunia II, di Indonesia misalnya terjadi
perubahan sistem politik dalam masa yang relatif pendek. Dalam masa
hanya 21 tahun Indonesia mengalami tiga macam sistem politik yang
berbeda, yaitu sistem politik demokrasi Parlementer, sistem politik
demokrasi terpimpin, dan sistem politik demokrasi Pancasila.
Sesungguhnya istilah "Sistem Politik" sering juga disamakan dengan
istilah negara dan istilah kehidupan politik.
Easton merumuskan
kehidupan politik sebagai pencakupan dan pihak yang berwenang yang
diterima untuk suatu masyarakat dan mempengaruhi cara melaksanakan
kebijaksanaan itu. Pengertian sistem politik yang lebih dan satu itu dapat
27

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No.

1/2013

dipahami karena istilah politik memang mempunyai makna yang banyak.
Bahkan menurut Abdullah (1985). Kata politik sukar dimengerti dan
dihayati secara 'baik dan malah dapat mengundang perdebatan yang
tidak berujung pangkal. Namun pada umumnya diketahui bahwa ia
berasal dan perkataan Polis yang berarti negara atau kota di zaman
Yunani kuno. Kemudian berkembang dalam berbagai bentuk bahasa
(inggris) seperti polity, politics, politica, political, policy dan lain-lain.
Berdasarkan hal ini dapat dimengerti jika para sarjana memberikan
pengertian yang berbeda-beda. Memang politik meliputi bermacammacam kegiatan dalam suatu
negara,
kekuasaan,
pengambilan
keputusan, kebijaksanaan dan pembagian atau alokasi.
B. Stratifikasi Sosial / Pelapisan Sosial dan Birokrasi
Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dan kata bahasa
latin "stratum" (tunggal) atau "strata" (jamak) yang berarti berlapis-lapis.
Dalam Sosiologi, Stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.

Menurut Pitriam A. Sorokn mendefinisikan Stratifikasi sosial sebagai
perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang
tersusun secara bertingkat (hirarki), sedangkan Max Weber menguraikan
Stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk
dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki
menurut dimensi kekuasaan, previllege danprestise (UT, 2008).
Stratifikasi sosial terjadi melalui proses: (1) terjadinya secara
otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya,
kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan
seseorang dalam masyarakat, (2) terjadi dengan sengaja imtuk tujuan
bersama. Biasanya dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan
wewenang yang. resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti :
pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan
bersenjata.
Menurut Poloma (2004) kriteria atau ukuran yang umumnya
digunakan untuk mengelompokkan para anggota masyarakat ke dalam
suatu lapisan tertentu adalah sebagai berikut:
a. Kekayaan
Kekayaan atau sering juga disebut ukuran ekonomi Orang yang
memiliki harta benda berlimpah (kaya) akan Iebih dihargai dan

dihormati daripada orang yang miskin.
b. Kekuasaan
Kekuasaan dipengaruhi oleh kedudukan atau posisi seseorang
dalam masyarakat.
Seorang yang memiliki kekuasaan dan
wewenang besar akan menempati lapisan sosial atas, sebaliknya
kekuasaan berada di lapisan bawah.
c. Keturunan
Ukuran keturunan terlepas dan ukuran kekayaan atau kekuasaan.
Keturunan yang dimaksud adalah keturunan berdasarkan golongan
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

28

kebangsawanan atau kehormatan. Kaum bangsawan akan
menempati lapisan atas seperti gelar : Andi di masyarakat Bugis,
Raden di masyarakat Jawa, dan Tengku di masyarakat Aceh.
d. Kepandaian/Penguasaan ilmu pengetahuan Seseorang yang
berpendidikan tinggi dan meraih gelar kesarjanaan atau yang
memiliki keahlian/profesional dipandang berkedudukan lebih tinggi,

jika dibandingkan orang berpendidikan rendah. Status seseorang
juga ditentukan dalam penguasaan pengetahuan lain, misainya
pengetahuan agama, keterampilan khusus, kesaktian.
Menurut Soekanto (1983), dilihat dan sifatnya pelapisan sosial
dibedakan menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan
sosial terbuka, dan system pelapisan sosial campuran.
1. Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)
Stratifikasi ini adalah Stratifikasi di mana anggota dan setiap
strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi
sangat terbatas pada mobilitas horizontal saja. Contohnya : (1) Sistem
kasta, kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana, (2)
Rasialis, kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa
pindah kedudukan di posisi kulit putih, dan (3) Feodal, kaum buruh tidak
bisa pindah ke posisi juragan/majikan.
2. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)
Stratifikasi mi bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar.
Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik
vertikal maupun horizontal. Contoh: (1) Seorang miskin karena usahanya
bisa menjadi kaya, atau sebaliknya, dan (2) Seorang yang tidak/kurang
pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.

3. Stratifikasi Sosial Campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara
Stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Ball berkasta
Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila la
pindah ke Jakarta menjadi buruh, la memperoleh kedudukan rendah.
Maka, la harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat
di Jakarta.
Syani (2002) menjelaskan beberapa fungsi Stratifikasi sosial
sebagai berikut : (1) distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti
menentukan penghasilan, tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang
pada jabatan (2) Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang
diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan (3)
Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas
pribadi, keanggotaan kelompojk, kerabat tertentu, kepemilikan,
wewenang atau kekuasaan, (4) Penentu lambang-lambang (simbol
status) atau kedudukan, seperti tingkah laku, cara berpakaian dan bentuk
rumah, (5) Tingkat mudah tidaknya bertukar kedudukan, dan (6) Alat
29

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No.
1/2013

solidaritas di antara individu-individu atau kelompok, yang menduduki
sistem sosial yang sama dalam masyarakat.
Status sosial dalam masyarakat sering terdapat perbedaan
antara satu dengan yang lainnya, antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Ada yang mempunyai status sosial tinggi dan ada pula
status sosial yang rendah dalam kehidupan masyarakat. Menurut konsep
status sosial, bahwa di dalam kelompok masyarakat tertentu pasti
terdapat beberapa orang yang dihormati. Status ekonomi biasanya juga
ada beberapa orang yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi
daripada orang lainnya, begitu seterusnya bagi status lain yang
berhubungan dengan kehidupan masyarakat.
Soerjono Soekanto (1982) menyatakan bahwa, selama dalam
suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai maka hal itu akan menjadi
bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam
masyarakat. Stratifikasi sosial tersebut adalah merupakan perbedaan
(diferensial) yang berhubungan dengan pengertian perbedaan tingkat, di
mana anggota-anggota masyarakat berada di dalamnya.
Sejalan dengan hal tersebut di atas maka untuk
mempertahankan kelangsungan kehidupan suatu masyarakat diperlukan
berbagai bentuk penguasaan berhasil. Demikian pula seorang dari
lapisan rendah, orang biasa dapat menjadi pemimpin di bidang
pengamanan negara karena keberaniannya di dalam peperangan
menghadapi musuh. Sistem kepemimpinan seperti yang terlihat di
Selayar dan dalam naskah lontara pula disebutkan bahwa rakyat, Raja,
Opu, Patta dan kelompok bangsawang (penguasa) merupakan suatu unit
sosial yang utuh.
C. Teori Sistem Sosial
Menurut Munadjat dalam Dasrul Radjab (1994:51) bahwa kata
"sistem" dijabarkan dan kata Yunani yaitu sistem yang berarti suatu
kesatuan yang tersusun rapi atas bagian-bagian yang mencapai tujuan
secara pasti. Sedangkan Kusnadi (1983) bahwa sistem adalah suatu
keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai
hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
menimbulkan ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika
salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi
keseluruhannya itu.
Sistem dapat diartikan sebagai suatu kebulatan/keseluruhan
yang utuh, di mana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang
pada gilirannya merupakan sistem tersendiri, yang mempunyai fungsi
masing-masing dan saling berhubungan satu dengan yang lain.
Sebagaimana dikemukakan oleh Makkasau (1992) bahwa, sistem adalah
totalitas yang efisien dan efektif, terdiri dan bagian-bagian yang
berstraktur dan berinteraksi teratur secara kualitas dan saling
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

30

berhubungan satu sama lain di dalam wadah yang dipengaruhi oleh
aspek-aspek lingkungan guna mencapai tujuan.
Berkaitan dengan hal di atas menurut Handayaningrat (1982)
dalam Rajab (1994), bahwa sistem itu terdiri atas bagian-bagian yang
satu dan saling berkaitan, yang merupakan kebulatan dalam hubungan
kerja sama yang sesuai demi tercapainya sesuatu tujuan. Dengan
demikian sistem adalah suatu kesatuan yang tersusun secara rapi atas
bagian-bagian berikut perincian-perinciannya untuk mencapai tujuan
yang sudah pasti.
D. Pengertian Serta Kedudukan Patta dan Opu dalam Kehidupan
Sosial Politik Di Selayar
1 .Pengertian Patta dan Opu
Patta dan Opu pada dasarnya adalah sebuah gelar
kebangsawanan, yang selevel dengan gelar Andi di daerah Bugis,
Karaeng di daerah Makassar, Parengnge" di daerah Toraja Puang dan
daeng di daerah Mandar. Patta adalah gelar panggilan kepada
bangsawan laki-laki dan untuk perempuan panggilan atau gelar
kebangsawanannya adalah Opu. Akan tetapi pada zarnan sekarang
Patta dan Opu mulai cenderung menjadi sebuah nama, sehingga
walaupun bukan keturunan bangsawan mereka sudah banyak yang
memakai nama Patta atau Opu.
2.Kedudukan Patta dan Opu dalam Kehidupan Masyarakat Selayar
Sepanjang sejarah kehidupan manusia di atas dunia masalah
nilai tetap merupakan problem walaupun selama itu pula manusia tetap
tak dapat mengingkari efektivitas nilai-nilai di dalam kehidupannya, hal ini
tidak dapat terlepaskan dengan makna dan nilai yang di kandung oleh
sebutan Patta dan Opu yang telah bermasyarakat khususnya di daerah
selayar.
Sistem pengangkatan pimpinan pemerintahan, seperti kepala
desa, lurah; camat bahkan bupati, bukan lagi didasarkan derajat
kebangsawanannya, bahkan merupakan syarat mutlak dalam hal
tersebut. Hal ini tidak lagi melihat revolusi dalam garis keturunan
bangsawan akan tetapi didasarkan pada tihgkat kemampuan dan
kecerdasan seseorang untuk memimpin dan menjalankan tugastugas yang dibebankan kepadanya. Dengan kenyataan yang demikian
jelas
ada
kecenderungan
untuk
menghilangkan
nilai-nilai
kebangsawanan terutama dalam proses pelaksanaan pemerintahan.
Demikian halnya dalam masyarakat di Selayar tetap adanya kriteriakriteria sosial, yang secara umum dapat dibagi ke dalam tiga kriteria,
yaitu: (1) Berdasarkan derajat dan keturunan pada masa lampau; (2)
Berdasarkan kedudukan atau kekuasaan dan peranannya dalam.
masyarakat termasuk tingkat pendidikan; (3) Berdasarkan keadaan
ekonominya. Kaum bangsawan dalam strata masyarakat merupakan
31

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No.
1/2013

golongan elit dan menempati strata teratas dan golongan masyarakat
lainnya. Hal ini terjadi karena adanya dalam pola hidupnya memiliki nilainilai sosial budaya yang melebihi dan golongan masyarakat lainnya, baik
dan segi sikap dan tingkah lakunya, kehidupan sosial ekonominya,
maupun dan segi-segi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, 1993. Sosiologi Sistematika Teori dan Terapan, Jakarta:
Bumi Aksara
Abdullah, Hamid, 1991. Andi Pangerang Petta Rani Profil Pemimpin
Yang Manunggal Dengan Rakyat, Jakarta: Gramedia.
Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Anak

Agung, Ide. Dari Negara Indonesia Timur Republik Indonesia
Serikat. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Anwar, Arifin. 1990. Pers dan Dinamika Politik di Makassar 1945-1966.
Budiarjo, Neriam, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Daeng Mangatta, Paliweng. 1976. Pemikiran Lontara Bugis, Khusus
Mengenai Selayar. diterjemahkan oleh Abdul Kadir BA. Dan
Disaksikan oleh Mahmud Nuhung, BA Kepala Kandep P dan K
Kab. Sinjai. Galileo. 1986. Dalam Ensiklopedia Indonesia.
Hidayat. 2008. Birokrasi Pemerintahan Indonesia. Bandung: Mandar
Maju.
Husain, Zianal Abidin. 1983. Gelora Juang Selayar Bergejolak Kansil dan
Christifle.K.2004. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koetjaraningrat (1977), Sistem Gotong Royong dan Jiwa Tolong
Menolong. Jakarta : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Kosniati. 1986. Profil Bangsawan dalam Pergerakan dan Perjuangan
Kemerdekaan. Makassar.
Kuntjaraningrat 1992. PengantarllmuAntroplogi. Jakarta: Rineka Cipta.
Mayor, Polak. 1979. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Bandung:
Bina Cipta. Mattulada, 1975. La Toa, Suatu Lukisan Analitis
Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Jakarta: Universitas
Indonesia.
Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No. 1/2013

32

Nasikum. 1989. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali.

33

Equilibrium Jurnal Pendidikan Volume I No.
1/2013